Anda di halaman 1dari 20

TUTORIAL KLINIK

Ketoasidosis Diabetikum Pada

Pasien dengan Diabetes Melitus Tipe I

Dosen Pembimbing :

dr. Purwoadi Sujatno, Sp.PD,FINASIM,MPH

Disusun Oleh :

Monica Elysabeth Sunata

42180290

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA

2019

1
STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN

Nama : Nn. Chintya Ngantung

Usia : 22 Tahun

Alamat : Bangka Belitung Barat

Tanggal lahir : 07-07-1997

No. RM : 02-07-79-06

Hari MRS : 14 Juli 2019 (IGD, rawat inap ICU)

I. ANAMNESIS

a. Keluhan utama : Badan lemas

b. RPS:

Pasien diantarkan oleh saudara dan temannya ke IGD RS Bethesda pada tanggal

14 Juli 2019. Sewaktu datang pasien sudah mengalami penurunan kesadaran, nampak

lemas, dan napasnya nampak cepat. Ketika datang pasein sulit diajak berbincang,

sehingga pemeriksa bertanya kepada pengantar pasien. Menurut keluarga dan teman

pasien, pasien sempat menuturkan bahwa ia merasa lemas seperti ingin pingsan sejak

3 hari belakangan, mual, muntah, sulit makan dan minum. Ketika itu pasien tidak

mau diajak periksa ke dokter, hanya minum obat maag milanta karena merasa hanya

maagnya yang kambuh. Keluarga juga menuturkan bahwa sejak subuh pasien

mengatakan merasa agak sesak napas dan berkeringat dingin. Sekitar 30 menit SMRS

2
pasien kemudian ditemukan oleh temannya di lantai kamar kostnya, pasien sulit

dibangunkan oleh keluarga dan di bawa ke rumah sakit.

c. RPD:

Pasien memilki riwayat penyakit maag (dispepsia), dan memiliki diabetes mellitus

(DM) tipe I serta menggunakan insulin. Pasien tidak memiliki riwayat asma.

d. RPK:

Menurut keluarga mengaku bahwa tidak terdapat riwayat penyakit diabetes,

penyakit ginjal, dan jantung pada keluarga pasien. Ayah pasien menderita hipertensi.

e. Gaya hidup:

Pasien merupakan mahasiswa jurusan arsitektur. Pasien tinggal bersama paman,

bibi, dan saudara sepupu yang berkuliah besama pasien. Pasien belakangan sering

terlambat makan, dan bergadang karena tugas kuliahnya. Menurut keluarga, pasien gemar

makan mie instan. Keluarga juga meceritakan bahwa keluarga sering mengingatkan

pasien untuk menggunakan insulin, namun karena sulit makan, minum dan lemas, pasien

tidak menggunakan insulin sejak sabtu.

II. PEMERIKSAAN FISIK

Hasil Pemeriksaan Fisik di IGD

a. Keadaan umum : Lemah

b. Kesadaran : Somnolen

c. Disability/ GCS : Pain/ E2 V3 M4

d. Vital Sign :TD 80/--, Nadi: 110x/mnt, Suhu: 35, 80C, Respirasi: 28x/mnt

dengan SaO2 99% (sedang menggunakan nasal kanul 3lpm)

3
STATUS LOKALIS:

a. Kepala : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mulut kering

b. Leher : Tidak ada pembesaran KGB

c. Thorax:

I: Paru kanan dan kiri sejajar, tidak ada jejas, tidak ada ketertinggalan

pengembangan dada, pergerakan nampak cepat.

P: fremitus dan nyeri tekan sulit dinilai

P: sonor

A: suara napas vesikuler, tidak ada wheezing dan rhonki, suara jantung S1/S2

d. Abdomen:

I: Tidak ada jejas, tidak ada distensi (dinding abdomen agak lebih rendah

dinding dada)

A: Bising usus tidak meningkat

P: Timpani seluruh lapangan abdomen

P: Abdomen supel, tidak teraba pembesaran organ, nyeri tekan sulit dinilai

e. Ekstremitas: akral dingin, berkeringat, CRT>2 detik, turgor melambat, tidak ada

edema pada tungkai

f. Status Nutrisi: pasien nampak kurus.

Follow up di IGD pukul 11.45 WIB

 KU lemah, somnolen. TTV TD 80/60 mmHg, Nadi 105x/menit, Napas 22x/menit,

SaO2 99%. POCT GDS: High

4
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium Darah Lengkap

B. Analisa Gas Darah

5
IV. ASESMEN

Daftar Masalah yang Ditemukan Diagnosa Banding:

Pada hasil allo anamnesa: - HHS

- Tubuh terasa lemas

- Berkeringat dingin

- Mual dan muntah

- Sesak napas

- Penurunan kesadaran

- Memiliki penyakit DM I

- Riwayat kurang asupan makanan

- Riwayat Penghentian Insulin

Pada pemeriksaan fisik: nampak lemah, Diagnosa Kerja:

somnolen, suhu tubuh 35,8; akral


Ketoasidosis Diabetikum pada Pasien
dingin, berkeringat dingin, napas cepat,
dengan DM II, Syok Hipovolemik,
nadi cepat, hipotensi (ada tanda syok),
Impending Gagal Nafas
ada tanda dehidrasi.

Pada pemeriksaan penunjang: GDS

820,4 mg/dl (hiperglikemia),

hiponatremia, leukositosis, kenaikan

ureum dan kreatinin, pH darah 7,044,

hipokapnea, penurunan bikarbonat

(asidosis metabolik), dan ketonemia

6
V. TATALAKSANA

Tatalaksana yang diberikan selama di IGD antara lain:

- Infus NaCl 0,9% guyur 2 jalur (2 liter dalam 2 jam pertama)

- Novorapid 50 IU dalam 50 cc NaCl 0.9% syringe pump 5cc/jam  evaluasi 2 jam

- Inj Novorapid 12 unit subkutan

- Meylon 1 fls , I.V Bolus

- Injeksi pantoprazol 1x1 fl (40mg dalam 10ml aquades)

- Injeksi ceftriakson 2x1g

- Edukasi mengenai KAD dan pentingnya pemakaian insulin pada penderita DM Tipe I

- Rawat inap untuk pemantauan tanda vital dan gula darah di ICU

7
TINJAUAN PUSTAKA

1. Diabetes Melitus tipe 1

A. Definisi

Diabetes melitus (DM) tipe 1 merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena gangguan sekresi insulin oleh sel β

pancreas, sedangkan reseptor insulin dalam keadaan normal. Hal tersebut mengakibatkan

DM tipe 1 berbeda dengan DM tipe 2. Karena adanya ketidakmampuan sel β pancreas

dalam memproduksi insulin tersebut, para penderita diabetes tipe 1 sangat bergantung pada

asupan insulin dari luar tubuh, sehingga sering disebut sebagai insulin dependen. (Nice,

2015)

B. Epidemiologi

Kasus diabetes tipe 1 lebih jarang (5-10%) dibandingkan dengan DM tipe 2, dan

umumnya pertama kali ditemukan pada usia kanak-kanak atau dewasa muda (0-19 tahun,

juvenile), namun dapat juga ditemukan penderita baru pada rentang usia >20 tahun.

Menurut data registry nasional DM tipe 1 pada anak dari PP IDAI hingga tahun2014,

didapatkan sebanyak 1021 kasus di Indonesia. 80% dari penderita DM tipe 1 secara umum,

tidak memiliki keluarga dengan riwayat diabetes. Pada 10% dari kasus DM tipe 1

ditemukan adanya HLA tertentu yang menyebabkan orang tersebut menjadi leih entan

menimbulkan manifestasi klinis dari DM tipe 1. (ADA, 2018; IDAI, 2015)

8
C. Faktor Risiko dan Patogenesis

Secara umum kausa DM tipe 1 meliputi:

 Destruksi autoimun. Adanya tipe HLA tertentu dan koisidensi dengan peyakit autoimun

mendukung pafosiologi DM tipe 1. Keberadaan beberapa autoantibody yang dikaitkan

dnegan DM tipe 1 diantaranya insulinautoantibodi (IAA), B-cell specific zinc

transporter 8 autoantibodies (ZnT8), glutamicacid decarboxylase 65 autoantibodies

(GAD), dan tyrosen phosphataselike insulinoma antigen 2 (IA2).

 Mediasi virus. Diduga mekanismenya terjadi secara tidak langsung. Antibodi yang

seharusnya menyerang virus (paramyxovirus) justru menyerang dan menimbulkan

destruksi pada sel β pancreas.

 Pankreatitis berulang yang menyebabkan kerusakan eksokrin dan endokrin pada

pancreas.

Faktor genetik dan lingkungan sangat berperan dalam terjadinya DM tipe 1, namun,

system HLA bukan merupakan faktor dominan dalam pathogenesis DM I, diperlukan

adanya faktor pemicu yang berasal dari lingkungan (infeksi, toksin, dan lainnya) untuk

menimbulkan gejala klinis DM tipe 1 pada seseorang yang rentan (memiliki HLA

tertentu).

D. Diagnosis DM Tipe 1

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan

glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan

plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan

9
pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan

atas dasar adanya glukosuria.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM Tipe 1. Kecurigaan adanya

DM tipe 1 perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:

 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, nokturia, enuresis, penurunan berat badan,

dan polifagi, yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah.

 Kriteria kadar glukosa darah yakni sebagai berikut:

(Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2015; IDAI 2015)

E. Tatalaksana

Terapi mutlak yang diperlukan pada penderita DM Tipe 1 yakni suntikan insulin.

Terdapat 4 jenis insulin berdasarkan cara kerjanya yakni kerja cepat (rapid acting), kerja

pendek (regular/soluble), insulin kerja menengah, dan kerja panjang (ultralente). Insulin

jangka panjang tidak disarankan untuk diberikan pada penderita denganusia kanak-kanak,

kecuali dalam bentuk bolus. (IDAI, 2015)

10
F. Komplikasi Diabetes Melitus Tipe 1

Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit atau komplikasi akut dan kronis

(menahun). Penyulit akut diantaranya yakni ketoasidosis diabetikum, dan hipoglikemia.

Penyulit kronis dibagi menjadi dua yakni makroangiopati (gangguan arteri koroner, stroke,

penyakit pembuluh darah perifer), dan mikroangiopati (nephropati, retinopati, dan

neuropati) (Tjokroprawiro et al, 2015; IDAI, 2015).

2. Ketoasidosis Diabetikum

A. Definisi:

Ketoasidosis diabetikum (KAD) merupakan suatu komplikasi akut serius pada pasien

dengan diabetes, yang ditandai dengan trias yakni hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, yang

merupakan suatu dekompensasi tubuh terhadap kekacauan metabolik yang terjadi terutama

akibat defisiensi insulin absolute atau relatif (Gotera et al, 2010).

B. Epidemiologi

KAD diperkirakan terjadi pada 4-8 dari 1000 pasien dengan diabetes. KAD lebih sering

terjadi pada penderita DM tipe I yang mana insulin dependen. (Setiati et al, 2014)

C. Faktor Risiko dan Patogenesis

Faktor yang dikaitakn dengan terjadinya KAD diantaranya infeksi, menghentikan aau

mengurangi insulin, infark miokard, pancreatitis, stroke akut, dan obat-obatan. Secara singkat

pathogenesis terjadinya KAD dapat dilihat pada bagan berikut:

11
Hiperglikemia pada pasien dengan KAD dikaitkan dengan meningkatnya marka reaksi

inflamasi, yang ditandai dengan meningkatnya sitokin proinflamasi, protein CRP, reaktif

oksigen spesies (ROS), peroksidasi lipid, plasminogen activator inhibitor, leukositosis dan

free fatty aci (FFA), hal ini berhubungan dengan adanya reaksi stress non spesifik, dan

adanya peningkatan hormone katekolamin, kortisol, dan growth hormone yang terjadi akibat

penurunan insulin. Semua marka tersebut akan kembali normal dalam 24 jam setelah terapi

rehidrasi dan insulin. (Tjokroprawiro, 2015)

D. Gejala Klinis

 Napas cepat dan dalam (kussmaul)

 Nafas berbau seperti aseton

 Mual dan muntah terus menerus, pada beberapa kasus dapat ditemukan nyeri perut

12
 Penurunan kesadaran

 Pipi kemerahan

 Dehidrasi ringan sampai sedang

 Tetap terjadi poliuria meskipn dehidrasi

 Tanda syok (hipotensi, nadi meningkat, akral dingin, perfusi turun atau ada sianosis

perifer)

 Kehilangan berat badan akibat kehilangan lemak dan cairan

(IDAI, 2015; PERKENI, 2015)

E. Diagnosis

Diagnosis ketoasidosis diabetikum dibuat dengan ditemukannya gejala klinis yang

kemudian ditegakkan dengan hasil pemeriksaan penunjang yang menunjukkan adanya

kondisi hiperglikemia (GDS>300mg/dl), asidosis metabolic (perunan pH darah, bikarbonat

atau HCO3), dan adanya keton pada urin atau pada darah (ketonemia atau ketonuria).

Ketoasidosis kemudian dibagi kembali kedalam 3 kategori sebagai berik

ut:

13
(Tjokroprawiro et al, 2015; PERKENI 2011)

F. Tatalaksana

Tatalaksana KAD meliputi penilaian status awal dan koreksi pernapasan, status dehidrasi,

dan sirkulasi (penanganan syok), dilanjutkan dengan koreksi hiperglikemia dengan insulin,

serta bikarbonat, dan tatalaksana kondisi yang terkait pada pasien (misalnya penanganan

infeksi). Terdapat berbagai metode koreksi insulin, diantaranya anjuran pemberian insulin

secara bolus atau intra muscular atau subkutan dengan dosis rendah (bolus insulin

0,15U/kgbb/jam, atau secara intramuscular atau subkutan dengan dosis 0,1U/kgbb/jam,

diikuti infuse insulin kontinyu 0,1 U/kgbb/jam). Dapat juga dilakukan pemberian insulin

dengan metode sliding scale dimana diberikan insulin 20 unit untuk GDS >350mg/dl.

Penatalaksanaan KAD juga dapat mengikuti bagan sebagai berikut:

14
15
(PERKENI 2011, Perkeni 2015, Tjokroprawiro 2015)

G. Komplikasi

Komplikasi dari terjadinya ketoasidosis diabetikum (KAD) dan dari terapi KAD antara

lain terjadinya edema serebri, edem pulmo non cardiogenik, hipokalemia, hipoglikemia, dan

gangguan fungsi ginjal. (Tjokroprawiro, 2015)

16
PEMBAHASAN

Pada pasien dalam kasus ini, didapatkan adanya gejala klinis dari ketoasidosis diabetikum

dan adanya hasil laboratorium yang mendukung dari ditegakkannya (hiperglikemia, asidosis

metabolic, dan ketonemia) KAD pada pasien.

Pasien mengalami KAD dapat karena penghentian pemakaian insulin. Pasien merupakan

penderita DM tipe 1 yang amat bergantung pada adanya injeksi insulin karena pada DM tipe 1

sel pancreas sudah tidak dapat memproduksi insulin, sehingga bila penggunaan insulin

dihentikan menyebabkan berkurangnya atau tidak ada lagi insulin yang beregulasi pada darah

yang menyebabkan tubuh tidak dapat mencerna glukosa (hambatan glucose uptake) dan glukosa

terkumpul di sirkulasi (terjadi hiperglikemia). Tubuh yang memerlukan energy dari glukosa

namun tidak mendapatkannya memicu aktivasi hormone glukaon yang menyebabkan

meningkatnya glikogenolisis, dan glukoneogenesis melalui pemecahan lemak, yang kemudian

menyebabkan peningkatan benda keton dalam darah (ketonemia). Peningkatan benda keton yang

bersifat asam menyebabkan pH darah menurun yang lama-kelamaan karena dibiarkan

menyebabkan ikut menurunnya buffer asam darah (bikarbonat atau HCO3), dan terjadi asidosis

metabolik. Tubuh berusaha mengkompensasi keadaan asidosis metabolic melalui peningkatan

respirasi, yang mana pada pasien dalam kasus ini terlihat pada pola nafas pasien yang cepat,

sehingga pasien merasa sesak. Keadaan pemecahan lemak untuk diubah menjadi glukosa yang

terjadi berkepanjangan menyebabkan penumpukkan benda keton yang lebih banyak hingga dapat

terakumulasi di otak, dimana mempengaruhi fungsi dari otak dan pada kasus ini menyebabkan

pasien mengalami penurunan kesadaran dikarenakan tertekannya fungsi saraf (penurunan

eksitabilitas saraf). Faktor lain yang juga berpengaruh pada penurunan kesadaran yang terjadi

pada pasien yakni adanya hiperosmolaritas, dan diueresis osmotik akibat keadaan hiperglikemia
17
dan ketosis yang berkepanjangan. Keadaan hiperosmolaritas dan diuresis osmotik

mengakibatkan adanya kehilangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan dehidrasi dan

penurunan tekanan darah, yang kemudian dapat menjadi syok hipovolemik. Pada pasien keadaan

dehidrasi juga disebabkan oleh adanya mual dan muntah yang sebelumnya dirasakan pasien yang

dapat diakibatkan agguan lambung (dyspepsia) yang ia derita pada awalnya, sehingga ia sulit

makan dan minum(penurunan asupan cairan), pada pasien keadaan mual muntah juga dapat

diperparah oleh adanya peningkatan produksi keton. Keadaan dehidrasi pada pasien ini, pada

pemeriksaan laboratorium terlihat dari adanya penurunan kadar elektrolit (natrium), dan adanya

peningkatan kadar ureum dan kreatinin pada hasil laboratorium darah pasien.

Sewaktu di IGD, pasien diberikan tatalaksana mengikuti alur tatalaksana ketoasidosis

diabetikum, dimana kondisi kegawatan terkait sirkulasi (syok hipovolemik) pada pasien

ditangani terlebih dahulu dengan algoritma yang dianjurkan pada kepustakaan (PERKENI, 2015;

Tjokroprawiro et al, 2015). Pada pasien ketoasidosis dengan dehidrasi dan syok, harus diberikan

rehidrasi yang adekuat terlebih dahulu, hal ini karena kecukupan hidrasi akan mempengaruhi

hasil terapi insulin yang diberikan (penurunan glukosa darah <50mg/dl/jam). Pasien diberikan

insulin untuk menurunkan kadar gula darahnya dengan metode sliding scale, yang dosisnya

sesuai dengan anjuran dokter spesialis penangguang jawab pasien (DPJP). Menurut kepustakaan,

pemberian insulin intravena 5-7 unit/jam mampu menurunkan gula darah hinggal 50-

75mg/dl/jam, serta dapat menghambat lipolisis, menghentikan ketogenesis, dan menekan proses

glukoneogenesis di hepar. Dosis insulin biasanya dapat dinaikkan menjadi 2x lipat apabila

terdapat faktor yang memperlambat peurunan glukosa oeh insulin, diantaranya dehidrasi, dan

asidosis yang memburuk. Pada pasien juga diberikan injeksi Meylon yang bertujuan untuk

mengganti kekurangan bikarbonat pada pasien dan membantu mengkompensasi atau megatasi

18
keadaan asidosis meta. Pemberian bikarbonat umumnya dilakukan pada pasien dengan pH darah

<7,1. Pada pasien dalam kasus ini, sebelum pemberian insulin tidak dilakukan koreksi kalium,

dikarenakan kalium dalam serum pasien belum mencapai < 3,3 mmol/l. Pada kasus lain, apabila

kalium serum <3,3 mmol/l maka perlu dilakukan koreksi kalium terlebih dahulu untuk mencegah

adanya gangguan gerakan otot jantung (aritmia).

Dalam kasus ini, sewaktu di IGD, pasien juga diberikan pantoprazol. Pantoprazol

boliknyadiberikan dengan pertimbangan adanya riwayat dyspepsia pada pasien, adanya riwayat

mual-muntah yang dapat diakibatkan kenaikan asam lambung, dan asupan makanan pasien yang

kurang. Pasien juga diberikan injeksi antibiotika spectrum luas yakni seftriakson dengan dosis

2x1g, dengan pertimbangan adanya peningkatan kadar leukosit (leukositosis). Leukositosis pada

pasien KAD umumnya dapat terjadi karena adanya reaksi stress non spesifik, dan peningkatan

hormone kortisol, dan katekolamin atau norepinefrin. Meski demikian menurut kepustakaan

(Huang, 2016), apabila ditemukan kadar leukosit pada darah mencapai >25.000, seperti halnya

pada pasien, maka perlu dicurigai adanya suatu proses infeksi. Proses infeksi yang dicurigai ada

dapat merupakan salah satu penyebab lain dari KAD yang diderita pasien, sehingga

dipertimbangkan untuk ditatalaksana dengan antibiotik. Karena infeksi belum dapat diketahui

secara spesifik, maka antibiotic yang dipilih bersifat broad spektrum atau spektrum luas, dalam

hal ini ceftriakson merupakan salah satu antibiotika yang dianjurkan menurut kepustakaan.

Pasien dalam hal ini disarankan untuk dirawat di ruang intensif, mengingat adanya

gangguan terkait pernafasan yang terjadi karena asidosis metabolik pasien, dan diperlukannya

monitoring atau pemantauan yang berkelanjutan berkenaan dengan tanda vital pasien. Keluarga

juga dierikan edukasi berkaitan tentang faktor penyebab KAD, dan pentignya penggunaan

insulin teratur pada pasien dengan DM I untuk mencegah berulangnya KAD.

19
DAFTAR PUSTAKA

Gotera, et al. (2010). Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik (KAD). Artikel Ilmiah. Jurnal

Penyakit Dalam Udayana, Volume 11 No. 2, Mei 2010.

Huang, Ian. (2016). Patofisiologi dan diagnosis penurunan kesadaran pada penderita diabetes

mellitus. Case Report. Jurnal Medicinus Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan

2016;5(2):48-57.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). (2015). Konsensus Nasional Penatalaksanaan

Diabetes Melitus Tipe I. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

National Institute for Health and Care Excellence (NICE). (2015). Type 1 Diabetes in adults:

diagnosis and management. UK: NICE.

Perkumpulan Endokronologi Indonesia (PERKENI). (2015). Konsensus Pengelolaan dan

Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia Tahun 2015. Jakarta: PB PERKENI.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). (2011). Petunjuk Praktis Terapi Insulin.

Jakarta: PB PERKENI.

Setiati et al. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ke 6, Jilid I. Jakarta: Interna

Publishing.

Tjokroprawiro et al. (2015). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Fakultas Kedokeran

Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya, Edisi 2.

Surabaya: Airlangga University Press.

20

Anda mungkin juga menyukai