Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

TRANSIENT ISCHEMIC ATTACK


Diajukan sebagai salah satu persyaratan dalam mengikuti Kepanitraan Klinik
Senior di Poli Neurologi di RSUD Dr. R.M. Djoelham Binjai
JUDUL

Pembimbing :

dr. Filemon Tarigan, Sp. S

Disusun Oleh :

ANDHIKA WAHYU PRATAMA

102119023

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU NEUROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM
RSUD DR RM DJOELHAM BINJAI
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah
dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan penulisan refarat yang berjudul “Transient
Ischemic Attack”. Refarat ini dibuat untuk melengkapi persyaratan dalam mengikuti kegitan
kepanitraan klinik senior dibagian Ilmu neurologi di RSUD DR RM DJOELHAM BINJAI.
Terwujudnya Refarat ini adalah berkat bantuan dan dorongan berbagai pihak. Dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. dr. Filemon Tarigan Sp. S selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
pengarahan dalam penulisan Referat ini.
2. Perawat-perawat departemen Ilmu neurologi RSUD DR RM DJOELHAM Binjai yang
telah banyak berjasa memberikan bimbingan dan pengajaran kepada penyusun selama
ini.
3. Rekan-rekan kepaniteraan SMF Ilmu neurologi , atas bantuan, dukungan, dan
kerjasamanya.
Penulis menyadari bahwa Refarat ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga penyusunan ini
dapat lebih baik sesuai dengan hasil yang diharapkan.
Akhir kata dengan mengucapkan Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, semoga
Tuhan selalu meridhoi kita semua dan tulisan ini dapat bermanfaat.

Binjai, Januari 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i

DAFTAR ISI....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................... 2

2.1 Definisi...................................................................................................... 2

2.2 Epidemiologi ............................................................................................. 2

2.3 Etiologi...................................................................................................... 3

2.4 Patofisiologi .............................................................................................. 4

2.5 Manifestasi Klinis ..................................................................................... 5

2.6 Diagnosis................................................................................................... 7

2.7 Diagnosis Banding .................................................................................. 13

2.8 Penatalaksanaan ..................................................................................... 13

2.9 Pencegahan ............................................................................................. 15

2.10 Prognosis ............................................................................................... 16

2.11 Komplikasi ........................................................................................... 16

BAB 3 KESIMPULAN ................................................................................................. 17

3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di Indonesia, prevalensi stroke mencapai angka 8,3 per 1.000 penduduk.
Daerah yang memiliki prevalensi stroke tertinggi adalah Nanggroe Aceh
Darussalam (16,6 per 1.000 penduduk) dan yang terendah adalah Papua (3,8 per
1.000 penduduk). Menurut Riskesdas tahun 2007, stroke, bersama-sama dengan
hipertensi, penyakit jantung iskemik dan penyakit jantung lainnya, juga merupakan
penyakit tidak menular utama penyebab kematian di Indonesia. Stroke menempati
urutan pertama sebagai penyebab kematian utama semua usia di Indonesia1.
Transient Ischemic Attack (TIA) merupakan suatu defisit neurologis secara
tiba-tiba dan defisit tersebut berlangsung hanya sementara (tidak lebih lama dari 24
jam). Ketika otak kehilangan suplai darah, otak akan mencoba memulihkan aliran
darah. Jika suplai darah dapat dipulihkan, maka fungsi dari sel-sel otak yang
terkena dapat berfungsi kembali.
Transient ischemic attack merepresentasikan suatu keadaan gawat darurat dan
merupakan sebuah tanda awal akan terjadinya stroke. Diperkirakan hampir 1/3
pasien stroke mengalaminya. Resiko terbesar pada penyakit stroke adalah pada saat
48 jam pertama setelah terjadinya TIA, dan evaluasi awal pada instalasi gawat
darurat merupakan kesempatan untuk mengidentifikasi keadaan yang beresiko
kearah rekurensi serangan stroke3.
Pusat perhatian dalam penanganan TIA sebaiknya ditujukan untuk
membedakan antara TIA dengan stroke dan tanda-tanda penyerta. Diagnosis yang
akurat didapatkan melalui riwayat onset mendadak dari tanda-tanda adanya proses
iskemik pada daerah vaskuler, disertai dengan pemeriksaan fisik dan neuroimaging
yang menunjukan tidak adanya proses infark pada otak. TIA jarang ada yang
berlangsung hingga lebih dari 1 jam, dan definisi yang menggunakan patokan
durasi 24 jam.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI.
Transient Ischemic Attack (TIA) merupakan suatu defisit neurologis secara
tiba-tiba dan defisit tersebut berlangsung hanya sementara (tidak lebih lama dari 24
jam) . Sekelompok ahli baru-baru ini mendefinisikan TIA sebagai episode singkat
disfungsi neurologis yang disebabkan oleh iskemik otak fokal atau retina, dengan
gejala klinis biasanya berlangsung < 1 jam, dan tanpa bukti infark akut. Setiap
definisi memiliki kelebihan dan kekurangan, dan definisi yang tepat saat ini masih
dalam perdebatan. Kebanyakan penelitian yang dilakukan telah menggunakan
definisi klasik, yaitu defisit neurologis berlangsung < 24 jam karena iskemik fokal
di otak atau retina.

2.2 EPIDEMIOLOGI
Sekitar 200.000 sampai 500.000 TIA didiagnosis setiap tahun di Amerika
Serikat. TIA membawa risiko jangka pendek sangat tinggi terhadap stroke, dan
sekitar 15 % dari stroke didiagnosis didahului oleh TIA .
Insiden TIA meningkat dengan bertambahnya usia, dari 1-3 kasus per 100.000
pada usia yang lebih muda dari 35 tahun meningkat menjadi 1.500 kasus per
100.000 pada usia lebih dari 85 tahun. Kurang dari 3 % dari semua infark serebral
besar terjadi di anak-anak. Stroke Pediatric sering memiliki etiologi yang sangat
berbeda dari stroke dewasa dan cenderung terjadi dengan frekuensi lebih sedikit.
Insiden TIA pada pria (101 kasus per 100.000 penduduk) secara signifikan
lebih tinggi dibandingkan pada wanita (70 per 100.000). Insiden TIA di kulit hitam
(98 kasus per 100.000 penduduk) lebih tinggi dibandingkan dalam putih (81 per
100.000 penduduk).

2
2.3 ETIOLOGI
Terdapat beberapa kemungkinan etiologi penyakit yang dapat
menyebabkan transient ischemic attack (TIA). Namun pada kasus TIA, penentuan
etiologi tidak menjadi fokus utama, melainkan penentuan dan penanganan
kegawatdaruratan yang terjadi. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan TIA
adalah :
 Gangguan Vaskular
Gangguan vaskular berupa aterosklerosis yang terjadi pada pembuluh
darah karotis ekstrakranial, arteri vertebral dan arteri intrakranial. Selain
itu, gangguan vaskular penyebab TIA juga dapat berupa diseksi aorta,
arteritis, noninfectious necrotizing vasculitis, serta gangguan vaskular
sekunder akibat obat-obatan, radiasi, trauma lokal, dan penyakit jaringan
ikat.
 Gangguan Jantung
Gangguan jantung yang dapat menyebabkan emboli berupa penyakit
valvular, fibrilasi atrial, kelainan lengkung aorta, atau emboli paradoksikal
pada pasien dengan patent foramen ovale (PFO) atau atrial septal
defect (ASD)
 Penyebab Lain
TIA juga dapat disebabkan oleh penggunaan obat simpatomimetik
seperti kokain, hypercoagulable states, emboli akibat massa tumor, atau
massa hematoma subdural.
 TIA pada Anak
TIA pada anak memiliki etiologi yang berbeda dibanding dewasa. TIA
pada anak dapat disebabkan oleh penyakit jantung bawaan/kongenital,
gangguan pembekuan darah, infeksi sistem saraf pusat, atau berbagai
penyakit lainnya seperti vaskulitis, displasia fibromuskular, Sindrom
Marfan, neurofibromatosis, Tuberous sclerosis, penyakit Sickle Cell,
arteriopati fokal dan Idiopathic progressive arteriopathy of childhood.

3
Massa tumor juga merupakan salah satu etiologi yang harus
dipertimbangkan. Pada kasus yang jarang, TIA dapat diakibatkan
penyalahgunaan kokain pada anak.

2.4 PATOFISIOLOGI
 Penyempitan pembuluh darah di otak akibat adanya suatu ateroma
(trombus) yang terbentuk di dalam pembuluh darah arteri karotis sehingga
menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak.
 Emboli serebral yaitu trombus berupa bekuan darah dinding arteri yang
berasal dari tempat lain, misalnya dari jantung yang terlepas dan mengalir
di dalam darah, kemudian menyumbat arteri yang lebih kecil yaitu
pembuluh darah arteri karotis dan arteri vertebralis di otak.
Trombus ataupun emboli menyebabkan otak kehilangan suplai
darah, sehingga otak akan mencoba memulihkan aliran darah dengan
vasodilatasi. Jika suplai darah dapat dipulihkan, maka fungsi dari sel-sel
otak yang terkena dapat berfungsi kembali. Hal inilah yang terjadi pada TIA
(Transient Ischemic Attack) atau serangan stroke sementara atau mini
stroke.

Efek iskemia pada neuron dimulai dari terjadinya aktivasi kaskade iskemia yang
kemudian berakibat pada deplesi oksigen atau glukosa sehingga menyebabkan
penurunan produksi energi (ATP). Berbagai perubahan terjadi pada tingkat sel pada
kejadian iskemia dimulai dari kegagalan pembentukan ATP di mitokondria yang
menyebabkan induksi apoptosis sel, penurunan fungsi pompa ion pada membran
sel yang menyebabkan gangguan keseimbangan natrium, klorida dan kalsium dan
pada akhirnya menyebabkan edema sitotoksik serta pelepasan neurotransmiter
eksitatori. Selain itu, juga dapat terjadi pembentukan radikal bebas dan reactive
oxygen species. Keseluruhan kaskade ini berakhir pada apoptosis sel.

4
Pada eksperimen hewan coba ditemukan bahwa bila edema sitotoksik terjadi
dalam waktu 15 menit atau kurang, maka kerusakan sel yang terjadi bersifat
minimal, namun bila oklusi terjadi lebih dari 2 jam maka akan terjadi proses infark
yang nyata. Hal ini berimplikasi secara klinis, yakni penundaan waktu
menatalaksana pasien TIA akan menurunkan keberhasilan pemulihan gejalanya.
Bila gejala yang terjadi bertahan lebih dari 3 jam maka kemungkinan pemulihan
gejala dalam 24 jam hanya 2%.

2.5 MANIFESTASI KLINIS


Gejala TIA sangat bervariasi antara pasien, namun gejala pada individu tertentu
cenderung sama. Beberapa gejala yang dapat ditemukan:
 onsetnya tiba-tiba dan tanpa peringatan, dan pemulihan biasanya terjadi
dengan cepat, sering dalam beberapa menit
 mati rasa mendadak atau kelemahan pada wajah, lengan atau kaki, terutama
pada satu sisi tubuh
 tiba-tiba kesulitan melihat pada satu atau kedua mata
 kebingungan mendadak, kesulitan berbicara atau memahami
 tiba-tiba kesulitan berjalan, pusing, kehilangan keseimbangan atau
koordinasi
 tiba-tiba sakit kepala parah dengan tidak diketahui penyebabnya
Gejala TIA juga dapat tergantung dari daerah otak yang mengalami
kekurangan darah. Secara klinis, TIA dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu:
 TIA sistem karotis
Jika kelainan terjadi pada subendotelium arteria karotis interna
dapat timbul 2 kemungkinan:
-stenosis yang menimbulkan insufisiensi vaskuler dan
-sumber embolisasi yang menimbulkan oklusi di arteri serebral.

5
Bila terjadi embolisasi dari ‘plaque atheromatosa’ di dinding arteri
karotis interna, maka setiap arteri serebral dapat menjadi sasaran oklusi.
Tetapi karena pola percabangannya, maka yang paling sering menjadi sasaran
embolisasi tersebut ialah arteri serebri anterior dan yang kedua adalah arteri
serebri posterior.
Buta sesisi yang sementara dan seringkali timbul secara berulang-
ulang (buta ‘fugax’) merupakan manifestasi embolisasi yang bersumber pada
arteri karotis interna. Sindroma oklusi arteri karotis interna yang mudah
dimengerti ialah gambaran penyakit yang timbul akibat oklusi di dinding
arteri karotis interna tepat pada orifisium arteria oftalmika, sebagai cabang
pertama dari arteri karotis interna.
Gejala yang bangkit ialah buta mutlak pada sisi ipsilateral (sisi
oklusi) dengan hemiparesis sisi kontralateral. Tanda yang dapat dijumpai
pada sindroma tersebut ialah tekanan intra-arteriil pada arteri-arteri retinal
yang rendah.

 TIA sistem vertebrobasiler


Oklusi vertebrobasilar atau cabang-cabangnya dapat
menimbulkan gejala-gejala saraf otak, gangguan serebelar, gerakan
involunter dan gerakan tangkas yang dikenal sebagai sindroma pontin,
sindroma mesensefalon atau sindroma medulla oblongata. Ciri
pokoknya ialah adanya sifat alternans. Gangguan saraf otak timbul
pada sisi ipsilateral yang berkombinasi dengan gangguan ketangkasan
gerakan atau kelumpuhan pada anggota gerak sisi kontralateral. Atau
gangguan saraf otak ipsilateral yang berkombinasikan dengan
hemihipestesia sisi kontralateral. Gangguan serebelar yang bangkit
bersifat ipsilateral sedangkan gerakan involunter dijumpai pada sisi
kontralateral.

6
2.6 DIAGNOSIS
Gejala dan tanda-tanda TIA kebanyakan telah menghilang pada saat individu
yang terkena tiba di rumah sakit. Oleh karena itu, riwayat kesehatan orang yang
terkena mungkin menjadi dasar konfirmasi diagnosis TIA. Setelah tiba di rumah
sakit, pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan tekanan
darah harus dilakukan. Beberapa pemeriksaan penunjang juga dibutuhkan untuk
mendiagnosis TIA.
a. Laboratorium
Pada evaluasi awal dari gejala TIA, kadar glukosa darah dan serum
elektrolit sebaiknya diukur untuk menyingkirkan adanya hipoglikemia atau
elektrolit imbalans yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran.
Pemeriksaan darah lengkap dan waktu koagulasi dapat membantu dalam
menemukan adanya penyakit yang menyangkut proses perdarahan dan
terbentuknya trombosis. Pada pasien muda, saat terdapat kecurigaan adanya
infeksi SSP, intoksikasi obat, atau penyakit pembekuan darah, pemeriksaan
tambahan untuk menyingkirkan penyakit tersebut sebaiknya dilakukan,
seperti rapid plasma reagen testing, pemeriksaan CSF, screening obat pada
urin, dan pemeriksaaan hiperkoagulabilitas lengkap. Kadar lipid puasa juga
harus diukur untuk mengetahui adanya resiko kardiovaskular. Pemeriksaan
kadar kolesterol berguna untuk penentuan dosis penggunaan awal statin
untuk mencapai target kadar LDL.
Pada perawatan penderita di rumah sakit, maka pemeriksaan rutin
laboratorium selalu dikerjakan, misalnya: hemoglobin (Hb), LED, eritrosit,
trombosit, leukosit, hitung jenis, hematokrit (Ht), serta pemeriksaan
hemostasis lengkap termasuk kadar fibrinogen dan viskositas darah. Selain
itu dilakukan juga pemeriksaan kimia darah lengkap termasuk kolesterol,
lipid, dan trigliserida. Dari pemeriksaan ini diketahui kemungkinan
polisitemia dan hiperviskositas darah.
Pemeriksaan foto kepala dan servikal juga merupakan pemeriksaan
yang dikerjakan pada penderita TIA. Foto vertebra servikal, lateral, dan
7
oblique kanan dan kiri bermanfaat untuk melihat foramina vertebralis,
apakah ada osteofit yang akan mengganggu atau menekan arteri vertebralis,
dan pada gerakan leher dapat menyebabkan TIA.
AHA/ASA merekomendasikan pemeriksaan neroimaging dalam 24 jam
pertama setelah onset. MRI DWI dipilih sebagai modalitas karena lebih
sensitif dibandingkan CTscan. CT scan masih yang paling sering digunakan
dibanding MRI karena faktor ketersediaan dan keakuratan untuk
mengidentifikasi adanya perdarahan intraserebral. Jika pasien telah
menjalani CT scan emergensi, MRI harus dilakukan sebgai follow-up
karena superioritasnya dalam mengidentifikasi infark serebri.
Elektrokardigrafi harus dilakukan dalam perawatan pertama.
Transthoracic atau transesofageal ekokardiografi dapat digunakan untuk
untuk melihat sumber emboli jantung dan untuk mengetahui adanya patensi
pada foramen oval, penyakit vaskuler, trombosis jantung, dan
aterosklerosis.
Pemeriksaan kardiologi merupakan pemeriksaan penting karena
gangguan irama sering menjadi penyebab TIA. Sering dilupakan bahwa
hipotensi ortostatik dapat juga menjadi penyebab TIA oleh karena itu
pemeriksaan tekanan darah waktu tidur, duduk, dan berdiri harus dilakukan.

b. Pemeriksaan Non Invasif


Pemeriksaan klinis neovaskuler ditujukan untuk menilai keadaan
vaskuler sistem karotis yang pemeriksaannya bersifat non invasif sebagai
berikut. :

 Pemeriksaan Bising Nadi dan Denyut Nadi Leher


Pemeriksaan ini harus dikerjakan pada setiap penderita TIA untuk
menilai keadaan perubahan besar dan perbedaan antara denyut nadi
karotis kiri dan kanan, perbedaan atau perbandingan antara denyut
nadi arteri temporalis superfisialis kiri dan kanan. Setelah itu dengan
8
stetoskop didengar akan kemungkinan adanya bising nadi (arterial
bruits); sungkup stetoskop diletakkan di daerah orbita, di bagian
lateral bifuraksio karotis di leher dan retinoaurikuler.
Tempatkan pasien pada ruangan yang tenang. Kita gunakan
diafragma dari stetoskop karena bagian tersebut mampu mendeteksi
frekuensi suara arterial bruits yang lebih tinggi dibandingkan bell.
Minta pasien menarik napas dalam kemudian menahan napasnya.
Auskultasi dimulai pada daerah proyeksi dari cartilage tiroid
kemudian ke arah sudut yang dibentuk oleh dagu. Dengan kata lain,
auskultasi dilakukan diatas garis proyeksi dari arteri karotis, yaitu
pada bagian medial muskulus sternomastoideus.
Terdapatnya bising nadi atau berkurangnya denyut nadi pada
salah satu sisi menunjukan kemungkinan kelainan morfologik pada
pembuluh darah, sehingga lebih lanjut harus ditentukan dengan
pemeriksaan penunjang lain. Jadi adanya intracranial bruits pada
seseorang dengan TIA menunjukan adanya kemungkinan besar
gangguan pada pembuluh nadi utama yang ke otak.

 Pemeriksaan Oftalmodinamometri
Pemeriksaan ini mengukur tekanan darah pada pangkal arteri
oftalmika, baik diastolik maupun sistolik dengan cara memberikan
tekanan dari luar terhadap arteri karotis retina / bola mata, yang
kemudian tekanan ini dikurangi secara bertahap kemudian denyutan
arteri sentralis retina dideteksi dengan oftalmoskop. Aplikasi tekanan
pada bola mata ditera dalam gram dan dikonversikan ke dalam
mmHg. Tekanan dari luar yang diaplikasikan pada bola mata diukur
dengan oftalmodinamometer yang telah diterapkan secara empirik.
Secara prinsipil, pengukuran tekanan darah ini berbeda dengan
pengukuran tekanan darah pada arteri brakialis.

9
Jika terjadi penurunan tekanan pada salah satu sisi terutama
tekanan diastolik lebih daripada 25% maka perbedaan ini dianggap
bermakna atau penurunan tekanan sistolilk dan diastolik >20%. Hal
ini berarti bahwa pada sisi yang tekanannya menurun telah terjadi
penurunan pressure-gradient yang terjadi akibat gangguan aliran
darah atau sumbatan pada bagian proksimal arteri karotis interna atau
arteri oftalmika.
Pada umumnya kelainan tersebut paling sering disebabkan karena
proses aterosklerosis pada bifuraksio karotis, pada pangkal arteri
karotis interna atau pada arteri karotis komunis. Dalam frekuensi yang
lebih kecil sumbatan terjadi pada pembuluh nadi yang lebih proksimal
atau pada pangkal areteri karotis komunis. Pemeriksaan
oftalmodinamometri sangat berguna pada penderita TIA yang
mengenai sitem karotis dengan derajat akurasi 70-75%. Pengukuran
dilakukan dalam posisi setengah duduk supaya faktor gravitasi dapat
memperjelas ketajaman pengukuran.
Pada keadaan ini, hasil pengukuran oftalmodinamometri, hasil
pengukuran menjadi sulit diintepretasikan, yaitu pada:
-Aritmia Jantung
-Glaukoma berat
-Penderita yang gelisah atau nonkoperatif
-Penderita dengan kelainan dan asimetri pada arteri sentralis retina
serta cabang-cabangnya.
Pengukuran harus dilakukan beberapa kali dan selalu harus diukur
tekanan sistemik sebagai pembanding.
 Pemeriksaan Funduskopi
Pemeriksaan oftalmoskopi merupakan pemeriksaan bedside yang
sangat bermanfaat pada penderita TIA, terutama TIA sistem karotis.
Pada kasus-kasus TIA akibat proses tromboembolik pada sistem
karotis seringkali terjadi gangguan visus homolateral yang menyertai
10
gejala neurologik fokal kontralateral. Gejala neurooftalmologik ini
berupa transient monocular blindness, dimness of vision, transient
homonymus hemianopia, dan altitudinal hemianopic scotoma.
Beberapa pemeriksaan oftalmoskop yang penting adalah:
-Teradapat emboli pada pembuluh darah retina ipsilateral
Adanya white plaque pada arteri retina sewaktu serangan TIA
dengan stenosis karotis yang jelas. Emboli ini terdiri atas materi fibrin
trombosit. Jenis kedua, emboli regional dengan adanya yellow
plaques yang tidak mengganggu retinal flow secara berarti. Penemuan
adanya plaques ini membantu diagnosis TIA kearah ateroma
pembuluh karotis.
-Retinopati hipertensif asimetrik.
Pada penderita hipertensi sering ditemukan berbagai perubahan
yang khas berupa arteriosklerosis retina.
-Terdapat atrofi atopik primer yang tidak jelas sebabnya pada satu
sisi.
Keadaan ini dapat disebabkan karena flow yang sangat berkurang
pada sisi karotis yang tersumbat karena ateroma sehingga terjadi
iskemia retina sesisi dan berakibat atrofi optik primer.
-Oklusi arteria karotis retina sesisi atau neuropati optic iskemik
(ischemic optic neuropathy) yang akut.
Pada keadaan ini perlu dipertimbangkan kemungkinan terjadinya
emboli pada sistem karotis.
 Pemeriksaan Termografi Fasial
Prinsip pemeriksaan ini adalah sebagai berikut: penderita dengan
oklusi karotis atau insufisiensi karotis, maka peredaran darah yang ke
wajah ipsilateral juga akan berkurang termasuk sirkulasi ke kulit,
terutama daerah orbita. Keadaan ini mengakibatkan berkurangnya
derajat penguapan panas (heat emission), yang dengan cepat dapat
dideteksi dengan infra red thermogram.
11
 Pemeriksaan ultrasonografi karotis (ultrasonic imaging)-duplex
songrafi
Dengan alat ini maka gambaran sistem karotis pada daerah leher
atau bifuraksio dapat diproyeksikan pada suatu layar. Demikian pula
bila suatu stenosis atau oklusi dapat dideteksi dengan alat ini.

c. Pemeriksaan Invasif
Dari penderita TIA yang dianggap menderita gangguan hemodinamik,
maka 87% menunjukan adanya lesi vaskuler yang sesuai dengan gejala
klinisnya. Terhadap penderita ini telah dilakukan tindakan bedah pada
pembuluh darah ekstrakranial serta anastomosis arteri serebri media
temporalis. Pemeriksaan angiografi ini tidak dapat diganti dengan
pemeriksaan apapun.
Pada setiap penderita TIA dimana penyebabnya adalah gangguan
hemodinamik, maka setidaknya 4 versi angiogram harus dikerjakan. Hal ini
perlu untuk melihat patensi pembuluh darah ekstrakranial dengan tidak
memandang apakah TIA karotis atau TIA vertebrobasiler. Sering
ditemukan, bahwa pada TIA vertebrabasiler pembuluh-pembuluh karotis
telah mengalami stenosis, atau oklusi, atau sebaliknya. Selain melihat
derajat stenosis, jenis sumbatan dapat pula divisualisasi, misalnya
bagaimana permukaan suatu plak, apakah terdapat ireguleritas atau stenosis
itu bersifat smooth dan multiple (plak labil atau stabil).
Meskipun arteriografi merupakan pemeriksaan penunjang yang
terpenting dan memiliki banyak keunggulan, namun kelemahannya adalah
bahwa sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh mengenai proses
hemodinamiknya sendiri. Sebagai contoh, tidak jarang ditemukan penderita
dengan oklusi karotis bilateral yang hampir total tetapi asimtomatik.

12
2.7 DIAGNOSIS BANDING

DIAGNOSIS Temuan Klinis

Sakit kepala berat pada unilateral


Tumor SSP dengan mual dan muntah

Demam, sakit kepala, pusing, kaku

Infeksi SSP leher, mual, muntah, fotofobia,


perubahan status mental

Trauma Sakit Kepala, pusing, kontusio

Hipoglikemia Pusing, lemas, diaforesis

Sakit kepala berat dengan atau tanpa


Migren fotofobia, usia muda

Diplopia, kelemahan tungkai,

Multiple Sklerosis parestesia, retensi urin, neuritis


optikus

Sakit kepala berat dengan onset cepat


Perdarahan Subaraknoid dan fotofobia

Pusing berputar, diaphoresis, dengan


Vertigo (sentral atau perifer) atau tanpa kehilangan daya dengar

2.8 PENATALAKSANAAN
 Antihipertensi
AHA/ASA merekomendasikan hanya pasien dengan tekanan
darah > 220/120 mmHg yang diberikan terapi antihipertensi, kecuali
ditemukan indikasi pemberian antihipertensi lainnya (Gagal Jantung
Kongestif, Infark miokard, dan Aorta Diseksi). Alasannya adalah otak
yang iskemik dapat kehilangan kemampuannya dalam autoregulasi

13
dan MAP yang lebih tinggi diperlukan untuk memaksimalkan perfusi
ke jaringan melalui pembuluh darah kolateral.
 Antiplatelet
Aspirin adalah regimen yang paling banyak telah dipelajari dan
diterima sebagai obat antiplatelet, dan memiliki alasan yang kuat
digunakan sebagai terapi awal. Obat ini dapat menurunkan resiko
rekurensi stroke hingga 15%, pada dosis yang berkisar antara 50mg
hingga 1500mg. Dosis yang lebih rendah (61mg-325 mg per hari) juga
efektif dan memiliki insiden perdarahan gastrointestinal yang lebih
rendah. Dosis aspirin yang berkisar antara 25 mg 2 kali sehari hingga
325 mg 4 kali sehari telah menunjukan manfaat dalam pencegahan
stroke pasca TIA.
 Antikoagulan
Pasien dengan atrial fibrilasi atau sumber cardioemboli lainnya
pada pasien TIA atau stroke iskemik akut, direkomnedasikan
penggunaan antikoagulasi dengan antagonis vitamin K. Pada pasien
dengan fibrilasi atrial, warfarin menunjukan efektifitas yang
maksimal dengan aspirin atau dengan aspirin ditambah clopidogrel
untuk mencegah terjadinya serangan stroke sekunder. Sebaliknya
pada pasien yang tidak memiliki cardioemboli, warfarin tidak
menunjukan manfaat dan meningkatkan resiko terjadinya perdarahan.
 Modifikasi Faktor Resiko
Modifikasi faktor resiko merupakan salah satu terapi bagi TIA.
Namun pelaksaannya masih belum diuji menggunakan uji klinis
randomisasi.
1. Setelah mendapatkan penyebab TIA, hipertensi sebaiknya
diobati, dan pertahankan tekanan darah < 140/90 mmHg. Pada
pasien dengan diabetes, tekanan darah yang dianjurkan adalah
< 130/85 mmHg.

14
2. Berhenti merokok. Konseling, terapi pengganti nikotin,
bupropion, dan program penghentian merokok dapat
dipertimbangkan.
3. Penyakit jantung koroner, aritmia jantung, gagal jantung, dan
penyakit katup jantung harus diobati.
4. Konsumsi alkohol berlebih harus dihentikan.
5. Pengobatan terhadap hiperlipidemia sangat disarankan. Diet
yang disarankan adalah diet AHA dengan ≤ 30% kalori
diperoleh dari lemak, < 7% dari lemak jenuh, dan konsumsi
kolesterol < 200 mg/hari.
6. Kadar gula darah puasa yang disarankan adalah <126 mg/dl.
Jika memiliki diabetes, diet dan obat oral serta insulin sangat
diperlukan.
7. Aktivitas fisik (30-60 menit dalam > 3 atau 4 kali seminggu)
8. Penghentian obat pengganti estrogen pascamenopause tidak
disarankan (ASA).

2.9 PENCEGAHAN
Pencegahan untuk penyakit Transient Ischemik Attack yaitu:
 Pengendalian faktor resiko, meliputi:
Berhenti merokok dan minum alkohol, kurangi stress, hindari
kegemukan, kurangi konsumsi garam berlebihan, mengkonsumsi obat
antihipertensi pada penderita hipertensi, mengkonsumsi obat
hipoglikemik pada penderita diabetes, diet rendah lemak dan
mengkonsumsi obat antidislipidemia pada penderita dislipidemia, dan
mengendalikan penyakit jantung (misalnya fibrilasi atrium, infark
miokard akut, penyakit jantung reumatik), dan penyakit vascular
aterosklerotik lainnya.

15
 Modifikasi gaya hidup dengan berolah raga secara teratur, konsumsi gizi
yang seimbang seperti, sayuran, buah-buahan, serealia dan susu rendah
lemak serta minimalkan junk food.

2.10 PROGNOSIS
Sekitar 40 persen dari semua orang yang mengalami TIA akan mengalami
stroke. Banyak penelitian menunjukkan bahwa hampir setengah dari semua
stroke terjadi dalam dua hari pertama setelah TIA. Bahkan dalam waktu dua
hari setelah TIA, 5 persen orang akan mengalami stroke, dan dalam waktu tiga
bulan setelah TIA, 10 sampai 15 persen orang akan mengalami stroke.

2.11 KOMPLIKASI
Stroke adalah komplikasi yang paling sering terjadi pasca TIA. Kejadian
stroke pasca TIA dapat terjadi pada 2-90 hari. Sebuah meta analisis melaporkan
bahwa risiko terjadinya stroke yang dilaporkan pasien adalah 3,5%, 8%, dan
9,2% masing-masing pada 2, 30 dan 90 hari pasca TIA. Angka kejadian stroke
yang lebih tinggi didapati pada pemeriksaan aktif oleh dokter yakni 9,9%,
13,4% dan 17,3% pada 2, 30 dan 90 hari pasca stroke. Sebanyak 1 dari 4 pasien
TIA memiliki risiko untuk mengalami stroke dalam 5 tahun pasca serangan
(24-29%). Selain itu, pasien dengan TIA juga dilaporkan mempunyai risiko
terkena penyakit arteri koroner dibanding kelompok yang bukan pasien.

16
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Transient Ischemic Attack (TIA) merupakan suatu defisit neurologis
secara tiba-tiba dan defisit tersebut berlangsung hanya sementara (tidak lebih
lama dari 24 jam) .
TIA dapat terjadi oleh karena berkurangnya aliran darah serebral dibawah
20-30 ml/100g/menit, yang diakibatkan oleh adanya penurunan aliran darah
serebral yang kemudian kembali sebelum ada infark dari jaringan, maupun
adanya emboli.
Meskipun TIA memiliki gejala yang bersifat transien, dan tidak
menimbulkan defisit neurologis yang menetap, pasien dengan TIA tetap penting
untuk mendapatkan tatalaksana sesegera mungkin, oleh karena terdapat faktor
risiko untuk terjadinya stroke.
Berdasarkan guideline yang telah dibahas, maka dapat disimpulkan bahwa
tahap pertama untuk mengenali dan mendiagnosa TIA dapat dilakukan dengan
skrining diluar rumah sakit dengan menggunakan metode Face Arm Speech Test
(FAST), kemudian pada UGD dapat digunakan sistem skoring Recognition of
Stroke in the Emergency Room (ROSIER).
Sekitar 40 persen dari semua orang yang mengalami TIA akan mengalami
stroke. Banyak penelitian menunjukkan bahwa hampir setengah dari semua
stroke terjadi dalam dua hari pertama setelah TIA. Bahkan dalam waktu dua hari
setelah TIA, 5 persen orang akan mengalami stroke, dan dalam waktu tiga bulan
setelah TIA, 10 sampai 15 persen orang akan mengalami stroke.

17
DAFTAR PUSTAKA

Clinical Manual. Transient Ischemic Attack: Management Guidelines. 2012.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Laporan Nasional: Ringkasan

Dasar (RISKESDAS) 2007.

Guyton, A et al. 2005. Aliran Darah Serebral, Aliran Serebrospinal dan

Metabolisme Otak . Fisiologi Kedokteran edisi 9 editor Setiawan I. Jakarta :

EGC

Johnston SC. Transient Ischemic Attack: An Update. Stroke Clinical Updates.

2007.

McPhee, J. S.dan Papadakis A. M. 2011. Current Medical Diagnosis and

Treatment. 50th Anniversary Edition. New York: Mc Graw-Hill.

Misbach J. 1999. Stroke: Aspek Diagnostik, Patofisiologi, dan Manajemen. Jakarta:

Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran Indonesia.

Nanda, A. 2013. Transient Ischemic Attack. Medscape.

Sidharta P, Mardjono M. 2012. Stroke. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum.

Surabaya: Dian Rakyat.

Simons BB, Cirignano B, Gadegbeku AB. Transient Ischemic Attack: Part II. Risk

Factor Modification and Treatment. Am Fam Physician. 2012;15;86(6):527-

532.

Sonni, S., Thaler, DE. 2013. Transient Ischemic Attack: Omen and

opportunity. Cleveland Clinic Journal of Medicine.

Anda mungkin juga menyukai