Anda di halaman 1dari 11

BIOGRAFI JENDRAL SOEDIRMAN

Jenderal Besar Raden Soedirman (EYD: Sudirman; lahir 24 Januari 1916 –


[a]
meninggal 29 Januari 1950 pada umur 34 tahun ) adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada
masa Revolusi Nasional Indonesia. Sebagai panglima besar Tentara Nasional Indonesia pertama,
ia adalah sosok yang dihormati di Indonesia. Terlahir dari pasangan rakyat
biasa di Purbalingga, Hindia Belanda, Soedirman diadopsi oleh pamannya yang seorang priyayi.
Setelah keluarganya pindah ke Cilacap pada tahun 1916, Soedirman tumbuh menjadi seorang
siswa rajin; ia sangat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk mengikuti program
kepanduan yang dijalankan oleh organisasi Islam Muhammadiyah. Saat di sekolah menengah,
Soedirman mulai menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi, dan
dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya pada Islam. Setelah berhenti kuliah keguruan,
pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang guru, dan kemudian menjadi kepala sekolah, di
sekolah dasar Muhammadiyah; ia juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan
menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1937. Setelah Jepang
menduduki Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar. Pada tahun 1944, ia
bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang, menjabat
sebagai komandan batalion di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya
sesama prajurit melakukan pemberontakan, namun kemudian diasingkan ke Bogor.

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945,


Soedirman melarikan diri dari pusat penahanan, kemudian pergi ke Jakarta untuk bertemu
dengan Presiden Soekarno. Ia ditugaskan untuk mengawasi proses penyerahan diri
tentara Jepang di Banyumas, yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal Badan
Keamanan Rakyat. Pasukannya lalu dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober oleh
panglima sementara Oerip Soemohardjo, dan Soedirman bertanggung jawab atas divisi tersebut.
Pada tanggal 12 November 1945, dalam sebuah pemilihan untuk menentukan panglima besar
TKR di Yogyakarta, Soedirman terpilih menjadi panglima besar, sedangkan Oerip, yang telah
aktif di militer sebelum Soedirman lahir, menjadi kepala staff. Sembari menunggu
pengangkatan, Soedirman memerintahkan serangan terhadap pasukan Inggris dan Belanda
di Ambarawa. Pertempuran ini dan penarikan diri tentara Inggris menyebabkan semakin kuatnya
dukungan rakyat terhadap Soedirman, dan ia akhirnya diangkat sebagai panglima besar pada
tanggal 18 Desember. Selama tiga tahun berikutnya, Soedirman menjadi saksi kegagalan
negosiasi dengan tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang
pertama adalah Perjanjian Linggarjati –yang turut disusun oleh Soedirman – dan
kemudian Perjanjian Renville –yang menyebabkan Indonesia harus mengembalikan wilayah
yang diambilnya dalam Agresi Militer I kepada Belanda dan penarikan 35.000 tentara Indonesia.
Ia juga menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk upaya kudeta pada 1948. Ia kemudian
menyalahkan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai penyebab penyakit tuberkulosis-nya; karena
infeksi tersebut, paru-paru kanannya dikempeskan pada bulan November 1948.
Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman keluar dari rumah sakit,
Belanda melancarkan Agresi Militer II untuk menduduki Yogyakarta. Pada saat pemimpin-
pemimpin politik berlindung di kraton sultan, Soedirman, beserta sekelompok kecil tentara dan
dokter pribadinya, melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai
perlawanan gerilya selama tujuh bulan. Awalnya mereka diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi
Soedirman dan pasukannya berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, di
dekat Gunung Lawu. Dari tempat ini, ia mampu mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa,
termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Letnan
Kolonel Soeharto. Ketika Belanda mulai menarik diri, Soedirman dipanggil kembali ke
Yogyakarta pada bulan Juli 1949. Meskipun ingin terus melanjutkan perlawanan terhadap
pasukan Belanda, ia dilarang oleh Presiden Soekarno. Penyakit TBC yang diidapnya kambuh; ia
pensiun dan pindah ke Magelang. Soedirman wafat kurang lebih satu bulan setelah Belanda
mengakui kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki,
Yogyakarta.
Kematian Soedirman menjadi duka bagi seluruh rakyat Indonesia. Bendera setengah
tiang dikibarkan dan ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan prosesi upacara pemakaman.
Soedirman terus dihormati oleh rakyat Indonesia. Perlawanan gerilyanya ditetapkan sebagai
sarana pengembangan esprit de corps bagi tentara Indonesia, dan rute gerilya sepanjang 100-
kilometer (62 mi) yang ditempuhnya harus diikuti oleh taruna Indonesia sebelum lulus
dari Akademi Militer. Soedirman ditampilkan dalam uang kertas rupiah keluaran 1968, dan
namanya diabadikan menjadi nama sejumlah jalan, universitas, museum, dan monumen. Pada
tanggal 10 Desember 1964, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Kehidupan awal
Soedirman lahir dari pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem saat pasangan ini tinggal di
rumah saudari Siyem yang bernama Tarsem di Rembang, Bodas Karangjati, Purbalingga, Hindia
Belanda. Tarsem sendiri bersuamikan seorang camat
bernama Raden Cokrosunaryo.[b][c][1][2] Menurut catatan keluarga, Soedirman –dinamai oleh
pamannya –lahir pada Minggu pon di bulan Maulud dalam penanggalan Jawa; pemerintah
Indonesia kemudian menetapkan 24 Januari 1916 sebagai hari ulang tahun Soedirman. Karena
kondisi keuangan Cokrosunaryo yang lebih baik, ia mengadopsi Soedirman dan memberinya
gelar Raden, gelar kebangsawanan pada suku Jawa.[1] Soedirman tidak diberitahu bahwa
Cokrosunaryo bukanlah ayah kandungnya sampai ia berusia 18 tahun.[3] Setelah Cokrosunaryo
pensiun sebagai camat pada akhir 1916, Soedirman ikut dengan keluarganya ke
Manggisan, Cilacap. Di tempat inilah ia tumbuh besar.[1] Di Cilacap, Karsid dan Siyem memiliki
seorang putra lain bernama Muhammad Samingan. Karsid meninggal dunia saat Soedirman
berusia enam tahun, dan Siyem menitipkan kedua putranya pada saudara iparnya dan kembali ke
kampung halamannya di Parakan Onje, Ajibarang.[1][4][5]
Soedirman dibesarkan dengan cerita-cerita kepahlawanan, juga diajarkan etika dan tata
krama priyayi,[6] serta etos kerja dan kesederhanaan wong cilik, atau rakyat jelata.[7] Untuk
pendidikan agama, ia dan adiknya mempelajari Islam di bawah bimbingan Kyai Haji Qahar;
Soedirman adalah anak yang taat agama dan selalu shalat tepat waktu. Ia dipercaya untuk
mengumandangkan adzan dan iqamat.[8] Saat berusia tujuh tahun, Soedirman terdaftar di sekolah
pribumi (hollandsch inlandsche school).[6][9] Meskipun hidup berkecukupan, keluarga
Soedirman bukanlah keluarga kaya. Selama menjabat sebagai camat, Cokrosunaryo tidak
mengumpulkan banyak kekayaan, dan di Cilacap ia bekerja sebagai penyalur mesin
jahit Singer.[4]
Pada tahun kelimanya bersekolah, Soedirman diminta untuk berhenti sekolah
sehubungan dengan ejekan yang diterimanya di sekolah milik pemerintah;[d] permintaan ini
awalnya ditolak, namun Soedirman dipindahkan ke sekolah menengah milik Taman Siswa pada
tahun ketujuh sekolah.[6][9][10] Pada tahun kedelapan, Soedirman pindah ke Sekolah Menengah
Wirotomo[e] setelah sekolah Taman Siswa ditutup oleh Ordonansi Sekolah Liar karena diketahui
tidak terdaftar.[10][11][12] Kebanyakan guru Soedirman di Wirotomo adalah nasionalis Indonesia,
yang turut mempengaruhi pandangannya terhadap penjajah Belanda. [11] Soedirman belajar
dengan tekun di sekolah; gurunya Suwarjo Tirtosupono menyatakan bahwa Soedirman sudah
mempelajari pelajaran tingkat dua pada saat kelas masih mempelajari pelajaran tingkat satu.
Meskipun lemah dalam pelajaran kaligrafi Jawa, Soedirman sangat pintar dalam pelajaran
matematika, ilmu alam, dan menulis, baik bahasa Belanda maupun Indonesia.[13] Soedirman juga
menjadi semakin taat agama di bawah bimbingan gurunya, Raden Muhammad Kholil. Teman-
teman sekelasnya memanggilnya "haji" karena ketaatannya dalam beribadah, dan Soedirman
juga memberikan ceramah agama kepada siswa lain.[14] Selain belajar dan beribadah, Soedirman
juga berpartisipasi dalam kelompok musik sekolah dan bergabung dengan tim sepak
bola sebagai bek.[15] Kematian Cokrosunaryo pada tahun 1934 menyebabkan keluarganya jatuh
miskin, namun ia tetap diizinkan untuk melanjutkan sekolahnya tanpa membayar sampai ia lulus
pada akhir tahun.[14][16] Setelah kepergian ayah tirinya, Soedirman mencurahkan lebih banyak
waktunya untuk mempelajari Sunnah dan doa.[17] Pada usia 19 tahun, Soedirman menjadi guru
praktik di Wirotomo.[11]
Saat bersekolah di Wirotomo, Soedirman adalah anggota Perkumpulan Siswa Wirotomo, klub
drama, dan kelompok musik.[18] Ia membantu mendirikan cabang Hizboel Wathan, sebuah
organisasi Kepanduan Putra milik Muhammadiyah. Soedirman menjadi pemimpin Hizboel
Wathan cabang Cilacap setelah lulus dari Wirotomo;[19][20] tugasnya adalah menentukan dan
merencanakan kegiatan kelompoknya. Soedirman menekankan perlunya pendidikan agama,
bersikeras bahwa kontingen dari Cilacap harus menghadiri konferensi Muhammadiyah di
seluruh Jawa.[21] Ia mengajari para anggota muda Hizboel Wathan[f] tentang sejarah Islam dan
pentingnya moralitas, sedangkan pada anggota yang lebih tua ia berlakukan disiplin militer.[22]

Mengajar
Setelah lulus dari Wirotomo, Soedirman belajar selama satu tahun
di Kweekschool (sekolah guru) yang dikelola oleh Muhammadiyah di Surakarta, tetapi berhenti
karena kekurangan biaya.[23] Pada 1936, ia kembali ke Cilacap untuk mengajar di sebuah
sekolah dasar Muhammadiyah, setelah dilatih oleh guru-gurunya di Wirotomo. Pada tahun yang
sama, Soedirman menikahi Alfiah, mantan teman sekolahnya dan putri seorang
pengusaha batik kaya bernama Raden Sastroatmojo.[24][25] Setelah menikah, Soedirman tinggal
di rumah mertuanya di Cilacap agar ia bisa menabung untuk membangun rumah
sendiri.[24] Pasangan ini kemudian dikaruniai tiga orang putra; Ahmad Tidarwono, Muhammad
Teguh Bambang Tjahjadi, dan Taufik Effendi, serta empat orang putri; Didi Praptiastuti, Didi
Sutjiati, Didi Pudjiati, dan Titi Wahjuti Satyaningrum.[25][26]
Sebagai guru, Soedirman mengajarkan murid-muridnya pelajaran moral dengan
menggunakan contoh dari kehidupan para rasul dan kisah wayang tradisional.[24] Salah seorang
muridnya menyatakan bahwa Soedirman adalah guru yang adil dan sabar yang akan
mencampurkan humor dan nasionalisme dalam pelajarannya; hal ini membuatnya populer di
kalangan muridnya.[27] Meskipun bergaji kecil, Soedirman tetap mengajar dengan giat.
Akibatnya, dalam beberapa tahun Soedirman diangkat menjadi kepala sekolah meskipun tidak
memiliki ijazah guru.[28] Sebagai hasilnya, gaji bulanannya meningkat empat kali lipat dari
tiga gulden menjadi dua belas setengah gulden. Sebagai kepala sekolah, Soedirman mengerjakan
berbagai tugas-tugas administrasi, termasuk mencari jalan tengah di antara guru yang berseteru.
Seorang rekan kerjanya mengisahkan bahwa Soedirman adalah seorang pemimpin yang moderat
dan demokratis.[29] Ia juga aktif dalam kegiatan penggalangan dana, baik untuk kepentingan
pembangunan sekolah ataupun untuk pembangunan lainnya.[30]

Masa pendudukan Jepang


Ketika Perang Dunia II pecah di Eropa, diperkirakan bahwa Jepang, yang telah bergerak
mendekati Cina daratan, akan berupaya menginvasi Hindia. Sebagai tanggapan, pemerintah
kolonial Belanda –yang sebelumnya membatasi pelatihan militer bagi pribumi – mulai
mengajari rakyat cara-cara menghadapi serangan udara. Menindaklanjuti hal ini, Belanda
kemudian membentuk tim Persiapan Serangan Udara. Soedirman, yang disegani oleh
masyarakat, diminta untuk memimpin tim di Cilacap. Selain mengajari warga setempat
mengenai prosedur keselamatan untuk menghadapi serangan udara, Soedirman juga mendirikan
pos pemantau di seluruh daerah. Ia dan Belanda juga menangani pesawat udara yang
menjatuhkan material untuk mensimulasikan pengeboman; hal ini bertujuan untuk
mempertinggi tingkat respon.[35]
Jepang mulai menduduki Hindia pada awal 1942 setelah memenangkan beberapa
pertempuran melawan pasukan Belanda dan tentara Koninklijk Nederlands-Indische
Leger (KNIL) yang dilatih oleh Belanda. Pada 9 Maret 1942, Gubernur Jenderal Tjarda van
Starkenborgh Stachouwer dan Jenderal KNIL Hein ter Poorten menyerah. Peristiwa ini
menimbulkan perubahan drastis dalam pemerintahan nusantara dan dan semakin memperburuk
kualitas hidup warga non-Jepang di Hindia, banyak masyarakat pribumi yang menderita dan
mengalami pelanggaran hak asasi manusia di tangan Jepang.[36] Di Cilacap, sekolah tempat
Soedirman mengajar ditutup dan dialih fungsikan menjadi pos militer;[37] ini adalah bagian dari
upaya pemerintah untuk menutup sekolah-sekolah swasta.[g][38] Setelah Soedirman berhasil
meyakinkan Jepang untuk membuka kembali sekolah, ia dan guru lainnya terpaksa
menggunakan perlengkapan standar. Selama periode ini, Soedirman juga terlibat dalam
beberapa organisasi sosial dan kemanusiaan, termasuk sebagai ketua Koperasi Bangsa
Indonesia.[37] Hal ini membuatnya semakin dihormati di kalangan masyarakat Cilacap.[39]
Pada awal 1944, setelah menjabat selama satu tahun sebagai perwakilan di dewan
karesidenan yang dijalankan oleh Jepang (Syu Sangikai),[40] Soedirman diminta untuk bergabung
dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA). Jepang sendiri mendirikan PETA pada Oktober
1943 untuk membantu menghalau invasi Sekutu,[40][41] dan berfokus dalam merekrut para
pemuda yang belum "terkontaminasi" oleh pemerintah Belanda.[42] Meskipun sempat ragu-ragu,
terutama karena cedera lutut yang dialaminya ketika masih remaja, Soedirman akhirnya setuju
untuk memulai pelatihan di Bogor, Jawa Barat. Sehubungan dengan posisinya di masyarakat,
Soedirman dijadikan sebagai komandan (daidanco) dan dilatih bersama orang lain dengan
pangkat yang sama. Di Bogor, ia dilatih oleh para perwira dan tentara Jepang, para taruna
dipersenjatai dengan peralatan yang disita dari Belanda. Setelah empat bulan pelatihan,
Soedirman ditempatkan di batalion Kroya, Banyumas, Jawa Tengah, tidak jauh dari
Cilacap.[h][40][41][43][44]
Jabatan Soedirman sebagai komandan PETA berlalu tanpa banyak peristiwa hingga
tanggal 21 April 1945, ketika tentara PETA di bawah komando Kusaeri mulai melancarkan
pemberontakan terhadap Jepang. Diperintahkan untuk menghentikan pemberontakan tersebut,
Soedirman setuju untuk melakukannya dengan syarat agar pemberontak PETA tidak dibunuh,
dan lokasi persembunyian mereka tidak dimusnahkan; syarat ini diterima oleh komandan
Jepang, dan Soedirman beserta pasukannya mulai mencari para pemberontak. Meskipun anak
buah Kusaeri berhasil menembak komandan Jepang, Soedirman melalui pengeras suara
mengumumkan bahwa mereka tidak akan dibunuh, dan para pemberontak pun
mundur.[45] Kusaeri menyerah pada tanggal 25 April.[i] Peristiwa ini meningkatkan dukungan
terhadap Soedirman di kalangan tentara Jepang, meskipun beberapa perwira tinggi Jepang
menyatakan keprihatinannya atas dukungan Soedirman bagi kemerdekaan Indonesia. Soedirman
dan anak buahnya kemudian dikirim ke sebuah kamp di Bogor dengan alasan akan dilatih;
namun sebenarnya mereka dipekerjakan sebagai pekerja kasar dalam upaya untuk mencegah
pemberontakan lebih lanjut, dan desas-desus mengatakan bahwa perwira PETA akan
dibunuh.[46]

Revolusi Nasional
Setelah berita tentang pengeboman Hiroshima dan Nagasaki
mencapai Hindia pada awal Agustus 1945, yang kemudian diikuti oleh proklamasi
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus,[46] kontrol
Jepang sudah mulai melemah. Soedirman memimpin pelarian dari
pusat penahanan di Bogor. Meskipun rekannya sesama tahanan ingin
menyerang tentara Jepang, Soedirman menentang hal itu. Setelah memerintahkan yang lainnya
untuk kembali ke kampung halamannya, Soedirman berangkat menuju Jakarta dan bertemu
dengan Presiden Soekarno, yang memintanya untuk memimpin perlawanan terhadap pasukan
Jepang di kota. Karena tidak terbiasa dengan lingkungan Jakarta, Soedirman menolaknya, ia
malah menawarkan diri untuk memimpin pasukan di Kroya. Soedirman bergabung dengan
pasukannya pada tanggal 19 Agustus 1945.[47][48] Pada saat yang bersamaan, pasukan Sekutu
sedang dalam proses merebut kembali kepulauan Indonesia untuk Belanda,[j] tentara Inggris
pertama kali tiba pada tanggal 8 September 1945.[49]
Pada tanggal 22 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam
sidangnya memutuskan untuk membentuk tiga badan sebagai wadah untuk menyalurkan potensi
perjuangan rakyat. Badan tersebut adalah Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasional
Indonesia (PNI), dan Badan Keamanan Rakyat (BKR).[50] BKR merupakan bagian dari Badan
Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang semula bernama Badan Pembantu Prajurit,
dan kemudian menjadi Badan Pembantu Pembelaan (BPP). BPP sudah ada sejak zaman Jepang
dan bertugas memelihara kesejahteraan anggota-anggota tentara PETA dan Heihō.[50] Pada
tanggal 18 Agustus 1945, Jepang membubarkan PETA dan Heihō. Tugas untuk menampung
mantan anggota PETA dan Heihō ditangani oleh BPKKP.[51] Pembentukan BKR merupakan
perubahan dari hasil sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 yang telah memutuskan untuk
membentuk Tentara Kebangsaan, yang diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 23
Agustus 1945.[50] BKR ini berfungsi sebagai organisasi kepolisian,[52] terutama karena pemimpin
politik saat itu yang berniat memanfaatkan diplomasi sebagai sarana penggalangan bantuan
internasional terhadap negara baru, dan juga untuk memungkinan tentara Jepang melihatnya
sebagai sebuah ancaman bersenjata sehingga mencegah kemunculan tentara Jepang yang masih
ada di nusantara.[53]
Soedirman dan beberapa rekannya sesama tentara PETA mendirikan cabang BKR di
Banyumas pada akhir Agustus, setelah sebelumnya singgah di Kroya dan mengetahui bahwa
batalion di sana telah dibubarkan. Dalam pertemuannya dengan komandan wilayah Jepang,
Saburo Tamura, dan Residen Banyumas, Iwashige, Soedirman dan Iskak Cokroadisuryo
memaksa Jepang untuk menyerahkan diri dan memberikan senjata mereka, sementara
kerumunan warga Indonesia bersenjata mengepung kamp Jepang. Sebagian besar senjata ini
kemudian digunakan oleh unit BKR Soedirman, menjadikan unitnya sebagai salah satu unit
dengan senjata terbaik di Indonesia; sisa senjata juga dibagikan kepada batalion lain.[54][55][56][57]
Sebagai negara yang baru merdeka dan belum memiliki militer yang professional, pada
tanggal 5 Oktober 1945 Soekarno mengeluarkan dekret pembentukan Tentara Keamanan
Rakyat (TKR, sekarang dikenal dengan Tentara Nasional Indonesia). Sebagian besar
personelnya adalah mantan tentara KNIL, sedangkan perwira tinggi berasal dari PETA dan
Heihō.[58] Dekret mengangkat Soeprijadi sebagai Panglima Besar TKR, namun ia tidak
muncul,[k] dan kepala staff Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo ditetapkan sebagai pemimpin
sementara.[59] Pada bulan Oktober, pasukan Inggris, yang bertugas melucuti senjata tentara
Jepang dan memulangkan tawanan perang Belanda, tiba di Semarang, dan kemudian bergerak
menuju Magelang. Ketika Inggris mulai mempersenjatai kembali tentara Belanda yang menjadi
tawanan perang dan sepertinya sedang mempersiapkan sebuah pangkalan militer di Magelang,
Soedirman –yang sekarang menjadi kolonel – mengirim beberapa pasukannya di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Isdiman untuk mengusir mereka; misi ini berhasil, dan tentara Eropa
menarik diri dari Ambarawa, di tengah-tengah Magelang dan Semarang.[60] Pada 20 Oktober,
Soedirman membawahi Divisi V[l] setelah Oerip membagi Pulau Jawa menjadi divisi militer
yang berbeda.[61]
Pada tanggal 12 November 1945, dalam pertemuan pertama TKR, Soedirman terpilih
sebagai pemimpin TKR setelah melalui pemungutan suara buntu dua tahap. Pada tahap ketiga,
Oerip mengumpulkan 21 suara, sedangkan Soedirman unggul dengan 22 suara; para komandan
divisi Sumatra semuanya memilih Soedirman.[m][62][63][64] Soedirman, yang saat itu berusia 29
tahun, terkejut atas hasil pemilihan dan menawarkan diri untuk melepas posisi tersebut kepada
Oerip, namun para peserta rapat tidak mengizinkannya. Oerip, yang telah kehilangan kendali
dalam pertemuan bahkan sebelum pemungutan suara dimulai, merasa senang karena tidak lagi
bertanggung jawab atas TKR. Soedirman tetap menunjuk Oerip sebagai kepala staff. Sesuai
dengan jabatan barunya, Soedirman dipromosikan menjadi Jenderal.[65][66][67] Setelah pertemuan,
Soedirman kembali ke Banyumas sembari menunggu persetujuan pemerintah dan mulai
mengembangkan strategi mengenai bagaimana mengusir tentara Sekutu.[66][68] Rakyat Indonesia
khawatir bahwa Belanda, yang diboncengi oleh Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA),
akan berupaya untuk merebut kembali nusantara. Tentara gabungan Belanda-Inggris telah
mendarat di Jawa pada bulan September, dan pertempuran besar telah terjadi di Surabaya pada
akhir Oktober dan awal November.[69] Ketidakstabilan ini, serta keraguan Soekarno atas
kualifikasi Soedirman,[n] menyebabkan terlambatnya pengangkatan Soedirman sebagai
pemimpin TKR.[70]
Sambil menunggu pengangkatan, pada akhir November Soedirman memerintahkan
Divisi V untuk menyerang pasukan Sekutu di Ambarawa, sekali lagi dikomandoi oleh Isdiman;
kota itu dianggap penting secara strategis karena memiliki barak militer dan fasilitas pelatihan
yang sudah ada sejak zaman penjajahan. Serangan ini dilumpuhkan oleh serangan udara dan
tank-tank Sekutu, yang memaksa divisi untuk mundur, Isdiman sendiri tewas dalam
pertempuran, terbunuh oleh pemberondong P-51 Mustang.[71][72] Soedirman kemudian
memimpin Divisi dalam serangan lain terhadap pasukan Sekutu; tentara Indonesia dipersenjatai
dengan berbagai senjata, mulai dari bambu runcing dan katana sitaan sebagai senjata, sedangkan
tentara Inggris dipersenjatai dengan peralatan modern. Soedirman memimpin di barisan depan
sambil memegang sebuah katana.[73] Sekutu, yang fasilitas serangan udaranya telah musnah saat
tentara gerilya menyerang Lapangan Udara Kalibanteng di Semarang, berhasil dipukul mundur
dan bersembunyi di Benteng Willem. Pada 12 Desember, Soedirman memimpin pengepungan
empat hari, yang menyebabkan pasukan Sekutu mundur ke Semarang.[o][68][74]
Pertempuran Ambarawa membuat Soedirman lebih diperhatikan di tingkat
nasional,[55] dan membungkam bisik-bisik yang menyatakan bahwa ia tidak layak menjadi
pemimpin TKR karena kurangnya pengalaman militer dan pekerjaannya sebelumnya adalah
guru sekolah.[75] Pada akhirnya, Soedirman dipilih karena kesetiaannya yang tidak diragukan,
sementara kesetiaan Oerip kepada Belanda dipandang dengan penuh kecurigaan. Soedirman
dikukuhkan sebagai panglima besar TKR pada tanggal 18 Desember 1945.[70] Posisinya sebagai
kepala Divisi V digantikan oleh Kolonel Sutiro,[61] dan mulai berfokus pada masalah-masalah
strategis.[76] Hal yang dilakukannya antara lain dengan membentuk dewan penasihat, yang
bertugas memberikan saran mengenai masalah-masalah politik dan militer.[p] Oerip sendiri
menangani masalah-masalah militer.[77]
Bersama-sama, Soedirman dan Oerip mampu mengurangi perbedaan dan rasa
ketidakpercayaan yang tumbuh di antara mantan tentara KNIL dan PETA, meskipun beberapa
tentara tidak bersedia tunduk kepada militer pusat, dan lebih memilih untuk mengikuti
komandan batalion pilihan mereka. Pemerintah mengganti nama Angkatan Perang sebanyak dua
kali pada Januari 1946, yang pertama adalah Tentara Keselamatan Rakjat, kemudian diganti lagi
menjadi Tentara Repoeblik Indonesia (TRI).[78][79][80] Pergantian nama ini diakhiri dengan
membentuk secara resmi angkatan laut dan angkatan udara pada awal 1946.[79] Sementara itu,
pemerintah Indonesia memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta – sekarang di bawah
kontrol Belanda – ke Yogyakarta pada bulan Januari; delegasi yang dipimpin oleh Perdana
Menteri Sutan Sjahrir melakukan negosiasi dengan Belanda pada bulan April dan Mei terkait
dengan pengakuan kedaulatan Indonesia, namun tidak berhasil.[81] Pada tanggal 25 Mei,
Soedirman dikukuhkan kembali sebagai panglima besar setelah reorganisasi dan perluasan
militer.[79][78][82] Dalam upacara pengangkatannya, Soedirman bersumpah untuk melindungi
republik "sampai titik darah penghabisan."[q][83] Menteri Pertahanan yang berhaluan kiri, Amir
Sjarifuddin, memperoleh kekuasaan yang lebih besar setelah reorganisasi militer. Ia mulai
mengumpulkan para tentara sosialis dan komunis di bawah kontrolnya, termasuk unit
paramiliter (laskar) sayap kiri yang setia dan didanai oleh berbagai partai politik.[r] Sjarifuddin
melembagakan program pendidikan politik di tubuh angkatan perang, yang bertujuan untuk
menyebarkan ideologi sayap kiri. Memanfaatkan militer sebagai alat manuvering politik tidak
disetujui oleh Soedirman dan Oerip, yang pada saat itu disibukkan dengan penerapan perlakuan
yang sama bagi tentara dari latar belakang militer berbeda.[84][85][86] Namun, rumor yang beredar
mengabarkan bahwa Soedirman sedang mempersiapkan sebuah kudeta;[87] upaya kudeta tersebut
terjadi pada awal Juli 1946, dan peran Soedirman, kalaupun ada, tidak dapat
dipastikan.[s][88] Pada bulan Juli, Soedirman mengonfirmasi rumor ini melalui pidato yang
disiarkan di Radio Republik Indonesia (RRI), menyatakan bahwa ia, seperti semua rakyat
Indonesia, adalah abdi negara,[87] dan jika dirinya ditawari jabatan presiden, ia akan
menolaknya.[89] Di kemudian hari, ia menyatakan bahwa militer tidak memiliki tempat dalam
politik, begitu juga sebaliknya.[90]

Negosiasi dengan Belanda


Sementara itu, Sjahrir terus berusaha bernegosiasi dengan pasukan Sekutu. Pada tanggal
7 Oktober 1946, Sjahrir dan mantan Perdana Menteri Belanda, Wim Schermerhorn, sepakat
untuk melakukan gencatan senjata. Perundingan ini dimoderatori oleh diplomat Inggris Lord
Killearn, dan juga melibatkan Soedirman. Ia berangkat ke Jakarta dengan menggunakan kereta
khusus pada tanggal 20 Oktober. Namun, ia diperintahkan untuk kembali ke Yogyakarta setelah
tentara Belanda tidak mengizinkan dirinya dan anak buahnya memasuki Jakarta dengan
bersenjata. Soedirman merasa bahwa perintah tersebut melanggar harga dirinya; Belanda
kemudian meminta maaf, menyatakan bahwa peristiwa ini hanyalah kesalahpahaman.
Soedirman berangkat dengan kereta lainnya pada akhir Oktober, dan tiba di Stasiun
Gambir pada tanggal 1 November. Di Jakarta, ia disambut oleh kerumunan
besar.[91][92] Perundingan di Jakarta berakhir dengan perumusan Perjanjian Linggarjati pada
tanggal 15 November; perjanjian ini disahkan pada 25 Maret 1947, meskipun ditentang oleh
para nasionalis Indonesia.[93][94] Soedirman secara lantang juga menentang perjanjian tersebut
karena ia tahu bahwa perjanjian itu akan merugikan kepentingan Indonesia,[95] namun
menganggap dirinya juga wajib mengikuti perintah.[96]
Pada awal 1947, kondisi sudah relatif damai setelah Perjanjian Linggarjati. Soedirman
mulai berupaya untuk mengonsolidasikan TKR dengan berbagai laskar. Dalam upayanya ini,
Soedirman mulai melaksanakan reorganisasi militer; kesepakatan baru bisa tercapai pada Mei
1947, dan pada 3 Juni 1947, Tentara Nasional Indonesia (TNI) diresmikan. TNI terdiri dari TKR
dan tentara dari berbagai kelompok laskar,[95] yang berhasil dirangkul Soedirman setelah
mengetahui bahwa mereka dimanfaatkan oleh partai-partai politik.[97] Namun, gencatan senjata
yang berlangsung pasca Perjanjian Linggarjati tidak bertahan lama. Pada tanggal 21 Juli 1947,
tentara Belanda –yang telah menduduki wilayah peninggalan Inggris selama penarikan mereka –
melancarkan Agresi Militer, dan dengan cepat berhasil menguasai sebagian besar Jawa dan
Sumatra. Meskipun demikian, pemerintahan pusat di Yogyakarta tetap tak
tersentuh.[98] Soedirman menyerukan kepada para tentara untuk melawan dengan menggunakan
semboyan "Ibu Pertiwi memanggil!,[t][99] dan kemudian menyampaikan beberapa pidato melalui
RRI, namun upayanya ini gagal mendorong tentara untuk berperang melawan
Belanda.[100] Terlebih lagi, tentara Indonesia sedang tidak siap dan pertahanan mereka
ditaklukkan dengan cepat.[101]
Setelah ditekan oleh PBB, yang memandang situasi di bekas Hindia dengan remeh, pada
29 Agustus 1947 Belanda menciptakan Garis Van Mook. Garis ini membagi wilayah-wilayah
yang dikuasai oleh Belanda dan Indonesia. Di sepanjang garis ini, gencatan senjata
diberlakukan.[103] Soedirman memanggil para gerilyawan Indonesia yang bersembunyi di
wilayah taklukan Belanda, memerintahkan mereka agar kembali ke wilayah yang dikuasai
Indonesia. Untuk tetap mengobarkan semangat mereka, ia menyebut penarikan ini
dengan hijrah, merujuk pada perjalanan nabi Muhammad ke Madinah pada tahun 622 M, dan
meyakinkan bahwa mereka akan kembali.[104] Lebih dari 35.000 tentara meninggalkan Jawa
bagian barat dan berangkat menuju Yogyakarta dengan menggunakan kereta dan kapal
laut.[105] Perbatasan ini diresmikan melalui Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948;
penandatangan perjanjian ini di antaranya adalah Amir Sjarifuddin, yang pada saat itu menjabat
sebagai perdana menteri.[103] Pada saat yang bersamaan, Sjarifuddin mulai merasionalisasi TNI
(Program Re-Ra) dengan memangkas jumlah pasukan.[106] Pada saat itu, tentara reguler terdiri
dari 350.000 personel, dan lebih dari 470.00 terdapat di laskar.[107]
Dengan adanya program ini, pada tanggal 2 Januari 1948 Presiden Soekarno
mengeluarkan Keputusan Presiden No.1 Tahun 1948, yang memecah pucuk pimpinan TNI
menjadi Staf Umum Angkatan Perang dan Markas Besar Pertempuran. Staf Umum dimasukkan
ke dalam Kementerian Pertahanan di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP).
Sementara itu, Markas Besar Pertempuran dipimpin oleh seorang Panglima Besar Angkatan
Perang Mobil. Pucuk pimpinan TNI dan Staf Gabungan Angkatan Perang beserta seluruh
perwira militer dihapus, dan pangkatnya diturunkan satu tingkat. Presiden kemudian
mengangkat Soerjadi Soerjadarma sebagai Kepala Staf Angkatan Perang dengan Kolonel T.B.
Simatupang sebagai wakilnya. Sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Mobil diangkat
Soedirman. Staf Umum Angkatan Perang bertugas sebagai perencana taktik dan siasat serta
berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan, sedangkan Staf Markas Besar Angkatan Perang
Mobil adalah pelaksana taktis operasional.[108]
Keputusan Presiden ini menimbulkan reaksi di kalangan angkatan perang. Pada tanggal
27 Februari 1948, presiden mengeluarkan Ketetapan Presiden No.9 Tahun 1948 yang
membatalkan ketetapan yang lama. Dalam ketetapan yang baru ini, Staf Angkatan Perang tetap
di bawah Soerjadi Soerjadarma, sedangkan Markas Besar Pertempuran tetap di bawah
Soedirman, ditambah wakil panglima yaitu Djenderal Major[u] A.H. Nasution. Angkatan perang
berada di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP) yang membawahi Kepala Staf
Angkatan Darat (KASAD), Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL), dan Kepala Staf Angkatan
Udara (KASAU). Dalam penataannya, organisasi ini dibagi menjadi 2 bagian; penataan
kementerian dan pimpinan tertinggi ditangani oleh KASAP, sementara mengenai pasukan serta
daerah-daerah pertahanan ditangani oleh Wakil Panglima Besar Angkatan Perang.
Tak lama setelah itu, Sjafruddin digulingkan dalam mosi tidak percaya atas
keterlibatannya dalam Perjanjian Renville, dan perdana menteri yang baru, Muhammad Hatta,
berupaya untuk menerapkan program rasionalisasi.[109][106][110] Hal ini menimbulkan perdebatan
di antara kelompok yang pro dan anti-rasionalisasi. Soedirman menjadi tempat mengadu dan
pendorong semangat bagi para tentara, termasuk sejumlah komandan senior yang menentang
program rasionalisasi. Soedirman secara resmi dikembalikan ke posisinya pada tanggal 1 Juni
1948. Untuk menyelesaikan penataan organisasi ini, Soedirman membentuk sebuah panitia yang
anggotanya ditunjuk oleh Panglima sendiri. Anggota panitia terdiri dari Djenderal
Major Soesalit Djojoadhiningrat (mantan PETA dan laskar), Djenderal Major Suwardi (mantan
KNIL) dan Djenderal Major A.H. Nasution dari perwira muda. Penataan organisasi TNI selesai
pada akhir tahun 1948, setelah Panglima Tentara dan Teritorium Sumatra, Kolonel Hidajat
Martaatmadja, menyelesaikan penataan organisasi tentara di Pulau Sumatra.[111]
Setelah program rasionalisasi mereda, Sjarifuddin mulai mengumpulkan tentara
dari Partai Sosialis, Partai Komunis, dan anggota Sentral Organisasi Buruh Seluruh
Indonesia untuk mengobarkan revolusi proletar di Madiun, Jawa Timur, yang berlangsung pada
tanggal 18 September 1948. Soedirman, yang saat itu sedang sakit, mengirim Nasution untuk
memadamkan revolusi;[112] Soedirman juga mengirim dua perwira lainnya sebagai antena
perdamaian sebelum serangan. Meskipun pemimpin revolusi, Muso, telah sepakat untuk
berdamai,[113] Nasution dan pasukannya berhasil menumpas pemberontakan pada 30
September.[v][112] Soedirman mengunjungi Madiun tidak lama setelah pertempuran; ia
mengatakan kepada istrinya bahwa ia tidak bisa tidur di sana karena pertumpahan darah yang
terjadi.[114]
Pemberontakan di Madiun, dan ketidakstabilan politik yang sedang berlangsung,
melemahkan kondisi kesehatan Soedirman. Pada tanggal 5 Oktober 1948, setelah perayaan hari
jadi TNI ketiga, Soedirman pingsan. Setelah diperiksa oleh berbagai dokter, ia didiagnosis
mengidap tuberkulosis (TBC). Pada akhir bulan, ia dibawa ke Rumah Sakit Umum Panti
Rapih dan menjalani pengempesan paru-paru kanan, dengan harapan bahwa tindakan ini akan
menghentikan penyebaran penyakit tersebut. Selama di rumah sakit, ia melimpahkan sebagian
tugas kepada Nasution. Mereka berdua terus mendiskusikan rencana untuk berperang melawan
Belanda, dan Soedirman secara rutin menerima laporan. Mereka sepakat bahwa perang gerilya,
yang telah diterapkan di wilayah taklukan Belanda sejak bulan Mei, adalah perang yang paling
cocok bagi kepentingan mereka; untuk mewujudkan hal ini, Soedirman mengeluarkan perintah
umum pada 11 November,[115][116] dan persiapannya ditangani oleh Nasution.[w][117] Soedirman
dipulangkan dari rumah sakit pada tanggal 28 November 1948.[115][116]
Meskipun ia terus mengeluarkan perintah, Soedirman baru kembali aktif bertugas pada
tanggal 17 Desember. Seiring dengan semakin meningkatnya ketegangan antara tentara
Indonesia dan Belanda, ia memerintahkan TNI untuk meningkatkan kewaspadaan;[118] ia juga
memerintahkan latihan militer skala besar dalam upayanya – yang gagal – untuk meyakinkan
Belanda bahwa TNI terlalu kuat untuk diserang.[119] Dua hari kemudian, diumumkan bahwa
mereka tak lagi terikat dengan Perjanjian Renville. Pada 19 Desember, Belanda
melancarkan Agresi Militer Kedua untuk merebut ibu kota Yogyakarta. Pukul 07.00 Waktu
Indonesia Barat, lapangan udara di Maguwo berhasil diambil alih oleh pasukan Belanda di
bawah pimpinan Kapten Eekhout. Soedirman, yang telah menyadari serangan itu,
memerintahkan stasiun RRI untuk menyiarkan pernyataan bahwa para tentara harus melawan
karena mereka telah dilatih – sebagai gerilyawan.[120]
Perintah Kilat
No. 1/PB/D/48

1. Kita telah diserang.


2. Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang kota
Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo.
3. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan Gencatan Senjata.
4. Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk
menghadapi serangan Belanda.[x]
Pidato radio Soedirman, dari (Imran 1980, hlm. 55)

Soedirman kemudian mengunjungi Istana Presiden di Yogyakarta, tempat para


pemimpin pemerintahan sedang mendiskusikan ultimatum yang menyatakan bahwa kota itu
akan diserbu kecuali para pemimpin menerima kekuasaan kolonial. Soedirman mendesak
presiden dan wakil presiden agar meninggalkan kota dan berperang sebagai gerilyawan, namun
sarannya ini ditolak. Meskipun dokter melarangnya, Soedirman mendapat izin dari Soekarno
untuk bergabung dengan anak buahnya. Pemerintah pusat dievakuasi ke Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat atas desakan Sultan Hamengkubuwono IX, namun mereka tertangkap dan
diasingkan.[121][122]
Perang gerilya[sunting | sunting sumber]
Sebelum memulai gerilya, Soedirman pertama-tama pergi ke rumah dinasnya dan
mengumpulkan dokumen-dokumen penting, lalu membakarnya untuk mencegahnya jatuh ke
tangan Belanda.[123] Soedirman, bersama sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, mulai
bergerak ke arah selatan menuju Kretek, Parangtritis, Bantul. Setibanya di sana, mereka
disambut oleh bupati pada pukul 18.00. Selama di Kretek, Soedirman mengutus tentaranya yang
menyamar ke kota yang telah diduduki oleh Belanda untuk melakukan pengintaian, dan
meminta istrinya menjual perhiasannya untuk membantu mendanai gerakan gerilya. Setelah
beberapa hari di Kretek, ia dan kelompoknya melakukan perjalanan ke timur di sepanjang pantai
selatan menuju Wonogiri.[124] Sebelum Belanda menyerang, sudah diputuskan bahwa Soedirman
akan mengontrol para gerilyawan dari Jawa Timur, yang masih memiliki beberapa pangkalan
militer.[125] Sementara itu, Alfiah dan anak-anaknya diperintahkan untuk tinggal di
Kraton.[109] Sadar bahwa Belanda sedang memburu mereka, pada tanggal 23 Desember
Soedirman memerintahkan pasukannya untuk melanjutkan perjalanan ke Ponorogo. Di sana,
mereka berhenti di rumah seorang ulama bernama Mahfuz; Mahfuz memberi sang jenderal
sebuah tongkat untuk membantunya berjalan, meskipun Soedirman terus dibopong dengan
menggunakan tandu di sepanjang perjalanan. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke
timur.[126]
Di dekat Trenggalek, Soedirman dan kelompoknya dihentikan oleh prajurit TNI dari
Batalion 102.[127] Para tentara ini diberitahu bahwa Soedirman –yang saat itu berpakaian sipil
dan dan tidak dikenali oleh tentara yang menghentikan mereka – adalah tahanan dan menolak
untuk melepaskan Soedirman dan kelompoknya;[128] mereka mencurigai konvoi Soedirman yang
membawa peta dan catatan militer Indonesia, benda yang mungkin dimiliki oleh mata-
mata.[129] Ketika sang komandan, Mayor Zainal Fanani, datang untuk memeriksa keadaan, ia
menyadari bahwa orang itu adalah Soedirman dan segera meminta maaf. Fanani beralasan
bahwa tindakan anak buahnya sudah tepat karena menjaga wilayah dengan saksama. Ia juga
menyebutkan tentang sebuah pos di Kediri dan menyediakan mobil untuk mengangkut
Soedirman dan pasukannya. Setelah beberapa saat di Kediri, mereka melanjutkan perjalanan
lebih jauh ke timur; setelah mereka meninggalkan kota pada tanggal 24 Desember, Belanda
berencana untuk menyerang Kediri.[128]
Serangan Belanda yang berkelanjutan menyebabkan Soedirman harus mengganti
pakaiannya dan memberikan pakaian lamanya pada salah seorang prajuritnya, Letnan Heru
Kesser –yang memiliki kemiripan dengan Soedirman.[128][130][131] Kesser diperintahkan untuk
menuju selatan bersama sekompi besar tentara, mengganti pakaiannya, dan diam-diam kembali
ke utara, sedangkan Soedirman menunggu di Karangnongko. Pengalihan ini berhasil, dan pada
27 Desember, Soedirman dan anak buahnya bergerak menuju Desa Jambu dan tiba pada 9
Januari 1949. Di sana, Soedirman bertemu dengan beberapa menteri yang tidak berada di
Yogyakarta saat penyerangan: Supeno, Susanto Tirtoprojo, dan Susilowati. Bersama para
politisi ini, Soedirman berjalan ke Banyutuwo sambil memerintahkan beberapa tentaranya untuk
menahan pasukan Belanda. Di Banyutuwo, mereka menetap selama seminggu lebih. Namun,
pada 21 Januari, tentara Belanda mendekati desa. Soedirman dan rombongannya terpaksa
meninggalkan Banyutuwo, berjuang menembus jalan dalam hujan lebat.[128]
Soedirman dan pasukannya terus melakukan perjalanan melewati hutan dan rimba,
akhirnya tiba di Sobo, di dekat Gunung Lawu, pada tanggal 18 Februari. Selama perjalanannya
ini, Soedirman menggunakan sebuah radio untuk memberi perintah pada pasukan TNI setempat
jika ia yakin bahwa daerah itu aman. Merasa lemah karena kesulitan fisik yang ia hadapi,
termasuk perjuangannya melewati hutan dan kekurangan makanan, Soedirman yakin bahwa
Sobo aman dan memutuskan untuk menggunakannya sebagai markas gerilya.[132][133] Komandan
tentara setempat, Letnan Kolonel Wiliater Hutagalung, berperan sebagai perantara antara dirinya
dengan pemimpin TNI lain. Mengetahui bahwa opini internasional yang mulai mengutuk
tindakan Belanda di Indonesia bisa membuat Indonesia menerima pengakuan yang lebih besar,
Soedirman dan Hutagalung mulai membahas kemungkinan untuk melakukan serangan besar-
besaran.[134] Sementara itu, Belanda mulai menyebarkan propaganda yang mengklaim bahwa
mereka telah menangkap Soedirman; propaganda tersebut bertujuan untuk mematahkan
semangat para gerilyawan.[55][135]
Soedirman memerintahkan Hutagalung untuk mulai merencanakan serangan besar-
besaran, dengan prajurit TNI berseragam akan menyerang Belanda dan mununjukkan kekuatan
mereka di depan wartawan asing dan tim investigasi PBB. Hutagalung, bersama para prajurit
dan komandannya, Kolonel Bambang Sugeng, serta pejabat pemerintahan di bawah pimpinan
Gubernur Wongsonegoro, menghabiskan waktu beberapa hari dengan membahas cara-cara
untuk memastikan agar serangan itu berhasil.[134] Pertemuan ini menghasilkan rencana Serangan
Umum 1 Maret 1949; pasukan TNI akan menyerang pos-pos Belanda di seluruh Jawa Tengah.
Pasukan TNI di bawah komando Letnan Kolonel Soeharto berhasil merebut kembali Yogyakarta
dalam waktu enam belas jam, menjadi unjuk kekuatan yang sukses dan menyebabkan Belanda
kehilangan muka di mata internasional; Belanda sebelumnya menyatakan bahwa TNI sudah
diberantas.[134][136] Namun, siapa tepatnya yang memerintahkan serangan ini masih belum jelas:
Soeharto dan Hamengkubuwono IX sama-sama mengaku bertanggung jawab atas serangan ini,
sedangkan saudara Bambang Sugeng juga menyatakan bahwa dia lah yang telah memerintahkan
serangan tersebut.[137]
Karena semakin meningkatnya tekanan dari PBB, pada 7 Mei 1949 Indonesia dan
Belanda menggelar perundingan, yang menghasilkan Perjanjian Roem-Royen. Perjanjian ini
menyatakan bahwa Belanda harus menarik pasukannya dari Yogyakarta, beserta poin-poin
lainnya;[y][138] Belanda mulai menarik pasukannya pada akhir Juni, dan para pemimpin Indonesia
di pengasingan kembali ke Yogyakarta pada awal Juli. Soekarno lalu memerintahkan Soedirman
untuk kembali ke Yogyakarta, tetapi Soedirman menolak untuk membiarkan Belanda menarik
diri tanpa perlawanan; ia menganggap pasukan TNI pada saat itu sudah cukup kuat untuk
mengalahkan pasukan Belanda. Meskipun ia dijanjikan akan diberi obat-obatan dan dukungan di
Yogyakarta, Soedirman menolak untuk kembali ke kalangan politisi, yang menurutnya telah
sepaham dengan Belanda. Soedirman baru setuju untuk kembali ke Yogyakarta setelah
menerima sebuah surat, yang pengirimnya masih diperdebatkan.[z] Pada tanggal 10 Juli,
Soedirman dan kelompoknya kembali ke Yogyakarta, mereka disambut oleh ribuan warga sipil
dan diterima dengan hangat oleh para elit politik di sana.[139][140] Wartawan Rosihan Anwar,
yang hadir pada saat itu, menulis pada 1973 bahwa "Soedirman harus kembali ke Yogyakarta
untuk menghindari anggapan adanya keretakan antar pemimpin tertinggi republik".[141]

Pasca-perang dan kematian


Pada awal Agustus, Soedirman mendekati Soekarno dan memintanya untuk melanjutkan
perang gerilya; Soedirman tidak percaya bahwa Belanda akan mematuhi Perjanjian Roem-
Royen, belajar dari kegagalan perjanjian sebelumnya. Soekarno tidak setuju, yang menjadi
pukulan bagi Soedirman. Soedirman menyalahkan ketidak-konsistenan pemerintah sebagai
penyebab penyakit tuberkulosisnya dan kematian Oerip pada 1948, ia mengancam akan
mengundurkan diri dari jabatannya, namun Soekarno juga mengancam akan melakukan hal yang
sama.[109][142][143] Setelah ia berpikir bahwa pengunduran dirinya akan menyebabkan
ketidakstabilan, Soedirman tetap menjabat,[144] dan gencatan senjata di seluruh Jawa mulai
diberlakukan pada tanggal 11 Agustus 1949.[145]
Soedirman wafat di Magelang pada pukul 18.30 tanggal 29 Januari 1950; kabar duka ini
dilaporkan dalam sebuah siaran khusus di RRI.[147] Setelah berita kematiannya disiarkan, rumah
keluarga Soedirman dipadati oleh para pelayat, termasuk semua anggota Brigade IX yang
bertugas di lingkungan tersebut. Keesokan harinya, jenazah Soedirman dibawa ke Yogyakarta,
diiringi oleh konvoi pemakaman yang dipimpin oleh empat tank dan delapan puluh kendaraan
bermotor,[149] dan ribuan warga yang berdiri di sisi jalan. Konvoi tersebut diselenggarakan oleh
anggota Brigade IX.[150]

Peninggalan
Surat kabar harian Yogyakarta, Kedaulatan Rakjat, menulis bahwa Indonesia telah
kehilangan seorang "pahlawan yang jujur dan pemberani."[aa][148] Kolonel Paku Alam VIII, yang
bertanggung jawab atas wilayah Yogyakarta, mengatakan kepada kantor berita
nasional Antara bahwa seluruh rakyat Indonesia, khususnya angkatan perang, telah "kehilangan
seorang bapak yang tidak ternilai jasa-jasanya kepada tanah air".[ab][55] Tokoh Muslim
Indonesia, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, menggambarkan sosok Soedirman sebagai
"lambang dari kebangunan jiwa pahlawan Indonesia",[ac][90] sedangkan politisi
Muslim Muhammad Isa Anshary menyatakan bahwa Soedirman adalah "putra revolusi, karena
dia lahir dalam revolusi, dan dibesarkan oleh revolusi".[ad][154] Dalam sebuah pidato radio, Hatta
mengungkapkan bahwa Soedirman adalah sosok yang tidak mungkin bisa dikendalikan dan
keras kepala, tetapi tetap bertekad untuk melakukan yang benar bagi negara; Hatta berkata
meskipun Soedirman tidak menyukai jabatan pemerintahan, ia secara umum tetap mematuhi
perintahnya.[55] Namun, Hamengkubuwono IX mengungkapkan bahwa tentara terlatih
seperti Abdul Haris Nasution dan Tahi Bonar Simatupang kecewa terhadap Soedirman karena
latar belakang dan pengetahuan teknik militernya yang buruk.[155]

Anda mungkin juga menyukai