I. PENDAHULUAN
Liken planus (LP) pertama kali dijelaskan oleh Erasmus Wilson pada tahun 1869. Liken
planus diklasifikasikan sebagai penyakit papuloskuamosa; walaupun gejala yang menonjol
adalah bersisik tetapi tidak sama dengan psoriasis dan penyakit kulit lainnya yang termasuk
dalam kategori ini1-3
Liken planus merupakan suatu kelainan yang unik, yakni suatu penyakit inflamasi yang
berefek ke kulit, membran mukosa, kuku, dan rambut. Lesi yang tampak pada lichen planus-
like atau dermatitis lichenoid tampak seperti ketombe, beralur halus, kotoran yang kering dari
tumbuh-tumbuhan simbiosis yang dikenal sebagai liken. Walaupun morfologi ini mungkin
sulit untuk dibandingkan, liken planus merupakan suatu kesatuan yang khusus dengan bentuk
papul “lichenoid” yang menunjukkan warna dan morfologi yang khusus, berkembang di
lokasi yang khas, dan pola perkembangan karakteristik yang nyata2,3
Terdapat gejala yang khas yaitu empat P : purple, pruritic, polygonal dan papule, adalah
gejala klinis yang dapat dicari untuk membantu menegakkan diagnosis liken planus1.
II. EPIDEMIOLOGI
Distribusi liken planus ditemukan di seluruh dunia. Prevalensi dan insidensi pasti untuk
kasus ini belum diketahui, namun diperkirakan jumlahnya 1% dari total populasi dunia. Di
Amerika Serikat, kasus liken planus mencapai 0,44% dari seluruh penduduk1,4.
Liken planus tidak memiliki predisposisi yang kuat untuk setiap jenis kelamin. Beberapa
penulis menemukan 60% kasus terjadi pada wanita, dengan bentuk inflamasi dan deskuamasi
vaginitis. Predominan terjadi pada orang dewasa di usia 30-60 tahun, bagaimanapun
sebetulnya penyakit ini dapat menyerang segala usia1-3,5.
Liken planus tidak memiliki kecenderungan untuk menjadi suatu keganasan, namun lesi
ulseratif di mulut, terutama pada pria, memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk
berlanjut menjadi ganas. Meskipun begitu, insidensi transformasi ini kecil, yakni kurang dari
2% kasus. Lesi di vulva pada penderita wanita juga dapat berkembang menjadi karsinoma sel
skuamosa2.
III. ETIOPATOGENESIS
Sistem imunitas spesifik, terutama selular, memiliki peran penting dalam memicu
terjadinya penyakit liken planus1,2,6.
CD4 dan CD8 dapat ditemukan pada lesi-lesi kulit. Akumulasi sel CD8 pada kulit
menentukan progresivitas penyakit yang diderita; semakin banyak CD8 yang ditemukan
maka akan semakin berat penyakitnya. Sel-sel ini kemudian akan memicu reseptor-reseptor
lain di kulit dan akan berakhir pada suatu proses yang diyakini menjadi dasar dari setiap
perubahan yang terjadi pada kulit yakni apoptosis1.
Ada tiga proses yang terjadi sampai akhirnya menjadi apoptosis, yakni pengenalan
antigen, aktivasi limfosit, dan apoptosis keratinosit1,2,6,7
Perjalanan penyakit dimulai dari pengenalan antigen spesifik liken planus oleh sel CD8 di
tempat lesi. Antigen liken planus belum diketahui. Beberapa pendapat menyebutkan antigen
ini adalah suatu protein autoreaktif yang dapat memicu proses autoimun tubuh, namun ada
juga yang menyebutkan bahwa antigen ini menyerupai antigen eksogen seperti virus, bakteri,
dan lain-lain. Selanjutnya, sistem imunitas innate menjadi terstimulasi, dan memacu sekresi
beberapa interleukin, interferon dan TNF.1.
Setelah pengenalan antigen, sel CD8 menjadi teraktivasi, dan kemudian melepaskan
sitokin dan kemokin yang menyebabkan terjadinya konsentrasi limfosit di tempat lesi.
Limfosit-limfosit ini selanjutnya akan terus berada di tempat tersebut. Rangkaian proses ini
akan berakhir dengan apoptosis keratinosit, yang mekanisme pastinya belum diketahui.
Diduga adanya gangguan pada membrane basal kulit dapat menyebabkan apoptosis.1.
Liken planus dihubungkan dengan reaksi alergi atau reaksi kekebalan, faktor resikonya
termasuk radioterapi, bahan yang dicelup, dan substansi bahan kimia (emas, antibiotik,
arsenik, iodida, kloroquin, quinarine, quinide, phenothiazine, dan diuretik)3,4
Frekuensi terjadinya penyakit ini ditemukan meningkat pada orang-orang yang menderita
penyakit hati, contohnya hepatitis C, hepatitis autoimun. Dan sirosis biliaris. Prevalensi
terjadinya liken planus pada penderita hepatitis C di daerah Eropa Selatan berkisar antara 16-
29%. Selain itu, diteliti pula peranan faktor genetik yang mengontrol ketahanan seseorang
terhadap penyakit hepatitis C dan prevalensinya terhadap genotip HCV tertentu1.