Anda di halaman 1dari 13

TAFSIR AYAT – AYAT EKONOMI

“KONSUMSI”

Dina Nurjannah dan Zahro Dzakiatul Munna

Jurusan Ekonomi Syari’ah

Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam

Institut Agama Islam Negeri (Iain) Kediri

Abstract

All economic activities start from the physical needs of humans to be able
to continue to live in this world. All the necessities of survival will be as
hard as possible, but when the necessities for life cannot be fulfilled by
themselves, then social interaction occurs in fulfilling the necessities of
life among humans. This interaction actually represents the interaction of
demand and supply, the interaction of consumption and production, so that
the market emerges as a container for this economic interaction as an
embodiment of the real economy. As a Muslim it is forbidden to merely
use his lust for consumption. Consumption behavior of a Muslim is based
on the awareness that fulfillment of its needs cannot be done alone.
Awareness of the need for the role of others in fulfilling their lives
encourages a Muslim to be a tawadhu.

Keywords: Consumption Verse, Interpretation.

Abstrak

Seluruh kegiatan ekonomi berawal dari kebutuhan fisik manusia untuk


dapat terus hidup di dunia ini. Segala keperluan untuk bertahan hidup akan
sekuat tenaga diusahakan sendiri, namun ketika keperluan untuk hidup itu

1
tidak dapat dipenuhi sendiri, maka terjadilah interaksi sosial dalam
memenuhi keperluan hidup di antara manusia. Interaksi inilah yang
sebenarnya merepresentasikan interaksi permintaan dan penawaran,
interaksi konsumsi dan produksi, sehingga munculah pasar sebagai wadah
interaksi ekonomi ini sebagai perwujudan dari ekonomi yang
sesungguhnya. Sebagai seorang muslim dilarang semata-mata
menggunakan hawa nafsunya untuk berkonsumsi. Perilaku konsumsi
seorang muslim didasari oleh kesadaran bahwa dalam pemenuhan
kebutuhanya tidak bisa dilakukan sendiri. Kesadaran akan perlunya peran
orang lain dalam memenuhi kehidupanya mendorong seorang muslim
untuk bersifat tawadhu.

Kata kunci: Ayat Konsumsi, Tafsir,

A. Pendahuluan

Al- Qur’an merupakan sumber penggalian dan pengembangan


ajaran islam dalam berbagai dimensi kehidupan manusia Untuk melakukan
penggalian dan pengembangan pemahaman terhadap Al-Qur’an
dipersyaratkan suatu klasifikasi pengetahuan tertentu guna menghasilkan
pemahaman yang baik mengenai berbagai perilaku kehidupan manusia,
termasuk dalam bidang ekonomi.

Pengembangan ilmu ekonomi Qur’ani pada dasamya mempunyai


peluang yang sama dengan pengembangan ilmu-ilmu lain dalam tradisi
keilmuan Islam. Sayang, sebagai suatu disiplin ilmu, ilmu ekonomi
Qur'ani belum berkembang pesat padahal kebutuhan terhadap ilmu ini
dirasakan sudah mendesak, sehubungan kegagalan ilmu ekonomi modern
dalam merealisasikan pembangunan kesejahteraan dan kemaslahatan
masyarakat.

Islam mengatur segala perilaku manusia dalam memenuhi


kebutuhan hidupnya dan dalam masalah ekonomi islam mengatur
bagaimana manusia bisa melakukan kegiatan konsumsi sehingga

2
membawa manusia berguna bagi kemaslahatan hidupnya. Islam telah
mengatur jalan hidup manusia lewat Al-quran dan Al hadist, supaya
manusia dijauhkan dari sifat yang hina karena perilaku konsumsinya.
Perilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasullulah
SAW akan menjamin kehidupan Manusia yang lebih sejahtera. Di dalam
siklus ekonomi yang bermula dengan perolehan kekayaan, konsumsi
barang kali merupakan tahapan terahir yang paling penting. Di dalam ilmu
ekonomi, konsumsi bermakna membelanjakan kekayaan untuk memenuhi
kelangsungan hidup manusia seperti makanan, pakaian, perumahan,
barang-barang kebutuhan sehari-hari, pendidikan, kesehatan, kebutuhan
pribadi mapun keluarga lainya.

B. Konsumsi

Sebagai sebuah metodologi, tafsir ekonomi al-Qur'an mempunyai


peluang yang baik bagi pengembangan ilmu ekonomi Islam. Model tafsir
ini dimodifikasi dari metode tafsir tematik dengah tahapan kerja sebagai
berikut: pertama, menginventarisasi ayat-ayat yang terkait dengan
permasalahan ekonomi yang akan dibahas, baik berdasar pada kata kunci
maupun pada kandungan ayat Kedua, mengunakan ayat-ayat tersebut
berdasar urutan turunnya surat yang didukung oleh asbabun nuzul baik
secara mikro maupun makro. Ketiga, menafsirkan ayat-ayat dengan corak
adabi al-ijtima'i wal-iqtishadijyak. Keempat, melakukan kontekstualisasi
dalam realitas ekonomi.1

Kata “konsumsi” berasal dari bahasa Belanda consumptie, yang


artinya suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan
daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi
kebutuhan dan kepuasan secara langsung (Qardhawi, 1995). Konsumsi
merupakan satu kegiatan ekonomi yang penting, bahkan terkadang
dianggap paling penting. Dalam Al-Qur’an Allah SWT. mengutuk dan

1
. Lukman furoni ,Tafsir Ayat-ayat Tentang Konsumsi, ( Millah Vol. VIII, No. 1, Agustus,
2008), h. 3

3
membatalkan argumen yang dikemukakan oleh orang kaya yang kikir
karena ketidaksediaan mereka memberikan bagian atau miliknya ini (Qahf,
1995: 27). Sedangkan dalam ekonomi konvensional perilaku konsumsi
dituntun oleh dua nilai dasar, yaitu rasionalisme dan utilitarianisme. Kedua
nilai dasar ini kemudian membentuk suatu perilaku konsumsi yang
hedenostik-materialistik, individualistik, dan boros.

Konsumsi merupakan pemakaian atau penggunaan manfaat dari


barang dan jasa. Ia merupakan tujuan yang penting, karena sebagai bentuk
pemenuhan kebutuhan hidup seseorang. Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa prinsip dasar bagi konsumsi adalah “saya akan mengkonsumsi apa
saja dan dalam jumlah berapa pun sepanjang anggaran saya memenuhi dan
saya memperoleh kepuasan maksimum”. Teori perilaku konsumen yang
Islami dibangun atas dasar syariah Islam. Dalam ekonomi Islam, konsumsi
dikendalikan oleh lima prinsip dasar, yaitu: Prinsip Keadilan, Prinsip
Kebersihan, Prinsip Kesederhanaan, Prinsip Kemurahan Hati, dan Prinsip
Moralitas. Ada beberapa dalil yang menerangkan tentang konsumsi yang
bisa dijadikan sebagai acuan bagi seseorang: Pertama, anjuran untuk tidak
berlebih-lebihan dalam berkonsumsi. M.A. Mannan dengan gamblang
menjelaskan bahwa konsumsi adalah permintaan sedangkan produksi
adalah penyediaan. Kebutuhan konsumen, yang kini dan yang telah
diperhitungkan sebelumnya, merupakan insentif pokok bagi kegiatan-
kegiatan ekonominya sendiri.

Mereka mungkin tidak hanya menyerap pendapatannya tetapi


juga memberi insentif untuk meningkatkannya. Hal ini mengandung arti
bahwa pembicaraan mengenai konsumsi adalah primer dan hanya bila para
ahli ekonomi mempertunjukkan kemampuannya untuk memahami, dan
menjelaskan prinsif produksi maupuan konsumsi sajalah, mereka dapat
dianggap kompeten untuk mengembangkan hukum-hukum nilai dan
distribusi atau hampir setiap cabang lain dari subyek tersebut. Perbedaan
antara ilmu ekonomi modern dan ekonomi Islam dalam hal konsumsi

4
terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang.
Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola
konsumsi modern.2

Dalam hal ini Allah SWT berfirman yang artinya: “Hai anak
Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid,
makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. al-A’raf
(7): 31) Ayat ini merupakan bantahan terhadap kaum musyrikin yang
melakukan thawaf di Baitullah sambil telanjang secara sengaja; laki-laki
berthawaf pada siang hari dan perempuan pada malam hari. Maka Allah
SWT berfirman: “Hai anak Adam, pakailah perhiasanmu ketika memasuki
masjid”. Yang dimaksud “perhiasan” di sini ialah pakaian untuk menutupi
aurat. Kaum musrikin disuruh mengenakan baju setiap kali mau memasuki
masjid. Berdasarkan ayat ini dan sunnah yang semakna dengan ayat itu,
maka disunahkan untuk mempercantik diri setiap kali melakukan shalat,
terutama shalat Jum’at, shalat Jamaah dan shalat Idul Fitri. Memakai
parfum dan bersiwak merupakan pelengkap dalam menghias diri. Selain
itu, ayat ini juga merupakan anjuran untuk tidak berlebihlebihan dalam
berkonsumsi.

Kedua, anjuran mengkonsumsi yang baik dan halal, Allah SWT


berfirman: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa
yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagimu.” (QS. Al-Baqarah (2): 168) Allah menjelaskan bahwa Dia maha
pemberi rezeki kepada seluruh makhluk-Nya. 3Dia menganugerahkan
kepada mereka kebolehan memakan makanan yang halal lagi baik, serta
melarang mereka memakan makanan yang diharamkan kepadanya (Al-

2
Azhari Akmal Tarigan,Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Al-Qur’an, (Bandung:Cipapustaka
Media Perinris,2012),h. 214
3
Abdurrohman Kasdi, Tafsir Ayat-Ayat Konsumsi Dan Implikasinya Terhadap
Pengembangan Ekonomi Islam, (Volume 1, No.1, Juni 2013), h. 21-24

5
Rifa’i, 1999: 267). Allah menyuruh hamba-Nya yang beriman memakan
yang baik-baik dari rezeki yang telah dianugerahkan kepada mereka. Oleh
karena itu, hendaklah mereka bersyukur kepada-Nya jika mereka mengaku
sebagai hamba-Nya. Memakan makanan halal merupakan sarana untuk
diterimanya do’a dan ibadah.

Sedangkan dalan surat al-furqon ayat 67, Allah SWT


menggambarkan sikap konsumsi yang baik adalah tidak berlebih-lebihan
dalam membelanjakan harta benda dan tidak pula kikir, melainkan
pertengahan di antara keduanya. Pertengahan ini tampaknya dapat
dimaknai sepadan dan proporsional, dalam pengertian tidak besar pasak
daripada tiang. Lebih jelasnya dapat dilihat ayat berikut ini;

‫َوالَّذِينَ إِذَا أ َ ْنفَقُوا لَ ْم يُ ْس ِرفُوا َولَ ْم يَ ْقت ُ ُروا َو َكانَ بَيْنَ ذَ ِل َك قَ َوا ًما‬
67. Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di
tengah-tengah yang demikian.4

Monzer Kahf di dalam bukunya mengomentarai ayat di atas


dengan mengatakan, sekalipun ketamakan merupakan kejahatan,
pemborosanpun demikian juga. Orang Mu’min dalam Alquran dilukiskan
sebagai salah satu di antara, “orang-orang yang ketika membelanjakan
harta, tidak berlebih-lebihan dan tidak menimbulkan keburukan, tetapi
(mempertahankan) keseimbangan yang adil di antara sikap-sikap (yang
ekstrem) tersebut. Nabi dilaporkan bersabda, “Tuhan senang dengan
hamba-Nya yang menunjukkan tanda-tanda atas nikmat-nikmat yang
diberikanNya kepadanya dalam kehidupannya (dalam pengertian
pemilikan dan pembelanjaannya).” Namun demikian, dalam pembelanjaan
untuk bersedekah, untuk meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat dan

4
Lukman furoni ,Tafsir Ayat-ayat Tentang Konsumsi, h. 133.

6
menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam, konsep berlebih-lebihan tersebut
tidak berlaku.5

C. Ayat Konsumsi

Tidak ada pembatasan jumlah pembelanjaan dalam jenis ini dan


setiap pembelanjaan untuk keperluan tersebut akan mendapatkan imbalan
(pahala) dari Allah Swt. Demikianlah, kendatipun Allah menyuruh kita
untuk makan dan minum, Al-Qur’an juga menggariskan norma lain selain
tidak boleh berlebih-lebihan yaitu makanan yang dikonsumsi haruslah
halal dan baik (halalan tayyiban) seperti yang terungkap pada surah Al-
Baqarah ayat 168 dan surat al-Nahl ayat 16 sebagai berikut,:

‫ت‬ ُ ‫طيِبًا َو َل تَتَّبِعُوا ُخ‬


ِ ‫ط َوا‬ ِ ‫اس ُكلُوا ِم َّما فِي ْاْل َ ْر‬
َ ‫ض َح َل ًل‬ ُ َّ‫يَا أَيُّ َها الن‬
‫ان ِإنَّهُ لَ ُك ْم َعد ٌُّو ُم ِبين‬
ِ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬
َّ ‫ال‬
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagimu.6

Ayat ini bersifat umum karena ditujukkan kepada seluruh manusia atau
tidak terbatas pada orang-orang yang beriman saja. Hal ini dipahami
karena seruan yang terkandung didalamnya dibutuhkan semua umat
manusia yakni tentang pentingnya makanan dalam kehidupa.

َ ً‫فَ ُكلُو اْ ِم َّما َرزَ قَ ُك ُم ا هللَ ُ َحلَل‬


َ ‫ط ِيبا ً َوا ْش ُك ُرواْ نِ ْع َم‬
ُ‫ت اهلل ِ ِإن ُكنت ُ ْم ِإيَّا ه‬
َ‫ت َ ْعبُدُون‬
Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan
Allah kepada kamu, da, syukurlah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-
Nya saja menyembah. ( Q,S. al-nahl (16):114).

5
Azhari Akmal Tarigan,Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Al-Qur’an, h. 206.
6
Muhammad Amin Suma, Tafsir Ayat Ekonomi, (Jakarta:Amzah, 2015), h. 109.

7
Setelah Allah SWT menjelaskan pada ayat-ayat sebelumnya
(surah Al-Baqarah) tentang tauhid, tiada sesembahan yang hak kecuali
Allah. Allah pula yang maha pencipta dan pada pada ayat ini, Allah
menegaskan dirinya sebagai razzaq (pemberi rezeki) untuk seluruh
makhluknya. Ayat di atas diawali dengan frasa ya ayyuha al-nas yang
berari perintah tersebut ditujukan kepada seluruh manusia. Makan
merupakan kebutuhan universal. Bukan saja manusia – apapun suku dan
bangsanya- makhluk Allah lainnya seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan
juga membutuhkan makanan.7

Oleh sebab itu, Allah serukan kepada makhluknya untuk


menikmati makanan yang baik-baik dalam kehidupannya serta menjauhi
segala jenis makanan yang buruk dan menjijikkan. Perintah ini sebagai
perintah yang penting karena memiliki persentuhan dengan tauhid. Orang
yang memakan makanan yang jelek dan menjijikkan sama artinya telah
mengikuti langkah-langkah syetan. Tidak saja menjerumuskan manusia
kepada yang memudharatkannya dengan memakan makanan yang jelek,
syaitan juga mengajak manusia untuk menghalalkan apa yang telah
diharamkan Allah. Jika seseorang sudah mengiktuti langkah-langkah
syaitan, bukankah orang ini telah terganggung tauhidnya. Makanlah
sesuatu yang halal (halalan) lagi baik (tayyiban).8

Di dalam Tafsir Al-Maraghi disebutkan, kulu mimma fi al-ard


halalan tayyiba maksudnya adalah, makanlah sebagian apa yang ada di
bumi dari berbagai jenis makanan, apakah berupa tumbuh-tumbuhan
ataupun binatang tertentu dengan syarat halal dan baik. Al-Maraghi
dengan mengutip Ibn Abbas menyebutkan bahwa ayat ini turun kepada
kaum Tsaqif dan Bani Amir dimana mereka mengharamkan pada diri
mereka berbagai jenis makanan, baik yang ada di darat ataupun di lautan.

7
Dwi Suwiknyo, Komplikasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, (Yogyakarta:Pustaka
Pelajar,2010), h. 157.
8
Ibid, 206-207

8
Pada hal Allah SWT telah menjelaskan apa yang diharamkan dan
apa yang dihalalkan. Sedangkan menurut Ibn Kasir, syaitan telah
membisikkan sesuatu kepada bangsa Arab sehingga mereka
mengharamkan apa yang dihalalkan Allah. Adapun yang mereka
haramkan sendiri adalah, bahirah, (unta betina yang telah beranak lima
kali dan anak yang kelima itu jantan) lalu unta betina itu dibelah
telinganya, dilepaskan, tidak boleh ditunggangi dan tidak boleh diambil
susunya. Juga Sabi’ah unta betina yang dibiarkan pergi kemana saja
disebabkan sesuatu nazar. Termasuk yang mereka haramkan adalah
washilah yaitu seekor domba betina yang melahirkan anak kembar yang
terdiri dari jantan dan betina maka yang jantan disebut dengan washilah,
tidak disembelih dan diserahkan kepada berhala. Di dalam surah Al-
An’am ayat 145, Allah SWT telah menyebutkan makanan yang
diharamkan Allah, yaitu:

َ‫ط َع ُمهُ ِإ َّل أ َ ْن َي ُكون‬ ْ ‫طا ِع ٍم َي‬


َ ‫ي ُم َح َّر ًما َعلَى‬ َّ َ‫ي ِإل‬
َ ‫وح‬ِ ُ ‫قُ ْل َّّل أ َ ِجدُ ِفي َما أ‬
‫ير فَإِنَّهُ ِر ْجس أ َ ْو فِ ْسقًا أ ُ ِه َّل ِلغَي ِْر‬
ٍ ‫َم ْيتَةً أ َ ْو دَ ًما َم ْسفُو ًحا أ َ ْو لَ ْح َم ِخ ْن ِز‬
‫ط َّر َغي َْر بَاغٍ َو َل َعا ٍد فَإ ِ َّن َرب ََّك َغفُور َر ِحيم‬ ُ ‫ض‬ ْ ‫َّللاِ بِ ِه فَ َم ِن ا‬
َّ
145. Katakanlah: “Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang
mengalir atau daging babi Karena Sesungguhnya semua itu kotor

atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. barangsiapa


yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu
Maha Pengampun lagi Maha penyayang”.

Jelas bahwa yang haram itu telah dijelaskan Allah SWT di dalam
kitab sucinya. Ada yang haram disebabkan karena zatnya, misalnya darah
dan daging babi. Ada pula yang haram disebabkan karena faktor luar. Di
dalam Al-Maraghi disebut dengan muharramun li’arid. Maksudnya adalah

9
diharamkan karena diperoleh tidak melalui wajhin sahih, seperti
pencurian, perampokan, pemerasan dan sebagainya. Tentu saja selain yang
tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an dihukumkan halal untuk dikonsumsi.
Oleh sebab itu kita melihat, ketika Allah menyebutkan jenis-jenis yang
diharamkan untuk dikonsumsi, Allah menyebutnya secara terperinci.
Sedangkan yang halal, Allah menyebutnya secara umum, halalan
tayyiban.9

D. Kontekstualisasi Ekonomi Islam

Konsumsi berasal dari bahasa Belanda consumptie yang berarti


suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna
suatu benda, barang maupun jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan.
Sedangkan konsumen adalah individu-individu atau kelompok pengguna
barang dan jasa. Perlu dibedakan antara konsumen dengan distributor.
Konsumen membeli barang dan digunakan untuk diri sendiri. sedangkan
distributor akan membeli barang dan menjualnya kepada orang lain. M.A.
Mannan dengan gamblang menjelaskan bahwa konsumsi adalah
permintaan sedangkan produksi adalah penyediaan. Kebutuhan konsumen,
yang kini dan yang telah diperhitungkan sebelumnya, merupakan insentif
pokok bagi kegiatan-kegiatan ekonominya sendiri. Mereka mungkin tidak
hanya menyerap pendapatannya tetapi juga memberi insentif untuk
meningkatkannya.

Hal ini mengandung arti bahwa pembicaraan mengenai konsumsi


adalah primer dan hanya bila para ahli ekonomi mempertunjukkan
kemampuannya untuk memahami, dan menjelaskan prinsif produksi
maupuan konsumsi sajalah, mereka dapat dianggap kompeten untuk
mengembangkan hukum-hukum nilai dan distribusi atau hampir setiap
cabang lain dari subyek tersebut. Perbedaan antara ilmu ekonomi modern

9
Azhari Akmal Tarigan,Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Al-Qur’an, h. 209-210.

10
dan ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara pendekatannya
dalam memenuhi kebutuhan seseorang.10

E. Dampak Nilai Islam Dalam Berkonsumsi

Perilaku ekonomi dalam islam akan didasarkan nilai-nilai Al-


Qur’an dan Hadist akan berdampak kepada seorang muslim dalam
beberapa hal:

a. Konsumsi seorang muslim didasarkan atas pemahaman bahwa


kebutuhan sebagai manusia terbatas,sebagaimana kepuasan
digambarkan dalam utility function mengalami fenomena diminishing
return
b. Seorang muslim tidak akan mengkonsumsi barang-barng haram atau
barang yang diperoleh dengan cara haram, seperti mengkonsumsi
makanan atau minuman berarkohol dan barang dari hasil menjarah.
c. Seorang muslim tidak akan memaksa untuk berbelanja barang-barang
yang diluar jangkauan penghasilanya
d. Tingkat kepuasan bagi seorang muslim berhubungan dengan tingkat
syukurnya.11
F. Penutup
Konsumsi merupakan pemakaian atau penggunaan manfaat dari
barang dan jasa. Ia merupakan tujuan yang penting, karena sebagai bentuk
pemenuhan kebutuhan hidup seseorang Sebagai sebuah metodologi, tafsir
ekonomi al-Qur'an mempunyai peluang yang baik bagi pengembangan ilmu
ekonomi Islam. Model tafsir ini dimodifikasi dari metode tafsir tematik
dengah tahapan kerja sebagai berikut: pertama, menginventarisasi ayat-ayat
yang terkait dengan permasalahan ekonomi yang akan dibahas, baik berdasar
pada kata kunci maupun pada kandungan ayat Kedua, mengunakan ayat-ayat
tersebut berdasar urutan turunnya surat yang didukung oleh asbabun nuzul
baik secara mikro maupun makro. Ketiga, menafsirkan ayat-ayat dengan

10
Ibid, h. 213
11
Heri Sudarsono,Konsep Ekonomi Islam,( Yogyakarta:Ekonosia,2004), h. 187

11
corak adabi al-ijtima'i wal-iqtishadijyak. Keempat, melakukan
kontekstualisasi dalam realitas ekonomi.
Setelah Allah SWT menjelaskan pada ayat-ayat sebelumnya
(surah Al-Baqarah) tentang tauhid, tiada sesembahan yang hak kecuali Allah.
Allah pula yang maha pencipta dan pada pada ayat ini, Allah menegaskan
dirinya sebagai razzaq (pemberi rezeki) untuk seluruh makhluknya. Ayat di
atas diawali dengan frasa ya ayyuha al-nas yang berari perintah tersebut
ditujukan kepada seluruh manusia. Makan merupakan kebutuhan universal.
Bukan saja manusia – apapun suku dan bangsanya- makhluk Allah lainnya
seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan juga membutuhkan makanan.
Kontekstualisasi ekonomi islam konsumsi berasal dari bahasa
Belanda consumptie yang berarti suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi
atau menghabiskan daya guna suatu benda, barang maupun jasa dalam
rangka memenuhi kebutuhan. Sedangkan konsumen adalah individu-
individu atau kelompok pengguna barang dan jasa.
Dampak nilai islam dalam berkonsumsi perilaku ekonomi dalam
islam akan didasarkan nilai-nilai Al-Qur’an dan Hadist yaitu konsumsi
seorang muslim didasarkan atas pemahaman, seorang muslim tidak akan
makan-makanan yang hukumnya harom, seorang muslim tidak akan
berbelanja melebihi penghasilan yang ia miliki.

12
DAFTAR PUSTAKA

Azhari Akmal Tarigan,Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Al-Qur’an,


Bandung:Cipapustaka Media Perinris,2012.
Abdurrohman Kasdi, Tafsir Ayat-Ayat Konsumsi Dan Implikasinya
Terhadap Pengembangan Ekonomi Islam,.Volume 1, No.1, Juni
2013.
Dwi Suwiknyo, Komplikasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam,
Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2010.
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, Yogyakarta:Ekonosia,2004.
Lukman furoni ,Tafsir Ayat-ayat Tentang Konsumsi, Millah Vol. VIII, No.
1, Agustus, 2008.
Muhammad Amin Suma, Tafsir Ayat Ekonomi, Jakarta:Amzah, 2015.
.

13

Anda mungkin juga menyukai