Anda di halaman 1dari 32

IMUNOSEROLOGI

“Pemeriksaan TPHA”

Kelompok 6 :

1. Dewa Putu Gde Sad Sohini Atmaja (P07134018 008)


2. Ni Kadek Purnami Dewi (P07134018 017)
3. Kadek Ayu Kartiana Praba Yanti (P07134018 026)
4. Dina Suryadin Ningsih (P07134018 052)
5. Ni Luh Putu Yunita Andarini (P07134018 054)
6. Ni Made Nia Puspayanti (P07134018 055)

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

JURUSAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sifilis laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis namun
menunujukkan hasil pemeriksaan serologis yang reaktif. Sifilis laten
merupakan stadium yang asimtomatik dan tidak didapat adanya gejala-gejala
sifilis primer ataupun sekunder. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil uji
serologi treponemal dan non treponemall yang reaktif (Saputri & Murtiastutik,
2019).
Sifilis disebabkan oleh Treponema pallidum, microaerophilic Spirochete.
Sifilis biasanya tampak dengan erupsi kulit dalam 2–10 minggu setelah infeksi
primer disertai keluhan sistemik (Indiarsa & Hutomo, 2010).
Sifilis ditandai dengan periode aktif (primer, sekunder dan tersier) diselingi
periode laten. Penyebab sifilis adalah Treponema pallidum, a motile,
corkscrewshaped, bakteri prokaryotic yang flexible, helically coiled cell wall.
Sifilis ditularkan melalui kontak intim dengan lesi yang terinfeksi atau tranfusi
darah, juga transplasental. Pada awal tahun 1990-an, 10% populasi di Amerika
Serikat dan Eropa terinfeksi sifilis. Terbanyak pada pria dengan usia 15–34
tahun. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskop lapangan
gelap dari serum lesi. Identifikasi serologi dapat dilakukan minimal 3 minggu
(Indiarsa & Hutomo, 2010).
Penularan sifilis melalui hubungan seksual. Penularan juga dapat terjadi
secara vertikal dari ibu kepada janin dalam kandungan atau saat kelahiran,
melalui produk darah atau transfer jaringan yang telah tercemar, kadang-kadang
dapat ditularkan melalui alat kesehatan (Depkes RI, 2011).
Angka kejadian sifilis mencapai 90% dinegara-negara berkembang. World
Health Organization (WHO) memperkirakan sebesar 12 juta kasus baru terjadi
di Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara, Amerika Latin dan Caribbean (Jesus et
al, 2013).
Tes serologi sifilis terdiri atas dua jenis, yaitu tes non-treponema yang
terdiri dari tes RPR (Rapid Plasma Reagin) dan VDRL (Venereal Disease
Research Laboratory), dan tes spesifik terhadap treponema terdiri dari tes
TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination Assay), TP Rapid (Treponema
Pallidum Rapid), TP-PA (Treponema Pallidum Particle Agglutination Assay),
FTA-ABS (Fluorescent Treponemal Antibody Absorption) (Sinaga, 2019).
Tes Treponema Pallidum Hemagglutination (TPHA) Tes ini merupakan tes
hemagglutinasi indirek (pasif). Dalam tes ini dipakai sel darah merah domba
yang telah diolah dengan antigen Treponema. Ada juga yang menggunakan
butir-butir darah ayam Belanda, tetapi kurang sensitif. Antigen diperoleh
dengan cara ultrasonikasi kuman. Antigen ini akan diserap oleh permukaan sel
darah merah yang telah diobati dengan asam tanin. Selanjutnya sel darah merah
yang telah diolah dengan antigen ini diteteskan pada sederetan serum penderita
dengan berbagai pengenceran (untuk penentuan titer serum). Pada sifilis dini
dengan pengobatan yang efektif reaktivitas TPHA kadang-kadang baru
menghilang baru menghilang beberapa tahun sesudahnya. False negative dapat
terjadi pada awal penyakit karena belum terbentuk antibodi. False positive
jarang dijumpai (dapat mencapai 0,07%) dan biasanya disebabkan oleh
autoantibodi. Tes ini cukup mudah dan sensitif dapat dipakai untuk skrining
penyakit sifilis (Josodiwondo, 1998).
Keuntungan penggunaan tes TPHA ialah mempunyai spesifisitas terhadap
Treponema dan dapat dilakukan cara otomatisasi, reprodusibilitas yang baik
dan sensitifitasnya terhadap antibodi anti Treponema IgM (19S) spesifik
(Hutapea, 2001).

B. Dasar Teori
Treponema pallidum merupakan spesies Treponema dari famili
Spirochaeta, ordo Spirochaetales (Suryani & Sibero, 2014). Treponema
pallidum merupakan bakteri patogen pada manusia. Kebanyakan kasus infeksi
didapat dari kontak seksual langsung dengan orang yang menderita sifilis aktif
baik primer ataupun sekunder. Penelitian mengenai penyakit ini mengatakan
bahwa lebih dari 50% penularan sifilis melalui kontak seksual. Biasanya hanya
sedikit penularan melalui kontak non genital (contohnya bibir), pemakaian
jarum suntik intravena, atau penularan melalui transplasenta dari ibu yang
mengidap sifilis tiga tahun pertama ke janinnya. Prosedur skrining transfusi
darah yang modern telah mencegah terjadinya penularan sifilis (Sinaga, 2019).

Nama Treponema diambil dari bahasa Yunani yaitu trepo dan nema yang
artinya turning thread (benang bergulung). Treponema pallidum subspesies
(sekarang disebut dengan Treponema pallidum) merupakan salah satu bakteri
Spirochetes patogen dominan.Treponema pallidum sudah dikenal selama 500
tahun sebagai penyebab penyakit menular seksual yaitusifilis. Sejarah sifilis
sudah banyak dipelajari namun asal mula sifilis belum diketahui secara pasti.
Awalnya sifilis disebut dengan Italian disease (penyakit Italia), French disease
(penyakit Perancis), dan great fox membedakannya dengan Smallpox. Sampai
abad ke18 baru diketahui bahwa penyakit ini merupakan penyakit menular
seksual. Penggambaran karakteristik sifilis terhalangi karena menyamai gejala
gonorrhea (Efrida & Elvinawaty, 2014).

Treponema pallidum berbentuk spiral, Gram negatif dengan panjang


kisaran 11 µm dengan diameter antara 0,09 – 0,18 µm. Terdapat dua lapisan,
sitoplasma merupakan lapisan dalam mengandung mesosom, vakuol ribosom
dan bahan nukleoid, lapisan luar yaitu bahan mukoid (Holmes et al, 2008).
Organisme ini aktif bergerak, berotasi hingga 900 dengan cepat di sekitar
endoflagelnya bahkan setelah menempel pada sel melalui ujungnya yang
lancip. Aksis panjang spiral biasanya lurus tetapi kadang-kadang melingkar,
yang membuat organisme tersebut dapat membuat lingkaran penuh dan
kemudian akan kembali lurus ke posisi semula. Spiralnya sangat tipis sehingga
tidak dapat dilihat secara langsung kecuali menggunakan pewarnaan
imunofluoresensi atau iluminasi lapangan gelap dan mikroskop electron
(Efrida & Elvinawaty, 2014).

Struktur Treponema pallidum terdiri dari membran sel bagian dalam,


dinding selnya dilapisi oleh peptidoglikan yang tipis, dan membran sel bagian
luar.Flagel periplasmik (biasa disebut dengan endoflagel) ditemukan didalam
ruang periplasmik, antara dua membrane. Organel ini yang menyebabkan
gerakan tersendiri bagi Treponema pallidum seperti alat pembuka tutup botol
(Corkscrew) (Lafond & Lukehart, 2006).

Filamen flagel memiliki sarung/ selubung dan struktur inti yang terdiri dari
sedikitnya empat polipeptida utama. Genus Treponema juga memiliki filamen
sitoplasmik, disebut juga dengan fibril sitoplasmik. Filamen bentuknya seperti
pita, lebarnya 7-7,5 nm. Partikel protein intramembran membran bagian luar
Treponema pallidum sedikit. Konsentrasi protein yang rendah ini diduga
menyebabkan Treponema pallidum dapat menghindar dari respons imun
pejamu (Efrida & Elvinawaty, 2014).
Penularan bakteri ini biasanya melalui hubungan seksual (membran mukosa
vagina dan uretra), kontak langsung dengan lesi/luka yang terinfeksi atau dari
ibu yang menderita sifilis ke janinnya melalui plasenta pada stadium akhir
kehamilan. Treponema pallidum masuk dengan cepat melalui membran
mukosa yang utuh dan kulit yang lecet, kemudian ke dalam kelenjar getah
bening, masuk aliran darah, kemudian menyebar ke seluruh organ tubuh.
Bergerak masuk ke ruang intersisial jaringan dengan cara gerakan cork-screw
(seperti membuka tutup botol) (Sinaga, 2019).

Treponema pallidum tidak dapat menular melalui benda mati seperti


bangku, tempat duduk toilet, handuk, gelas, atau benda-benda lain yang bekas
digunakan/dipakai oleh pengindap, karena pengaruh suhu dan rentang pH.
Suhu yang cocok untuk organisme ini adalah 30-370C dan rentang pH adalah
7,2-7,4 (Efrida & Elvinawaty, 2014).

Treponema palidum masuk melalui selaput lendir yang utuh, atau kulit yang
mengalami abrasi, menuju kelenjar limfe, kemudian masuk ke dalam pembuluh
darah, dan diedarkan ke seluruh tubuh. Setelah beredar beberapa jam, infeksi
menjadi sistemik walaupun tanda-tanda klinis dan serolois belum jelas. Kisaran
satu minggu setelah terinfeksi Treponema palidum, ditempat masuk timbul lesi
primer berupa ulkus. Ulkus akan muncul selama satu hingga lima minggu,
kemudian menghilang (Sokolovskiy, 2009).
Uji serologis masih akan negatif ketika ulkus pertama kali muncul dan baru
akan reaktif setelah satu sampai empat minggu berikutnya. Enam minggu
kemudian, timbul erupsi seluruh tubuh pada sebagian kasus sifilis sekunder.
Ruam ini akan hilang kisaran dua sampai enam minggu, karena terjadi
penyembuhan spontan. Perjalanan penyakit menuju ke tingkat laten, dimana
tidak ditemukan tanda-tanda klinis, kecuali hasil pemeriksaan serologis yang
reaktif. Masa laten dapat berlangsung bertahun - tahun atau seumur hidup
(Klausner & Hook 2007).

Sifat yang mendasari virulensi Treponema pallidum belum dipahami


selengkapnya, tidak ada tanda-tanda bahwa kuman ini bersifat toksigenik
karena didalam dinding selnya tidak ditemukan eksotoksin ataupun
endotoksin. Meskipun didalam lesi primer dijumpai banyak kuman namun
tidak ditemukan kerusakan jaringan yang cukup luas karena kebanyakan
kuman yang berada diluar sel akan terbunuh oleh fagosit tetapi ada sejumlah
kecil Treponema yang dapat tetap dapat bertahan di dalam sel makrofag dan di
dalam sel lainya yang bukan fagosit misalnya sel endotel dan fibroblas.
Keadaan tersebut dapat menjadi petunjuk mengapa Treponema pallidum dapat
hidup dalam tubuh manusia dalam jangka waktu yang lama, yaitu selama masa
asimtomatik yang merupakan ciri khas dari penyakit sifilis. Sifat invasif
Treponema sangat membantu memperpanjang daya tahan kuman di dalam
tubuh manusia (Singh & Romanowski, 1999).

Perjalanan penyakit sifilis bervariasi dan biasanya dibagi menjadi sifilis


stadium dini dan lanjut. Stadium dini lebih infeksius dibandingkan dengan
stadium lanjut. Sifilis stadium dini terbagi menjadi sifilis primer, sekunder dan
laten dini. Sifilis stadium lanjut termasuk sifilis tersier (gumatous, sifilis
kardiovaskular, neurosifilis) dan sifilis laten lanjut (Efrida & Elvinawaty,
2014).

1. Sifilis Primer
Manifestasi klinis awal sifilis adalah papul kecil soliter, kemudian
dalam satu sampai beberapa minggu, papul ini berkembang menjadi ulkus.
Lesi klasik dari sifilis primer disebut dengan chancre, ulkus yang keras
dengan dasar yang bersih, tunggal, tidak nyeri, merah, berbatas tegas,
dipenuhi oleh spirokaeta dan berlokasi pada sisi Treponema pallidum
pertama kali masuk. Chancre dapat ditemukan dimana saja tetapi paling
sering di penis, servik, dinding vagina rektum dan anus. Dasar chancre
banyak mengandung spirokaeta yang dapat dilihat dengan mikroskop
lapangan gelap atau imunofluresen pada sediaan kerokan chancre (Prince
& Wilson, 2006).
2. Sifilis Sekunder
Apabila tidak diobati, gejala sifilis sekunder akan mulai timbul
dalam 2 sampai 6 bulan setelah pajanan, 2 sampai 8 minggu setelah
chancre muncul. Sifilis sekunder adalah penyakit sistemik dengan
spirokaeta yang menyebar dari chancre dan kelenjar limfe ke dalam aliran
darah dan ke seluruh tubuh, dan menimbulkan beragam gejala yang jauh
dari lokasi infeksi semula. Sistem yang paling sering terkena adalah kulit,
limfe, saluran cerna, tulang, ginjal, mata, dan susunan saraf pusat (Prince
& Wilson, 2006).
3. Sifilis Laten
Sifilis laten atau asimtomatik adalah periode hilangnya gejala klinis
sifilis sekunder sampai diberikan terapi atau gejala klinik tersier muncul.
Sifilis laten dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu sifilis laten dini dan
lanjut. Pembagian berdasarkan waktu relaps infeksi mukokutaneus secara
spontan pada pasien yang tidak diobati. Sekitar 90% infeksi berulang
muncul dalam satu tahun, 94% muncul dalam dua tahun dan dorman
selama empat tahun. Sifilis laten dini terjadi kurang satu tahun setelah
infeksi sifilis sekunder, 25% diantaranya mengalami relaps sifilis sekunder
yang menular, sedangkan sifilis laten lanjut muncul setelah satu tahun.
Relaps ini dapat terus timbul sampai 5 tahun. Pasien dengan sifilis laten
dini dianggap lebih menular dari sifilis laten lanjut. Pemeriksaaan serologi
pada stadium laten lanjut adalah positif, tetapi penularan secara seksual
tidak (Prince & Wilson, 2006).
4. Sifilis Tersier
Sifilis tersier dapat muncul sekitar 3-15 tahun setelah infeksi awal
dan dapat dibagi dalam tiga bentuk yaitu; sifilis gumatous sebanyak 15%,
neurosifilis lanjut (6,5%) dan sifilis kardiovaskular sebanyak 10%.
Sepertiga pasien berkembang menjadi sifilis tersier tanpa pengobatan.
Pasien dengan sifilis tersier tidak menular. Sifilis gumatous atau sifilis
benigna lanjut biasanya muncul 1-46 tahun setelah infeksi awal, dengan
rerata 15 tahun. Karakteristik pada stadium ini ditandai dengan adanya
guma kronik, lembut, seperti tumor yang inflamasi dengan ukuran yang
berbeda-beda. Guma ini biasanya mengenai kulit, tulang dan hati tetapi
dapat juga muncul dibahagian lain (Pommerville, 2010)

Pemeriksaan mikroskopik langsung pada sifilis stadium dini, uji serologis,


metode berdasar biologi molekuler. Untuk menegakkan diagnosis sifilis,
diagnosis klinis harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan mikroskop lapangan gelap (dark field) merupakan metode paling
spesifik dan sensitif untuk memastikan diagnosis sifilis primer adalah
menemukan treponema dengan gambaran karakteristik yang terlihat pada
pemeriksaan mikroskop lapangan gelap dari cairan yang diambil pada
permukaan chancre. Ruam sifilis primer dibersihkan dengan larutan NaCl
fisiologis. Serum diperoleh dari bagian dasar atau dalam lesi dengan cara
menekan lesi sehingga serum akan keluar. Kemudian diperiksa dengan
mikroskop lapangan gelap menggunakan minyak emersi. Treponema pallidum
berbentuk ramping, gerakan aktif (Suryani & Sibero, 2014).

Uji serologis sifilis pada sifilis meliputi Uji serologis non treponema seperti
pemeriksaan Rapid Plasma Reagen (RPR), pemeriksaan Venereal Disease
Research Laboratory (VDRL), dan pemeriksaan Automated Reagin Test
(ART), ketiganya merupakan pemeriksaan untuk mendeteksi ”reagin” terhadap
antibodi dimana antigennya disebut cardiolipin. Antibodi cardiolipin dapat
dideteksi pada serum pasien dengan sifilis aktif dan dibeberapa kondisi lain.
Namun, pada beberapa individu yang memiliki riwayat sifilis dengan
kesuksesan terapi mempertahankan kadar antibodi cardiopilin rendah untuk
waktu yang lama, dengan demikian individu tersebut tergolong ”serofast”
(Suryani & Sibero, 2014).

Uji serologis treponema meliputi Enzym Immunioassay (EIA),


Chemiluminescence Immunoassay (CIA), Flurescent Treponema Antibody
”Absorbed” Assay (FTA-ABS), Treponema Palidum Particle Agglutination
Assay (TP-PA) dan Treponema Palidum Hemaglinination Assay (MHA-TPA).
Uji serologis treponema adalah pemeriksaan terhadap antigen antibodi yang
spesifik terhadap treponema. Digunakan untuk identifikasi sifilis dan
monitoring terhadap terapi antibiotic (Wiesman et al, 2014).

Uji serologik Anti-T.Palidum IgM antibodi spesifik seperti EIA atau IgM,
19SIgM-FTA-abs test, IgM-immunoblot untuk T. Palidum. Sensivitas dari uji
tersebut rendah pada sifilis aktif. IgM tidak efektif dalam mengetahui stadium
dari sifilis maupun montitoring terapi. Uji serologis tersebut digunakan pada
penilaian sifilis pada bayi baru lahir dan CSF. Many rapid Point of Care (POC)
digunakan untuk mendeteksi antigen treponemal pada individu dengan riwayat
sifilis 20 tahun sebelumnya. Namun uji serologis ini tidak untuk mendeteksi
antibodi cardiopilin (pada pasien dengan sifilis aktif) (Janier et al, 2014).
BAB II

ISI

A. Metode Pemeriksaan
Adapun metode yang digunakan pada praktikum ini, yaitu metode
Hemaglutinasi secara kualitatif dan kuantitatif.
B. Prinsip Pemeriksaan
Adapun prinsip yang digunakan pada praktikum ini, yaitu dimana avian
eritrosit yang sudah dilapisi oleh komponen antigenic dari Treponema pallidum
yang pathogen (Nichol’s strain). Dimana sel-sel uji ini menggumpal dengan
adanya antibody spesifik untuk Treponema pallidum, dan menunjukkan pola
karakteristik pada pelat mikrotitrasi.
C. Reaksi Pemeriksaan
Adapun reaksi yang terjadi dalam praktikum ini, yaitu reaksi Hemaglutinasi.
D. Spesimen Pemeriksaan
Adapun sampel atau specimen yang digunakan pada praktikum ini adalah serum
atau plasma.
E. Alat Pemeriksaan
Adapun alat yang digunaka dalam praktikum ini, diantaranya :
1. Mikropipet 10 µL, 25 µL, 75 µL, dan 190 µL.
2. Tip Kuning
3. Well
4. Centrifuge
5. Gelas
F. Reagen Pemeriksaan
Adapun reagen yang digunakan dalam praktikum ini, yaitu TPHA Tes Kit, yang
terdiri dari :
1. Test Cells
2. Control Cells
3. Diluent
4. Positive control serum
5. Negatif control serum
6. Insert Kit
G. Prosedur Pemeriksaan
1. Uji Kualitatif
(Setiap sampel memerlukan 3 sumur dari pelat mikrotitrasi)
a) Tambahkan 190 µL diluent pada sumur 1
b) Lalu tambahkan 10 µL serum pada sumur 1
c) Gunakan mikropipet untuk menghomogenkan campuran tersebut. Lalu
ambil masing-masing 25 µL kemudian dituangkan ke sumur 2 dan 3.
d) Pastikaan bahwa Test cells dan Control cells tersuspensi secara
menyeluruh. Tambahkan 75 µL Control cells pada sumur 2 dan
tambahkan 75 µL Test cells pada sumur 3.
e) Ketuk piring atau well dengan lembut untuk mencampur campuran
tersebut.
f) Inkubasi 45 – 60 menit pada suhu ruangan.
g) Perhatian! Jauhkan piring atau well dari panas, sinar matahari langsung,
dan sumber apapun yang menimbulkan getaran.
h) Baca hasil. Hasil stabil selama 24 jam. Jika pelat tertutup dan diatas
tindakan pencegahan diamati.
Catatan : Control kit dapat dijalankan secara parallel dan diencerkan
dan siap digunakan.
2. Uji Kuantitatif
(Setiap sampel memerlukan 8 sumur dengan label A – H)
a) Tambahkan 25 µL diluent pada sumur B – H secara inklusif.
b) Transfer 25 µL dari 1 : 20 pengenceran serum dari tes skrining ke sumur
A dan B.
c) Ambil 25 µL serum yang telah diencerkan secara serial dari sumur B
ke H dengan inklusif. Setelah diencerkan 25 µL campuran di sumur H
dibuang.
d) Pastikan bahwa sel-sel uji disuspensikan kembali secara menyeluruh.
Tambahkan 75 µL Test cells disetiap sumur. Ini akan memberikan
pengenceran serum dari 1/80 – 1/10240.
e) Homogenkan well dengan perlahan.
f) Inkubasi selama 45 – 60 menit pada suhu kamar.
Perhatian! Jauhkan piring dari panas, sinar matahari lansung, dan sumber
getaran apapun.
Baca hasil. Hasilnya stabil selama 24 jam. Jika piring atau well tertutup dan
diatas tindakan pencegahan diamati.
H. Nilai Normal
Adapun nilai normal pada pemeriksaan TPHA (Treponema pallidum Particle
Agglutination Assay), adalah Negatif (tidak terbentuknya hemaglutinasi).
I. Hasil Pemeriksaan
Identitas pasien
Nama : RAMA
Umur : 20 tahun
Jemis Kelamin : Laki laki
Hasil :
1. Uji Kualitatif
a. Test cells : Terbentuk Haemaglutinasi (+)
b. Control cells : Tidak terbentuk haemaglutinasi (-)
c. Sampel mahasiswa : Tidak terbentuk haemaglutinasi (-)
Gambar 1. Hasil Pemeriksaan TPHA

Gambar 2. Hasil Pemeriksaan Control


J. Interpretasi Hasil
Hasil Positif : Terjadi haemaglutinasi
Hasil Negatif : Tidak terjadi haemaglutinasi
K. Pembahasan
Treponema pallidum merupakan bakteri patogen pada manusia.
Kebanyakan kasus infeksi didapat dari kontak seksual langsung dengan orang
yang menderita sifilis aktif baik primer ataupun sekunder. Penelitian mengenai
penyakit ini mengatakan bahwa lebih dari 50% penularan sifilis melalui kontak
seksual. Biasanya hanya sedikit penularan melalui kontak nongenital
(contohnya bibir), pemakaian jarum suntik intravena, atau penularan melalui
transplasenta dari ibu yang mengidap sifilis tiga tahun pertama ke janinnya.
Prosedur skrining transfusi darah yang modern telah mencegah terjadinya
penularan sifilis (Ryan KJ. Spirochetes,2014).
Sifilis adalah penyakit infeksi disebabkan oleh Treponema pallidum
subspesies pallidum (T. pallidum), merupakan penyakit kronis dan bersifat
sistemik. Sifilis merupakan penyakit yang progresif dengan gambaran klinis
aktif (stadium primer, sekunder, dan tersier) serta periode asimtomatik (stadium
laten). Sifilis yang tidak diobati dapat berkembang menjadi sifilis lanjut, yaitu
sifilis tersier, sifilis kardiovaskular, atau neurosifilis(Mutmainnah E, 2011).
Angka kejadian sifilis mencapai 90% di negara-negara berkembang. World
Health Organization (WHO) memperkirakan sebesar 12 juta kasus baru terjadi
di Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara, Amerika Latin dan Caribbean. Angka
kejadian sifilis di Indonesia berdasarkan laporan Survey Terpadu dan Biologis
Perilaku (STBP) tahun 2011 Kementrian Kesehatan RI terjadi peningkatan
angka kejadian sifilis di tahun 2011 dibandingkan tahun 2007 (Suryani DPA,
2014).
TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination Assay) adalah
pemeriksaan serologi untuk penyakit sifilis. Prinsip pemeriksaan TPHA adalah
terjadi aglutinasi akibat eritrosit domba yang permukaannya telah dilapisi
antigen Treponema pallidum yang direaksikan dengan anti-Treponema yang
ada dalam serum pasien. Tujuan dari pemeriksaan TPHA untuk mendeteksi
adanya antibodi spesifik terhadap Treponema pallidum dalam serum manusia.
Keuntungan penggunaan tes TPHA adalah mempunyai spesifitas terhadap
Treponema dan dapat dilakukan cara otomatisasi, reprodusibilitas yang baik
dan sensitifitasnya terhadap antibodi anti Treponema IgM (19S) spesifik. Tes
TPHA menjadi reaktif setelah sifilis primer telah mapan dan apabila telah
reaktif akan tetap reaktif di dalam waktu yang lama, walaupun terjadi
penurunan antibodi setelah pengobatan. Kemungkinan tes TPHA menjadi
negatif setelah pengobatan sifilis dini sangat jarang(4). Penggunaan TP Rapid
sangat mudah dan dapat memberikan hasil dalam waktu yang relatif singkat (10
– 15 menit). Jika dibandingkan dengan TPHA atau TPPA, sensitivitas TP Rapid
berkisar antara 85% sampai 98%, dan spesifisitasnya berkisar antara 93%
sampai 98% (KEMENKES, 2013).
Praktikum kali ini melakukan salah satu uji treponemal yaitu TPHA
(Treponema Pallidum Haemaglutination). Pemeriksaan TPHA merupakan
suatu konfirmasi untuk sifilis guna edeteksi respon serologis spesifik untuk
Treponea pallidum pada tahap lanjut/ahkir sifilis. Metode yang digunakn dalam
praktikum ini adalah Hemaglutinasi dengan prinsip reaksi hemaglutiasi secara
imunologis antara eritrosit avian yang dilapisi oleh antigen Treponema pallidum
pada reagen dengan antibodi spesifik terhadap Treponema pallidum pada
sampel.
Sebelum melakukan pengujian, dipastikan alat dan bahan yang akan
digunakan dikondisikan terlebih dahulu pada suhu ruang agar nantinnya reaksi
yang terjadi dapat berlangsung secara optimal. Kemudian mikroplate diletakan
pada meja yang datar dan kering agar nantinya sampel ataupun reagen tidak
meluber ke luar sumur saat diteteskan.
Sebelum melakukan pengujian, dipastikan alat dan bahan yang akan
digunakan dikondisikan terlebih dahulu pada suhu ruang agar nantinnya reaksi
yang terjadi dapat berlangsung secara optimal. Kemudian mikroplate diletakan
pada meja yang datar dan kering agar nantinya sampel ataupun reagen tidak
meluber ke luar sumur saat diteteskan.
Uji kualitatif pada sampel serum dilakukan denga pembuatan pengenceran
sampel (1:20). Pengenceran ini sangat berguna, terutama jika jumah sampel
serum yang diterima sedikit dan agar tidak terjadi reaksi prozone sebagai
kemungkinan penyebab pemeriksaan tidak reaktif, karena jika sampel murni
maka akan banyak mengandung antibodi dan tidak bisa mengikat antigen.
Pertamatama diluent dimasukan sebanyak 190 µl kedalam sumur A1 dengan
mikropipet lalu disusul dengan sampel sebanyak 10 µl kemudian
dihomogenkan menggunakan mikropipet. Adapun hal-hal yang harus
diperhatikan saat penetesan reagen maupun sampel yaitu:
a. Homogenkan reagen sebelum dipipet
b. Lakukan pemipetan secar tegak lurus, agar volume reagen yang dipipet
sesuai dengan yang diinginkan
c. Lakukan penetesan reagen/sampel melalui dinding sumur, agar tidak
terjadinya gelembung
Selanjutnya disiapkan 2 buah sumur untuk melakukan pemeriksaan
selanjutnya, pada sumur pertama dimasukan sampel yang telah diencerkan dan
Test cell, pada tabung kedua dimasukan sampelyang telah diencerkan dan
control cell (sampel sebanyak 25µl , test cell dan control cell masing-masing
75µl) . Setelah itu dilakukan inkubasi pada suhu ruang selama 45-60 menit,
dimana waktu ini merupakan waktu yang optimal untuk antibodi spesifik
Treponema pallidum dengan antigen Treponema pallidum yang dilapisi
eritrosit avian untuk menimbulkan hemaglutinasi (Partogi, Donna. 2008).
Pemeriksaan TPHA memiliki kelebihan dan kekurangan dalam determinasi
antibodi spesifik terhadap Treponema pallidum, diantaranya adalah:
1. Kelebihan pemeriksaan TPHA
a. Teknis dan pembacaan hasilnya mudah
b. Memiliki spesifitas tinggi untuk mendeteksi adanya antibodi
Treponema pallidum dan sensitivitas yang tinggi, dimana kadar
minimum antibodi Treponemal yang dapat dideteksi adalah 0,005
c. Hasil reaktif/positif dapat diperoleh lebih dini
2. Kekurangan pemeriksaan TPHA
a. Kurang sensitif bila digunakan sebagai skrining sifilis
b. Tidak dapat digunakan untuk menilai hasil terapi, karena tetap reaktif
dalam waktu yang lama
c. Pada saat pengerjaan diperlukan keterampilan dan ketelitian yang
tinggi

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan TPHA adalah:

a. Alat dan bahan yang digunakan hars bersih


b. Semua komponen disuhu ruangkan sebelum digunkan
c. Tanggal Exp reagen harus diperhatikan
d. Sampel yang digunakan dalam bentuk serum
e. Waktu inkubasi tidak boleh >60 menit (Suryani DPA, 2014).
Sifilis adalah penyakit infeksi disebabkan oleh Treponema pallidum
subspesies pallidum (T. pallidum), merupakan penyakit kronis dan bersifat
sistemik. Treponema pallidum merupakan bakteri gram negatif, berbentuk spiral
yang ramping dengan lebar kira-kira 0,2 µm dan panjang 5-15 µm. Lengkung
spiralnya/gelombang secara teratur terpisah satu dengan lainnya dengan jarak 1
µm, dan rata-rata setiap kuman terdiri dari 8-14 gelombang. Organisme ini aktif
bergerak, berotasi hingga 90° dengan cepat di sekitar endoflagelnya bahkan
setelah menempel pada sel melalui ujungnya yang lancip. Aksis panjang spiral
biasanya lurus tetapi kadang-kadang melingkar, yang membuat organisme
tersebut dapat membuat lingkaran penuh dan kemudian akan kembali lurus ke
posisi semula. Spiralnya sangat tipis sehingga tidak dapat dilihat secara
langsung kecuali menggunakan pewarnaan imunofluoresensi atau iluminasi
lapangan gelap dan mikroskop elektron (Efrida, 2014).
Penularan bakteri ini biasanya melalui hubungan seksual (membran mukosa
vagina dan uretra), kontak langsung dengan lesi/luka yang terinfeksi atau dari
ibu yang menderita sifilis ke janinnya melalui plasenta pada stadium akhir
kehamilan. Treponema pallidum masuk dengan cepat melalui membran mukosa
yang utuh dan kulit yang lecet, kemudian kedalam kelenjar getah bening, masuk
aliran darah, kemudian menyebar ke seluruh organ tubuh. Bergerak masuk
keruang intersisial jaringan dengan cara gerakan cork-screw (seperti membuka
tutup botol). Beberapa jam setelah terpapar terjadi infeksi sistemik meskipun
gejala klinis dan serologi belum kelihatan pada saat itu. Darah dari pasien yang
baru terkena sifilis ataupun yang masih dalam masa inkubasi bersifat infeksius.
Waktu berkembangbiak Treponema pallidum selama masa aktif penyakit secara
invivo 30-33 jam. Lesi primer muncul di tempat kuman pertama kali masuk,
biasanya bertahan selama 4-6 minggu dan kemudian sembuh secara spontan.
Pada tempat masuknya, kuman mengadakan multifikasi dan tubuh akan bereaksi
dengan timbulnya infiltrat yang terdiri atas limfosit, makrofag dan sel plasma
yang secara klinis dapat dilihat sebagai papul. Reaksi radang tersebut tidak
hanya terbatas di tempat masuknya kuman tetapi juga di daerah perivaskuler
(Treponema pallidum berada diantara endotel kapiler dan sekitar jaringan), hal
ini mengakibatkan hipertrofi endotel yang dapat menimbulkan obliterasi lumen
kapiler (endarteritis obliterans). Kerusakan vaskular ini mengakibatkan aliran
darah pada daerah papula tersebut berkurang sehingga terjadi erosi atau ulkus
dan keadaan ini disebut chancre (Efrida, 2014).
Treponema pallidum tidak dapat menular melalui benda mati seperti
bangku, tempat duduk toilet, handuk, gelas, atau benda-benda lain yang bekas
digunakan/dipakai oleh pengindap, karena pengaruh suhu dan rentang pH. Suhu
yang cocok untuk organisme ini adalah 30-37℃ dan rentang pH adalah 7,2-7,4
(Efrida, 2014).
Sifilis dapat disembuhkan pada tahap awal infeksi, tetapi apabila dibiarkan
penyakit ini dapat menjadi infeksi yang sistemik dan kronik. Infeksi sifilis dibagi
menjadi sifilis stadium dini dan lanjut. Sifilis stadium dini terbagi menjadi sifilis
primer, sekunder, dan laten dini. Sifilis stadium lanjut termasuk sifilis tersier
(gumatous, sifilis kardiovaskular dan neurosifilis) serta sifilis laten lanjut
(Efrida, 2014).
Pemeriksaan serologi biasanya dilakukan pada pasien sifilis laten dan sifilis
stadium tersier, karena pada keadaan tersebut lesi pada kulit dan mukosa tidak
ditemukan lagi. Pemeriksaan serologi ini berguna untuk mendeteksi antibodi
terhadap Treponemal pallidum. Ada dua jenis pemeriksaan serologi pada
Treponemal pallidum yaitu uji nontreponemal dan treponemal. Uji
nontreponemal biasanya digunakan untuk skrining karena biayanya murah dan
mudah dilakukan. Uji treponemal digunakan untuk konfirmasi diagnosis
(Ratnam, 2005).
Tes serologi sifilis terdiri atas dua jenis, yaitu tes non-treponema yang
terdiri dari tes RPR (Rapid Plasma Reagin) dan VDRL (Venereal Disease
Research Laboratory), dan tes spesifik terhadap treponema terdiri dari tes
TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination Assay), TP Rapid (Treponema
Pallidum Rapid), TP-PA (Treponema Pallidum Particle Agglutination Assay),
FTA-ABS (Fluorescent Treponemal Antibody Absorption) (Sinaga, 2019).
Pada praktikum pada Senin, 17 Februari 2020 dilakukan percobaan
mengenai pemeriksaan TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination Assay)
menggunakan spesimen berupa serum. Treponema Pallidum Hemagglutination
Assay (TPHA) merupakan suatu pemeriksaan serologi untuk sifilis. Pada
awalnya untuk skirining penyakit sifilis menggunakan pemeriksaan VDRL atau
RPR apabila hasil reaktif kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan TPHA
sebagai konfirmasi. TPHA dijadikan test konfirmasi dikarenakan TPHA
merupakan tes yang sangat spesifik untuk melihat apakah adanya antibodi
terhadap Treponema pallidum. Jika di dalam tubuh terdapat bakteri ini, maka
hasil tes dinyatakan positif. Hasil tes TPHA negatif dapat terjadi setelah
dilakukan pengobatan dalam kurun waktu 6 - 24 bulan Kemungkinan tes TPHA
menjadi negatif setelah pengobatan sifilis dini sangat jarang (Sinaga, 2019).
Prinsip pemeriksaan TPHA adalah terjadi aglutinasi akibat eritrosit domba
yang permukaannya telah dilapisi antigen Treponema pallidum yang direaksikan
dengan anti-Treponema yang ada dalam serum pasien. Tujuan dari pemeriksaan
TPHA untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap Treponema pallidum
dalam serum manusia. Tes TPHA menjadi reaktif setelah sifilis primer telah
mapan dan apabila telah reaktif akan tetap reaktif di dalam waktu yang lama,
walaupun terjadi penurunan antibodi setelah pengobatan (Sinaga, 2019).
Dari praktikum yang telah dilakukan pada hari Senin, 1 Februari 2020
mengenai Pemeriksaan TPHA dengan sampel mahasiswa atas nama Rama, umur
20 tahun dengan jenis kelamin laki-laki didapatkan negatif (-) yang ditandai
dengan tidak terbentuknya haemaglutinasi atau adanya pengendapan sel pada
dasar sumur seperti titik jika dibandingkan dengan test cells (eritrosit avian yang
telah disensitisasi dengan T. Pallidum) yaitu terbentuk haemaglutinasi (positif)
dan control cells (eritrosit avian) yaitu tidak terbentuk haemaglutinasi (negatif).
Sehingga hasil negatif menunjukan bahwa pada serum pasien tidak terdapat
antibodi T. Pallidum.

++
-

Gambar 3. Interpretasi Hasil Pemeriksaan TPHA

Pengujian TPHA menggunakan prinsip aglutinasi, sehingga


pemeriksaannyapun harus dilakukan secara hati – hati, dilakukan oleh orang
yang terlatih serta pengerjaannyapun harus sesuai dengan kit insert ataupun
standar operasional prosedur. Apabila tidak dilakukan dengan benar, maka akan
mengalami kesalahan saat pemeriksaan TPHA. Kesalahan dalam pemeriksaan
TPHA dapat menyebabkan hasil positif palsu, maupun negatif palsu (Nursyifa,
2016).
Penyebab hasil negatif palsu atau positif palsu pada TPHA dikarenakan
(Nursyifa, 2016) ;
1. Serum yang digunakan adalah serum yang belum membentuk antibodi
antitreponema atau kadarnya kurang dari 18 mg/dL, atau ada dalam masa
inkubasi.
2. Serum yang digunakan terinfeksi penyakit yang lebih berat sehingga
berkompetisi, seperti HIV.
3. Terinfeksi treponema lain seperti T.pertenue dan T.carateum.
4. Sudah melakukan pengobatan dengan terapi penisilin pada sifilis dini
5. Menggunakan reagen TPHA yang sudah kadaluarsa atau terkontaminasi.
6. Pemipetan yang salah baik serum maupun reagen sehingga menimbulkan
hasil pemeriksaan yang salah.
Keuntungan penggunaan tes TPHA adalah lebih spesifik dan sensitif jika
dibandingkan dengan tes lainnya, dimana teknik serta hasilnya dapat dibaca
dengan mudah dan selain bakteri yang berasal dari keluarga Treponema, tidak
ada yang memberikan hasil positif dalam tes ini. Kekurangan TPHA yaitu
kurang sensitif jika diaplikasikan sebagai tes skrining yang merupakan tahap
awal pemeriksaan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan
TPHA antara lain waktu pembacaan yang kurang dari 1 jam dapat memberikan
hasil positif palsu dimana haemaglutinasi belum terbentuk sempurna. Serum
yang lisis juga dapat mempengaruhi hasil dimana dapat terjadi positif palsu
(Sinaga, 2019).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sifilis adalah penyakit infeksi disebabkan oleh Treponema pallidum
subspesies pallidum (T. pallidum), merupakan penyakit kronis dan
bersifat sistemik. Treponema pallidum merupakan bakteri gram negatif,
berbentuk spiral yang ramping dengan lebar kira-kira 0,2 µm dan panjang
5-15 µm.
Dari praktikum yang telah dilakukan pada hari Senin, 1 Februari
2020 mengenai Pemeriksaan TPHA dengan sampel mahasiswa atas nama
Rama, umur 20 tahun dengan jenis kelamin laki-laki didapatkan negatif (-)
yang ditandai dengan tidak terbentuknya haemaglutinasi atau adanya
pengendapan sel pada dasar sumur seperti titik jika dibandingkan dengan
test cells (eritrosit avian yang telah disensitisasi dengan T. Pallidum) yaitu
terbentuk haemaglutinasi (positif) dan control cells (eritrosit avian) yaitu
tidak terbentuk haemaglutinasi (negatif). Sehingga hasil negatif
menunjukan bahwa pada serum pasien tidak terdapat antibodi T. Pallidum.
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING PRAKTIKUM

Dosen Pembimbing Dosen Pembimbing

Heri Setiyo Bekti, S.ST.,M.Biomed Putu Ayu Suryaningsih, S.ST

Nama Mahasiswa TTD

Dewa Putu Gde Sad Sohini Atmaja

Ni Kadek Purnami Dewi

Kadek Ayu Kartiana Praba Yanti

Dina Suryadin Ningsih

Ni Luh Putu Yunita Andarini

Ni Made Nia Puspayanti


DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. (2011). Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular
Seksual. Kementrian Kesehatan RI Dirjen PP dan PL.

Efrida & Elvinawaty. (2014). Imunopatogenesis Treponema pallidum dan


Pemeriksaan Serologi. Jurnal Kesehatan Andalas. 3(3), 572-587

Holmes KX, Sparling PF, Stam WE, Piot P, Wasserheit J, Corey L, et al. (2008).
In: Sexually Transmitted Disease 4rd. New York: McGraw Hill. p661 –
84

Hutapea NO. (2001). Sifilis . Dalam : Daili SF, Makes WIB, Zubier F, Judanarso
J, editor. Penyakit Menular seksual, edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 85-103.

Indiarsa, AL. & Hutomo, M. (2010). Sifilis Sekunder dengan Manifestasi Klinis
Kondilomata Lata. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin. 22(3), 211-
215.

Janier M, Hegyi V, Dupin N, Unemo M, Tiplica GS, Potocnik M, et al. (2014).


European Guideline on the Management of Syphilis. J Eur Acad Dermatol
Venereol. 28(1):1- 29

Jesus MBD, Ehlers MM, Dreyer W, Kock NM. (2013). Mini Riview: Syphilis. J
FORTAMex. p1787-1798

Josodiwondo S. (1998). Treponema Pallidum. Dalam: Daili SF, Erdina HDP,


Dwikarya M, Sugito TL, Menaldi SL, penyunting. Perkembangan terakhir
penanggulangan sifilis dan frambusia. Jakarta: FKUI, 11-21.

Kementerian Kesehatan RI. 2013. Pedoman Tata Laksana Sifilis untuk


Pengendalian Sifilis di Layanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Dirjen PP dan
PL.

Klausner, JD & Hook, EW. (2007). Current Diagnosis & Treatment Sexually
Transmitted Disease. New York:McGraw Hill Companies
Lafond, RE & Lukehart, SA. (2006). biological basis for syphilis. Clin. Microbiol.
(19)29.

Mutmainnah E, Farida Z, Emmy SD, Sjaiful FD. 2011. Sensitivitas dan Spesifitas
Rapid Test Hexagon Syphilis® Menggunakan Spesimen Serum dan
Fingerprick Whole Blood Terhadap Treponema Pallidum
Hemagglutination Assay (TPHA). Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS dr. Cipto
Mangunkusumo.

Nursyifa, Eva. 2016. Uji Diagnostik Pemeriksaan Sifilis Metode


Imunokromatografi Sifilis Dibandingkan dengan TPHA. Repository
Poltekkes Bandung, accessed February 19, 2020,
http://repository.poltekkesbdg.info/items/show/461.

Partogi, Donna. 2008. Evaluasi Beberapa Tes Treponemal Terhadap Sifilis. Medan
: FK.USU/RSUP H.Adam Malik/RS.Dr.Piringadi.

Pommerville, JC. (2010). Syphilis is a chronic infection disease. In: Alcamo’s


Fundamentals Of Microbiology, Body Systems Edition, Jones And Bartlett
Publishers.

Prince, SA & Wilson, LM. (2006). Sifilis dalam Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit, 6th, Penerbit Buku Kedokteran EGC:Jakarta.

Ratnam S., 2005. The laboratory diagnosis of syphilis. Can J Infect Dis Med
Microbiol, Canadian STI Best Practice Laboratory Guidelines.

Ryan KJ. Spirochetes, in Sherris Medical Microbiology, 4th ed, editor Ryan KJ,
Ray CG, Mcgraw-Hill Medical Publishing Division, New York; 2014.hlm.
421-9.

Saputri, BYA. & Murtiastutik, D. (2019). Studi Retrospektif: Sifilis Laten.


Periodical of Dermatology and Venereology. 31(1), 46-54.

Sinaga, H. (2019). Hasil Pemeriksaan Treponema pallidum Haemagglutination


Assay dan Treponema pallidum Rapid pada Penderita Sifilis di Balai
Laboratorium Kesehatan Provinsi Papua. Jurnal Penelitian Kesehatan
Suara Forikes. 10(2), 88-92

Singh, AE & Romanowski, B. (1999). Syphilis: review with emphasis on clinical,


epidemiologic, and some biologic features, in Clinical Microbiology
Reviews. (12), 187–209.

Sokolovskiy E, Frigo N, Rotanov S, Savicheva A, Dolia O, Kitajeva N, et al.


(2009). Guidelines fot the laboratory diagnosis of syphilis in East
European countries. J EADV. 23(1):623-32.

Suryani, DPA. & Sibero, HT. (2014). SYPHILIS. J Majority. 3(7), 7-16.

Wiesman j, Lofy K, Terletter S, Goldoft MJ. (2014). A Monthly Bulletin on


Epidemiology and Public Health Practice in Washington. Washington State
Departemen of Health. J Epitrends. 19(1):1-3
LAMPIRAN

A. Alat dan Bahan

Mikropipet Piring/well Reagen Kit TPHA

Tip kuning Serum

B. Cara Kerja Pemeriksaan TPHA


Dipipet 190 μl Dimasukkan Diluent Dipipet 10 μl serum
Diluent yang telah dipipet
pada sumur 1

Dimasukkan serum Setelah itu Dipipet 25 μl Diluent


yang telah dipipet ke dihomogenkan yang telah
dalam sumur 1 yang menggunakan pipet. dihomogenkan
terlah berisi Diluent Jangan sampai ada
gelembung

Dimasukan ke dalam Dimasukan ke dalam Dipipet 75 μl Control


sumur ke 2 sebanyak sumur ke 3 sebanyak Cells
25 μl 25 μl
Dimasukan ke dalam Setelah itu Dipipet 75 μl Test Cells
sumur ke 2 dihomogenkan
menggunakan pipet.
Jangan sampai ada
gelembung

Dimasukan ke dalam Setelah itu Diketuk piring dengan


sumur ke 3 dihomogenkan lembut untuk
menggunakan pipet. mencampur campuran
Jangan sampai ada tersebut
gelembung
Ditutup dengan Setelah itu diinkubasi Hasil yang di dapat
aluminium foil pada tempat gelap dilihat dari bawah piring
selama 45 menit pada
suhu ruang

C. Cara Kerja Pemeriksaan Control

Dipipet Diluent Dimasukan Diluent Ditambahkan dengan


sebanyak 75 μl pada sumur 5 Control cells
sebanyak 25 μl pada
sumur 5
Dipipet Control Dimasukan Control Dipipet Control
Positif sebanyak 25 Positif pada sumur 6 Negatif sebanyak 25
μl μl

Dimasukan Control Dipipet Test Cells Dimasukan Test Cells


Negatif pada sumur 7 sebanyak 75 μl pada sumur 6

Dipipet Control Cells Dimasukan Control Ditutup dengan


sebanyak 75 μl Cells pada sumur 7 aluminium foil dan
diinkubasi selama 45
menit pada suhu ruang

Hasil yang di dapat


setelah diamati

Anda mungkin juga menyukai