Anda di halaman 1dari 21

2.2.

Hipotesis Pemerolehan Bahasa

2.2.1. Hipotesis Nurani


Setiap bahasawan (penutur asli bahasa) tentu mampu memahami dan membuat kalimat-
kalimat dalam bahasanya, karena dia telah “menuranikan” atau “ menyimpan dalam
nuraninya” akan tata bahasanya itu menjadi kompentensi (kecakapan) bahasanya, juga
telah menguasai kemampuan-kemampuan performasi (pelaksanaan) bahasa itu. Jadi,
dalam pemerolehan bahasa, jelas yang diperoleh oleh anak-anak adalah kompetensi dan
performasi bahasa pertamanya itu. Kemudian karena tata bahasa itu terdiri dari
komponen sintaksis, semantik, dan fonologi, dan setiap komponen tersebut berupa
rumus-rumus (kaidah-kaidah), maka ketiga macam rumus ilmiah iniliah yang terlebih
dahulu dikuasai anak-anak dalam pemerolehan bahasa.
Hipotesis nurani lahir dari beberapa pengamatan yang dilakukan para pakar terhadap
pemerolehan bahasan anak-anak (Lenneberg, 1967, Chomsky, 1970 dalam Chaer,
2009). Di antara hasil pengamatan itu adalah berikut ini:
1. Semua anak-anak yang normal akan memperoleh bahasa ibunya asal saja
“diperkenalkan” pada bahasa ibunya itu. Maksudnya, dia tidak diasingkan dari
kehidupan ibunya (keluarganya).
2. Pemerolehan bahasa tidak ada hubungannya dengan kecerdasan kanak-kanak.
Artinya, baik anak yang cerdas maupun yang tidak cerdas akan memperoleh bahasa
itu.
3. Kalimat-kalimat yang didengar kanak-kanak seringkali tidak gramatikal, tidak
lengkap dan jumlahnya sedikit.
4. Bahasa tidak dapat diajarkan kepada makhluk lain, hanya manusia yang dapat
berbahasa.
5. Proses pemerolehan bahasa oleh kanak-kanak di mana pun sesuai dengan jadwal
yang erat kaitannya dengan proses pematangan jiwa kanak-kanak.
6. Struktur bahasa sangat rumit, kompleks, dan bersifat universal. Namun, dapat
dikuasai kanak-kanak dalam waktu yang relatif singkat, yaitu dalam waktu antara
tiga atau empat tahun saja.
Berdasarkan pengamatan di atas dapat disimpulkan bahwa manusia lahir dengan
dilengkapi oleh suatu alat yang memungkinkan dapat berbahasa dengan mudah dan
cepat. Lalu, karena sukar dibuktikan secara empiris, maka pendangan ini mengajukan
satu hipotesis yang disebut hipotesis nurani (innate: dibawa sejak lahir atau berada di
dalam).
Mengenai hipotesis nurani ini, ada dua macam hipotesis nurani, yaitu hipotesis nurani
bahasa dan hipotesis nurani mekanisme (Simanjuntak, 1977). Hipotesis nurani bahasa
merupakan satua asumsi yang menyatakan bahwa sebagian atau semua bagian dari
bahasa tidaklah dipelajari atau diperoleh tetapi ditentukan oleh fitur-fitur nurani yang
khusus dari organisme manusia. Sedangkan hipotesis nurani mekanisme menyatakan
bahwa proses pemerolehan bahasa oleh manusia ditentukan oleh perkembangan
kognitif umum dan mekanisme nurani umum yang berinteraksi dengan pengalaman.
Maka beda kedua hipotesis ini adalah bahwa hipotesis nurani bahasa menekankan
terdapatnya suatu “benda” nurani yang dibawa sejak lahir yang khusus untuk bahasa
dan berbahasa. Sedangkan hipotesis nurani mekanisme terdapatnya suatu “benda”
nurani bebentuk mekanisme yang umum untuk semua kemampuan manusia. Bahasa
dan berbahasa hanyalah sebagian saja dari yang umum itu.
Mengenai hipotesis nurani bahasa, Chomsky dan Miller (dalam Chaer, 2009:175)
mengatakan adanya alat khusus yang dimiliki setiap kanak-kanak sejak lahir untuk
dapat berbahasa. Alat itu namanya Language Acquistition Device (LAD), yang
berfungsi untuk memungkinkan seorang kanak-kanak memperoleh bahasa ibunya.
Carakerja LAD ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Apabila sejumlah ucapan yang
cukup mamadai dari suatu bahasa (bahasa apa saja: Sunda, Arab, Cina, dsb) “diberikan”
kepada LAD seorang kanak-kanak sebagai masukan (input), maka LAD itu akan
membentuk salah satu tata formal sebagai keluaran (out put)-nya.
Adanya hipotesis nurani mengenai LAD ini semakin memperkuat pandangan para ahli
di budang pemerolehan bahasa, bahwa kanak-kanak sejak lahir telah diberikan
kemampuan untuk memperoleh bahasa ibunya. Buktinya, meskipun masukan yang
berupa ucapan-ucapan penuh dengan kalimat-kalimat yang salah, tidak lengkap, dan
struktur yang tidak gramatikal, namun ternyata kanak-kanak dapat saja menguasai
bahasa ibunya itu. Tampaknya bahasa ibu dapat saja diperoleh oleh kanak-kanak dalam
keadaan yang beragam-ragam dan dengan corak yang bagaimana pun.
Konsep LAD telah merangsang penelitian pemerolehan bahasa sampai ke tingkat yang
paling tinggi. Pusat perhatian yang awal mulanya diarahkan kepada pemerolehan
kompoenen sintaksis sedangkan semantik dan kognisi kurang diperhatikan. Hal ini
tidak mengherankan karena teori generatif transformasi yang dikembangkan oleh
chomsky memang hanya memusatkan perhatian kepada keotonomian komponen
sintaksis.
Namun dalam perkembangan yang terakhir, pengkajian pemerolehan bahasa sudah
lebih memperhatikan tiga unsur yang dulu kurang diperhatikan oleh LAD, yaitu:
1. Korpus ucapan, yang kini dianggap berfungsi lebih daripada LAD saja.
2. Peranan semantik yang dianggap lebih penting daripada sintaksis
3. Peranan perkembangan kognisi yang sangat menentukan dalam proses pemerolehan
bahasa.

2.2.2. Hipotesis Tabularasa


Tabularasa secara harfiah berarti “kertas kosong”, dalam arti belum ditulisi apa-apa.
Hipotesis tabularasa ini menyatakan bahwa otak bayi pada waktu dilahirkan sama
seperti kertas kosong, yang nantinya akan ditulisi atau diisi dengan pengalaman-
pengalaman. Hipotesis ini pada mulanya dikemukakan oleh jack locke yang kemudian
dianut dan disebarluaskan oleh john watson.
Dalam hal ini menurut hipotesis tabularasa semua pengetahuan dalam bahasa manusia
yang tampak dalam perilaku berbahasamerupakan hasil dari integrasi peristiwa-
peristiwa yang dialami dan diamati oleh manusia itu. Sejalan dengan hipotesis ini,
behaviorisma menganggap bahwa pengetahuan linguistik terdisi hanya atas hubungan-
hubungan yang dibentuk dengan cara pembelajaran S-R (stimulus-respons).
Menurut skinner berbicara merupakan suatu respons operan yang dilazimkan kepada
sesuatu dari dalam atau dari luar, yang sebenarnya tidak jelas diketahui. Untuk
menjelaskan hal ini, skinner memperkenalkan sekumpulan respons bahasa yang hampir
serupa fungsinya dengan ucapan.
Adapun kategori tersebut, antara lain:
a. Mand
Kata mand adalah akar dari kata command, demand, dan lain-lain. Kata mand
adalah satu operan bahasa dibawah pengaruh stimulus yang bersifat menyingkirkan,
merampas, atau menghabiskan. Di dalam tata bahasa mand ini sama dengan kalimat
imperative. Mand ini muncul sebagai kalimat imperative, permohonan, atau rayuan,
hanya apabila penutur ingin mendapatkan sesuatu. Hal ini mungkin karena dahulu
kalimat seperti ini telah pernah diamati oleh penutur ketika seseorng mengucapkan
untuk mendapatkan kembali sesuatu yang dirampas, disingkirkan, atau diambil
(manded) dari padanya.
b. Tact adalah benda atau peristiwa konkret yang muncul sebagai akibat adanya
stimulus. Di dalam tata bahasa tact ini dapat disamakan dengan menamai atau
menyebut nama sesuatu benda atau peristiwa. Umpamanya kalau kita melihat
sebuah mobil sebagai stimulus mka kita akan mengeluarkan satu tact “mobil”
sebagai respons.
c. Echoics
Echoics adalah satu perilaku berbahasa yang dipengaruhi oleh respons orng lain
sebagai stimulus dan kita meniru ucapan itu. Umpamanya apabila seseorang
mengatakan “mobil”, maka stimulus itu membuat kita mengucapkan kata “mobil”
sebagai sebuah respons.
d. Textual
Textual adalah perilaku berbahasa yang diatur oleh stimulus tertulis sedemikian
rupa sehingga bentuk perilaku itu mempunyai korelasi dengan bahasa yang tertulis
itu. Korelasi yang dimaksud ialah hubungan sistematik antara system penulisan
(ejaan) suatu bahasa dengan respons ucapan apabila membacanya secara langsung.
Jadi, apabila kita melihat tulisan <kucing> sebagai stimulus maka kita memberi
respons [kucing].
e. Interverbal operan adalah operan berbahasa yang diatur oleh perilaku berbahasa
terdahulu yang dilaukan atau dialami oleh penutur. Umpamanya, kalau sebuah kata
dituliskan sebagai stimulus, maka kata lain yang ada hubungannya dengan kata itu
akan diucapkan sebagai respons. Kata meja, misalnya akan membangkitkan kata
kursi. Begitu juga kata terima kasih sebagai akan membangkitkan kata kembali
sebagai responsnya.

2.2.3. Hipotesis Kesemestaan Bahasa


Dalam kognitivisme hipotesis kesemestaan kognitif yang di perekenalkan oleh piaget
telah digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan proses-proses pemerolehan bahasa
kanak-kanak. Piaget sendiri sebenarnya tidak pernah secara khusus mengeluarkan satu
teori mengenai pemerolehan bahasa karena beliau menganggap bahasa merupakan satu
bagian dari perkembangan kognitif (intelek) secara umum. Piaget hanya mengaji
perkembangan kognitif umum ini; dan dalam pengkajian ini beliau telah mengeluarkan
sebuah hipotesis mengenai kesemestaan kognitif, termasuk bahasa. Namun, para
pengikut Piaget di Jenewa telah meluaskan pandangan Piaget ini sehingga satu teori
pemerolehan bahasa dalam kognitifisme telah dirumuskan Sinclair-de Zwart (dalam
Chaer 2009:).
Menurut teori yang didasarkan pada kesemestaan kognitif, bahasa diperoleh
berdasarkan struktur-struktur kognitif deriamotor. Struktur-struktur ini diperoleh
kanak-kanak melalui interaksi dengan benda-benda atau orang-orang di sekitarnya.
Urutan pemerolehan ini secara garis besar adalah sebagai berikut:
1. Antara usia 0 sampai 1,5 tahun (0:0 – 1:6) kanak-kanak mengembangkan pola-pola
aksi dengan cara bereaksi terhadap alam sekitarnya.
2. Setelah struktur aksi dinuranikan, maka kanak-kanak memasuki tahap representasi
kecerdasan, yang terjadi antara usia 2 tahun sampai 7 tahun.
3. Setelah tahap representasi kecerdasan, dengan represntasi simboliknya, berakhir.
Maka bahasa kanak-kanak semakin berkembang, dan dengan mendapat nilai –nilai
sosialnya.
Menurut Piaget (dalam Chaer, 2009:179) ucapan holofrasis pertama selalu
menyampaikan pola-pola yang pada umumnya mengacu kepada kanak-kanak itu
sendiri. Umpamannya, kalau seorang kanak-kanak usia 1,5 tahun mengucapakan kata
“Panana” (grand papa) jika dia menginginkan seseorang melaukan sesuatu terhadapnya
dirinya seperti yang biasa dilakukan kakeknya. Sesudah tahap ini barulah ucapan-
ucapan yang didasarkan pada aksi ini diperluas dengan uraian menegenai peristia-
peristiwa atau sifat-sifat benda lain.
Berdasarkan pandangan Piaget di atas Sinclair-de Zwart (1973) mencoba merumuskan
tahap-tahap pemerolehan bahasa kanak-kanak sebagai berikut:

1. kanak-kanak memilih satu gabungan bunyi pendek dari bunyi-bunyi yang


didengarnya untuk menyampaikan satu pola aksi.
2. jika gabungan bunyi-bunyi pendek ini dipahami, maka kanak-kanak itu akan
memakai seri bunyi yang sama, tetapi dengan bentuk fonetik yang lebih dekat
dengan fonetik orang dewasa, untuk menyampaikan pola-pola aksi yang sama, atau
apabila pola aksi yang sama dilakukan oleh orang lain. Pola aksi ini pada mulanya
selalu terjalin unsur, yaitu agen, aksi, dan penderita.
3. setelah tahap kedua di atas muncullah funsi-funsi tata bahasa yang pertama yaitu
subjek-predikat, dan objek-aksi, yang menghasilkan struktur:
Subjek – Verbal – Objek
Atau
Agen + Aksi + Penderita
Dewasa ini, seperti juga dalam lingustik, dalam kognitifisme perhatian juga lebih
ditujukan pada masalah makna (semantik) serta peranannya dalam pemerolehan
bahasa. Mc. Namara (1972: 1) mengatakan bahwa makna dan kode linguistik
merupakan dua wujud yang berlainan. Kode linguistik terdiri dari sekumpulan formatif
dan alat-alat sintaksis yang mempunyai fungsi untuk menghubungkan makna dengan
system fonologi bahasa itu.
Meskipun berlainan, makna dan kode linguistik itu, dialami dan diperoleh secara
bersamaan. Dalam hal ini baik Piaget maupun Mc. Namara sama-sama berpendapat
bahwa kanak-kanak lebih dahulu mengembangkan proses-proses kognitif yang bukan
linguistik.

2.3. Pemerolehan Semantik


2.3.1. Teori Fitur
Untuk dapat mangkaji pemerolehan semantik kanak-kanak kita perlu terlebih
dahulu memahami apa yang dimaksud dengan makna atau arti itu. Menurut salah satu
teori semantik yang baru, maka dapat dijelaskan berdasarkan yang disebut fitur-fitur
atau penanda-penanda semantik. Ini berarti, makna sebuah kata merupakan gabungan
dari fitur-fitur semantik ini.
Teori fitur mengatakan bahwa konsep terbentuk dari sekelompok unit yang
lebih kecil yang dinamakan fitur. Konsep mengenai objek yang dinamakan kucing,
misalnya, mempunyai sekelompok fitur yakni, (a) berkaki empat,(b) bermata dua, (c)
bertelinga dua, (d) berhidung satu, (e) berkumis, (f) berbulu, (g) berwarna putih, hitam,
coklat dan lainnya.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa anak-anak dapat memahami
sebuah makna dari suatu konsep dengan adanya tanda-tanda atau fitu-fitur yang
memudahkan ia dalam memahami konsep teresebut. Untuk lebih jelas dapat di
contohkan, seekor sapi memiliki tubuh gemuk, berbadan besar, berkaki empat,
memiliki dua mata yang besar, bertelinga dua, berwarna kuning dan lainnya. Ketika
seorang anak melihat seekor sapi, maka ia memahami bahwa sapi itu sperti ini (tanda
yang telah dijelaskan di atas) atau seorang anak mendengar kata “sapi” maka ia akan
memahami sebagaimana ciri atau tanda yang pernah ia lehat sebelumnya. Dan bisa juga
dicontohkan lagi, ketika anak melihat seekor kerbau ia juga akan mengatakan bahwa
itu sapi karena memiliki tanda hampir sama dengan sapi. Beginilah anak-anak
memperoleh sebuah makna dari suatu konsep menurut teori fitur ini.
Asumsi-asumsi yang menjadi dasar hipotesis fitur-fitur semantik adalah sebagai
berikut.
(a) fitur-fitur makna yang digunakan kanak-kanak dianggap sama dengan beberapa
fitur makna yang digunakan oleh orang dewasa.
(b) Karena pengalaman kanak-kanak mengenai dunia dan mengenai bahasa masih
sangat terbatas bila dibandingkan dengan pengalaman orang dewasa, maka kanak-
kanak hanya akan menggunakan dua atau tiga fitur saja untuk sebuah kata sebagai
masukan leksikon.
(c) Karena pemilihan fitur-fitur yang berkaitan ini didasarkan pada pengalaman kanak-
kanak sebelumnya, maka fitur-fitur ini pada umumnya didasarkan pada informasi
persepsi atau pengamatan.
Clark secara umum menyimpulkan perkembangan pemerolehan semantik ini
kedalam emapt tahap, yaitu sebagai berikut.
(a) Tahap penyempitan makna kata
Tahap ini berlangsung antara umur satu sampai satu setengah tahun (1:0 –
1:6). Pada tahap ini kanak-kanak menganggap satu benda tertentu yang dicakup
oleh satu makna menjadi nama dari benda itu. Jadi, yang disebut (meong) hanyalah
kucing yang dipelihara di rumah saja. Begitu juga ( gukguk ) hanyalah anjing yang
ada dirumah saja, tidak termasuk yang berada di luar rumah si anak.
(b) Tahap Generalisasi berlebihan
Tahap ini berlangsung antara usia satu tahun setengah sampai dua tahun
setengah (1:6 – 2:6). Pada tahap ini kanak-kanak mulai menggeneralisasikan makna
suatu kata secara berlebihan. Jadi, yang dimaksud dengan anjing atau gukguk dan
kucing atau meong adalah semua binatang yang berkaki empat, termasuk kambinh
dan kerbau.
(c) Tahap medan semantik
Tahap ini berlangsung antara usia dua tahun setengah sampai lima tahun (2:6
- 5:0). Pada tahap ini kanak-kanak mulai mengelompokkan kata-kata yang
berkaitan ke dalam satu medan semantik. Pada mulanya proses ini berlangsung jika
makna kata-kata yang digeneralisasi secara berlebihan semakin sedikit setelah kata-
kata baru untuk benda-benda yang termasuk dalam generalisasi ini dikuasai oleh
kanak-kanak. Umpamanya, kalau pada mualanya kata anjing berlaku untuk semua
binatang berkaki empat ; namun, setelah mereka mengenal kata kuda, kambing ,
dan harimau, maka anjing hanya berlaku untuk anjing saja.
(d) Tahap generalisasi
Tahap ini berlangsung setelah kanak-kanak berusia lima tahun. Pada tahap
ini kanak-kanak telah mulai mampu mengenal benda-benda yang sama dari sudut
persepsi, bahwa benda-benda itu mempunyai fitur-fitur semantic yang sama.
Pengenalan ini semakin sempurna jika kanak-kanak semakin bertanbah usianya.
Jadi, ketika berusia antara 5 – 7 tahun mereka telah mampu mengenal yang
dimaksud dengan heawan, yaitu semua mahluk yang termasuk hewan
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa kanak-kanak membutuhkan tahap-tahapan
dalam memperoleh makna semantik, dan lingkungan sangat membantu kanak-
kanak untuk memperoleh makna tersebut, karena dalam proses pemerolehan itu
kanak-kanak menggunakan indranya. Jadi, semakin banyak kanak-kanak
mengamati lingkungannya akan sangat membantu sekali dalam memperolah makna
kata-kata dari suatu konsep.
2.3.2. Hubungan-hubungan gramatikal
Teori ini diperkenalkan oleh Mc. Neil (1970), menurut Mc. Neil pada waktu
dilahirkan kanak-kanak telah dilengkapi dengan hubungan-hubungan gramatikal
dalam yang nurani. Oleh karena itu, kanak-kanak pada awal proses pemerolehan
bahasanya telah berusaha membentuk satu “kamus makna kalimat” (sentence-
meaning dictionary), yaitu setiap butir leksikal dicantumkan dengan semua
hubungan gramatikal yang digunakan secara lengkap pada tahap holofrasis. Pada
tahap holofrasis ini kanak-kanak belum mampu menguasai fitur-fitur semantik
kerana terlalu membebani ingatan mereka. Jadi, pada awal pemerolehan semantik
hubungan hubungan gramatikal inilah yang paling penting karena telah tersedia
secara nurani sejak lahir. Sedangkan fitur-fitur semantik hanya perlu pada tahap
lanjutan pemerolehan semantik ini.
Jika kanak-kanak telah mencapai tahap dua kata pada usia dua tahun mereka
baru memulai menguasai kamus makna kata berdasarkan makna kata untuk
menggantikan makna kalimat yang telah dikuasai sebelumnya. Dia awalnya hanya
mampu mengucapkan mama. Makna yang terkandung dalam kata itu, memanggil
ibunya, menyampaikan informasi kepada ibunya tentang sesuatu yang dilaminya.
Misalnya saja ketika celananya basah, ingin digendong atau paling sederhana dia
hanya bisa menangis.
Setelah kanak-kanak telah mencapai tahap dua kata pada usia (sekitar 2
tahun) mereka baru mulai menguasai kamus makna kata berdasarkan makna kata
untuk menggantikan kamus makna kalimat yang telah dikuasai sebelumnya.
Contohnya Ma mim (Mama saya mau minum). Ma mam (Mama saya mau makan),
Ma ndong (mama saya mau gendong). Penyesuaian kamus makna kata ini
merupakan perkembangan kosakata kanak-kanak yang dilakukan secara horizontal
atau secara vertikal.
Secara horizontal artinya pada mulanya kanak-kanak hanya memasukkan
beberapa fitur semantik untuk setiap butir leksikal ke dalam kamusnya. Kemudian
dalam perkembangan selanjutnya barulah terjadi penambahan fitur-fitur lainnya
secara berangsur-bangsur. Contoh: mim, minum susu, minum teh. Mam, makan
bubur, makan nasi, makan pagi, makan siang, makan malam. Ndong, gendong papa,
gendong belakang, gendong ayun. Secara vertikal artinya kanak-kanak secara
serentak memasukkan semua fitur semantik sebuah kata ke dalam kamusnya, tetapi
kata itu terpisah satu sama lain. Artinya, fitur ini sama dengan fitur-fitur semantik
orang dewasa. Contoh: makan bubur-makan asam garam. Makan telur-makan hati.
Anjing mati-Lampu mati. Ayam jantan-ayam kampung. Burung merpati-burung
dipotong.
2.3.3 Teori Generalisasi
Teori ini diperkenalkan oleh Anglin. Menurut Anglin perkembangan
semantik kanak-kanak mengikuti satu proses generalisasi, yaitu kemampuan kanak-
kanak melihat hubungan-hubungan semantik antara nama-nama benda (kata-kata)
mulai dari yang konkret sampai yang abstrak. Pada tahap permulaan pemerolehan
semantik ini kanak-kanak hanya mampu menyadari hubungan-hubungan konkret
yang khusus di antara benda-benda itu. Bila usianya bertambah mereka membuat
generalisasi terhadap kategori-kategori abstrak yang lebih besar. Umpamanya, pada
awal perkembangan pemerolehan semantik kanak-kanak telah mengetahui kata-
kata melati dan mawar melalui hubungan konkret antara kata itu dengan bunga-
bunga tersebut. Pada tahap berikutnya setelah mereka semakin matang, mereka
akan menggolongkan kata-kata ini dengan butir leksikal yang lebih tinggi kelasnya
atau subordinatnya melalui generalisasi yaitu bunga.
Selanjutnya, setelah usia mereka semakin bertambah, maka mereka pun
akan memasukkan bunga ke dalam kelompok-kelompok yang lebih tinggi, yaitu
tumbuh-tumbuhan. Pemerolehan bahasa diterima kanak-kanak melalui proses
generalisasi. Mereka semakin hari semakin memiliki perbendaharaan semantik
yang makin luas. Ada ayam betina, manusia lelaki, ikan jantan. Tetapi tidak ada
kursi jantan, mobil jantan, atau perahu betina. Contoh lain, generalisasi terhadap
kendaraan tidak bermesin sepeda, becak, perahu, paralayang. Lalu ada sepeda
motor, bemo, mocak, speedboat, helikopter.
2.3.4. Teori Primitif Universal
Teori ini mula-mula diperkenalkan oleh Postal (1966), lalu dikembangkan
oleh Bierswich (1970) dengan lebih terperinci. Menurut Postal semua bahasa yang
ada di dunia ini dilandasi oleh satu perangkat primitife-primitif semantik universal
(yang kira-kira sama dengan penanda-penanda semantik dan fitur-fitur semantik),
dan rumus-rumus untuk menggabungkan primitif-primitif semantik ini dengan
butir-butir leksikal. Sedangkan setiap primitif semantik itu mempunyai satu
hubungan yang sudah ditetapkan sejak awal dengan dunia yang ditentukan oleh
struktur biologi manusia itu sendiri.
Bierswich (1970) menyatakan bahwa primitif semantik atau komponen-
komponen sementik ini mewakili kategori-kategori atau prinsip-prinsip yang sudah
ada sejak awal yang digunakan oleh manusia untuk mengolong-golongkan struktur
benda-benda atau situasi-situasi yang diamati oleh manusia itu. Selanjutnya ia
menjelaskan bahwa primitf-primitif atau fitur-fitur semantik ini tidak mewakili ciri-
ciri fisik luar dari benda-benda itu, tetapi mewakili keadaan-keadaan psikologi
berdasarkan bagaimana manusia memproses keadaan sosial dengan fisiknya.
Selajnjutnya ia menjelaskan bahwa dalam pemerolehan makna kanak-kanak tidak
perlu mempelajari kompponen-komponen makna itu karena komponen-komponen
itu telah tersedia sejak dia lahir. Yang dipelajari adalah hubungan-hubungan
komponen ini dengan “ milik-milik” fonologi dan sintaksis bahasanya. Ini berarti
bahwa manusia menafsirkan semua yang diamatinya berdasarkan primitif-primitif
semantik yang telah tersedia sejak dia lahir. Dengan demikian hipotesisi primiti-
primitif universal ini mau tidak mau harus menghubungkan perkembangan
semantic kanak-kanak dengan perkembangan kognitif umum kanak-kanak itu.
Manusia dengan demikian menafsirkan semua yang diamatinya berdasarkan
primitif semantik yang telah tersedia sejak dia lahir. Dengan kata lain teori ini
menghubungkan perkembangan semantik kanak-kanak dengan perkembangan
kognitif umum kanak-kanak itu. Karenanya kanak-kanak yang lahirnya di desa
memiliki konsep-konsep alami yang ada di desa. Beberapa kosakata itu misalnya
sawah, batu, sungai, gubuk, ayah, ibu, kakak, kepala desa. Bisa juga beberapa kata
yang lebih bersifat natural atau yang alami seperti matahari, bulan dan bintang.
Kanak-kanak di pesisir, memperoleh konsep-konsep makna seperti pantai,
pasir, laut, nelayan, jaring angin, ikan, udang, bulan, matahari, layar. Kanak-kanak
di kota, memperoleh konssep-konsep dari sekelilingnya. Seperti televisi, radio,
sekolah, internet, teknologi, mal, sepatu, kemeja, kaos, rompi. Pemerolehan
semantik kanak-kanak yang berbeda lingkungan sosialnya akan berbeda satu sama
lain. Karena meskipun prinsip alaminya sama, tetapi pada perkembangannya akan
berubah sesuai perkembangan kognitif dan sosial. Contohnya adalah malam tidak
selamanya gelap bagi kanak-kanak di kota besar. Ada lampu, ada mal, ada suasana
yang ramai, nonton televisi. Berbeda dengan di desa yang kalau malam hari gelap,
sepi, tidur, bunyi jangkrik dan lain-lain.
Intinya, berdasarkan teori ini, konsep-konsep makna diperoleh kanak-kanak
berdasarkan fitur-fitur alami di sekitarnya. Semakin luas lingkungan sosialnya
berkembang semakin banyak pemerolehan semantik yang didapat. Perangkat-
perangkatnya sama, sesuatu yang sudah ada dalam kehidupan manusia tersebut. Di
zaman batu. Misalnya, manusia hanya mengenal perkakas dari batu. Pisau pun
hanya dari batu yang dibuat bentuk khusus agar bisa digunakan memotong. Di
kehidupan maju, konsep pisau dapur, pisau kue, gergaji, gergaji mesin, gunting
sudah diterima kanak-kanak dari lingkungannya.

1. Teori Struktural Universal

Teori struktural universal ini dikemukakan dan dikembangkan oleh Jakobson (1986).
Oleh karena itu, sering juga disebut teori Jakobson. Inti dari teori ini mencoba menjelaskan
pemerolehan fonologi berdasarkan struktur-struktur universal linguistik, yakni hokum-ukum
struktural yang mengatur setiap perubahan bunyi (Chaer, 2009:202). Jakobson dalam
penelitiannya, mengamati bunyi-bunyi oleh bayi-bayi pada tahap membabel (babbling) dan
menemukan bahwa bayi yang normal mengeluarkan berbagai ragam bunyi dalam
vokalisasinya baik bunyi vokal maupun bunyi konsonan. Namun, ketika bayi mulai
memperoleh “kata” pertamanya (kira-kira 1 : 0 tahun) maka kebanyakan bunyi-bunyi ini
menghilang. Malah sebagian dari bunyi-bunyi itu baru muncul kembali beberapa tahun
kemudian. Dari pengamatannya, Jakobson menyimpulkan adanya dua tahap dalam
pemerolehan fonologi, yaitu (1) tahap membabel prabahasa dan (2) tahap pemerolehan bahasa
murni (Chaer, 2009:202).
Pada tahap prabahasa bunyi-bunyi yang dihasilkan bayi tidak menunjukkan suatu
urutan perkembangan tertentu, dan sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan masa
pemrolehan bahasa berikutnya. Jadi, pada tahap membabel ini bayi hanya melatih alat-alat
vokalnya dengan cara mengeluarkan bunyi-bunyi tanpa tujuan tertentu, atau bukan untuk
berkomunikasi. Sebaliknya, pada tahap pemerolehan bahasa yang sebenarnya bayi mengikuti
suatu pemerolehan bunyi yang relative universal dan tidak berubah (Chaer, 2009:203).
Menurut Jakobson (dalam Chaer, 2009:203), disebutkan bahwa di antara kedua tahap
itu terdapat masa tidak adanya kegiatan yang menunjukkan tidak adanya kesinambungan di
antara kedua tahap itu, meskipun masanya sangat singkat dan tidak tampak jelas. Banyak pakar
psikolinguistik perkembangan menerima teori Jakobson mengenai masa senyap ini. berikut ini
beberapa bukti yang memperkuat teori Jakobson adalah sebagai berikut.
a. Bunyi likuida [l] dan [r] yang sering muncul pada tahap membabel, hilang pada tahap
mengeluarkan bunyi bahasa yang sebenarnya. Bunyi ini baru muncul lagi ketika bayi
berumur tiga setengah tahun (3 : 6), atau empat tahun (4 : 0), bahkan ketika berumur lima
tahun (5 : 0).
b. Bayi-bayi yang pekak membabel dengan cara yang sama dengan yang normal. Namun,
setelah tahap membabel ini selesai bayi-bayi ini pun akan berhenti mengeluarkan bunyi-
bunyi.
c. Menurut penelitian Port dan Preston (dalam Chaer, 2009:203), VOT (voice onset time =
waktu antara pelepasan bunyi hambat dan bergetarnya pita suara) seperti konsonan [d] dan
[t] tidak sama pada tahap membabel dengan VOT pada tahap mengeluarkan bunyi bahasa
yang sebenarnya; dan VOT ketika berusia satu tahun (1 : 0) sama dengan VOT orang
dewasa. Perbedaan VOT ini membuktikan adanya masa peralihan antara tahap membabel
dengan tahap mengeluarkan bunyi yang sebenarnya.

Jika tahap pemerolehan bahasa yang sebenarnya dimulai, maka akan terdapat urutan
peringkat perkembangan yang teratur dan tidak berubah, meskipun taraf kemajuan tiap
individu tidak sama. Perkembangan peringkat ini ditentukan oleh hokum-hukum yang bersifat
universal yang oleh Jakobson disebut “the laws of irreversible solidarity” (Chaer, 2009:203).
Menurut Chaer, perkembangan itu bergerak dari bentuk yang sederhana kepada bentuk
yang kompleks dan rumit. Kerumitan suatu bunyi ditentukan oleh jumlah fitur (oposisi) yang
dimiliki oleh bunyi itu di dalam satu sistem. Jadi, sebenarnya yang diperoleh bayi bukanlah
bunyi satu demi satu, melainkan berupa oposisi-oposisi atau kontras-kontras fonemik, atau
fitir-fitur yang berkontras. Menurut Jakobson (dalam Chaer, 2009:203), meskipun bunyi-bunyi
bahasa-bahasa yang ada di dunia ini berbeda-beda, namun hubungan-hubungan tertentu yang
ada pada bunyi-bunyi ini sifatnya tetap. Umpamanya, apabila suatu bahasa memiliki bunyi
hambat velar seperti [g] maka bahasa itu pasti mempunyai bunyi hambat alveolar seperti [t],
dan juga hambat bilabial seperti [b].
Berdasarkan keterangan di atas, Jakobson memprediksikan bahwa bayi-bayi akan
memperoleh kontras atau oposisi antara hambat bilabial dengan hambat dental atau hambat
alveolar lebih dahulu daripada kontras-kontras di antara bilabial dan velar atau di antara dental
dengan velar. Lebih jauh, Jakobson juga meramalkan bahwa konsonan hambat akan dahulu
diperoleh daripada frikatif dan afrikat. Yang terakhir diperoleh adalah bunyi-bunyi likuida
seperti [l] dan [r]; dan bunyi luncuran (glide) [y] dan [w].
Menurut Jakobson (dalam Chaer, 2009:203) urutan pemerolehan bunyi pada dasarnya
sejalan dengan data yang dikumpulkan oleh sejumlah pakar seperti Clark dan Clark (1977),
Ervin – Tripp (1966), dan Foss dan Hakes (1978). Data yang dikumpulkan itu menunjukkan
bahwa kanak-kanak lebih dahulu dapat membunyikan [b], [p], [d], dan [t] daripada bunyi [f[
dan [s]. oleh karena itu, sering terjadi [f] ditukar dengan [p], seperti kanak-kanak mengucapkan
[pis] untuk <fish>; ayau bunyi [s] ditukar dengan [t] seperti kata <suit> yang diucapkan
menjadi [tut].
Dalam bukunya yang lain, Jakobson (Jakobson dan Hall, 1958) menyatakan bahwa
pemerolehan bunyi konsonan dimulai dari bunyi bibir (bilabial); sedangkan pemerolehan bunyi
vocal dimulai dengan satu vocal lebar, biasanya bunyi [a]. jadi, pada waktu yang sama
konsonan bilabial, biasanya [p], dan vocal lebar, biasanya [a] membentuk satu model silabel
yang universal yaitu KV (konsonan + vocal) yang mencerminkan apa yang disebut “konsonan
optimal + vocal optimal”. Berdasarkan pola inilah nanti akan muncul satuan-satuan bermakna
dalam ucapaj kanak-kanak yang biasanya terjadi dalam bentuk reduplikasi, misalnya [pa + pa].
Akhirnya menurut Jakobson, seringnya sesuatu bunyi diucapkan seorang dewasa terhadap
kanak-kanak tidak menentukan munculnya bunyi tersebut dalam ucapak kanak-kanak. Yang
menentukan urutan munculnya bunyi-bunyi adalah seringnya bunyi-bunyi itu muncul dalam
bahasa-bahasa dunia. Jika suatu bunyi sering muncul dalam bahasa-bahasa dunia, maka bunyi-
bunyi itu akan lebih dulu muncul dalam ucapan kanak-kanak, meskipun bunyi itu jarang
muncul dalam data masukan yang didengar oleh kanak-kanak.

2. Teori Generatif Struktural Universal

Teori struktural universal yang diperkenalkan oleh Jakobson di atas telah diperluas oleh
Moskowitz (1970, 1971) dengan cara menerapkan unsure-unsur fonologi generative yang
diperkenalkan oleh Chomsky dan Halle (1968). Yang paling menonjol dari teori Moskowitz
ini adalah “penemuan konsep” dan “pembentukan hipotesis” berupa rumus-rumus yang
dibentuk oleh kanak-kanak berdasarkan data linguistic utama (DLU), yaitu kata-kata dan
kalimat-kalimat yang didengarnya sehari-hari (Chaer, 2009:205).
Kesimpulan dari Moskowitz yaitu penolakannya terhadap pendapat bahwa
pemerolehan tahap fonetik berlaku dengan cara-cara yang sama bagi semua kanak-kanak di
dunia (Moskowitz dalam Chaer, 2009:205). Di balik penolakan ini beliau mengakui juga
bahwa tentu ada satu set sekatan yang harus dikernakan pada urutan pemerolehan representasi
fonologi yang kurang jelas karena adanya interferensi fonetik. Ada satu kesimpulan Moskowitz
yang tidak sejalan dengan teori Chomsky yaitu mengenai konsep-konsep yang harus ditentukan
oleh kanak-kanak untuk mengasimilasikan DLU lebih berkaitan dengan proses struktur nurani
yang dihipotesiskan.
Moskowitz (dalam Chaer, 2009:206) mengatakan bahwa dalam pemerolehan fonologi
tidak dapat dipastikan apakah kanak-kanak telah menguasai rumus-rumus fonologi atau tidak.
Oleh karena itu, ada alasan untuk mengatakan bahwa kanak-kanak telah menciptakan rumus-
rumus fonologinya sendiri sejak tahap awal pemerolehan fonologinya yang berlainan dengan
rumus-rumus fonologi orang dewasa. Moskowitz juga berpendapat bahwa sejak awal preses
pemerolehan bahasanya, bayi telah menyadari akan perbedaan antara bunyi bahasa manusia
dengan bunyi-bunyi lain yang bukan suara manusia. Hal ini termasuk “kemampuan urani” yang
dimiliki bayi sejak dilahirkan.
Keberhasilan utama yang dicapai si bayi pada tahap membabel adalah penemuan unit-
unit kalimat yang merupakan unit linguistik yang pertama. Ini ditandai dengan munculnya
intonasi dan hentian-hentian dalam ucapannya; dan ini merupakan permulaan analisis bahasa
segmental. Penemuan unit kalimat ini juga mencerminkan satu langkah utama kea rah
sosialisasi, yakni pembelajaran semantic karena kalimat sebagai suatu rangkaian bunyi panjang
yang terbatas memiliki makna tertentu.
Moskowitz (dalam Simanjuntak, dalam Chaer, 2009:208) menjelaskan bahwa sesudak
kanak-kanak “menemukan” unit kalimat ditandai oleh kontur intonasi, maka kanak-kanak akan
menemukan unit utama kedua, yaitu unit suku kata, yakni bagian dari kata yang merupakan
satu “satuan bunyi” di bawah kata ini. unit suku kata ini dipahami kanak-kanak sebagai satu
fitur suku kata, bukan sebagai fitur-fitur fonem atau fon. Peranan unit suku kata ini sangat
penting di dalam proses pemerolehan bahasa. Benyuk unit suku kata yang pertama muncul
adalah bentuk KV (konsonan-vokal), kemudian diikuti oleh bentuk KVK, VK, dan V. sesudah
itu baru diikuti oleh bentuk pengulangan penuh KVKV dalam bentuk kata seperti mama, papa,
mimi, dan sebagainya.
Sesudah menguasai suku kata barulah kanak-kanak menguasai unit segmen, yakni
konsonan atau vokal. Urutan pemerolehan segmen ini tidak sama antara seorang kanak-kanak
dengan kanak-kanak lain.pemerolehan unit segmen segera diikuti oleh pemerolehan unit yang
lebih kecil yaitu unit fitur distingtif berupa oposisi atau kontras-kontras yang bisa membedakan
makna. Urutan pemerolehannya teratur dan sesuai dengan urutan menurut teori Roman
Jakobson di atas.
Moskowitz juga memperkenalkan apa yang disebutnya idiom-idiom fonologi. Menurut
perkembangannya, idiom-idiom fonologi ini terdiri dari idiom progresif dan idiom regresif.
Idiom progresif adalah apabila bentuk bunyi suatu kata pada tahap awal telah menyamai bentuk
yang sebenarnya menurut fonologi orang dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya, bentuk
semakin dekat, dan sterusnya menjadi tepat. Idiom regresif adalah apabila bentuk yang telah
menyamai bentuk orang dewasa itu berubah ke bentuk yang lebih primitive. Misalnya, pada
suatu peringkat seorang kanak-kanak telah mengucapkan kata “pretty” dengan tepat sebagai
[priti], padahal sebenarnya pada peringkat itu dia belum menguasai gugus konsonan. Namun,
beberapa waktu kemudian kanak-kanak itu membuang bunyi [r] dari gugus konsonan [pr] itu,
dan mengucapkannya menjadi [piti] sesuai dengan sistem fonologinya pada tahap itu.
kemudian, setelah menca[ai tahap penguasaan gugus konsonan barulah bentuk [piti] itu
berubah kembali seperti [priti].
3. Teori Proses Fonologi Alamiah

Teori ini diperkenalkan oleh David Stempe (1972, 1973), yakni teori yang disusun
berdasarkan teori fonologi alamiah yang telah diperkenalkan sejak 1965. Menurut Stampe,
proses fonoligi kanak-kanak bersifat nurani yang harus mengalami penindasan (supresi),
pembatasan, dan pengaturan sesuai dengan penuranian (internalization) representasi fonemik
orang dewasa.
Suatu proses fonologi terdiri dari kesatuan-kesatuan yang saling bertentangan.
Umpamanya, terdapat satu proses yang menjadikan semua bunyi hambat menjadi tidak
bersuara dalam semua konteks, karena halangan oralnya menghalangi araus udara yang
diperlukan untuk menghasilkan bunyi-bunyi ini. Namun, bagaimanapun bunyi-bunyi ini akan
menjadi bersuara oleh proses lain dengan cara asimilasi tertentu. Jika kedua proses ini terjadi
bersamaan, maka keduanya akan saling menindih, dan saling bertentangan: sebuah binyi
hambat tidak mungkin secara serentak bersuara dan tidak bersuara pada lingkungan yang sama.
Masalah yang bertentangan ini dapat dipecahkan dengan tiga cara berikut.
a. Menindas salah satu dari kedua proses yang bertentangan itu. umpamanya bila kanak-
kanak telah menguasai bunyi-bunyi hambat bersuara dalam semua konteks, maka berarti
dia telah berhasil menindas proses penghilangan suara yang ditimbulkan oleh halangan
oral bunyi itu.
b. Membatasi jumlah segmen atau jumlah konteks yang terlibat dalam proses itu. Misalnya,
proses penghilangan suara dibatasi hanya pada bunyi-bunyi hambat tegang saja,
sedangkan bunyi-bunyi hambat longgar tidak dilibatkan.
c. Mengatur terjadinya proses penghilangan bunyi suara dan proses pengadaan bunyi suara
secara berurutan. Urutannya boleh dimulai dengan proses penghilangan bunyi suara; lalu
diikuti dengan proses pengadaan bunyi bersuara. Kedua proses ini tidak mungkin terjadi
secara bersamaan.
4. Teori Prosodi – Akustik

Teori ini diperkenalkan oleh Watersom (1976) sesudah sia merasa tidak puas dengan
pendekatan fonemik segmental yang dikatakannya tidak memberikan gambaran yang
sebenarnya mengenai pemerolehan fonologi. Pendekatan fonemik segmental menganggap
bahwa kanak-kanak memperoleh fonologi berdasarkan fonem, sehingga banyak bahan fonetik
yang berkaitan telah dikesampingkan. Karena kelemahan tersebut, maka Waterson (1971)
menggunakan pendekatan nonsegmental, yaitu pendekatan prosodi, yang dianggapnya lebih
berhasil. Pendekatan ini diperkuat dengan analisis akustik sebab analisis prosodi hanya melihat
dari analisis artikulasi saja.
Waterson (dalam Chaer, 2009:2011) berpendapat bahwa pemerolehan bahasa adalah
satu proses sosial sehingga kajiannya lebih tepat dilakukan di rumah dalam konteks soaial yang
sebenarnya daripada pengkajian data-data eksperimen, lebih-lebih untuk mengetahui
pemerolehan fonologi. Dalam proses pemerolehan fonologi mula-mula kanak-kanak
memperhatikan lingkungannya, mengamati persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan
yang penting baginya dalam lingkungan itu. Dalam hal ini kanak-kanak sangat peka terhadap
sifat-sifat suara manusia tertentu yang didengarnya berulang-ulang dalam konteks yang sama
seperti pola-pola tekanan, irama, ritme, dan fitur-fitur lain yang berhubungan dengan keadaan-
keadaan yang berulang-ulang itu. pada suatu saat kanak-kanak itu mulai menyadari bahwa
ucapan-ucapan yang didengarnya ada hubungannya dengan benda-benda dan peristiwa-
peristiwa dalam lingkungannya. Pada tahap permulaan ini kanak-kanak hanya menerima dan
mengamati bunyi-bunyi yang yang mempunyai arti baginya. Lalu dari bunyi-bunyi yang
mempunyai arti ini kanak-kanak membentuk pola bunyi tertentu tanpa morfologi dan sintaksis.
Jadi, menurut Waterson (1976) pemerolehan bahasa oleh kanak-kanak dimulai dari
pemerolehan semantic dan fonologi, kemudian beru ada pemerolehan sintaksis.
Sesudah menganalisis data ucapan kanak-kanak, Waterson berkesimpulan bahwa
prinsip-prinsip dasar pemerolehan morfologi kanak-kanak adalah sama, meskipun mereka
menggunakan strategi yang berlainan. Pada umumnya kanak-kanak mulai berbahsa dengan
menggunakan suku kata tunggal. Apabila dia mencoba mengucapkan dua suku kata, maka yang
diucapkan adalah pengulangan daripada suku kata tunggal itu. jika dia “berjumpa” dengan
kata-kata yang terdiri dua suku kata, maka dia lebih mudah untuk mengucapkan suku kata yang
mendapatkan tekanan suara daripada suku kata yang tidak mendapat tekanan.
Mengapa kanak-kanak lebih mudah mengulang-ulang suku kata yang bertekanan
daripada mengucapkan kata dwisuku? Menurut Waterson, walau yang dibutuhkan orang
dewasa untuk mengucapkan kata ekasuku dari dwisuku adalah sama, yaitu 0,7 detik. Maka
perubahan artikulasi dan akustik untuk persepsi dan pengeluaran jauh lebih sedikit pada
ekasuku daripada dwisuku karena masa pengucapannya adalah sama. Jadi, cara yang paling
mudah bagi kanak-kanak adalah mengulang suku kata yang mendapat tekanan keras daripada
mengucapkan kedua suku kata itu. waterson (1971) juga menemukan adanya hubungan akustik
antara bentuk-bentuk ucapan kanak-kanak dengan fitur-fitur bentuk ucapan orang dewasa.
Kanak-kanak hanya mengucapkan kembali bagian ucpan yang memakan waktu lebih kurang
0,2 detik, dan bagian yang diucapkan kembali adalah elemen vocal dan konsonan yang
mencapai artikulasi kuat.
5. Teori Kontras dan Proses

Teori ini diperkenalkan oleh Ingram (1974, 1979), yakni suatu teori yang menggabungkan
bagian-bagian penting dari teori Jakobson dengan bagian-bagian penting dari teori Stampe;
kemudian menyelaraskan hasil penggabungan dengan teori perkembangan dari Piaget.
Menurut Ingram, kanak-kanak memperoleh sistem fonologi orang dewasa dengan cara
menciptakan strukturnya sendiri; dan kemudian mengubah struktur ini jika pengetahuannya
mengenai sistem orang dewasa semakin baik. perkembangan fonologi ini melalui asimilasi dan
akomodasi yang terus-menerus (menurut teori Piaget): mengubah struktur untuk
menyelaraskannya dengan kenyataan. Peristiwa ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Kata Orang Dewasa Sistem kanak-kanak Kata kanak-kanak

Umpamanya pada tahap permulaan kanak-kanak telah menetapkan pola KV sebagai


struktur kata-kata barunya. Maka semua kata baru orang dewasa akan diasimilasikan dengan
pola itu. setelah mempelajari lebih banyak kata-kata orang dewasa, maka struktur-sistem yang
telah diciptakannnya akan diubah dan disesuaikan untuk dapat menampung kata-kata orang
dewasa dengan menciptakan satu pola baru yaitu KVK. Bagian perkembangan fonologi
sebagai berikut.
- Persepsi = Senarai bunyi dan suku kata pada orang dewasa.
- Organisasi = Senarai bunyi dan suku kata yang berkontras.
- Pengeluaran = Senarai bunyi dan suku kata yang dikeluarkan.

Tahap-tahap pemerolehan fonologi yang dibuat Ingram di atas sejalan dengan tahap-tahap
perkembangan kognitif dari Piaget (1962). Pada tahap persepsi, yang belum produktif itu,
terdapat dua subtahap yaitu (a) tahap vokalisasi pengucapan, dan (b) tahap fonologi primitif.
Tahap vokalisasi pengucapan adalah tahap sebelum kata-kata pertama muncul yang dimulai
dengan mendekut ketika berumur empat bulan (0 : 4). Kemudian diikuti dengan membabel.
Menurut Ingram membabel ini bukanlah kegiatan semaunya, melainkan merupakan sutu
kegiatan yang agak teratur, dan maju berkelanjutan. Membabel ini bukan merupakan satu
latihan, melainkan ada hubungannya dengan seluruh proses pemerolehan fonologi.

Tahap fonologi primitif muncul pada tahap satu kata (holofrasis) dalam pemerolehan
sintaksis. Tahap ini pun belum produktif karena kanak-kanak belum memperoleh rumus-
rumus fonologi yang sebenarnya. Sesudah mengalisis data ucapan dari sejumlah kanak-kanak,
Ingram menyimpulkan bahwa teori Jakobson tidak seluruhnya benar. Umpamanya, menurit
teori Jakobson bentuk suku kata pertama yang muncul adalah KV atau reduplikasinya KVKV;
tetapi menurut data bentuk VK juga banyak muncul. Begitu pun bentuk pengulangan yang
ditemukan sangat berlainan antara kanak-kanak yang satu dengan kanak-kanak yang lain.

Pada tahap pengeluaran (yakni tahap proses yang aktif), yang dimulai ketika berusia satu
tahun setengah (1 : 6), terdapat dua peristiwa penting, yaitu:

a. Terjadinya pertumbuhan kosakata dengan cepat.


b. Munculnya ucapan-ucapan dua kata.

Pada tahap ini kanak-kanak mulai mengembangkan kemampuannya untuk menentukan bunyi-
bunyi ucapan yang dapat dipakai untuk menyatakan perbedaan makna. Tahap ini berlangsung
sampai kanak-kanak berumur tiga tahun enam bulan (3 : 6) sampau empat tahun (4 : 0).
Pemerolehan setiap bunyi tidak terjadi secara tiba-tiba dan sendiri-sendiri, melainkan secara
perlahan-perlahan dan berangsur-angsur. Ucapan kanak-kanak selalu berubah antara ucapan
yang benar dan tidak benar secara progresif sampai ucapan seperti orang dewasa tercapai.
Pemerolehan fonologi kanak-kanak terjadi melalui beberapa proses penyederhanaan umum
yang melibatkan semua kelas bunyi. Proses-proses itu adalah:

1. Proses Subtitusi : penukaran satu segmen oleh segmen lain. Proses ini sebagai berikut.
a. Penghentian : bunyi frikatif ditukar dengan bunyi hambat.
<sea>  [ti : ]
<sing>  [ti]
b. Pengedepanan : yaitu menukar bunyi velar dan palatal dengan bunyi alveolar.
<shoe>  [zu’]
<shop>  [za’p]
c. Peluncuran : yaitu likuida ([l],[r]) ditukar dengan bunyi luncuran (glide) [w] dan [y].
<leg>  [yek]
<ready>  [wedi]
d. Vokalisasi : satu suku kata konsonan ditukar dengan satu suku kata vocal (satu proses
yang terutama tegas dalam bahasa Inggris).
<apple>  [apo]
<bottle>  [babu]
e. Netralisasi vokal : bunyi-bunyi berubah menjadi vokal tengah.
<back>  [bat]
<hug>  [had]
2. Proses asimilasi, yaitu kecenderungan untuk mengasimilasikan satu segmen kepada
segmen lain dalam satu kata. Proses ini terdiri dari:
a. Penyuaraan, yakni bunyi-bunyi konsonan cenderung disuarakan jika muncul di depan
sebuah vocal, dan tidak disuarakan bila muncul pada akhir suku kata
<paper>  [be : ba]
<tiny>  [daini]
<bird>  [bit]
b. Keharmonisan konsonan, yakni bunyi-bunyi konsonan cenderung berasimilasi satu
sama lain. Pola-pola yang sering muncul adalah
Konsonan apical cenderung berasimilasi dengan konsonan velar yang berdekatan.
<duck>  [gak]
<tongue>  [gaŋ ]
Konsonan apical cenderung berasimilasi dengan konsonan bilabial yang berdekatan.
<tub>  [bab]
<tape>  [beip]
c. Asimilasi vocal progersif, yakni sebuah vocal yang tidak mendapat tekanan
diasimilasikan pada vekal yang mendapat tekanan suara yang muncul di depan atai di
belakangnya.
<bacoa>  [bu : du]
<tape>  [beip]
3. Proses struktur suku kata, yaitu kecenderungan kanak-kanak menyederhanakan struktur
suku kata. Pada umumnya penyederhanaan suku kata ini berlaku kea rah suku kata KV.
Proses ini terdiri dari:
a. Reduksi klaster: satu klaster konsonan direduksikan menjadi satu konsonan saja.
<clown>  [kaun]
<play>  [pe]
b. Pengguguran konsonan akhir: suku kata KVK dipendekkan menjadi KV dengan
menggunakan konsonan akhir.
<bike>  [bai]
<out>  [au]
c. Pengguguran suku kata yang tidak mendapat tekanan suara: suku kata yang tidak
mendapat tekanan digugurkan jika suku kata mendahului satu suku kata yang
mendapat tekanan suara.
<banana>  [naena]
<potato>  [pedo]
d. Reduplikasi: dalam kata panjang suku kata KV diulang.
<cookie>  [gege]
<T. V>  [didi]
PEMEROLEHAN SINTAKSIS

Banyak pakar pemerolehan bahasa menganggap bahwa pemerolehan sintaksis dimulai ketika
kanak-kanak mulai dapat menggabungkan dua buah kata atau lebih (lebih kurang ketika berusia
2:0 tahun). Oleh karena itu, ada baiknya diikutsertakan dalam satu teori pemerolehan sistaksis.

Dalam bidang sintaksis, anak memulai berbahasa dengan mengucapkan satu kata, kata ini
sebenarnya kalimat penuh tetapi karena dia belum dapat mengatakan lebih dari satu kata, dia
hanya mengambil ujaran satu kata (USK) dari kalimat itu contohnya anak yang mengatakan bi
untuk kata mobil bisa bermaksud untuk mengatakan:

a. Ma, itu mobil


b. Ma, ayo kita ke mobil

Sedangkan ujaran untuk dua kata (UDK) adalah kata yang di ujarkan echa pada waktu dia
berumur 1;8 (Dardjowidjo 2000: 146):

a. “liat tuputupu maksudnya ayo lihat kupu-kupu”

b. “etsa nani maksudnya echa mau nyanyi”

Teori Pivot

Kajian mengenai pemerolehan sintaksis oleh kanak-kanak dimulai oleh Braene (1963),
Bellugi (1964), Brown dan Fraser (1964), Miller dan Ervin (1964). Menurut kajian awal ini
ucapan dua kata kanak-kanak itu terdiri atas dua jenis kata yaitu: kelas Pivot dan kelas
Terbuka, kemudian lahirlah teori tata bahasa pivot. Kelas pivot adalah kata-kata fungsi,
sedangkan kelas terbuka adalah kata-kata isi/kata (nomina dan verba).

Tata bahasa pivot yang muncul sebagai akibat dari discovery procedure, menyatakan bahwa
pemerolehan sintaksis kanak-kanak dimulai dengan kalimat-kalimat yang terlihat pada kata-
kata pivot. Namun cara ini menurut psikolinguistik modern sangat tidak memadai (Greenfield
dan Smith, 1976:6). Bloom (1970), Bowerman (1973), dan Brown (1973) menyatakan
sebagai berikut : (a) Kata-kata pivot bisa muncul sendirian (b) dapat bergabung dengan kata
pivot lain dalam sebuah kalimat. (b) Pada kalimat-kalimat dua kata yang dibuat kanak-kanak
terdapat juga kata-kata dari kelas lain selain kelas pivot dan kelas terbuka. (c) Tata bahasa
pivot tidak dapat menampung semua makna ucapan-ucapan dua kata (d) Pembagian kata-kata
pivot dan kelas terbuka tidak mencerminkan bahasa-bahasa lain selain bahasa Inggris.

Kemudian berdasarkan kedua jenis kata ini lahirlah teori yang disebut teori tata bahasa Pivot.
Pada umumnya kata-kata yang termasuk kelas Pivot adalah kata-kata fungsi (function words),
sedangkan yang termasuk kelas terbuka adalah kata-kata isi (contents words) atau kata penuh
(full words) seperti kata-kata berkategori nomina dan verba.[4]

Ciri-ciri umum kedua jenis kata ini adalah sebagai berikut:

Kelas Pivot Kelas Terbuka


1. Terdapat pada awal atau akhir kalimat 1. Dapat muncul pada awal dan akhir
kalimat
2. Jumlahnya terbatas, tetapi sering muncul 2. Jumlahnya tidak terbatas, sehingga tidak
begitu seirng muncul
3. Jarang muncul anggota baru (kata baru) 3. Sering muncul anggota baru (kata baru)
4. Tidak pernah muncul sendirian 4. Bisa muncul sendirian
5. Tidak pernah muncul bersama dalam 5. Bisa muncul bersama dalam satu kalimat,
satu kalimat atau juga dari kelas pivot
6. Tidak punya rujukan sendiri, tetapi selalu 6. Mempunyai rujukan sendiri.
merujuk pada kata-kata lain dari terbuka.

Berdasarkan data yang termuat pada kolom kelas pivot dan kelas terbuka di atas, dapat
diketahui perbedaan satu sama lainnya. Tentang hal ini, diberikan contoh kata seperti kata
want adalah kata pivot pada posisi awal kalimat, sedangkan kata milk adalah kata terbuka
yang muncul pada posisi akhir kalimat.

Teori hubungan tata bahasa dan informasi situasi

Sehubungan dengan teori hubungan tata bahasa nurani, Bloom (1970) mengatakan bahwa
hubungan hubungan tata bahasa tanpa merujuk pada informasi situasi (konteks) belumlah
mencukupi untuk menganalisis ucapan atau bahasa kanak-kanak. Maka untuk dapat
menganalisis ucapan kanak-kanak itu informasi situasi ini perlu diperhatikan. Brown (1973)
juga memperkuat pendapar bloom ini.

Selanjutnya Bloom juga mengatakan bahwa suatu gabungan kata telah digunakan oleh kanak-
kanak dalam suatu situasi yang berlainan. Juga dengan hubungan yang berlainan diantara kata-
kata dalam gabungan itu. Umpamanya, kedua kata benda dalam ”mommy sock” pada contoh
yang lalu sangat jelas menunjukan hal itu. Pada situasi pertama hubungan kedua kata benda itu
adalah menyatakan hubungan subjek-objek. Sedangkan dalam situasi kedua adalah hubungan
pemilik objek. Contoh lain “sweater chair” yang disajikan di atas kiranya dapat menyatakan
tiga hubungan bergantung situasinya. Dalam bahasa Indonesia ucapan “ibu kue” dalam situasi
yang berbeda-beda diartikan:

1. Anak itu minta kue kepadaibunya


2. Anak itu menunjukkan kue kepada ibunya
3. Anak itu menawarkan kue kepada ibunya
4. Anak itu memberitahukan ibunya bahwa kuenya jatuh atau diambil orang lain, dan
sebagainya

Teori Kumulatif Kompleks

Teori ini dikemukakan oleh Brown (1973) berdasarkan data yang dikumpulkannya. Menurut
Brown, urutan pemerolehan sintaksis oleh kanak-kanak ditentukan oleh kumulatif kompleks
semantik morfem dan kumulatif kompleks tata bahasa yang sedang diperoleh. Jadi, sama sekali
tidak ditentukan oleh frekuensi munculnya morfem atau kata-kata itu dalam ucapan orang
dewasa. Dari tiga orang kanak-kanak (berusia dua tahun) yang sedang memperoleh bahasa
inggris yang diteliti Brown ternyata morfem yang pertama kali dikuasai adalah progressive-ing
dari kata kerja, padahal bentuk ini tidak sering muncul dalam ucapan-ucapan orang dewasa.

Setelah progressive-ing baru muncul kata depan in, kemudian on, dan diikuti oleh bentuk
jamak, ’s. Sedangkan artikel The dan a yang lebih sering muncul dalam ucapan-ucapan orang
dewasa baru muncul pada tahap ke 8. urutan perkembangan sintaksis yang dilaporkan oleh
Brown hampir sama dengan urutan perkembangan hubungan-hubungan sintaksis yang
dilaporkan oleh sejumlah pakar lain (simanjuntak 1987).

Teori Pendekatan Sematik

Teori pendekatan sematik menurut Green Field dan Smith (1978) pertama kali diperkenalkan
oleh Bloom. Beliau mengintergrasikan pengetahuan sematik dalam pengkajian perkembangan
semantik ini berdasarkan teori generatif transformasinya Chomsky (1965.) Teori generative
transformasi ini menyatakan bahwa kalimat-kalimat yang kita dengar ini “dibang-kitkan’”dari
struktur luar dengan rumus “fisiologi”. Sedangkan struktur luar ini “dibangkitkan” dari struktur
dalam (struktur dasar) dengan rumus-rumus transformasi. Pandangan atau teori Chomsky
tersebut mendapatkan tantangan dari beberapa ahli psikologi seperti Schlesinger (1971) dan
Olson (1970). Schlesinger menyatakan bahwa apa yang disebut struktur dalam pada teori
Chomsky sebenarnya bukanlah struktur sintaksis, melainkan struktur sematik. Salah satu teori
tata bahasa yang didasarkan pada komponen sematik diperkenalkan oleh Fillmore (1968) yang
dikenal dengan nama tata bahasa kasusu (case grammar).

Teori ini digunakan oleh Bowerman dan Brown sebagai dasar untuk menganalisis data-data
perkembangan bahasa. Fillmore berpendapat merupakan satu keharusan untuk mengikut-
sertakan sematik pada umumnya, dan hubungan sematik khususnya dalam menganalisis
pengetahuan tatabahasa, strukturnya yang berdasarkan sematik kemudian dipakai sebagai dasar
cabang teori generatif transformasi yang dikenal dengan nama sematik generatif.

Perbedaan antara pendekatan sematik dengan teori hu-bungan tatabahasa murni adalah teori
tatabahasa murni yang menerapkan hubungan-sintaksis dalam menganalisis struktur ucapan
kanak-kanak, sedangkan pendekatan sematik menemukan struktur ucapan itu berdasarkan
“sematik”.

Anda mungkin juga menyukai