Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA

Disusun Oleh :
Surya Putri Mavela
201902040016

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN PEKALONGAN
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra psoterior. Bila mengalami
pembesaran, organ ini membuntu uretra pars prostatika dan menyebabkan
terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli. Bentuknya sebesar buah
kenari dengan berat normal pada orang dewasa + 20 gram. McNEal (1976)
membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, anatara lain zona perifer, zona
sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan zona periuretra.
Sebagian besar hiperplasi prostat terdapat pad zona transisional, sedangkan
pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer. Pertumbuhan
kelenjar ini sangat tergantung pada hormon testosteron yang di dalam sel-sel
kelenjar prostat hormon ini akan diubah menjadi dehidrotestosteron (DHT)
dengan bantuan enzim alfa reduktase. Hormon dehidrotestoosteron inilah
yang seacara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat
untuk mensistesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelanjar prostat.
Pada usia lanjut, beberapa pria mengalami pembesaran prostat
benigna. Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 6 tahun dan kurang
lebih 80% pria yang berusia 80 tahun. Penyakit prostat merupakan penyebab
yang sering terjadi pada berbagai masalah saluran kemih pada pria, insidennya
menunjukan peningkatan sesuai dengan umur, terutama mereka yang berusia
60 tahun. Sebagian besar penyakit prostat menyebabkan pembesaran organ
yang mengakibatkan terjadinya penekanan/pendesakan uretra pars
intraprostatik, keadaan ini menyebabkan gangguan aliran urine, retensi akut
dari infeksi traktus urinarius memerlukan tindakan kateterlisasi segera.
Penyebab penting dan sering dari timbulnya gejala dan tanda ini adalah
hiperlasia prostat dan karsinoma prostat. Radang prostat yang mengenai
sebagian kecil prostat sering ditemukan secara tidak sengaja pada jaringan
prostat yang diambil dari penderita hiperlasia prostat atau karsinoma prostat
(J.C.E Underwood, 1999).
Beranekaragamnya penyebab dan bervariasinya gejala penyakit yang
ditimbulkannya sering menimbulkan kesulitan dalam penatalaksanaan BPH,
sehingga pengobatan yang diberikan kadang-kadang tidak tepat sesuai dengan
etiologinya. Terapi yang tidak tepat bisa mengakibatkan terjadinya BPH
berkepanjangan. Oleh karena itu, mengetahui secara lebih mendalam faktor-
faktor penyebab (etiologi) BPH akan sangat membantu upaya
penatalaksanaan BPH secara tepat dan terarah.

B. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui mengenai definisi benigna prostat hiperplasia
2. Mengetahui etiologi benigna prostat hiperplasia
3. Mengetahui patofisiologi benigna prostat hiperplasia
4. Mengetahui manifestasi benigna prostat hiperplasia
5. Mengetahui komplikasi benigna prostat hiperplasia
6. Mengetahui pemeriksaan diagnostik benigna prostat hiperplasia
7. Mengetahui asuhan keperawatan pada klien benigna prostat hiperplasia
BAB II

PEBAHASAN

A. Definisi
Benigna Prostate Hyperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang sering
terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat
(Yuliana Elin, 2011). Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran
progresif dari kelenjar prostat (secara umum pria lebih tua dari 50 tahun)
menyebabkan berbagai derajat obstruksi urethral dan pembatasan aliran
urinarius (Doengoes, Morehouse & Geissler, 2000, hal 671).
Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar
prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen
prostat meliputi jaringan kelenjar/jaringan fibromuskuler yang menyebabkan
penyumbatan uretra pars prostatika (Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr.
Sutomo, 1994 : 193). BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami
pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat
aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002).

B. Etiologi
Mengapa kelenjar periurethral dapat mengalami hiperplasi, pada
umumnya dikemukakan beberapa teori, misalnya teori sel Stem (Isasc
1984,1987), berdasarkan teori ini pada umumnya keadaan normal kelenjar
peri urethral dalam keadaan keseimbangan antara yang tumbuh dengan yang
mati (steadystate). Sel baru biasanya tumbuh dari sel system.oleh karena
sesuatu sebab seperti factor usia,gangguan keseiimbangan,hormonal atau
factor pencetus yang lain,maka sel Stem tersebut dapat berproliferasi lebih
cepat, sehingga terjadi hiperplasi kelenjar peri urethral.
Teori kedua ialah teori Reawakening dari jaringan kembali seperti
perkembangan pada masa tingkat embriologik. Sehingga jaringan peri urethral
dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya, teori ini pernah
dikemukakan oleh Mc Neal (1978), yang juga membagi prostat menjadi
bagian zona sentral zona peripheral dan zona peralihan. Teori lain mengatakan
bahwa hiperplasi disebabkan oleh karena terjadinya perubahan keseimbangan
antara testosterone dan estrogen.testosteron sebagian besar dihasilkan oleh
kedua testis yang normal testoren dihasilkan oleh sel leydig atas pengaruh
hormone Luteinizing hormone (LH), yang dihasilkan kelenjar Hifisis, kelenjar
hipofisi ini menghasilkan LH atas rangsangan Luteinising Hormon Releasing
Hormon (LHRH). Disamping testis kelenjar anak ginjal juga menghasilkan
testosterone atas pengaruh ACTH yang juga dihasilkan oleh hipofisis.jumlah
testosterone yang dihasilkan oleh testis kira- kira 90 % di seluruh produksi
testosterone sedang yang 10% dihasilkan oleh kelenjar adrenal.
Sebagian besar dalam tubuh berada dalam keadaan terikat dengan
protein dalam bentuk Serum Binding Hormon (SBH).hanya sekitar 2%
testosterone berada dalam keadaan bebas dan testosteron bebas inilah yang
memegang peranan dalam terjadinya inisiasi pembesaran prostat. Testosteron
bebas ini dalam pertongan enzim 5alfa reduktase akan dihidrolise menjadi
dihidro testosterone (DHT). Dalam bentuk DHT inilah yang kemudian akan
diikat oleh oleh reseptor yang berada didalam sitoplasma sel prostat sehingga
membentuk DHT-Reseptor kompleks.DHT-Reseptor kompleks kemudian
akan masuk kedalam inti sel dan akan mempengaruhi asam Ribo Nukleat
(RNA) untuk menyebabkan terjadinya sintesis protein sehingga dapat terjadi
proliferasi sel (McConnel,1990)
Dengan bertambahnya usia akan perubahan imbangan testosterone
estrogen,hal ini disebabkan oleh berkurangnya produksi testosterone dan juga
terjadinya konversi testosterone menjadi estrogen pada jaringan adiposis
dikemudian akan menyebabkan terjadinya hiperplasi stroma, sehingga timbul
dugaan bahwa testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasisel
tetapi kemudian estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma.
Kemungkinan lain ialah perubahan konsentrasi relative testosterone dan
estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi factor pertumbuhan lain
yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat. Berdasarkan angka
otopsi diluar negri perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat
diidentifikasi pada pria usia 30-40 tahun. Perubahan mikroskopik ini bila terus
berkembang akan menghasilkan perubahan patologik anatomic,yang pada pria
usia 50 pada otopsi ternyata angka kejadiaannya sekitar 50% dan pada usia 80
angka tersebut mencapai sekitar 80%.sekitar 50% dari angka tersebut diatas
akan berkembang menjadi penderita pembesaran prostat yang manifest.

C. Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya
sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram.
Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo (2000),
membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona
sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra
(Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut
akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi
testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada
jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan
kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel
kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT)
dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara
langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis
protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya
perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan
patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh
kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika
dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh
sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem
simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi
resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian
detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih
kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam
kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut
trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat
aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang
besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi
otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor
menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi
untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat
digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi.
Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup
lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan
miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum
puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak
sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih,
sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai
hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit
ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak
mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari
tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox
(overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter
dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal.
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan
yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam
vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis
(Sjamsuhidajat, 2005).

D. Manifestasi Kliniks
Prostat hiperpetrofi biasanya ditemukan pada pria usia diatas 50 tahun.
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan traktus urinarius bagian atas,
kadang-kadang ginjla dapat teraba dan apabila sudah terjadi pyelonefritis akan
disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesika urin dapat
teraba apabila sudah terjadi retensi total daerah inguinal harus pula
diperhatikan untuk menghetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula
diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat
menyebabkan gangguan miksi seperti batu fibrosa nafikulare atau urethra
anterior, fibrosis daerah urethra, fimosis, kondiloma di daerah meatus.
Pemeriksaan colok dubur Atau Digital Rectal Eamination (DRE) merupakan
pemeriksaaan yang sangat penting yang dapat memberikan gambaran tonus
sfingter ani mukosa rektum, adanya kelaianan lain seperti benjolan di dalam
rektum dan tentu saja meraba prostat. Pada perabaan prostat harus
diperhatikan konsistensi yang pada pembesaran prostat jinak konsistensinya
kenyal, adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat
diraba dan apabila batas atas masih dapat diraba biasanya berat prostat
diperkirakan kurang daari 60 gram. Tentu saja perkiraan beraat prostat dengan
DRE tidak akurat. Sebaliknya DRE merupakan cara pemeriksaan yang cukup
baik untuk mengetahui adanya keganasan prostat. Pada adeni carsicoma
prostat pada DRE akan teraba prostat dengan konsistensi keras atau adanya
benjolan (nodul) yang konsistensinya lebih keras dari sekitarnya atau adanya
asimetri dengan bagian yang lebih keras. Dengan DRE dapat pula diketahui
adanya batu prostat yaitu apabila dapat idraba adanya krepitasi.
Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa
urine setelah penderita miksi spontan. Sisa urine dapat ditentukan dengan
pengukuran langsung yaitu dengan mengukur sisa kencing sehabis miksi
dengan melakukan kateterisasi kedalam vesika urine dan mengukur berapa
sisa urine yang masih dapat keluar dengan kateterisasi tadi, sisa urine dapat
pula diketahui dengan melakukan pemeriksaan ultrasonografi vesika setelah
penderita kencing atau dengan membuat foto post voiding pada waktu
membuat IVP.
Pada orang normal sisa urine biasanya kosong, sedangkan pada retensi
urine total sisa urine dapat melebihi kapasitas normal vesika. Sisa urine lebih
dari 100cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan
intervensi pada penderita prostat hipertrofi. Derajat berat obstruksi dapat pula
diukur dengan pengukur pancaran urine pada waktu miksi, cara pengukuran
ini disebut uroflowmetri. Untuk dapat melakukan pemeriksaan uroflow
dengan baik diperlukan jumlah urine minimal didalam vesika 125 – 150 ml.
Angka normal untuk flow rata – rata 10 – 12 ml/detik dan flow maksimal
sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan flow rate dapat menurun
sampai antara 6 – 8 ml/detik, sedangkan maksimal flow menjadi 15 mm/detik
atau kurang. Dengan pengukuran flow rate tidak dapat dibedakan antara
kelemahan destrusor dengan obstruksi intravesikal.

E. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien benigna prostat
hiperplasia, antara lain :
1. Seiring dengan semakin beratnya BPH dapat terjadi obstruksi saluran
kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat
menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat
mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000).
2. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang
mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdomen yang akan
menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis dalam vesiko urinaria akan
membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan
hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesiko urinaria menjadikan
media pertumbuhan mikroorganisme. Yang dapat menyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidrajat, 2005).

F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik pada benigna prostat hiperplasia meliputi
beberapa pemeriksaan, antara lain :
1. Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan Sedimen Urine
Pemeriksaan ini diperiksa untuk kemungkinan adanya proses
infeksi atau inflamasi pada saluran kemih
b) Pemeriksaan Kultur Urine
Pemeriksaan ini berguna dalam mencari jenis kuman yang
menyebabkan infeksi sekaligus menentukan sensitifitas kuman
terhadapa beberapa antimikroba yang disajikan
c) Pemeriksaan Faal Ginjal
Pemerikasaan ini untuk mengetahui kemungkinan adanya penyult
yang menegenai saluran kemih bagian atas.
d) Pemeriksaan Gula Darah
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk mencari kemungkinan adanya
penyakit diabetes militus yang dapat menimbulkan kelainan
persarafan pada buli-buli (buli-buli nerogen)
2. Pemeriksaan Pencitraan
a) Pemeriksaan Foto Polos
Pemeriksaan ini berguna untuk mencari adanya batu opak didalam
saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat dan kadangkala
dapat menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi urine,
yang merupakan tanda dari suatu retensi urine
b) Pemeriksaan Ultrasonografi
Pemeriksaan ini dimaksudnkan untuk mengetahui besar atau
volume kelenjar prostat, adanya kemungkinan pembesaran prostat
maligna, sebagai guidance (petunjuk) untuk melakukan biopsi
aspirassi prostat, menentukan jumlah residual urine dan mencari
kelainan lain yang mengkin ada di dalam buli-buli.
3. Pemeriksaan Pielografi Intra Vena
Pemeriksaan ini dapat menerangkan kemungkinan seperti, kelainan
pada ginjal maupun ureter berupa hidoureter atau hidronefrosis,
memperkirakan beasarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh
adanya indentasi prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat)
atau ureter disebelah distal yang berbentuk seperti mata kail (hooked
fish) dan penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi,
diventrikel atau sakulasi buli-buli.
4. Pemeriksaan Penunjang
a) Residual Urine
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetaahui jumlah sisa urine
setelah miksi dengan cara menghitung katerisasi setelah miksi.
b) Pemeriksaan Pancaran Urine
Pemeriksaan yang dilakukan dengan menghitung secara sederhana
jumlah urine dibagi dengan lamanya miksi berlangsung denga alat
uroflometrri
c) Pemeriksaan Sytoscopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada pasien dengan
BPH, antara lain :

1. Observasi

Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3-6 bulan kemudian setiap
tahun tergantung keadaan klien

2. Medika mentosa

Terapi diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang dan berat
tanpa disertai penyakit. Obat yang digunakan berasal dari phitoterapi
misalnya hipoxis rosperi, serenoa repens, atau alinya diamana gelombang
alfa blocker dan golongan supresor androgen.

3. Pembedahan

Indikasi yang biasanya terjadi pada klien dengan benigna prostat


hiperplasia, antara lain :

a) Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut

b) Dengan residual urin >100 ml

c) Klien dengan pengulit

d) Terapi medika mentosa tidak berhasil

e) Flowmetri menunjukan pola obstruktif

Pembedahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :

a) TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat 90-95 %).


b) Retropublic atau extravesical prostatectomy.

c) Perianal prostatectomy.

d) Suprapublic atau tranvesical prostatectomy.

4. Alternatif lain misalnya kriyoterapi, hipertermia, termoterapi, terapi


ultrasonic.

H. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Perawat mengkaji bagaimana hiperplasia protatik benigna telah
mempengaruhi gaya hidup klien dalam beberapa bulan yang lalu. Apakah
klien cukup aktif untuk usianya atau tidak, apa bentuk masalah urianari
klien (dapat uraikan dalam kata-kata yang klien ungkapkan), apakah
terjadi penurunan dorongan aliran urin, penurunan kemampuan untuk
dapat berkemih, keingan untuk berkemih, sering berkemih, nokturia,
disuria, retensi urin, hematuria. Apakah klien melaporkan masalah-
masalah yang berkaitan seperti nyeri pinggang, nyeri punggung dan rasa
tidak nyaman abdomen atau suprapubis. Apabila klien melaporkan
ketidaknyamanan tersebut, kemungkinan penyebabnya adalah infeksi,
retensi, dan kemungkinan kolik renalis.
Perawat mengumpulkan informasi lebih lanjut tentang riwayat
keluarga klien mengenai kanker dan penyakit jantung serta ginjal,
termasuk hipertensi. Apakah klien mengalami penurunan berat badan,
apakah klien tampak pucat, dapatkah klien turun dari tempat tidur dan
kembali ke tempat tidur tanpa bantuan. Informasi tersebut dapat
membantu dalam menentukan seberapa cepat klien akan kembali
keaktifitas normalnya setelah prostatektomi.
2. Pemeriksaan Fisik
1) Status kesehatan umum
a) Keadaan umum
b) Kesadaran
c) TTV
d) TB dan BB
2) Pemeriksaan Fisik Secara Head To Toe
a) Data psikologis
- Pendidikan
- Hubungan Siosial
- Gaya Hidup
- Peran Dalam Keluarga
b) Data penunjang : Pengobatan yang pernah dilakukan

3. Diagnosis keperawatan yang mungkin muncul


a) Pra Operatif
Berdasarkan pada riwayat kesehatan dan semua data pengkajian
lainya, diagnosa keperawatan utama dapat mencakup yang berikut :
1) Antisetas berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih
2) Nyeri berhubungan dengan distensi kandung kemih
b) Pasca Operatif
Nyeri berhubungan dengan insisi bedah, pemasangan kateter dan
spasme kandung kemih
c) Implementasi
Tujuan pra operatif utama dapat mencakup penurunan ansietas dan
pengajaran tentang masalah prostatnya serta pengalaman pra operatif,
sedangkan tujuan pasca operaatif utama mencakup koreksi gangguan
volume cairan peredaan nyeri dan ketidaknyamanan, pencegahan
infeksi, kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan dan tidak
adanya komplikasi.
d) Intervensi
Intervensi Keperawatan Pra Operatif
1) Menurunkan ansietas
- Perawat memperkenalkan klien kepada lingkungan rumah
sakit dan melakukan tindakan untuk mengurangi ansietas.
- Komunikasi ditegakkan dalam rangka mengetahui tingkat
pemahaman klien terhadap masalahnya dan apa yang telah
dokter ceritakan kepada klien, karena klien mungkin sensitif
dan mendiskusiakn masalah-masalah yang berhubungan
dengan genitalia dan isu-isu seksualitas, perawat harus
memberikan privasi, menciptakan hubungan yang bersifat
profesional dan rasa saling percaya.
2) Menurunkan ketidaknyamanan
- Jika dan gejala ketidaknyamanan tampak, klien diinstruksikan
untuk tirah baring, preparat anak gelsik diberikan, dan
tindakan penuruan ansietas dilakukan.
- Perawat memantau pola berkemih klien, mengawasi terhap
distensi kandung kemih, dan membantu saat kateterisasi.
Kateter in dwelling dipasang jika klien mengalami distensi
urine continou atau jika hasil pemeriksaan laboratorium
menyebaabkan azetemia (penumpukan sampah produk
nitrogen dalam darah).

Intervensi Keperawatan Pasca Operatif

1) Menghilangkan nyeri
- Setelah prostatektomi, klien teteap dalam psosisi tirah baring
dalam 24 jam pertama. Jika terjadi nyeri, penyebab dan
letaknya harus diketahui. Nyeri tersebut dapat berkatian
dengan insisi, mungkin akibat dari eksoriasi kulit pada letak
kateter, mungkin pada area punggung yang menandakan
masalah ginjal atau nyeri akibat spasme kandung kemih. Peka
rangsang kandung kemih dapat menimbulkan perdarahan dan
pembentukan bekuan, yang mengarah pada rentensi urine.
- Apabila klien mengalami spasme kandung kemih, klien dapat
merasakan dorongan untuk berkemih, merasakan tekanan atau
sesak pada kandung kemih dan perdarahan dari urethra sekitar
kateter. Medikasi yang dapat melemaskan otot polos dapat
menghilangkan spasme, dan kompres hangat pada pubsi atau
mandi rendam duduk dapat menghilangkan spasme
- Perawat memantau selang-selang drainase dan mengirigasi
sistem yang diharuskan menghilangkan segala bentuk
obstruksi yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan.
Biasanya kateter diirigasi dengan 50 ml cairan pengirigasi
setiap kali. Memplester kateter pada tuangkai atau abdomen
dapat membantu untuk menurunkan ketegangan pada kateter
dan mencegah iritasi kandung kemih.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Benigna Prostat Hiperplasia adalah suatu keadaan dimana prostat
mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan
menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan
Bare, 2002).
Benigna Prostat Hiperplasia disebabkan oleh karena terjadinya
perubahan keseimbangan antara testosterone dan estrogen.testosteron
sebagian besar dihasilkan oleh kedua testis yang normal (Huggins
1947,Moore 1947) testoren dihasilkan oleh sel leydig atas pengaruh hormone
Luteinizing hormone (LH), yang dihasilkan kelenjar Hifisis,kelenjar hipofisi
ini menghasilkan LH atas rangsangan Luteinising Hormon Releasing
Hormon (LHRH).
DAFTAR PUSTAKA

Barsdero, Marry., Dayrit, Marry Wilfrid., Siswadi, Yakobus. 2009. Klien Gangguan
Ginjal : Seri Aseri Asuhan Keperawatan. Yogyakarta : EGC

Rumahorbo, Hotma., Adam, H. Syamsunir. etc. 1996. Praktek Keperawatan Medikal


Bedah. Bandung : IAPK Pajajaran

Reksopardjo, Soelarto., Pusponegoro, Aryono D. etc. 1995.Ilmu Bedah. Jakarta :


Binarukpa Aksara

Anda mungkin juga menyukai