Anda di halaman 1dari 28

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF TUTORIAL KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIV. AL-KHAIRAAT PALU

“TRIGEMINAL NEURALGIA”

Disusun Oleh:
Yunita Mayang Sari
(15 19 777 14 348)

Pembimbing:

Dr. Nur Faisah, M.kes, Sp.S

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2020
IDENTITAS
• Nama : Ny. H
• Tanggal lahir : 17 agustus 1962
• Usia : 57 tahun
• Jenis kelamin : Perempuan
• Alamat : Jln. Cempedak No.17
• Agama : Islam
• Suku/bangsa : Bugis/Indonesia
• Tanggal masuk : 10 Januari 2020
• Tanggal keluar : 13 Januari 2020

SKENARIO
• Seorang perempuan usia 57 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri pada daerah
mulut sebelah kiri. Keluhan dirasakan sejak 2 tahun yang lalu, pasien mengatakan rasa
sakit di sekitar mulutnya memberat dalam 2 hari terakhir. Pasien mengatakan pasien
tidak memakai gigi palsu di karenakan pasien sering menggigit bagian dalam mulutnya.
Selain itu pasien sulit untuk membuka mulut serta mengunyah karena rasa nyeri yang
hebat. Riwayat berobat kedokter saraf sebelumnya (+) sejak 2 tahun yang lalu, Intake
oral menurun, demam (-), penurunan pendengaran (-), pusing (-), mual dan muntah (-),
BAK lancar, BAB biasa.

kata kunci :
• Perempuan usia 57 tahun
• Nyeri daerah mulut sebelah kiri, memberat 2 hari terakhir
• Nyeri dirasakan sejak 2 tahun yang lalu
• Riwayat sudah berobat sebelumnya
• Intake oral menurun
• Sering menggigit mulut dalam dan sulut buka mulut dan mengunyah.
PERTANYAAN

1. Definisi nyeri ?

2. Klasifikasi nyeri ?

3. Etiologi nyeri ?

4. Patofisiologi nyeri ?

5. Langkah-langkah diagnosis ?

6. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien ini ?

7. DD dan Prognosis ?

PEMBAHASAN

1. Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat
kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensialatau yang digambarkan dalam bentuk
kerusakan tersebut. Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik yang multidimensional.
Fenomena ini dapat berbeda dalam intensitas (ringan, sedang, berat), kualitas (tumpul,
seperti terbakar, tajam), durasi (transien,intermiten,persisten), dan penyebaran
(superfisial atau dalam, terlokalisir atau difus). Meskipun nyeri adalah suatu sensasi,
nyeri memiliki komponen kognitif dan emosional, yang digambarkan dalam suatu
bentuk penderitaan. Nyeri juga berkaitan dengan reflex menghindar dan perubahan
output otonom (Meliala,2004).
Nyeri merupakan pengalaman yang subjektif, sama halnya saat seseorang mencium bau
harum atau busuk, mengecap manis atau asin, yang kesemuanya merupakan persepsi
panca indera dan dirasakan manusia sejak lahir. Walau demikian, nyeri berbeda dengan
stimulus panca indera, karena stimulus nyeri merupakan suatu hal yang berasal dari
kerusakan jaringan atau yang berpotensi menyebabkan kerusakan jaringan
(Meliala,2004).
Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu nosisepsi, sensitisasi
perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitasektopik, reorganisasi
struktural, dan penurunan inhibisi.
Antara stimulus cedera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses
tersendiri : tranduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.
• Transduksi adalah suatu proses dimana akhiran saraf aferen menerjemahkan
stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls nosiseptif. Ada tiga tipe
serabut saraf yang terlibat dalam proses ini, yaitu serabut A-beta, A-delta, dan
C. Serabut yang berespon secara maksimal terhadap stimulasi non noksius
dikelompokkan sebagai serabut penghantar nyeri, atau nosiseptor. Serabut ini
adalahA-delta dan C.Silent nociceptor, juga terlibat dalam proses transduksi,
merupakan serabut saraf aferen yang tidak bersepon terhadap stimulasi
eksternal tanpa adanya mediator inflamasi.
• Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju kornu dorsalis
medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju otak. Neuron
aferen primer merupakan pengirim dan penerima aktif dari sinyal elektrik dan
kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis medula spinalis dan selanjutnya
berhubungan dengan banyak neuronspinal.
• Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain related
neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula spinalis,
dan mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor opioid
sepertimu, kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis. Sistem nosiseptif
juga mempunyai jalur desending berasal dari korteksfrontalis, hipotalamus, dan
area otak lainnya keotak tengah (midbrain) dan medula oblongata, selanjutnya
menuju medula spinalis. Hasil dari proses inhibisi desendens ini adalah
penguatan, atau bahkan penghambatan (blok) sinyal nosiseptif di kornu
dorsalis.
• Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi merupakan
hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi, aspek psikologis, dan
karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang
berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai
reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya
terhadap stimulus kuat yang secaara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut
juga Nociseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri (nociseptor) ada yang
bermiyelin dan ada juga yang tidak bermiyelin dari syaraf aferen. (Anas
Tamsuri, 2006)
2. Nyeri diklasifikasikan atas dua bagian, yaitu nyeri akut dan nyeri kronis (Berger,
1992).
I. Nyeri Akut Nyeri akut biasan mempunyai awitan yang tiba-tiba dan
umumnya berkaitan dengan cedera spesifik. Nyeri akut mengindikasikan
bahwa kerusakan atau cedera telah terjadi. Jadi kerusakan tidak lama terjadi
dan tidak ada penyakit sistematik, nyeri akut biasanya menurun sejalan
dengan terjadinya penyembuhan. Nyeri akut umumnya terjadi kurang dari
enam bulan dan biasanya kurang dari satu bulan. Cedera atau penyakit
yang menyebabkan nyeri akut dapat sembuh secara spontan atau memerlukan
pengobatan (Smeltzer & Bare, 2001).
II. Nyeri Kronik Nyeri kronik merupakan nyeri berulang yang menetap dan
terus menerus yang berlangsung selama enam bulan atau lebih. Nyeri
kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan
sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan
respons terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Meskipun
tidak diketahui mengapa banyak orang menderita nyeri kronis setelah suatu
cedera atau proses penyakit, hal ini diduga bahwa ujung ujung saraf yang
normalnya tidak mentransmisikan nyeri menjadi mampu untuk memberikan
sensasi nyeri, atau ujung-ujung saraf yang normalnya hanya
mentransmisikan stimulus yang sangat nyeri menjadi mampu
mentransmisikan stimulus yang sebelumnya tidak nyeri sebagai stimulus
yang sangat nyeri (Smeltzer & Bare, 2001).

3. Etiologi nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan yaitu yang berhubungan
dengan fisik dan berhubungan dengan psikis. Secara fisik misalnya, penyebab
nyeri adalah trauma (baik trauma mekanik, termis, kimiawi,maupun elektrik),
neoplasma, peradangan, gangguan sirkulasi darah. Secara psikis, penyebab nyeri
dapat terjadi oleh karena adanya trauma psikologis. Nyeri yang disebabkan oleh
faktor psikis berkaitan dengan terganggunya serabut saraf reseptor nyeri. serabut
saraf resptor nyeri ini terletak dan tersebar pada lapisan kulit dan pada jaringan-
jaringan tertentu yang terletak lebih dalam. Sedangkan nyeri yang disebabkan
faktor psikologis merupakan nyeri yang dirasakan bukan karena penyebab
organik, melainkan akibat trauma psikologis dan pengaruhnya terhadap fisik
(Asmadi, 2008).
4. Patofisiologi Nyeri secara Umum
Rangsangan nyeri diterima oleh nociceptorspada kulit bisa intesitas tinggi maupun
rendah seperti perennggangan dan suhu serta oleh lesijaringan. Sel yang mengalami
nekrotik akanmerilis K + dan protein intraseluler . Peningkatan kadar K + ekstraseluler
akan menyebabkan depolarisasi nociceptor, sedangkan protein pada beberapa keadaan
akan menginfiltrasi mikroorganisme sehingga menyebabkan peradangan/ inflamasi.
Akibatnya, mediator nyeri dilepaskan seperti leukotrien, prostaglandin E2, dan
histamin yang akan merangsang nosiseptor sehing garangsangan berbahaya dan tidak
berbahaya dapat menyebabkan nyeri (hiperalgesia atau allodynia). Selain itu lesi juga
mengaktifkan faktor pembekuan darah sehingga bradikinin dan serotonin akan
terstimulasi dan merangsang nosiseptor. Jika terjadi oklusi pembuluh darah maka akan
terjadi iskemia yang akan menyebabkan akumulasi K +ekstraseluler dan H + yang
selanjutnya mengaktifkan nosiseptor. Histamin, bradikinin, dan prostaglandin E2
memiliki efek vasodilator dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Halini
menyebabkan edema lokal, tekanan jaringan meningkat dan juga terjadi Perangsangan
nosisepto. Bila nosiseptor terangsang maka mereka melepaskan substansi peptida P
(SP) dan kalsitoningen terkait peptida (CGRP), yang akan merangsang proses inflamasi
dan juga menghasilkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.
Vasokonstriksi (oleh serotonin), diikuti oleh vasodilatasi, mungkin juga bertanggung
jawab untuk serangan migrain. Perangsangan nosiseptor inilah yang menyebabkan
nyeri. (Silbernagl & Lang,2000) Untuk lebih jelasnya lihat gambar dibawah ini.
5. Langkah-langkah Diagnosis
 ANAMNESIS
a. Tanyakan keluhan utama pasien : tanyakan kapan mulai muncul, apakah
hilang timbul atau menetap, dimana lokasi awalnya dan kemudian muncul
dimana, laul bagaimna penyebarannya. Kelainan kulit bertambah banyak,
tetap jumlahnya atau melebar. Bagaimna warnanya atau terasa kebal,
kurang rasa atau hilang rasa jika di raba atau ditusuk.
b. Tanyakan apakah demam atau tidak.
c. Tanyakan apakah disertai gatal atau tidak.
d. Tanyakan apakah bercak kulit ini ada hubungannya dengan bercak serangga
atau luka (trauma).
e. Tanyakanlah apakah bercak kulit ini disertai nyeri atau tidak. Jika iya
tanyakan : kapan hal tersebut, apakah terjadi mendaadak atau tidak. Sifat
nyeri atau keram: ringan, sedang, berat, intermitten atau terus menerus.
f. Tanyakan apakah ada sakit tulang, arthralgia, mialgia, anoreksia, dan
malise.
g. Tanyakan apakah ada luka di telapak tanga atau kaki.
h. Tanyakan riwayat penyakit pasien.
i. Tanyakan riwayat penyakit yang sama dalam keluarga atau lingkungan
sekitar tempat tinggal.
j. Tanyakan riwayat pengobatan.

 PEMERIKSAAN FISIK
a. Lihatlah keadaan umum pasien.
b. Tentukanlah status gizi : tingi badan dan berat badan.
c. Ukur tanda vital pasien : tekanan darah, nadi, pernapasan dan suhu.
d. Perhatikan seluruh tubuh pasien dari ubun-ubun sampai kaki.
e. Periksa ada tidaknya pembesaran hati , edema kaki, luka pada kaki.
f. Pemeriksaan bercak kulit : perhatikan jenis efluoresensi, lihat permukaan
lesi rata, kering, atau basah, ada tidaknya lesi rambut halus.
 UJI SENSITIVITAS
a. Menggunakan ujung kapas yang diruncingkan
b. Melakukan tusukan ringan dengan ujung jarum
c. Menggunakan tabung panas dan dingin

 PEMERIKSAN SARAF TEPI


a. N. Auricularis magnum
b. N. Radialis
c. N. Ulnaris
d. N. Medianus
e. N. Peroneus Communis (N.Poplitea Lateralis)

 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Darah
b. Lampu Wood
c. Kerokan Kulit
d. Biopsi Kulit
e. Tes Tempel

Edukasi dan konseling


 Pasien patuh minum obat/mengobati sesuai ketentuan
 Kembali untuk follow up teratur sesuai jadwal
 Meyakinkan pentingnya pemeriksaan mitra seksual dan turut berusaha agar
mitra tersebut bersedia diperiksa dan diobati bila perlu
 Mengurangi risiko penularan dengan:
a. Abstinensia dari semua hubungan seks hingga pemeriksaan terakhir selesai
b. Abstinensia dari semua hubungan seks bila timbul simtom atau gejala
kambuh
c. Menggunakan kondom bila meragukan adanya risiko
 Tanggap dan memberikan respons cepat terhadap infeksi atau hal yang
mencurigakan setelah hubungan seks.
TRIGEMINAL NEURALGIA

Nyeri muka atau yang lebih dikenal sebagai trigeminal neuralgia merupakan suatu

keluhan serangan nyeri wajah satu sisi yang berulang. Disebut Trigeminal neuralgia, karena

nyeri di wajah ini terjadi pada satu atau lebih saraf dari tiga cabang saraf Trigeminal. Saraf

yang cukup besar ini terletak di otak dan membawa sensasi dari wajah ke otak. Rasa nyeri

disebabkan oleh terganggunya fungsi saraf Trigeminal sesuai dengan daerah distribusi

persarafan salah satu cabang saraf Trigeminal yang diakibatkan oleh berbagai penyebab.1,2

Serangan neuralgia Trigeminal dapat berlangsung dalam beberapa detik sampai dua

menit. Beberapa orang merasakan sakit ringan, kadang terasa seperti ditusuk. Sementara yang

lain merasakan nyeri yang cukup berat, seperti nyeri seperti saat terkena setrum listrik.1,2

Trigeminal Neuralgia merupakan penyakit yang relatif jarang, tetapi sangat

mengganggu kenyamanan hidup penderita, namun sebenarnya pemberian obat untuk

mengatasi Trigeminal neuralgia biasanya cukup efektif. Obat ini akan memblokade sinyal nyeri

yang dikirim ke otak, sehingga nyeri berkurang, hanya saja banyak orang yang tidak

mengetahui dan menyalahartikan Neuralgia Trigeminal sebagai nyeri yang ditimbulkan karena

kelainan pada gigi, sehingga pengobatan yang dilakukan tidaklah tuntas.3

Pemeriksaan penunjang lebih bertujuan untuk membedakan trigeminal neuralgia yang

idiopatik atau simptomatik. Terapi pada pasien ini ada 2 macam yaitu medikamentosa dan

pembedahan. Perawatan secara medikamentosa berupa pemberian obat-obatan anti konvulsan

dengan cara menurunkan hiperaktivitas nukleus nervus trigeminus di dalam brain stem.

Pengobatan efektif pada 80% kasus. Pemberian obat dimulai dengan dosis yang paling

minimal, kemudian karena penyakit ini memiliki progresivitas dan rasa sakit yang makin berat

dan lebih sering maka dibutuhkan penambahan dosis dimana akan menimbulkan suatu efek

samping atau kontrol rasa sakit yang tidak adekuat. Pemberian obat-obatan ini dapat diberikan
secara tunggal atau dikombinasi dengan lainnya. Jika perawatan dengan obat-obatan sampai

dosis maksimal dan dengan kombinasi beberapa obat sudah tidak mengurangi rasa sakit lagi

maka terapi dengan pembedahan menjadi pilihan.4

1. Definisi

Trigeminal neuralgia adalah suatu peradangan pada saraf trigeminal yang menyebabkan

rasa sakit yang hebat dan kejang otot di wajah. Serangan intens, nyeri wajah seperti kejutan

listrik dan dapat terjadi secara mendadak atau dipicu dengan menyentuh area tertentu dari

wajah. Namun hingga saat ini penyebab pasti dari trigeminal neuralgia masih belum dipahami

sepenuhnya.5

Trigeminal neuralgia menurut IASP ( International Association for the study of Pain ) ialah

nyeri di wajah yang timbulnya mendadak, biasanya unilateral. Nyerinya singkat dan berat

seperti ditusuk disalah satu atau lebih cabang nervus trigeminus. Sementara menurut

International Headache Society trigeminal neuralgia nyeri adalah nyeri wajah yang

menyakitkan, nyeri singkat seperti tersengat listrik pada satu atau lebih cabang nervus

trigeminus. Nyeri biasanya muncul akibat stimulus ringat seperti mencuci muka, bercukur,

gosok gigi, berbicara.5

Tabel 1.1 Definisi Trigeminal Neuralgia menurut IASP dan IHS

Definisi menurut IASP Definisi menurut IHS


Tiba-tiba, biasanya unilateral, sifat nyeri Nyeri unilateral pada wajah, nyeri seperti
hebat, menusuk, berulang dan sengatan listrik yang berdistribusi ke salah
berdistribusi di salah satu atau lebih satu atau lebih dari nervus 6.
cabang dari nervus 5. Nyeri biasanya ditimbulkan oleh hal-hal
sepele seperti mencuci muka, bercukur,
merokok, berbicara, dan menggosok gigi.
Namun juga dapat terjadi secara
mendadak.
2. Anatomi

Nervus trigeminus atau saraf otak kelima atau saraf otak trifasial merupakan saraf otak

terbesar diantara 12 saraf otak, bersifat campuran karena terdiri dari komponen sensorik yang

mempunyai daerah persarafan yang luas yang disebut portio mayor dan komponen motorik

yang persarafannya sempit disebut portio minor. Komponen-komponen ini keluar dari

permukaan anterolateral bagian tengah pons dan berjalan ke anterior pada dasar fossa kranialis

posterior melintasi bagian petrosa tulang pelipis ke fossa kranialis media. Komponen sensorik

dan motorik bergabung didalam ganglion trigeminus atau ganglion gaseri, kemudian berjalan

bersama-sama sebagai saraf otak kelima.6,7

Nervus trigeminal mempersarafi wajah dan kepala. Terdapat 3 divisi yang menginervasi

daerah dahi dan mata (V1 optalmikus), pipi (V2 maksilaris) serta wajah bagian bawah dan

rahang (V3 mandibularis). Fungsi nervus trigeminus adalah sensasi sentuhan wajah, sakit dan

suhu, dan juga kontrol otot pengunyahan. Fungsi nervus trigeminus harus dibedakan dengan

nervus fasialis (nervus cranialis ke VII) yang mengontrol semua gerakan wajah.8

Tiga divisi nervus trigeminal muncul bersama-sama pada daerah yang disebut ganglion

gaseri. Dari sana, akar nervus trigeminal berjalan kebelakang kearah sisi brain stem dan masuk

ke pons. Dalam brain stem, sinyal akan berjalan terus mencapai kelompok neuron khusus yang

disebut nukleus nervus trigeminal. Informasi dibawa ke brain stem oleh nervus trigeminus

kemudian diproses sebelum dikirim ke otak dan korteks serebral, dimana persepsi sensasi

wajah akan diturunkan.8

3. Epidemiologi

Banyak literatur yang menyebutkan bahwa 60% penderita neuralgia adalah wanita.

Insidensi kejadian untuk wanita sekitar 5,9 per 100.000 wanita; untuk pria sekitar 3,4 kasus per

100.000 pria. Kejadian juga berhubungan dengan usia, dimana neuralgia banyak diderita pada
usia antara 50 sampai 70 tahun, walaupun kadang – kadang ditemukan pada usia muda terutama

jenis atipikal atau sekunder. Berdasarkan laporan yang ada, usia paling muda yaitu 12 bulan

terkena neuralgia trigeminal dan pada anak lain terjadi pada usia 3 sampai 11 tahun. Faktor ras

dan etnik tampaknya tidak terpengaruh terhadap kejadian Neuralgia Trigeminal. Angka

prevalensi maupun insidensi untuk Indonesia belum pernah dilaporkan . Bila insidensi

dianggap sama dengan Negara lain maka terdapat ± 8000 penderita baru pertahun. Akan tetapi

mengingat harapan hidup orang Indonesia makin tinggi maka diperkirakan prevalensi penderita

Neuralgia Trigeminal akan meningkat.3,9

4. Etiologi

Ada banyak pendapat yang berbeda tentang etiologi dari trigeminal neuralgia, namun

beberapa dari mereka masih kontroversial karena kurangnya bukti objektif. Saat ini ada tiga

etiologi yang paling populer. Teori pertama berdasarkan pada penyakit yang berhubungan,

kedua adalah trauma langsung pada saraf dan teori ketiga merambat asal polyetiologic

penyakit.10

Penyakit yang berhubungan seperti gangguan dari vaskularisasi, multipel sklerosism

diabetes melitus, rematoid, dan lain-lain. Pada trauma langsung pada saraf dibagi menjadi dua
bagian yaitu trauma pada bagian perifer dan sentral. Teori yang ketiga yaitu polyetiologic,

faktor yang mungkin dapat berpengaruh dan menimbulkan demielinisasi dan disatrofi.10

5. Patofisiologi

Hingga saat ini patogenesis trigeminal neuralgia masih kompleks, tidak jelas dan masih

menjadi topik perdebatan di dunia medis. Banyak teori dan hipotesis yang saat ini menjelaskan

mekanisme patofisiologis sentral maupun perifer. Pada awalnya trigeminal neuralgia

dideskripsikan sebagai penyakit fungsional karena tidak ada bukti kelainan organik (morfologi)

pada nervus trigeminus. Sekitar 40 tahun yang lalu, Kerr mengamati spesiment rhizotomi

pasien secara histologi dan menemukan perubahan dari nervus trigeminus secara morfologi

yang mirim dengan neuritis intersitial, demielinisasi serat saraf, dan sklerosis perineural dan

endoneural. Untuk beberapa tahun teori yang dapat diterima dari gangguan mekanisme perifer

yaitu teori hubungan pendek yang diajukan oleh Dott pada tahun 1956. Menurut teori ini,

serangan trigeminal dimulai dari interkoneksi akson demielinisasi, aktivitas peningkatan

impuls ektopik yang spontan. Kemudian ada data yang diterbitkan tidak hanya perubahan

morfologi nervus di perifer tetapi juga terjadi perubahan di struktur sentral dari nervus

trigeminus. Teori mekanisme sentral menyatakan, trigeminal neuralgia dimulai dari thalamus,

nukleus nervus trigeminus, batang otak, atau cedera pada korteks serebri. Meskipun belum ada

teori yang dapat menjelaskan gejala dan perjalanan klinis penyakit.10

Serangan trigeminal neuralgia seperti reflek multineuronal, yang melibatkan beberapa

struktur: trigeminal dan sistem nervus facial, pembentukan retikularis, nukleus diensepalon,

dan korteks pada otak. Beberapa peneliti mengindikasikan bahwa stimulus psikologis aferen

dari reseptor nervus trigeminal dan menginduksi fokus eksitasi paroksimal pada struktur sentral

sehingga terjadi impuls eferen ke perifer. Meskipun masih terdapat dua pertanyaan utama yang

belum terjawab. 10
Distrofi nervus merupakan kemunduran saraf secara progresif dan akan berakhir pada

cabang perifer dari nervus trigeminus. Berdasarkan perjalanan penyakit, progresifitas distropi

tidak hanya pada cabang perifer nervus trigeminus tapi juga terjadi pada bagian nervus

intrakranial. Hal ini telah ditunjukkan bahwa reaksi alergi imun dari cabang nervus trigeminus

dengan cepat terjadi degranulasi sel mast. Agen-agen seperti histamin, serotonin, heparin,

bradikinin, dan yang lain bermigrasi menuju ruang intraseluler selama sel mas berdegranulasi.

Degranulasi sel mast dengan segera membangkitkan reaksi hiperergic. Reaksi ini dimulai

ketika imunoglobulin, terutama IgE memperbaiki reseptor spesifik dari sel mast. Sel yang

memproduksi IgE berada pada jaringan limpoid, telinga, hidung, rongga mulut, dan membran

saluran pernafasan bagian atas. Pada penyakit ini, konsentrasi dari IgE meningkat pada

inflamasi pada telinga, mulut, dan tenggorokakn sebanyak 3 kali dan pada polip hidung

meningkat 5-6 kali. Oleh karena itu jumlah antibodi IgE meningkat ketika individu mengalami

inflamasi pada daerah tersebut. Histamin meningkat secara signifikan pada periode trigeminal

akut. Histamin adalah suatu regulator aktif aktivitas struktur saraf fungsional termasuk mediasi

reaksi nyeri. Telah terbukti bahwa nervus trigeminus adalah kemoreseptor trigger zone

histamin. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa histamin yang dilepaskan selama reaksi imun

lokal akan segera terakumulasi pada saraf trigeminal. Bundel neurovaskular pada saraf

trigeminus terlokalisasi di osseus kanal. Oleh karena itu, edema saraf perifer ditimbulkan oleh

peradangan sering menyebabkan manifestasi "tunnel syndrome". Ini berarti bahwa kanal

osseus akan menjadi sempit sehingga menekan saraf yang dapat menyebabkan trigeminal

neuralgia.10

Karlov mengusulkan "teori patogenesis sentral" sejak hubungan sistem saraf trigeminus

dengan struktur sentral mampu mengerahkan aksi penghambatan pada formasi segmental dan

suprasegmental. Tindakan ini mampu menghambat pembentukan iritasi fokus stabil tipe

paroksismal terletak di SSP. Teori patogenesis sentral dikonfirmasi lebih lanjut oleh Smith dan
McDonald. Mereka membuktikan bahwa demielinasi bisa menjadi sumber impuls ektopik

yang membangkitkan gangguan fungsional dan nyeri pada pembentukan fokus dominan dalam

segmental batang otak dan di pusat-pusat otak suprasegmental. Dengan demikian, distrofi di

TNS merangsang mekanisme patogenesis pusat neuralgia. Tidak diragukan lagi, harus ada

kondisi yang sesuai dalam tubuh untuk mekanisme patogenetik. 10

6. Klasifikasi

IHS (International Headache Society) membedakan Neuralgia Trigeminal menjadi NT

klasik dan NT simptomatik. Termasuk NT klasik adalah semua kasus yang etiologinya belum

diketahui (idiopatik). Sedangkan NT simptomatik dapat diakibatkan karena tumor, multipel

sklerosis atau kelainan di basis kranii.4

Perbedaan neuralgia trigeminus idiopatik dan simptomatik.4

Trigminal Neuralgia Idiopatik:

1. Nyeri bersifat paroksimal dan terasa diwilayah sensorik cabang maksilaris, sensorik cabang

maksilaris dan atau mandibularis.

2. Timbulnya serangan bisa berlangsung 30 menit yang berikutnya menyusul antara beberapa

detik sampai menit.

3. Nyeri merupakan gejala tunggal dan utama.


4. Penderita berusia lebih dari 45 tahun , wanita lebih sering terkena dibanding laki-laki.

Trigeminal Neuralgia Simptomatik:

1. Nyeri berlangsung terus menerus dan terasa dikawasan cabang optalmikus atau nervus infra

orbitalis.

2. Nyeri timbul terus menerus dengan puncak nyeri lalu hilang timbul kembali.

3. Disamping nyeri terdapat juga anethesia/hipestesia atau kelumpuhan saraf kranial, berupa

gangguan autonom ( Horner syndrom ).

4. Tidak memperlihatkan kecendrungan pada wanita atau pria dan tidak terbatas pada

golongan usia.

7. Manifestasi Klinis

Trigeminal neuralgia memberikan gejala dan tanda sebagai berikut :8,11,12

1. Rasa nyeri berupa nyeri neuropatik, yaitu nyeri berat paroksimal, tajam, seperti menikam,

tertembak, tersengat listrik, terkena petir, atau terbakar yang berlangsung singkat beberapa

detik sampai beberapa menit tetapi kurang dari dua menit, tiba-tiba dan berulang. Diantara

serangan biasanya ada interval bebas nyeri, atau hanya ada rasa tumpul ringan.

2. Lokasi nyeri umumnya terbatas di daerah dermatom nervus trigeminus dan unilateral.

Tersering nyeri didaerah distribusi nervus mandibularis (V2) 19,1% dan nervus maksilaris

(V3) 14,1% atau kombinasi keduanya 35,9% sehingga paling sering rasa nyeri pada

setengah wajah bawah. Jarang sekali hanya terbatas pada nervus optalmikus (V3) 3,3%.

Sebagian pasien nyeri terasa diseluruh cabang nervus trigeminus (15,5%) atau kombinasi

nervus maksilaris dan optalmikus (11,5%). Jarang ditemukan kombinasi nyeri pada daerah

distribusi nervus optalmikus dan mandibularis (0,6%).

3. Trigeminal neuralgia dapat dicetuskan oleh stimulus non-noksius seperti perabaan ringan,

getaran, atau stimulus mengunyah. Nyeri pada trigeminal neuralgia dapat mengalami
remisi dalam satu tahun atau lebih. Pada periode aktif neuralgia, karakteristik terjadi

peningkatan frekuensi dan beratnya serangan nyeri secara progresif sesuai dengan

berjalannya waktu.

4. Sekitar 18% penderita dengan trigeminal neuralgia, pada awalnya nyeri atipikal yang

makin lama menjadi tipikal, disebut preneuralgia trigeminal. Nyeri terasa tumpul, terus-

menerus pada salah satu rahang yang berlangsung beberapa hari sampai beberapa tahun.

Stimulus termal dapat menimbulkan nyeri berdenyut sehingga sering dianggap sebagai

nyeri dental.

8. Diagnosis

Trigeminal neuralgia seyogyanya dapat dibedakan dengan nyeri wajah yang lainnya.

Pemeriksaan kesehatan dan riwayat gejalanya harus dilakukan bersama-sama pemeriksaan

lainnya untuk mengesampingkan masalah yang serius. Diagnosa ditegakkan berdasarkan

anamnesa yang akurat, pemeriksaan klinis dan uji klinis untuk mengetahui secara pasti stimulus

pencetus dan lokasi nyeri saat pemeriksaan.13

Kriteria diagnosis trigeminal neuralgia menurut International Headache Society adalah

sebagai berikut:13

A. Serangan – serangan paroxysmal pada wajah, nyeri di frontal yang berlangsung beberapa

detik tidak sampai 2 menit.

B. Nyeri setidaknya bercirikan 4 sifat berikut:

1. Menyebar sepanjang satu atau lebih cabang N trigeminus, tersering pada cabang

mandibularis atau maksilaris.

2. Onset dan terminasinya terjadi tiba-tiba , kuat, tajam , superficial, serasa menikam

atau membakar.

3. Intensitas nyeri hebat , biasanya unilateral, lebih sering disisi kanan.


4. Nyeri dapat timbul spontan atau dipicu oleh aktifitas sehari seperti makan, mencukur,

bercakap cakap, mambasuh wajah atau menggosok gigi, area picu dapat ipsilateral

atau kontralateral.

5. Diantara serangan , tidak ada gejala sama sekali.

C. Tidak ada kelainan neurologis.

D. Serangan bersifat stereotipik.

E. Tersingkirnya kasus-kasus nyeri wajah lainnya melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan khusus bila diperlukan.

Pemeriksaan penunjang lebih bertujuan untuk membedakan trigeminal neuralgia yang

idiopatik atau simptomatik. CT Scan kepala untuk melihat keberadaan tumor. Sklerosis

multiple dapat terlihat dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI). MRI ini sering digunakan

sebelum tindakan pembedahan untuk melihat kelainan pembuluh darah. Diagnosa trigeminal

neuralgia dibuat dengan mempertimbangkan riwayat kesehatan dan gambaran rasa sakitnya.

Sementara tidak ada pemeriksaan diagnostik yang dapat mempertegas adanya kelainan ini.

Teknologi CT Scan dan MRI sering digunakan untuk melihat adanya tumor atau abnormalitas

lain yang menyebabkan sakit tersebut. Pemeriksaan MRTA (high-definition MRI angiography)

pada nervus trigeminal dan brain stem dapat menunjukkan daerah nervus yang tertekan oleh

vena atau arteri. Sebagai tambahan, dilakukan pemeriksaan fisik untuk menentukan stimuli

pemicu, dan lokasi yang pasti dari sakitnya. Pemeriksaan termasuk inspeksi komea, nostril,

gusi, lidah dan di pipi untuk melihat bagaimana daerah tersebut merespon sentuhan dan

perubahan suhu (panas dan dingin).6

9. Diagnosis Banding

Neuralgia trigeminal harus dibedakan dari tipe nyeri lainnya yang muncul pada wajah

dan kepala.14
Nyeri neuralgia postherpetikum dapat menyerupai neuralgia trigeminal, tetapi adanya

eskar bekas erupsi vesikel dapat mengarahkan kepada neuralgia postherpetikum. Neuralgia

postherpetikum pada wajah biasanya terbatas pada daerah yang dipersarafi oleh nervus

trigeminus cabang pertama.14

Sindrom Costen yang bermanifestasi sebagai nyeri menjalar ke rahang bawah dan pelipis

saat mengunya) dapat menyerupai neuralgia trigeminal tetapi hanya dipicu oleh proses

mengunyah; biasanya disebabkan oleh artrosis temporomandibular dan maloklusi gigi.14

Nyeri psikogenik daerah wajah sering menyebabkan kesulitan diagnosis. Sindrom yang

disebut neuralgia fasial atipik ini (nyeri wajah atipikal) sering ditemukan pada wanita muda

atau setengah baya. Nyeri bersifat tumpul dan menetap, sering kali unilateral pada rahang atas

(walaupun dapat menyebar ke bagian lain kepala dan leher) dan biasanya dihubungkan dengan

manifestasi ansietas kronik dan depresi. Tanda-tanda fisis tidak ditemukan dan pemberian

analgetika tidak mempan. Perbaikan biasanya diperoleh dengan penggunaan antidepresan dan

obat penenang oleh karena itu, penentuan diagnosis harus sebaik mungkin.14

Neuralgia migrainosa (nyeri kepala sebelah) dapat menyebabkan nyeri paroksismal berat

pada daerah persarafan trigeminal tetapi dapat dibedakan berdasarkan periode, ketiadaan faktor

pencetus dan durasi tiap nyeri paroksismal yang lebih lama.14

Tabel 6.1 Diagnosis Banding Neuralgia Trigeminal

Faktor yang
Diagnosis
Persebaran Karakteristik Klinis Meringankan/
Banding
Memperburuk

Neuralgia Daerah Laki- laki/ perempuan = 1:3, Titik-titik rangsang


Trigeminal persarafan Lebih dari 50 tahun, sentuh, mengunyah,
cabang II dan Paroksismal (10-30 detik), nyeri senyum, bicara, dan
III nervus bersifat menusuk-nusuk atau sensasi menguap
trigeminus, terbakar, persisten selama
unilateral berminggu-minggu atau lebih,
Ada titik-titik pemicu,
Tidak ada paralisis motorik maupun
sensorik.
Neuralgia Unilateral Lebih banyak ditemukan pada Tidak ada
Fasial atau bilateral, wanita usia 30-50 tahun
Atipik pipi atau Nyeri hebat berkelanjutan umumnya
angulus pada daerah maksila
nasolabialis,
hidung bagian
dalam

Neuralgia Unilateral Riwayat herpes Sentuhan,


Post Biasanya Nyeri seperti sensasi terbakar, pergerakan
herpetikum pada daerah berdenyut-denyut
persebaran Parastesia, kehilangan sensasi
cabang sensorik keringat
oftalmikus Sikatriks pada kulit
nervus V
Sindrom Unilateral, Nyeri berat berdenyut-denyut Mengunyah, tekanan
Costen dibelakang diperberat oleh proses mengunyah, sendi
atau di depan Nyeri tekan sendi temporo- temporomandibular
telinga, mandibula.
pelipis, wajah
Migren Orbito- Nyeri kepala sebelah Alkohol pada
frontal, beberapa kasus
rahang atas,
angulus
nasolabial

10. Tatalaksana

Seperti diketahui terapi dari trigeminal neuralgia ada 2 macam yaitu terapi medikamentosa

dan terapi pembedahan. Telah disepakati bahwa penanganan lini pertama untuk trigeminal

neulalgia adalah terapi medikamentosa. Tindakan bedah hanya dipertimbangkan apabila terapi

medikamentosa mengalami kegagalan

a. Terapi Farmakologi

Peneliti-peneliti dalam bidang nyeri neuropatik telah mengembangkan beberapa

pedoman terapi farmakologik. Dalam guidline EFNS ( European Federation of Neurological

Society ) disarankan terapai neuralgia trigeminal dengan carbamazepin ( 200-1200 mg sehari

) dan oxcarbamazepin ( 600-1800mg sehari ) sebagai terapi lini pertama. Sedangkan terapai

lini kedua adalah baclofen dan lamotrigin. Neuralgia trigeminal sering mengalami remisi
sehingga pasien dinasehatkan untuk mengatur dosis obat sesuai dengan frekwensi serangannya.

Dalam pedoman AAN-EFNS ( American Academy of Neurology- European Federation of

Neurological Society ) telah disimpulkan bahwa: carbamazepin efektif dalam pengendalian

nyeri , oxcarbazepin juga efektif, baclofen dan lamotrigin mungkin juga efektif. Studi open

label telah melaporkan manfaat terapi obat-obatan anti epilepsi yang lain seperti clonazepam,

gabapentin, phenytoin dan valproat.2

Karbamazepine merupakan pengobatan lini pertama dengan dosis pemberian 200-1200

mg/hari dan oxcarbamazepin dengan dosis pemberian 600-1800 mg/hari sesuai dengan

pedoman pengobatan. Tingkat keberhasilan dari karbamazepin jauh lebih kuat dibandingkan

oxcarbamazepin, namun oxcarbamazepin memiliki profil keamanan yang lebih baik.

Sementera pengobatan lini kedua dapat diberikan lamotrgine dengan dosis 400 mg/ hari,

baclofenac 40 – 80 mg/hari, dan pimizoid 4 – 12 mg/hari.2

Selain itu ada juga pilihan pengobatan alternative, yaitu dengan memberikan obat

antiepilepsi yang telah dipelajari dalam kontrol kecil dan studi terbuka yang disarankan untuk

menggunakan fenitoin, clonazepam, gabapentin, pregabalin, topiramate, levetiracetam, dan

valproat.2
Gambar 7.1 Management terapi pada trigeminal neuralgia

Karbamazepine

Karbamazepine bekerja dengan cara menghambat aktivitas neuronal pada kanal natrium,

sehingga dapat mengurangi rangsangan neuron. Karbamazepine memperlihatkan efek

analgesik yang selektif misalnya pada tabes dorsalis dan neuropati lainnya yang sukar diatasi

dengan analgesik biasa. Sebagian besar penderita trigeminal neuralgia mengalami penurunan

sakit yang berarti dengan menggunakan obat ini. Karena potensi untuk menimbulkan efek

samping sangat luas, khususnya gangguan darah seperti leukopeni, anemia aplastik dan

agranulositosis maka pasien yang akan diterapi dengan obat ini dianjurkan untuk melakukan

pemeriksaan nilai basal dari darah dan melakukan pemeriksaan ulang selama pengobatan.2,6,7

Pemberian karbamazepine dihentikan jika jumlah leukosit abnormal (rendah). Jika efek

samping yang timbul parah, dosis karbamazepine perhari dapat dikurangi 1-3 perhari, sebelum

mencoba menambah dosis perharinya lagi. Karbamazepine diberikan dengan dosis berkisar

200-1200 mg, dimana hampir 70% memperlihatkan perbaikan. Dosis dimulai dengan dosis

minimal 1-2 pil perhari, secara bertahap dapat ditambah hingga rasa sakit hilang atau mulai
timbul efek samping. Selama periode remisi dosis dapat dikurangi secara bertahap.

Karbamazepine dapat dikombinasi dengan fenitoin atau baklofen bila nyeri membandel, atau

diubah ke oxykarbazepine.2

Efek samping yang timbul dalam dosis yang besar yaitu drowsiness, mental confusion,

dizziness, nystagmus, ataxia, diplopia, nausea dan anorexia. Terdapat juga reaksi serius yang

tidak berhubungan dengan dosis yaitu allergic skin rash, gangguan darah seperti leukopenia

atau agranulocytosis, atau aplastic anemia, keracunan hati, congestive heart failure, halusinasi

dan gangguan fungsi seksual.2,6

Oxykarbamazepin

Oxykarbamazepine merupakan ketoderivat karbamazepine dimana mempunyai efek

samping lebih rendah dibanding dengan karbamazepine dan dapat meredakan nyeri dengan

baik. Pada umumnya dosis dimulai dengan 2 x 300 mg yang secara bertahap ditingkatkan

untuk mengontrol rasa sakitnya. Dosis maksimumnya 2400-3000 mg perhari. Efek samping

yang paling sering adalah nausea, mual, dizziness, fatique dan tremor. Efek samping yang

jarang timbul yaitu rash, infeksi saluran pernafasan, pandangan ganda dan perubahan elektrolit

darah. Seperti obat anti-seizure lainnya, penambahan dan pengurangan obat harus secara

bertahap.2

Lamotrigine

Lamotrigin berefek pada saluran natrium, menstabilkan membran saraf dan menghambat

pelepasan rangsangan neurotransmiter. Dosis awal 25 mg/hari secara perlahan meningkat

sampai dosis 200 - 400 mg/hari dibagi dua dosis. Efek samping dapat berupa pusing, mual,

penglihatan kabur dan ataksia. Sekitar 7- 10% pasien dapat terjadi ruam pada kulit selama

terapi 4 - 8 minggu. Dapat juga terjadi kelainan berupa deskuamasi atau terkait gejala parah
demam atau limfadenopati indikasi Stevens - Johnson sindrom yang membutuhkan

penghentian segera.2

Phenitoin

Phenitoin berefek anti konvulsi tanpa menyebabkan depresi umum SSP. Sifat anti konvulsi

obat ini berdasarkan pada penghambatan penjalaran rangsang dari fokus kebagian lain di otak.

Penggunaan phenitoin harus hati-hati dalam mengkombinasikan dengan karbamazepine karena

dapat menurunkan dan kadang-kadang menaikkan kadar phenitoin dalam plasma, sebaiknya

diikuti dengan pengukuran kadar obat dalam plasma.7,8

Phenitoin dapat mengobati lebih dari setengah penderita trigeminal neuralgia dengan dosis

300-600mg dibagi dalam 3 dosis perhari. Efek samping yang ditimbulkannya adalah

nystagmus, dysarthria, ophthalmoplegia dan juga mengantuk serta kebingungan. Efek lainnya

adalah hiperplasia gingiva dan hypertrichosis. 2

Baklofen

Baklofen tidaklah seefektif karbamazepine atau phenytoin, tetapi dapat dikombinasi

dengan obat-obat tersebut. Obat ini berguna pada pasien yang baru terdiagnosa dengan rasa

nyeri relatif ringan dan tidak dapat mentoleransi karbamazepine.. Dosis untuk menghilangkan

rasa sakit secara komplit 40-80 mg perhari. Baklofen memiliki durasi yang pendek sehingga

penderita trigeminal neuralgia yang berat membutuhkan dosis setiap 2-4 jam.2

Efek samping yang paling sering timbul karena pemakaian baklofen adalah

mengantuk, pusing, nausea dan kelemahan kaki. Baklofen tidak boleh dihentikan

secara tiba-tiba setelah pemakaian lama karena dapat terjadi halusinasi atau serangan jantung.2

Gabapentin

Dosis yang dianjurkan 1200-3600 mg/hari. Obat ini hampir sama efektifnya dengan

karbamazepine tetapi efek sampingnya lebih sedikit. Dosis awal biasanya 3x300 mg/hari dan
ditambah hingga dosis maksimal. Reaksi merugikan paling sering adalah somnolen, ataksia,

fatique dan nystagmus. Seperti semua obat, penghentian secara cepat harus dihindari.2

b. Terapi Pembedahan

Terapi farmakologik umumnya efektif akan tetapi ada juga pasien yang tidak bereaksi atau

timbul efek samping yang tidak diinginkan maka diperlukan terapi pembedahan.2

Beberapa situasi yang mengindikasikan untuk dilakukannya terapi pembedahan yaitu: (1)

Ketika pengobatan farmakologik tidak menghasilkan penyembuhan yang berarti, (2) Ketika

pasien tidak dapat mentolerir pengobatan dan gejala semakin memburuk, (3) Adanya gambaran

kelainan pembuluh darah pada MRI.1

Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah prosedur ganglion gasseri, terapi gamma

knife dan dekompresi mikrovaskuler. Pada prosedur perifer dilakukan blok pada nervus

trigeminus bagian distal ganglion gasseri yaitu dengan suntikan streptomisin, lidokain, alkohol

. Prosedur pada ganglion gasseri ialah rhizotomi melalui foramen ovale dengan radiofrekuensi

termoregulasi, suntikan gliserol atau kompresi dengan balon ke dalam kavum Meckel. Terapi

gamma knife merupakan terapi radiasi yang difokuskan pada radiks nervus trigeminus di fossa

posterior. Dekompresi mikrovaskuler adalah kraniotomi sampai nervus trigeminus difossa

posterior dengan tujuan memisahkan pembuluh darah yang menekan nervus trigeminus. 2

11. Prognosis
Setelah serangan awal, trigeminal neuralgia dapat muncul kembali selama berbulan-bulan

atau bahkan bertahun-tahun berikutnya. Setelah itu serangan bisa menjadi lebih sering, lebih

mudah dipicu, dan mungkin memerlukan pengobatan jangka panjang. Meskipun neuralgia

trigeminal tidak terkait dengan hidup singkat, morbiditas yang terkait dengan nyeri wajah

kronis dan berulang dapat dipertimbangkan jika kondisi tidak cukup terkontrol. Kondisi ini

dapat berkembang menjadi sindrom nyeri kronis, dan pasien dapat menderita depresi dan
kehilangan fungsi sehari-hari. Pasien dapat memilih untuk membatasi kegiatan yang memicu

rasa sakit, seperti mengunyah, sehingga pasien mungkin kehilangan berat badan dalam keadaan

ekstrim.14
DAFTAR PUSTAKA

1. Bonica’s , 2001, Management of Pain. LippincottWilliam & Wilkins Philadelphia,


pp 3-16

2. Meliala, L. 2004.Nyeri Keluhan yang Terabaikan:Konsep Dahulu, Sekarang , dan


Yang AkanDatang, Pidato Pengukuhan Jabatan GuruBesar, Fakultas Kedokteran
UniversitasGadjahMada.

3. Silbernagl/Lang, 2000, Pain in Color Atlas ofPathophysiology , Thieme New


York.320-321

4. Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi. Jakarta:EGC

5. Gupta SK, Gupta A, Mahajin A, et al. Clinical insights in Trigeminal Neuralgia. JK Science
2005; 7 (3): 181-184.

6. Mark Obermann. Treatment optionts in trigeminal neuralgia. Therapeutics Advances in


Neurological Disorders 2010; 3(2): 107-115.

7. Meraj NS, Siddiqui S, Ranashinghe JS, et al. Pain management: trigeminal neuralgia.
Hospital Physician 2003; 3: 64-70.

8. Loeser JD. Cranial Neuralgia, In : Banica’s Management of Pain, Philadelphia, Lipincott


William & Wilkins. 2001.

9. Nurmikko TJ and Eldridge PR. Trigeminal neuralgia-pathophysiology, diagnosis, and


current treatment. Brithish Journal of Anaesthesia 2001; 87 (1): 117-132.

10. Sharav Y. Orofacial Pain : Dental Vascular & Neuropathic, In: Pain-An Updated Review.
Seattle: IASP Press. 2002.

11. Bryce DD. Trigeminal Neuralgia. [online] Facial Neuralgia Rerources 2006 [cited 2013
June 1]; Availabe from: URL: http://www.Facial Neuralgia, org/conditins/tn.html.

12. Kauffman AM and Patel M. Your complete guide to trigeminal neuralgia. [online] CCND
Winnipeg 2001. [cited 2012 June 1]; Available from URL:
http://www.umanitoba.ca/cranial_nerves/trigeminal_neuralgia/manuscript/

13. Mardjono M, Shidarta P. Saraf otak kelima atau nervus trigeminus dalam neurologi klinis
dasar. Diar Rakyat: Jakarta. 2008.

14. Gintautas S, Joudzybalys G, Wang HL. Aetiology and pathogenesis of trigeminal


neuralgia: a comprehensive review. J Oral Maxillofac 2012; 3(4): 1-7

15. Rabinovich A, Fang Y, Scrivani S. Diagnosis and Management of Trigeminal Neuralgia.


Columbia Dental Review 2000; 5: 4-7.
16. Passos JH et al. Trigeminal Neuralgia. [online] Journal of Dentistry & Oral Medicine 2001.
[cited 2013 June 1]; Available from: URL: http://www.epub.org.br.

17. Kleef MV, Genderen WE, Narouze S. Evidence based medicine trigeminal neuralgia.
World Institute of Pain 2009; 9(4): 252-259.

18. Manish KS. Trigeminal neuralgia. [online] Medscape 2013. [cited 2013 June 1]; Available
from URL: http://emedicine.medscape.com/article/1145144-overview

Anda mungkin juga menyukai