Kehidupan awal
Soedirman lahir dari pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem saat pasangan ini tinggal di
rumah saudari Siyem yang bernama Tarsem di Rembang, Bodas Karangjati, Purbalingga, Hindia
Belanda. Tarsem sendiri bersuamikan seorang camat
bernama Raden Cokrosunaryo.[b][c][1][2] Menurut catatan keluarga, Soedirman –dinamai oleh
pamannya –lahir pada Minggu pon di bulan Maulud dalam penanggalan Jawa; pemerintah
Indonesia kemudian menetapkan 24 Januari 1916 sebagai hari ulang tahun Soedirman. Karena
kondisi keuangan Cokrosunaryo yang lebih baik, ia mengadopsi Soedirman dan memberinya
gelar Raden, gelar kebangsawanan pada suku Jawa.[1] Soedirman tidak diberitahu bahwa
Cokrosunaryo bukanlah ayah kandungnya sampai ia berusia 18 tahun.[3] Setelah Cokrosunaryo
pensiun sebagai camat pada akhir 1916, Soedirman ikut dengan keluarganya ke
Manggisan, Cilacap. Di tempat inilah ia tumbuh besar.[1] Di Cilacap, Karsid dan Siyem memiliki
seorang putra lain bernama Muhammad Samingan. Karsid meninggal dunia saat Soedirman
berusia enam tahun, dan Siyem menitipkan kedua putranya pada saudara iparnya dan kembali ke
kampung halamannya di Parakan Onje, Ajibarang.[1][4][5]
Soedirman dibesarkan dengan cerita-cerita kepahlawanan, juga diajarkan etika dan tata
krama priyayi,[6] serta etos kerja dan kesederhanaan wong cilik, atau rakyat jelata.[7] Untuk
pendidikan agama, ia dan adiknya mempelajari Islam di bawah bimbingan Kyai Haji Qahar;
Soedirman adalah anak yang taat agama dan selalu shalat tepat waktu. Ia dipercaya untuk
mengumandangkan adzan dan iqamat.[8] Saat berusia tujuh tahun, Soedirman terdaftar di sekolah
pribumi (hollandsch inlandsche school).[6][9] Meskipun hidup berkecukupan, keluarga
Soedirman bukanlah keluarga kaya. Selama menjabat sebagai camat, Cokrosunaryo tidak
mengumpulkan banyak kekayaan, dan di Cilacap ia bekerja sebagai penyalur mesin
jahit Singer.[4]
Pada tahun kelimanya bersekolah, Soedirman diminta untuk berhenti sekolah
sehubungan dengan ejekan yang diterimanya di sekolah milik pemerintah;[d] permintaan ini
awalnya ditolak, namun Soedirman dipindahkan ke sekolah menengah milik Taman Siswa pada
tahun ketujuh sekolah.[6][9][10] Pada tahun kedelapan, Soedirman pindah ke Sekolah Menengah
Wirotomo[e] setelah sekolah Taman Siswa ditutup oleh Ordonansi Sekolah Liar karena diketahui
tidak terdaftar.[10][11][12] Kebanyakan guru Soedirman di Wirotomo adalah nasionalis Indonesia,
yang turut mempengaruhi pandangannya terhadap penjajah Belanda. [11] Soedirman belajar
dengan tekun di sekolah; gurunya Suwarjo Tirtosupono menyatakan bahwa Soedirman sudah
mempelajari pelajaran tingkat dua pada saat kelas masih mempelajari pelajaran tingkat satu.
Meskipun lemah dalam pelajaran kaligrafi Jawa, Soedirman sangat pintar dalam pelajaran
matematika, ilmu alam, dan menulis, baik bahasa Belanda maupun Indonesia.[13] Soedirman juga
menjadi semakin taat agama di bawah bimbingan gurunya, Raden Muhammad Kholil. Teman-
teman sekelasnya memanggilnya "haji" karena ketaatannya dalam beribadah, dan Soedirman
juga memberikan ceramah agama kepada siswa lain.[14] Selain belajar dan beribadah, Soedirman
juga berpartisipasi dalam kelompok musik sekolah dan bergabung dengan tim sepak
bola sebagai bek.[15] Kematian Cokrosunaryo pada tahun 1934 menyebabkan keluarganya jatuh
miskin, namun ia tetap diizinkan untuk melanjutkan sekolahnya tanpa membayar sampai ia lulus
pada akhir tahun.[14][16] Setelah kepergian ayah tirinya, Soedirman mencurahkan lebih banyak
waktunya untuk mempelajari Sunnah dan doa.[17] Pada usia 19 tahun, Soedirman menjadi guru
praktik di Wirotomo.[11]
Saat bersekolah di Wirotomo, Soedirman adalah anggota Perkumpulan Siswa Wirotomo, klub
drama, dan kelompok musik.[18] Ia membantu mendirikan cabang Hizboel Wathan, sebuah
organisasi Kepanduan Putra milik Muhammadiyah. Soedirman menjadi pemimpin Hizboel
Wathan cabang Cilacap setelah lulus dari Wirotomo;[19][20] tugasnya adalah menentukan dan
merencanakan kegiatan kelompoknya. Soedirman menekankan perlunya pendidikan agama,
bersikeras bahwa kontingen dari Cilacap harus menghadiri konferensi Muhammadiyah di
seluruh Jawa.[21] Ia mengajari para anggota muda Hizboel Wathan[f] tentang sejarah Islam dan
pentingnya moralitas, sedangkan pada anggota yang lebih tua ia berlakukan disiplin militer.[22]
Mengajar
Setelah lulus dari Wirotomo, Soedirman belajar selama satu tahun
di Kweekschool (sekolah guru) yang dikelola oleh Muhammadiyah di Surakarta, tetapi berhenti
karena kekurangan biaya.[23] Pada 1936, ia kembali ke Cilacap untuk mengajar di sebuah
sekolah dasar Muhammadiyah, setelah dilatih oleh guru-gurunya di Wirotomo. Pada tahun yang
sama, Soedirman menikahi Alfiah, mantan teman sekolahnya dan putri seorang
pengusaha batik kaya bernama Raden Sastroatmojo.[24][25] Setelah menikah, Soedirman tinggal
di rumah mertuanya di Cilacap agar ia bisa menabung untuk membangun rumah
sendiri.[24] Pasangan ini kemudian dikaruniai tiga orang putra; Ahmad Tidarwono, Muhammad
Teguh Bambang Tjahjadi, dan Taufik Effendi, serta empat orang putri; Didi Praptiastuti, Didi
Sutjiati, Didi Pudjiati, dan Titi Wahjuti Satyaningrum.[25][26]
Sebagai guru, Soedirman mengajarkan murid-muridnya pelajaran moral dengan
menggunakan contoh dari kehidupan para rasul dan kisah wayang tradisional.[24] Salah seorang
muridnya menyatakan bahwa Soedirman adalah guru yang adil dan sabar yang akan
mencampurkan humor dan nasionalisme dalam pelajarannya; hal ini membuatnya populer di
kalangan muridnya.[27] Meskipun bergaji kecil, Soedirman tetap mengajar dengan giat.
Akibatnya, dalam beberapa tahun Soedirman diangkat menjadi kepala sekolah meskipun tidak
memiliki ijazah guru.[28] Sebagai hasilnya, gaji bulanannya meningkat empat kali lipat dari
tiga gulden menjadi dua belas setengah gulden. Sebagai kepala sekolah, Soedirman mengerjakan
berbagai tugas-tugas administrasi, termasuk mencari jalan tengah di antara guru yang berseteru.
Seorang rekan kerjanya mengisahkan bahwa Soedirman adalah seorang pemimpin yang moderat
dan demokratis.[29] Ia juga aktif dalam kegiatan penggalangan dana, baik untuk kepentingan
pembangunan sekolah ataupun untuk pembangunan lainnya.[30]
Revolusi Nasional
Setelah berita tentang pengeboman Hiroshima dan Nagasaki
mencapai Hindia pada awal Agustus 1945, yang kemudian diikuti oleh proklamasi
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus,[46] kontrol
Jepang sudah mulai melemah. Soedirman memimpin pelarian dari
pusat penahanan di Bogor. Meskipun rekannya sesama tahanan ingin
menyerang tentara Jepang, Soedirman menentang hal itu. Setelah memerintahkan yang lainnya
untuk kembali ke kampung halamannya, Soedirman berangkat menuju Jakarta dan bertemu
dengan Presiden Soekarno, yang memintanya untuk memimpin perlawanan terhadap pasukan
Jepang di kota. Karena tidak terbiasa dengan lingkungan Jakarta, Soedirman menolaknya, ia
malah menawarkan diri untuk memimpin pasukan di Kroya. Soedirman bergabung dengan
pasukannya pada tanggal 19 Agustus 1945.[47][48] Pada saat yang bersamaan, pasukan Sekutu
sedang dalam proses merebut kembali kepulauan Indonesia untuk Belanda,[j] tentara Inggris
pertama kali tiba pada tanggal 8 September 1945.[49]
Pada tanggal 22 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam
sidangnya memutuskan untuk membentuk tiga badan sebagai wadah untuk menyalurkan potensi
perjuangan rakyat. Badan tersebut adalah Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasional
Indonesia (PNI), dan Badan Keamanan Rakyat (BKR).[50] BKR merupakan bagian dari Badan
Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang semula bernama Badan Pembantu Prajurit,
dan kemudian menjadi Badan Pembantu Pembelaan (BPP). BPP sudah ada sejak zaman Jepang
dan bertugas memelihara kesejahteraan anggota-anggota tentara PETA dan Heihō.[50] Pada
tanggal 18 Agustus 1945, Jepang membubarkan PETA dan Heihō. Tugas untuk menampung
mantan anggota PETA dan Heihō ditangani oleh BPKKP.[51] Pembentukan BKR merupakan
perubahan dari hasil sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 yang telah memutuskan untuk
membentuk Tentara Kebangsaan, yang diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 23
Agustus 1945.[50] BKR ini berfungsi sebagai organisasi kepolisian,[52] terutama karena pemimpin
politik saat itu yang berniat memanfaatkan diplomasi sebagai sarana penggalangan bantuan
internasional terhadap negara baru, dan juga untuk memungkinan tentara Jepang melihatnya
sebagai sebuah ancaman bersenjata sehingga mencegah kemunculan tentara Jepang yang masih
ada di nusantara.[53]
Soedirman dan beberapa rekannya sesama tentara PETA mendirikan cabang BKR di
Banyumas pada akhir Agustus, setelah sebelumnya singgah di Kroya dan mengetahui bahwa
batalion di sana telah dibubarkan. Dalam pertemuannya dengan komandan wilayah Jepang,
Saburo Tamura, dan Residen Banyumas, Iwashige, Soedirman dan Iskak Cokroadisuryo
memaksa Jepang untuk menyerahkan diri dan memberikan senjata mereka, sementara
kerumunan warga Indonesia bersenjata mengepung kamp Jepang. Sebagian besar senjata ini
kemudian digunakan oleh unit BKR Soedirman, menjadikan unitnya sebagai salah satu unit
dengan senjata terbaik di Indonesia; sisa senjata juga dibagikan kepada batalion lain.[54][55][56][57]
Sebagai negara yang baru merdeka dan belum memiliki militer yang professional, pada
tanggal 5 Oktober 1945 Soekarno mengeluarkan dekret pembentukan Tentara Keamanan
Rakyat (TKR, sekarang dikenal dengan Tentara Nasional Indonesia). Sebagian besar
personelnya adalah mantan tentara KNIL, sedangkan perwira tinggi berasal dari PETA dan
Heihō.[58] Dekret mengangkat Soeprijadi sebagai Panglima Besar TKR, namun ia tidak
muncul,[k] dan kepala staff Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo ditetapkan sebagai pemimpin
sementara.[59] Pada bulan Oktober, pasukan Inggris, yang bertugas melucuti senjata tentara
Jepang dan memulangkan tawanan perang Belanda, tiba di Semarang, dan kemudian bergerak
menuju Magelang. Ketika Inggris mulai mempersenjatai kembali tentara Belanda yang menjadi
tawanan perang dan sepertinya sedang mempersiapkan sebuah pangkalan militer di Magelang,
Soedirman –yang sekarang menjadi kolonel – mengirim beberapa pasukannya di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Isdiman untuk mengusir mereka; misi ini berhasil, dan tentara Eropa
menarik diri dari Ambarawa, di tengah-tengah Magelang dan Semarang.[60] Pada 20 Oktober,
Soedirman membawahi Divisi V[l] setelah Oerip membagi Pulau Jawa menjadi divisi militer
yang berbeda.[61]
Pada tanggal 12 November 1945, dalam pertemuan pertama TKR, Soedirman terpilih
sebagai pemimpin TKR setelah melalui pemungutan suara buntu dua tahap. Pada tahap ketiga,
Oerip mengumpulkan 21 suara, sedangkan Soedirman unggul dengan 22 suara; para komandan
divisi Sumatra semuanya memilih Soedirman.[m][62][63][64] Soedirman, yang saat itu berusia 29
tahun, terkejut atas hasil pemilihan dan menawarkan diri untuk melepas posisi tersebut kepada
Oerip, namun para peserta rapat tidak mengizinkannya. Oerip, yang telah kehilangan kendali
dalam pertemuan bahkan sebelum pemungutan suara dimulai, merasa senang karena tidak lagi
bertanggung jawab atas TKR. Soedirman tetap menunjuk Oerip sebagai kepala staff. Sesuai
dengan jabatan barunya, Soedirman dipromosikan menjadi Jenderal.[65][66][67] Setelah pertemuan,
Soedirman kembali ke Banyumas sembari menunggu persetujuan pemerintah dan mulai
mengembangkan strategi mengenai bagaimana mengusir tentara Sekutu.[66][68] Rakyat Indonesia
khawatir bahwa Belanda, yang diboncengi oleh Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA),
akan berupaya untuk merebut kembali nusantara. Tentara gabungan Belanda-Inggris telah
mendarat di Jawa pada bulan September, dan pertempuran besar telah terjadi di Surabaya pada
akhir Oktober dan awal November.[69] Ketidakstabilan ini, serta keraguan Soekarno atas
kualifikasi Soedirman,[n] menyebabkan terlambatnya pengangkatan Soedirman sebagai
pemimpin TKR.[70]
Sambil menunggu pengangkatan, pada akhir November Soedirman memerintahkan
Divisi V untuk menyerang pasukan Sekutu di Ambarawa, sekali lagi dikomandoi oleh Isdiman;
kota itu dianggap penting secara strategis karena memiliki barak militer dan fasilitas pelatihan
yang sudah ada sejak zaman penjajahan. Serangan ini dilumpuhkan oleh serangan udara dan
tank-tank Sekutu, yang memaksa divisi untuk mundur, Isdiman sendiri tewas dalam
pertempuran, terbunuh oleh pemberondong P-51 Mustang.[71][72] Soedirman kemudian
memimpin Divisi dalam serangan lain terhadap pasukan Sekutu; tentara Indonesia dipersenjatai
dengan berbagai senjata, mulai dari bambu runcing dan katana sitaan sebagai senjata, sedangkan
tentara Inggris dipersenjatai dengan peralatan modern. Soedirman memimpin di barisan depan
sambil memegang sebuah katana.[73] Sekutu, yang fasilitas serangan udaranya telah musnah saat
tentara gerilya menyerang Lapangan Udara Kalibanteng di Semarang, berhasil dipukul mundur
dan bersembunyi di Benteng Willem. Pada 12 Desember, Soedirman memimpin pengepungan
empat hari, yang menyebabkan pasukan Sekutu mundur ke Semarang.[o][68][74]
Pertempuran Ambarawa membuat Soedirman lebih diperhatikan di tingkat
nasional,[55] dan membungkam bisik-bisik yang menyatakan bahwa ia tidak layak menjadi
pemimpin TKR karena kurangnya pengalaman militer dan pekerjaannya sebelumnya adalah
guru sekolah.[75] Pada akhirnya, Soedirman dipilih karena kesetiaannya yang tidak diragukan,
sementara kesetiaan Oerip kepada Belanda dipandang dengan penuh kecurigaan. Soedirman
dikukuhkan sebagai panglima besar TKR pada tanggal 18 Desember 1945.[70] Posisinya sebagai
kepala Divisi V digantikan oleh Kolonel Sutiro,[61] dan mulai berfokus pada masalah-masalah
strategis.[76] Hal yang dilakukannya antara lain dengan membentuk dewan penasihat, yang
bertugas memberikan saran mengenai masalah-masalah politik dan militer.[p] Oerip sendiri
menangani masalah-masalah militer.[77]
Bersama-sama, Soedirman dan Oerip mampu mengurangi perbedaan dan rasa
ketidakpercayaan yang tumbuh di antara mantan tentara KNIL dan PETA, meskipun beberapa
tentara tidak bersedia tunduk kepada militer pusat, dan lebih memilih untuk mengikuti
komandan batalion pilihan mereka. Pemerintah mengganti nama Angkatan Perang sebanyak dua
kali pada Januari 1946, yang pertama adalah Tentara Keselamatan Rakjat, kemudian diganti lagi
menjadi Tentara Repoeblik Indonesia (TRI).[78][79][80] Pergantian nama ini diakhiri dengan
membentuk secara resmi angkatan laut dan angkatan udara pada awal 1946.[79] Sementara itu,
pemerintah Indonesia memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta – sekarang di bawah
kontrol Belanda – ke Yogyakarta pada bulan Januari; delegasi yang dipimpin oleh Perdana
Menteri Sutan Sjahrir melakukan negosiasi dengan Belanda pada bulan April dan Mei terkait
dengan pengakuan kedaulatan Indonesia, namun tidak berhasil.[81] Pada tanggal 25 Mei,
Soedirman dikukuhkan kembali sebagai panglima besar setelah reorganisasi dan perluasan
militer.[79][78][82] Dalam upacara pengangkatannya, Soedirman bersumpah untuk melindungi
republik "sampai titik darah penghabisan."[q][83] Menteri Pertahanan yang berhaluan kiri, Amir
Sjarifuddin, memperoleh kekuasaan yang lebih besar setelah reorganisasi militer. Ia mulai
mengumpulkan para tentara sosialis dan komunis di bawah kontrolnya, termasuk unit
paramiliter (laskar) sayap kiri yang setia dan didanai oleh berbagai partai politik.[r] Sjarifuddin
melembagakan program pendidikan politik di tubuh angkatan perang, yang bertujuan untuk
menyebarkan ideologi sayap kiri. Memanfaatkan militer sebagai alat manuvering politik tidak
disetujui oleh Soedirman dan Oerip, yang pada saat itu disibukkan dengan penerapan perlakuan
yang sama bagi tentara dari latar belakang militer berbeda.[84][85][86] Namun, rumor yang beredar
mengabarkan bahwa Soedirman sedang mempersiapkan sebuah kudeta;[87] upaya kudeta tersebut
terjadi pada awal Juli 1946, dan peran Soedirman, kalaupun ada, tidak dapat
dipastikan.[s][88] Pada bulan Juli, Soedirman mengonfirmasi rumor ini melalui pidato yang
disiarkan di Radio Republik Indonesia (RRI), menyatakan bahwa ia, seperti semua rakyat
Indonesia, adalah abdi negara,[87] dan jika dirinya ditawari jabatan presiden, ia akan
menolaknya.[89] Di kemudian hari, ia menyatakan bahwa militer tidak memiliki tempat dalam
politik, begitu juga sebaliknya.[90]
Peninggalan
Surat kabar harian Yogyakarta, Kedaulatan Rakjat, menulis bahwa Indonesia telah
kehilangan seorang "pahlawan yang jujur dan pemberani."[aa][148] Kolonel Paku Alam VIII, yang
bertanggung jawab atas wilayah Yogyakarta, mengatakan kepada kantor berita
nasional Antara bahwa seluruh rakyat Indonesia, khususnya angkatan perang, telah "kehilangan
seorang bapak yang tidak ternilai jasa-jasanya kepada tanah air".[ab][55] Tokoh Muslim
Indonesia, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, menggambarkan sosok Soedirman sebagai
"lambang dari kebangunan jiwa pahlawan Indonesia",[ac][90] sedangkan politisi
Muslim Muhammad Isa Anshary menyatakan bahwa Soedirman adalah "putra revolusi, karena
dia lahir dalam revolusi, dan dibesarkan oleh revolusi".[ad][154] Dalam sebuah pidato radio, Hatta
mengungkapkan bahwa Soedirman adalah sosok yang tidak mungkin bisa dikendalikan dan
keras kepala, tetapi tetap bertekad untuk melakukan yang benar bagi negara; Hatta berkata
meskipun Soedirman tidak menyukai jabatan pemerintahan, ia secara umum tetap mematuhi
perintahnya.[55] Namun, Hamengkubuwono IX mengungkapkan bahwa tentara terlatih
seperti Abdul Haris Nasution dan Tahi Bonar Simatupang kecewa terhadap Soedirman karena
latar belakang dan pengetahuan teknik militernya yang buruk.[155]