Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masjid merupakan bangunan yang menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat
Indonesia dengan salah satu tingkat penduduk muslim tertinggi di dunia. Masjid merupakan tempat
beribadah dari umat muslim, ibadah dilakukan lima kali dalam satu hari. Masjid tidak hanya
berfungsi sebagai tempat beribadah, namun juga tempat bersosialisasi dan tempat masyarakat
mendapatkan pendidikan keagamaan dari ustad, ulama, atau pakar agama. Masjid memiliki peran
yang penting dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, sehingga sering kali masjid menjadi
salah satu titik orientasi dan hierarki dalam perancangan kota atau daerah. Indonesia memiliki
arsitektur yang sangat beragam pada masing-masing daerahnya.

Terlepas dari pengaruh kebudayaan yang muncul pada suatu masjid dalam Indonesia,
masjid memiliki tipologi bangunan yang secara garis besar diikuti oleh semua masjid yang
dibangun di Indonesia. Secara garis besar, bangunan masjid merupakan bangunan dengan flow
yang linear dan berorientasi kearah barat. Ruang dalam masjid menghadap tempat mimbar yang
digunakan untuk berceramah dan bersebelahan dengan tempat imam atau pemimpin ibadah. Ruang
ibadah terbagi menjadi dua ruang yaitu ruang ibadah laki-laki dan ruang ibadah perempuan.
Namun interpretasi akan desain rancangan suatu ruang ibadah bisa bervariasi tergantung dari
perancang yang mendesain ruang ibadah tersebut. Salah satu contoh perbedaan interpretasi
kesarkalan ruang ibadah terjadi pada Masjid Al-Safar yang dirancang oleh Bapak Ridwan Kamil.

Masjid Al-Safar
Masjid Al-Safar merupakan masjid yang menggunakan teori arsitektur lipat sebagai dasar
eksplorasi bentuk, yang digabungkan dengan pemikiran dekonstruksi dari tipologi masjid
konvensional untuk melahirkan ruang-ruang dengan ekspresi baru yang tetap mencerminkan ruang
ibadah pada masjid.

1.2 Perumusan Masalah

Masjid Al-Safar mendapatkan banyak kritisi dari masyarakat dengan opini yang bersifat
kuat antara memihak atau menolak keberadaan masjid tersebut. kritisi masyarakat berasal dari
bentuk masjid yang dinilai kontroversial karena mengandung kemiripan dengan simbolisme dari
kepercayaan lain serta bentuk masjid yang tidak konvensional. Sehingga dilakukan kritik dan
analisa pada bangunan masjid Al-Safar untuk kembali menelaah bangunan masjid dari sudut
pandang arsitektur.

1.3 Metode

Kritik pada masjid Al-Safar menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data data analisa
dikumpulkan dari hasil observasi penulis secara langsung kepada bangunan masjid Al-Safar. Data
data foto dihasilkan dari pengumpulan data pribadi ketika melakukan survey kawasan langsung.
BAB II

KERANGKA TEORITIK

2.1 Ruang Sakral

Dhavamony (1995: 87) mengungkapkan bahwa yang sakral (kudus) adalah sesuatu yang
terlindung dari pelanggaran, pengacauan dan pencemaran. Yang sakral adalah sesuatu yang
dihormati, dimuliakan, dan tidak dapat dinodai. Dalam hal ini pengertian tentang yang kudus tidak
hanya terbatas pada agama, maka banyak objek, baik yang bersifat keagamaan maupun bukan,
tindakan-tindakan, tempat-tempat, kebiasaan-kebiasaan dan gagasan gagasan dapat dianggap
sebagai kudus. Sedangkan profan adalah sesuatu yang biasa, umum, tidak dikuduskan, dan bersifat
sementara. Sementara itu, Ustadz Abu Ayub mengungkapkan bahwa mengingat salah satu makna
sakral adalah keramat, terutama bagi masyarakat Jawa, Islam lebih mengenal istilah suci atau
berkah. Suci adalah sesuatu yang terpisah dari sikap orang yang ingin menghormati yang
dilakukan karena ada manfaat terhadap kehidupan sehari-hari. Jadi sebenarnya anggapan itu hanya
terletak pada pemeluknya saja yang menyebabkan timbulnya perbedaan pandangan. Tentang
wujud yang gaib disucikan, oleh karena mereka tidak dapat melihatnya, maka realitasnya tidak
dapat ditunjukkan, yang bagi orang lain adalah suatu yang tidak ada. Namun bagi penganutnya,
penghormatan itu benar-benar merupakan suatu yang suci, yang memungkinkan wujud yang
disucikan itu terdapat di dalam diri para pemeluknya. Lebih jauh dari pada itu, wujud suci itu
merupakan wujud yang dapat diselidiki secara empiris (Muhammad 2013).

2.2 Masjid

Secara bahasa, kata masjid (ٌ ‫سم‬


َ ْ‫ )دِج‬adalah tempat yang dipakai untuk bersujud. Kemudian
maknanya meluas menjadi bangunan khusus yang dijadikan orangorang untuk tempat berkumpul
menunaikan shalat berjama’ah. Hal tersebut juga diperkuat dengan pernyataan Sumalyo (2006)
mengungkapkan bahwa pada hakekatnya, masjid adalah tempat untuk melakukan segala aktivitas
berkaitan dengan kepatuhan kepada Allah semata. Oleh karena itu, masjid dapat diartikan lebih
jauh, bukan hanya sekedar tempat bersujud, pensucian, tempat shalat dan bertayamum, namun
juga sebagai tempat melaksanakan segala aktivitas kaum muslim berkaitan dengan kepatuhan
kepada Tuhan.
Fungsi masjid secara umum adalah untuk tempat umat Islam beribadah kepada Allah SWT.
Ayub dkk (1996:7) mengatakan bahwa selain untuk bersujud, masjid juga digunakan untuk : a)
tempat kaum muslimin beribadat dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, b) tempat kaum
muslimin beri’tikaf, membersihkan diri, menggembleng batin untuk membina kesadaran dan
mendapatkan pengalaman batin/ keagamaan sehingga selalu terpelihara keseimbangan jiwa dan
raga serta keutuhan kepribadian, c) tempat musyawarah kaum muslimin guna memecahkan
persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat, d) tempat kaum muslimin berkonsultasi,
mengajukan kesulitan-kesulitan, meminta bantuan dan pertolongan.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Konsep Bentuk & Massa Bangunan Masjid Al-Safar

Masjid Al-Safar berada pada tempat peristirahatan jalan Tol Cipularang pada kilometer ke-
88. Masjid Al-Safar merupakan hasil karya rancangan yang dibuat oleh Ridwan Kamil yang
pembangunannya dimulai dari tahun 2014 dan diresmikan pada tahun 2017, serta bekerja sama
dengan perusahaan pihak ketiga untuk penyediaan sarana pendukung masjid seperti tempat wudhu,
toilet, kantor DKM, dan sebagainya. Total luas lahan yang menjadi kawasan area masjid mencapai
6 hektar, dengan luas bangunan masjid Al-Safar itu sendiri mencapai 1.4 hektar. Masjid Al-Safar
mampu mengakomodasi 1200 jamaah yang ingin beribadah pada masjid.

Masjid Al-Safar

Masjid Al-Safar mendapatkan banyak kritik negatif dari masyarakat karena bentuknya
yang dianggap jauh dari citra “islami” dan dikaitkan dengan teori konspirasi mengenai illuminati
dan sebagainya. Respon masyarakat didasarkan dari bentukan yang menyerupai segitiga yang
banyak digunakan pada elemen-elemen arsitektural masjid Al-Safar. Bentukan masjid Al-Safar
didapat dari hasil eksplorasi bentuk dengan teknik arsitektur lipatan yang terlihat dari bentukan
bangunan dengan sudut-sudut runcing. Ide-ide berani yang dimanifestasikan pada masjid yang
tidak konvensional, muncul dari pemikiran Ridwan Kamil yang cenderung dekonstruksi terhadap
tipologi masjid pada umumnya. Dekonstruksi tipologi masjid dapat dilihat dari bentuk utama
bangunan masjid serta ruang dalam yang terjadi pada interior masjid.
Pemikiran dekonstruksi tampak pada bentuk masjid yang tidak mengikuti tipologi masjid
tradisional, yaitu yang cenderung simetris, memiliki denah dasar persegi atau persegi panjang,
memiliki axis yang tegas orientasinya kearah barat dengan konfigurasi bangunan disusun antara
mengikuti axis tersebut atau memiliki axis sendiri yang tegak lurus dengan axis barat. Masjid Al-
Safar tidak mengikuti tipologi tersebut dan membawa suatu hal yang baru dan mencoba
menginterpretasikan kembali apa itu bangunan masjid. Masjid Al-Safar memiliki bentukan
geometri yang sangat dinamis dan tidak terikat oleh axis barat timur, yang ditunjukan oleh massa
bangunan dan tatanan lansekap kawasan. Namun meskipun masjid Al-Safar dirancang dengan
pemikiran dekonstruksi yang kembali mempertanyakan apakah sebuah masjid harus mengikuti
tipologi bentuk yang sudah ada, masjid Al-Safar tetap memiliki tipologi ruang fungsi seperti
sebuah masjid pada umumnya.

Bentuk masjid Al-Safar sangat berbeda dengan masjid pada umumnya. Apabila masjid
konvensional pada umumnya berbentuk persegi panjang dengan bentukan geometris dasar yang
simpel namun dihiasi oleh ornamen, masjid Al-Safar justru mengekspresikan bentuk bangunan
dengan cara yang bertolak belakang sepenuhnya. Kesan bangunan masjid datang dari bentukan
dasar bangunan dan sangat minim ornamen yang menghiasi bagian luar bangunan. Bentukan
massa bangunan masjid Al-Safar hampir terkesan organik dengan sudut-sudut bangunan yang
berani dan dinamis, apabila dibandingkan dengan masjid konvensional dengan geometris dasar.

Masjid Al-Safar terbagi menjadi dua massa bangunan yang serupa dengan masjid
konvensional pada umumnya. Massa bangunan masjid terbagi menjadi dua yaitu bangunan masjid
utama dengan menara masjid. Namun menara pada masjid Al-Safar tidak seperti menara masjid
pada umumnya yang digunakan untuk mengumandangkan adzan dengan speaker yang ditaruh
diujung menara. Menara pada masjid Al-Safar tidak memiliki speaker dan terlihat hanya berfungsi
sebagai elemen estetis pelengkap bangunan saja. Kedua massa bangunan digabungkan oleh massa
konektor dengan ketinggian bangunan yang cenderung rendah. Pada konektor bangunan diberikan
fungsi kamar mandi umum dan tempat wudhu. Bentukan menara dan bangunan masjid utama
terlihat serasi dan harmonis karena memiliki bahasa desain yang sama, yang datang dari eksplorasi
bentuk arsitektur lipat. Keharmonisan komposisi massa bangunan juga didukung oleh penggunaan
material yang serupa yaitu cladding ACP pada bagian kulit bangunan.
3.2 Pemilihan Material

Cladding ACP Masjid

Kulit bangunan masjid dan menara menggunakan material cladding ACP dengan warna
abu-abu dan broken white pada bagian menara masjid. Penggunaan material ACP dengan warna
abu pada dasarnya sangat cocok apabila melihat lokasi tempat masjid dibangun dan kekurangan
material ACP pada bangunan. Masjid Al-Safar terletak pada area peristirahatan jalan Tol
Cipularang, sehingga polusi udara yang datang dari asap kendaraan dan debu pada kawasan relatif
lebih tinggi apabila dibandingkan dengan area lain. Hal ini menyebabkan bangunan akan lebih
cepat kotor dan akan memperlukan maintenance yang ekstensif apabila dibangun dengan kulit
bangunan yang berwarna cerah dan material yang sulit dibersihkan. Namun material ACP pada
masjid memberikan kemudahan maintenance bangunan dari aspek kebersihan.

Menara Masjid
Kulit bangunan dengan material ACP merupakan keputusan yang tepat dari aspek
maintenance bangunan. Namun, kesan bangunan yang dihasilkan dari penggunaan material tidak
terkesan sakral dan suci seperti masjid pada umumnya. Kesucian dan kemurnian terhubung erat
dengan warna putih yang murni dan cerah. Warna abu-abu merupakan hasil pencampuran warna
putih dengan warna hitam. Warna yang dipakai pada masjid tidak melambangkan kesucian dan
terkesan kusam, terutama pada cuaca mendung atau pada malam hari. Warna broken white yang
digunakan pada bagian menara masjid menjadi terkesan “tanggung” dengan komposisi bentuk
bangunan yang ada.

3.3 Pendekatan Bangunan & Aksesibilitas pada Tapak

Pengunjung yang datang mengunjungi masjid Al-Safar pasti menggunakan kendaraan


bermotor karena lokasi masjid yang terletak pada area peristirahatan jalan tol. Area parkir
kendaraan pengunjung berada pada sisi selatan masjid Al-Safar. Area parkir terhubung dengan
foodcourt dan area peristirahatan jalan tol. Pengunjung yang datang dari area parkir disambut
dengan menara masjid pada sisi depan masjid Al-Safar. Bangunan masjid terlihat menyatu dengan
latar belakang pegunungan, hal ini disebabkan oleh bentuk bangunan yang miring menukik masuk
ketanah dan dipadukan dengan warna abu gelap pada kulit bangunan. Bangunan masjid terlihat
seperti bagian dari gunung pada latar belakang tapak.

Akses Utatma Masjid


Terdapat dua akses masuk menuju masjid Al-Safar yang tersedia pada tapak masjid. Akses
satu terletak dari tengah tapak pada sisi kiri menara masjid. Akses tersebut langsung terhubung
dengan area teras depan masjid. Namun, akses jalan ini tidak memiliki flow aktivitas pengunjung
yang nyaman. Hal ini disebabkan karena letak posisi wc dan ruang wudhu yang tidak satu alur
dengan sirkulasi pengunjung yang mau memasuki masjid. pengunjung yang datang dari akses ini
harus terlebih dahulu belok ke kanan menjauhi masjid, memasuki area wudhu, berwudhu,
kemudian kembali ke jalan utama dan memasuki masjid. Hal ini menyebabkan flow sirkulasi
pengunjung menjadi tidak efektif.

Akses Sekunder

Akses Sekunder Masjid


Akses kedua terletak pada sisi timur masjid disebelah kanan menara masjid. Akses ini
datang melalui sisi area wc dan berwudhu lalu memasuki area teras, lalu masuk kedalam area
masjid. Akses kedua terasa tidak menunjukan kemegahan serta kesakralan masjid, karena
pengunjung disambut oleh wc dan tempat wudhu. Aksesibilitas masjid baik pada akses satu
ataupun akses dua, tidak efektif dan tidak memberikan suasana yang sakral dan suci. Hal ini
disebabkan karena peletakan ruang penunjang wc dan tempat wudhu yang tidak selaras dengan
flow sirkulasi pengunjung yang masuk. Bentuk masjid Al-Safar merupakan bentukan yang datang
dari dekonstruksi tipologi masjid konvensional dan mencoba membawa interpretasi baru akan
bentuk sebuah masjid sebagai bangunan keagamaan. Namun pendekatan jalur sirkulasi
pengunjung dan aksesibilitas bangunan tidak memberikan view massa bangunan yang jelas kepada
pengunjung. Pengunjung yang datang mengunjungi masjid Al-Safar tidak bisa melihat
keseluruhan bangunan dari jalur sirkulasi yang disediakan karena bangunan masjid terhalang
dengan bangunan lain serta vegetasi pada tapak.

3.4 Orientasi Masjid

Massa bangunan masjid Al-Safar sangat berbeda dengan masjid konvensional. Tipologi
masjid konvensional yang ada di indonesia pada umumnya mengambil bentuk dasar persegi yang
terelihat dari denah bangunan, dengan axis yang menghadap barat dan tegak lurus dengan sisi
persegi bangunan. Mimbar terletak pada bagian tengah di sisi depan masjid, sementara akses utama
masjid terdapat pada sisi timur dan satu axis dengan mimbar masjid. Fungsi ruang penunjang
masjid seperti wc dan tempat wudhu berada di samping masjid.

Denah Masjid Konvensional


Masjid Al-Safar memiliki denah dengan bentuk dasar persegi yang mengalami distorsi dan
orientasi ruang dalam yang diputar 45 derajat dari tipologi masjid konvensional. Hal ini
menyebabkan denah masjid yang berbentuk ketupat dan ruang mimbar masjid menjadi terletak
pada sudut ruangan masjid. ruang aktivitas ibadah masjid menjadi berbentuk segitiga yang terbelah
oleh jalur sirkulasi masuk. Jalur sirkulasi tersebut juga menjadi pemisah antara ruang ibadah untuk
laki-laki dan perempuan yang harus dipisah dalam agama islam. Ruang dalam masjid diberikan
lantai mezzanine untuk menambah kapasitas ruang ibadah dalam masjid.

Akses pada masjid konvensional pada umumnya menghadap langsung kepada mimbar dan
sejajar dengan axis barat dari masjid. Namun pada masjid Al-Safar, akses utama masjid menyerong
dari aksis utama bangunan sehingga memberikan kesan dinamis pada bangunan. Namun dengan
banyaknya sudut-sudut baru yang tidak memiliki acuan pada bangunan masjid juga memberikan
kesan berantakan pada ruang dalam serta ruang luar masjid Al-Safar.

Orientasi Masjid Al-Safar

3.5 Ruang Dalam Masjid

Masjid Al-Safar memiliki tampilan ruang dalam yang modern dan futuristik. Tidak seperti
masjid pada umumnya, masjid Al-Safar tidak memiliki banyak ornamen islami baik pada bagian
luar maupun bagian dalam bangunan. Ornamen yang digunakan masjid hanya terdapat pada bagian
mimbar yang menunjukan simbolsme lafadz Allah yang digantung dari plafon dengan dua buah
pipa besi. Ornamen tersebut terletak diatas tempat imam dan mimbar sehingga sangat mencolok
dan menonjol dan menjadikan titik tersebut sebagai pusat orientasi ruangan dalam masjid Al-Safar.
Masjid Al-Safar memiliki orientasi ruang yang diputar 45 derajat sehingga ruang mimbar
dan imam terletak pada pojok ruangan. Selain itu, dinding pelingkup masjid memiliki kemiringan
ke sisi dalam ruang sehingga ruang mimbar memiliki bentuk geomteri trapesium atau segitiga yang
terpenggal. Sisi belakang ruang mimbar dibuat bukaan dengan menggunakan kaca untuk
memasukan pencahayaan alami pada area mimbar. Hal ini juga menyebabkan area mimbar terlihat
bercahaya ketika malam hari karena kaca yang digunakan cukup transparan dari luar ruangan.

Penggunaan kaca pada sisi belakang mimbar memberikan kesan megah pada area imam
dan mimbar. Dipadukan dengan pencayahaan dalam ruang masjid yang terletak pada sisi dan
plafon bangunan, pencahayaan dalam ruang terlihat mengarah dan berakhir pada area mimbar
sebagai hierarki ruang dalam masjid Al-Safar.

Ruang Mimbar dan Imam Masjid Al-Safar

Ruang dalam masjid terbagi menjadi dua, yaitu ruang ibadah laki-laki dan perempuan.
Ruang dalam terbagi oleh jalur sirkulasi dari pintu akses masjid dan ramp akses kepada ruang
mezzanine. Ruang ibadah dalam masjid berorientasi menghadap sisi barat yang satu axis dengan
mimbar dan area imam pada masjid. Namun area ibadah perempuan terhalang oleh ramp akses
mezzanine yang terletak ditengah ruangan. Akses menuju lantai dua pada masjid konvensional
pada umumnya diletakan pada koridor luar sehingga tidak mengganggu aktivitas dan view ruang
ibadah, namun pada masjid Al-Safar sirkulasi diletakan ditengah dan membelah ruangan aktivitas
ibadah jemaah.
Ramp Sirkulasi Mezzanine

Mimbar dan tempat imam merupakan salah satu ruang yang paling penting dalam masjid.
Area jemaah semuanya berorientasi kepada area imam dan menunjukan imam sebagai hiearki
dalam ruang masjid. Sehingga seharusnya area mimbar ditinggikan kebereadaannya baik pada
ruang dalam maupun pada ruang luar. Pada ruang dalam area mimbar terlihat megah dan sakral
dengan penggunaan pencayahaan alami dan buatan yang diatur sehingga area mimbar menjadi
hierarki ruang pada masjid Al-Safar. Namun bentukan yang ditunjukan oleh area mimbar pada
bagian luar masjid tidak terlihat sebagai suatu ruang yang memiliki hierarki tertinggi pada
bangunan. Proporsi ruang mimbar pada bangunan terlihat sangat kecil dan terkesan seperti ekor
bangunan saja. Ruang mimbar memiliki bentuk yang terkesan hanya sebuah adisi yang dilakukan
pada bangunan, bukan sebagai hierarki yang merupakan orientasi dari ruang ibadah dalam masjid.
Sehingga, terjadi kontras yang tidak harmonis antara ruang dalam dan ruang luar dari masjid Al-
Safar. Pada ruang dalam, area mimbar ditinggikan dengan penataan tata ruang dan pencahayaan,
namun pada ruang luar bentuk area mimbar dan imam hanya berupa adisi pada bangunan secara
keseluruhan.

Bentuk Luar Ruang Mimbar dan Imam Masjid


BAB IV

KESIMPULAN – DEKONSTRUKSI DAN INTERPRETASI MASYARAKAT

Masjid Al-Safar mendapatkan bentuknya dari eksplorasi arsitektur lipat dan pemikiran
dekonstruksi dari tipologi masjid konvensional Indonesia. Dekonstruksi tipologi masjid terlihat
pada masjid Al-Safar dari tatanan massa dan ruang yang terjadi pada masjid. Ruang masjid Al-
Safar memiliki bentuk dasar yang berbentuk seperti ketupat dan orientasi ruang yang diputar 45
derajat apabila dibandingkan dengan tipologi masjid konvensional. Perancangan desain masjid Al-
Safar memunculkan pertanyaan dan pemikiran baru akan tipologi masjid serta interpretasi
perancang akan apa itu ruang sakral dan suci dari suatu masjid. Sehingga pengunjung yang datang
juga akan ikut berpikir mengenai maksud dan intensi perancang masjid mengenai pemilihan
bentuk dan ekspresi bangunan yang dipakai pada masjid Al-Safar.

Dekonstruksi dari tipologi masjid konvensional memunculkan pemikiran baru pada


masyarakat baik yang mendukung maupun yang menolak keberadaan masjid tersebut. Namun
pada kasus masjid Al-Safar, terjadi reaksi yang besar dari masyarakat. Salah satu penyebabnya
adalah karena masjid merupakan bangunan yang penting dan sensitif dengan kehidupan
masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama muslim. Desain masjid yang dihasilkan sangat
berbeda dengan bentukan masjid yang sudah biasa dilihat oleh masyarakat. Dengan geometris
yang dinamis dan sudut sudut lancip, respon masyarakat terbagi kedalam yang menyukai dan
membenci hasil rancangan masjid Al-Safar.

Bentuk bangunan masjid Al-Safar tidak seperti masjid pada umumnya, bahkan bentuk luar
masjid Al-Safar tidak menyerupai masjid sama sekali. Bangunan masjid terlihat seperti sebuah
gundukan abu-abu yang menyatu dengan lansekap kawasan. Bentuk massa yang digunakan oleh
masjid Al-Safar bisa saja diisi dengan fungsi lain seperti museum atau convention hall dan akan
masih cocok, karena bantuk bangunan tidak mencerminkan fungsi masjid yang terjadi didalamnya.

Ruang dalam masjid Al-Safar memiliki kesan yang berbeda dengan masjid konvensional
namun masih menunjukan fungsi ruang ibadah yang berorientasi ke arah barat seperti masjid pada
umumnya. Perbedaan terletak dari pemilihan ekspresi sakral ruang ibadah terutama pada mimbar
dan area imam masjid. Area mimbar menggunakan bentuk trapesium yang menyerupai segitiga
terpenggal dan disertai dengan ornamen lafadz Allah pada bagian atasnya.
Pada bangunan yang sarat akan nilai keagamaan dan kebudayaan seperti masjid,
perancangan desain harus menyadari kondisi masyarakat setempat dan pola pikir masyarakat yang
ada. Karena bentukan yang dihasilkan dan ditunjukan kepada masyarakat akan mendapatkan
interpretasi yang berbeda dari masing-masing orang. Bentuk yang digunakan pada area mimbar
merupakan salah satu aspek masjid yang paling mendapatkan kritisi negatif dari masyarakat luas.
Bentuk mimbar dikatakan menyerupai simbolisme “illuminati”, sebuah komunitas rahasia yang
dipercaya menguasai dunia, memiliki pengaruh yang kuat, serta kekuatan politik tertinggi. Opini
masyarakat yang didasarkan pada teori-teori konspirasi pada dasarnya sangat bias dan merupakan
opini yang tidak teredukasi, karena masyarakat awam tidak memiliki pengetahuan arstitektur
untuk dapat mengkomprehensi intensi perancang pada masjid Al-Safar. Sehingga, disinilah peran
arsitektur muncul sebagai sarana edukasi masyarakat melalui bentuk arsitektur yang baru.

Arsitektur bisa menjadi sarana edukasi masyarakat tentang tipologi masjid dan bagaimana
sebuah ruang ibadah bisa diinterpretasikan kepada bentuk yang berbeda-beda. Bentuk dan
geometris yang digunakan pada ruang masjid Al-Safar sebenarnya merupakan bentuk geometris
sakral yang banyak digunakan untuk menunjukan suatu ruang yang suci dan ditinggikan. Bentuk
segitiga adalah bentuk yang banyak digunakan pada ruang keagamaan, ruang yang disucikan, atau
ruang yang menunjukan kepercayaan dan ketuhanan. Pada arsitektur vernakular indonesia, bentuk
segitiga pada ruang atap banyak digunakan untuk membuat suatu ruang yang disucikan karena
dipercaya akan menjadi tempat tinggal para leluhur penghuni. Bentuk segitiga juga muncul pada
tatanan massa candi borobudur yang menyerupai gunung (segitiga). Sehingga, masjid dalam opini
penulis bentukan ruang dalam masjid Al-Safar masih sejalan dengan fungsi ruang ibadah dari suatu
masjid, perbedaan hanya terletak pada cara interpretasi perancang terhadap kesakralan suatu ruang
ibadah. Namun bentuk luar dari masjid Al-Safar tidak menunjukan dan mencerminkan fungsi
masjid sama sekali, sehingga dinilai kurang cocok untuk menggunakan bentuk seperti itu untuk
sebuah bangunan dengan fungsi masjid.

Anda mungkin juga menyukai