Dosen Pengampu :
Oleh :
Hardian Nofero
17046107
PENDIDIKAN SEJARAH
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan YME, yang telah memberikan
kesehatan serta kesempatan kepada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan laporan
Kuliah Kerja Lapangan (KKL) yang dilaksanakan di Nagari Tuo Pariangan (Kabupaten
Tanah Datar) pada tanggal 22-23 November 2019, dengan baik dan sesuai dengan rencana.
Do’a dan salam tak lupa penulis ucapkan dan kirimkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang
telah menuntun kita dari kegelapan kepada cahaya seperti saat ini. Laporan ini bertujuan
untuk memenuhi tugas akhir semester serta pertanggung jawaban atas perjalanan KKL yang
telah penulis laksanakan. Dalam laporan ini penulis akan memaparkan hasil observasi penulis
serta kegiatan- kegiatan yang dilaksanakan selama kegiatan KKL Berlangsung.
Pelaksanaan dan penyusunan laporan ini tidak lepas dari bantuan pihak- pihak terkait.
Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
3. Bapak Drs. Etmi Hardi, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Mata Kuliah Sejarah
dan Kebudayaan Minangkabau. Bapak Drs. Zul Asri M.Hum, Bapak Drs.Zafri
M.Pd, Bapak Ridho Bayu Yefterson S.Pd, M.Pd , Ibu Dr. Aisiah S.Pd. M.Si
,Bapak Uun Lionar S.Pd, M.Pd, Bapak Hendra Naldi S.S. M.Hum, dan Staf TU
Jurusan Sejarah Bapak Syamsul Bahri yang telah membimbing kami .
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini jauh dari sempurna tapi penulis akan
berusaha untuk membuatnya menjadi mendekati sempurna. Saran dan kritik yang diberikan
sangat berharga dalam penyelesaian laporan KKL ini sehingga menjadi lebih baik . Terakhir,
penulis berharap agar laporan KKL ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya
dan para pembaca pada umumnya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perguruan tinggi adalah bagian integral dari pembangunan nasional dan sangat
terkait dengan tujuan pendidikan pada umumnya, yakni dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang seutuhnya, yakni manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap
dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Universitas Negeri Padang (UNP) adalah sebagai salah satu perguruan tinggi
yang menyediakan Program Studi Pendidian Sejarah di indonesia diharapkan mampu
berperan dalam mengimplementasikan nilai Tri Darma Perguruan Tinggi, yakni darma
pendidikan dan pengajaran, darma penelitian dan darma pengabdian masyarakat.
Pengabdian masyarakat sebagai salah satu aspek Tri Darma Perguruan Tinggi
harus mendapatkan perhatian serius dari Universitas Negeri Padang guna
menumbuhkan, memelihara, mengamalkan dan mengembangkan kemampuan ilmu dan
teknologi, khususnya ilmu-ilmu Sejarah melalui berbagai program Kuliah Kerja
Lapangan (KKL).
Kuliah Kerja Lapangan adalah salah satu bentuk belajar praktik yang
merupakan agenda rutin yang dilakukan oleh Program Studi Pendidikan Sejarah
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang. Kegiatan tersebut diikuti oleh
mahasiswa / mahasiswi semester 5 dan beberapa dosen yang mendampingi. KKL
dilakukan bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pengalaman mengenai Sejarah
sehingga mahasiswa dapat menyelaraskan dengan teori yang sudah didapat ditiap
kunjungan yang dilakukan , selain itu para mahasiswa selanjutnya diberikan tugas
untuk melaporkan hasil kunjungan tersebut dalam bentuk laporan.
2. Tujuan
3. Manfaat
Manfaat yang diperoleh mahasiswa dalam mengikuti kegiatan KKL ini adalah
sebagai berikut:
PEMBAHASAN
Tatkala masa dahulunya berlayarlah Niniak kita Sulthan Suri Maharajo Dirajo dengan
saudaranya Sulthan Maharajo Alif dan Sulthan Maharajo Depang dengan beberapa
rombongan pengikutnya sebanyak 99 orang. Di tengah perjalanan pelayaran terjadilah
pertikaian pendapat, karena didalam hati Sulthan Maharajo Alif timbul pertanyaan tanpa
jawab. Kenapa Sulthan Suri Maharajo Dirajo diberi oleh ayahanda Sulthan Iskandar
Zulkarnain Mahkota Kerajaan dari emas berlian, Sulthan Maharajo Depang diberi Palano
emas berlian, Sulthan Maharajo Alif juga ingin meminta Mahkota Kerajaan dari emas
berlian, maka diajaklah Sulthan Maharajo Depang untuk menyampaikan keinginannya
kepada Sulthan Suri Maharajo Dirajo. Maka permintaan tersebut dikabulkan oleh Sulthan
Suri Maharajo Dirajo dengan syarat Sultan Maharajo Alif harus berhadapan dengan Sultan
Suri Maharajo Depang dengan telapak tangan yang berhadapan untuk menerimanya. Ketika
telapak tangan keduanya terbuka yang berhadapan langsung Mahkota emas dijatuhkan oleh
Sulthan Suri Maharajo Dirajo. Maka turunlah niniak kita kebawah nangko, yang disebut
dengan bawah nangko yaitunya adalah Nagari Pariangan sekarang atau tapatnya di Jorong
Pariangan sekarang ini, juga dikatakan tempat yang dimaksud adalah “Titisan Silampuang
Lampang, Ka Gunuang Kapatalao, Kabukik Siguntang Guntang, Di Rusuak Banto Nan
Barayun, Dikida Batang Bangkaweh, Disinanlah Galundi Dan Baselo, Disinan Sirangkak
Hitam Kuku, Disinan Buayo Putiah Daguak, Iliran Lantak Tigo Luak”.
Tempat itu merupakan sebuah bukit yang kalau kita kondisi geografisnya Nagari
Pariangan atau tepatnya Jorong Pariangan. Pada masa dahulunya niniak moyang kita
hidup/tinggal menetap diruang-ruang batu atau goa maka Ruang tersebut disebut Paruangan
dan akhirnya menjadi Pariangan. Datanglah rusa dari laut maka dijerat bersama-sama oleh
anak nagari, setelah rusa itu dapat ditangkap, disemblih dan dibakar bersama-sama, setelah
makan daging rusa tersebut maka sukalah hati orang semuanya dengan beriang-riang dan
menari-nari bersama-sama dilokasi tanah yang datar, maka dengan keadaan. Lama kelamaan
tempat bermukim pengikut Sultan Suri Maharajo Dirajo semakin banyak yaitu Pariangan,
Padang Panjang, Guguak, Sikaladi yang disebut dengan 4 koto itulah nagari tuo
Minangkabau yang disebut Nagari Pariangan.
Koto Guguak
Maka disuruh oleh sulthan suri maharaja rombongan untuk mencari penghidupan
maka rombongan tersbut mendapati suatu tempat yang tinggi maka bertanyalah diantara
mereka mengapa taguguak disiko maka berhentilah mereka disana danmembuat tempat
tinggal sehingga menjadi satu koto yang debut dengan guguak atau tempat yang ketinggian.
Koto Sikaladi
Setelah masyarakat berkembang di tigo koto yang ada maka adaerah tempat mencari
makan sudah sempat maka disuruhlah oleh sulthan suri maharaja dirajo mencari makan
kearah matahari mati. Didaerah tersebut banyak buruan yang didapat. Setelah berulang ulang
kedaerah tersebut maka sebagian mereka tinggal disana dengan kata mereka disikolah dih
kiomalam . maka setelah berepalama berkembang pula dinasa maka disebut sikaladi.maka
disebut koto sikaladi.
Seiring berjalannya waktu tempat bermukim pengikut Sultan Suri Maharajo Dirajo
semakin meluas yaitu Pariangan, Padang Panjang, Guguak, dan Sikaladi yang disebut ampek
koto di ateh (empat koto di atas) sekarang lebih dikenal dengan sebutan Nagari tuo
Pariangan. Pertambahan penduduk mengakibatkan terbentuknya kaum serta niniak mamak
yang diberi batas dengan suku untuk keamanan dan keteraturan dalam perkawinan
masyarakat, dan sawah diberi pamatang (pematang) sebagai batas. Terdapat delapan suku
yang pertama dibuat di Minangkabau yaitu Piliang, Koto, Malayu, Piliang Laweh,
Sikumbang, Dalimo Panjang, Dalimo Singkek dan Pisang. Disamping itu, pertambahan
penduduk membuat Datuak Bandaro Kayo selaku Raja saat itu mengeluarkan titahnya untuk
membuka kawasan permukiman baru yang disebut dengan ampek koto di bawah (empat koto
di bawah) yaitu Koto Baru, Batu Basa, Sialahan dan Koto Tuo. Di dalam tambo (naskah kuno
Minangkabau) dituliskan bahwa kedelapan koto ini disebut sebagai Lareh nan Panjang.
Nagari sebagai satuan adat telah tumbuh sejak abad 1-7 Masehi, disusun oleh nenek
moyang orang Minangkabau sejak “rantiang dipatah, summua digali” artinya setelah
ranting pohon dipatahkan, saat pertama kali membuka hutan untuk permukiman. Menurut
tambo secara fisik syarat sebuah nagari adalah sebagai berikut:
2. Basuku banagari
Basuku artinya memiliki suku. Sekurang-kurangnya dalam sebuah nagari
ada empat suku. Banagari maksudnya memiliki nagari atau wilayah dalam suatu
daerah tertentu.
3. Bakorong bakampuang
4. Balabuah batapian
Balabuah artinya ada jalan. Di sebuah nagari harus ada jalan. Jalan merupakan
alat vital bagi masyarakat. Kemudian batapian artinya mempunyai tempat
pemandian umum dan sumber air.
5. Basasok bajarami
6. Bahuma Bapamedan
7. Bapandam Bakuburan
Setiap suku dipimpin seorang panghulu pucuk. Pangulu pucuk memiliki beberapa
penghulu pendukung (penungkat) yang mengepalai kehidupan di Rumah Gadang , sebagai
tempat berhimpunnya beberapa keluarga batih. Secara historikal empirik, nagari di dalam
realitas keseharian orang Minangkabau telah mampu berperan sebagai satu-satunya institusi
yang representatif dan akomodatif terhadap kepentingan dan preferensi rakyatnya.
Seperti diceritakan penulis-penulis Barat, sebagaimana dikutip Rusli Amran
dalam Plakat Panjang, nagari adalah kesatuan teritorial dan pemerintahan, yang menjadi
dasar Kerajaan Minangkabau dahulunya. Tiap nagari mempunyai pemerintahan sendiri dan
Pemerintah Nagari ini dulunya berjalan sangat baik, demokratis dan tidak dapat
disalahgunakan oleh pejabat nagari. Kesempatan untuk menyeleweng sedikit sekali. Ini
disebabkan kontrol langsung oleh rakyat melalui Pangulu-Pangulu mereka.
Objek
Masjid ini memiliki enam jendela di sisi kiri dan kanannya. Masjid ini
mengadopsi gaya arsitektur dongson, yang terlihat dari bentuk atapnya yang
bertingkat tingkat dengan ukuran yang berbeda beda. Menurut salah satu tokoh di
Pariangan masjid ini di bangun pada abad ke 19. Dahulunya Masjid ini berlantaikan
kayu dan atapnya memakai ijuk. Karena termakan usia mesjid ini mengalami
beberapa perbaikan.
Prasasti pariangan adalah sebuah peninggalan berupa batu yang berupa tulisan
sangskerta. Tetapi tulisannya kurang jelas karena tertutup oleh debu karena kurang
perawatan.
4. Kuburan Panjang
5. Balai Saruang
Balai Saruang adalah salah satu balai yang terdapat di Nagari Pariangan
Kecamatan Pariangan, Balai Saruang adalah tempat dimano Bahandaro Kayo sebagai
tampuak Tangkai Alam Minangkabau memutuskan segala suatu perkara, di Balai
Saruang ini hukum tidak bisa dibanding lagi dalam Tambo dinyatakan “Gantiang
Putuih Miang Cabiak” artinya segala sesuatunya dapat diputuskan disini, kalau
hukum sudah jatuh putusan tidak dapat lagi dibanding. Di Balai Saruang ini
Bahandaro Kayo dibantu oleh pembantu-pembantunya di Nagari Pariangan yang
dikenal dengan Niniak Mamak yang Salapan.
6. Balai Katiak
Balai Katiak adalah satu tempat tahanan dan kurungan bagi orang-orang yang
tersangka dan terdakwa sebelum dan sesudah putusan yang dijatuhkan di Balai
Saruang. Balai Katiak dipimpin oleh DT. Pamuncak Alam Sati, sebagai orang kuatnya
Bahandaro Kayo, Dt. Pamuncak Alam Sati dijuluki dengan Harimau Campo Koto
Piliang sebagai patiah Kerajaan.
Balai Katiak artinya balai yang ketek (kecil) atau dalam bahasa minangnya
Sampik. Disinilah segala sesuatu diperbuat untuk mensukseskan pemeriksaan di Balai
Pasujian. Dalam Tambo dinyatakan “Kareh batakiak lunak basusu, Sampik lalu
lapang batokok”.
7. Balai Panjang
Balai adalah suatu tempat yang dipelihara yang diberi berbatu tempat duduk
dan batu sandaran. Dibalai panjang ini terdapat beberapa macam batu sandaran, ada 3
buah tempat duduk dan sandaran tempat bermusyawarahnya Dt. Parpatiah Nan
Sabatang, Dt. Katumanggungan dan Dt. Suri Nan Banego-Nego. Disinilah adat mulai
disusun, undang-undang mulai dibuat oleh Niniak kita dahulunya.
Di Balai panjang ini juga terdapat tempat duduk dan batu sandaran yang lain
sebanyak 22 buah, ini adalah tempat bermusyawarahnya Niniak Mamak Nagari untuk
mencarikan aia nan janiah sayak nan landai. Juga disini tempat menjatuhkan hukum
bagi Anak Nagari yang melanggar hukum apakah itu yang dikenal dengan Undang-
Undang Nan 8 ataupun dengan Undang-Undang Nan 12.
8. Balai Pasujian
Pasujian dibuat adalah untuk memeriksa segala permasalahan anak jo
kamanakan sarato urang nan banyak, disinilah tempat dilakukan pemeriksaan
terhadap segala pesoalan yang tumbuh yang menyangkut dengan pelanggaran undang,
apakah itu Undang Salapan maupun Undang Duo Baleh. Orang yang memeriksa
disini adalah Dt. Rajo Api, Dt. Rajo Api inilah yang punya kewenangan yang
diberikan oleh Bahandaro Kayo untuk memeriksa segala kesalahan Anak Nagari.
Menurut Tambo disini dilakukan “Sudi jo Siasek”.
9. Batu Subang Gadang
Sewaktu masyarakat yang datang kedaerah yang baru padang panjang
merambah dan malaco serta manarah manaruko meka ditemuilah satu batu yang besar
maka makan lah mereka diatas batu tersebut maka disebut batu subang gadang.maka
ditempat tersebut mereka melakukan permainan diantaranyo bermain catur. Maka
duduklah raja disana menyaksikan masarakat mereka bersuka ria. Permaiana nya
tersebut catua parang dan catua harimau yang sampai saat ini masih dimainkan oleh
anak nagari pariangan.
EVALUASI
Dari kegiatan Kuliah Kerja Lapangan yang telah kami lakukan pada 22-23 November
2019 , tentu saja banyak menimbulkan kesan tersendiri bagi setiap peserta Kuliah Kerja
Lapangan. Maka dari itu setidaknya kesan-kesan tersebut perlu kiranya dijadikan bahan untuk
Evaluasi baik untuk keseluruhan (peserta) maupun pihak penyelenggara ( Panitia).
Dari kegiatan Kuliah Kerja Lapangan yang perlu di Evaluasi diantara yang dimana
waktu pelaksaan yang agak sedikit terbatas, sehingga mempengaruhi efisiensi waktu
pelaksanaan. Waktu pelaksaan dengan waktu keberangkatan harusnya disesuaikan. Selain
itu untuk kenyamanan peserta Kuliah Kerja Lapangan, hal-hal seperti konsumsi dan sarana
dan prasarana harus disesuaikan dengan kebutuhan, diberikan sesuai dengan anggaran
yang telah tertera.
BAB IV
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Banyak hal bermanfaat yang dapat diperoleh dari Kuliah Kerja Lapangan, selain dapat
memberikan visualiasi secara real, juga dapat menyegarkan jiwa peserta Kuliah Kerja
Lapangan yang setidaknya butuh sedikit perjalan untuk menyegarkan fikiran. Selain
manfaat tersebut, hal-hal yang kiranya perlu dibenahi untuk kegiatan Kuliah Kerja
Lapangan selanjutnya juga harus dilakukan agar dapat memberikan kesan tersendiri bagi
perserta dan juga panitia Kuliah Kerja Lapangan Angkatan 2017.
LAMPIRAN FOTO
DAFTAR PUSTAKA
Amran, Rusli, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta,
1981.