Ulumul Hadits Kel. 4
Ulumul Hadits Kel. 4
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam sejarah perkembangan Hadits, mulai pengumpulan hadits pada masa Nabi
Muhammad hingga pembukuannya mengalami banyak kendala, diantaranya banyaknya hadits
palsu yang diedarkan dengan alasan kepentingan baik pribadi maupun politik/kelompok.
Sehingga filterasi perlu dilakukan oleh para Ulama' Hadits yang dapat dipertanggungjawabkan
ke dhabitannya dan keadilannya. Dalam sejarah perkembangan Hadits juga terdapat beberapa
kelompok yang menolak Hadits dengan Alasan mereka masing-masing.
Oleh beberapa komunitas dalam peradaban, terutama umat Islam, Hadits adalah segala perkataan
Nabi, segala perbuatan beliau, segala taqrir (pengakuan) beliau dan segala keadaan beliau.
Sebagai sebuah teks, Hadits merupakan penuntun umat Islam. Segala perkataan Nabi, segala
perbuatan beliau, pengakuan dan segala keadaan beliau dicatatkan di dalamnya. Walaupun
begitu, disamping berbahasa arab tidak dipungkiri kualitas Hadits ada tiga, yakni Hadits shahih,
Hadits Hasan, dan Hadits Dha’if. Sehingga kita tidak bisa sembarangan dalam mengeluarkan
Hadits, untuk itu bagi orang awam untuk memahaminya perlu memperhatikan terlebih dahulu
apa Hadits tersebut Hadits Shahih atau malah Hadits Dha’if.
Dalam makalah ini kami akan memaparkan beberapa hal yang erat kaitannya untuk
memahami Inkar Al-Sunnah. Yaitu kami akan memaparkan mengenai inkar Al-Sunnah,
sejarahnya, argumen, dan bantahan ulama.
Inkar sunnah terdiri dari dua kata yaitu Inkar dan Sunnah. Inkar, menurut bahasa, artinya
“menolak atau mengingkari”, berasal darikata kerja, ankara-yunkiru. Sedangkan Sunnah,
menurut bahasa mempunyai beberapa arti diantaranya adalah, “jalan yang dijalani, terpuji atau
tidak,” suatu tradisi yang sudah dibiasakan dinamai sunnah, meskipun tidak baik. Secara definitif
Ingkar al-Sunnah dapat ddiartikan sebagai suatu nama atau aliran atau suatu paham keagamaan
dalam masyarakat Islam yang menolak atau mengingkari Sunnah untuk dijadikan sebagai
sumber san dasar syari’at Islam.
Secara bahasa pengertian hadits dan sunnah sendiri terjadi perbedaan dikalangan para
uama, ada yang menyamakan keduanya dan ada yang membedakan. Pengertian keduanya akan
disamakan seperti pendapat para muhaditsin, yaitu suatu perkataan, perbuatan, takrir dan sifat
Rauslullah saw. Sementara Nurcholis Majid berpendapat bahwa yang terjadi dalam sejarah Islam
hanyalah pengingkaran terhadap hadits Nabi saw, bukan pengingkaran terhadap sunnahnya.
Norcholis Majid membedakan pengertian hadits dengan Sunnah. Sunnah menurut beliau adalah
pemahaman terhadap pesan atau wahyu Allah dan teladan yang diberikan Rasulullah dalam
pelaksanaannya yang membentuk tradisi atau sunnah. Sedangkan hadits merupakan peraturan
tentang apa yang disabdakan Nabi saw. atau yang dilakukan dalam praktek atau tindakan orang
lain yang di diamkan beliau (yang diartikan sebagai pembenaran).
Kata “Ingkar Sunnah” dimaksudkan untuk menunjukkan gerakan atau paham yang timbul
dalam masyarakat Islam yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber kedua hukum Islam.
Menurut Imam Syafi’I, Sunnah Nabi saw ada tiga macam:
1. Sunnah Rasul yang menjelaskan seperti apa yang din ask-an oleh Alqur’an.
2. Sunnah Rasul yang menjelaskan makna yang dikehendaki oleh Alqur’an. Mengenai
kategori kedua ini tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama.
3. Sunnah Rasul yang berdiri sendiri yang tidak ada kaitannya dengan Alqur’an
2.2 Sejarah, Argumen, dan Bantahan Ulama Inkar Al-Sunnah
Pertanda munculnya “Ingkar Sunnah” sudah ada sejak masa sahabat, ketika Imran bin
Hushain (w. 52 H) sedang mengajarkan hadits, seseorang menyela untuk tidak perlu
mengajarkannya, tetapi cukup dengan mengerjakan al-Qur’an saja. Menanggapi pernyataan
tersebut Imran menjelaskan bahwa “kita tidak bisa membicarakan ibadah (shalat dan zakat
misalnya) dengan segala syarat-syaratnya kecuali dengan petunjuk Rasulullah saw. Mendengar
penjelasan tersebut, orang itu menyadari kekeliruannya dan berterima kasih kepada Imran.
Sikap penampikan atau pengingkaran terhadap sunnah Rasul saw yang dilengkapi dengan
argumen pengukuhan baru muncul pada penghujung abad ke-2 Hijriyah pada awal masa
Abbasiyah.
Di Indonesia, pada dasawarsa tujuh puluhan muncul isu adanya sekelompok muslim yang
berpandangan tidak percaya terhadap Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dan tidak
menggunakannya sebagai sumber atau dasar agama Islam. Pada akhir tujuh puluhan, kelompok
tersebut tampil secara terang-terangan menyebarkan pahamnya dengan nama, misalnya, Jama’ah
al-Islamiah al-Huda, dan Jama’ah al-Qur’an dan Ingkar Sunnah, sama-sama hanya menggunakan
al-Qur’an sebagai petunjuk dalam melaksanakan agama Islam, baik dalam masalah akidah
maupun hal-hal lainnya. Mereka menolak dan mengingkari sunnah sebagai landasan agama.
Imam Syafi’i membagi mereka kedalam tiga kelompok, yaitu :
Dilihat dari penolakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kelompok pertama dan
kedua pada hakekatnya memiliki kesamaan pandangan bahwa mereka tidak menjadikan Sunnah
sebagai hujjah. Para ahli hadits menyebut kelompok ini sebagai kelompok Inkar Sunnah.
Argumen kelompok yang menolak Sunnah secara totalitas. Banyak alasan yang
dikemukakan oleh kelompok ini untuk mendukung pendiriannya, baik dengan mengutip ayat-
ayat al-Qur’an ataupun alasan-alasan yang berdasarkan rasio. Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang
digunakan mereka sebagai alasan menolak sunnah secara total adalah surat an-Nahl ayat 89 :
ﻮﻨﺰﻠﻨﺎ ﻋﻠﻳﻚ ﺍﻠﮑﺘﺎﺏ ﺘﺑﻴﺎﻨﺎ ﻠﮑﻞ ﺸﺊ
“Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu….”
Kemudian surat al-An’am ayat 38 yang berbunyi:
...ﻤﺎﻓﺮﻄﻨﺎ ﻔﻰ ﺍﻠﺘﺎﺐ ﻤﻦ ﺷﺊ...
“…Tidaklah kami alpakan sesuatu pun dalam al-Kitab…Menurut mereka kepada ayat tersebut
menunjukkan bahwa al-Qur’an telah mencakup segala sesuatu yang berkenaan dengan ketentuan
agama, tanpa perlu penjelasan dari al-Sunnah. Bagi mereka perintah shalat lima waktu telah
tertera dalam al-Qur’an, misalnya surat al-Baqarah ayat 238, surat Hud ayat 114, al-Isyra’ ayat
78 dan lain-lain.
Adapun alasan lain adalah bahwa al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa Arab yang baik
dan tentunya al-Qur’an tersebut akan dapat dipahami dengan baik pula.
Argumen kelompok yang menolak hadits Ahad dan hanya menerima hadits Mutawatir.
Untuk menguatkan pendapatnya, mereka menggunakan beberapa ayat al-Qur’an sebagai dallil
yaitu, surat Yunus ayat 36:
ﻮﺍﻦ ﺍﻠﻈﻦ ﻻﻴﻐﻨﻰ ﻤﻦ ﺍﻠﺤﻖ ﺸﻴﺌﺎ
“…Sesungguhnya persangkaan itu tidak berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”.
Berdasarkan ayat di atas, mereka berpendapat bahwa hadits Ahad tidak dapat dijadikan
hujjah atau pegangan dalam urusan agama. Menurut kelompok ini, urusan agama harus
didasarkan pada dalil yang qath’I yang diyakini dan disepakati bersama kebenarannya. Oleh
karena itu hanya al-Qur’an dan hadits mutawatir saja yang dapat dijadikan sebagi hujjah atau
sumber ajaran Islam.
http://a2dcollection.blogspot.com/2017/03/ingkar-sunnah-sejarah-dan-pendapat-para.html
https://ahmadbinhanbal.wordpress.com/2010/07/02/inkar-sunnah/