Anda di halaman 1dari 34

1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR TUBERKULOSIS

1. Sejarah Tuberkulosis

Pada hakekatnya, penyakit Tuberkulosis(TB) adalah penyakit yang sudah

adasedari zaman purbakala(Danusantoso, 2012 : 95). Kuman penyebab TBC

(Micobacterium tuberkulosis) ditemukan pertama kali pada tahun 1882 oleh

Robert Koch, sedangkan vaksin BCG ditemukan pada tahun 1921. Kemudian

pada tahun 1944 ditemukan streptomisin sebagai obat pertama anti TBC ,

kemudian disusul INH pada tahun 1949. Penyakit TBC muncul kembali ke

permukaan dengan meningkatnya kasus TBC dinegara-negara maju atau industri

pada tahun 1990. Selain itu, peningkatan kasus TBC sebagai reemerging disease

dipengaruhi pula dengan terjadinya penyebaran infeksi HIV/AIDS. Saat ini

disluruh dunia terdapat 8 juta kasus terinfeksi dan 3 juta kasus meninggal. TBC

umumnya menyerang golongan usia produktif dan golongan sosial ekonomi

rendah sehingga berdampak pada pemberdayaan sumber daya manusia yang

dapat menghambat pertumbuhan ekonomi negara (Notoatmodjo, 2011 : 323).

2. Definisi Tuberkulosis

TB paru adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang paru-paru yang seara

khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosi jaringan.

Penyakit ini bersifat menahun dan dapat menular dari penderita kepada orang

lain (Manurunget al, 2008:105). Tuberkulosis paru merupakan penyakit

infeksi yang
2

menyerang parenkim paru-paru, disebabkan oleh Micobacterium tuberkulosis

(Brunner & Suddart, 2013 :525).Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang

sebagian besar disebabkan oleh kumanMicobacterium tuberkulosis.Kuman tersebut

biasanya masuk kedalam tubuh manusia melaui udara yang dihirup kedalam

paru, kemudian kuman tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lain

memalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfa, melalui saluran

pernafasan (bronchus) atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh

lainnya (Notoatmodjo, 2011 : 323).

3. Etiologi Tuberkulosis

Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Micobacterium tuberkulosis. Bakteri atau

kuman ini berbentuk batang, dengan ukuran panjang 1-4µm dan tebal 0,3-

0,6µm. Sebagian besar kuman berupa lemak/lipid, sehingga kuman tahan terhadap

asam dan lebih tahan terhadap kimia atau fisik. Sifat lain dari kuman ini adalah

aerob yang menyukai daerah dengan banyak oksigen, dan daerah yang

memiliki kandungan oksigen tinggi yaitu apikal/apeks paru. Daerah ini menjadi

predileksi pada penyakit tuberkulosis (Somantri , 2009 : 67)

Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang dpat terinfeksi

Micobacterium tuberkulosis paru adalah: (Astuti, 2010: 127)

1. Usia

Usia bayi kemungkinan besar mudah terinfeksi karena imaturitas imun

tubuh bayi. Pada masa puber dan remaja terjadi masa pertumbuhan cepat

namun kemungkinan mengalami infeksi cukup tinggi karena asupan

nutrisi tidak adekuat.


3

2. Jenis kelamin
Angka kematian dan kesakitan lebih banyak terjadi pada anak perempuan

dimasa akhir anak-anak dan remaja.

3. Herediter

Daya tahan tubuh seseorang diturunkan secara genetik.

4. Keadaan stres

Situasi yang penuh stres menyebabkan kurangnya asupan nutrisi sehingga

daya tahan tubuh menurun.

5. Anak yang mendapatkan terapi kortikosteroid

Kemungkinan mudah terinfeksi karena daya tahan tubuh anak ditekan

oleh obat kortikosteroid.

4. Tanda dan Gejala Tuberkulosis

Pada stadium awal penyakit TB paru tidak menunjukan tanda dan

gejala yang spesifik. Namun seiring dengan perjalanan penyakit akan

menambah jaringan parunya mengalami kerusakan, sehingga dapat

meningkatkan produksi sputum yang ditunjukan dengan seringnya klien batuk

sebagai bentuk kompensasi pengeluaran dahak (Manurunget al, 2008: 106).

Selain itu, klien dapat mersa letih, lemah, berkeringat pada malam hari

dan mengalami penurunan berat badan yang berarti. Secara rinci tanda dan gejala

TB paru ini dapat dibagi atas 2 (dua) golongan yaitu gejala sistemik dan gejala

respiratorik.

1. Gejala sistemik

a. Demam

Demam merupakan gejala pertama dari tuberkulosis paru, biasanya

timbul pada sore dan malam hari disertai dengan keringat mirip demam
4

influeza yang segera mereda. Tergantung dari daya tahan tubuh dan virulensi

kuman, serangan demam yang berikut dapat terjadi setelah 3 bulan, 6 bulan, 9

bulan. Demam sepeti influenza ini hilang timbul dan semakin lama makin

panjang masa serangannya, sedangkan masa bebas serangan akan makin

pendek. Demam dapat mencapai suhu tinggi yaitu 40°-41°C.

b. Malaise

Karena tuberkulosis bersifat radang menahun, maka dapat terjadi

rasa tidak enak badan, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan makin

kurus, sakit kepala, mudah lelah dan pada wanita kadang-kadang dapat

terjadi gangguan siklus haid.

2. Gejala respiratorik

a. Batuk

Batuk baru timbul apabila proses penyakit telah melibatkan

bronkhus. Batuk mula-mula terjadi oleh karena iritasi bronkhus; selanjutnya

akibat adanya peradangan pada ronkhus, batuk akan menjadi produktif.

Batuk produktif ini berguna untuk membuang produk-produk ekskresi

peradangan. Dahak dapat bersifat mukoid atau purulen.

b. Batuk darah

Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah. Beratdan

ringannya batuk darah yang timbul, tergantung dari besar kecilnya

pembuluh darah yang pecah. Batuk darah tidak selalu timbul akibat

pecahnya aneurisma pada dinding kavitas, juga dapat terjadi katena ulserasi

pada mukosa bronkhus. Batuk darah inilah yang paling sering membawa

penderita berobat ke dokter.


5

c. Sesak nafas

Gejala ini ditemukan pada penyakit yang lanjut dengan kerusakan

paru yang cukup luas. Pada awal penyakit gejala ini tidak pernah

ditemukan.

d. Nyeri dada

Gejala ini timbul apabila sistem persyarafan yang terdapat di pleura

terkena, gejala ini dapat bersifat lokal atau pleuritik.

5. Patofisiologi Tuberkulosis

Seseorang dicurigai menghirup basil Micobacterium tuberkulosis akan

menjadi terinfeksi. Bakteri menyebar melalui jalan nafas ke alveoli, dimana

pada daerah tersebut bakteri bertumpuk dan berkembang biak. Penyebaran basil

ini bisa juga melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lain (ginjal,

tulang, korteksserebri) dan area lain dari paru-paru (lobus atas).

Sistem kekebalan tubuh merespon dengan melakukan reaksi inflamsi.

Neutrofil dan magrofag memfagositosis (menelan) bakteri. Limfosit yang

spesifik terhadap tuberkulosis menghancurkan (melisiskan) basil dan jaringan

normal. Reaksi jaringan inin mengakibatkan terakumulasinya eksudat dalam

alfeoli dan terjadilah bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya timbul dalam

waktu 2-10 minggu setelah

terpapar.

Masa jaringan baru disebut granuloma, yang berisi gumpalan basil yang
hidup

dan yang sudah mati, dikelilingi oleh magrofag yang membentuk dinding.

Granuloma berubah bentuk menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari

massa tersebut disebutGhon Tubercle.Materi yang terdiri atas magrofag dan bakteri
6

menjadi nekrotik, membentuk perkijuan (necrotizing caseosa). Setelah itu akan

berbentuk kalsifikasi, membentuk jaringan kolagen. Bakteri menjadi non-aktif.

Penyakit akan berkembang menjadi aktif setelah infeksi awal, karena

respons sistem imun yang tidak adekuat. Penyakit aktif dapat juga timbul akibat

infeksi ulang atau aktifnya kembali bakteri yang tidak aktif. Pada kasus ini,

terjadi ulserasi pada ghon tubercle, dan akhirnya meanjadi perkijuan. Tuberkel

yang ulserasi mengalami proses penyembuhan membentuk jaringan parut. Paru-

paru yang terinfeksi kemudian meradang, mengakibatkan bronkopneumonia,

pembentukan tuberkel, dan seterusnya. Peneumonia seluler ini dapat sembuh

dengan sendirinya. Proses ini berjalan terus dan basil terus difagosit atau

berkembangbiak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui kelenjar getah

bening. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan

sebagian bersatu membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh

limfosit (membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang mengalami nekrosis serta

jaringan granulasi yang dikelilingi sel epiteloid dan fibroblast akan

menimbulkan respons berbeda dan akhirnya membentuk suatu kapsul yang

dikelilingi oleh tuberkel (Somantri, 2009: 67).

6. Patogenesis Tuberkulosis

1. Tuberkulosis primer

Tuberkulosis primer adalah infeksi bekteri TB dari penderita yang belum

mempunyai reaksi spesifik terhadap bakteri TB. Bila bakteri TB terhirup dari

udara melaui saluran pernapasan dan mencapaialveoli atau bagian terminal

saluran pernapasan, maka bakteri akan ditangkap dan dihancurkan oleh

magrofag yang berada di alveoli. Jika pada proses ini, bakteri ditangkap oleh
7

magrofag yang lemah, maka bakteri akan berkembang biak

dalamtubuhmagrofak yang lemah itu dan menghancurkan magrofag. Dari

proses ini, dihasilkan bahan kemotaksik yang menarik monosit (magrofag) dari

aliran darah membentuk tuberkel. Sebelum

menghancurkan bakteri, magrofag harus diaktfkan terlebih dahulu oleh limfokin

yang dihasilkan limfosit T (Muttaqin, 2012 : 73).

Tidak semua magrofag pada granula TB mempunyai fungsi yang sama.

Ada magrofag yang berfungsi sebagai pembunuh, pencerna bakteri, dan

perangsang limfosit. Beberapa magrofagmenghasilkan protease, etastae,

kolagenase, serta colony stimulating factor untuk merangsang produksi monosit

dan granulosit pada sumsum tulang. Bakteri TB menyebar melalui saluran

pernapsan ke kelenjar getah bening regional (hilus) membentuk epiteloid

granuloma. Granuloma mengalami nekrosis sentral sebagai akibat timbulnya

hipersensitivitas seluler (delayed hipersensitivitas) terhadap bakteri TB. Hal ini

terjadi sekitar 2-4 minggu dan akan terlihat pada tes tubetkulin.

Hipersensitivitas seluler terlihat sebagai akumulasi lokal dari limfosit dan

magrofag.

Bakteri TB yang berada di alveoli akan membentuk fokus lokal (fokus

ghon), sedangkan fokus inisial bersama-sama dengan limfadenopati bertempat

di hilus (kolpleks primer ranks) dan disebut juga TB primer. Fokus primer paru

biasanya bersifat unilateral dengan subpleura terletak diatas atau dibawah fisura

interlobaris, atau dibagian basal dari lobus inferior. Bakteri menyebar lebih lanjut

melalui saluran limfe atau aliran darah dan akan tersangkut pada bagian organ.

Jadi, TB primer merupakan infeksi yang bersifat sistemis.


8

2. Tuberkulosis sekunder

Setelah terjadi resolusi dari infeksi primer, sejumlah kecil bakteri TB

masih hidup dalam keadaan dorman dijaringan parut. Sebanyak 90%

diantaranya tidak mengalami kekambuhan. Reaktivasi penyakit TB (TB

pascaprimer/Tb sekunder) terjadi bila daya tahan tubuh menurun, alkoholisme,

keganasan , silokosis, diabetes militus, dan AIDS.

Berbeda dengan TB primer, pada TB sekunder kelenjar limfe regional dan

organ lainnya jarang terkena, lesi lebih terbatas dan terlokalisasi. Reaksi

imunoligis terjadi dengan adanya pembentukan granuloma, mirip dengan yang

terjadi pada TB primer. Tetapi, nekrosis jaringan lebih menyolok dan

menghasilkan lesi kaseosa (perkijuan) yang luas dan disebut tuberkuloma.

Protease yang dikeluarkan oleh magrofag aktif akan menyebabkan pelunakan

bahan kaseosa. Secara umum, dapat dikatakan bahwa terbentuknya kavitas dan

menifestasi lainnya dari TB sekunder adalah akibat dari reaksi nekrotik yang

dikenal sebagai hipersensitivitas seluler (delayed hipersensitivity).

TB paru pascaprimer dapat disebabkan oleh infeksi lanjutan dari sumber

eksogen, terutama pada usia tua dengan riwayat semasa muda pernah terinfeksi

bakteri TB. Biasanya, hal ini terjadi pada daerah apikal atau segmen posterior

lobus superior (fokus simon), 10-20 mm dari pleura, dan segmen apikal lobus

inferior. Hal ini mungkin disebabkan oleh kadar oksigen yang tinggi didaerah

ini sehingga menguntungkan untuk pertumbuhan bakteri TB.

Lesi sekunder berkaitan dengan kerusakan paru. Kerusakan paru

diakibatkan oleh produksi sitokin (tumor necroting factor) yang berlebihan.

Kavitas yang terjadi diliputi oleh jaringan fibrotik yang tebal dan berisi

pembuluh darah pulmonal. Kavitas yang kronis diliputi oleh jaringan fibrotik
9

yang tebal. Masalah lainnya pada kavitas yang kronis adalah kolonisasi jamur

seperti aspergilus yang menumbuhkan mycetoma(Muttaqin, 2012: 74).

7. Penularan Tuberkulosis

Cara penularan: daya penularan dari seorang penderita TBC ditentukan

oleh: (Notoatmodjo, 2011 : 324)

1. Banyaknya kuman yang terdapat dalam paru penderita.

2. Penyebaran kuman di udara.

3. Penyebaran kuman bersama dahak berupa droplet dan berada di sekitar

penderita TB.

Kuman Micobacterium tuberkulosis pada penderita TB paru dapat terlihat

langsung dengan mikroskop pada sediaan dahaknya (BTA positif) dan sangat

infeksius. Sedangkan penderita yang kumannya tidak dapat dilihat langsung

dengan mikroskop pada sediaan dahaknya (BTA negatif) dan sangat kurang

menular. Penderita TB ekstra paru tidak menular, kecuali penderita TB paru.

Penderita TB BTA positif mengeluarkan kuman-kuman di udara dalam bentuk

droplet yang sangat kecil dan pada waktu bersin atau batuk. Droplet yang sangat

kecil ini mengering dengan cepat dan menjadi droplet yang mengandung kuman

tuberkulosis dan dapat bertahan di udara selama beberapa jam.

Droplet yang mengandung kuman ini dapat terhisap orang lain. Jika

kuman tersebut sudah menetap dalam paru orang yang menghirupnya, kuman ini

membelah diri (berkembang biak) dan terjadi infeksi. Orang yang serumah

dengan penderita TB BTA positif adalah orang yang besar kemungkinannya

terpapar kuman tuberkulosis.


10

8. Klasifikasi dan tipe penderita Tuberkulosis

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita tuberkulosis

memerlukan suatu definisi kasus yang memberikan batasan baku setiap

klasifikasi dan tipe penderita. Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita

penting dilakukan untuk menetapkan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

yang sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan dimulai. Ada empat hal yang

perlu diperhatikan dalam menentukan definisi-kasus, yaitu:


11

1. Organ Tubuh Yang Sakit


Penyakit tuberkulosis (TBC) terdiri atas 2 golongan besar (Kemenkes

RI, 2011: 19).

a. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan

(parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada

hilus.

b. Tuberkulosis ekstra paru adalah Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh

lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung

(pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,

saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Pasien dengan TB paru dan TB

ekstraparu diklasifikasikan sebagai TB paru.

2. Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya


Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe

pasien, yaitu: (Kemenkes RI, 2011: 21)

a. Kasus baru

Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau

sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan

BTA bisa positif atau negatif.

b. Kasus yang sebelumnya diobati

c. Kasus kambuh(relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan

tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,

didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

d. Kasus setelah putus berobat (Default)

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan

BTA positif.

e. Kasus setelah gagal (Failure)


12

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali

menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

f. Kasus pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan keregister lain untuk melanjutkan

pengobatannya.

g. Kasus lain:

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti yang

 Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya,

 Pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya,

 Kembali diobati dengan BTA negative

3. Hasil Pemeriksaan Dahak secara Mikroskopis Langsung

Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA), TB paru dibagi dalam:

(Kemenkes RI,2011: 20)

a. Tuberkulosis paru BTA positif

1. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak, hasilnya BTA positif.

2. 1 spesimen dahak, hasilnya BTA positif dan foto toraks dada


menunjukan gambaran tuberkulosis.

4. spesimen dahak, hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.

5. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak

pada pemeriksaan sebelumnyahasilnya BTA negatif dan tidak ada

perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

 Tuberkulosis paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.

Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:

1. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.

2. Foto thoraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis.

3. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi pasien dengan

HIV negatif.
13

4. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

9. Diagnosis

1. Diagnosis TB paru

a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu

sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).

b. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya

kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui

pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.

c. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat

digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan

indikasinya.

d. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan

fototoraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang

khaspada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

2. Diagnosis TB ekstra paru

a. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku

kudukpada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis),

pembesarankelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan

deformitas tulangbelakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.

b. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan

atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena

(Kemenkes RI, 2011: 13).

10. Pengobatan Tuberkulosis


1. Tujuan Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis (TB Paru) bertujuan untuk menyembuhkan pasien

dan memperbaiki produktifitas serta kualitas hidup, mencegah terjadinya

kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnya, mencegah terjadinya

kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah resitensi M.


14

Tuberkulosis terhadap obat anti tuberkulosis (Kemenkes RI, 2014: 20).

2. Prinsip pengobatan

Obat Anti Tuberkulosis(OAT) adalah komponen terpenting dalam

pengobatan TB. Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling efisien

untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB. Pengobatan yang adekuat

harus memenuhi prinsip: (Kemenkes RI, 2014: 20)

a. Pengobatan diberikan dalam bentuk oaduan OAT yang tepat mengandung

minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.

b. Diberikan dalam dosis yang tepat.

c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO sampai selesai

pengobatan.

d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap

awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.

3. Tahapan Pengobatan Tb

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan

lanjutan. Pada tahap intensif (awal) menderita mendapat obat setiap hari dan

perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.

Jikapengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya

penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)

dalam 2 bulan. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih

sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting

untuk membunuh kuman persister (dortmant) sehingga mencegah terjadinya

kekambuhan (Kemenkes RI, 2014: 21).


15

11. Hasil Pengobatan Pasien Tuberkulosis

a. Sembuh

Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan

apusan dahak ulang (Follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu

pemeriksaan sebelumnya (Kemenkes RI, 2011: 35).

b. Pengobatan lengkap

Pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak ada

hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada AP dan pada satu pemeriksaan

sebelumnya (Kemenkes RI, 2011: 35).

c. Meninggal

Pasien yang meninggal dari masa pengobatan karena sebab apapun

(Kemenkes RI, 2011: 35).

d. Pindah (Transfer out)

Pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan (register) lain dan hasil

pengobatannya tidak diketahui (Kemenkes RI, 2011: 35).

e. Putus berobat(Defaulted)

Pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa

pengobatannya selesai (Kemenkes RI, 2011: 35).

f. Gagal

Pasien yang pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif

atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan

(Kemenkes RI, 2011: 35).

g. Keberhasilan pengobatan (Treatment success)

Jumlah yang sembuh dan pengobatan lengkap. Digunakan pada pasien dengan

BTA+ atau biakan positif (Kemenkes RI, 2011: 35)


16

12. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


1. Isoniazid (H)

Obat ini bekerja berdifusi kedalam semua jaringan dan cairan tubuh, dan

efek yang amat merugikan sangat rendah. Obat ini diberikan melalui oral atau

intramuskular. Dosis obat harian biasa 10mg/kg, dengan kadar puncak obat dalam

darah, sputum, dan cairan serebrospinal dicapai sekurang-kurangnya 6-8 jam.

Isoniazid memiliki dua pengaruh toksik utama yaitu neuritis perifer dan hepatotoksik.

Tanda klinis fisik pada neuritis perifer yang paling sering adalah mati rasa dan rasa

gatal pada tangan dan kaki. Tanda klinis pada hepatotoksik jarang terjadi, namun

lebih mungkin terjadi pada anak dengan tuberkulosis berat dan anak

remaja(Astuti,2010: 132).

2. Rifampisin (R)

Obat ini merupakan obat kunci pada manajemen terapi tuberkulosis

modern. Rifampisin diserap dengan baik disaluran pencernaan selama puasa. Obat ini

bekerja dengan berdifusi luas kedalam jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan

serebrospinal. Obat rifampisin diekskresi utama melalui saluran empedu. Obat

rifampisin diberikan melalui oral dan intravena. Rifampisin tersedia dalam takaran

150mg dan 300mg sesuai berat badan anak. Suspensi dapat digunakan sebagai pelarut

tetapi tidak boleh diminum bersamaan dengan makanan karena malabsorpsi. Kadar

puncak serum dicapai dalam waktu 2 jam. Efek samping rifampisin adalah terjadinya

perubahan warna oranye pada urin dan air mata, gangguan saluran pencernaan, dan

hematotoksisitas, hal ini muncul karena peningkatan kadar transaminase serum

namun tidak menimbulkan keluhan pada penderita tuberkulosis (Astuti, 2010:132).

3. Etambutol (E)

Kemungkinan toksisitas etambutol terjadi pada mata. Dosis bakteriostatik

adalah 15mg/kg/24jam, tujuannya untuk mencegah munculnya resistensi terhadap

obat lain. Kemungkinan toksisitas utama obat ini adalah neuritis optik. Etambutol
17

tidak dianjurkan untuk penggunaan umum pada anak yang muda karena pemeriksaan

penglihatannya tidak mendapatkan hasil yang tepat tetapi harus dipikirkan pada anak

dengan tuberkulosis terjadi resistensi obat, bila obat lain tidak dapat digunakan

sebagai terapi(Astuti, 2010: 133).

4. Pirazinamid (Z)

Bersifat bakterisid.Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB. Pirazinamid

sering menimbulkan efek samping yang memaksa penghentian pemakaiannyaberupa

rasa mual hebat yang disertai nyeri ulu hati dan muntah (Danusantoso, 2012: 139).

5. Streptomisin

Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 0,75 – 1 gram sedangkan

untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Efek

samping yang harus di waspadai dari penggunaan streptomisin antara lain: rasa

kesemutan disekitar mulut dan muka beberapa saat setelah obat disuntikan. Juga

dapat timbul urtikaria dan skin-rash, tetapi yang akan memaksa penghentian

pemakaiannya adalah gangguan keseimbangan dan pendengaran (Danusantoso, 2012:

139).

13. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

1. Kategori I: 2 (HRZE)/ 4H3R3

Tahap intensif terdiri dari HRZE . Obat-obat tersebut diberikan setiap hari

selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri

dari HR diberikan 3 kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3). Obat ini diberikan

untuk: (Kemenkes RI, 2014: 24)

a. Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis

b. Pasien TB paru terdiagnosis klinis

c. Pasien TB ekstra paru.


18

Tabel 2.1 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2HRZE/4H3R3

Tahap Intensif tiap hari selama Tahap Lanjutan 3 kali

Barat Badan 50 hari RHZE (150mg/ 75mg/ seminngu selama 16 minggu

400mg/275mg) RH (150mg/150mg)

30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2 KDT

55-70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT

71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet2 KDT

(Sumber : Kemenkes RI, 2014)

Keterangan : H = Isoniasid
R = Rifampisin
Z = Pirasinamid
E = Etambutol
S = Streptomisin

2. Kategori 2: 2HRZES/HRZE/5H3R3E3

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati

sebelumnya (pengobatan ulang). Obat ini berikan untuk: (Kemenkes RI, 2014: 25)

a. Penderita kambuh (relaps)

b. Penderita gagal (failure)

c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)


19

Tabel 2.2Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2HRZEs/HRZE/5H3R3E3


Tahap Lanjutan 3
Tahap Intensif Tiap Hari RHZE
Kali Seminggu RH
Berat Badan (150/75/400/275)+S
(150/150) + E (400)

Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu

30-37 kg 2 tab 4KDT +500 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2 tab

mg streptomisin inj Etambutol

38-54 kg 2 tab 4KDT +750 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab

mg streptomisin inj Etambutol

55-70 kg 4 tab 4KDT + 1000 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab

mg streptomisin inj Etambutol

≥ 71 kg 5 tab 4KDT + 5 tab 4 KDT 5 tab 2 KDT+ 5tab

1000mg Etambutol

streptomisin inj

(Sumber : Kemenkes RI, 2014)

3. Obat Sisipan (HRZE)

Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif

kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari)(Kemenkes RI, 2011: 25).

Tabel 2.3 Paduan OAT KDT Sisipan

Berat Badan Tahap Intensif Tiap Hari Selama 28 hari RHZE

(150/75/400/275)

30-37 kg 2 tablet 4KDT

38-54 kg 3 tablet 4KDT

55-70 kg 4 tablet 4 KDT

71 kg 5 tablet 4 KDT

(Sumber : Kemenkes RI, 2011)


20

B. Pengawas Menelan Obat (PMO)


1. Definisi PMO

PMO merupakan individu yang bertugas mengawasi penderita TBC dalam

menggunakan obat (Manurunget al, 2008:122). Salah satu dari komponen DOTS

adalah pengobatan padouan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung.

Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO.

2. Persyaratan Menjadi PMO


1. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas
kesehatan maupun penderita, harus disegani dan dihormati oleh penderita.
2. Tinggal dekat dengan penderita

3. Bersedia membantu penderita dengan sukarela.


4. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan

penderita (Manurunget al, 2008:122).

5. Petugas kesehatan misalnya bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian,

juru imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang

memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota

PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota

keluarga(Manurunget al, 2008:122).

3. Peran PMO

1. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai

pengobatan.

2. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.

3. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang

telahditentukan.

4. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yangmempunyai

gejala-gejala mencurigakan TB untuk segeramemeriksakan diri ke Fasilitas

Pelayanan Kesehatan.
21

Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien

mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan (Manurunget al, 2008:122).

5. Informasi Penting yang Perlu Dipahami PMO

1. TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan

2. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur

3. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara

pencegahannya

4. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)

5. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur

6. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta

pertolongan ke Fasyankes(Manurunget al, 2008:123).

C. Perilaku Kepatuhan

1. Definisi Kepatuhan

Kepatuhan merupakan suatu indikator seseorang memenuhi unsur yang

diharapkan dari suatu pencapaian. Tingkat kepatuhan seseorang dipengaruhi cara

berfikir individu yang tercermin dalam sikapnya. Kepatuhan sangat dipengaruhi oleh

pengetahuan, sikap, pengalaman masa lalu dan masa kini individu, sehingga individu

tersebut dapat mengambil keputusan sesuai dengan tingkat kepatuhannya. Disamping

itu juga, tingkat kepatuhan dapat dipengaruhi sosial budaya nilai-nilai dan keyakinan

yang dianut kepercayaan dan dukungan orang lain. Kepatuhan dapat diperoleh

melalui suatu proses pengajaran atau pendidikan yang dilakukan secara terus menerus

sehingga membentuk sikap seseorang untuk melakukan perilaku (Monica, 2008

dalam Musyarofah, Rosiana & Siswanti, 2013 : 68).

1. Pengetahuan(Knowledge)

Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia atau hasil tahu seseorang

terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa, dan raba). Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh


22

melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
23

sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt

behavior)(Notoatmodjo, 2011:147).

Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai enam

tingkat, yakni:(Notoatmodjo, 2011 :148).

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya.Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari

atau rangsangan yang telah diterima. Contohnya: dapat menyebutkan tanda

gejala dari pengobatan TB.

b. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar

tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut

secara benar.Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat

menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan

sebagainya terhadap objek yang dipelajari.Misalnya, dapat menjelaskan

mengapa harus minum obat secara teratur.

c. Aplikasi (Opplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat

diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan

sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya, dapat menggunakan

prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle) dalam

pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.


24

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur

organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan

analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan

(membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan

sebagainya.

e. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjukan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru

dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, merencanakan,

menjelaskan, menyesuaikan, dan sebagainya, terhadap suatu materi atau

rumusan-rumusan yang telah ada.

f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.Penilaian-penilaian itu

berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-

kriteria yang telah ada.Misalnya, dapat membandingkan anak dengan gizi baik

dengan anak yang kekurangan gizi.

2. Sikap (Attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap

suatu stimulus atau objek.Sikap secara nyata menunjukan konotasi adanya kesesuaian

terhadap reaksi terhadap stimulus tertentu.Newcomb salah seseorang psikolog sosial

menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak,
25

dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu

tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan “predisposisi” tindakan atau perilaku.

Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka (tingkah

laku yang terbuka). Lebih dapat dijelaskan lagi bahwa sikap merupakan reaksi

terhadap objek dilingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap

objek(Notoatmodjo, 2011:150).

Menurut Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga

komponen pokok, yakni: (Notoatmodjo, 2011 : 151)

a) Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.

b) Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.

c) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total

attitude).Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berfikir, keyakinan, dan

emosi memegang peranan penting.Suatu contoh misalnya, seseorang ibu telah

mendengarkan tentang penyakit Tb (penyebabnya, akibatnya, pencegahannya, dan

sebagainya). Pengetahuan ini akan membawa si ibu untuk berfikir dan berusaha

supaya anaknya tidak terkena Tb. Dalam berfikir ini komponen emosi dan keyakinan

ikut bekerja sehingga ibu tersebut berniat akan memeriksakan anaknya untuk

mencegah supaya anaknya tidak terkena TB. Sehingga si ibu ini mempunyai sikap

tertentu terhadap objek yang berupa penyakit Tb itu.

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbaga tingkatan,

yakni: (Notoatmodjo, 2011 : 152)

1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus

yang diberikan (objek).Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan

dan perhatian itu terhadap ceramah-ceramah tentang gizi.


26

2. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas

yang diberkan adalah suatu indikasi dari sikap.Karena dengan suatu usaha untuk

menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas pekerjaan itu

benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut.

3. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain

terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang ibu

yang mengajak ibu lain (tetangganya, saudaranya, dan sebagainya) untuk pergi

menimbang anaknya ke Posyandu, atau mendiskusikan tentang gizi, adalah suatu

bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.

4. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko

merupakan sikap yang paling tinggi.Misalnya seorang ibu mau menjadi konseptor

KB, meskipun mendapat tantangan dari mertua atau orang tuanya sendiri.

Pengukuran sikap dilakukan secara langsung dan tidak langsung.Secara

langsung dapat dilakukan dengan menanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan

responden terhadap suatu objek.Misalnya, bagaimana pendapat anda tentang

pelayanan dokter di Rumah Sakit Cipto?Secara langsung dapat dilakukan dengan

pertanyaan-pertanyaan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden. Misalnya,

apabila rumah ibu luas, apakah boleh dipakai untuk kegiatan Posyandu? (sangat

setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju).

3. Praktik atau tindakan (Practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan(overt behavior).

Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbedaan nyata diperlukan faktor

pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas.

Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain,
27

misalnya suami atau istri, orang tua atau mertua sangat penting untuk mendukung

praktik keluarga berencana (Notoatmodjo, 2011 : 153).

Tingkat-tingkat Praktik atau Praktis:

1. Persepsi (perception)

Menganal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan

diambil merupakan praktis tingkat pertama. Misalnya, seorang ibu dapat memilih

makanan yang bergizi tinggi bagi balitanya (Notoatmodjo, 2011 : 153)

2. Respons terpimpin (guided response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan

contoh adalah indikator praktis tingkat dua. Misalnya seorang ibu dapat memasak

sayur dengan benar, mulai dari cara mencuci dan memotong, lamanya memasak,

menutup panci dan sebagainya (Notoatmodjo, 2011 : 153).

3. Mekanisme (mecanism)

Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau

sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktis tingkat tiga.

Misalnya, seorang ibu yang sudah biasa mengimunisasikan bayi pada umur tertentu,

tanpa menunggu perintah atau ajakan orang lain (Notoatmodjo, 2011 : 154).

4. Adaptasi (adaptation)

Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan

baik.Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran

tindakan tersebut. Misalnya, ibu dapat memilih dan memasak makanan yang bergizi

tinggi berdasarkan bahan-bahan yang murah dan sederhana (Notoatmodjo, 2011 :

154).

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan

wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau

bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni

dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden (Notoatmodjo, 2011:154).


28

2. Faktor Yang Melatarbelakangi Perubahan Perilaku Kepatuhan

Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang

mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat (Blum, 1974). Oleh

sebab itu, dalam rangka membina dan meningkatkan kesehatan masyarakat,

intervensi atau upaya yang ditunjukan kepada faktor perilaku ini sangat strategis.

Intervensi terhadap faktor perilaku secara garis besar dapat dilakukan melalui dua

upaya yang saling bertentangan. Masing-masing upaya tersebut mempunyai kelebihan

dan kekurangan Kedua upaya tersebut dapat dilakukan melalui:

1. Paksaan (Coertion)

Upaya agar masyarakat mengubah perilaku atau mengadopsi perilaku kesehatan

dengan cara-cara tekanan, paksaan atau koersi (coertion). Upaya ini baik secara tidak

langsung dalam bentuk undang-undang atau peraturan-peraturan (low enforcement),

intruksi-intruksi, dan secara langsung melalui tekanan-tekanan(fisik atau nonfisik),

sanksi-sanksi, dan sebagainya.pendekatan atau cara ini biasanya menimbulkan

dampak yang lebih cepat terhadap perubahan perilaku baru ini tidak langgeng

(sustaineble), karena perubahan perilakuyang dihasilkan dengan cara ini tidak didasari

oleh pengertian dan kesadaran yang tinggi terhadap bertujuan perilaku tersebut

dilaksanakan.

2. Pendidikan (Education)

Upaya agar masyarakat berprilaku atau mengadopsi perilaku kesehatan dengan

cara persuasi, bujukan, imbauan, ajakan, memberikan informasi, memberikan

kesadaran, dan sebagainya, melalui kegiatan yang disebut pendidikan atau promosi

kesehatan. Memang dampak yang timbul dari cara ini terhadap perubahan perilaku

masyarakat, akan memakan waktu lama dibandingkan dengan cara koersi. Namun

demikian, bila perilaku tersebut berhasil diadopsi masyarakat, maka akan langgeng,

bahkan selama hidup dilakukan.


29

Dalam rangka pembinaan dan peningkatan perilakukesehatan masyarakat,

tampaknya pendekatan edukasi (pendidikan kesehatan) lebih tepat dibandingan

dengan pendekatan koersi. Dapat disimpulkan bahwa pendidikan atau promosi

kesehatan adalah suatu bentuk intervensi atau upaya yang ditujukan kepada perilaku,

agar perilaku tersebut lebih kondusif untuk kesehatan. Dengan perkataan lain,

promosi kesehatan mengupayakan agar perilaku individu, kelompok atau masyarakat

mempunyai pengaruh positif terhadap pemeliharaan dan peningkatan kesehatan.

Agar intervensi atau upaya tersebut efektif, maka sebelum dilakukan intervensi perlu

dilakuakn diagnosis atau analisis terhadap masalah perilaku tersebut. Konsep umum

yang digunakan untuk mendiagnosis perilaku adalah konsep dari Lawrence Green

(1980). Menurut green perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu:

a. Faktor predisposisi (Predisposising Factor)

Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan,

tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan

kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial

ekonomi, dan sebagainya. Ikhwal ini dapat dijelaskansebagai berikut. Untuk

berprilaku kesehatan, misalnya pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil, diperlukan

pengetahuan dan kesadaran ibu tersebut tentang manfaat periksa kehamilan baik bagi

kesehatan ibu sendiri maupun janinnya. Disamping itu, kadang-kadang kepercayaan,

tradisi dan sistem nilai masyarakat juga dapat mendorong atau menghambat ibu

untuk periksa kehamilan. Misalnya, orang hamil tidak boleh disuntik (periksa

kehamilan termasuk memperoleh suntikan anti tetanus), karena suntukan bisa

menyebabkan anak cacat. Faktor-faktor ini terutama yang positif mempermudah

terwujudnya perilaku, maka seriung disebut faktor pemudah.


30

b. Faktor Pemungkin (Enabling Factor)

Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan

bagi masyarakat, misalnya air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat

pembuangan tinja, ketersediaan makanan bergizi, dan sebagainya. Termasuk juga

fasilitas pelayanan kesehatan seperti dipuskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu,

polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktik swasta dan sebagainya. Untuk

berprilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung. Misalnya

perilaku pemeriksaan kemahilan. Ibu hamil yang mau periksa kehamilan tidak hanya

karena ia tahu dan sadar manfaatperiksa kehamilan melainkan ibu tersebutdengan

mudah harus dapat memperoleh fasilitas atau tempat periksa kehamilan, misalnya

puskesmas, polindes, bidan praktik, ataupun rumah sakit. Fasilitas ini pada hakikatnya

mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor

ini disebut faktor pendukung, atau faktor pemungkin. Kemampuan ekonomi pun

juga merupakan faktor pendukung untuk berperilaku sehat.

c. Faktor Penguat (Reinforcing Factor)

Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma),

tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan.

Termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan, baik dari pusat maupun

pemerintah daerah, yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat,

masyarakat kadang-kadangbukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif dan

dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku tokoh (acuan) dari para tokoh

masyarakat, tokoh agama, dan para petugas, lebih-lebih para petugas kesehatan.

Disamping ituundang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku

masyarakat tersebut. Seperti perilaku periksa kehamilan, dan kemudahan memperoleh

fasilitas periksa kehamilan. Juga diperlukan peraturan atau perundang-undangan yang

mengharuskan ibu hamil melakukan periksa kehamilan.


31

Oleh sebab itu, intervensi pendidikan (promosi)kesehatan hendaknya

dimulai dengan mendiagnosis ketiga faktor penyebab (determinan) tersebut,

kemudian intervensinya juga diarahkan terhadap tiga faktor tersebut. Diagnosis

perilaku ini disebut model “Precede” atau predisposing, reinforcing and enabling cause in

educational diagnosis and evaluation (Green, 1980).


32

Hubungan Status Kesehatan , Perilaku, dan Promosi Kesehatan

Keturunan

Pelayanan Kesehatan Status Kesehatan Lingkungan

Perilaku

Predisposing Factor Enabling Factor Reinforcing Factor


(Pengetahuan, sikap, (Ketersediaan (sikap dan perilaku
kepercayaan, tradisi, sumber-sumber petugas, peraturan
nilai, dsb) fasilitas) UU dll)

Komunikasi Pemberdayaan Training Advokasi, dll


(Penyuluhan) Masyarakat
Edukasi (Pemberdayaan Sosial)

Promosi Kesehatan

Apabila konsep Blim yang menjelaskan bahwa derajat kesehatan itu

bdipengaruhi oleh empat faktor utama, yakni lingkungan perilaku, pelayanan

kesehatan, dan keturunan (heriditas), maka promosi kesehatan adalah sebuah

intervensi terhadap faktor perilaku (konsep Green), maka kedua konsep tersebut
33

dapat diilustrasikan seperti pada bagan Hubungan Status Kesehatan Perilaku, dan

Pendidikan atau Promosi Kesehatan, seperti diagram tersebut diatas.


34

BAB III
PEMBAHASAN

Hasil penelitian Mintu, dkk (2010) menyatakan bahwa factor yang mempermudah

penularan TB Paru adalah perilaku membuang ludah di sembarang tempat, kebiasaan tidak

menutup mulut saat batuk, kebiasaan tidak menutup mulut saat orang lain batuk, dan

kebiasaan menggunakan kayu bakar di dalam rumah. Hasil penelitian Masdalena (2012) di

Kota Medan tentang hygiene dan sanitasi lingkungan di rumah tahanan Medan terhadap

kejadian TB Paru juga menunjukkan bahwa variable hygiene perorangan (kebiasaan

membuang ludah, batuk dan merokok), variabel sanitasi lingkungan (kapasitas hunian,

ketersediaan air bersih, lingkungan rutan dan kebersihan alat makan/ minum) berpengaruh

signifikan terhadap kejadian penyakit tuberculosis paru. Hasil penelitian yang dilakukan

oleh Runggu (2003) di Kota Samarinda menunjukkan bahwa pendidikan, kontak serumah,

lama kontak, kepadatan penghuni dan ventilasi rumah merupakan faktor risiko terhadap

kejadian TB Paru.

Anda mungkin juga menyukai