html
Menurut bahasa, tanatologi berasal dari kata thanatos (yang berhubungan dengan kematian)
dan logos (ilmu). Sedangkan menurut istilah tanatologi adalah ilmu yang mempelajari
tentang kematian dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor yang
mempengaruhi perubahan tersebut. Sedangkan tanatologi sendiri adalah bagian dari Ilmu
kedokteran forensik yang mempelajari tentang hal-hal yang ada hubungannya dengan
kematian dan perubahan yang terjadi setelah seseorang mati dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.1,2
Ada 3 manfaat tanatologi, yaitu :
1. Menetapkan hidup atau matinya korban. Hal ini dapat diketahui dengan adanya tanda-
tanda kehidupan atau tanda-tanda kematian. Tanda-tanda kehidupan dapat kita nilai dari
masih aktifnya siklus oksigen (O2) yang berlangsung dalam tubuh korban. Sebaliknya,
tidak aktifnya siklus oksigen (O2) menjadi tanda-tanda kematian. Ada 3 sistem yang
berperan dalam siklus oksigen dan membantu kita mendeteksi hidup matinya seseorang,
yaitu : Sistem saraf, terutama medulla oblongata sebagai pusat vital. Sistem kardiovaskuler,
yaitu jantung sebagai pemompa darah dan denyut nadi sebagai transpor oksigen. Sistem
pernapasan (respiratorius system), terutama paru-paru sebagai tempat pertukaran oksigen
(oxygen exchange).
2. Memperkirakan lama kematian korban.
3. Menentukan wajar atau tidak wajarnya kematian korban. 1
Stadium Kematian
Pada intinya stadium kematian ada 2 stadium yaitu stadium kematian somatik / kematian
klinis / kematian sistemik, dan kematian seluler / kematian molekuler, akan tetapi stadium
kematian juga dibagi menjadi 5 stadium sebagai berikut :
1. Kematian somatik / kematian klinis / kematian sistemik adalah berhentinya fungsi sistem
saraf, sistem kardiovaskuler, dan sistem pernapasan secara irreversibel sehingga
menyebabkan terjadinya anoksia jaringan yang lengkap dan menyeluruh. Jadi stadium
kematian ini telah sampai pada kematian otak yang irreversibel (brain death irreversible).
Secara klinis tidak ditemukan refleks-refleks, EEG mendatar, nadi tidak teraba, denyut
jantung tidak terdengar, tidak ada gerakan pernafasan dan suara pernafasan tidak terdengar
pada auskultasi.
2. Kematian seluler / kematian molekuler adalah berhentinya aktivitas sistem jaringan, sel,
dan molekuler tubuh, sehingga terjadi kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul
beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan hidup masing-masing organ atau
jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap organ atau jaringan
tidak bersamaan, hal ini penting dalam transplantasi organ. Sebagai gambaran dapat
dikemukakan bahwa susunan saraf pusat mengalami mati seluler dalam empat menit, otot
masih dapat dirangsang (listrik) sampai kira-kira dua jam paska mati dan mengalami mati
seluler setelah empat jam, dilatasi pupil masih terjadi pada pemberian adrenalin 0,1 persen
atau penyuntikan sulfas atropin 1 persen kedalam kamera okuli anterior, pemberian
pilokarpin 1 persen atau fisostigmin 0,5 persen akan mengakibatkan miosis hingga 20 jam
paska mati. Kulit masih dapat berkeringat sampai lebih dari 8 jam paska mati dengan cara
menyuntikkan subkutan pilokarpin 2 persen atau asetil kolin 20 persen, spermatozoa masih
dapat bertahan hidup beberapa hari dalam epididimis, kornea masih dapat
ditransplantasikan dan darah masih dapat dipakai untuk transfusi sampai enam jam pasca-
mati.
3. Mati suri (suspend animation, apparent death) adalah terhentinya ketiga sistem
penunjang kehidupan yang ditentukan oleh alat kedokteran sederhana.Dengan alat
kedokteran yang canggih masih dapat dibuktikan bahwa ketiga sistem tersebut masih
berfungsi.Mati suri sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur, tersengat aliran
listrik dan tenggelam.
4. Mati serebral adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang ireversibel, kecuali batang otak
dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu sistem pernafasan dan kardiovaskuler
masih berfungsi dengan bantuan alat.
5. Mati otak (batang otak) adalah bila terjadi kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial
yang ireversibel, termasuk batang otak dan serebelum.Dengan diketahuinya mati otak (mati
batang otak), maka dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan
hidup lagi, sehingga alat bantu dapat dihentikan.1,2
Cara Mendeteksi Kematian
Perubahan dapat terjadi dini pada saat meninggal atau beberapa menit kemudian, misalnya
kerja jantung dan peredaran darah terhenti, pernafasan berhenti, refleks cahaya dan kornea
mata hilang, kulit pucat, terjadi relaksasi otot. Akan tetapi setelah beberapa waktu timbul
perubahan pasca mati yang jelas, sehingga memungkinkan diagnosa kematian menjadi
lebih pasti.Tanda-tanda tersebut berupa lebam mayat (livor mortis/ hipostatis/ lividitas
pasca mati), kaku mayat (rigor mortis), penurunan suhu tubuh, pembusukan
(Putrefection/Dekomposisi), mummifikasi, dan adiposera, dan atau perubahan biokimia.1
Ada 3 contoh perubahan biokimia pada fase lanjut post mortem, yaitu :
1. Perubahan plasma, yaitu peningkatan kadar kalium, pospor, CO & asam laktat dan
penurunan kadar glukosa & pH.
2. Perubahan humor vitreus yang berupa peningkatan kadar kalium yang terjadi antara 24
sampai 100 jam post mortem.
3. Perubahan jantung berupa adanya chicken fat clot (bekuan lemak ayam) yaitu bekuan
darah post mortem menyerupai lemak ayam yang berwarna merah kekuningan. Bekuan ini
biasanya kita temukan pada jantung mayat yang mati dengan proses kematian lama. 1
Pada refarat ini akan dibatasi pada tiga tanda kematian algor mortis, rigor mortis dan livor
mortis.
RIGOR MORTIS
Defenisi
Rigor mortis berasal dari bahasa latin Rigor berarti “stiff” atau kaku, dan mortis yang
berarti tanda kematian (sign of death).Rigor mortis merupakan tanda kematian yang
disebabkan oleh perubahan kimia pada otot setelah terjadinya kematian, dimana tanda ini
susah untuk digerakkan dan dimanipulasi.Awalnya, ketika rigor mortis terjadi otot
berkontraksi secara acak dan tidak jelas bahkan setelah kematian somatis.3
Rigor mortis adalah tanda kematian yang dapat dikenali yang berupa kekakuan otot yang
irreversible yang terjadi pada mayat setelah relaksasi primer. Rigor mortis bukan
merupakan fenomena yang khas manusia, karena hewan yang invertebrata dan vertebrata
juga mengalami rigor mortis. Louise pada tahun 1752 adalah orang yang pertama kali
menyatakan rigor mortis sebagai tanda kematian. Lebih spesifik lagi Kusmaul menyatakan
bahwa rigor mortis adalah tanda terjadinya kematian otot yang sesungguhnya kemudian
Nysten tahun 1811 adalah orang yang melengkapi penemuan pertama dari rigor mortis ini.
3,4
Hal-hal yang perlu dibedakan dengan rigor mortis atau kaku jenazah adalah:
1. Cadaveric Spasmus, yaitu kekakuan otot yang terjadi pada saat kematian dan menetap
sesudah kematian akibat hilangnya ATP lokal saat mati karena kelelahan atau emosi yang
hebat sesaat sebelum mati.
2. Heat stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein karena panas sehingga
serabut otot memendek dan terjadi flexi sendi. Misalnya pada mayat yang tersimpan dalam
ruangan dengan pemanas ruangan dalam waktu yang lama.
3. Cold stiffening, yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan yang dingin sehingga terjadi
pembekuan cairan tubuh dan pemadatan jaringan lemak subkutan sampai otot. 5
Pengikatan : Pada gambar, siklus dimulai dari kepala miosin yang kekurangan sebuah
nukleotida yang terikat kuat dengan filamen aktin pada susunan rigor ( disebut demikian
karena hal ini berperan pada rigor mortis). Pada otot yang aktif berkontraksi, kecepatannya
ditentukan oleh ikatan molekul ATP.
Pelepasan: Molekul ATP berikatan dengan potongan yang luas di bagian belakang dari
kepala (atau bagian sisi) dari filament aktin dan memberikan perubahan yang cepat pada
bagian yang merupakan sisi yang berikatan dengan aktin. Hal ini menyebabkan
berkurangnnya afinitas kepala myosin dan dan menyebakannya bergerak sepanjang
filament. (jarak yang ada di sini antara kepala myosin dan aktin memperjelas perubahan
yang terjadi, walaupun pada kenyataannya, kepala myosin sangat dekat dengan aktin).
COCKED : potongan yang tertutup seperti kulit kerang yang mengelilingi molekul ATP,
merangsang perubahan yang luas yang menyebabkan kepala myosin bergeser 5 nm
sepanjang filament. Hidrolisis ATP terjadi, tetapi ADP dan Posfat inorganic (Pi tetap
dihasilkan untuk berikatan dengan protein)
Tenaga Pembangkit : Lemahnya ikatan kepala myosin pada sisi yang baru filament aktin
menyebabkan terlepasnya posfat inorganic yang diproduksi oleh hidrolisis ATP, bersamaan
dengan ikatan yang kuat yang terjadi antara kepala myosin dan aktin. Keadaan ini memicu
perubahan bentuk dari kekuatan serangan dan tenaga pembangkit selama kepala myosin
mendapatkan kembali susunan awalnya. Pada kekutan serangan kepala myosin kehilangan
ADP yang terikat, sehingga kembali ke awal siklus.
Pengikatan : Pada akhir siklus, kepala myosin terikat kembali dengan filament aktin pada
susunan rigor. Sebagai catatan bahwa kepakla myosin telah bergerak ke posisi yang baru
pada filament aktin 9
Waktu Terbentuknya Rigor Mortis
Krompecher dan Fryc pada tahun 1978 menemukan dalam penelitiannya bahwa rigor
mortis yang terjadi pada otot besar dan kecil menunjukan waktu yang sama dalam hal
munculnya yaitu maksimal 4½ jam, dan menetap selama 2 jam dan kemudian terjadi
resolusi sempurna. Hal ini membuktikan bahwa rigor mortis terjadi secara simultan pada
semua otot, sedangkan urutan rigor mortis hanyalah urutan intensitas rigor mortis yang
terukur pada pemeriksaan manual yang kasar. 4
Rigor mortis akan mulai muncul 2 jam postmortem semakin bertambah hingga mencapai
maksimal pada 12 jam postmortem. Kemudian setelah itu akan berangsur-angsur
menghilang sesuai dengan kemunculannya. Pada 12 jam setelah kekakuan maksimal (24
jam postmortem) rigor mortis sudah tidak ada lagi. 3,4
Secara kronologis perubahan penampakan otot dengan mikroskop elektron adalah sebagai
berikut:
a. Rigor mortis baru terbentuk (3 jam post mortem), terdapat gambaran granul pada batas
pita A dan I.
b. Rigor mortis sudah sempurna (6 – 12 jam post mortem), granul pada pta A makin jelas,
pada pita H (miosinsaja) muncul granul yang sama.
c. 24 jam post mortem, granul pada pita A masih jelas, teta[I yang pada pita H sudah
menghilang.
d. 48 jam post mortem, granul sudah menghilang seluruhnya, sebagian miofibril aktin
sudah menghilang pla karena pembuukan. Granul troponin ini merupakan tanda khas rigor
mortis.4
Di daerah tropis, sebelum terjadi relaksasi sekunder biasanya pembusukan telah terjadi.
Pada temperatur panas rigor mortis secara tipikal akan mulai menghilang kurang lebih 36 –
48 jam sesudah kematian. Bila suhu lingkungan tinggi dan kemudianberkembang menjadi
pembusukan, secara menyeluruh rigor mortis dapat menghilang dalam 9 – 12 jam sesudah
kematian. Semakin cepat pembusukan sebagai akibat dari septikemia yang terjadi pada
antemortem dapat menyebabkan semakin cepat menghilangnya rigor mortis Penelitian
Krompecher pada tahun 1981 menujukan bahwa otot yang sudah membusuk dimana rigor
mortis sudah menghilang masih dapat menunjukan cold steiffening bila berada dalam
ruangan bertemperatur 6˚C selama 24 jam, disini dapat dibuktikan bahwa rigor mortis dan
cold steiffening adalah dua hal yang berbeda.4
Penentuan Rigor Mortis
Ada beberapa cara yang dipakai dalam menentukan terjadinya rigor mortis.
1. Pemeriksaan secara manual,: sendi yang sudah kaku diperiksa kekuatannya, sempurna
atau tidak dengan cara memfleksikan atau membuat ekstensi persendian. Karena tidak ada
patokan yang jelas maka pemeriksaan ini bersifat subyektif, sehingga diperlukan waktu
yang cukup dan berhati-hati dalam memeriksanya. Oppenheimer pada tahun 1919
melakukan penelitian terhadap 43 mayat yang diketahui meninggal 8 – 48 jam sebelumnya,
tak berhasil menentukan saat kematian berdasarkan rigor mortis.
2. Alat fiksasi dari kayu yang menempel pada meja. Pemeriksaan rigor mortis ini
merupakan pemeriksaan yang lebih objektif. Mayat ditelungkupkan dengan paha yang
terfiksasi pada meja. Pada daerah lutut terdapat batangan besi yang bersendi dengan alat
fiksasi. Ujung bebasnya terpasang rantai yang dihubungkan dengan neraca per. Neraca per
ini dihubungkan dengan ujung bawah tibia dengan sudut tegak lurus. Pengukuran
dilakukan dengan cara menarik batangan menuju paha sehingga sendi lutut dibengkokan.
Tenaga yang terbaca pada neraca per menunjukan tenaga maksimal yang diperlukan untuk
mengatasi rigor mortis pada penampang paha, yang dikenal sebagai indeks FRR
(Freiburger Rigor Index). Ketepatan pengukuran dengan alat ini adalah sampai 5 Nm.
Dengan pemeriksan pada suhu tertentu akan didapatkan grafik hubungan saat kematian
dengan kekuatan rigor mortis. Sehingga bila diketahui nilai FRR pada kondisi yang sama,
akan dapat diketahui saat kematiannya (Forster) .
3. Pemeriksaan lain yang dapat digunakan untuk melihat terjadinya rigor mortis adalah
dengan menggunakan mikroskop elektron. Pemeriksaan otot rangka dengan menggunakan
mikroskop elektron menunjukan adanya gambaran granul-granul kecil yang menempel
pada aktin dan miosin (terutama jelas pada aktin) pada batas antara pita (band) A dan I.
Sepintas lalu gambaran granul membentuk salib-salib yang berbaris dengan periodisitas
400 Angstrom. Diduga granul tersebut adalah jembatan antara aktin dan miosin pada rigor
mortis. Secara biokimiawi diduga granul tersebut adalah troponin, karena dapat bereaksi
dengan globulin anti troponin. Troponin merupakan reseptor ion kalsium yang berperan
pada mekanisme kontraksi dan relaksasi otot. Bila ion kalsium dilepaskan, aktin dan miosin
mendapat penekanan dan terjadi relaksasi otot. Bila troponin mengikat ion kalsium,
tekanan tadi tidak ada lagi dan otot berkontraksi.4
Rigor mortis yang belum sempurna atau belum mencapai kekakuan maksimal bila
dibengkokkan secara paksa akan melemas dan membengkok tetapi akan kembali kaku pada
posisi terakhir. Sedangkan bila rigor mortis sudah terjadi secara sempurna, diperlukan
tenaga yang besar untuk melawan kekuatan rigor yang menyebabkan robeknya otot dan
dikatakan rigor telah “putus” dan rigor tidak akan timbul kembali sekali dipatahkan oleh
kekuatan. Sehingga Smith mengingatkan agar pemeriksaan rigor mortis dilakukan sebelum
membuka pakaian mayat, karena dengan melakukan manipulasi pada tubuh korban
(membuka pakaian mayat) akan mengubah keadaan rigor mortis.4
Memperkirakan saat kematian dengan menggunakan rigor mortis akan memberikan
petunjuk yang kasar, akan tetapi ini lebih baik dari pada lebam mayat oleh karena
progresifitasnya dapat ditentukan. (polson). Knight, memberikan opininya mengenai rigor
mortis, bagaimanapun juga sangat tidak aman dalam mamperkirakan saat mati dengan
menggunakan rigor mortis. Knight selanjutnya mengatakan bahwa perkiraan saat mati
dengan menggunakan rigor mortis hanya mungkin digunakan sekitar dua hari, bila suhu
tubuh sudah sama dengan suhu lingkungan, tetapi pembusukan belum terjadi. Bila rigor
terjadi sudah menyeluruh, ada suatu perkiraan bahwa ini sudah terjadi kurang lebih dua
hari, tetapi inipun tergantung kondisi lingkungan.4
Kepentingan mediko-legal
Secara medikolegal yang terpenting dari lebam mayat ini adalah letak dari warna lebam itu
sendiri dan distribusinya. Perkembangan dari lebam mayat ini terlalu besar variasinya
untuk digunakan sebagai indikator dari penentuan saat mati. Sehingga lebih banyak
digunakan untuk menentukan apakah sudah terjadi manipulasi posisi pada mayat.4
Kegunaan lebam mayat pada kedokteran forensik yaitu:
1. Merupakan tanda pasti dari kematian.
2. Dapat dipakai untuk menaksir saat kematian.
3. Dapat menentukan apakah posisi jenasah pernah dirubah atau tidak
4. Kadang – kadang dapat untuk menduga sebab kematian.14
2. Pembengkakan
3. Bila ditekan
4. Bila diinsisi / diiris
Sering terdapat
Tidak hilang
Tampak bintik-bintik darah ekstravaskuler
Terdapat
(Dikutip dari kepustakaan 13 &14)
ALGOR MORTIS
Manusia memiliki panas badan yang tetap sepanjang ia dalam keadaan sehat dan tidak
dipengaruhi oleh iklim sekitarnya,halini disebabkan oleh karena mekanisme isiologi alat –
alat tubuh manusia melalui proses oksidasi memproduksi panas tubuh Panas tersebut
diantarkan ke seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah, sedangkan stabilitas panas
tubuh tersebut diatur dan dikendalikan oleh kulit. Jika seseorang mengalami kematian,
maka produksi panas serta pengaturan panas di dalam tubuhnya menjadi berhenti. Dengan
demikian sejak saat kematiannya manusia tidak lagi memiliki suhu badan yang tetap, oleh
karena suhu badannya akan mengalami penurunan (decreasing process).15
Setelah korban mati metabolisme yang memproduksi panas terhenti, sedangkan
pengeluaran panas berlangsung terus sehingga suhu tubuh akan turun menuju suhu udara
atau medium di sekitarnya. Penurunan suhu pada saat –saat pertama kematian sangat
lamban karena masih adanya proses glikogenolisis, tetapi beberapa saat kemudian suhu
tubuh menurun dengan cepat, lalu setelah mendekati suhu lingkungan penurunan suhu
tubuh lambat lagi. Penurunan ini disebabkan oleh adanya proses radiasi, konduksi dan
pancaran panas. 10,12,14
Hilangnya panas melalui konduksi bukan merupakan faktor penting selama hidup, tetapi
setelah mati perlu dipertimbangkan jika tubuh berbaring pada permukaan yang dingin.
Meskipun penurunan suhu tubuh setelah kematian tergantung pada hilangnya panas melalui
radiasi dan konveksi, tetapi evaporasi dapat menjadi faktor yang signifikan jika tubuh dan
pakaian kering.12
Penurunan suhu mayat akan terjadi setelah kematian dan berlanjut sampai tercapainya
suatu keadaan di mana suhu mayat sama dengan suhu lingkungan. Panas yang dilepaskan
melalui permukaan tubuh, dalah hal ini kulit adalah secara radiasi, dan oleh karena tubuh
itu terdiri berbagai lapisan yang tidak homogen, maka lapisan yang berada di bawah kulit
akan menyalurkan panasnya ke arah kulit, sedangkan lapisan tersebut juga menerima panas
dari lapisan di bawahnya. Keadaan tersebut yaitu di mana terjadi pelepasan atau penyaluran
panas secara bertingkat dengan sendirinya membutuhkan waktu.11
Bila telah dicapai suatu keadaan yang dikenal sebagai temperatur gradient, yaitu suatu
keadaan di mana telah terdapat perbedaan suhu yang bertahap diantara lapisan yang
menysun tubuh, maka penyaluran panas di bagian dalam tubuh ke permukaan dapat
berjalan dengan lancar penurunan suhu tubuh mayat akan tampak jelas. Proses
metabolisme sel yang masih berlangsung setelah beberapa saat setelah kematian somatis
dimana juga terbentuk energi, merupakan faktor yang menyebabkan mengapa penurunan
suhu mayat pada jam – jam pertama berlangsung dengan lambat.11
Oleh karena suhu mayat akan terus menurun, maka akan dicapai suatu keadaan dimana
perbedaan antara suhu mayat dengan suhu lingkungan tidak terlalu besar, hal ini
menerangkan mengapa penurunan suhu mayat pada saat mendekati suhu lingkungan
berlangsung lambat.11
Pengukuran suhu mayat dilakukan dengan memasukkan termometer ke dalam rektum, atau
dapat pula ke dalam alat-alat dalam tubuh seperti hati,otak, ang tentunya baru dapat
dilakukan bila dilaukan bedah mayat. Bila yang digunakan adalah termometer air raksa yag
konvensional, maka pembacaan hasil baru dilakukan setelah sekurang-kurangnya 3 menit
tersebut di masukkan ke dalam rektum sedalam 10 semtimeter. Bila yang digunakan adalah
termometer elektronis,maka pembacaan hasil pengukuran dapat dilaukan dengan segera.11
Pengukuran Suhu
Tanda ini sangat berguna sebagai satu-satunya indikator untuk menentukan saat kematian
dalam 24 jam pertama setelah kematian. Dengan catatan bahwa penggunaan suhu tubuh
sebagai batasan untuk menetapkan waktu kematian hanya diterapkan pada suhu dingin dan
iklim tropis , karena di daerah tropis mungkin hanya terjadi penurunan suhu tubuh yang
minimal setelah kematian dan beberapa daerah dengan iklim panas atau ekstrim (seperti
pusat kota Australia). Suhu tubuh meningkat setelah kematian. Dalam penetapan suhu
tubuh, dasar pengukuran yang digunakan untuk mengukur suhu tubuh setelah mati adalah
dengan pengukuran langsung suhu intra abdominal (rektum). Selama masih hidup,
hilangnya panas tubuh manusia melalui radiasi, konveksi dan evaporasi.12
Selama bertahun-tahun para peneliti telah mencoba mengunakan proses pendinginan tubuh
sebagai metode memperkirakan interval postmortem. Tahun 1958, Fiddes dan Patten
mengasumsikan bahwa penurunan suhu mayat mengikuti hukum Newton. Namun,
Marshall mengatakan bahwa penurunan suhu mayat tidak mengikuti hukum Newton, tetapi
membentuk kurva signoid pada pengukuran suhu rektal, dengan penurunan suhu yang
lambat pada awalnya (inisial plateau) sampai 5 jam, lalu terjadi penurunan drastis dan
tajam, menunjukkan pendinginan yang cepat dan akhirnya kurva turun perlahan sedikit
demi sedikit yang biasanya dikaitkan dengan hukum Newton.16
Peneliti lain merasa bahwa rumus yang didapatkan dengan pengukuran beberapa bagian
tubuh dapat lebih diandalkan. Pada tahun 1956, Lyle dan Cleveland melaporkan
pengukuran suhu pada otak, rektum, hati, otot dan kulit pada saat yang bersamaan,
penurunan suhu otak yang paling teratur dan paling curam pada awalnya. Pada tahun 1977,
Simonsen menguatkan temuan Lyle dan Cleveland bahwa pengukuran suhu otak
memberikan akurasi paling besar dalam penentuan saat kematian dibandingkan penurunan
suhu hati, aksila, betis atau rektum. Namun demikian, teknik ini hanya tepat untuk 20 jam
pertama setelah kematian dan Simonsen menekankan bahwa ada 1 faktor yang tidak dapat
diperhitungkan yaitu temperatur pada saat kematian. Terdapat variasi yang sangat besar
yang dapat menyebabkan kekeliruan dalam pengukuran suhu otak. Karena alasan inilah
Simonsen merasakan bahwa untuk penentuan saat kematian selalu disertai dengan
ketidakpastian.16
Penentuan Saat Kematian
Keith Simpson menyatakan bahwa sampai 12 jam setelah kematian suhu mayat akan
menurun rata – rata 1½-2 0F setiap jam apabila mayat berada di daratan dan 3 0F setiap
jam jika mayat berada di air.12 jam hingga 24 jam setelah kematian penurunan suhu akan
menjadi lebih lambat rata – rata sekitar ¾-1 0F setiap jam jika mayat berada di daratan dan
½ 0F jika mayat berada di air. 20 – 24 jam setelah kematian suhu mayat akan mencapai
titik sama dengan suhu udara sekeliling.15
Secara teoretis angka rata – rata penurunan penuruna suhu mayat adalah 1,5 0 setiap jam.
Angka tersebut merupakan angka rata – rata pada umumnya sedangkan ddi dalam praktek
angka rata – rata penurunan suhu tersebut dipengaruhi oleh suhu ubdara sekeliling. Di
daerah dengan suhu udara sekitar 32 0C atau 90 0F seperti Jakarta pada waktu siang hari,
rata – rata penurunan suhu setiap jam adalah 0,31 0C atau 0,55 0F. Di daerah dengan suhu
udara sekitar 30 0C atau 86 0F seperti Jakarta pada waktu sore, rata – rata penurunan suhu
setiap jam adalah 0,34 0C atau 0,61 0F. Di daerah dengan suhu udara sekitar 27,5 0C atau
18,5 0C seperti Bandung, rata – rata penurunan suhu tiap jam 0,71 0C atau 1,28 0F.15
Dari ketiga contoh angka rata – rata penurunan suhu tersebut dapat disimpulkan bahwa
makin rendah suhu udara sekeliling makin besar angka rata – rata penurunan suhunya.
Dengan perkataan lain bahwa makin rendah suhu udara di suatu tempat makin cepat
menurunna suhu mayat. Untuk menentukan saat kematian berdasarkan metode penurunan
suhu maat digunakan rumus sebagai berikut:
Suhu badan normal manusia dikurangi suhu rektal pada waktu korban ditemukan dibagi
angka rata – rata penurunan suhu. Untuk jelasnya penggunaan tersebut, marilah kita
terapkan dengan menggunakan sebuah contoh kasus. Misalkan dikota Bandung terjadi
suatu pembunuhan. Korban ditemukan jam 4 pagi. Pada waktu ditemukan suhu rektalnya
adalah 290C. Karena angka rata - rata penurunan suhu di bandung adalah 0,710C, maka
saat kematian diperkirakan sebagai berikut:
37 – 29 = 11
0,71
Yakni 11 jam sebelum jam 04.00 atau jam 17.00.
Catatan: suhu rektal lebih tinggi sekitar 0,6 0C atau 1 0F dari suhu badan.15
Kalau proses penurunan itu digambarkan dalam bentuk grafik, maka gambarannya akan
seperti sigmoid atau huruf S terbalik. Jika dirata-rata maka penurunan suhu tersebut antara
0,9-1 derajat celsius atau sekitar 1,5 0 F setiap jam, dengan catatan penurunan suhu dimulai
dari 37oC atau 98,4oF. Pengukuran dilakukan perektal dengan menggunakan termometer
kimia yang panjang (long chemical thermometer).10
Berdasarkan doktrin bahwa suhu mayat tidak akan mengalami penurunan lagi setelah
mencapai titik yang sama dengan udara sekeliling, maka sekirana korban meninggal di
daerah yang suhu udaranya lebih tinggi dari suhu udara manusia, seperti di Saudi Arabia,
maka suhu mayat tersebut tidak akan mengalami penurunan, bahkan akan mengalami
kenaikan sampai 40oC atau 50oC sesuai dengan suhu udara di daerah tersebut. Adanya
proses kenaikan suhu disamping proses penurunan suhu haruslah dianggap sebagai suatu
pengecualian,karena pada umumnya yang terjjadi setelah seseorang meninggal adalah
penurunan suhu tubuh. Suhu udara di berbagai tempat di dunia pada umumnya lebih rendah
dari suhu badan dab hanya pada daerah tertentu saja, yakni di gurun pasir, suhu udara lebih
tinggi dari suhu badan.15
Faktor- Faktor yang Mempengaruhi
Faktor-faktor penting yang mempengaruhi kecepatan penurunan suhu mayat, yang perlu
diperhatikan oleh karena menetukan ketepatan perkiraan saat kematian adalah:
a. Suhu tubuh saat kematian :
Suhu tubuh yang tinggi pada saat mati, seperti pada penderita infeksi atau perdarahan otak,
akan mengakibatkan tingkat penurunan suhu menjadi lebih cepat. Sedangkan pada
penderita hipotermi tingkat penuruna akan menjadi sebaliknya.
b. Suhu medium
Semakin rendah medium tubuh mayat berada akan semakin cepat tingkat penurunannya.
Dengan kata lain, semakin besar perbedaan suhu medium dengan suu tubuh mayat,
semakin besar tingkat penurunannya.
c. Keadaan udara di sekitarnya
Pada udara yang lembab, tingkat penurunan suhu menjadi lebih besar. Hal ini disebabkan
karena udara yang lembab merupakan konduktor yang baik. Pada udara yang terus
berembus (ungin) tingkat penurunannya jufga semakin cepat.
d. Jenis Medium:
Pada medium air, tngkat penurunan suhu menjadi lebih cepat sebab air merupakan
onduktor yang baik.
e. Keadaan Tubuh Mayat
Pada mayat bayi, tingkat penurunan suhu lebih cepat dibanding maayat orang dewasa. Hal
ini disebabkan karena pada bayi, luas permukaan tubuhnya relatif lebih besar. Pada mayat
yang tubuhnya kurus, tingkat penurunannya juga cepat dibanding dengan mayat yang
tubuhnya gemuk
f. Pakaian Mayat
Semakin tipis pakaian yang dipakai, senakin cepat tingkat penurunannya. Perlu diketahui
bhwa estimasi saat kematian dengan memanfaatkan penurunan suhu mayat hanya bisa
dilakukan pada kematian kurang dari 12 jam.10,11,14
Adanya pengaruh dari beberapa faktor baik intern maupun ekstern yang mempercepat atau
memperlambat proses penurunan suhu, sama sekali tidaklah mengurangi sifat mudahnya
aplikasi metode algor mortis tersebut dalam praktek.15
DAFTAR PUSTAKA
1. II Muhammad al-Fatih. Tanatologi. Accessed in : April 2008. Available at :
http://www.klinikindonesia.com/forensik.php
4. Basbeth Ferryal. Perkiraan Saat Kematian dan Aspek Medikolegalnya. Jakarta: Bagian
Forensik dan Medikolegal FKUI.2005
http://www.freewebs.com/link_forensik_ku/forensikpatologi.htm
5. "http://id.wikipedia.org/wiki/Kaku_mayat"
6. Dix Jay. Time of Death and Decomposition in : Color atlas of Forensic Phatologhy.
Chapter 1. PDF
7. http://id.wikipedia.org/wiki/Tanatologi"
9. Alberts, Bray, Johnson, etc. Myosin and Actin Model. Garland Publishing: Taylor
Francis Group.
10. Dahlan Sofwan. Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum.
Semarang: Diponegoro. Hal 54-5.
11. Mun’im Abdul,Dr. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama. Jakarta:
Binapura Aksara.1997. Hal 60-2.
12. NN. PostMortem Changes and Time of Death. Departement Of Forensic Medicine,
Unifersity of Dundee
13. Prakoso Djoko, I Ketut Murtika. Dasar – Dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta:
Rineka Cipta. 1992. Hal 16-7.
14. Abdussalam, Dr. Forensik. Jakarta: Restu Agung. 2006. Hal 51-2.
15. Perdana Kusuma, S.H. Bab – Bab Tentang Kedokteran Forensik. Jakarta: Ghalia
Indonesia. 1984. Hal 56-60.
Kaku Mayat
Rigor mortis adalah kekakuan otot yang irreversible yang terjadi pada mayat setelah relaksasi
primer. Rigor mortis bukan merupakan fenomena yang khas manusia, karena hewan yang
invertebrata dan vertebrata juga mengalami rigor mortis. Louise pada tahun 1752 adalah orang
yang pertama kali menyatakan rigor mortis sebagai tanda kematian. Lebih specifik lagi Kusmaul
menyatakan bahwa rigor mortis adalah tanda terjadinya kematian otot yang sesungguhnya.
kemudian Nysten tahun 1811 adalah orang yang melengkapi penemuan pertama dari rigor mortis
ini.
Setelah terjadinya kematian segera akan diikuti oleh relaksasi muskuler secara total yang
dikenal dengan primary muscular flaccidity , pada saat ini sel dan jaringan otot masih hidup dan
masih menunjukan reaksi pengerutan bila mendapat rangsangan mekanis atau listrik. Keadaan
seperti ini disebut reaksi supravital, yaitu suatu keadaan pada mayat yang masih dapat
menghasilkan gambaran intravital. Dengan berlalunya waktu reaksi supravital akan berkurang,
karena makin banyak otot yang mati. Umumnya reaksi supravital berlangsung sangat singkat,
antara 3 – 6 jam setelah kematian (rata-rata 2 – 3 jam) Walaupun demikian reaksi yang jelas
adalah 1 – 2 jam pertama setelah kematian.
Bersamaan dengan menghilangnya reaksi supravital, rigor mortis muncul secara serentak pada
semua otot volunter dan otot involunter. Rigor mortis pada otot kerangka sesungguhnya terjadi
secara simultan pada semua otot, tetapi biasanya lebih nyata dan mudah diamati pada otot-otot
kecil , sehingga sering dikatakan bahwa rigor mortis muncul dari otot-otot kecil berturut-turut ke
otot yang lebih besar dan menyebar dari atas kebawah. Shapiro pada tahun 1950 menganggap
bahwa secara tradisional rigor mortis yang terjadi mulai dari atas ke bawah perlu direvisi, dia
juga bahwa proses rigor mortis adalah proses phsyco-chemical yang terjadi secara spontan
mempengaruhi semua otot sehingga tidak terjadi dari atas kebawah tetapi satu keseluruhan yang
melibatkan sendi-sendi beserta otot-ototnya. (polson)
Krompecher dan Fryc pada tahun 1978 menemukan dalam penelitiannya bahwa rigor mortis
yang terjadi pada otot besar dan kecil menunjukan waktu yang sama dalam hal munculnya yaitu
maksimal 4½ jam, dan menetap selama 2 jam dan kemudian terjadi resolusi sempurna. Hal ini
membuktikan bahwa rigor mortis terjadi secara simultan pada semua otot, sedangkan urutan
rigor mortis hanyalah urutan intensitas rigor mortis yang terukur pada pemeriksaan manual yang
kasar.
Niderkorn`s pada tahun 1872 mengobservasi 113 mayat untuk mengetahui perkembangan rigor
mortis yang terjadi seperti yang biasanya disebutkan pada buku-buku teks, dia mendapatkan
hasilnya adalah sebagai berikut:
Dalam urutan ini, rigor mortis menjadi menyeluruh dalam 14 % kasus dalam 3 jam postmortem dan
presentasi ini meningkat menjadi 72 % dalam 6 jam atau menjadi 90 % dalam 9 jam. Pada 12 jam
postmortem rigor mortis menjadi komplet dalam 98 % kasus. Dengan data yang ada seperti ini, dapat
dimengerti bahwa kutipan-kutipan yang mengatakan bahwa rigor mortis dimulai dalam 6 jam pertama,
menjadi menyeluruh dalam waktu 6 jam, dipertahankan dalam waktu 12 jam dan menghilang dalam waktu 12
jam ini adalah sangat menyesatkan, seperti yang diterapkan di india dan pola seperti ini dikenal dengan Rule
of Twelve.
Rigor mortis yang belum sempurna atau belum mencapai kekakuan maksimal bila dibengkokkan secara
paksa akan melemas dan membengkok tetapi akan kembali kaku pada posisi terakhir. Sedangkan bila rigor
mortis sudah terjadi secara sempurna, diperlukan tenaga yang besar untuk melawan kekuatan rigor yang
menyebabkan robeknya otot dan dikatakan rigor telah “putus” dan rigor tidak akan timbul kembali sekali
dipatahkan oleh kekuatan. Sehingga Smith mengingatkan agar pemeriksaan rigor mortis dilakukan sebelum
membuka pakaian mayat, karena dengan melakukan manipulasi pada tubuh korban (membuka pakaian
mayat) akan mengubah keadaan rigor mortis.
Mallach, pernah menyusun tabel yang diambil dari data-data yang dipublikasi selama 150 tahun (1811-
1960) yang didapat secara kasar dari berbagai variasi metodologi, dan didapat data seperti di bawah ini:
Pada suhu rata-rata, dapat digunakan suatu pengalaman dalam memperkirakan saat mati, seperti tabel di
bawah ini akan tetapi harus digunakan secara berhati-hati:
Ada beberapa cara yang dipakai dalam menentukan terjadinya rigor mortis. Cara pertama
dengan pemeriksaan secara manual, dimana diperiksa sendi mana saja yang sudah kaku, berapa
kekuatannya, sempurna atau tidak. Diperiksa dengan cara memfleksikan atau membuat ekstensi
persendian, karena tidak ada patokan yang jelas maka pemeriksaan ini bersifat subyektif,
sehingga diperlukan waktu yang cukup dan berhati-hati dalam memeriksanya. Oppenheimer
pada tahun 1919 melakukan penelitian terhadap 43 mayat yang diketahui meninggal 8 – 48
jam sebelumnya, tak berhasil menentukan saat kematian berdasarkan rigor mortis.
Forster , mengusulkan suatu pemeriksaan rigor mortis yang lebih objektif, dengan
menggunakan suatu alat dalam pengukurannya. Alat yang digunakan berupa alat fiksasi dari
kayu yang menempel pada meja. Mayat ditelungkupkan dengan paha yang terfiksasi pada meja.
Pada daerah lutut terdapat batangan besi yang bersendi dengan alat fiksasi. Ujung bebasnya
terpasang rantai yang dihubungkan dengan neraca per. Neraca per ini dihubungkan dengan
ujung bawah tibia dengan sudut tegak lurus. Pengukuran dilakukan dengan cara menarik
batangan menuju paha sehingga sendi lutut dibengkokan. Tenaga yang terbaca pada neraca per
menunjukan tenaga maksimal yang diperlukan untuk mengatasi rigor mortis pada penampang
paha, yang dikenal sebagai indeks FRR (Freiburger Rigor Index). Ketepatan pengukuran dengan
alat ini adalah sampai 5 Nm. Dengna pemeriksan pada suhu tertentu akan didapatkan grafik
hubungan saat kematian dengan kekuatan rigor mortis. Sehingga bila diketahui nilai FRR pada
kondisi yang sama, akan dapat diketahui saat kematiannya.
Pemeriksaan lain yang dapat digunakan untuk melihat terjadinya rigor mortis adalah dengan
menggunakan mikroskop elektron. Pemeriksaan otot rangka dengan menggunakan mikroskop
elektron menujukan adanya gambaran granul-granul kecil yang menempel pada aktin dan miosin
(terutama jelas pada aktin) pada batas antara pita (band) A dan I. Sepintas lalu gambaran
granul membentuk salib-salib yang berbaris dengan periodisitas 400 Angstrom. Diduga granul
tersebut adalah jembatan antara aktin dan miosin pada rigor mortis. Secara biokimiawi diduga
granul tersebut adalah troponin, karena dapat bereaksi dengan globulin anti troponin. Troponin
merupakan reseptor ion kalsium yang berperan pada mekanisme kontraksi dan relaksasi otot.
Bila ion kalsium dilepaskan, aktin dan miosin mendapat penekanan dan terjadi relaksasi otot.
Bila troponin mengikat ion kalsium, tekanan tadi tidak ada lagi dan otot berkontraksi.
Secara kronologis perubahan penampakan otot dengan mikroskop elektron adalah sebagai
berikut:
a. Rigor mortis baru terbentuk (3 jam post mortem), terdapat gambaran granul pada
batas pita A dan I.
b. Rigor mortis sudah sempurna (6 – 12 jam post mortem), granul pada pta A makin
jelas, pada pita H (miosinsaja) muncul granul yang sama.
c. 24 jam post mortem, granul pada pita A masih jelas, teta[I yang pada pita H sudah
menghilang.
d. 48 jam post mortem, granul sudah menghilang seluruhnya, sebagian miofibril aktin
sudah menghilang pla karena pembuukan. Granul troponin ini merupakan tanda khas
rigor mortis.
Perubahan lain pada gambaran mikroskop elektron, seperti pembengkakan atau destruksi
motikondria dan retikulum endoplasmik dan edema miofibril ternyata tidak terdapat pada otot
mencit yang dibunuh dengan 2,4 dinitrophenol atau monoiodoacetic acid. Sehingga gambaran ini
bukanlah gambaran khas rigor mortis.
Memperkirakan saat kematian dengan menggunakan rigor mortis akan memberikan petunjuk
yang kasar, akan tetapi ini lebih baik dari pada lebam mayat oleh karena progresifitasnya dapat
ditentukan. (polson). Knight, memberikan opininya mengenai rigor mortis, bagaimanapun juga
sangat tidak aman dalam mamperkirakan saat mati dengan menggunakan rigor mortis. Knight
selanjutnya mengatakan bahwa perkiraan saat mati dengan menggunakan rigor mortis hanya
mungkin digunakan sekitar dua hari, bila suhu tubuh sudah sama dengan suhu lingkungan, tetapi
pembusukan belum terjadi. Bila rigor terjadi sudah menyeluruh, ada suatu perkiraan bahwa ini
sudah terjadi kurang lebih dua hari, tetapi inipun tergantung kondisi lingkungan.
Di daerah tropis, sebelum terjadi relaksasi sekunder biasanya pembusukan telah terjadi.
Pada temperatur panas rigor mortis secara tipikal akan mulai menghilang kurang lebih 36 – 48
jam sesudah kematian. Bila suhu lingkungan tinggi dan kemudia berkembang menjadi
pembusukan, secara menyeluruh rigor mortis dapat menghilang dalam 9 – 12 jam sesudah
kematian. Semakin cepat pembusukan sebagai akibat dari septikemia yang terjadi pada
antemortem dapat menyebabkan semakin cepat menghilangnya rigor mortis.
Secara umum, bila onset terjadinya rigor mortis adalah cepat maka durasinya adalah relatif
singkat, dikatakan ada 2 faktor utama yang mempengaruhi onset dan durasi dari rigor mortis
ini, faktor pertama adalah suhu lingkungan, dan derajat dari aktifitas otot sebelum mati.
Onset dari rigor mortis ini dipercepat dan durasinya dipersingkat pada suhu lingkungan yang
tinggi. sebaliknya bila mayat diletakkan dalam lingkungan yang sangat dingin (dibawah 3,5˚C
atau 40˚F) maka seluruh cairan tubuh, otot, lemak bawah kulit akan membeku. Cairan sendi
yang membeku menyebabkan sendi tidak dapat digerakan. Bila sendi dibengkokan secara paksa
maka akan terdengar suara es pecah. Dan mayat yang kaku ini akan menjadi lemas kembali bila
diletakan ditempat yang hangat, kemudian rigor mortis akan terjadi dalam waktu yang sangat
singkat.
Penelitian Krompecher pada tahun 1981 menujukan bahwa otot yang sudah membusuk dimana
rigor mortis sudah menghilang masih dapat menunjukan cold steiffening bila berada dalam
ruangan bertemperatur 6˚C selama 24 jam, disini dapat dibuktikan bahwa rigor mortis dan
cold steiffening adalah dua hal yang berbeda.
Onset dari rigor mortis menjadi cepat dan durasinya menjadi singkat dapat terjadi pada
penyakit yang menyebabkan kelelahan otot yang sangat sehingga katabolismenya meningkat
seperti kolera, cacar, tifus abdominalis, tuberkulosis, kanker, uremia, penyakit ginjal kronis,
tetanus, serangan epilepsi, hidrofobia, skorbut, rematik akut, meningitis, septikemia, piemia
dan penyakit abdomen lainnya. Pada keadaan ini rigor mortis hanya berlangsung 1 – 2 jam saja,
sehingga sering tidak terlihat oleh pemeriksa. Pada kasus tersambar petir, dimana rigor mortis
terjadi secara cepat dan menghilang secara cepat sering tidak terlihat pada waktu
pemeriksaan. Keracunan striknin dosis kecil, racun slinal, natrium salisilat, racun penyebab
kejang, alkaloid, karbon monoksida, dinitroortocresol (DNOC) pentachlorphenol, dan
penghambat cholinesterase, luka gorok pada leher, luka listrik dan luka tembak menyebabkan
onset dari rigor mortis yang berlangsung cepat dan mempunyai durasi yang berlangsung
singkat.
Selain itu ada dua faktor tambahan lain yang mempengaruhi rigor mortis yaitu faktor
endogen lainnya dan faktor lingkungan. Dimana onset rigor mortis ini terjadinya relatif lebih
cepat pada anak/bayi dan orang tua bila dibandingkan dengan otot dewasa muda. Pada fetus
yang meninggal selalu terjadi rigor mortis, hanya saja onset dan durasinya berlangsung lebih
singkat sehingga sering tidak teramati. Di Bombay Famine Hospital pada tahun 1901 pernah
dilaporkan adanya rigor mortis pada fetus yang berusia 5 bulan. Pada fetus yang lahir mati,
terutama yang aterm, rigor mortis sering ditemukan dalam waktu yang sangat singkat. Fetus
yang dikraniotomipun menunjukan adanya rigor mortis. Sehingga dikatakan pada anak-anak dan
orang tua proses rigor mortis berlangsung lebih cepat dengan intensitas yang lemah, sedangkan
pada remaja dan dewasa sehat rigor mortis berlangsung lambat. Intensitas dari rigor mortis
ini tergantung dari perkembangan dari otot mayat itu sendiri, sebagai konsekuensinya,
intensitas ini tidak boleh dikacaukan dengan derajat perkembangannya dari rigor mortis. Pada
waktu memeriksa rigor mortis ini antara derajat (komplet, parsial, atau absent) dan
distribusinya harus ditentukan setelah pemeriksaan sebelum dilakukan manipulasi pada tubuh
oleh pemeriksa yang lainnya.
Pada kasus-kasus asfiksia, kelumpuhan otot, perdarahan hebat, dan dekapitasi, rigor mortis
dapat berlangsung sampai 14 hari atau lebih. Rigor mortis yang berlangsung lambat dan
durasinya lama juga dapat terjadi pada keracunan striknin dosis besar, arsen, merkuri,
kloroform, eter, atropin dan narkotik.
Pada lingkungn yang bersuhu tinggi dan lembab, seperti pada daerah tropis, onset rigor
mortis berlangsung cepat dan durasinya pun berlangsung singkat. Sebaliknya pada lingkungan
bersuhu rendah dan kering, onset rigor mortis ini berlangsung lambat dan durasinyapun
berlangsung lebih lama. Pada daerah yang sangat dingin, rigor mortis dapat terhambat
munculnya secara tak terbatas dan bila sudah muncul dapat menetap sampai lebih dari 3
minggu.
Menghitung interval post-mortem (PMI) – waktu yang telah berlalu sejak seseorang telah
meninggal – merupakan salah satu bagian terpenting dari informasi yang akan didirikan
dari TKP, dan ini adalah salah satu yang paling sulit untuk mencari tahu. Karena semakin
lama mayat ditemukan, metode yang selama ini digunakan semakin tidak akurat. Terlebih
lagi, saat tubuh dimakamkan di kuburan rahasia, metode untuk menentukan PMI bisa
menjadi tidak dapat diandalkan untuk berbagai alasan: aktivitas serangga membuahkan
tanda yang menjadi kurang dari yang diharapkan, atau akan sulit untuk mengatakan apakah
tubuh dipindahkan dari lokasi lain.
Untuk menguji teori ini, Rogers dan koleganya mengubu kaki babi dalam tanah untuk
mensimulasikan penguburan manusia di kuburan dangkal. Mereka meninggalkan kaki
untuk menguraikan untuk berbagai panjang waktu sampai 13 minggu.
Rogers yakin bahwa kristal bisa membuat tulang rawan alat analisis yang berguna dalam
menentukan PMI, namun menekankan bahwa studi yang sama perlu dilakukan
dalam kondisi yang berbeda, seperti temperatur yang berbeda dan jenis tanah, untuk
memeriksa apakah hasil yang konsisten.
Dalam studi terpisah di Nottingham Trent University, Inggris, Andrew Chick meneliti
apakah merokok mempengaruhi perhitungan PMI. Ilmuwan forensic sering melihat
serangga memakan mayat, tetapi nikotin dalam tubuh perokok bisa mempengaruhi perilaku
serangga “dan mengacaukan waktu perkiraan kematian”.
Untuk mengetahui lebih lanjut, Chick dan rekan-rekannya telah meletakkan tiga babi mati
di hutan. Dua dari babi telah disuntik dengan nikotin pada tenggorokannya, untuk meniru
daerah mana yang terbesar mengandung nikotin dalam tubuh manusia dan satu lagi tanpa
disuntik nikotin.
Penelitian akan dilaksanakan selama lima tahun, tetapi tim telah menemukan beberapa hasil
awal yang menarik. Ternyata, lalat menghindari daerah nikotin, dan ketika mereka bertelur
di sana, telur-telur itu tidak bergerombol seperti pada bagian yang lain. Bila belatung
menetas, mereka juga menghindari makan di daerah yang kaya nikotin.
“Bahkan kumbang pun menjauh,” ujarnya, seraya menambahkan hasil ini berarti bahwa
tubuh perokok mungkin lebih lambat membusuk dibandingkan non-perokok.
“Jika percobaan ulang mendukung temuan ini, ilmuwan forensik akan perlu untuk
membedakan antara tubuh orang yang merokok dan mereka yang tidak, ” kata Chick. Ia
menambahkan, bahan kimia lainnya dapat mengakibatkan hal yang sama juga. “Ada bukti
dalam literatur obat-obatan ilegal yang memiliki pengaruh terhadap cara tubuh membusuk:
kokain, misalnya, memperbesar ukuran belatung.”