Anda di halaman 1dari 9

KONTROL TRANSLASI PADA RESISTENSI

ANTIBIOTIK

Disusun Oleh :
dr. Jesika Wulandari
dr. Selli Novita Belinda
dr. Asima Juliyana Siregar
dr. Anisa Karamina Wardani

Pembimbing :
Dra. Lusia Hayati, M.Sc

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MUHAMMAD HOESIN PALEMBANG 2020
Kontrol Translasi pada Resistensi Antibiotik

Banyak antibiotik yang tersedia di klinik sekarang ini secara langsung bekerja
menghambat traslasi bakteri. Terlepas dari keberhasilan obat-obat tersebut di masa lalu,
efikasi obat tersebut menurun sejalan dengan penyebaran resistensi antibiotik. Melalui
penggunaan modifikasi ribosom, protein proteksi ribosom, faktor elongasi translasi dan
mistranslasi, banyak patogen yang dapat menyebabkan resistensi terhadap terapi yang
umum. Meski demikian, saat ini penemuan obat-obatan lebih berfokus pada penyelesaian
masalah melalui modifikasi atau penemuan pemilihan penatalaksanaan terbaru. Disini,
kami menyediakan tinjauan umum dari mekanisme resistensi hingga translation-targeting
drugs dan merangkum beberapa terobosan penting dalam perkembangan obat-obatan
terkini.

1. Pendahuluan
Sintesis protein adalah proses penting yang dibutuhkan oleh semua organisme
hidup. Melalui proses translasi, ribosom membaca RNA transcript messenger dan
mensintesis urutan protein yang dikodekan. Dengan perkembangan antibiotik, infeksi
yang dulunya mengancam jiwa sekarang dapat dibereskan dalam hitungan hari.
Namun kini bakteri dengan cepat mengakuisisi dan berevolusi menghasilkan
mekanisme perlawanan untuk menghindari pemberantasan. Penggunaan antibiotik
yang berlebihan dan tidak rasional telah memfasilitasi peningkatan dan penyebaran
patogen yang multidrug-resistant. Dengan penemuan terkini kelas antibiotik baru,
infeksi yang saat ini dapat diobati justru dapat menjadi mematikan. Beberapa ulasan
baru-baru ini telah menyajikan pandangan mendalam tentang mekanisme aksi target
translasi antibiotic dan mutasi spesifik yang menyebabkan resistensi.

2. Formasi Resistensi
2.1 Modifikasi ribosom
Ribosom adalah pusat produksi protein di dalam sel. Terdiri dari sepenuhnya
RNA ribosom (rRNA) dan protein, ribosom bakteri terdiri dari subunit besar 50 S
dan kecil 30 S. Karena sifat ribosom yang besar dan kompleks, aktivitasnya dapat
dihambat oleh berbagai metode dengan antibiotik yang mengikat di lokasi yang
berbeda. Contohnya, aminoglikosida umumnya menargetkan subunit 30 S,
mencegah translokasi atau mengikat tRNA A-site dan mendorong miscoding,
sementara macrolides mengikat peptida yang baru keluar dari tunel pada subunit
50 S, mencegah ikatan formasi peptida dan translokasi. Meskipun kedua kelas
antibiotik mempertahankan aktivitas yang berbeda, keduanya efisien dalam
menghentikan translasi. Modifikasi ribosom adalah salah satu bentuk langsung
dari resistensi antibiotik. Meski modifikasi ribosom efektif dalam mencegah
pengikatan antibiotik, namun mereka tetap memiliki batasan. Beberapa modifikasi
ribosom mengubah translasi dan menghasilkan kemampuan organism tersebut
untuk bereplikasi dan bertahan hidup di lingkungan tertentu. Oleh karena itu,
modifikasi ribosom hanya digunakan saat diperlukan saja.
Untuk organisme yang menyimpan banyak salinan gen rRNA, metilasi rRNA
adalah mode resistensi yang ideal, dimana setiap ribosom dapat menerima
modifikasi tanpa perlu memperoleh mutasi yang sama persis di setiap rRNA
digenom. Namun, pada organisme yang memiliki jumlah gen rRNA yang relatif
rendah, jumlah salinan tidak lagi menjadi kendala untuk pengembangan resistensi
mutasi, contohnya adalah Mycobacterium tuberculosis.

2.2 Protein Proteksi Ribosom


Sebagai metode alternatif pencegahan pengikatan antibiotik, banyak bakteri
menggunakan protein proteksi ribosom (RPP). RPP akan menghambat aktivitas
obat tanpa mengubah aktivitas ribosom secara permanen. Melalui pengikatan
langsung dan reversibel pada ribosom, beberapa RPP berbeda telah diidentifikasi
yang dapat mencegah pengikatan obat atau bahkan mengeluarkan obat yang
menargetkan subunit 50 S atau 30 S (Gambar 2).
Gambar 2. Protein Proteksi Ribosom (a) TetM mengikat 16 S rRNA pada subunit 30 S
untuk mengeluarkan tetrasiklin. (b) VmlR mengikat situs E dan meluas ke sentral
peptidyl transfer untuk mengeluarkan 50 S target obat seperti steptogramin A atau
lincosamide.

TetM dan TetO keduanya adalah RPP yang menghambat aktivitas tetrasiklin,
antibiotik yang secara langsung menargetkan subunit 30 S dan mencegah
pengikatan a-tRNA di situs A. Studi struktural telah menunjukkan bahwa
perlindungan yang diberikan oleh protein ini ada dua. Pertama, TetM (atau TetO)
akan mengikat dan menyebabkan perubahan konformasi pada ribosom. Perubahan
struktural ini mengganggu ikatan utama antara tetrasiklin dan ribosom dan
melepaskannya dari kantong ikatannya. Kedua, konformasi baru ini mencegah obat
dari rebinding, serta mempotensiasi perlindungan lanjutan. Dengan demikian,
melalui kedua aktivitas ini, TetO dan TetM efektif dalam mencegah pengikatan
obat tetrasiklin dan mengeluarkan obat yang pernah terikat (gambar 2a).
Kelas kedua dari RPP adalah protein resistensi antibiotik (ARE) ATP yang
mengikat Cassete F (ABCF). ARE ABCF adalah keluarga protein yang telah
terbukti memediasi resistensi terhadap beragam obat dengan penargetan 50 S.
Dinamakan seperti itu karena kemampuan mereka untuk mengikat dan
menghidrolisis adenosin trifosfat (ATP), bukti terbaru menunjukkan mereka juga
menghidrolisis nukleotida trifosfat lainnya (NTP). Rata-rata, bakteri
mempertahankan empat ABCF per genom, dengan yang paling banyak ditemukan
di Firmicutes dan Actinobacteria.
2.3 Faktor Translasi
Meskipun ribosom merupakan pusat utama sintesis protein, ribosom tidak
dapat berfungsi dengan baik tanpa bantuan faktor translasi tambahan. Faktor
translasi elongation factor G (EF-G) adalah GTPase esensial yang mengkatalisasi
translokasi tRNA melalui ribosom. Aktivitas EF-G dapat secara langsung atau tidak
langsung dihambat melalui penggunaan beberapa obat yang berbeda. Sebagai
contoh, asam fusidic mengikat langsung ke EF-G dan menjebaknya dengan
mengikatnya ke ribosom. Secara efisien akan menghentikan translasi, resistensi
asam fusid dapat dengan mudah diperoleh melalui mutasi di titik EF-G yang
mengubah aktivitas obat.
Selain EF-G, ribosom juga membutuhkan GTPase esensial lainnya, elongation
factor Tu (EF-Tu). EF-Tu mengikat aminoasilasi tRNA dan mengantarnya ke
ribosom situs-A. Setelah dipasangkan dengan kodon-antikodon, EF-Tu akan
menghidrolisis guanosintrifosfat (GTP), melepaskan aa-tRNA dan memisahkan
dari ribosom.

2.4 Resistensi dimediasi Mistranslasi


Selama translasi, ribosom harus memasangkan setiap kodon secara benar
dengan tRNA aminoasil yang sesuai, sehingga asam amino akan dimasukkan ke
dalam rantai peptida yang baru. Meskipun akurasi dalam proses ini sangat penting
untuk menjaga ketepatan kode genetik, kesalahan dalam translasi telah
diperkirakan setinggi 10−4 per kodon. Kesalahan dalam translasi ini biasanya
disebut sebagai mistranslasi dan telah terbukti mempengaruhi resistensi antibiotik
dalam beberapa cara yang berbeda.
Pertama, mutasi pada protein ribosom dapat memiliki dampak yang signifikan
pada aktivitas ribosom, sering meningkatkan atau mengurangi akurasi dekoding
tergantung pada lokasi mutasi. Sebagai contoh, sebelumnya telah diamati bahwa
mutasi protein ribosom RpsD menghasilkan peningkatan yang nyata dalam
mistranslasi.
Kedua, mistranslasi muncul dari kesalahan aminoasililasi tRNA. Aminoacyl
tRNA synthetases (aaRSs) adalah enzim yang bertanggung jawab untuk
memasangkan setiap tRNA dengan asam amino yang sama. Kesalahan dalam
proses ini dapat menyebabkan misasilasi tRNA yang salah yang kemudian
digunakan untuk translasi, memungkinkan asam amino yang tidak sama untuk
dimasukkan ke dalam protein. Mutasi aaRS dan protein terkait dapat mengganggu
ketepatan aminoasililasi dan memungkinkan terjadinya mistranslasi. Mutasi seperti
ini sering ditemukan pada isolat klinis yang menunjukkan peningkatan resistensi
antibiotik.
Mutasi pada aaRS juga telah terbukti mempengaruhi resistensi antibiotik
melalui efek tidak langsung.

3. Batas Baru dalam Pengembangan Antibiotik


Mekanisme resistensi di klinik telah diidentifikasi dan terjadi pada hampir semua
penghambat translasi. Karena banyak dari obat ini yang digunakan secara tidak tepat,
resistensi kemungkinan akan terus menyebar sampai obat ini tidak dapat digunakan lagi.
Adanya ancaman serius ini menyebabkan perlunya pengembangan pengobatan baru.
Mengingat keberhasilan masa lalu dari terapi penghambat translasi tersebut, banyak
yang mengembangkan strategi baru dalam menghambat proses translasi. Saat ini,
sekitar sepertiga dari obat baru yang dikembangkan adalah untuk menghambat proses
translasi.
3.1 Penemuan Antibiotik Baru
Sebagian besar antibiotik yang digunakan saat ini diidentifikasi dari
Actinomycetes yang tinggal di tanah. Namun, karena hanya 1% dari bakteri ini
yang dapat di kultur di laboratorium, jumlah senyawa yang diidentifikasi dari
organisme ini terbatas. Pada organisme yang sebelumnya tidak dapat dikultur,
beberapa antibiotik baru yang menjanjikan telah dapat diidentifikasi.
Beberapa antibiotik baru yang telah diidentifikasi antara lain:
1. Ekstrak Xenorhabdu bekerja dengan menghambat translasi.
2. Odilorhabdin mengikat subunit ribosom 30 S dan menginduksi terjadinya
kegagalan dan kesalahan pengkodean ribosom, hal ini mungkin melalui
peningkatan afinitas asam amino tRNA pada ruang A.
Odilorhabdin memiliki spektrum antimikroba untuk yang luas pada patogen
Gram positif dan Gram negatif serta menunjukkan tingkat toksisitas yang
rendah.
3. Teixobactin, penghambat biosintesis dinding sel, diidentifikasi dalam
Eleftheria terrae, suatu organisme yang sebelumnya tidak dapat diolah.
Meskipun teixobactin tidak menghambat translaso, penemuan ini menyoroti
adanya potensi penemuan obat penghambat translasi baru pada organisme yang
sebelumnya tidak dapat dikultur.

3.2 Modifikasi Antibiotik yang Telah Ada


Beberapa modifikasi antibiotik yang telah ditemukan antara lain:
1. Modifikasi tetrasiklin yaitu aminometisiklin dan fluorosiklin yang telah diakui
oleh FDA
2. Plazomicin, modifikasi dari aminoglikosida, efektif dalam mengatasi resistensi
obat
3. Aminoasil, derivat dari kloramfenikol yang memiliki afinitas ikatan yang
tinggi terhadap ribosom
4. Nafithromycin dan Solithromycin derivate sari ketolide efektif mencegah
resistensi terhadap antibiotik makrolid.
5. Oxazolidinone/quinolone hibrid yang sedang dalam penelitian untuk
pengobatan Clostridium difficile.

3.3 Penggunaan translasi dalam pengembangan adjuvant


Salah satu alternatif dalam menyelesaikan pembentukan obat baru adalah
dengan mengidentifikasi kompenen yang dapat digunakan dalam meningkatkan
potensi terapi saat ini. Terapi tambahan seperti ini dapat dikatakan sebagai
adjuvan, dan mereka memiliki berbagai manfaat dalam pengembangan obat-obatan
di masa yang akan datang. Adjuvan memiliki potensi untuk memperluas
penggunaan obat-obatan dan secara langsung mengatasi mekanisme resistensi.
Terdapat beberapa pengembangan strategi baru untuk menemukan adjuvan yang
dapat meningkatkan potensi penghambat translasi. Salah satu strategi dalam
pengembangan adjuvan adalah dengan mengidentifikasi komponen yang dapat
meningkatkan efektifitas obat-obatan yang telah ada saat ini dalam mengatasi
bakteri spektrum luas. Banyak obat-obat hidrofobik tidak efektif dalam
menghadapi mikroorganisme Gram negatif, karena terdapat membran di bagian
luar yang mencegah penetrasi dari obat-obat tersebut. Hal ini menyebatkan
terdapat lebih sedikit terapi untuk mengatasi infeksi Gram negatif. Polymyxin B
non-apeptide (PMBN), pentamidin dan oligoacyl-lysyls (OAKs) merupakan
molekul-molelul kecil yang memiliki permeabilitas terhadap membran terluar dari
bakteri Gram negatif dan dapat terjadi penetrasi penghambat translasi yang lebih
efisien.
Strategi alternatif dalam pengembangan adjuvan adalah dengan
mengidentifikasi obat-obat yang secara langsung dapat menghambat faktor
resistensi. Sebagai contoh, resistensi terhadap aminoglikosida sering diatasi
dengan aminoglycoside-modifying enzymes (AMEs) yang dapat menginaktivasi
aminoglikosida dengan penambahan asetilasi atau fosforilasi. Patogen juga dapat
mengakibatkan mistranslasi sebagai salah satu bentuk dari resistensi dengan
menargetkan residu dan mencegah terjadinya ikatan antibiotik. Sebagai contoh, M.
Tuberculosis bergantung pada mistranslasi dari RpoB untuk mencegah ikatan
dengan rifampisin. Oleh karena itu, perlu dilakukan pencegahan dari mistranslasi
M. Tuberculosis dengan mengembangkan terapi adjuvan untuk meningkatkan
potensi dari rifampisin. Translasi bakteri juga dapat menjadi target dari
pengembangan terapi adjuvan. Elongation factor P (EF-P) merupakan faktor
transalasi yang dibutuhkan translasi dari poliprolin yang efektif. Perlu diperhatikan
bahwa walaupun EF-P diperlukan untuk menjaga homeostasis proteom dan
resistensi antibiotik, hal ini dibatasi oleh perkembangan yang cepat. Bukti terbaru
menyatakan bahwa aktivitas dari EF-P dapat dihilangkan dalam kondisi yang
dapat menghambat pertumbuhan seperti suhu yang rendah dan pembatasan nutrisi,
yang diduga terjadi akibat penurunan translasi.

Kesimpulan :
Translasi bakteri telah berhasil digunakan dalam pengembangan antibiotik. Walaupun
dengan mekanisme kerja yang beragam, penghambat translasi telah digunakan sebagai
pengobatan dalam berbagai macam infeksi dan telah berhasil menyelamatkan banyak jiwa.
Bagaimanapun juga, seiring dengan meningkatnya penyebaran patogen resisten antibiotik,
terapi ini menjadi jarang digunakan. Ancaman ini dengan cepat menjadi krisis kesehatan
global, yang menyebabkan ribuan kematian dan terjadi peningkatan penambahan biaya
kesehatan. Para ilmuwan telah melakukan berbagai usaha untuk menangani resistensi
antibiotik melalui penghambat translasi, akan tetapi terdapat keterbatasan pada
penghambat translasi. Translasi merupakan suatu proses yang penting, dan hambatan pada
semua proses yang dibutuhkan pada viabilitas menghasilkan tekanan selektif yang luas.
Hanya patogen yang telah berubah atau telah menjadi resisten yang dapat bertahan.
Penghambat translasi juga dapat memiliki efek samping yang tidak diinginkan.
Pengembangan obat-obatan baru yang tidak memiliki tekanan selektif yang kuat dapat
menjadi sebuah tantangan. Masalah tambahan dalam pengembangan obat baru di
kemudian hari adalah persistensi, yaitu suatu fase yang menyebabkan bakteri bertahan
terhadap antibiotik dan tetap mengalami pertumbuhan selama terapi. Persitensi dan
resistensi terhadap antibiotik telah mengalami peningkatan dan penghambat translasi tidak
efeketif terhadap patogen seperti ini. Terlepas dari masalah yang dapat ditemukan dalam
pengembangan obat baru, penghambat translasi telah terbukti dapat menjadi terapi yang
efektif. Dengan strategi baru pada identifikasi dan pembentukan antibiotik, translasi dapat
menjadi suatu solusi yang baik terhadap resistensi antibiotik.

Anda mungkin juga menyukai