Anda di halaman 1dari 9

Manajemen kepaniteraan PA.

Soal 1
Soal 2

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon banding :

1) Permohonan banding harus disampaikan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah dalam tenggang waktu :

2) Membayar biaya perkara banding (Pasal 7 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947, Pasal 89 Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989).

3) Panitera memberitahukan adanya permohonan banding (Pasal 7 Undang-undang Nomor 20 Tahun


1947).

4) Pemohon banding dapat mengajukan memori banding dan Termohon banding dapat mengajukan
kontra memori banding (Pasal 11 ayat (3) Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947).

5) Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah permohonan diberitahukan kepada pihak lawan,
Panitera memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk melihat surat-surat berkas perkara di
kantor Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah (Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 tahun
1947).

6) Berkas perkara banding dikirim ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah provinsi oleh Pengadilan
Agama/ Mahkamah Syar’iyah selambat-lambatnya delam waktu 1(satu) bulan sejak diterima perkara
banding.

7) malinan putusan banding dikirim oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Provinsi ke


Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah yang memeriksa perkara pada tingkat pertama untuk
disampaikan kepada para pihak.

8) Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah menyampaikan salinan putusan kepada para pihak.

9) Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka panitera memberitahukan tentang
Penetapan Hari Sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil Pemohon dan Termohon dalam
perkara Cerai Talak dan Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalm
waktu 7 (tujuh) hari dalam perkara Cerai Gugat.
Soal 3

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon Kasasi

Mengajukan permohonan kasasi secara tertulis atau lisan melalui Pengadilan Agama/Mahkamah
Syar’iyah yang memutus perkara dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah penetapan/pusan
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Provinsi diberitahukan kepada Pemohon (Pasal 46 ayat (1)
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004).

Membayar biaya perkara kasasi (Pasal 46 ayat (3) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 yang telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 2004).

Panitera pengadilan tingkat pertama memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan, selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari setelah permohonan kasasi terdaftar.

Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari
setelah permohonannya didaftar (Pasal 47 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 yang telah
diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004).

Panitera pengadilan tingkat pertama memberitahukan dan menyampaikan salinan memori kasasi kepada
Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya memori kasasi (Pasal 47
ayat (3) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 5
Tahun 2004).

Pihak lawan dapat mengajukan surat jawaban terhadap memori kasasi kepada Mahkamah Agung
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya salinan kasasi (Pasal 47 ayat (3)
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004).

Panitera pengadilan tingkat pertama mengirimkan berkas kasasi kepada Mahkamah Agung selambat-
lambatnya dalam tenggang 30 (tiga puluh)hari sejak diterimanya memori kasasi dan jawaban memori
kasasi (Pasal 48 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 2004).

Panitera Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah


Syar’iyah untuk selanjutnya disampaikan kepada para pihak.

Setelah putusan disampaikan kepada para pihak maka panitera :

a.Untuk perkara cerai talak :

1)Memberitahukan tentang Penetapan Hari Sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil kedua
belah pihak.

2)Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalm waktu 7 (tujuh) hari.

b.Untuk perkara cerai gugat :


10. Memberikan Akta cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalm waktu 7 (tujuh) hari.

Soal 4

A. PENGERTIAN

Surat Kuasa Insidentil adalah pemberi kuasa kepada penerima kekuasaan yang masih merupakan kerabat
pemberi kuasa untuk dan atas nama pemberi kuasa beracara di Pengadilan. Syarat sahnya surat kuasa
insidentil di disetujui adalah:

Penerima Kuasa tidak berprofesi sebagai advokat / pengacara.

Penerima Kuasa adalah orang yang memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda dengan pemberi
persetujuan sampai derajat tiga yang dibuktikan dengan surat keterangan hubungan keluarga yang
dikeluarkan oleh Lurah / Kepala Desa. Pengertian “derajat hitam” mencakup hubungan lurus ke atas, ke
bawah, dan ke samping.

Tidak menerima ketidakseimbangan layanan atau upah.

Sepanjang tahun berjalan belum pernah bertindak sebagai insidentil pada perkara yang lain.

Hanya berlaku untuk beracara di Pengadilan tempat surat persetujuan tersebut didaftarkan dan juga
hanya pada perkara yang ditunjuk.

B. DASAR HUKUM KUASA INSIDENTIL

Sebenarnya baik dalam HIR, RBg, Rv juga KUHPerdata, istilah Kuasa Insidentil tidak dikenal sebagai salah
satu jenis penyedia bantuan wewenang. Surat kuasa insidentil mengatur dalam Buku II Pedoman Teknis
Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, yang dapat menerima kuasa untuk
menghadap di pengadilan adalah: 1)

Advokat

Jaksa dengan otoritas khusus mewakili negara atau pemerintah

Biro Hukum Pemerintah / TNI / Kejaksaan RI


Direksi atau karyawan yang ditunjuk oleh suatu badan hukum

Mereka yang mendapat otoritas insidentil yang ditentukan oleh Ketua Pengadilan

C. PROSEDUR PEMBUATAN SURAT KUASA INSIDENTIL

Boleh dibilang karena surat kuasa insidentil ini hampir sama dengan surat kuasa Istimewa karena sama-
sama dibuat dihadapan para pejabat yang terlibat. Bedanya, jika surat kuasa istimewa hanya pada
tindakan hukum yang istimewa dan dibuat dihadapan notaris, sedangkan wewenang insidentil ini
termasuk juga tindakan hukum yang tidak istimewa juga dibuat dihadapan dan seizin Ketua Pengadilan
tempat pemberi dukungan gugatan gugatan.

Dengan demikian, jika melihat dari uraian di atas, maka prosedur pembuatan surat perintah insidentil
adalah sebagai berikut:

Pemberi kuasa dan penerima wewenang membawa surat pernyataan hubungan keluarga dari kelurahan
datang ke Pengadilan tempat pemberi kuasa akan berperkara;

Lalu setelah sampai melapor kepada petugas pengadilan agar disetujui menghadap ke Ketua Pengadilan
untuk permintaan izin membuat surat kuasa insidentil.

Jika diizinkan, maka ketua pengadilan akan membuat penetapan yang intinya memberikan izin kepada
pihak yang berperkara untuk menguasakan atau mewakilkan perkumpulan bagi penerima wewenang;

Insidentil Pemberi Insiden membuat surat kuasa insidentil.

Demikianlah penjelasan singkat tentang apa dan bagaimana prosedur pembuatan surat kuasa insidentil.

Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi
2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008

Soal 5

Apa itu Prodeo?

Proses berperkara di pengadilan secara cuma-cuma (gratis).

Siapa yang berhak berperkara secara Prodeo?


Orang yang dapat berperkara secara prodeo adalah warga negara yang tidak mampu (miskin) secara
ekonomi.

Kasus apa saja yang bisa diajukan secara prodeo?

Semua perkara pada dasarnya dapat diajukan secara prodeo, seperti :

1. Perceraian

2. Itsbat Nikah

3. Pemohonan wali Adhol (wali yang tidak mau menikahkan anaknya)

4. Gugat Waris

5. Gugat Hibah

6. Perwalian Anak

7. Gugatan Harta Bersama, dll

Apakah permohonan berperkara secara prodeo pada pengadilan tingkat pertama juga berlaku pada
tingkat banding atau kasasi ?

Permohonan berperkara secara prodeo hanya berlaku untuk 1 tingkat peradilan. Jika
Pemohon/Penggugat mengajukan banding atau kasasi maka Pemohon/Penggugat harus mengajukan
permohonan baru untuk berperkara secara prodeo pada tingkat banding atau kasasi.

Apa saja Syarat yang Harus Dipenuhi untuk Mengurus Permohonan Prodeo ?

Mempunyai Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari Kelurahan/Desa (dan jika mempunyai dokumen
lain seperti Jamkesmas/ Jamkesda/ Askeskin/ Gakin dapat dilampirkan).

Apa Hak Pemohon/Penggugat setelah prodeo dikabulkan ?

Pemohon/Penggugat berhak mendapatkan semua jenis pelayanan secara Cuma-Cuma (gratis) yang
berkaitan dengan pemeriksaan perkara prodeonya dari awal sampai akhir.

Bagaimana Cara Mengurus SKTM?

Pemohon/penggugat datang ke Kelurahan/Desa dengan membawa :

1. Surat pengantar dari RT /RW

2. Kartu Keluarga/KK

3. Kartu Tanda Penduduk/ KTP


Soal 6

Laporan perkara pada Pengadilan Agama mengacu pada ketentuan Pola Bindalmin[1] yang menjadikan
pelaporan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dan merupakan rangkaian dari tugas yang diemban
oleh Peradilan di dalam melaksanakan amanah undang-undang untuk menerima, memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara[2] yang diajukan kepadanya. Sekalipun pelaporan tidak menjadi tugas pokok
yang secara langsung melekat pada lembaga Peradilan dan tersurat di dalam undang-undang, namun
laporan perkara dapat menjadi instrumen penting yang dapat menentukan dan menilai kinerja aparat
Peradilan (mulai dari Ketua, hakim, panitera, maupun para panitera pengganti) yang melaksanakan tugas
menyelesaikan suatu perkara yang ditangani.

Laporan Perkara pada Pengadilan Agama secara ideal memiliki urgenitas atau fungsi-fungsi[4] sebagai
berikut :

1. Sebagai alat pantau, segala tingkah laku dan perbuatan hakim dan pejabat kepaniteraan oleh
Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai kawal depan dari Mahkamah Agung RI

2. Sebagai bahan untuk meneliti kebenaran dari evaluasi.

3. Sebagai bahan/dasar bagi MARI untuk mengevaluasi hasil pengawasan yang dilakukan oleh PTA dan
sebagai bahan bagi PTA untuk mengevaluasi hasil pengawasan yang dilakukan oleh PA.

4. Sebagai bahan untuk mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapai, sehingga di dalam
mengambil keputusan dalam rangka pembinaan lebih lanjut dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana.
Penulis mencermati, dari 4 (empat) fungsi laporan tersebut di atas, fungsi lain yang lebih konkrit dan
lebih luas antara lain :

a) Sebagai Data informasi. Secara umum dan kasat mata, dari bentuk hard copy ataupun soft copy
laporan perkara yang disampaikan suatu lembaga kepada lembaga lain di atasnya, akan menjadi
informasi yang tepat dan suatu bentuk komunikasi (melaporkan hasil pekerjaan) mengenai aktivitas atau
kegiatan lembaga, aparat, hingga hasil kinerja selama kurun waktu tertentu

b) Indikator efektivitas ketentuan atau aturan tertentu. Data yang tersaji dalam laporan merupakan
gambaran pelaksanaan tugas peradilan secara menyeluruh, khususnya pelaksanaan tupoksi peradilan.
Tanggal atau nomor perkara yang disajikan dalam laporan merupakan manifestasi dari aturan yang harus
dilaksanakan, seperti ketentuan penetapan majelis hakim (PMH), penetapan hari sidang, sampai berapa
kali persidangan dilaksanakan tercermin dalam laporan. Efektif tidaknya aturan yang semestinya, dapat
terlihat dari data yang tersaji dalam laporan.

c) Tolok ukur Kinerja Aparat Peradilan termasuk sistem manajerial pada satker. Laporan perkara
memberikan gambaran kinerja team work aparat peradilan, mulai dari hakim, panitera, sampai petugas
atau pejabat penyusun laporan (bertanggung jawab). Kinerja hakim dapat dinilai melalui data suatu
perkara sejak ditetapkan PMH, persidangan, hingga putusan dijatuhkan dan minutasi. Demikian halnya
dengan kinerja Panitera yang akan terlihat dari cara atau kemampuannya mengelola keuangan perkara,
tepat tidaknya menggunakan biaya-biaya tersebut sesuai ketentuan, dll. Bagaimana peran dan prinsip
yang dipegang pimpinan satker dalam menyelaraskan dan mengapikasikan aturan hingga segala bentuk
‘pertanggungjawaban” atau tugas lainnya dimanaje dengan baik dan disampaikan tepat waktu.

d) Dapat menjadi acuan di dalam menetapkan program, arah kebijakan, atau SOP bagi pimpinan
satker agar kualitas kinerja semakin meningkat. Laporan perkara yang akurat, valid, dan sesuai ketentuan
bisa menjadi bahan acuan atau referens yang kuat bagi pimpinan di dalam menetapkan berbagai
kebijakan atau program kerja terutama menyangkut peningkatan kualitas pelaksanaan tupoksi. Melalui
data laporan, pimpinan khususnya dapat melihat, mengevaluasi, dan menentukan aparat mana (hakim
atau panitera) yang telah melaksanakan tugas dengan baik atau sebaliknya, khususnya dalam menangani
perkara. Berdasarkan laporan pula, pimpinan dapat menetapkan SOP (Standar Operasional Prosedur)
pelaksanaan tugas yang lebih optimal jika sebelumnya masih terevaluasi ditemukan
kelemahankelemahan.

e) Dapat menentukan keberhasilan lembaga peradilan. Urgensi laporan perkara yang lebih besar
barangkali adalah bahwa laporan dapat menentukan atau menjadi indikator keberhasilan sebuah
lembaga seperti peradilan di dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemberi pelayanan. Laporan perkara
yang tertib dengan data yang disajikan akurat, valid, mencerminkan bahwa lembaga tersebut memiliki
sistem manajemen yang baik dan dikelola oleh orang atau aparat yang memiliki kapasitas yang memadai.
Bagaimana tugas masing-masing aparat dapat dilaksanakan dengan baik dan proporsional sampai para
pihak mendapat kepuasan atas pelayanan yang diberikan adalah impact dari suatu pengelolaan
manajemen yang baik. Oleh karenanya, tidak berlebihan jika dari suatu laporan perkara sekalipun bagian
kecil dari pelaksanaan tugas peradilan, dapat mewakili citra sebuah lembaga yang demikian besar.

[1] Pola Bindalmin adalah suatu pola pembinaan bidang administrasi yang dikembangkan di dalam
lingkungan Peradilan (Pola

Pembinaan dan Pengendalian Administrasi Perkara) meliputi penerimaan/pendaftaran,adminstrasi biaya


perkara,

register, laporan, persiapan persidangan, pelaksanaan persidangan, pengarsipan). Buku II Edisi 2009, hal.
1-54

[2] Yang menjadi kewenangan Peradilan Agama menurut Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
yang telah diubah

menjadi Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.

[3] Pada Pengadilan Agama dikenal dengan LIPA 1 (laporan keadaan perkara), pada Pengadilan Tinggi
Agama dikenal dengan
RK-1.

[4] Dr.H.Abdul Manan, SH.,S.Ip., M.Hum & Drs.H.Ahmad Kamil, SH., M.H, Pola Bindalmin, penerapan dan
Pelaksanaan um, Jakarta :

Direktorat Pembinaan Administrasi Peradilan Agama Ditjen Badilag, MA RI , 2007, h. 69.

Anda mungkin juga menyukai