Anda di halaman 1dari 9

Review Jurnal Kapita Selekta Pendidikan Islam

Review ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


“Kapita Selekta Pendidikan Islam”

Disusun Oleh:
Herry Andany (210317291)

Dosen Pengampu :
Ratna Etikasari Agus, S.Pd.I., M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PONOROGO
2019
REKONSTRUKSI PENDIDIKAN ISLAM BERBASIS
PEMBENTUKAN KARAKTER
Penulis : Asri Karolina
Tahun : 2017
Volume : 11 No. 2
Jurnal : Kapita Selekta Pendidikan Islam
Instansi : STAIN Curup Bengkulu

Pendidikan pada hakikatnya adalah proses pembinaan akal manusia yang


merupakan potensi utama dari manusia sebagai makhluk berpikir. Pendidikan
Islam yaitu bimbingan secara sadar dari pendidik (orang dewasa) kepada anak
yang masih dalam proses pertumbuhannya berdasarkan norma-norma yang
Islami agar terbentuk kepribadiannya menjadi kepribadian muslim.
Pendidikan karakter merupakan pemecahan permasalahan yang sangat
brilian dalam menghadapi persoalan degradasi akhlak/karakter peserta didik.
pendidikan karakter tidak hanya sekedar memberikan penjelasan kepada
peserta, baik tentang perilaku yang baik dan buruk, namun lebih ke arah
mengimplementasikan nilai dasar karakter dalam kehidupan sehari-hari
dengan pembiasaan sehingga menjadi karakteristik diri.
Secara historis pendidikan karakter merupakan misi utama para nabi.
Muhammad Rasulullah sedari awal tugasnya memiliki suatu pernyataan
unik, bahwa dirinya diutus untuk menyempurnakan karakter (akhlak).
Manifesto Muhammad Rasulullah ini mengindikasikan bahwa
pembentukan karakter merupakan kebutuhan utama bagi tumbuhnya cara
beragama yang dapat menciptakan peradaban.
Membicarakan pembentukan karakter sebenarnya sejalan dengan tujuan
pendidikan terutama pendidikan Islam. Namun penerapan pendidikan Islam
masih dalam tataran konsep, belum pada internalisasi nilai-nilai Al-Qur’an yang
sejatinya merupakan dasar pokok pendidikan Islam dan sumber pendidikan
Islam. Dengan demikian, kita dapat merekonstruksi pendidikan Islam berbasis
pembentukan karakter dengan konsep internalisasi nilai-nilai Al-Qur’an.
Batasan karakter berada dalam dua wilayah. Ia diyakini ada sebagai sifat
fitri manusia, sementara pada sisi lain ia diyakini harus “dibentuk” melalui
model pendidikan tertentu. Aristoteles meyakini bahwa individu tidak lahir
dengan kemampuan untuk mengerti dan menerapkan standar-standar moral,
dibutuhkan pelatihan yang berkesinambungan agar individu menampakan
kebaikan moral. sementara Socrates meyakini bahwa ada bayi moral dalam
diri manusia yang meminta untuk dilahirkan, tugas pendidikan adalah
membantu melahirkannya. Hadis Rasulullah menegaskan bahwa tugas
kenabian Muhammad Rasulullah adalah untuk menyempurnakan akhlak. Ini
berarti telah ada benih akhlak pada masing-masing manusia, tinggal
bagaimana lingkungan pendidikan dapat mengoptimalkan benih-benih
tersebut. Sejalan dengan hadis lain yang menegaskan bahwa manusia
dilahirkan dalam keadaan fitri, bergantung pada bagaimana lingkungannya
yang akan membentuk kefitrian itu dalam warna tertentu yang khas. Merujuk
pada teori-teori tersebut, pendidikan karakter berdiri di atas dua pijakan.
Pertama, keyakinan bahwa pada diri manusia telah terdapat benih-benih
karakter dan alat pertimbangan untuk menentukan kebaikan. Namun seperti
sebuah benih, ia belum menjadi apa-apa, ia harus dibantu untuk ditumbuh
kembangkan.
Kedua, pendidikan berlangsung sebagai upaya pengenalan kembali
sekaligus mengafirmasi apa yang sudah dikenal dalam aktualitas tertentu.
Metode Aristoteles yang menekankan pada pengulangan dapat digunakan,
namun setelah masing-masing peserta didik menyadari akan pentingnya apa
yang diulang. Metode penyadaran dapat menggunakan teknik kebidanan
Socrates, yaitu dengan cara membangkitkan kesadaran peserta didik akan
pentingnya karakter yang akan dilatihkan.
Ada 3 hal yang bisa dilakukan dalam merekontruksi pendidikan Islam
berbasis pembentukan karakter dengan konsep internalisasi nilai-nilai Al-
Qur’an, yaitu: pertama, pendidik harus terlebih dahulu melakukan pengenalan
pribadi dengan peserta didik, dengan kata lain mengenali perbedaan
karakteristik dan kematangan peserta didik, sehingga terjalin komunikasi
yang baik antara pendidik dan peserta didik. Kedua, semua pihak yang terlibat
di dalam lembaga pendidikan harus menampilkan diri sebagai suri tauladan
bagi peserta didik. Ketiga, menerapkan pendidikan karakter berbasis Al-
Qur’an dengan 4 tahapan yaitu pengalaman pembelajaran, refleksi, aksi, dan
evaluasi.
Pada jurnal yang ditulis oleh Asri Karolina ini telah menyajikan sebuah
informasi untuk kita semua tentang rekonstruksi pendidikan Islam berbasis
karakter, yang mana pada tulisan ini terdapat hubungan antara rekonstruksi
pendidikan Islam dengan pendidikan karakter. Dengan adanya karya tulis ini
kita dapat mengetahui bahwa pendidikan Islam sangat penting bagi kita
semua, terutama kaum muslim untuk melawan perkembangan zaman dan
teknologi.
Dalam tulisan ini juga memberikan informasi tentang bagaimana
menjadi manusia yang perilakunya didasari dan dijiwai dari iman dan takwa
kepada Allah, yaitu manusia yang dapat merealisasikan identitas Islami yang
menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah. Pendidikan Islam saja belum
mampu untuk melawan perkembangan zaman dan teknologi sekarang.
Apalagi dengan melihat generasi muda bangsa kita yang akhir-akhir ini
banyak mengalami degradasi moral karna semaraknya perkembangan
teknologi.
Dengan demikian, untuk membangun kembali generasi muda bangsa
yang tidak hanyut terbawa oleh derasnya arus teknologi saat ini maka kita
perlu melakukan penanaman pendidikan karakter, yang mana pendidikan
karakter ini membantu pendidikan Islam untuk mencapai tujuan pendidikan
Islam yang sesungguhnya.
Untuk informasi yang disampaikan saya rasa sudah cukup baik, dengan
menyajikan bagaimana solusi untuk pemecahan dari permasalahan diatas,
dengan banyak mengambil referensi dari tokoh-tokoh ilmuan ternama.
Namun sayangnya pada tulisan ini terlalu banyak membahas kepada
pengenalan dari permasalahan, menurut saya alangkah lebih baik jika
penyajian informasi tentang pengenalan masalah tidak terlalu banyak, jadi
langsung membahas kepada solusi dari permasalahan tersebut.
Pendidikan Kemandirian di Pondok Pesantren
Penulis : Uci Sanusi
Tahun : 2012
Volume : 10 No. 2
Jurnal : Pendidikan Islam
Instansi : PP Al-Istiqlal Cianjur dan PP Bahrul Ulum Tasikmalaya
Pada perspektif pendidikan nasional, pondok pesantren merupakan salah
satu subsistem pendidikan yang memiliki karakteristik khusus. Secara
legalitas, eksistensi pondok pesantren diakui oleh semangat Undang-Undang
RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. salah satu ciri
khas kehidupan di pondok pesantren adalah kemandirian santri, sebagai
subjek yang memperdalam ilmu keagamaan di pondok pesantren.
Berdasarkan pernyataan diatas, kemandirian merupaka salah satu tujuan
yang hendak dicapai dalam proses pendidikan. Tujuan pendidikan nasional
merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus
dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, jika
dihubugkan dengan pendidikan karakter, rumusan tujuan pendidikan nasional
menjadi dasar dalam pengebagan budaya dan karakter bangsa.
Di antara lembaga pendidikan yang berkembang, pondok pesantren
memiliki karakteristik yang kuat dalam rangka pembentukan santri yang
mandiri. Kemandirian santri terlihat dalam kehidupan di pondok pesantren
yang berhubungan dengan bagaimana santri mandiri untuk makan, minum,
mencuci pakaian, sampai kemandirian dalam belajar.
Pada perjalanan lembaga pendidikan, terdapat masalah yang
berhubungan dengan kemandirian peserta didik. Pertama, munculnya krisis
kemandirian peserta didik, khususnya di lembaga pendidikan formal,. Kedua,
pendidikan sekolah tidak menjamin pembentukan kemandirian peserta didik
sesuai dengan semangat tujuan pendidikan nasional.
Pondok pesantren adalah salah satu lembaga yang mampu meberi
pengaruh yang cukup besar dalam dunia pendidikan,, baik jasmani, rohani,
maupun intelegensi, karena sumber dan norma-norma agama merupakan
kerangka acuan dan berfikir serta sikap ideal para santri. Sehingga pondok
pesantren sering disebut sebagai alat transformasi kultural.
Di antara cita-cita pendidikan ponok pesantren adalah menghasilkan
santri yang mandiri dan membina diri agar tidak menggantugkan hidupnya
pada orang lain. Pondok pesanre telah membuktikan bahwa dirinya telah
berhasil mencetak santri-santri yang mandiri, hal ini disebabkan selama di
pondok pesantren para santri tinggal jauh dari orang tua. Para santri dituntut
untuk dapat menyelesaikan masalahnya secara mandiri. Kemandirian dalam
belajar maupun bekerja didasarkan pada disiplin terhadap diri sendiri, santri
dituntut untuk lebih aktif, keatif, dan inovatif.
Studi pendahuluan dan observasi terhadap pondok pesantren al-istiqlal
Cianjur terdapat fenomena yang berhubungan dengan kemandirian santri
dalam menjalani kehidupan di pondok pesantren. Di pondok pesantren ini
masih terdapat “tungku” sebagai sebuah tempat memasak santri dengan kayu
bakar yang diambil sendiri oleh mereka. Di tungku ini mereka daling berbagi
tugas dan berbagi bahan makanan yang akan dimasak.
Selain memasak, mereka mencuci pakaian sendiri di sungai atau di kolam
sekitar pondok pesantren. Dalam proses pembelajaran, yang dalam istilah
teknis pondok pesantren disebut pengajian, santri yang senior dapat mendidik
santri yang junior, terutama pada santri yang baru masuk pada beberapa
minggu pertama. Fenomena dan kenyataan seperti ini memiliki sisi signifikan
dalam rangka pengembangan kemandirian santri.
Begitu pula dengan salah atu pondok pesantren yang ada di Tasikmalaya,
pondok pesantren Bahrul Ulum, fenomena seperti di pondok pesantren al-
istiqlal dapat dilihat. Pengamatan di pondok pesantren ini terlihat bahwa
kehidupan santri dijalankan sederhana, kebutuhan pengan dilakukan secara
sederhana ,dan pola kehidupan serta belajar lainnya. Kondisi ini menunjukkan
bahwa di pondok pesantren ini memperlihatkan deskriptif pola kemandirian
dalam kehidupan yag dijalankan.
Kemandirian peserta didik dan tradisi santri di pondok pesantren
memilikinkarakteristik khusus yang jika di konseptualkan dari empiris
menjadi sebuah asumsi bahwa kemandirian itu memiliki aspek urgen dalam
rangka pencapaian tujuan pendidikan. Berdasarkan pemaparan diatas, fokus
masalah penelitian ini adalah model pendidikan kemandirian dalam
perspektif pencapaian tujuan pendidikan. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa
pencapaian tujuan pendidikan lebih mengarah pada kecerdasan intelektual
dan keterampilan, sementara kemandirian belum diperhatian secara serius.
Hasil dari penelitian ini yaitu, santri pada pondok pesantren yang diteliti
menunjukkan tingkat kemandirian yang baik. Upaya yang dilakukan oleh
pondok pesantren dalam membentuk santri dengan menyatukan tempat tidur
santri muda dengan santri yang sudah dewasa, kemudian pembelajaran teman
sebaya, penyediaan fasilitas pondok yang sederhana, memberikan kebebasan
pada santri untuk membentuk kemandirian dalam berorganisasi.
Faktor pendukung pembentukan kemandirian santri yaitu dengan
menggunakan piranti-piranti sederhana untuk pemenuhan kebutuhan santri di
pondok, keinginan yang kuat dari santri untuk hidup mandiri dorongan untuk
sukses. Sedangkan faktor penghambatnya yaitu sebagian kecil santri tidak
tahan dengan lingkungan pondok dan aturan-aturan pondok. Model
pengembangan kemandirian santri berawal dari sebuah proses internalisasi
nilai yang dibentuk oleh proses-proses yang dinamis mulai dari santri masuk
pondok pesantren, pembelajaran teman seebaya, penugasan pengelolaan
kegiatan, dan pemberian ketermapilan hidup untuk menumbuhkan karakter
mandiri dan memiliki jiwa kewirausahaan.
Pada jurnal penelitian yang ditulis oleh Uci Susanti ini telah memberikan
kita informasi tentang kemandirian santri di pondok pesantren, upaya yang
dilakukan oleh pondok pesantren dalam membentuk tradisi kemandirian pada
santri, faktor-faktor pendukung dan penghambat pembentukan santri yang
mandiri, serta analisis tentang model pengembangan kemandirian santri. Apa
yang ditulis oleh Uci Susanti telah cukup baik, yang mana pada jurnal yang
ditulisnya menyajikan informasi yang sangat jelas mulai dari tujuan
penelitian, subjek penelitian, metode yang digunakan, dan evaluasi akhir dari
isi jurnal tersebut.
Namun sayangnya masih terdapat beberapa kekurangan dari jurnal ini
yaitu yang mana pada jurnal ini terlalu fokus pada model pendidikan
kemandirian dalam perspektif pencapaian tujuan. Seharusnya tidak hanya
terfokus pada model pendidikannya tetapi juga pada hal-hal lain yang
menunjang terjadinya kemandirian pada diri santri-santri.

Anda mungkin juga menyukai