Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini memaparkan tentang teori dan konsep terkait, yang disusun secara

sistematis. Bab tinjauan teoritis ini tersusun dari konsep DM, dan konsep asuhan

keperawatan.

A. Konsep Diabetes Mellitus


1. Definisi Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus (DM) merupakan sekumpulan kelainan heterogen

yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemi

(Smeltzer dan Bare, 2005). American Diabetes Association (2009)

mendefinisikan diabetes melitus sebagai kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia akibat defek sekresi insulin, kerja

insulin, atau keduanya. Black dan Hawks (2009) mendefinisikan DM

merupakan suatu penyakit kronis yang ditandai oleh ketidakmampuan

tubuh untuk melakukan metabolism karbohidrat, lemak, dan protein

sehingga menyebabkan hiperglikemia. Indikator seseorang mengalami DM

adalah bila kadar gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dl atau gula darah puasa ≥

126 mg/dl atau kadar glukosa darah 2 jam post prandial ≥ 200 mg/dl atau

hasil tes HbA1C ≥ 6.5%.


Menurut Price (2006, dalam Hariyani, 2012) DM adalah gangguan

metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen

dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Menurut

Perkeni (2011) dan American Diabetes Association

(2012) DM adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan

1
2

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi

insulin, gangguan kerja insulin atau keduanya, yang

menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf

dan pembuluh darah.


Dari beberapa pengertian diatas, penulis dapat

menyimpulkan

bahwa DM adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh faktor

lingkungan

atau herediter yang menyebabkan gangguan metabolik berupa

defisiensi

insulin akibat gangguan hormonal sehingga menimbulkan

gangguan pada

organ-organ tubuh yang lain, seperti pada mata, ginjal, saraf dan

pembuluh

darah.

2. Etiologi

Belum diketahui dengan pasti mekanisme yang dapat menyebabkan

resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada DM tipe II. Tetapi ada

beberapa faktor yang mungkin menjadi peyebab antara lain:

a. Kekurangan insulin

b. Faktor genetik berperan penting

Penderita DM tidak mewarisi DM tipe I itu sendiri : tetapi

mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah

terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada

individu yang memiliki tipe antigen HLA.Keadaan yang berkaitan


3

dengan Pengangkatan pankreas (pankreatomi) 90%. Virus atau

toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang

menimbulkan destruksi sel β.

c. Faktor-faktor imunologi

Adanya respon autoimun yang merupakan respon abnormal

dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara

bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolaholah

sebagai jaringan asing. Yaitu autoantibodi terhadap sel-sel

pulau langerhans dan insulin endogen.

d. Faktor-faktor resiko :

Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65

th), obesitas, dan riwayat keluarga.

3. Klasifikasi

Klasifikasi DM adalah sebagai berikut :

a. IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus)/tipe I. Pankreas sudah

rusak, sehinga membutuhkan insulin dari luar.

b. NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus)/tipe II. Pankreas

masih berfungsi.

c. Gestational Diabetes mellitus, terjadi pada kehamilan.

d. DM yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya. Seperti :

GGT (Gangguan Toleransi Glukosa), dinamakan juga impaired

glukosa toleransi (IGT) atau toleransi gula terganggu. MRDM


4

(Malnutrisi Related Diabetes Mellitus), yaitu DM yang berkaitan

dengan kekurangan gizi.

4. Manifestasi klinis

Diabetes melitus tipe 2 memiliki tahap perkembangan yang lambat

sehingga kemungkinan dapat tidak terdeteksi ketika puncak intoleransi

glukosa (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Hal ini menyebabkan

penderita diabetes melitus tipe 2 hanya menyadari beberapa tanda dan

gejala atau tidak ada manifestasi klinis dalam beberapa tahun (Black &

Hawks, 2009). Pasien dengan diabetes melitus tipe 2 biasanya akan

mengalami kelemahan, mudah marah, peningkatan frekuensi urin

(poliuria) dan peningkatan masukan cairan (polidipsia) akibat kehilangan

cairan berlebih yang berhubungan dengan diuresis osmotik, penyembuhan

luka yang buruk, infeksi vaginal, atau penglihatan buram jika tingkat

glukosa darah sangat tinggi (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010).

Pada tahap selanjutnya, pasien dengan diabetes melitus juga akan

mengalami penurunan berat badan dan mudah lapar atau banyak makan

(polifagi) (Black & Hawks, 2009).

Manifestasi klinis Diabetes Melitus (DM) antara lain :

a. Polidipsia, yaitu rasa haus yang berlebihan,

b. poliuria, yaitu sering kencing,

c. polifagi, yaitu banyak makan,

d. mudah lapar,

e. lemas,
5

f. Penglihatan kabur

g. Kesemutan pada jari kaki dan tangan

h. Gatal-gatal

i. Penurunan gairah seks

j. disfungsi ereksi pada pria dan pruritus vulvae pada wanita.

5. Komplikasi

Komplikasi akut diabetes melitus antara lain hipoglikemi, KAD, dan

sindrom hiperglikemi hiperosmolar nonketotik yang membutuhkan

penanganan kegawatdaruratan.

a. Komplikasi akut

Hipoglikemi (turun hingga kurang dari 50-60 mg/dL) terjadi biasanya

akibat terlalu banyak pemakaian agen insulin atau obat oral, makan

sedikit, atau aktivitas fisik berlebihan (Smeltzer, Bare, Hinkle, &

Cheever, 2010). Klien biasanya merasakan gejala berkeringat, tremor,

takikardi, palpitasi, gugup, dan lapar akibat stimulasi saraf simpatik

yang mengeluarkan epinefrin dan norepinefrin pada hipoglikemi

ringan. Hipoglikemi sedang mengakibatkan gangguan fungsi saraf

serebral karena fungsi adrenergik yang menimbulkan

ketidakmampuan berkonsentrasi, sakit kepala, berkunang-kunang,

kebingungan, hilang ingatan, bibir dan lidah mati rasa, sulit berbicara,

gangguan koordinasi, perubahan emosional, perilaku irasional,

pandangan ganda, dan mengantuk. Sedangkan hipoglikemi berat


6

menyababkan perilakudisorientasi, kejang, sulit tidur, hingga

kehilangan kesadaran. Komplikasi akut selanjutanya, yaitu KAD atau

ketoasidosis diabetik.

Penatalaksanaan KAD lebih bertujuan untuk mengatasi

dehidrasi, kehilangan elektrolit, dan asidosis. Rehidrasi sangat penting

untuk menjaga perfusi jaringan pada pasien dehidrasi serta mengganti

cairan yang hilang akibat pengeluaran glukosa berlebihan di ginjal.

Maka pemantauan volume cairan dengan tanda-tanda vital, pengkajian

paru, dan pemantauan pemasukan dan pengeluaran cairan sangat

dibutuhkan.

Selanjutnya pemulihan elektrolit khususnya kalium menjadi

fokus utama penatalaksanaan KAD karena hipokalemia dapat

menyebabkan disritmia. Sedangkan asidosis diatasi dengan pemberian

insulin karena dapat menghentikan pemecahan lemak sehingga

akumulasi badan keton (asam) dapat dihentikan. Hiperglikemi yang

tidak disertai oleh ketosis juga menjadi bentuk komplikasi akut DM

tipe 2.

b. Komplikasi kronis

Konsekuensi diabetes melitus tipe 2 yang tidak terdeteksi adalah

komplikasi diabetes jangka panjang, yaitu makrovaskuler dan

mikrovaskuler. Komplikasi yang berhubungan dengan diabetes

melitus antara lain penyakit jantung dan stroke, hipertensi, kebutaan,

penyakit ginjal dan pembuluh darah, dan amputasi (Doenges,


7

Moorhouse, & Murr, 2010). Walaupun komplikasi kronis tidak

memerlukan penanganan kegawatdaruratan namun komplikasi kronis

akan dimiliki penderita DM seumur hidup serta mengganggu fungsi

hampir seluruh sistem organ sehingga dapat menjadi penyabab utama

kecacatan (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Berikut akan

dijelaskan komplikasi kronis DM berdasarkan ukuran pembuluh darah

yang terganggu.

Komplikasi Makrovaskular Komplikasi DM makrovaskuler,

yaitu hasil perubahan pada pembuluh darah besar akumulasi

arterosklerosis yang menyababkan penurunan suplai oksigen di organ

yang tersumbat (penyakit arteri koroner, penyakit cerebrovaskular,

dan penyakit vaskuler perifer). Sedangkan manifestasi klinis

gangguan pembuluh darah perifer pada DM antara lain hilangnya nadi

perifer, klaudifikasi sementara (nyeri di bokong, paha, atau betis

selama berjalan). Oklusi berat pada arteri ekstremitas bawah

menyebabkan peningkatan insiden gangren yang selanjutnya

mengakibatkan amputasi (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010).

Pembuluh darah kapiler juga dapat mengalami penebalan sehingga

menyebabkan perubahan membran yang disebut mikriangiopati.

Komplikasi Mikrovaskular Komplikasi mikrovaskuler DM

antara lain diabetik retinopati, nefropati, neuropati, dan masalah kaki.

Diabetik retinopati disebabkan oleh perubahan pembuluh darah kecil

di retina sebagai area penangkap gambar dan mengirimkan informasi


8

gambar ke otak (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Perubahan

mikrovaskular tersebut antara lain mikroanurisma, hemoragik

intraretinal, eksudat, dan penutupan kapiler.

Pasien DM tipe 2 biasanya kan berkembang menjadi gangguan

ginjal dalam waktu 10 tahun setelah terdiagnosis DM (Smeltzer, Bare,

Hinkle, & Cheever, 2010). Tanda dan gejala gagal ginjal pada pasien

DM dan non DM sama, yaitu proses katabolisme akibat penurunan

insulin, hipoglikemi, dan gangguan multipel sistem (penurunan

penglihatan, luka di kaki, gagal jantung, diare nokturnal). Hasil

pemeriksaan diagnostik akan ditemukan mikroalbuminuria, nilai

abnormal pada kreatinin dan BUN, dan hipertensi.

Kontrol glukosa darah penting untuk mencegah penurunan pertahanan

infeksi dan neuropati diabteik (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever,

2010).

6. Pemeriksaan dignostik

Pemeriksaan diagnostik diabetes melitus menurut Doenges,

Moorhouse, & Murr (2010) terdiri dari pemeriksaan darah, elektrolit, dan

pemeriksaan diagnostik lain. Pemeriksaan darah terdiri dari glukosa

serum, asam lemak (jenis alami dan senyawa lipid sintetik), osmolaritas

serum (mengevaluasi keseimbangan cairan tubuh), glukagon (hormon

yang meningkatkan kadar glukosa darah), hemoglobin A1c (HbA1c), dan

insulin serum. Dasar untuk menetapkan diagnosa diabetes melitus terdiri


9

dari 3 pemeriksaan glukosa darah, yaitu gula darah puasa (GDP) (≥126

mg/dl), gula darah sewaktu (GDS) (≥200 mg/dl), dan gula darah 2 jam

setelah pemberian glukosa anhydrous 75g dengan air atau test toleransi

glukosa oral (TTGO) (≥200 mg/dl) (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever,

2010).

Setelah diberikan terapi, maka diperlukan pemantauan terapi yang

tercapai dan perlu melakukan penyesuaian dosis dengan pemeriksaan

kadar glukosa darah menurut Perkeni (Perkumpulan Endokrin Indonesia,

2011). Asam lemak dibakar tubuh untuk menghasilkan energi apabila

glukosa sel tidak cukup sehingga menghasilkan ketone yang dapat

meningkatkan asam di darah atau menyebabkan ketoasidosis. Peningkatan

glukagon berhubungan dengan kondisi hipoglikemi, kurang glukosa akibat

trauma atau infeksi, atau kurang insulin. HbA1c menentukan berapa

banyak glukosa telah menempel pada bagian Hb dalam jangka waktu 3

sampai 4 bulan dengan 2 minggu sebelumnya paling banyak terukur.

Peningkatan HbA1c menunjukkan rata-rata kadar gula darah ≥200 mg/dl

dan menunjukkan perlunya perubahan terapi. Pada DM tipe 2, insulin

serum dapat menunjukkan nilai normal atau peningkatan yang dapat

mengindikasikan ketidaksesuaian penggunaan terapi insulin. Selain

pemeriksaan darah, elektrolit darah juga memerlukan pemantauan.

Pemeriksaan elektrolit darah terdiri dari sodium, potasium/kalium,

fosfor, gas darah arteri, perhitungan darah lengkap, dan serum amilase

(Doenges, Moorhouse, & Murr, 2010). Sodium berperan dalam menjaga


10

keseimbangan cairan dan neuromuskuler konduksi atau transmisi impuls

dengan nilai normal, meningkat, atau menurun pada DM.

glukosa darah tidak memungkinkan karena glukosa urin dan

glukosa darah tidak terlalu berhubungan. Selain itu, ketones juga

menunjukkan nilai positif pada KAD. Pemeriksaan spesimen urin, sputum,

dan drainase luka juga dilakukan pada DM selain pemeriksaan darah dan

elektrolit (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2010). Pemeriksaan diagnostik

urin digunakan untuk mengukur kadar gula apabila Berat jenis urin dan

osmolaritas yang meningkat juga menunjukkan tanda dehidrasi. Penderita

DM biasanya juga dilakukan pemeriksaan kultur pada spesimen urin,

sputum, dan drainase luka untuk menentukan sumber infeksi dan

mengidentifikasi agen antimikroba yang tepat.

7. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Diabetes Melitus

Pengkajian merupakan suatu tahapan dimana perawat mengambil data

secara terus menerus terhadap keluarga yang dibinanya (Padila, 2013).

Pengkajian keperawatan untuk pasien dengan diabetes melitus antara lain

(Doenges, 2010):

a. Aktivitas/istirahat.

Pasien biasanya akan merasa lemah, letih, sulit bergerak/berjalan,

kram otot, tonus otot menurun, dan gangguan tidur/istirahat.

Sedangkan tanda yang dapat diamati anatara lain takikardi dan


11

takipnea pada keadaan istirahat atau dengan aktivitas, penurunan

kesadaran (letargi/disorientasi, koma), dan penurunan kekuatan otot.

b. Sirkulasi

Pasien biasanya memiliki riwayat hipertensi atau infark miokard akut,

merasakan klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada

kaki, dan penyembuhan yang lama. Hasil pemeriksaan sirkulasi akan

menunjukkan takikardi, perubahan tekanan darah postural, hipertensi,

nadi yang menurun/tidak ada, disritmia, krekles, distensi vena

jugularis, kulit panas, kering dan kemerahan, atau bola mata cekung.

c. Integritas Ego

Penderita diabetes biasanya mengalami stres, tergantung pada orang

lain, atau memiliki masalah finansial yang berhubungan dengan

kondisi. Hasil observasi integritas ego didapatkan tanda pasien

mengalami ansietas atau peka rangsang.

d. Eliminasi

Pasien akan mengalami perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia,

rasa nyeri/terbakar saat kencing, kesulitan menahan berkemih (infeksi

neurologis kandung kemih), infeksi saluran kencing baru/berulang,

nyeri tekan abdomen, perut kembung, dan diare. Dari manifestasi

klinis, data yang ditemukan antara lain urine encer, pucat, kuning,

poliuria yang berkembang menjadi oliguria dan anuria jika

hipovolemi berat muncul, urine berkabut (infeksi), bau busuk


12

(infeksi), abdomen keras, adanya asites, bising usus lemah dan

menurun, atau hiperaktif (diare).

e. Makanan/Cairan

Pasien akan kehilangan napsu makan, haus, mual/muntah, tidak

mengikuti diet; peningkatan masukan glukosa/karbohidrat, penurunan

berat badan lebih dari periode beberapa hari/minggu, mudah haus, dan

penggunaan medikasi yang memperparah dehidrasi seperti diuretik.

Pasien biasanya memiliki kulit kering/bersisik, turgor jelek,

kekakuan/distensi abdomen, muntah, halitosis, berkeringat, atau bau

napas aseton.

f. Neurosensori

Pasien akan mengeluh ingin pingsan, pusing/pening, sakit kepala,

kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia, dan gangguan

penglihatan. Jika terjadi peningkatan gula darah yang terlalu lama

pasien akan mengalami kebingungan, disorientasi, mengantuk, letargi,

stupor/koma (tahap lanjut), Reflek tendon dalam menurun, atau

kejang (tahap lanjut dari KAD).

g. Nyeri/Keamanan Pasien akan merasakan abdomen tegang/nyeri

(sedang/berat) dan wajah tampak meringis dengan palpitasi dan

tampak sangat berhatihati.

h. Pernapasan

Pasien akan Merasa kekurangan oksigen (tahap lanjutan KAD), batuk

dengan atau tanpa sputum purulen (infeksi), takipnue, pernapasan


13

kusmaul (asidosis metabolik), ronki, wheezing, atau mengeluarkan

sputum berwarna kuning atau hijau.

i. Keamanan

Kulit akan terasa kering, gatal, ada bekas luka, kulit tidak utuh, dan

terdapat lesi. Pasien juga akan merasakan parestesia (diabetik

neuropati), demam, diaforesis, penurunan kekuatan umum dan rentan

gerak sendi, serta terdapat kelemahan dan paralisis otot termasuk otot

pernapasan (jika terdapat penurunan potasium yang bermakna).

j. Seksualitas Wanita akan merasakan rabas vagina (cenderung

infeksi) hingga kesulitan orgasme dan pria akan mengalami masalah

impoten.

8. Diagnosis Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada penderita diabetes

melitus, antara lain (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2010):

a. Kurang volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik dari

hiperglikemi, pengeluaran dari saluran pencernaan yang berlebihan

(diare, muntah), atau pembatasan masukan (mual, penurunan

kesadaran).

b. Ketidakseimbangan tingkat gula darah berhubungan dengan manajemen

diabetes yang kurang, defisiensi insulin, penurunan atau penambahan

berat badan, perubahan status kesehatan fisik, tahap hipermetabolik,

atau proses infeksi.


14

c. Risiko infeksi berhubungan dengan hiperglikemi, penurunan fungsi

leukosit, perubahan sirkulasi, atau adanya infeksi saluran pernapasan

dan saluran kemih.

d. Risiko gangguan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan kimia

tubuh atau ketidakseimbangan glukosa, insulin, dan elektrolit.

e. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik,

perubahan kimia tubuh, dan peningkatan kebutuhan energi.

f. Kurang pengetahuan berhubungan penyakit, prognosis, penatalaksanaan,

perawatan, dan kebutuhan rencana pulang berhubungan dengan kurang

terpapar informasi, salah memahami informasi, atau tidak kenal dengan

sumber informasi.

9. Rencana Asuhan Keperawatan


Penyusunan rencaka keperawatan berfokus pada tujuan umum yang ingin

dicapai, serta tujuan khusus yang ingin dicapai tujuan umum dilaksanakan

rencana intervensi diagnosa yang diangkat dan dapat terlaksana dengan

baik terlihat dari peningkatan kognotif, afektif, serta psikomotor.

10. Penatalaksanaan

Implementasi dapat dilakukan oleh banyak orang seperti klien (individu

atau keluarga), perawat dan anggota tim perawatan kesehatan yang lain.

Tujuan utama penatalaksanaan diabetes adalah untuk menormalkan

aktivitas insulin dan kadar glukosa darah sehingga dapat menurunkan

perkembangan komplikasi vaskular dan neuropati (Smeltzer, Bare,

Hinkle, & Cheever, 2010). Penatalaksanaan diabetes melitus dikenal juga

dengan empat pilar, yaitu edukasi, diet, medikasi, dan aktivitas. Tujuan
15

umum manajemen diet diabetes melitus adalah untuk membantu klien

meningkantan kontrol metabolisme dengan membuat perubahan pada

kebiasaan makan (Black & Hawks, 2009). Tujuan spesifik terapi diet

antara lain memperbaiki kadar glukosa dan lemak darah, menfasilitasi

manajemen berat badan, dan menyediakan nutrisi yang adekuat (Black &

Hawks, 2009). Penatalaksanaan nutrisi ditegakkan berdasarkan kadar

glukosa darah, lemak, tekanan darah, dan status ginjal. Makanan

dianjurkan seimbanga dengan komposisi energi dari karbohidrat 45-65%,

protein 10-15%, dan lemak 20- 25% (Depkes RI, 2008)

11. Evaluasi

Komponen kelima dari proses keperawatan ini adalah evaluasi. Evaluasi

didasarkan pada bagaimana efektifhya tindakan keperawatan yang

dilakukan oleh keluarga, perawat, dan yang lainnya. Evaluasi merupakan

kegiatan yang membandingkan antara hasil implementasi dengan kriteria

dan standar yang telah ditetapkan untuk melihat keberhasilannya.

Evaluasi dapat dilaksanakan dengan dua cara yaitu evaluasi formatif dan

evaluasi sumatif (Padila, 2013) yaitu dengan SOAP. Dalam mengevaluasi

harus melihat tujuan yang sudah dibuat sebelumnya. Bila tujuan tersebut

belum tercapai, maka dibuat rencana tindak lanjut yang masih searah

dengan tujuan.

Anda mungkin juga menyukai