Anda di halaman 1dari 10

BAB I

KEDUDUKAN MUDHARABAH DALAM MUAMALAH

A. Mudharabah bagian dari Muamalah


Isi ajaran islam bersumber pada al-qur’an dan al-hadis. Menurut Mahmud Syaltout, ajaran islam
terdiri atas dua bagian, yaitu ajaran tentang aqidah dan syari’ah. Ajaran syari’ah itu sendiri terbagi
menjadi dua, yaitu ajaran tentang ibadah dan muamalah. Islam memberikan perhatian yang besar
terhadap masalah muamalah ini sehingga dalam sebuah hadis Nabi S.A.W disebutkan, bahwa Ad-din
Al-Muamalah (agama adalah muamalah). Hal ini sesuai dengan fitrah yang diterapkan Allah SWT,
bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri, Ibnu Khaldun menyatakan,
bahwa manusia adalah makhluk yang bermasyarakat (al-insanu madaniyyun bi al-thab’i) mulai dari
kelompok masyarakat terkecil, keluarga, sampai dengan kelompok masyarakat terbesar dengan skala
wilayah yang luas. Dengan demikian diperlukan aturan untuk mengatur setiap hubungan manusia
dengan manusia lainnya. Aturan-aturan Allah yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam
urusan dunia dan sosialnya dikenal dengan nama muamalah. Muamalah dibagi menjadi dua yaitu,
muamalah dalam arti luas dan sempit. Muamalah dalam arti luas meliputi setiap hubungan manusia
dengan manusia lain, seperti hubungan dalam masalah pernikahan, waris, jinayah, siasah dan imamah.
Adapun muamalah dalam arti sempit hanya membahas hubungan manusia dengan manusia lain terkait
dengan hak-hak atas harta (masalah ekonomi)
Saat ini muamalah dalam arti sempit populer dengan istilah ekonomi syari’ah. Secara filosofis,
ekonomi syari’ah didasarkan pada asas ketuhanan (tauhid), yaitu adanya hubungan dari aktivitas
ekonomi tidak saja dengan sesama manusia tetapi juga dengan Tuhan sebagai Sang Pencipta.
Berdasarkan landasan tauhid ini muncullah perinsip-perinsip dasar bangunan kerangka sosial, hukum
dan tingkah laku, diantaranya; prinsip khilafah, keadilan (‘adalah), kenabian (nubuwwah),
persaudaraan (ukhuwwah), dan kebebasan yang bertanggung jawab (Al-huriyah wal mas’uliyyah).
Selain itu ada nilai-nilai instrumental, yaitu larangan riba, zakat, kerja sama ekonomi, jaminan sosial,
dan peran negara. Menurut Rahmat Syafei’i, Islam tidak mengekang berbagai praktik perekonomian
umatnya atau melarang umatnya untuk kaya. Pada prinsipnya, islam sangat menganjurkan umatnya
untuk hidup makmur. Bahkan Nabi Muhammad menyatakan, bahwa seorang mukmin yang kuat dalam
ilmu, kekayaan, dan lain-lain lebih dicintai oleh Allah SWT, daripada seorang mu’min yang lemah.
B. Pengertian dan Ruang Lingkup Muamalah
Secara bahasa, muamalah berasal dari kata (‘aamala – yu’aamilu – mu’aamalatan) yang artinya
saling bertindak, saling beramal, dan saling berbuat. Kajian para ulama mengenai muamalah dalam arti
sempit ini dikenal dengan Fiqh Muamalah. Secara terminologi, fiqh muamalah didefinisikan sebagai
hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan manusia yang sudah muakallaf (berakal, balig, dan
cerdas). Dengan demikian ruang lingkup fiqh muamalah terdiri atas muamalah madyah dan muamalah
adabiyah. Muamalah Madyah meliputi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kehalalan dan
keharaman suatu kegiatan muamalah dengan melihat zat hartanya, sah atau tidak proses kepemilikan,
pengelolaan, ataupun pendistribusian harta dengan melihat rukun dan syaratnya. Yang termasuk
kedalam ruang lingkup muamalh madyah ini misalnya masalah jual beli, gadai, jaminan dan
tanggungan, sewa-menyewa, pemindahan hutang, jatuh bangkrut, perseroan/kerja sama harta dan
tenaga, seperti masalah perbankan, asuransi, kredit dan masalah muamalah baru lainnya. Sedangkan
Muamalah Adabiyah yaitu muamalah yang berkaitan dengan adab, akhlak, dan etika yang harus
mengiringi kegiatan muamalh madyah agar tercapai kesempurnaan dalam pelaksanaan muamalan
tersebut, seperti saya rela, adanya kesesuaian dalam ijab qabul, tidak ada paksaan, kejujuran, tidak
menipu, dan tidak khianat.
C. Fiqh Muamalah dan Ekonomi Syari’ah (Ekonomi Islam)
Menurut Juhaya S. Praja term syari’ah dalam ilmu ekonomi syari’ah berbeda dengan syaria’ah
dalam pengertian umum, yakni sumber ajaran islam. Tentu saja syari’ah dalam term ini adalah
interpretasi atas doktrin, nilai, norma, dan hukum syariahatau hukum islam. Oleh karena itu istilah yang
tepat adalah islamic economic, yaitu ekonomi yang bersifat dan sesuai, serta tidak bertentangan dengan
doktrin, nilai, norma dan hukum islam. Dengan demikian Fiqh Muamalah lebih tepat diartikan sama
dengan hukum ekonomi syari’ah atau hukum ekonomi islam yang secara khusu membicarakan
mengenai aspek hukum dan aktivitas ekonomi
D. Prinsip-prinsip Muamalah
Menurut Juhaya S. Praja prinsip adalah kebenaran universal yang inhern didalam hukum islam
dan menjadi titik tolak pembinaannya. Dalam merumuskan di bidang muamalah, maka yanhg menjadi
dasar titik tolaknya adalah sebagai berikut;
1. Prinsip kebolehan atau mubah
Bahwa berbagai jenis muamalah hukum dasarnya adalah boleh sampai ditemukan dalil yang
melarangnya.
2. Prinsip kemaslahatan umat manusia
Setiap muamalah yang dilakukan harus berdasarkan pada pertimbangan mendatangkan
maslahat dan manfaat serta menghindari mudharat dalam kehidupan masyarakat.
3. Prinsip kebebasan dan kesukarelaan
Munurt Daud Ali, selama Al-Qur’an dan sunah Nabi tidak mengatur suatu hubungan perdata,
selama itu pula para pihak bebas mengaturnya atas dasar kesukarelaan masing-masing.
4. Prinsip adil dan berimbang
Prinsip ini mendung arti bahwa setiap muamalah dilaksanakan dengan memelihara prinsip
keadilan, tidak boleh mengandung unsur-unsur penipuan, penindasan dan pengembalian
kesempatan pada saat pihak lain kesempitan.

E. Harta sebagagai Objek Fiqh Muamalah


Dalam bahasa arab harta disebut al-mal ja’ma nya al-mwal yang berarti condong, cenderung dan
miring. Sedangkan menurut Hanfiyah harta adalah segala yang diminati manusia dan dapat dihadirkan
ketika diperlukan, atau segala sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan dan dapat dimanfaatkan.
Pandangan seseorang terhadap kedudukan dan fungsi harta dalam kehidupan dunia ini akan
berpengaruh terhadap sikap, prilaku dan aktivitas muamalahnya. Kedudukan harta ada empat, antara
lain;
1. Sebagai amanah dari Allah
2. Sebagai ujian keimanan dan ketaatan
3. Sebagai sarana mengabdi dan alat mencapai tujuan, serta
4. Sebagai perhiasan, kesenangan, dan kebutuhan hidup.
Sedangkan fungsi harta, yaitu;
1. Untuk kesempurnaan ibadah
2. Untuk memelihara dan meningkatkan keimanan
3. Untuk meneruskan estafet kehidupan
4. Untuk menyelaraskan kehidupan dunia dan akhirat.
BAB II
MUDARABAH SEBAGAI SALAH SATU AKAD YANG DIPERBOLEHKAN

A. Sebab-sebab kepemilikan harta


Dalam Islam kepemilikan mutlak harta ada di tangan Allah SWT. Hal ini berarti bagi umat islam
harta adalah amanah yang harus dijalankan sesuai dengan kehendak yang memberi amanah tersebut
(Allah SWT). Dalam kepemilikan harta dikenal prinsip istikhlaf, yaitu norma dalam ekonomi islam
yang lahir dari norma ketuhanan. Norma ini menyatakan bahwa apa yang dimiliki manusia hanya titipan
Allah sebagaimana digambarkan dalam QS. Al- Hadid [57]:7. Kepemilikan harta yang diperbolehkan
dalam islam ada empat yaitu;
1. Ihrazul mubahat
Penguasaan terhadap harta yang belum dimiliki seseorang atau lembaga hukum lainnya. Dalam
islam disebut sebagai harta mubah.
2. Al’uqud (akad)
Adalah harta melalui transaksi yang dilakukan dengan seseorang atau suatu lembaga hukum,
seperti jual-beli, hibah, dan mudharabah.
3. Al-khalafiyah (pewarisan)
4. Attawaludu Minal Mamluk (beranak pinak)

B. Pengertian dan pembagian akad


Akad (al-aqdu) merupakan mashdasar dari kata aqada. Secara bahasa aqada adalah perjanjian
(yang tercatat) kontrak. Akad dalam bahasa arab al-aqad jamaknya al-uqud yang berarti ikatan atau
mengikat. Menuruut terminologi hukum islam akad adalah pertalian antara penyeraha (ijab) dan
penerimaan (qabul) yang dibenarkan oleh syari’ah yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan
qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek
perikatan.
Pembagian akad dapat dilihat dari dua segi, yaitu segi tujuannya dan segi jenisnya. Dilihat dari segi
tujuannya akad terbagi menjadi dua bagian yaitu akad tabarru dan akad tijarah. Akad tabaru adalah akad
yang tujuannya semata-mata untuk kebaikan, tolong-menolong dan tidak mencari keuntungan
contohnya adalah hibah, wakaf, hadiah, dan pinjam meminjam. Adapun akad tijarah adalah akad yang
tujuannya untuk mencari keuntungan (kelebihan) contohnya akad jual beli, sewa menyewa (ijarah) dan
akad kejasama seperti mudharabah dan musyarakah. Dari segi jenisnya maka dibagi menjadi dua
bagian yaitu akad musammah dan akad ghair musammah.
C. Rukun dan syarat akad
Rukun akad antara lain;
1. Orang yang berakad (aqid)
Pihak yang melakukan akad harus memenuhi syarat yaitu; orang yang merdeka, mukalaf, orang
yang sehat akalnya. Jika belum cakap berbuat hukum maka harus dilakukan oleh walinya.
2. Objek akad/sesuatu yang diakadkan (ma’qud alaih)
3. Shigat, yaitu ijab qabul (pernyataan untuk mengikatkan diri)
Adapun syarat ijab-qabul adalah ijab itu berjalan terus dan tidak dicabut sebelum terjadi qabul.
Pernyataan ijab harus tetap utuh dan sahih sampai terjadinya qabul. Apabila tidak utuh dan
sahih ketika qabul diucapkan, maka akad itu tidak sah. Apabila si mujib menarik kembali
ijabnya sebelum qabul maka batalah ijab.
D. Akad/transaksi yang dilarang
Akad/ transaksi yang dilarang antara lain sebagai berikut:
1. Semua aktivitas investasi dan perdagangan atas barang dan jasa yang diharamkan Allah
2. Riba
3. Gharar/transaksi yang mengandung ketidakpastian/ penipuan
4. Perjudian, dan
5. Ikhtikar/ penimbunan barang

BAB III
MUDHARABAH SEBAGAI AKAD KERJASAMA ATAU PERCAMPURAN SYIRKAH

Mudharabah yaitu penyerahan harta dari pemilik modal atau harta kepada pihak pengelola
untuk digolongkan, dimana keuntungan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan yang telah
disepakati, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal saja. Pengelola tidak menanggung
kerugian material karena dia telah menanggung kerugian lain yaitu berupa tenaga dan waktu.
Mudharabah diperbolehkan berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist berikut QS. Al-Ma’idah [5]:
1, QS. Al-Muzzammil [73]:20, QS al-Jumu’ah [62]:10, QS. Al-Baqarah [2]:198, QS. an-Nisa
[4]:29 dan QS. Al-Baqarah [2]:283.
Adapun dalil yang menjadi dasar adanya mudharabah yang berasal dari as-Sunnah adalah hadist yang
diriwayatkan Ibnu Abbas ra. Berikut ini “Abbas Bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai
mudharabah ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni
lembah, serta tidak membelihewan ternak jika persyaratan dilanggar ia (mudharib) harus menangung
resikonya ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengan Rasullulloh SAW, beliau
membenarkannya. “(HR. Thabrani)”.
Selain ayat Al-Qur’an dan hadist tersebut kebolehan mudharabah juga didasarkan pada ijma. Sebagian
ulama juga mendasarkan mudharabah ini dengan dikiaskan pada transaksi musaqah. Mudharabah dibagi
menjadi dua macam yaitu Mudharabah Mutlaqah dan Mudharabah Muqayyadah. Mudharabah
Mutlaqah yaitu penyerahan modal secara mutlak tanpa syarat dan pembatasan. Adapun Mudharabah
Muqayyadah yaitu penyerahan modan dengan syarat dan batasan tertentu. Prinsip mudharabah secara
khusus adalah :
1. Prinsip berbagi keuntungan antara pihak yang melakukan akad mudharabah.
2. Prinsip berbagi kerugian antara pihak-pihak yang berakad.
3. Prinsip kejelasan.
4. Prinsip kepercayaan dan amanah, dan
5. Prinsip kehati-hatian.

BAB IV
IMPLEMENTASI MUDHARABAH DI PERBANKAN SYARIAH

Akad Mudharabah di bank syari’ah di implementasikan dalam produk penghimpunan dana


(funding) ataupun produk penyaluran dana (lending). Dalam produk penghimpunan dana akad
mudharabah dilaksanakan dalam produk tabungan dan deposito. Nasabah penyimpan dana bertindak
sebagai shahibul maal dan pihak bank sebagai mudharib. Bank akan memberikan keuntungan kepada
nasabah dalam bentuk bagi hasil dalam jumlah sesuai yang diperoleh bank dan berdasarkan nisbah yang
telah disepakati. Jika bank mengalami kerugian nasabah tetap akan mendapatkan simpanan pokoknya
karena bank syari’ah melaksanakan kerjasama dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Adapun
dalam penyaluran dana dilaksanakan dalam produk pembiayaan mudharabah atau pembiayaan modal
kerja dan investasi. Dalam produk pembiayaan bank sebagai shahibul maal menyediakan dana 100%
untuk pengelola/nasabah (mudharib) dengan skema bagi hasil. Bank juga bertindak sebagai
agen/arranger yang menyalurkan dana dari investor untuk kegiatan usaha atau proyek tertentu
(Mudharabah Muqayyadah). Bagi hasil dalam penghimpunan dana (tabungan dan deposito)
dilaksanakan berdasarkan sistem revenue sharing, sedangkan dalam produk pembiayaan menggunakan
revenue sharing atau provit sharing bergantung kesepakatan. Hambatan pelkasanaan mudharabah di
bank syari’ah adalah :
1. Pandangan masyarakat masih keliru mengenai bank syari’ah termasuk tentang mudharabah
sebagai salah satu produknya.
2. Resiko akan mudharabah yang tinggi.
3. Sumber daya manusia untuk mendukung terlaksananya mudharabah masih kurang.
Untuk dapat melaksanakan akad mudharabah dengan optimal dan menghindari pelanggaran
terhadap prinsip mudharabah diperlukan adanya standarlisasi yang bersifat nasional diperlukan
sosialisai dengan mengoptimalkan peran-peran lembaga keislaman seperti MUI, ormas-ormas islam
dan lembaga-lembaga terkait lainnya.

BAB V
MUDHARABAH DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN

Dalam undang-undang nomor 7 tahun 1992 akad-akad yang dikenal dan diperbolehkan dalam islam
belum muncul, termasuk akad mudharabah. Sistem “bagi hasil” adalah landasan penerapan prinsip
syari’ah yang baru ada dalam Undang-Undang tersebut. Pada saat itu hanya baru ada bank muamalat
indonesia (BMI) dan masih terbatas dan belum optimal dalam mengimplementasikan prinsip
syariahnya. Kelahiran undang-undang nomor 10 tahun 1998 memberikan kelapangan bagi bank
syari’ah untuk lebih fleksibel mengimplementasikan prinsip-prinsip syariah. Undang-Undang ini
mengatur lebih teknis kegiatan usaha yang syari’ah yang dapat dilakukan oleh bankdengan
menyebutkan prinsip akad sebagai instrumen yang dapat digunakan dalam transaksi antara bank dan
nasabah.
Lahirnya undang-undang nomor 21 tahun 2008 menjadikan bank syari’ah lebih leluasa lagi
melakukan kegiatan usahanya. Dalam undang-undang ini jenis usaha bank syari’ah dijelaskan secara
lebih rinci diantaranya yaitu:
1. Tabungan adalah simpanan berdasarkan akad wadi’ah dan investasi dana menggunakan akad
mudharabah yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan yang
telah disepakati tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan alat lainnya yang
dipersamakan dengan itu.
2. Pembiayaan adalah penyedian dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa;
transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah.
3. Menyalurkan pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah
berdasarkan akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau akad
lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah.
4. Melakukan pengambilalihan utang berdasarkan akad hawalah atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan prinsip syari’ah; dan
5. Membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihat ketiga yang
diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan prinsip syari’ah, seperti akad ijarah,
musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah.

BAB IV
IMPLEMENTASI MUDHARABAH DI LEMBAGA KEUANGAN BUKAN BANK

Lembaga keuangan adalah badan usaha yang menjalankan usaha dibidang jasa keuangan, baik
sebagai penyerap dana masyarakat dalam bentuk simpanan atau tabungan maupun sebagai penyedia
dana untuk pembiayaan unit usaha atau memenuhi kebutuhan rumah tangga atau sebagai penjamin.
Lembaga keuangan syari’ah seperti halnhya lembaga keuangan konvensional, perbedaanya terletak
pada sumber rujukan yang menjadi dasar dan pijakan pada lembaga keuangan syari’ah, yaitu prinsip-
prinsip syari’ah atau nilai-nilai islam dengan tetap tunduk pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia. Lembaga keuangan syari’ah dalam oprasialnya memiliki tuajan sosial dan
pemberdayaan ekonomi umat. Lembaga keuangan jika dilihat dari sektor yang digelutinya berupa
pemenuhan kebutuhan masyarakat dibidang-bidang tertentu, dan dikelompokan menjadi beberapa
kelompok;
1. Perusahaan asuaransi
2. Penyelenggaran dana pensiun
3. Perusahaan keuangan
4. Holding Company
5. Perusahaan yang memberikan potongan atau diskon
6. Perusahaan penerbit kartu kredit; dan
7. Pegadaian
Dalam praktik ban syari’ah, akad yang digunakan oleh peserta asuransi dengan perusahaan terdiri
atas akad tijarah dan/atau akad tabarru’. Yang dimaksud dengan akad tijarah adalah semua bentuk
akad yang dilakukan untuk tujuan komersial, sedangkan akad tabarru adalah semua bentuk akad yang
dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong menolong, bukan semata untuk tujuan komersial. Akad
tijarah yang digunakan salam operasional asuransi syari’ah adalah akahd mudharabah, sedangkan akad
tabarru’nya adalah hibah. Dalam akad tijarah dalam hal ini akad mudharabah, perusahaann asuransi
bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta asuransi bertindak sebagai shahibul maal
(pemegang polis). Dalam akad tabarru, dalam hal ini hibah , peserta asuransi memberikan hibah yang
akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sementara itu perusahaan asuransi
bertindak sebagai pengelola dan hibah. Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat
diinvestasikan dan hassil investasinya dibagihasilkan kepada peserta suranasi. Adapun presmi yang
berasal dari akad tabarru’ dapat diinvestasikan sesuai dengan syari’ah, seperti melakukan reasuransi
pada perusahaan reasuransi yang berlandaskan prinsip syariah. Perusahaan memperoleh bagi hasil dari
pengelolaan dana yang terkumpul dari akad tijarah (mudharabah) dan memperoleh ujrah (fee) dari
pengelolaan dana akad tabarru’ (hibah).
Reksadana syari’ah adalah salah satu produk yang tengah berkembang di indonesia saat ini di antara
produk-produk keuangan baru yang dikembangkan untuk menarik dana dari masyarakat. Reksadana
adalah sebuah wadah di mana masyarakat dapat menginvestasikan dananya dan oleh pengelolanya (
manajer investasi) dana itu diinvestasikan ke portfolio efek. Reksadana merupakan jalan keluar bagi
para pemodal kecil yang ingin ikut serta dalam pasar modal dengan menggunakan akad mudharabah.
Reksadana Syari’ah dilaksanakan dengan akad mudharabah dengan manajer investasi sebagai
mudharaib yang mengelola dana milik bersama dari para investor. Sebagai bukti penyertaan, investor
akan mendapat unit penyertaan dari Reksadana Syari’ah. Dana kumpulan Reksadana Syaria’ah akan
ditempatkan kembali ke dalam kegiatan Emiten (perusahaan lain) melalui pembelian efek syari’ah.
Reksadana Syari’ah berperan sebagai mudharib dan emiten berperan sebagai mudharib. Oleh karena
itu, hubungan seperti ini disebut sebagai ikatan mudharabah bertingkat. Reksadana merupakan suatu
instrumen kolektif. Dana yang terkumpul ini, selanjutnya dikelola dan diinvestasikan oleh seorang
manajer investasi (fund manager) melalui saham, obligasi, valuta asing atau deposito.

BAB VII
MUDHARABAH DALAM OPERASIONAL KOPERASI SYARI’AH DAN PERBERDAYAAN
ANGGOTA

Operasional syari’ah adalah salah satu lembaga keuangan syari’ah yang bersifat multi finance,
mampu mengatasi beragam kebutuhan masyarakat dengan kebutuhan masyarakat dengan menggunakan
bermacam-macam instrumen akad sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan tetap bepegang pada
prinsip –prinsip syari’ah, slah satunya adalah akad mudharabah. Pola bagi hasil (syari’ah) mendasarkan
pada akad-akad mualmalahyang memilki keluwesan dalam operasionalnya, memungkinkan koperasi
syari’ah dapat melalakukan berbagai kegiatan usaha tanpa batas selama sesuai dengan prinsip-prinsip )
dalam koperasi adalahsyari’ah. Prinsip gotong-royong (ta’awun ,alal birri) dan bersifat kolektif
(berjamaah) dalam koperasi adalah prinsip yang sesuai dengan syari’ah (QS. Al-Ma’idah[5]:2).
Demikian halnya dengan konsep utama operasional koperasi syari’ah berdasarkan pada akad Syairkah
Mufawadhah, yakni sebuah usha yang didirikan secara bersama-sama oleh dua orang atau lebih,
masing-masing memberikan kontribusi dana ataupun kerja dengan porsi yang sama.
Fungsi koperasi syari’ah sebagai manajer investasi (agen/arranger) penghubung antara pemilik
dana yang memerlukan modal usaha, sbagai investor (shahibul maal), dan fungsi sosial dengan
memberikan pinjaman kebajikan dengan pengembalan pokok (al-Qordh), aau bahkan pinjaman
kebajikan dengan atau tanpa pengembalian pokok (Qordhul Hasan) adalah fungsi kelembagaan yang
dianjurkan dalam islam.
Dalam operasional koperasi syari’ah, ada lima konsep yang menjadi landasannya, yaitu :
1. Sistem simpanan/titipan (al-Wadi’ah)
2. Bagi hasil (Syirkah)
3. Jual beli (at-Tijarah)
4. Sewa (al-Ijarah), dan
5. Jasa/fee (al-Ajr wal umullah)
Prinsip koperasi berdasarkan syari’ah akan mendorongsetiap anggota untuk meningkatkan
prestasinya, karena sistem akad yang sesuai dengansyari’ah menetapkan keuntungan yang berhak
diperoleh anggota yang sesuai dengan prestasi yang dilakukannya. Akad kerjasama mudharabah
misalnya, mendorong anggota untuk mengembangkan usaha dengan keuntungan sebesar-besarnya
karena prinsip bagi hasil dalam akad tersebut menuntut anggota berusaha maksimal untuk
memperoleh bagian yang besar. Jika hasil usahanya besar maka bagi hasilnya pun besar. Akad-akad
yang sesuai dengan syari’ah pun menuntut kejujuran, amanah, dan tanggung jawabsetiap anggota
dalam menjalankan usahanya.
Landasan hukum koperasi syari’ah yaitu :
1. Landasan idil
a. Al-Qur’an
 QS. al-Maidah [5]:2
 QS. al-Maidah [5]:1
 QS. al-Baqarah [2]:168
 QS. al-Baqarah [2]:208
b. Al-Sunnah, diantaranya Hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa
Rasuluhllah SAW, bersabda:
“Allah SWT. Beriman, “Aku ini ketiga dari orang yang berserikat, selama salah seorang
dari mereka tidak berkhianat. Apabila salah seorang mengkhianati temannya, maka aku
keluar dari persyerikatan tersebut.” (HR. Abu Daud)
c. Pancasila
2. Landasan konstitusional
a. UUD 1945
b. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Pengkoperasian
c. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah Daerah

BAB VIII
MUDHARABAH DALAM KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARI’AH (KHES)

Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) merupakan upaya kaum muslim indonesia untuk
memberikan panduan bagi masyarakat yang berminat melaksanakan dan atau menjadi pelaku ekonomi
syari’ah di indonesia. KHES pun dapat dijadikan pedoman bagi para penegak hukum apabila terjadi
sengketa di bidang ekonomi syari’ah. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) adalah kumpulan
sejumlah informasi yang disusun secara teratur dengan berpedoman pada teknik penyusunan dengan
konstruksi yang menggambarkan unsur metodologis dalam rangka kodifikasi hukum ekonomi syari’ah.
Kondifikasi hukum ekonomi syari’ah merupakan kebutuhan karena hukum ekonomi syari’ah
sebagai hukum muamalat mempunyai keragaman pandangan yang berbeda. Kondifikasi adalah
himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang atau hal penyusunan kitab perundang-undangan.
Berdasarkan materi-materi yang ada di dalam KHES, dapat disimpulkan bahwa KHES dapat dikatakan
sebagai buku fiqh muamalah ala Indonesia yang disusun dalam bentuk taqnin (perundang-undangan
modern) sebagai pedoman berbisnis di Indonesia.
Pada dasarnya, KHES merupakan kompilasi berbagai fiqh yang telah ada, yang berasal dari fiqh
muamalah, yang telah dipraktikkan dalam aktivitas di lembaga keuangan syari’ah dengan tujuan untuk
memudahkan penerapannya dalam kegiatan uasaha dilembaga-lembaga keuangan syari’ah tersebut.

BAB IX
PERAN MUDHARABAH DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI MASYARAKAT

Peran mudharabah dalam pengembangan ekonomi masyarakat terwujud dalam keadilan ekonomi
berupa berputarnya modal/uang di antara masyarakat (modal/uang tidak hanya beredar di kalangan
orang kaya). Selain itu, akad mudharabah juga menjembatani pihak yang memiliki keahlian, tetapi
tidak memeiliki modal dengan pihak yang memiliki modal, tetapi tidak punya keahlian dalam
mengembangkan hartanya dengan cara yang diperbolehkan syari’at, bahkan disebut dalam hadis
sebagai transaksi yang berkah, jauh dari riba yang dicela.
Menurut al-maraghi, larangan riba dalam al-Qur’an diturunkan secara bertahap. Tahap pertama,
Allah menunjukan, bahwa riba bersifat negatif. Pernyataan ini disampaikan dalam surah al-Rum
[30]:39. Tahap kedua, Allah telah memberikan isyarat tentang keharaman riba melalui kecaman
terhadap praktik riba dikalangan masyarakat Yahudi. Hal ini disampaikan dalam surah an-Nisa [4]:161.
Tahap ketiga, Allah mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu dengan berlipat ganda dengan
larangan yang tegas. Hal ini disampaiakan dalam surah ãli ‘Imrãn [3]:130. Tahap terakhir, Allah
mengharamkan riba secara total dengan segala bentunya. Hal ini disampaikan melalui firman-Nya
syrah al-Baqarah [2]:275,276 dan 278.

Bahaya yang dapat ditimbulkan oleh praktik riba dapat berupa bahaya moral, peradapan dan
sosial, serta bahaya ekonomi. Riba mempengaruhi motivasi dan tindakan manusia dalam
memenuhi kebutuhan ekonominya dengan sifat-sifat egoisme, kikir, sempit dada, memperhambat
diri pada harta, rakus pada benda dan sifat-sifat rendah lainnya.
Masyarakat yang pembangunan ekonominya dibangun atas dasar egoisme. Dimana seseorang mau
menolong yang lain semata-mata karena suatu keuntunngan baginya, kesempitan dan kesulitan orang
lain menjadi objek untuk mencari kekayaan, kepentingan-kepentingan orang kaya dan mampu
berlawanan dengan kepentingan golongan yang tidak mampu. Dari segi ekonomi, riba banyak
merugikan masyarakat dan pengusaha kecil yang mempunyai kemampuan terbatas sehingga yang kaya
semakin kaya, sdangkan yang miskin semakin terhimpit dengan kemiskinannya.
Riba dlam kaitannya dengan bunga bank, dari sudut pandang teori ekonomi, banyak ahli di bidang
ekonomi dan politik menguatkan pendapat, bahwa bungan bank merupakan faktor penyebab mayoritas
kriris yang menimpa dunia. Perekonomian dunia tidak akan membaik sampai tingkat bunga bank dapat
ditekan menjadi nol, artinya penghapusan bunga secara total. Krisis ekonomi yang terjadi di antara
pemicunya adalah adanya krisis perbankan konvensional yang berlandaskan bunga.

BAB X
PERAN ULAMA DAN PEMERINTAH DALAM PELAKSANAAN AKAD MUDHARABAH

Melalui fatwa-fatwanya, peran ulama diperlukan dalam melaksanakan prinsip-prinsip syari’ah


islam di bidang ekonomi. Dalam kegiatan ekonomi, khusunya dilembaga keuangan syari’ah,
keberadaan Dewan Pengawas Syari’ah adalah representasi dari peran ulama dalam mengawasi
pelaksanaan nilai-nilai syari’ah di masyarakat. Sejarah mengenal ulama bukan semata sebagai sosok
berilmu, melainkan juga sebagai penggerak dan motivator masyarakat. Saat ini, eksistensi hukum Islam
di Indonesia semakin baik. Hal ini dapat terlihat dari UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah
yang di dalamnya mengatur, bahwa dalam pelaksanaan perbankan syari’ah harus berdasarkan dan patuh
pada prinsip syari’ah. Pasal 1 angka 12 undang-undang tersebut menyebutkan, bahwa “prinsip syari’ah
adalah prinsip hukum islam dlam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga
yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syari’ah.” Yang dimasud dengan lembaga
dalam pasal tersebut adalah DSN-MUI.
Para ulama yang berkompeten terhadap hukum syari’ah memiliki fungsi dan peran yang besar
dalam mengembangkan perbankan syari’ah. Sebagai komitmennya, dibentuklah Dewan Pengawas
nasional (DPN) dan Dewan Pengawasaa Syari’ah (DPS). Lembaga ini dibentuk pada tahun 1999 secara
resmi yang merupakan hasil rekomendasi Lokakarya Reksadana Syari’ah pada bulan Juli tahun yang
sama. Lembaga ini merupakan lembaga otonom di bawah MUI yang dipimpin oleh Ketua Umum MUI
dan Sekretaris (ex-officio).

Anda mungkin juga menyukai