BAB III
MUDHARABAH SEBAGAI AKAD KERJASAMA ATAU PERCAMPURAN SYIRKAH
Mudharabah yaitu penyerahan harta dari pemilik modal atau harta kepada pihak pengelola
untuk digolongkan, dimana keuntungan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan yang telah
disepakati, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal saja. Pengelola tidak menanggung
kerugian material karena dia telah menanggung kerugian lain yaitu berupa tenaga dan waktu.
Mudharabah diperbolehkan berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist berikut QS. Al-Ma’idah [5]:
1, QS. Al-Muzzammil [73]:20, QS al-Jumu’ah [62]:10, QS. Al-Baqarah [2]:198, QS. an-Nisa
[4]:29 dan QS. Al-Baqarah [2]:283.
Adapun dalil yang menjadi dasar adanya mudharabah yang berasal dari as-Sunnah adalah hadist yang
diriwayatkan Ibnu Abbas ra. Berikut ini “Abbas Bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai
mudharabah ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni
lembah, serta tidak membelihewan ternak jika persyaratan dilanggar ia (mudharib) harus menangung
resikonya ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengan Rasullulloh SAW, beliau
membenarkannya. “(HR. Thabrani)”.
Selain ayat Al-Qur’an dan hadist tersebut kebolehan mudharabah juga didasarkan pada ijma. Sebagian
ulama juga mendasarkan mudharabah ini dengan dikiaskan pada transaksi musaqah. Mudharabah dibagi
menjadi dua macam yaitu Mudharabah Mutlaqah dan Mudharabah Muqayyadah. Mudharabah
Mutlaqah yaitu penyerahan modal secara mutlak tanpa syarat dan pembatasan. Adapun Mudharabah
Muqayyadah yaitu penyerahan modan dengan syarat dan batasan tertentu. Prinsip mudharabah secara
khusus adalah :
1. Prinsip berbagi keuntungan antara pihak yang melakukan akad mudharabah.
2. Prinsip berbagi kerugian antara pihak-pihak yang berakad.
3. Prinsip kejelasan.
4. Prinsip kepercayaan dan amanah, dan
5. Prinsip kehati-hatian.
BAB IV
IMPLEMENTASI MUDHARABAH DI PERBANKAN SYARIAH
BAB V
MUDHARABAH DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN
Dalam undang-undang nomor 7 tahun 1992 akad-akad yang dikenal dan diperbolehkan dalam islam
belum muncul, termasuk akad mudharabah. Sistem “bagi hasil” adalah landasan penerapan prinsip
syari’ah yang baru ada dalam Undang-Undang tersebut. Pada saat itu hanya baru ada bank muamalat
indonesia (BMI) dan masih terbatas dan belum optimal dalam mengimplementasikan prinsip
syariahnya. Kelahiran undang-undang nomor 10 tahun 1998 memberikan kelapangan bagi bank
syari’ah untuk lebih fleksibel mengimplementasikan prinsip-prinsip syariah. Undang-Undang ini
mengatur lebih teknis kegiatan usaha yang syari’ah yang dapat dilakukan oleh bankdengan
menyebutkan prinsip akad sebagai instrumen yang dapat digunakan dalam transaksi antara bank dan
nasabah.
Lahirnya undang-undang nomor 21 tahun 2008 menjadikan bank syari’ah lebih leluasa lagi
melakukan kegiatan usahanya. Dalam undang-undang ini jenis usaha bank syari’ah dijelaskan secara
lebih rinci diantaranya yaitu:
1. Tabungan adalah simpanan berdasarkan akad wadi’ah dan investasi dana menggunakan akad
mudharabah yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan yang
telah disepakati tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan alat lainnya yang
dipersamakan dengan itu.
2. Pembiayaan adalah penyedian dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa;
transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah.
3. Menyalurkan pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah
berdasarkan akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau akad
lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah.
4. Melakukan pengambilalihan utang berdasarkan akad hawalah atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan prinsip syari’ah; dan
5. Membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihat ketiga yang
diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan prinsip syari’ah, seperti akad ijarah,
musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah.
BAB IV
IMPLEMENTASI MUDHARABAH DI LEMBAGA KEUANGAN BUKAN BANK
Lembaga keuangan adalah badan usaha yang menjalankan usaha dibidang jasa keuangan, baik
sebagai penyerap dana masyarakat dalam bentuk simpanan atau tabungan maupun sebagai penyedia
dana untuk pembiayaan unit usaha atau memenuhi kebutuhan rumah tangga atau sebagai penjamin.
Lembaga keuangan syari’ah seperti halnhya lembaga keuangan konvensional, perbedaanya terletak
pada sumber rujukan yang menjadi dasar dan pijakan pada lembaga keuangan syari’ah, yaitu prinsip-
prinsip syari’ah atau nilai-nilai islam dengan tetap tunduk pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia. Lembaga keuangan syari’ah dalam oprasialnya memiliki tuajan sosial dan
pemberdayaan ekonomi umat. Lembaga keuangan jika dilihat dari sektor yang digelutinya berupa
pemenuhan kebutuhan masyarakat dibidang-bidang tertentu, dan dikelompokan menjadi beberapa
kelompok;
1. Perusahaan asuaransi
2. Penyelenggaran dana pensiun
3. Perusahaan keuangan
4. Holding Company
5. Perusahaan yang memberikan potongan atau diskon
6. Perusahaan penerbit kartu kredit; dan
7. Pegadaian
Dalam praktik ban syari’ah, akad yang digunakan oleh peserta asuransi dengan perusahaan terdiri
atas akad tijarah dan/atau akad tabarru’. Yang dimaksud dengan akad tijarah adalah semua bentuk
akad yang dilakukan untuk tujuan komersial, sedangkan akad tabarru adalah semua bentuk akad yang
dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong menolong, bukan semata untuk tujuan komersial. Akad
tijarah yang digunakan salam operasional asuransi syari’ah adalah akahd mudharabah, sedangkan akad
tabarru’nya adalah hibah. Dalam akad tijarah dalam hal ini akad mudharabah, perusahaann asuransi
bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta asuransi bertindak sebagai shahibul maal
(pemegang polis). Dalam akad tabarru, dalam hal ini hibah , peserta asuransi memberikan hibah yang
akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sementara itu perusahaan asuransi
bertindak sebagai pengelola dan hibah. Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat
diinvestasikan dan hassil investasinya dibagihasilkan kepada peserta suranasi. Adapun presmi yang
berasal dari akad tabarru’ dapat diinvestasikan sesuai dengan syari’ah, seperti melakukan reasuransi
pada perusahaan reasuransi yang berlandaskan prinsip syariah. Perusahaan memperoleh bagi hasil dari
pengelolaan dana yang terkumpul dari akad tijarah (mudharabah) dan memperoleh ujrah (fee) dari
pengelolaan dana akad tabarru’ (hibah).
Reksadana syari’ah adalah salah satu produk yang tengah berkembang di indonesia saat ini di antara
produk-produk keuangan baru yang dikembangkan untuk menarik dana dari masyarakat. Reksadana
adalah sebuah wadah di mana masyarakat dapat menginvestasikan dananya dan oleh pengelolanya (
manajer investasi) dana itu diinvestasikan ke portfolio efek. Reksadana merupakan jalan keluar bagi
para pemodal kecil yang ingin ikut serta dalam pasar modal dengan menggunakan akad mudharabah.
Reksadana Syari’ah dilaksanakan dengan akad mudharabah dengan manajer investasi sebagai
mudharaib yang mengelola dana milik bersama dari para investor. Sebagai bukti penyertaan, investor
akan mendapat unit penyertaan dari Reksadana Syari’ah. Dana kumpulan Reksadana Syaria’ah akan
ditempatkan kembali ke dalam kegiatan Emiten (perusahaan lain) melalui pembelian efek syari’ah.
Reksadana Syari’ah berperan sebagai mudharib dan emiten berperan sebagai mudharib. Oleh karena
itu, hubungan seperti ini disebut sebagai ikatan mudharabah bertingkat. Reksadana merupakan suatu
instrumen kolektif. Dana yang terkumpul ini, selanjutnya dikelola dan diinvestasikan oleh seorang
manajer investasi (fund manager) melalui saham, obligasi, valuta asing atau deposito.
BAB VII
MUDHARABAH DALAM OPERASIONAL KOPERASI SYARI’AH DAN PERBERDAYAAN
ANGGOTA
Operasional syari’ah adalah salah satu lembaga keuangan syari’ah yang bersifat multi finance,
mampu mengatasi beragam kebutuhan masyarakat dengan kebutuhan masyarakat dengan menggunakan
bermacam-macam instrumen akad sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan tetap bepegang pada
prinsip –prinsip syari’ah, slah satunya adalah akad mudharabah. Pola bagi hasil (syari’ah) mendasarkan
pada akad-akad mualmalahyang memilki keluwesan dalam operasionalnya, memungkinkan koperasi
syari’ah dapat melalakukan berbagai kegiatan usaha tanpa batas selama sesuai dengan prinsip-prinsip )
dalam koperasi adalahsyari’ah. Prinsip gotong-royong (ta’awun ,alal birri) dan bersifat kolektif
(berjamaah) dalam koperasi adalah prinsip yang sesuai dengan syari’ah (QS. Al-Ma’idah[5]:2).
Demikian halnya dengan konsep utama operasional koperasi syari’ah berdasarkan pada akad Syairkah
Mufawadhah, yakni sebuah usha yang didirikan secara bersama-sama oleh dua orang atau lebih,
masing-masing memberikan kontribusi dana ataupun kerja dengan porsi yang sama.
Fungsi koperasi syari’ah sebagai manajer investasi (agen/arranger) penghubung antara pemilik
dana yang memerlukan modal usaha, sbagai investor (shahibul maal), dan fungsi sosial dengan
memberikan pinjaman kebajikan dengan pengembalan pokok (al-Qordh), aau bahkan pinjaman
kebajikan dengan atau tanpa pengembalian pokok (Qordhul Hasan) adalah fungsi kelembagaan yang
dianjurkan dalam islam.
Dalam operasional koperasi syari’ah, ada lima konsep yang menjadi landasannya, yaitu :
1. Sistem simpanan/titipan (al-Wadi’ah)
2. Bagi hasil (Syirkah)
3. Jual beli (at-Tijarah)
4. Sewa (al-Ijarah), dan
5. Jasa/fee (al-Ajr wal umullah)
Prinsip koperasi berdasarkan syari’ah akan mendorongsetiap anggota untuk meningkatkan
prestasinya, karena sistem akad yang sesuai dengansyari’ah menetapkan keuntungan yang berhak
diperoleh anggota yang sesuai dengan prestasi yang dilakukannya. Akad kerjasama mudharabah
misalnya, mendorong anggota untuk mengembangkan usaha dengan keuntungan sebesar-besarnya
karena prinsip bagi hasil dalam akad tersebut menuntut anggota berusaha maksimal untuk
memperoleh bagian yang besar. Jika hasil usahanya besar maka bagi hasilnya pun besar. Akad-akad
yang sesuai dengan syari’ah pun menuntut kejujuran, amanah, dan tanggung jawabsetiap anggota
dalam menjalankan usahanya.
Landasan hukum koperasi syari’ah yaitu :
1. Landasan idil
a. Al-Qur’an
QS. al-Maidah [5]:2
QS. al-Maidah [5]:1
QS. al-Baqarah [2]:168
QS. al-Baqarah [2]:208
b. Al-Sunnah, diantaranya Hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa
Rasuluhllah SAW, bersabda:
“Allah SWT. Beriman, “Aku ini ketiga dari orang yang berserikat, selama salah seorang
dari mereka tidak berkhianat. Apabila salah seorang mengkhianati temannya, maka aku
keluar dari persyerikatan tersebut.” (HR. Abu Daud)
c. Pancasila
2. Landasan konstitusional
a. UUD 1945
b. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Pengkoperasian
c. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah Daerah
BAB VIII
MUDHARABAH DALAM KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARI’AH (KHES)
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) merupakan upaya kaum muslim indonesia untuk
memberikan panduan bagi masyarakat yang berminat melaksanakan dan atau menjadi pelaku ekonomi
syari’ah di indonesia. KHES pun dapat dijadikan pedoman bagi para penegak hukum apabila terjadi
sengketa di bidang ekonomi syari’ah. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) adalah kumpulan
sejumlah informasi yang disusun secara teratur dengan berpedoman pada teknik penyusunan dengan
konstruksi yang menggambarkan unsur metodologis dalam rangka kodifikasi hukum ekonomi syari’ah.
Kondifikasi hukum ekonomi syari’ah merupakan kebutuhan karena hukum ekonomi syari’ah
sebagai hukum muamalat mempunyai keragaman pandangan yang berbeda. Kondifikasi adalah
himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang atau hal penyusunan kitab perundang-undangan.
Berdasarkan materi-materi yang ada di dalam KHES, dapat disimpulkan bahwa KHES dapat dikatakan
sebagai buku fiqh muamalah ala Indonesia yang disusun dalam bentuk taqnin (perundang-undangan
modern) sebagai pedoman berbisnis di Indonesia.
Pada dasarnya, KHES merupakan kompilasi berbagai fiqh yang telah ada, yang berasal dari fiqh
muamalah, yang telah dipraktikkan dalam aktivitas di lembaga keuangan syari’ah dengan tujuan untuk
memudahkan penerapannya dalam kegiatan uasaha dilembaga-lembaga keuangan syari’ah tersebut.
BAB IX
PERAN MUDHARABAH DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI MASYARAKAT
Peran mudharabah dalam pengembangan ekonomi masyarakat terwujud dalam keadilan ekonomi
berupa berputarnya modal/uang di antara masyarakat (modal/uang tidak hanya beredar di kalangan
orang kaya). Selain itu, akad mudharabah juga menjembatani pihak yang memiliki keahlian, tetapi
tidak memeiliki modal dengan pihak yang memiliki modal, tetapi tidak punya keahlian dalam
mengembangkan hartanya dengan cara yang diperbolehkan syari’at, bahkan disebut dalam hadis
sebagai transaksi yang berkah, jauh dari riba yang dicela.
Menurut al-maraghi, larangan riba dalam al-Qur’an diturunkan secara bertahap. Tahap pertama,
Allah menunjukan, bahwa riba bersifat negatif. Pernyataan ini disampaikan dalam surah al-Rum
[30]:39. Tahap kedua, Allah telah memberikan isyarat tentang keharaman riba melalui kecaman
terhadap praktik riba dikalangan masyarakat Yahudi. Hal ini disampaikan dalam surah an-Nisa [4]:161.
Tahap ketiga, Allah mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu dengan berlipat ganda dengan
larangan yang tegas. Hal ini disampaiakan dalam surah ãli ‘Imrãn [3]:130. Tahap terakhir, Allah
mengharamkan riba secara total dengan segala bentunya. Hal ini disampaikan melalui firman-Nya
syrah al-Baqarah [2]:275,276 dan 278.
Bahaya yang dapat ditimbulkan oleh praktik riba dapat berupa bahaya moral, peradapan dan
sosial, serta bahaya ekonomi. Riba mempengaruhi motivasi dan tindakan manusia dalam
memenuhi kebutuhan ekonominya dengan sifat-sifat egoisme, kikir, sempit dada, memperhambat
diri pada harta, rakus pada benda dan sifat-sifat rendah lainnya.
Masyarakat yang pembangunan ekonominya dibangun atas dasar egoisme. Dimana seseorang mau
menolong yang lain semata-mata karena suatu keuntunngan baginya, kesempitan dan kesulitan orang
lain menjadi objek untuk mencari kekayaan, kepentingan-kepentingan orang kaya dan mampu
berlawanan dengan kepentingan golongan yang tidak mampu. Dari segi ekonomi, riba banyak
merugikan masyarakat dan pengusaha kecil yang mempunyai kemampuan terbatas sehingga yang kaya
semakin kaya, sdangkan yang miskin semakin terhimpit dengan kemiskinannya.
Riba dlam kaitannya dengan bunga bank, dari sudut pandang teori ekonomi, banyak ahli di bidang
ekonomi dan politik menguatkan pendapat, bahwa bungan bank merupakan faktor penyebab mayoritas
kriris yang menimpa dunia. Perekonomian dunia tidak akan membaik sampai tingkat bunga bank dapat
ditekan menjadi nol, artinya penghapusan bunga secara total. Krisis ekonomi yang terjadi di antara
pemicunya adalah adanya krisis perbankan konvensional yang berlandaskan bunga.
BAB X
PERAN ULAMA DAN PEMERINTAH DALAM PELAKSANAAN AKAD MUDHARABAH