Materi Psikologilinguistik
Materi Psikologilinguistik
Teori struktural universal ini dikemukakan dan dikembangkan oleh Jakobson (1986).
Oleh karena itu, sering juga disebut teori Jakobson. Inti dari teori ini mencoba menjelaskan
pemerolehan fonologi berdasarkan struktur-struktur universal linguistik, yakni hokum-ukum
struktural yang mengatur setiap perubahan bunyi (Chaer, 2009:202). Jakobson dalam
penelitiannya, mengamati bunyi-bunyi oleh bayi-bayi pada tahap membabel (babbling) dan
menemukan bahwa bayi yang normal mengeluarkan berbagai ragam bunyi dalam
vokalisasinya baik bunyi vokal maupun bunyi konsonan. Namun, ketika bayi mulai
memperoleh “kata” pertamanya (kira-kira 1 : 0 tahun) maka kebanyakan bunyi-bunyi ini
menghilang. Malah sebagian dari bunyi-bunyi itu baru muncul kembali beberapa tahun
kemudian. Dari pengamatannya, Jakobson menyimpulkan adanya dua tahap dalam
pemerolehan fonologi, yaitu (1) tahap membabel prabahasa dan (2) tahap pemerolehan bahasa
murni (Chaer, 2009:202).
Pada tahap prabahasa bunyi-bunyi yang dihasilkan bayi tidak menunjukkan suatu
urutan perkembangan tertentu, dan sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan masa
pemrolehan bahasa berikutnya. Jadi, pada tahap membabel ini bayi hanya melatih alat-alat
vokalnya dengan cara mengeluarkan bunyi-bunyi tanpa tujuan tertentu, atau bukan untuk
berkomunikasi. Sebaliknya, pada tahap pemerolehan bahasa yang sebenarnya bayi mengikuti
suatu pemerolehan bunyi yang relative universal dan tidak berubah (Chaer, 2009:203).
Menurut Jakobson (dalam Chaer, 2009:203), disebutkan bahwa di antara kedua tahap
itu terdapat masa tidak adanya kegiatan yang menunjukkan tidak adanya kesinambungan di
antara kedua tahap itu, meskipun masanya sangat singkat dan tidak tampak jelas. Banyak pakar
psikolinguistik perkembangan menerima teori Jakobson mengenai masa senyap ini. berikut ini
beberapa bukti yang memperkuat teori Jakobson adalah sebagai berikut.
a. Bunyi likuida [l] dan [r] yang sering muncul pada tahap membabel, hilang pada tahap
mengeluarkan bunyi bahasa yang sebenarnya. Bunyi ini baru muncul lagi ketika bayi
berumur tiga setengah tahun (3 : 6), atau empat tahun (4 : 0), bahkan ketika berumur lima
tahun (5 : 0).
b. Bayi-bayi yang pekak membabel dengan cara yang sama dengan yang normal. Namun,
setelah tahap membabel ini selesai bayi-bayi ini pun akan berhenti mengeluarkan bunyi-
bunyi.
c. Menurut penelitian Port dan Preston (dalam Chaer, 2009:203), VOT (voice onset time =
waktu antara pelepasan bunyi hambat dan bergetarnya pita suara) seperti konsonan [d] dan
[t] tidak sama pada tahap membabel dengan VOT pada tahap mengeluarkan bunyi bahasa
yang sebenarnya; dan VOT ketika berusia satu tahun (1 : 0) sama dengan VOT orang
dewasa. Perbedaan VOT ini membuktikan adanya masa peralihan antara tahap membabel
dengan tahap mengeluarkan bunyi yang sebenarnya.
Jika tahap pemerolehan bahasa yang sebenarnya dimulai, maka akan terdapat urutan
peringkat perkembangan yang teratur dan tidak berubah, meskipun taraf kemajuan tiap
individu tidak sama. Perkembangan peringkat ini ditentukan oleh hokum-hukum yang bersifat
universal yang oleh Jakobson disebut “the laws of irreversible solidarity” (Chaer, 2009:203).
Menurut Chaer, perkembangan itu bergerak dari bentuk yang sederhana kepada bentuk
yang kompleks dan rumit. Kerumitan suatu bunyi ditentukan oleh jumlah fitur (oposisi) yang
dimiliki oleh bunyi itu di dalam satu sistem. Jadi, sebenarnya yang diperoleh bayi bukanlah
bunyi satu demi satu, melainkan berupa oposisi-oposisi atau kontras-kontras fonemik, atau
fitir-fitur yang berkontras. Menurut Jakobson (dalam Chaer, 2009:203), meskipun bunyi-bunyi
bahasa-bahasa yang ada di dunia ini berbeda-beda, namun hubungan-hubungan tertentu yang
ada pada bunyi-bunyi ini sifatnya tetap. Umpamanya, apabila suatu bahasa memiliki bunyi
hambat velar seperti [g] maka bahasa itu pasti mempunyai bunyi hambat alveolar seperti [t],
dan juga hambat bilabial seperti [b].
Berdasarkan keterangan di atas, Jakobson memprediksikan bahwa bayi-bayi akan
memperoleh kontras atau oposisi antara hambat bilabial dengan hambat dental atau hambat
alveolar lebih dahulu daripada kontras-kontras di antara bilabial dan velar atau di antara dental
dengan velar. Lebih jauh, Jakobson juga meramalkan bahwa konsonan hambat akan dahulu
diperoleh daripada frikatif dan afrikat. Yang terakhir diperoleh adalah bunyi-bunyi likuida
seperti [l] dan [r]; dan bunyi luncuran (glide) [y] dan [w].
Menurut Jakobson (dalam Chaer, 2009:203) urutan pemerolehan bunyi pada dasarnya
sejalan dengan data yang dikumpulkan oleh sejumlah pakar seperti Clark dan Clark (1977),
Ervin – Tripp (1966), dan Foss dan Hakes (1978). Data yang dikumpulkan itu menunjukkan
bahwa kanak-kanak lebih dahulu dapat membunyikan [b], [p], [d], dan [t] daripada bunyi [f[
dan [s]. oleh karena itu, sering terjadi [f] ditukar dengan [p], seperti kanak-kanak mengucapkan
[pis] untuk <fish>; ayau bunyi [s] ditukar dengan [t] seperti kata <suit> yang diucapkan
menjadi [tut].
Dalam bukunya yang lain, Jakobson (Jakobson dan Hall, 1958) menyatakan bahwa
pemerolehan bunyi konsonan dimulai dari bunyi bibir (bilabial); sedangkan pemerolehan bunyi
vocal dimulai dengan satu vocal lebar, biasanya bunyi [a]. jadi, pada waktu yang sama
konsonan bilabial, biasanya [p], dan vocal lebar, biasanya [a] membentuk satu model silabel
yang universal yaitu KV (konsonan + vocal) yang mencerminkan apa yang disebut “konsonan
optimal + vocal optimal”. Berdasarkan pola inilah nanti akan muncul satuan-satuan bermakna
dalam ucapaj kanak-kanak yang biasanya terjadi dalam bentuk reduplikasi, misalnya [pa + pa].
Akhirnya menurut Jakobson, seringnya sesuatu bunyi diucapkan seorang dewasa terhadap
kanak-kanak tidak menentukan munculnya bunyi tersebut dalam ucapak kanak-kanak. Yang
menentukan urutan munculnya bunyi-bunyi adalah seringnya bunyi-bunyi itu muncul dalam
bahasa-bahasa dunia. Jika suatu bunyi sering muncul dalam bahasa-bahasa dunia, maka bunyi-
bunyi itu akan lebih dulu muncul dalam ucapan kanak-kanak, meskipun bunyi itu jarang
muncul dalam data masukan yang didengar oleh kanak-kanak.
Teori struktural universal yang diperkenalkan oleh Jakobson di atas telah diperluas oleh
Moskowitz (1970, 1971) dengan cara menerapkan unsure-unsur fonologi generative yang
diperkenalkan oleh Chomsky dan Halle (1968). Yang paling menonjol dari teori Moskowitz
ini adalah “penemuan konsep” dan “pembentukan hipotesis” berupa rumus-rumus yang
dibentuk oleh kanak-kanak berdasarkan data linguistic utama (DLU), yaitu kata-kata dan
kalimat-kalimat yang didengarnya sehari-hari (Chaer, 2009:205).
Kesimpulan dari Moskowitz yaitu penolakannya terhadap pendapat bahwa
pemerolehan tahap fonetik berlaku dengan cara-cara yang sama bagi semua kanak-kanak di
dunia (Moskowitz dalam Chaer, 2009:205). Di balik penolakan ini beliau mengakui juga
bahwa tentu ada satu set sekatan yang harus dikernakan pada urutan pemerolehan representasi
fonologi yang kurang jelas karena adanya interferensi fonetik. Ada satu kesimpulan Moskowitz
yang tidak sejalan dengan teori Chomsky yaitu mengenai konsep-konsep yang harus ditentukan
oleh kanak-kanak untuk mengasimilasikan DLU lebih berkaitan dengan proses struktur nurani
yang dihipotesiskan.
Moskowitz (dalam Chaer, 2009:206) mengatakan bahwa dalam pemerolehan fonologi
tidak dapat dipastikan apakah kanak-kanak telah menguasai rumus-rumus fonologi atau tidak.
Oleh karena itu, ada alasan untuk mengatakan bahwa kanak-kanak telah menciptakan rumus-
rumus fonologinya sendiri sejak tahap awal pemerolehan fonologinya yang berlainan dengan
rumus-rumus fonologi orang dewasa. Moskowitz juga berpendapat bahwa sejak awal preses
pemerolehan bahasanya, bayi telah menyadari akan perbedaan antara bunyi bahasa manusia
dengan bunyi-bunyi lain yang bukan suara manusia. Hal ini termasuk “kemampuan urani” yang
dimiliki bayi sejak dilahirkan.
Keberhasilan utama yang dicapai si bayi pada tahap membabel adalah penemuan unit-
unit kalimat yang merupakan unit linguistik yang pertama. Ini ditandai dengan munculnya
intonasi dan hentian-hentian dalam ucapannya; dan ini merupakan permulaan analisis bahasa
segmental. Penemuan unit kalimat ini juga mencerminkan satu langkah utama kea rah
sosialisasi, yakni pembelajaran semantic karena kalimat sebagai suatu rangkaian bunyi panjang
yang terbatas memiliki makna tertentu.
Moskowitz (dalam Simanjuntak, dalam Chaer, 2009:208) menjelaskan bahwa sesudak
kanak-kanak “menemukan” unit kalimat ditandai oleh kontur intonasi, maka kanak-kanak akan
menemukan unit utama kedua, yaitu unit suku kata, yakni bagian dari kata yang merupakan
satu “satuan bunyi” di bawah kata ini. unit suku kata ini dipahami kanak-kanak sebagai satu
fitur suku kata, bukan sebagai fitur-fitur fonem atau fon. Peranan unit suku kata ini sangat
penting di dalam proses pemerolehan bahasa. Benyuk unit suku kata yang pertama muncul
adalah bentuk KV (konsonan-vokal), kemudian diikuti oleh bentuk KVK, VK, dan V. sesudah
itu baru diikuti oleh bentuk pengulangan penuh KVKV dalam bentuk kata seperti mama, papa,
mimi, dan sebagainya.
Sesudah menguasai suku kata barulah kanak-kanak menguasai unit segmen, yakni
konsonan atau vokal. Urutan pemerolehan segmen ini tidak sama antara seorang kanak-kanak
dengan kanak-kanak lain.pemerolehan unit segmen segera diikuti oleh pemerolehan unit yang
lebih kecil yaitu unit fitur distingtif berupa oposisi atau kontras-kontras yang bisa membedakan
makna. Urutan pemerolehannya teratur dan sesuai dengan urutan menurut teori Roman
Jakobson di atas.
Moskowitz juga memperkenalkan apa yang disebutnya idiom-idiom fonologi. Menurut
perkembangannya, idiom-idiom fonologi ini terdiri dari idiom progresif dan idiom regresif.
Idiom progresif adalah apabila bentuk bunyi suatu kata pada tahap awal telah menyamai bentuk
yang sebenarnya menurut fonologi orang dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya, bentuk
semakin dekat, dan sterusnya menjadi tepat. Idiom regresif adalah apabila bentuk yang telah
menyamai bentuk orang dewasa itu berubah ke bentuk yang lebih primitive. Misalnya, pada
suatu peringkat seorang kanak-kanak telah mengucapkan kata “pretty” dengan tepat sebagai
[priti], padahal sebenarnya pada peringkat itu dia belum menguasai gugus konsonan. Namun,
beberapa waktu kemudian kanak-kanak itu membuang bunyi [r] dari gugus konsonan [pr] itu,
dan mengucapkannya menjadi [piti] sesuai dengan sistem fonologinya pada tahap itu.
kemudian, setelah menca[ai tahap penguasaan gugus konsonan barulah bentuk [piti] itu
berubah kembali seperti [priti].
3. Teori Proses Fonologi Alamiah
Teori ini diperkenalkan oleh David Stempe (1972, 1973), yakni teori yang disusun
berdasarkan teori fonologi alamiah yang telah diperkenalkan sejak 1965. Menurut Stampe,
proses fonoligi kanak-kanak bersifat nurani yang harus mengalami penindasan (supresi),
pembatasan, dan pengaturan sesuai dengan penuranian (internalization) representasi fonemik
orang dewasa.
Suatu proses fonologi terdiri dari kesatuan-kesatuan yang saling bertentangan.
Umpamanya, terdapat satu proses yang menjadikan semua bunyi hambat menjadi tidak
bersuara dalam semua konteks, karena halangan oralnya menghalangi araus udara yang
diperlukan untuk menghasilkan bunyi-bunyi ini. Namun, bagaimanapun bunyi-bunyi ini akan
menjadi bersuara oleh proses lain dengan cara asimilasi tertentu. Jika kedua proses ini terjadi
bersamaan, maka keduanya akan saling menindih, dan saling bertentangan: sebuah binyi
hambat tidak mungkin secara serentak bersuara dan tidak bersuara pada lingkungan yang sama.
Masalah yang bertentangan ini dapat dipecahkan dengan tiga cara berikut.
a. Menindas salah satu dari kedua proses yang bertentangan itu. umpamanya bila kanak-
kanak telah menguasai bunyi-bunyi hambat bersuara dalam semua konteks, maka berarti
dia telah berhasil menindas proses penghilangan suara yang ditimbulkan oleh halangan
oral bunyi itu.
b. Membatasi jumlah segmen atau jumlah konteks yang terlibat dalam proses itu. Misalnya,
proses penghilangan suara dibatasi hanya pada bunyi-bunyi hambat tegang saja,
sedangkan bunyi-bunyi hambat longgar tidak dilibatkan.
c. Mengatur terjadinya proses penghilangan bunyi suara dan proses pengadaan bunyi suara
secara berurutan. Urutannya boleh dimulai dengan proses penghilangan bunyi suara; lalu
diikuti dengan proses pengadaan bunyi bersuara. Kedua proses ini tidak mungkin terjadi
secara bersamaan.
4. Teori Prosodi – Akustik
Teori ini diperkenalkan oleh Watersom (1976) sesudah sia merasa tidak puas dengan
pendekatan fonemik segmental yang dikatakannya tidak memberikan gambaran yang
sebenarnya mengenai pemerolehan fonologi. Pendekatan fonemik segmental menganggap
bahwa kanak-kanak memperoleh fonologi berdasarkan fonem, sehingga banyak bahan fonetik
yang berkaitan telah dikesampingkan. Karena kelemahan tersebut, maka Waterson (1971)
menggunakan pendekatan nonsegmental, yaitu pendekatan prosodi, yang dianggapnya lebih
berhasil. Pendekatan ini diperkuat dengan analisis akustik sebab analisis prosodi hanya melihat
dari analisis artikulasi saja.
Waterson (dalam Chaer, 2009:2011) berpendapat bahwa pemerolehan bahasa adalah
satu proses sosial sehingga kajiannya lebih tepat dilakukan di rumah dalam konteks soaial yang
sebenarnya daripada pengkajian data-data eksperimen, lebih-lebih untuk mengetahui
pemerolehan fonologi. Dalam proses pemerolehan fonologi mula-mula kanak-kanak
memperhatikan lingkungannya, mengamati persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan
yang penting baginya dalam lingkungan itu. Dalam hal ini kanak-kanak sangat peka terhadap
sifat-sifat suara manusia tertentu yang didengarnya berulang-ulang dalam konteks yang sama
seperti pola-pola tekanan, irama, ritme, dan fitur-fitur lain yang berhubungan dengan keadaan-
keadaan yang berulang-ulang itu. pada suatu saat kanak-kanak itu mulai menyadari bahwa
ucapan-ucapan yang didengarnya ada hubungannya dengan benda-benda dan peristiwa-
peristiwa dalam lingkungannya. Pada tahap permulaan ini kanak-kanak hanya menerima dan
mengamati bunyi-bunyi yang yang mempunyai arti baginya. Lalu dari bunyi-bunyi yang
mempunyai arti ini kanak-kanak membentuk pola bunyi tertentu tanpa morfologi dan sintaksis.
Jadi, menurut Waterson (1976) pemerolehan bahasa oleh kanak-kanak dimulai dari
pemerolehan semantic dan fonologi, kemudian beru ada pemerolehan sintaksis.
Sesudah menganalisis data ucapan kanak-kanak, Waterson berkesimpulan bahwa
prinsip-prinsip dasar pemerolehan morfologi kanak-kanak adalah sama, meskipun mereka
menggunakan strategi yang berlainan. Pada umumnya kanak-kanak mulai berbahsa dengan
menggunakan suku kata tunggal. Apabila dia mencoba mengucapkan dua suku kata, maka yang
diucapkan adalah pengulangan daripada suku kata tunggal itu. jika dia “berjumpa” dengan
kata-kata yang terdiri dua suku kata, maka dia lebih mudah untuk mengucapkan suku kata yang
mendapatkan tekanan suara daripada suku kata yang tidak mendapat tekanan.
Mengapa kanak-kanak lebih mudah mengulang-ulang suku kata yang bertekanan
daripada mengucapkan kata dwisuku? Menurut Waterson, walau yang dibutuhkan orang
dewasa untuk mengucapkan kata ekasuku dari dwisuku adalah sama, yaitu 0,7 detik. Maka
perubahan artikulasi dan akustik untuk persepsi dan pengeluaran jauh lebih sedikit pada
ekasuku daripada dwisuku karena masa pengucapannya adalah sama. Jadi, cara yang paling
mudah bagi kanak-kanak adalah mengulang suku kata yang mendapat tekanan keras daripada
mengucapkan kedua suku kata itu. waterson (1971) juga menemukan adanya hubungan akustik
antara bentuk-bentuk ucapan kanak-kanak dengan fitur-fitur bentuk ucapan orang dewasa.
Kanak-kanak hanya mengucapkan kembali bagian ucpan yang memakan waktu lebih kurang
0,2 detik, dan bagian yang diucapkan kembali adalah elemen vocal dan konsonan yang
mencapai artikulasi kuat.
5. Teori Kontras dan Proses
Teori ini diperkenalkan oleh Ingram (1974, 1979), yakni suatu teori yang menggabungkan
bagian-bagian penting dari teori Jakobson dengan bagian-bagian penting dari teori Stampe;
kemudian menyelaraskan hasil penggabungan dengan teori perkembangan dari Piaget.
Menurut Ingram, kanak-kanak memperoleh sistem fonologi orang dewasa dengan cara
menciptakan strukturnya sendiri; dan kemudian mengubah struktur ini jika pengetahuannya
mengenai sistem orang dewasa semakin baik. perkembangan fonologi ini melalui asimilasi dan
akomodasi yang terus-menerus (menurut teori Piaget): mengubah struktur untuk
menyelaraskannya dengan kenyataan. Peristiwa ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Tahap-tahap pemerolehan fonologi yang dibuat Ingram di atas sejalan dengan tahap-tahap
perkembangan kognitif dari Piaget (1962). Pada tahap persepsi, yang belum produktif itu,
terdapat dua subtahap yaitu (a) tahap vokalisasi pengucapan, dan (b) tahap fonologi primitif.
Tahap vokalisasi pengucapan adalah tahap sebelum kata-kata pertama muncul yang dimulai
dengan mendekut ketika berumur empat bulan (0 : 4). Kemudian diikuti dengan membabel.
Menurut Ingram membabel ini bukanlah kegiatan semaunya, melainkan merupakan sutu
kegiatan yang agak teratur, dan maju berkelanjutan. Membabel ini bukan merupakan satu
latihan, melainkan ada hubungannya dengan seluruh proses pemerolehan fonologi.
Tahap fonologi primitif muncul pada tahap satu kata (holofrasis) dalam pemerolehan
sintaksis. Tahap ini pun belum produktif karena kanak-kanak belum memperoleh rumus-
rumus fonologi yang sebenarnya. Sesudah mengalisis data ucapan dari sejumlah kanak-kanak,
Ingram menyimpulkan bahwa teori Jakobson tidak seluruhnya benar. Umpamanya, menurit
teori Jakobson bentuk suku kata pertama yang muncul adalah KV atau reduplikasinya KVKV;
tetapi menurut data bentuk VK juga banyak muncul. Begitu pun bentuk pengulangan yang
ditemukan sangat berlainan antara kanak-kanak yang satu dengan kanak-kanak yang lain.
Pada tahap pengeluaran (yakni tahap proses yang aktif), yang dimulai ketika berusia satu
tahun setengah (1 : 6), terdapat dua peristiwa penting, yaitu:
Pada tahap ini kanak-kanak mulai mengembangkan kemampuannya untuk menentukan bunyi-
bunyi ucapan yang dapat dipakai untuk menyatakan perbedaan makna. Tahap ini berlangsung
sampai kanak-kanak berumur tiga tahun enam bulan (3 : 6) sampau empat tahun (4 : 0).
Pemerolehan setiap bunyi tidak terjadi secara tiba-tiba dan sendiri-sendiri, melainkan secara
perlahan-perlahan dan berangsur-angsur. Ucapan kanak-kanak selalu berubah antara ucapan
yang benar dan tidak benar secara progresif sampai ucapan seperti orang dewasa tercapai.
Pemerolehan fonologi kanak-kanak terjadi melalui beberapa proses penyederhanaan umum
yang melibatkan semua kelas bunyi. Proses-proses itu adalah:
1. Proses Subtitusi : penukaran satu segmen oleh segmen lain. Proses ini sebagai berikut.
a. Penghentian : bunyi frikatif ditukar dengan bunyi hambat.
<sea> [ti : ]
<sing> [ti]
b. Pengedepanan : yaitu menukar bunyi velar dan palatal dengan bunyi alveolar.
<shoe> [zu’]
<shop> [za’p]
c. Peluncuran : yaitu likuida ([l],[r]) ditukar dengan bunyi luncuran (glide) [w] dan [y].
<leg> [yek]
<ready> [wedi]
d. Vokalisasi : satu suku kata konsonan ditukar dengan satu suku kata vocal (satu proses
yang terutama tegas dalam bahasa Inggris).
<apple> [apo]
<bottle> [babu]
e. Netralisasi vokal : bunyi-bunyi berubah menjadi vokal tengah.
<back> [bat]
<hug> [had]
2. Proses asimilasi, yaitu kecenderungan untuk mengasimilasikan satu segmen kepada
segmen lain dalam satu kata. Proses ini terdiri dari:
a. Penyuaraan, yakni bunyi-bunyi konsonan cenderung disuarakan jika muncul di depan
sebuah vocal, dan tidak disuarakan bila muncul pada akhir suku kata
<paper> [be : ba]
<tiny> [daini]
<bird> [bit]
b. Keharmonisan konsonan, yakni bunyi-bunyi konsonan cenderung berasimilasi satu
sama lain. Pola-pola yang sering muncul adalah
Konsonan apical cenderung berasimilasi dengan konsonan velar yang berdekatan.
<duck> [gak]
<tongue> [gaŋ ]
Konsonan apical cenderung berasimilasi dengan konsonan bilabial yang berdekatan.
<tub> [bab]
<tape> [beip]
c. Asimilasi vocal progersif, yakni sebuah vocal yang tidak mendapat tekanan
diasimilasikan pada vekal yang mendapat tekanan suara yang muncul di depan atai di
belakangnya.
<bacoa> [bu : du]
<tape> [beip]
3. Proses struktur suku kata, yaitu kecenderungan kanak-kanak menyederhanakan struktur
suku kata. Pada umumnya penyederhanaan suku kata ini berlaku kea rah suku kata KV.
Proses ini terdiri dari:
a. Reduksi klaster: satu klaster konsonan direduksikan menjadi satu konsonan saja.
<clown> [kaun]
<play> [pe]
b. Pengguguran konsonan akhir: suku kata KVK dipendekkan menjadi KV dengan
menggunakan konsonan akhir.
<bike> [bai]
<out> [au]
c. Pengguguran suku kata yang tidak mendapat tekanan suara: suku kata yang tidak
mendapat tekanan digugurkan jika suku kata mendahului satu suku kata yang
mendapat tekanan suara.
<banana> [naena]
<potato> [pedo]
d. Reduplikasi: dalam kata panjang suku kata KV diulang.
<cookie> [gege]
<T. V> [didi]
PEMEROLEHAN SINTAKSIS
Banyak pakar pemerolehan bahasa menganggap bahwa pemerolehan sintaksis dimulai ketika
kanak-kanak mulai dapat menggabungkan dua buah kata atau lebih (lebih kurang ketika berusia
2:0 tahun). Oleh karena itu, ada baiknya diikutsertakan dalam satu teori pemerolehan sistaksis.
Dalam bidang sintaksis, anak memulai berbahasa dengan mengucapkan satu kata, kata ini
sebenarnya kalimat penuh tetapi karena dia belum dapat mengatakan lebih dari satu kata, dia
hanya mengambil ujaran satu kata (USK) dari kalimat itu contohnya anak yang mengatakan bi
untuk kata mobil bisa bermaksud untuk mengatakan:
Sedangkan ujaran untuk dua kata (UDK) adalah kata yang di ujarkan echa pada waktu dia
berumur 1;8 (Dardjowidjo 2000: 146):
Teori Pivot
Kajian mengenai pemerolehan sintaksis oleh kanak-kanak dimulai oleh Braene (1963),
Bellugi (1964), Brown dan Fraser (1964), Miller dan Ervin (1964). Menurut kajian awal ini
ucapan dua kata kanak-kanak itu terdiri atas dua jenis kata yaitu: kelas Pivot dan kelas
Terbuka, kemudian lahirlah teori tata bahasa pivot. Kelas pivot adalah kata-kata fungsi,
sedangkan kelas terbuka adalah kata-kata isi/kata (nomina dan verba).
Tata bahasa pivot yang muncul sebagai akibat dari discovery procedure, menyatakan bahwa
pemerolehan sintaksis kanak-kanak dimulai dengan kalimat-kalimat yang terlihat pada kata-
kata pivot. Namun cara ini menurut psikolinguistik modern sangat tidak memadai (Greenfield
dan Smith, 1976:6). Bloom (1970), Bowerman (1973), dan Brown (1973) menyatakan
sebagai berikut : (a) Kata-kata pivot bisa muncul sendirian (b) dapat bergabung dengan kata
pivot lain dalam sebuah kalimat. (b) Pada kalimat-kalimat dua kata yang dibuat kanak-kanak
terdapat juga kata-kata dari kelas lain selain kelas pivot dan kelas terbuka. (c) Tata bahasa
pivot tidak dapat menampung semua makna ucapan-ucapan dua kata (d) Pembagian kata-kata
pivot dan kelas terbuka tidak mencerminkan bahasa-bahasa lain selain bahasa Inggris.
Kemudian berdasarkan kedua jenis kata ini lahirlah teori yang disebut teori tata bahasa Pivot.
Pada umumnya kata-kata yang termasuk kelas Pivot adalah kata-kata fungsi (function words),
sedangkan yang termasuk kelas terbuka adalah kata-kata isi (contents words) atau kata penuh
(full words) seperti kata-kata berkategori nomina dan verba.[4]
Berdasarkan data yang termuat pada kolom kelas pivot dan kelas terbuka di atas, dapat
diketahui perbedaan satu sama lainnya. Tentang hal ini, diberikan contoh kata seperti kata
want adalah kata pivot pada posisi awal kalimat, sedangkan kata milk adalah kata terbuka
yang muncul pada posisi akhir kalimat.
Sehubungan dengan teori hubungan tata bahasa nurani, Bloom (1970) mengatakan bahwa
hubungan hubungan tata bahasa tanpa merujuk pada informasi situasi (konteks) belumlah
mencukupi untuk menganalisis ucapan atau bahasa kanak-kanak. Maka untuk dapat
menganalisis ucapan kanak-kanak itu informasi situasi ini perlu diperhatikan. Brown (1973)
juga memperkuat pendapar bloom ini.
Selanjutnya Bloom juga mengatakan bahwa suatu gabungan kata telah digunakan oleh kanak-
kanak dalam suatu situasi yang berlainan. Juga dengan hubungan yang berlainan diantara kata-
kata dalam gabungan itu. Umpamanya, kedua kata benda dalam ”mommy sock” pada contoh
yang lalu sangat jelas menunjukan hal itu. Pada situasi pertama hubungan kedua kata benda itu
adalah menyatakan hubungan subjek-objek. Sedangkan dalam situasi kedua adalah hubungan
pemilik objek. Contoh lain “sweater chair” yang disajikan di atas kiranya dapat menyatakan
tiga hubungan bergantung situasinya. Dalam bahasa Indonesia ucapan “ibu kue” dalam situasi
yang berbeda-beda diartikan:
Teori ini dikemukakan oleh Brown (1973) berdasarkan data yang dikumpulkannya. Menurut
Brown, urutan pemerolehan sintaksis oleh kanak-kanak ditentukan oleh kumulatif kompleks
semantik morfem dan kumulatif kompleks tata bahasa yang sedang diperoleh. Jadi, sama sekali
tidak ditentukan oleh frekuensi munculnya morfem atau kata-kata itu dalam ucapan orang
dewasa. Dari tiga orang kanak-kanak (berusia dua tahun) yang sedang memperoleh bahasa
inggris yang diteliti Brown ternyata morfem yang pertama kali dikuasai adalah progressive-ing
dari kata kerja, padahal bentuk ini tidak sering muncul dalam ucapan-ucapan orang dewasa.
Setelah progressive-ing baru muncul kata depan in, kemudian on, dan diikuti oleh bentuk
jamak, ’s. Sedangkan artikel The dan a yang lebih sering muncul dalam ucapan-ucapan orang
dewasa baru muncul pada tahap ke 8. urutan perkembangan sintaksis yang dilaporkan oleh
Brown hampir sama dengan urutan perkembangan hubungan-hubungan sintaksis yang
dilaporkan oleh sejumlah pakar lain (simanjuntak 1987).
Teori pendekatan sematik menurut Green Field dan Smith (1978) pertama kali diperkenalkan
oleh Bloom. Beliau mengintergrasikan pengetahuan sematik dalam pengkajian perkembangan
semantik ini berdasarkan teori generatif transformasinya Chomsky (1965.) Teori generative
transformasi ini menyatakan bahwa kalimat-kalimat yang kita dengar ini “dibang-kitkan’”dari
struktur luar dengan rumus “fisiologi”. Sedangkan struktur luar ini “dibangkitkan” dari struktur
dalam (struktur dasar) dengan rumus-rumus transformasi. Pandangan atau teori Chomsky
tersebut mendapatkan tantangan dari beberapa ahli psikologi seperti Schlesinger (1971) dan
Olson (1970). Schlesinger menyatakan bahwa apa yang disebut struktur dalam pada teori
Chomsky sebenarnya bukanlah struktur sintaksis, melainkan struktur sematik. Salah satu teori
tata bahasa yang didasarkan pada komponen sematik diperkenalkan oleh Fillmore (1968) yang
dikenal dengan nama tata bahasa kasusu (case grammar).
Teori ini digunakan oleh Bowerman dan Brown sebagai dasar untuk menganalisis data-data
perkembangan bahasa. Fillmore berpendapat merupakan satu keharusan untuk mengikut-
sertakan sematik pada umumnya, dan hubungan sematik khususnya dalam menganalisis
pengetahuan tatabahasa, strukturnya yang berdasarkan sematik kemudian dipakai sebagai dasar
cabang teori generatif transformasi yang dikenal dengan nama sematik generatif.
Perbedaan antara pendekatan sematik dengan teori hu-bungan tatabahasa murni adalah teori
tatabahasa murni yang menerapkan hubungan-sintaksis dalam menganalisis struktur ucapan
kanak-kanak, sedangkan pendekatan sematik menemukan struktur ucapan itu berdasarkan
“sematik”.