Anda di halaman 1dari 58

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMINAR TAHUN AJARAN 2019/2020

DAMPAK PELAPUKAN PADA STABILITAS LERENG


DI MASSA BATUAN LUNAK

ERA REFORMIS SINURAYA


21100116120015

FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI

SEMARANG
NOVEMBER 2019
HALAMAN PENGESAHAN

Karya Tulis ini ditulis oleh :


Nama : Era Reformis Sinuraya
NIM : 21100116120015
Departemen : Teknik Geologi
Fakultas : Teknik
Judul Seminar : Dampak Pelapukan Pada Stabilitas Lereng di massa batuan Lunak

Telah disetujui dan disahkan oleh Dosen Pembimbing sebagai bagian


pesyaratan Kurikulum Pendidikan Departemen Teknik Geologi Fakultas
Teknik Universitas Diponegoro.

Menyetujui,
Tanggal November 2019

Dosen Pembimbing

Najib, ST., M.Eng., Ph.D


NIP. 1977102020050110011

ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Sebagai sivitas akademika Universias Diponegoro, saya yang bertanda tangan


dibawah ini :
Nama : Era Reformis Sinuraya
NIM : 21100116120015
Departemen : Teknik Geologi
Fakultas Teknik : Teknik
Jenis Karya : Karya Tulis (Seminar)
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Diponegoro hak untuk melakukan publikasi selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik hak cipta
atas karya tulis saya yang berjudul :

DAMPAK PELAPUKAN PADA STABILITAS LERENG DI MASSA BATUAN


LUNAK
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Semarang
Pada Tanggal : 18 November 2019

Yang Menyatakan,

Era Reformis Sinuraya


NIM 21100116120015

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dimana atas
segala berkat dan rahmat yang diberikan-Nya penulis dapat menyelesaikan
penyusunan karya tulis seminar dengan judul “Dampak Pelapukan Pada Stabilitas
Lereng di massa batuan lunak” dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah seminar
dengan tepat waktu.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah mendukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan
penyusunan karya tulis seminar, antara lain:
1. Kedua orang tua tercinta dan kakak-kakak penulis yang selalu
memberikan dukungan moral, mendoakan, memotivasi, dan memberikan
semangat kepada saya.
2. Bapak Najib, ST., M.Eng., Ph.D selaku dosen pembimbing.
3. Seluruh dosen dan staff pengajar Departemen Teknik Geologi
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
4. Irvan Sumantri Pakpahan, Hillary, Lestari Butar-butar, Nadyk Evan
Nino, dan Rahmat Yusuf Borman selaku rekan kelompok bimbingan
seminar.
5. Teman – teman Teknik Geologi angkatan 2016 yang telah membantu dan
memberikan berbagai kritik dan saran selama proses pemetaan
penyusunan seminar.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan laporan
ini. Penulis mengharapkan adanya kritik maupun saran yang membangun, sehingga
laporan ini dapat disempurnakan. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi siapa
pun yang membaca laporan ini sebagai ilmu pengetahuan.

Semarang, 18 November 2019


Penulis

iv
SARI

Proses pelapukan dapat didefinisikan sebagai proses perubahan batuan yang terjadi akibat
pengaruh langsung atmosfer dan hidrosfer (Sounders dan Fookes, 1970 op. cit. Beavis dkk.,
1992). Adanya pelapukan pada massa dan material batuan sering mengakibatkan rencana
desain suatu struktur bangunan menjadi khas, karena pelapukan umumnya mengakibatkan
pula perubahan sifat keteknikannya (Sadisun dkk., 1998; Karpuz dan pasamehmetoglu,
1997; Krank dan Watters, 1983; Dearman dkk., l97g). Mernpelajari pengaruh pelapukan
batuan terhadap kondisi batuan dan karakteristik sifat keteknikannya merupakan bagian
yang sangat penting dalarn investigasi geologi teknik. Maka, dalam upaya mengetahui
secara rinci karakteristik sifat keteknikan batuan, studi pengaruh pelapukan batuan
terhadap beberapa sifat keteknikannya dapat menjadi parameter masukan yang penting
guna menunjang kegiatan perencanaan pembuatan desain perkuatan lereng. Menunjukkan
bahwa semakin tinggi derajat pelapukan batuan, berat isi batuan cenderung semakin kecil.
Secara umum perubahan berat isi batuan turun terhadap kenaikan derajat pelapukannya.

Kata Kunci : Pelapukan, Batuan lunak , Kestabilan lereng, Dampak pelapukan

v
ABSTRACT

The weathering process can be defined as the process of rock change that occurs due to the
direct influence of the atmosphere and hydrosphere (Sounders and Fookes, 1970 op. Cit.
Beavis et al., 1992). Weathering in rock mass and material often results in a design plan
for a building structure to be typical, because weathering generally results in changes in its
engineering properties (Sadisun et al., 1998; Karpuz and pasamehmetoglu, 1997; Krank
and Watters, 1983; Dearman et al., 1977g) . Studying the effect of rock weathering on rock
conditions and their engineering characteristics is a very important part of engineering
geological investigations. So, in an effort to find out in detail the characteristics of rock
engineering characteristics, the study of rock weathering effects on some of its engineering
characteristics can be an important input parameter to support planning activities in the
design of slope reinforcement design. Show that the higher the degree of weathering of
rocks, the weight of rock contents tends to be smaller. In general, changes in the weight of
rock contents decrease with increasing degrees of weathering.

Keywords: Weathering, Soft rock, Slope stability, Weathering impact

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iv
SARI ............................................................................................................. v
ABSTRACT .................................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
I.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
I.2 Tujuan Penelitian. …………………………………………………. 1
I.3 Manfaat Penelitian............................................................................ 1
BAB II PELAPUKAN BATUAN............................................................... 3
II.1 Pengertian Pelapukan Batuan ........................................................ 3
II.2 Jenis-Jenis Pelapukan Batuan ......................................................... 3
BAB III PELAPUKAN PADA BATUAN LUNAK ................................. 9
III.1 Gambaran Umum Batuan Lunak .................................................. 9
III.2 Faktor Penyebab Pelapukan .......................................................... 11
III.3 Pengaruh Derajat Pelapukan Batuan ............................................. 12
III.4 Perubahan Keteknikan Batuan Akibat Pelapukan......................... 16
BAB IV STABILITAS LERENG PADA BATUAN LUNAK ................. 18
IV.1 Tipe Gerakan Tanah Berdasarkan Material ................................... 18
IV.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesetabilan Lereng ............... 24
IV.3 Stabilisasi Lereng .......................................................................... 30
IV.4 Pelapukan Batuan Lunak Dan Desain Perkuatan Lereng .............. 35
BAB V STUDI KASUS ............................................................................... 39

vii
V.1 Latar Belakang ................................................................................ 39
V.2 Litologi Daerah Penelitian………….. ............................................ 40
V.3 Sifat Fisik dan Mekanik .................................................................. 40
V.4 Analisis Kestabilan Lereng Pada Batuan Lunak ............................. 41
BAB VI KESIMPULAN ............................................................................. 45
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 47

viii
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Macam-macam batuan lunak (Kanji, 2014)…………............... 10


Tabel 3.2 Sistem kiasifikasi derajat pelapukan (Dearman, 1979 op. cit Dearman
dkk., 1978)… …………………………………………………..………… 13
Tabel 3.3 Derajat pelapukan batuan dan karekteristik beberapa sifat keteknikan
(Sadisun, 1998)…………………..………………………………………… 16
Tabel 4.1 Klasifikasi longsoran oleh Stewart Sharpe (1938, dalam
Hansen,1984)……………. ………………………………………………… 19
Tabel 4.2. Klasifikasi longsoran (landslide) oleh Coates (dalam Hansen, 1984)
……………………………………………………………………………... 20
Tabel 4.3 Klasifikasi longsoran (landslide) oleh Varnes (1978)…………... 22
Tabel 4.4. Laju kecepatan gerakan tanah (Hansen, 1984) ........................ 23
Tabel 4.5. Hubungan Nilai Faktor Keamanan Lereng dan Intensitas Longsor
(Bowles, 1989)……………………………………………………………… 32
Tabel 4.6 Nilai FS hasil Simulasi untuk berbagai model lereng pada batulempung
........................................................................................................................ 36
Tabel 5.1 Nilai parameter sifat fisik dan mekanik (Laboratorium Geoteknik PT.
Kitadin)…………………………………………………………………….. 41
Tabel 5.2 Analisis Desain Awal Pada Soft Clay Material ( Laboratorium Geoteknik
PT. Kitadin)
....................................................................................................................... 42
Tabel 5.3 Analisis Desain Awal Pada Soft Clay Material kering Laboratorium
Geoteknik PT. Kitadin)…………………………………………………...... 43
Tabel 5.4 Analisis Desain Awal Pada Soft Clay Material jenuh Laboratorium
Geoteknik PT. Kitadin)…………………………………………………….. 44

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kondisi stress release di lapangan (Boggs, 2006) ................... 4


Gambar 2.2 Frost action and hydro-fracturing (Boggs, 2006) .................... 5
Gambar 2.3 Salt weathering dilapangan (Boggs, 2006)............................. 5
Gambar 2.4 Kondisi insolation weathering (Boggs, 2006) ......................... 6
Gambar 3.1 Klasifikasi batuan berdasarkan kekuatan menurut peneliti
(Kanji, 2014) ................................................................................................ 10
Gambar 3.2 Profil tanah residual (Little, 1969 dalam Hardiyatmo, 2006) ... 15
Gambar 4.1 Grafik tegangan geser sebagai fungsi dari perubahan derajat
pelapukan batulempung…………………………………………………… 37
Gambar 5.1 Sebaran Section (Mahardika dkk. 2017)................................... 42

x
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Massa batuan adalah susunan blok-blok material batuan yang
dipisahkan oleh berbagai tipe ketidakmenerusan geologi. Klasifikasi massa
batuan dikembangkan untuk mengatasi permasalahan yang timbul di
lapangan secara cepat dan tidak ditujukan untuk mengganti studi analitik,
observasi lapangan, pengukuran, dan engineering judgement. Berdasarkan
kompleksitas suatu massa batuan, beberapa penelitian berusaha untuk
mencari hubungan antara desain galian batu dengan parameter massa
batuan. Tujuan dari klasifikasi massa batuan adalah untuk mengelompokkan
jenis massa batuan berdasarkan perilakunya, sebagai dasar untuk
memahami karakter masing-masing kelas, memberikan data kuantitatif
untuk rancangan rekayasa batuan, dan sebagai dasar komunikasi (Sadisun
dkk., 1998).
Tanah sebagai dasar berdirinya suatu pekerjaan konstruksi sering
mengalami masalah pergerakan tanah, terutama pada tanah-tanah dengan
kondisi lunak. Masalah pergerakan tanah sering terjadi karena keadaan
geografi di berbagai tempat yang memiliki curah hujan tinggi serta struktur
geologi dan sifat rembesan tanah pada daerah setempat serta daerah potensi
gempa, hal ini masih diperparah dengan minimnya kesadaran masyarakat
akan bahaya gerakan tanah misalnya melakukan tindakan yang memicu
terjadinya kelongsoran atau pergerakan tanah (Sadisun dkk., 1998).
Proses pelapukan dapat didefinisikan sebagai proses perubahan
batuan yang terjadi akibat pengaruh langsung atmosfer dan hidrosfer
(Sounders dan Fookes, 1970 op. cit. Beavis dkk., 1992). Proses perubahan
dicapai melalui dua proses utama, yaitu pelapukan fisik dan pelapukan
kimia, yang berada dalarn sebuah keseimbangan fisika-kirnia baru.
Berlangsungnya kedua proses tersebut dapat dikatakan relatif lambat, tetapi

1
keberadaannya dalam batuan menjadi hal yang cukup penting dari sudut
pandang keteknikan. Adanya pelapukan pada massa dan material batuan
sering mengakibatkan rencana desain suatu struktur bangunan menjadi khas,
karena pelapukan umumnya mengakibatkan pula perubahan sifat
keteknikannya (Sadisun dkk., 1998; Karpuz dan pasamehmetoglu, 1997;
Krank dan Watters, 1983; Dearman dkk., l97g). Mernpelajari pengaruh
pelapukan batuan terhadap kondisi batuan dan karakteristik sifat
keteknikannya merupakan bagian yang sangat penting dalarn investigasi
geologi teknik. Maka, dalam upaya mengetahui secara rinci karakteristik
sifat keteknikan batuan, studi pengaruh pelapukan batuan terhadap beberapa
sifat keteknikannya dapat menjadi parameter masukan yang penting guna
menunjang kegiatan perencanaan pembuatan desain perkuatan lereng.

1.2 Tujuan Penelitian


 Mampu memahami faktor penyebab pelapukan dan jenis-jenis
pelapukan pada batuan lunak
 Memahami pengaruh pelapukan pada batuan lunak terhadap
kestabilan lereng
1.3 Manfaat Penelitian
1.3.1 Manfaat bagi Penulis
 Mengetahui pola dan tipe gerakan tanah Berdasarkan material
 Mengetahui keteknikannya batuan akibat pelapukan
 Mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan lereng
 Mengetaui konsep kestabilan lereng guna upaya penanggulangan
bencana longsor
1.3.2 Manfaat bagi Pembaca
 Mengetahui dampak pelapukan pada stabilitaas lereng
 Dapat membantu dalam memecahkan masalah yang ada dalam
keilmuan Geologi Teknik
 Sebagai bahan acuan atau penelitian pendahuluan untuk
penelitian

2
BAB II
PELAPUKAN BATUAN

2.1 Pengertian Pelapukan Batuan


Proses pelapukan dapat didefinisikan sebagai proses perubahan
batuan yang terjadi akibat pengaruh langsung atmosfer dan hidrosfer
(Sounders dan Fookes, 1970 op. cit. Beavis dkk., 1992. Adanya pelapukan
pada massa dan material batuan sering mengakibatkan rencana desain suatu
struktur bangunan menjadi khas, karena pelapukan umumnya
mengakibatkan pula perubahan sifat keteknikannya (Sadisun dkk., 1998;
Karpuz dan pasamehmetoglu, 1997; Krank dan Watters, 1983; Dearman
dkk., l978).
Pelapukan adalah proses alterasi dan pemecahan material tanah dan
batuan pada dan dekat permukaan bumi oleh proses kimia, fisika dan
biologis untuk membentuk tanah liat, oksida besi, dan produk pelapukan
lainnya (Ollier 1984; Selby 1993; Anon 1995). Proses ini umumnya
bertindak bersama-sama. Mineralogi, tekstur, dan sifat litologi batuan
berubah karena pelapukan, dan dengan demikian sifat rekayasa dari batuan
juga berubah (Undul, 2012).
Pelapukan adalah proses berubahnya batuan menjadi tanah (soil)
baik oleh proses fisika, kimia, dan biologi. Proses tersebut dapat
menyebabkan terjadinya perubahan keadaan hingg terbentuknya mineral-
mineral baru (Sawkins dkk, 1978: 346)

2.2 Jenis-Jenis Pelapukan Batuan


2.2.1. Pelapukan Fisika
Pelapukan fisika merupakan pelapukan yang sering disebut
sebagai pelapukan mekanik. Pelapukan fisika adalah proses
pelapukan dari batuan yang diakibatkan adanya pengaruh faktor
fisik pada batuan. Ada faktor utama yang paling berperan dalam

3
pelapukan ini. Faktor yang paling dominan tersebut adalah suhu
udara, tekanan, dan juga kristalisasi garam. Pelapukan fisika dikenal
sebagai pelapukan yang disebabkan oleh adanya perubahan suhu
atau iklim. Jenis pelapukan fisika hanya bisa ditemukan di daerah
yang mempunyai iklim ekstrim, seperti sub tropis, gurun, pesisir
pantai yang mempunyai topografi yang curam. Adapun beberapa
jenis pelapukan fisika yang diambil dari buku (Sam, Boggs., Jr.,
Principles of Sedimentary and Stratigraphy) sebagai berikut
1. Stress release
Batuan yang muncul ke permukaan bumi melepaskan
stress menghasilkan kekar atau retakan yang sejajar
permukaan topografi. Retakan-retakan itu membagi batuan
menjadi lapisan-lapisan atau lembaran (sheet) yang sejajar
dengan permukaan topografi. Proses ini sering disebut
sheeting. Ketebalan dari lapisan hasil proses sheeting ini
semakin tebal menjauhi dari permukaan. Proses pelapukan
jenis ini sering terjadi pada batuan beku terobosan yang dekat
permukaan bumi. Seperti pada gambar 2.1 kenampakan
dilapangan batuan yang muncul kepermukaan dengan tekstur
retakan yang sejajar pada permukaan topografi.

Gambar 2.1 Kondisi stress release di lapangan (Boggs, 2006)

4
2. Frost action and hydro-fracturing
Pembekuan air dalam batuan. Air atau larutan lainnya
yang tersimpan di dalam pori atau retakan batuan akan
meningkat volumenya sekitar 9% apabila membeku, sehingga
ini akan menimbulkan tekanan yang cukup kuat memecahkan
batuan yang ditempatinya. Proses ini tergantung keberadaan
pori dan retakan dalam batuan keberadaan air/cairan dalam
pori dan temperatur yang turun naik dalam jangka waktu
tertentu.

Gambar 2.2 Frost action and hydro-fracturing (Boggs, 2006)


3. Salt weathering
Pertumbuhan kristal pada batuan. Pertumbuhan kristal
pada pori batuan sehingga menimbulkan tekanan tinggi yang
dapat merusak/memecahkan batuan itu sendiri.

Gambar 2.3 Salt weathering dilapangan (Boggs, 2006)

5
4. Insolation weathering
Akibat pemanasan dan pendinginan permukaan karena
pengaruh matahari. Tentu saja pelapukan jenis ini akan besar
pengaruhnya di daerah yang mengalami perbedaan suhu
cukup besar, misalnya siang (panas) dan malam (dingin).

Gambar 2.4 Kondisi insolation weathering (Boggs, 2006)


2.2.2. Pelapukan Kimia
Pelapukan kimia merupakan proses pelapukan yang
diakibatkan perubahan struktur kimiawi yang ada pada batuan
melalui reaksi tertentu. Dalam pelapukan kimia ini, reaksi yang
terjadi pada proses pelapukan dibedakan menjadi tiga macam. Tiga
macam reaksi yang terjadi pada pelapukan kimia ini antara lain
adalah solution, hidrolisis, dan oksidasi. Ahmad Yani dan Mamat
Ruhimat (2008:92) menguraikan bahwa ada empat macam proses
yang termasuk ke dalam pelapukan kimia, yaitu:

1. Hidrasi atau adsorbsi air


Penarikan air oleh sesuatu zat tetapi air tersebut tidak
terus masuk terus masuk ke dalam zat itu. Air hanya
tertangkap di permukaan zat tersebut. Contoh hidrasi adalah
perubahan gips ke dalam anhidrit akibat adsorbsi air.
Persenyawaan kimianya sebagai berikut: CaSO4 + 2H2O
CaSO4 + 2H2O CaSO4 (Anhidrit) CaSO4 + 2H2O (Gips)

6
2. Hidrolisa
Penguraian air atas ion-ion H yang positif dan ion-
ion OH yang negatif. Ion-ion H bersama dengan unsur K,
Na, C, dan Mg mengadakan persenyawaan basa. Basa
sangat mudah bereaksi dengan zat lain yang mengakibatkan
K, Na, Ca, dan Mg berubah menjadi garam yang mudah
larut. Hal semacam ini tampak pada persenyawaan
orthoklas dan hidroksil sebagai berikut: KAlSi 3O8 + HOH
HAlSi2O8 - KOH KAlSi 3O8 (orthoklas) KOH (hidroksil).
3. Oksidasi
Pengkaratan pada besi yang terkandung pada batuan.
Perubahan warna coklat pada pinggiran batuan induk
merupakan akibat dari oksidasi. Satu contoh reaksinya
yakni 4FeO + 3H2O + O2 2Fe2
4. Karbonasi
Pada proses ini gas karbon dioksida (CO2) bekerja
sebagai faktor pelapuk. Air yang mengandung gas karbon
dioksida memiliki daya pelapuk sangat kuat. Gas karbon
dioksida yang terkandung dalam air diikat dari udara atau
dari sisa tumbuhan setelah mengalami proses humifikasi.
Batuan yang paling mudah dilapukkan oleh proses
karbonasi adalah batuan kapur (lime stone). Proses kimia
karbonasi dapat dilihat pada persenyawaan di bawah ini:
CaCO3 + H2O + CO2 Ca (HCO3)2 CaCO3 (kalsit)
Ca (HCO3)2 (kalsium bikarbonat).
Bambang Nianto Mulyo dan Purwadi Suhandini
(2004: 145 dan 2007:80) mencontohkan bahwa
penghancuran batuan melalui proses kimia menyebabkan
batuan yang lapuk perubahan susunan kimia. Contoh
tersebut adalah Kaolin dihasilkan dari felspar (Na2O .
Al2O3 . 6SiO2) melalui proses kimia. Na2O . Al2O3 .

7
6SiO2 + nH2O + CO2 Na2CO3 + SiO2 + SiO2 .
nH2O + 2H2O . Al2O3 . 2SiO2 (kaolin).
2.2.3. Pelapukan Biologi
Pelapukan biologi merupakan jenis pelapukan batuan yang
dilakukan oleh organisme melalui aktivitasnya di sekitar lingkungan
batuan tersebut berada. Dengan kata lain pelapukan biologi ini
terjadi karena disebabkan oleh makhluk hidup. Pelapukan ini terjadi
karena adanya peranan organisme - organisme tertentu. Adapun
organisme - organisme yang berperan dalam pelapukan ini antara
lain berupa binatang, tumbuhan, jamur, bakteri, atau bahkan
manusia Ahmad Yani (2008). Proses pelapukan biologi atau organik
ini melibatkan 2 cara, yaitu cara biokimia dan cara mekanis. Adapun
contoh pelapukan secara biologi atau organik ini antara lain adalah:

 Penetrasi akar tumbuhan ke dalam sela- sela batuan akan


menekan batuan tersebut, sehingga akan mengalami
perpecahan.
 Adanya lumut di atas batuan. Tumbuhnya lumut di permukaan
batuan memungkinkan batuan mengalami degradasi.
Kelembapan di permukaan batuan akibat adanya proses
penyerapan akar disertai dengan tingginya pH di sekitar
permukaan batuan akan membuat permukaan batuan tersebut
mengalami korosi.

8
BAB III
PELAPUKAN PADA BATUAN LUNAK

3.1. Gambaran Umum Batuan Lunak


Batuan lunak (softrock) merupakan istilah umum untuk
menggambarkan studi batuan sedimen dan cara transportasi serta
sedimentasi. Batuan lunak pada dasarnya mengacu pada batupasir,
barulempung, serpih, greywacke atau batuan sedimen yang lebih lunak dari
batuan beku dan metamorf dengan ukuran sedang hingga butiran halus
(Ahmad, 2017).
Konsep batuan lunak yang diperkenalkan pada batuan lunak di
bidang geologi ataupun rekayasa (Zhou H et., ak., 2014). Secara umum
batuan lunak adalah geomaterial kritis, hal ini dikarenakan karakteristiknya
memiliki kekuatan yang rendah, desegrasi, mudah runtuh, memiliki
plastisitas yang tinggi, pelapukannya cepat (Kanji, 2014). Karakteristik ini
menyebabkan beberpa masalah dalam bidang konstruksi tenik
(Vandrackova), bangunan tempat tinggal serta kestabilan dalam proses
kegiatan pengeboran pada indutri ataupun pembangunan (li, 2012).
Beberapa peneliti telah membuat klasifikasi mengenai batuan
berdasarkan kekuatan. Namun dapat disebut dengan praktis yaitu batas atas
suatu batuan yang disebut soft rock, batuan dengan nilai unconfined
compressive strength (UCS) sekitar 25 Mpa (Kanji, 2014) dapat dilihat
klasifikasi pada gambar 3.1.
Disisi lain batas bawah kekuatan soft rock, yang membedakannya
dengan tanah, lebih sulit untuk dilakukannya penetapan, SPT di atas 50 dan
UCS lebih dari 0,4 MPa ditetapkan oleh Terzaghi dan Peek (1967) dalam
Kanji (2014) untuk material yang berprilaku lebih mirip seperti batu
daripada tanah.

9
Gambar 3.1 klasifikasi batuan berdasarkan kekuatan menurut beberapa peneliti (Kanji, 2014)

3.1.1 Macam macam Batuan lunak


Berdasarkan pengertian batuan lunak dapat digambarkan
secara umum suatu batuan yang disebut batuan lunak jika memiliki
nilai UCS 1-25 Mpa. Macam-macam batuan yang biasa ditemukan
sebagai soft rock ditunjukkan oleh Tabel 3.1. Pada tabel terlihat
bahwa batuan yang biasanya tergolong sebagai hard rock dapat
ditentukan juga sebagai soft rock di dapatkan di alam akibat proses
pelapuka, seperti contoh hasil pelapulan batuan kristalin seperti
granite, diorite, dan lainnya.

Tabel 3.1 Macam-macam batuan lunak (Kanji, 2014)


Basic types Subclasses
Sedimentary Clastic: mudstones, shales, siltstones, sandstones,
rocks conglomerates and marl; Evaporites : salt rocks,
carnallite.; Soluble: limestone, dolomite, and, gypsum.
Igneous rocks Volcanic conglomerates, breccias, and lahar; Basaltic
breccia; Piroclastic deposits, volcanic ash, tuff and
ignimbrite; and weathering products of christalline rocks
Metamorphic Slate, phyllite, schict, quartzite little cemented,
rocks Metavolcani deposits

10
3.2. Faktor Penyebab Pelapukan
Komposisi dari batuan yang ada di bumi ini berbeda beda sehingga
tingkat pelapukan dan jenis pelapukannya pun berbeda-beda. Pelapukan
terjadi karena faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pelapukan bekerja
dengan baik. Faktor-faktor penyebeb pelapukan adalah keadaan batuan asal,
topografi, iklim dan organisme, dan waktu (Wijono, 2013). Faktor penyebab
pelapukan seperti berikut.
3.2.1. Keadaan Struktur Batuan
Struktur batuan adalah sifat fisik dan sifat kimia yang
dimiliki oleh suatu batuan yang meliputi kekompakan batuan, warna,
susunan mineral dalam batuan. Sedangkan sifat kimia batuan adalah
kandungan kimia dalam batuan tersebut. Kedua sifat ini yang
mempengaruhi daya tahan batuan terhadap pelapukan. Adapun
contoh batuan yang mudah lapuk berdasarkan struktur batuannya
adalah batuan sedimen ataupun batuan lunak seperti batulempung.
3.2.2. Topografi
Kemringan daerah atau topografi merupakan faktor yang
mempengaruhi kecepatan proses pelapukan suatu batuan. Pada
batuan yang berada pada lereng curam akan lebih mudah
terlapukkan karena batuan tersebut kontak langsung dengan cuaca,
sedangkan yang berada pada lereng landai akan terselimuti oleh
berbagai endapan, sehingga memperlambat proses pelapukan.
Kemudian akan berpengaruh dengan aliran air dari elevasi yang
tinggi ke elevasi yang rendah serta berhubungan dengan jumlah
vegetasi yang dapat hidup.
3.2.3 Cuaca dan Iklim
Unsur-unsur cuaca dan iklim yang mempengaruhi proses
pelapukan suatu batuan antara lain suhu dan udara, curah hujan,
sinar matahari, dan angin yang mampu menyebabkan erosi. Batuan
yang berada di daerah yang memiliki amplitudo yang tinggi akan
lebih mudah mengalami pelapukan batuan daripada yang berada di

11
daerah yang mempunyai amplitude rendah. Hal ini akan
dipengaruhi oleh pertumbuhan vegetasi, organisme-organisme
serta intensitas waktu yang mempengaruhi pelapukan.

3.3. Pengaruh Derajat Pelapukan Batuan


Banyak peneliti terdahulu telah mencoba mengklasifikasikan
pelapukan pada batuan menjadi beberapa kelas derajat pelapukan.
Pelapukan akan sangat mempengaruhi sifat keteknikan batuan. Sistem
klasifikasi ini pada intinya merupakan urutan sikuen perubahan pelapukan
batuan akibat proses pelapukan fisik (disintegrasi) dan pelapukan kimia
(dekomposisi) yang berperan secara individu ataupun merupakan proses
yang terjadi secara kombinasi, bersamaan dengan perubahan beberapa sifat
keteknikannya (Dearman, 1979 op. cit Dearman dkk., 1978).
Dearman dkk (1978) membuat skema klasifikasi tersendiri dan
mengemukakan bahwa sistem klasifikasi derajat pelapukan batuan
sesungguhnya dapat secara luas diterapkan untuk tujuan rekayasa
keteknikan, baik pada massa maupun material batuan penyesuaian pada
jenis batuan dan kondisi lingkungan batuan tersebut. Perkembangan derajat
pelapukan batuan dapat dirangkum seperti pada tabel 3.1.

12
Tabel 3.2 Sistem kiasifikasi derajat pelapukan (Dearman, 1979 op. cit Dearman dkk., 1978).

Istilah Derajat Penciri Utama


Tanah VI Seluruh batuan telah mengalami perubahan
Residu warna menjadi coklat kekuningan hingga
coklat kehitaman. Tekstur dan strukur batuan
asal umumnya telah mengalami perubahan
atau dapat dikatakan telah hancur, jejak-jejak
bidang rekahan pun sudah tidak tampak lagi.
Lapuk V Hampir seluruh batuan telah mengalami
Sempurna perubahan warna menjadi coklat keabuan
hingga coklat kekuningan. Akan tetapi,
kenampakan tekstur dan strukur batuan asal
masih dapat diamati. Hal ini ditandai oleh
hadirnya (kemenerusan) jejak-jejak bidang
rekahan batuan, namun determinasi batuan
asal sudah sulit dilakukan
Lapuk Kuat IV Perubahan warna terjadi hampir pada seluruh
permukaan bidang rekahan, sehingga pada
muka galian dan inti bor tampak berwarna
coklat keabuan. Apabila pecahan pipih batuan
dipotong dengan pisau atau dipatahkan
dengan tangan, warna asli batuannya agak
sulit dilihat karena perubahan warna yang
terjadi umumnya telah lebih dari setengah
tebal pecahan pipih batuan, sehingga
determinasi batuan asal juga agak sulit
dilakukan.

13
Lapuk III Perubahan warna batuan mulai tampak jelas,
Sedang terjadi pada hampir sebagian besar permukaan
brdang rekahan (menjadi berwarna coklat
keabuan hingga coklat). Apabila pecahan
pipih batuan dipotong dengan pisau atau
dipatahkan dengan tangan, masih terlihat
warna asli batuannya dan perubahan warna
yang terjadi secara umum masih kurang dari
setengah tebal pecahan pipih tersebut,
sehingga determinasi batuan asal masih dapat
dilakukan dengan baik
Lapuk II Batuan pada deraiat pelapukan ini umumnya
Ringan ditandai oleh adanya gejala hancuran retak-
retak memipih dalam demensi dan spasi yang
masih cukup besar. Warna batuannya
umumnya telah memudar menjadi tidak
mengkilap/kusam; perubahan warna (menjadi
abu-abu kecoklatan hingga coklat keabuan)
masih sedikit sekali terjadi, hanya pada
permukaan atau pada bagian tepi bidang
rekahan yang terbuka.
Batuan Segar I Efek proses pelapukan belum atau sedikit
sekali dijumpai pada beberapa bagian batuan.
Dalam kondisi segar, batuan ini berwarna abu-
abu kehijauan hingga abu-abu kehitaman dan
secara umum tidak terlihat perubahan warna
batuan, baik pada permukaan singkapan atau
muka galian maupun pada permukaan bidang
rekahan batuan.

14
Penerapan sistem identifikasi derajat pelapukan pada tabel 3.1
didasarkan atas hadirnya beberapa efek perubahan pada batuan meliputi
warna batuan, perubahan fracture intensity, serta perubahan tekstur dan
struktur batuan. Uraian tersebut dibuat sederhana dengan mempertimbangkan
syarat-syarat umum klasifikasi massa batuan dalam kaitannya dengan proses
pelapukan. Seperti yang dirangkum oleh Dearman dkk (1978) antara lain:
1. Cepat dan mudah, termasuk dala preparasi contoh batuannya
2. Memiliki ketertarikan dengan sifat-sifat fisik massa dan material
batuannya
3. Memungkinkan untuk membedakan sifat-sifat keteknikan atas dasar
indeks pengujian yang sederhana
4. Memiliki keterkaitan dengan masalah rekayasa pada batuan
Dalam penyederhanaan profil pelapukan pada batuan lunak dalam
kaitannya dengan perkembangan derajat pelapukan batuan dapat dilihat pada
Gambar 3.1 adalah profil tanah residual (Little, 1969 dalam Hardiyatmo,
2006).

Gambar 3.2 Profil tanah residual (Little, 1969 dalam Hardiyatmo, 2006)

15
3.4 Perubahan Keteknikan Batuan Akibat Pelapukan
Beberapa Peneliti terdahulu juga telah melakukan analisis
mengenasi perubahan sifat keteknikan batuan dalam kaitannya dengan
perbedaan derajat pelapukannya. Namun, sebagian besar penelitian terdahulu
masi dilakkukan pada batuan beku, sehingga sifat keteknikan batuan yang
dihasilkan hanya relevan untuk jenis batuan beku saja. Pada penelitian
perubahan keteknikan batuan akibat pelapukan seperti halnya pada batuan
lunak dengan contoh batulempung akan dilakukan analisis laboratorium
untuk mendapatkan sifat-sifat keteknikan batuan yang menjadi parameter
dasar dalam kestabilan lereng yaitu berat isi (γ), kohesi (c), dan sudut geser
dalam (ᴓ). Adapun data perubahan keteknikan batuan akibat pelapukan
dengan parameter berat isi (γ), kohesi (c), dan sudut geser dalam (ᴓ)
berdasarkan derajat pelapukan pada lunak yaitu batulempung (Iman A.
Sadisun, 1998). Tabel berikut adalah nilai derajat pelapukan pada batuan
lunak dapat dilihat pada tabel 3.2 yaitu sistem klasifikasi derajat pelapukan
(Dearman, 1979 op. cit Dearman dkk., 1978) serta hubungannya dengan
Karakteristik dari setiap nilai derajat pelapukan dari Grade I sampai VI dapat
dilihat hubungannya pada Gambar 3.1.

Tabel 3.3 Derajat pelapukan batuan dan karekteristik beberapa sifat keteknikannya
(Sadisun, 1998)
Derajat γ ( gr/𝑐𝑚3 ) c (kPa) ᴓ (°)
Pelapukan
VI 1,614 - 1 .802 4,65 - 6,75 8,5 - 14
V 1,785 - 1,922 12,00 - 28, 65 10 - 20
IV 1,868 - 2,172 24,36 - 34,18 18,5 - 26
III 1,904 - 2,307 32,65 - 50,42 20 - 32
II 2,195 - 2,379 30,26 - 62,08 27 - 32,5
I 2,322 - 2,714 52,48 - 74,65 30,5 - 42

16
Tabel 3.2 Menunjukkan bahwa semakin tinggi derajat pelapukan
batuan, berat isi batuan cenderung semakin kecil. Secara umum perubahan
berat isi batuan turun terhadap kenaikan derajat pelapukannya.
Kohesi dan sudut geser dalam didapatkan melalui uji geser
langsung. Karena data tersebut tergolong dalam batuan lunak maka
dilakukan perlakuan khusus dalam pengujiannya. Hasil pengujian dapat
dilihat pada tabel derajat pelapukan bahwa semakin lapuk batuan atau
semakin tinggi derajat pelapukannya, makan nilai kohesi batuan turun linear
terhadap kenaikan derajat pelapukannya. Sama halnya dengan perubahan
sudut geser dalam yang secara umum juga menunjukkan penurunan nilai
terhadap kenaikan derajat pelapukannya.

17
BAB IV
STABILITAS LERENG PADA BATUAN LUNAK

4.1. Tipe Gerakan Tanah Berdasarkan Material


Pengertian longsoran (landslide) dengan gerakan tanah (mass
movement) mempunyai kesamaan. Untuk memberikan definisi longsoran
perlu penjelasan keduanya. Gerakan tanah ialah perpindahan massa
tanah/batu pada arah tegak, mendatar atau miring dari kedudukan semula.
Gerakan tanah mencakup gerak rayapan dan aliran maupun longsoran.
Menurut definisi ini longsoran adalah bagian gerakan tanah
(Purbohadiwidjojo, dalam Pangular, 1985). Jika menurut definisi ini
perpindahan massa tanah/batu mengakibatkan pada arah tegak adalah
termasuk gerakan tanah, maka gerakan vertikal yang bulging (lendutan)
akibat keruntuhan fondasi dapat dimasukkan pula dalam jenis gerakan
tanah. Dengan demikian pengertiannya menjadi sangat luas. Kelompok
utama gerakan tanah menurut Hutchinsons (1968, dalam Hansen, 1984)
terdiri atas rayapan (creep) dan longsoran (landslide) yang dibagi lagi
menjadi sub-kelompok gelinciran (slide), aliran (flows), jatuhan (fall) dan
luncuran (slip). Adapun Tipe Gerakan tanah atau tipe longsoran berdasarkan
material dibagi menjadi beberapa klasifikasi seperti berikut.
4.1.1. Klasifikasi Longsoran Menurut Stewart Sharpe (1938)
Definisi longsoran (landslide) menurut Stewart Sharpe
(1938), dalam Hansen, 1984), adalah luncuran atau gelinciran
(sliding) atau jatuhan (falling) dari massa batuan/tanah atau
campuran keduanya (Tabel 4.1).

18
Tabel 4.1 Klasifikasi longsoran oleh Stewart Sharpe (1938, dalam Hansen,1984)

Untuk membedakan longsoran, landslide, yang mengandung


pengertian luas, maka istilah slides digunakan kepada longsoran
gelinciran yang terdiri atas luncuran atau slide (longsoran gelinciran
translasional) dan nendatan atau slump (longsoran gelinciran
rotasional). Berbagai jenis longsoran (landslide) dalam beberapa
klasifikasi di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
 Jatuhan (Fall) adalah jatuhan atau massa batuan bergerak
melalui udara, termasuk gerak jatuh bebas, meloncat dan
penggelindingan bongkah batu dan bahan rombakan tanpa
banyak bersinggungan satu dengan yang lain. Termasuk jenis
gerakan ini adalah runtuhan (urug, lawina, avalanche) batu,
bahan rombakan maupun tanah.
 Longsoran-longsoran gelinciran (slides) adalah gerakan yang
disebabkan oleh keruntuhan melalui satu atau beberapa bidang

19
yang dapat diamati ataupun diduga. Slides dibagi lagi menjadi
dua jenis. Disebut luncuran (slide) bila dipengaruhi gerak
translasional dan susunan materialnya yang banyak berubah..
Bila longsoran gelinciran dengan susunan materialnya tidak
banyak berubah dan umumnya dipengaruhi gerak rotasional,
maka disebut nendatan (slump), Termasuk longsoran gelinciran
adalah luncuran bongkah tanah maupun bahan rombakan, dan
nendatan tanah.
4.1.2. Klasifikasi Longsoran Menurut Stewart Sharpe (1938)
Secara sederhana, Coates (1977, dalam Hansen, 1984,
membagi longsoran menjadi luncuran atau gelinciran (slide), aliran
(flow) dan jatuhan (fall). Menurut Varnes (1978, dalam Hansen,
1984) longsoran (landslide) dapat diklasifikasikannya menjadi:
jatuhan (fall), jungkiran (topple), luncuran (slide) dan nendatan
(slump), aliran (flow), gerak bentang lateral (lateral spread), dan
gerakan majemuk (complex movement). Klasifikasi dapat dilihat
seperti tabel 4.2.
Tabel 4.2. Klasifikasi longsoran (landslide) oleh Coates (dalam Hansen, 1984)

20
 Aliran (flow) adalah gerakan yang dipengaruhi oleh jumlah
kandungan atau kadar airtanah, terjadi pada material tak
terkonsolidasi. Bidang longsor antara material yang bergerak
umumnya tidak dapat dikenali. Termasuk dalam jenis gerakan
aliran kering adalah sandrun (larianpasir), aliran fragmen batu,
aliran loess. Sedangkan jenis gerakan aliran basah adalah aliran
pasir-lanau, aliran tanah cepat, aliran tanah lambat, aliran
lumpur, dan aliran bahan rombakan.
 Longsoran majemuk (complex landslide) adalah gabungan dari
dua atau tiga jenis gerakan di atas. Pada umumnya longsoran
majemuk terjadi di alam, tetapi biasanya ada salah satu jenis
gerakan yang menonjol atau lebih dominan. Menurut Pastuto &
Soldati (1997), longsoran majemuk diantaranya adalah
bentangan lateral batuan, tanah maupun bahan rombakan.
4.1.3. Klasifikasi Longsoran Menurut Varnes (1978)
Berdasarkan definisi dan klasifikasi longsoran (Varnes,
1978), maka disimpulkan bahwa gerakan tanah (mass movement)
adalah gerakan perpindahan atau gerakan lereng dari bagian atas
atau perpindahan massa tanah maupun batu pada arah tegak,
mendatar atau miring dari kedudukan semula. Longsoran
(landslide) merupakan bagian dari gerakan tanah, jenisnya terdiri
atas jatuhan (fall), jungkiran (topple), luncuran (slide), nendatan
(slump), aliran (flow), gerak horisontal atau bentangan lateral
(lateral spread), rayapan (creep) dan longsoran majemuk.
Klasifikasi para peneliti di atas pada umumnya berdasarkan
kepada jenis gerakan dan materialnya. Klasifikasi yang diberikan
oleh HWRBLC, Highway Research Board Landslide Committee
(1978), mengacu kepada Varnes (1978) seperti diberikan pada
(Tabel 4.3) yang berdasarkan sebagai berikut:
a) material yang nampak
b) kecepatan perpindahan material yang bergerak

21
c) susunan massa yang berpindah,
d) jenis material dan gerakannya.

Tabel 4.3. Klasifikasi longsoran (landslide) oleh Varnes (1978, dalam


M.J. Hansen, 1984) yang digunakan oleh Higway Reseach Board
Landslide Comitte (1978, dalam Sudarsono &Pangular, 1986)

 Rayapan (creep) adalah gerakan yang dapat dibedakan dalam hal


kecepatan gerakannya yang secara alami biasanya lambat (Zaruba &
Mencl, 1969; Hansen, 1984). Untuk membedakan longsoran dan
rayapan, maka kecepatan gerakan tanah perlu diketahui (Tabel 4.4).
Rayapan (creep) dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: rayapan
musiman yang dipengaruhi iklim, rayapan bersinambungan yang
dipengaruhi kuat geser dari material, dan rayapan melaju yang
berhubungan dengan keruntuhan lereng atau perpindahan massa
lainnya (Hansen, 1984).

22
Tabel 4.4. Laju kecepatan gerakan tanah (Hansen, 1984)

Kecepatan Keterangan
> 3 meter/detik Ekstrim sangat cepat

3 meter/detik s.d. 0.3 meter/menit Sangat Cepat

0.3 meter/menit s.d. 1.5 meter/hari Cepat

1.5 meter/hari s.d. 1.5 meter/bulan Sedang


1.5 meter/bulan s.d. 1.5 meter/tahun Lambat

0.06 meter/tahun s.d. 1.5 meter/tahun Sangat lambat

< 0.06 meter/tahun Ekstrim sangat lambat

 Gerak horisontal / bentangan lateral (lateral spread), merupakan jenis


longsoran yang dipengaruhi oleh pergerakan bentangan material
batuan secara horisontal. Biasanya berasosiasi dengan jungkiran,
jatuhan batuan, nendatan dan luncuran lumpur sehingga biasa
dimasukkan dalam kategori complex landslide - longsoran majemuk
(Pastuto & Soldati, 1997). Prosesnya berupa rayapan bongkah-
bongkah di atas batuan lunak (Radbruch-Hall, 1978, dalam Pastuto &
Soldati, 1997). Pada bentangan lateral tanah maupun bahan
rombakan, biasanya berasosiasi dengan nendatan, luncuran atau aliran
yang berkembang selama maupun setelah longsor terjadi. Material
yang terlibat antara lain lempung (jenis quick clay) atau pasir yang
mengalami luncuran akibat gempa (Buma & Van Asch, 1997).
 Pada longsoran tipe translasional maupun rotasional, ada batas antara
massa yang bergerak dan yang diam (disebut bidang gelincir),
kedalaman batas tersebut dari permukaan tanah sangat penting bagi
deskripsi longsoran. Terdapat 4 (empat) kelas kedalaman bidang
gelincir (Fernandez & Marzuki,1987), yaitu:
a) Sangat dangkal (<1,5 meter)

23
b) Dangkal (1,5 s.d. 5 meter)
c) Dalam (antara 5 sampai 20 meter)
d) Sangat dalam (>20 meter)

4.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kestabilan Lereng


Faktor-faktor penyebab lereng rawan longsor meliputi faktor
internal (dari tubuh lereng sendiri) maupun faktor eksternal (dari luar
lereng), antara lain: kegempaan, iklim (curah hujan), vegetasi, morfologi,
batuan/tanah maupun situasi setempat (Anwar dan Kesumadharma, 1991;
Hirnawan, 1994), tingkat kelembaban tanah (moisture), adanya rembesan,
dan aktifitas geologi seperti patahan (terutama yang masih aktif), rekahan
dan liniasi (Sukandar, 1991). Proses eksternal penyebab longsor yang
dikelompokkan oleh Brunsden (1993, dalam Dikau et.al., 1996) diantaranya
adalah :
• Pelapukan (fisika, kimia dan biologi) dan erosi
• penurunan tanah (ground subsidence)
• deposisi (fluvial, glasial dan gerakan tanah)
• getaran dan aktivitas seismik
• jatuhan tepra
• perubahan rejim air.
Pelapukan dan erosi sangat dipengaruhi oleh iklim yang diwakili
oleh kehadiran hujan di daerah setempat, curah hujan kadar air (water
content; %) dan kejenuhan air (saturation; Sr, %). Pada beberapa kasus
longsor, hujan sering sebagai pemicu karena hujan meningkatkan kadar air
tanah yang menyebabkan kondisi fisik/mekanik material tubuh lereng
berubah. Kenaikan kadar air akan memperlemah sifat fisik-mekanik tanah
dan menurunkan Faktor Kemanan lereng (Brunsden & Prior, 1984; Bowles,
1989; Hirnawan & Zakaria, 1991). Penambahan beban di tubuh lereng
bagian atas (pembuatan/peletakan bangunan, misalnya dengan membuat
perumahan atau villa di tepi lereng atau di puncak bukit) merupakan
tindakan beresiko mengakibatkan longsor. Demikian juga pemotongan

24
lereng pada pekerjaan cut & fill, jika tanpa perencanaan dapat menyebabkan
perubahan keseimbangan tekanan pada lereng. Letak atau posisi tanaman
keras dan kerapatannya mempengaruhi Faktor Keamanan Lereng
(Hirnawan, 1993), hilangnya tumbuhan penutup menyebabkan alur-alur
pada beberapa daerah tertentu. Penghanyutan yang semakin meningkat
akhirnya mengakibatkan terjadinya longsor (Pangular, 1985). Dalam
kondisi ini erosi tentunya memegang peranan penting.
Penyebab lain dari kejadian longsor adalah gangguan-gangguan
internal, yaitu yang datang dari dalam tubuh lereng sendiri terutama karena
ikutsertanya peranan air dalam tubuh lereng; Kondisi ini tak lepas dari
pengaruh luar, yaitu iklim yang diwakili oleh curah hujan. Jumlah air yang
meningkat dicirikan oleh peningkatan kadar airtanah, derajat kejenuhan,
atau muka airtanah. Kenaikan air tanah akan menurunkan sifat fisik dan
mekanik tanah dan meningkatkan tekanan pori (µ) yang berarti
memperkecil ketahananan geser dari massa lereng (lihat rumus Faktor
Keamanan). Debit air tanah juga membesar dan erosi di bawah permukaan
(piping atau subaqueous erosion) meningkat. Akibatnya lebih banyak fraksi
halus (lanau) dari masa tanah yang dihanyutkan, lebih jauh ketahanan
massa tanah akan menurun (Bell, 1984, dalam Hirnawan, 1993).
4.2.1. Getaran atau Gempa Bumi
Banyak kejadian longsor terjadi akibat gempa bumi. Gempa
bumi Tes di Sumatera Selatan tahun 1952 dan di Wonosobo tahun
1924, juga di Assam 27 Maret 1964 menyebabkan timbulnya tanah
longsor (Pangular, 1985). Demikian juga di Jayawijaya, Irian Jaya
tahun 1987 (Siagian, 1989, dalam Tadjudin, 1996) dan di
Sindangwanggu, Majalengka tahun 1990 (Soehaimi, et.al., 1990).
Di jalur keretaapi Jakarta-Yogyakarta dekat Purwokerto tahun 1947
(Pangular, 1985) akibat getaran dan di Cadas Pangeran, Sumedang
bulan April; 1995, selain morfologi dan sifat fisik/mekanik material
tanah lapukan breksi, getaran kendaraan pun ikut ambil bagian

25
dalam kejadian longsor. Gempa di India dan Peru (2000) juga
menyebabkan longsor.
4.2.2. Cuaca atau Iklim
Curah hujan sebagai salah satu komponen iklim, akan
mempengaruhi kadar air (water content; ω , %) dan kejenuhan air
(Saturation; Sr, %). Pada beberapa kasus longsor di Jawa Barat, air
hujan seringkali menjadi pemicu terjadinya longsor. Hujan dapat
meningkatkan kadar air dalam tanah dan lebih jauh akan
menyebabkan kondisi fisik tubuh lereng berubah-ubah. Kenaikan
kadar air tanah akan memperlemah sifat fisik-mekanik tanah
(mempengaruhi kondisi internal tubuh lereng) dan menurunkan
Faktor Kemanan lereng (Brunsden & Prior, 1984; Bowles, 1989;
Hirnawan & Zufialdi, 1993). Kondisi lingkungan geologi fisik
sangat berperan dalam kejadian gerakan tanah selain kurangnya
kepedulian masyarakat karena kurang informasi ataupun karena
semakin merebaknya pengembangan wilayah yang mengambil
tempat di daerah yang mempunyai masalah lereng rawan longsor.
4.2.3. Ketidakseimbangan Beban di Puncak dan di Kaki Lereng
Beban tambahan di tubuh lereng bagian atas (puncak)
mengikut sertakan peranan aktifitas manusianan. Pendirian atau
peletakan bangunan, terutama memandang aspek estetika belaka,
misalnya dengan membuat perumahan (real estate) atau villa di
tepi-tepi lereng atau di puncak-puncak bukit merupakan tindakan
ceroboh yang dapat mengakibatkan longsor. Kondisi tersebut
menyebabkan berubahnya keseimbangan tekanan dalam tubuh
lereng. Sejalan dengan kenaikan beban di puncak lereng, maka
keamanan lereng akan menurun.
Pengurangan beban di daerah kaki lereng berdampak
menurunkan Faktor Keamanan. Makin besar pengurangan beban di
kaki lereng, makin besar pula penurunan Faktor Keamanan
lerengnya, sehingga lereng makin labil atau makin rawan longsor.

26
Aktivitas manusia berperan dalam kondisi seperti ini. Pengurangan
beban di kaki lereng diantaranya oleh aktivitas penambangan
bahan galian, pemangkasan (cut) kaki lereng untuk perumahan,
jalan dan lainlain, atau erosi (Hirnawan, 1993).
Kasus longsor yang disebabkan oleh kondisi
ketidakseimbangan beban pada lereng antara lain:
1. longsor di tempat penggalian trass di tepi jalan raya Lembang
akibat penggalian bahan baku bangunan dengan cara membuat
tebing yang hampir tegak lurus
2. longsor sekitar jalan di Bandung Utara akibat pemangkasan
untuk kawasan perumahan (real estate;
3. longsoran di tepi sungai Cipeles (Jalan raya Bandung-Cirebon)
juga diakibatkan oleh kondisi ketidakseimbangan beban.
Penyebab lain dari kejadian longsor adalah gangguan
internal yang datang dari dalam tubuh lereng sendiri terutama
karena ikut sertanya peranan air dalam tubuh lereng.
4.2.4. Vegetasi / Tumbuh-tumbuhan
Hilangnya tumbuhan penutup, dapat menyebabkan alur-
alur pada beberapa daerah tertentu. Penghanyutan makin
meningkat dan akhirnya terjadilah longsor (Pangular, 1985).
Dalam kondisi tersebut berperan pula faktor erosi. Letak atau posisi
penutup tanaman keras dan kerapatannya mempengaruhi Faktor
Keamanan Lereng. Penanaman vegetasi tanaman keras di kaki
lereng akan memperkuat kestabilan lereng, sebaliknya penanaman
tanaman keras di puncak lereng justru akan menurunkan Faktor
Keamanan Lereng sehingga memperlemah kestabilan lereng
(Hirnawan, 1993).

4.2.5. Naiknya Muka Airtanah


Kehadiran air tanah dalam tubuh lereng biasanya menjadi
masalah bagi kestabilan lereng. Kondisi ini tak lepas dari pengaruh

27
luar, yaitu iklim (diwakili oleh curah hujan) yang dapat
meningkatkan kadar air tanah, derajat kejenuhan, atau muka
airtanah. Kehadiraran air tanah akan menurunkan sifat fisik dan
mekanik tanah. Kenaikan muka air tanah meningkatkan tekanan
pori ( µ ) yang berarti memperkecil ketahanan geser dari massa
lereng, terutama pada material tanah (soil). Kenaikan muka air
tanah juga memperbesar debit air tanah dan meningkatkan erosi di
bawah permukaan (piping atau subaqueous erosion). Akibatnya
lebih banyak fraksi halus (lanau) dari masa tanah yang
dihanyutkan, ketahanan massa tanah akan menurun (Bell, 1984,
dalam Hirnawan, 1993).
4.2.6 Kuat Geser Tanah atau Batuan
Kekuatan yang sangat berperan dalam analisa kestabilan
lereng terdiri dari sifat fisik dan sifat mekanik dari batuan tersebut.
Sifat fisik batuan yang digunakan dalam menganalisa kemantapan
lereng adalah bobot isi tanah (), sedangkan sifat mekaniknya adalah
kuat geser batuan yang dinyatakan dengan parameter kohesi (c) dan
sudut geser dalam (). Kekuatan geser batuan ini adalah kekuatan
yang berfungsi sebagai gaya untuk melawan atau menahan gaya
penyebab kelongsoran.
 Bobot isi tanah atau batuan
Nilai bobot isi tanah atau batuan akan menentukan
besarnya beban yang diterima pada permukaan bidang
longsor, dinyatakan dalam satuan berat per volume. Bobot
isi batuan juga dipengaruhi oleh jumlah kandungan air
dalam batuan tersebut. Semakin besar bobot isi pada suatu
lereng tambang maka gaya geser penyebab kelongsoran akan
semakin besar. Bobot isi diketahui dari pengujian
laboratorium. Nilai bobot isi batuan untuk analisa kestabilan
lereng terdiri dari 3 parameter yaitu nilai Bobot isi batuan

28
pada kondisi asli (n ), kondisi kering (d ) dan Bobot isi pada
kondisi basah (w).
 Kohesi
Kohesi adalah gaya tarik menarik antara partikel
dalam batuan, dinyatakan dalam satuan berat per satuan luas.
Kohesi batuan akan semakin besar jika kekuatan gesernya
makin besar. Nilai kohesi (c) diperoleh dari pengujian
laboratorium yaitu pengujian kuat geser langsung (direct
shear strength test) dan pengujian triaxial (triaxial test).
 Sudut geser dalam ( )
Sudut geser dalam merupakan sudut yang dibentuk
dari hubungan antara tegangan normal dan tegangan geser di
dalam material tanah atau batuan. Sudut geser dalam adalah
sudut rekahan yang dibentuk jika suatu material dikenai
tegangan atau gaya terhadapnya yang melebihi tegangan
gesernya. Semakin besar sudut geser dalam suatu material
maka material tersebut akan lebih tahan menerima tegangan
luar yang dikenakan terhadapnya.
Untuk mengetahui nilai kohesi dan sudut geser dalam,
dinyatakan dalam persamaan berikut :
τnt = σn tan  + c
Dimana :
τnt = tegangan geser
σn = tegangan normal
 = sudut geser dalam
c = kohesi
Prinsip pengujian direct shear strength test atau juga
dikenal dengan shear box test adalah menggeser langsung
contoh tanah atau batuan di bawah kondisi beban normal
tertentu. Pergeseran diberikan terhadap bidang pecahnya,
sementara untuk tanah dapat dilakukan pergeseran secara

29
langsung pada conto tanah tersebut. Beban normal yang
diberikan diupayakan mendekati kondisi sebenarnya di
lapangan.
Untuk perhitungan dalam pengujian di laboratorium
digunakan rumus-rumus perhitungan sebagai berikut :
1. Tegangan geser:
2. Tegangan normal (normal stress)
Dimana :
τnt = Tegangan Geser
σn = Tegangan Normal
P = Beban normal
A = Luas silinder sampel direct shear test
H = Kalibrasi Directian = 0,45 . x
X = Pembacaan Dial

Dari perhitungan-perhitungan tersebut diperoleh


harga tegangan geser (τ nt) dan tegangan normal (σ n) yang
kemudian diplotkan pada grafik dengan kuat geser sebagai
ordinat dan tegangan normal sebagai absis. Dari grafik
tersebut diperoleh kurva kekuatan geser massa batuan yaitu
harga kohesi (c) dan harga sudut geser dalamnya ().

4.3. Stabilisasi Lereng


Cara analisis kestabilan lereng banyak dikenal, tetapi secara garis
besar dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: cara pengamatan visual,
cara komputasi dan cara grafik (Pangular, 1985) sebagai berikut.
4.3.1. Pengamatan Visual
Cara pengamatan visual adalah cara dengan mengamati
langsung di lapangan dengan membandingkan kondisi lereng yang
bergerak atau diperkirakan bergerak dan yang yang tidak, cara ini
memperkirakan lereng labil maupun stabil dengan memanfaatkan

30
pengalaman di lapangan (Pangular, 1985). Cara ini kurang teliti,
tergantung dari pengalaman seseorang. Cara ini dipakai bila tidak
ada resiko longsor terjadi saat pengamatan. Cara ini mirip dengan
memetakan indikasi gerakan tanah dalam suatu peta lereng.
4.3.2. Komputasi
Cara komputasi adalah dengan melakukan hitungan
berdasarkan rumus (Fellenius, Bishop, Janbu, Sarma, Bishop
modified dan lain-lain). Cara Fellenius dan Bishop menghitung
Faktor Keamanan lereng dan dianalisis kekuatannya. Menurut
Bowles (1989). Kemantapan lereng (slope stability) sangat
dipengaruhi oleh kekuatan geser tanah untuk menentukan
kemampuan tanah menahan tekanan tanpa mengalami keruntuhan.
Untuk memperoleh nilai safety factor (SF) suatu lereng, maka perlu
dilakukan ‘trial and errors’ terhadap beberapa bidang longsor yang
umumnya berupa busur lingkaran dan kemudian diambil nilai SF
minimum sebagai indikasi bidang longsor kritis. Penyelesaian
kelongsoran ini diselesaikan beberapa cara yaitu Metode Fellenius,
Metode Bishop’s (Bishop’s Method) dan menggunakan program
Plaxis V8.2.
 Metode Fellenius
Metode Fellenius memberikan faktor keamanan yang
relatif lebih rendah dari metode elemen hingga. Batas-batas
nilai kesalahan tergantung dari faktor keamanan, sudut pusat
lingkaran yang dipilih, dan besarnya tekanan air pori. Karena
caranya yang sederhana sehingga kesalahan yang terjadi
masih pada batas aman.
 Metode Bishop’s (Bishop’s Method)
Metode Bishop’s menganggap bahwa gaya-gaya
yang bekerja pada sisi irisan mempunyai resultan nol pada
arah vertikal dan persamaan kuat geser dalam tinjauan
tegangan efektif yang dapat dikerahkan tanah, sehingga

31
tercapainya kondisi keseimbangan batas dengan
memperhatikan faktor keamanan, perhitungan ini lebih sulit
tetapi memberikan hasil yang lebih akurat.
 Metode Elemen Hingga Menggunakan Software Plaxis V8.2
Faktor keamanan dicari dengan mencari bidang
lemah pada struktur lapisan tanah. Faktor keamanan
didapatkan dengan cara mengurangi nilai kohesi (c) dan
sudut geser dalam tanah (φ), secara bertahap hingga tanah
mengalami keruntuhan.
Banyak rumus perhitungan Faktor Keamanan lereng
(material tanah) yang diperkenalkan untuk mengetahui tingkat
kestabilan lereng ini. Rumus dasar Faktor Keamanan (Safety
Factor, F) lereng (material tanah) yang diperkenalkan oleh
Fellenius dan kemudian dikembangkan adalah (Lambe &
Whitman, 1969; Parcher & Means, 1974).
Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan dan
studi-studi yang menyeluruh tentang keruntuhan lereng, maka
dibagi 3 kelompok rentang Faktor Keamanan (F) ditinjau dari
intensitas kelongsorannya (Bowles, 1989), sperti yang
diperlihatkan pada tabel 4.5 berikut.

32
Tabel 4.5. Hubungan Nilai Faktor Keamanan Lereng dan Intensitas Longsor
(Bowles, 1989)
Nilai faktor keamanan Kejadian / intensitas longsor

F kurang dari 1,07 Longsor terjadi biasa/sering


(lereng labil)
F antara 1,07 sampai 1,25 Longsor pernah terjadi (lereng
kritis)
F diatas 1,25 Longsor jarang terjadi (lereng
relatif stabil)

4.3.3. Upaya Pengelolaan Lingkungan


Pengelolan lingkungan dimaksudkan untuk mengurangi,
mencegah dan menanggulangi dampak negatif serta
meningkatkan dampak positif. Kajiannya didasari pula oleh studi
kelayakan teknik atau studi geologi yang mencakup geologi
teknik, mekanika tanah dan hidrogeologi. Dengan demikian
pendekatan dalam menangani lereng rawan longsor selain
didasari oleh hasil rekomendasi studi kelayakan teknik atau studi
geologi, juga didasari pula oleh pengelolaan lingkungannya.
Diharapkan mengenai lereng rawan longsor dapat dikenal lebih
jauh lagi sehingga dapat mengantisipasi kekuatan dan
keruntuhan suatu lereng. Hubungan antara faktor-faktor yang
mempengaruhi penurunan kondisi fisik dan mekanik perlu
diketahui pula. Pengaruh kenaikan kadar air, peletakan beban,
penanaman vegetasi dan kondisi kegempaan/getaran terhadap
tubuh lereng, merupakan kajian yang paling baik untuk mengenal
kondisi suatu lereng. Secara umum pencegahan/penanggulangan
lereng longsor adalah mencoba mengendalikan faktor-faktor

33
penyebab maupun pemicunya. Kendati demikian, tidak semua
faktor-faktor tersebut dapat dikendalikan kecuali dikurangi.
Beberapa cara pencegahan atau upaya stabilitas lereng adalah
sebagai berikut :
(a) Mengurangi beban di puncak lereng dengan cara
pemangkasan lereng, pemotongan lereng atau cut biasanya
digabungkan dengan pengisian/ pengurugan atau fill di kaki
lereng, pembuatan undak-undak. dan sebagainya.
(b) Menambah beban di kaki lereng dengan cara sebagai
berikut.
 Menanam tanaman keras (biasanya pertumbuhannya
cukup lama)
 Membuat dinding penahan (bisa dilakukan relatif
cepat; dinding penahan atau retaining wall harus
didesain terlebih dahulu)
 Membuat ‘bronjong’, batu-batu bentuk menyudut
diikatkan dengan kawat; bentuk angular atau
menyudut lebih kuat dan tahan lama dibandingkan
dengan bentuk bulat, dan sebagainya
(c) Mencegah lereng jenuh dengan airtanah atau mengurangi
kenaikan kadar air tanah di dalam tubuh lereng Kadar
airtanah dan mua air tanah biasanya muncul pada musim
hujan, pencegahan dengan cara :
 Membuat beberapa penyalir air (dari bambu atau pipa
paralon) di kemiringan lereng dekat ke kaki lereng.
Gunanya adalah supaya muka air tanah yang naik di
dalam tubuh lereng akan mengalir ke luar, sehingga
muka air tanah turun Membuat dinding penahan (bisa
dilakukan relatif cepat; dinding penahan atau
retaining wall harus didesain terlebih dahulu)

34
 Menanam vegetasi dengan daun lebar di puncak-
puncak lereng sehingga evapotranspirasi meningkat.
Air hujan yang jatuh akan masuk ke tubuh lereng
(infiltrasi). Infiltrasi dikendalikan dengan cara
tersebut
 Peliputan rerumputan. Cara yang sama untuk
mengurangi pemasukan atau infiltrasi air hujan ke
tubuh lereng, selain itu peliputan rerumputan jika
disertai dengan desain drainase juga akan
mengendalikan run-off.
(d) Mengendalikan air permukaan
 Membuat desain drainase yang memadai sehingga air
permukaan dari puncak-puncak lereng dapat
mengalir lancar dan infiltrasi berkurang.
 Penanaman vegetasi dan peliputan rerumputan juga
mengurangi air larian (run-off) sehingga erosi
permukaan dapat dikurangi.

4.4 Pelapukan batuan lunak dan desain perkuatan lereng


Beberapa peneliti berpendapat bahwa permukaan yang melengkung
adalah bagian dari busur lingkaran, permukaan bidang gelincir umumnya
cenderung menunjukkan kombinasi dari busur lingkaran dan spiral log.
Dalam penelitian metode yang digunakan untuk menganalisa kestabilan
lereng dengan metode modifikasi Bishop dengan bantuan Stable V-1.0
yang dibuat oleh Bektas dan Bosscher (1995). Hadirnya rekahan yang cukup
intensif pada batuan ini memungkinkan penggunaan pendekatan yang sama
dengan tanah dalam melakukan analisis lereng. Hasil anaslisis lereng secara
umum terangkum pada tabel 5.1. Lereng dengan sudut 60° dengan beda
tinggi 3 m dengan asumsi lereng tersusun atas material yang homogen
sampai lereng tersebut dikatakan stabil dengan nilai FS 1.273-1.452.
Apabila lereng dinalisis dengan memasukkan variasi derajat pelapukan

35
dalam kondisi kritis makan nilai FS 1.118 - 1.287. Untuk itu diperlukan
sistem perkuatan lereng tertentu guna meningkatkan nilai faktor keamanan
lereng (FS) hingga lereng dapat dikatakan stabil.

Tabel 4.6 Nilai FS hasil Simulasi untuk berbagai model lereng pada batulempung

Sudut Lereng 60° Sudut Lereng 90°


Tinggi Lereng 3 m Tinggi Lereng 6 m Tinggi Lereng 3 m Tinggi Lereng 6 m
A B A B A B A B
1.452 1.287 1.283 1.142 1.121 0.905 0.914 0.773
1.399 1.232 1.23 1.065 1.086 0.911 0.835 0.673
1.416 1.116 1.167 0.974 1.012 0.842 0.812 0.628
1.273 1.143 1.125 0.955 0.974 0.811 0.767 0.586
1.441 1.203 1.184 1.032 1.027 0.877 0.822 0.643

Evaluasi terhadap suatu desain perkuatan lereng dalam kaitannya


dengan perubahan perilaku sifat keteknikan batuan perlu dilakukan (Irsyam,
dkk.. 1998: Gartung, 1986). Salah satu penyebab perubahan perilaku sifat
keteknikan batuau adalah pelapukan. Hasil analisis beberapa sifat
keteknikan batu lempung pada formasi Subang yang merupakan parameter
dasar dalam analisis kestabilan lereng memperlihatkan bahwa parameter
tersebut mengalami perubahan secara berarti apabila dikaitkan dengan
derajat pelapukannya. Hal ini tentunya akan berpengaruh pula pada nilai
kuat geser dan besar deformasinya pada batuan. Besarnya pengaruh derajat
pelapukan batulempung formasi Subang terhadap perubahan nilai rata-rata
kuat geser batuan dapat dilihat pada gambar 5.1 berikut.

36
Gambar 4.1 Grafik tegangan geser sebagai fungsi dari perubahan
derajat pelapukan batulempung

Dalam penyusunan perencanaan desain sistem perkuatan lereng


pada jenis lempung yang mudah hancur dan mudah mengembang, beberapa
peniliti terdahulu juga merekomendasikan suatu parameter desain untuk
jangka panjang. Gartung (1986) merekomendasikan parameter kuat geser
dengan nilai kohesi 20 kPa dan sudut geser dalam 20°. Stark dan Duncan
(1991) berdasarkan hasil pengujian mengusulkan penggunaan parameter
kohesi 0 kPa dengan sudut geser dalam 25° untuk desain jangka panjang.
Kedua peneliti tersebut merekomendasikan parameter desain untuk seluruh
massa batuan lempung dalam analisis kestabilan lereng. Tetapi mengingat
konstruksi permukaan lereng juga akan berfungsi untuk menutup masa
batuan, maka prnggunaan parameter yang diusulkan tersebut akan
menghasilkan desain yang cukup konservatif. Karena itu, Irsyam dkk. (1998)
mengemukakan parameter desan jangka panjang dan sebaiknya tidak
digunakan pada seluruh massa batuan, melainkan hanya pada lapisan

37
permukaan saja (Heavily weathered) yaitu 1,0 hingga 5.0 m. Dengan nilai
kohesi 7 kPa dan sudut geser dalam 24°. Untuk lapisan dibawahnya
digunakan parameter batulempung ( slightly weathered) dengan nilai kohesi
50 kPa dan sudut geser dalam 24°. Dalam penelitian ini variasi derajat
pelapukan lebih didetailakan, yaitu dari batuan segar hingga tanah residu.
Dengan demikian perencanaan dalam pemilihan desain perkuatan lereng
dapat dilakukan dengan tepat. Dan efektif.

38
BAB V
STUDI KASUS

Pada Bab ini membahas studi kasus yang diambil dari paper berjudul “Analisis
kestabilan lereng high wall berdasarkan nilai faktor keamanan dengan metode bishop
simplified pada PIT S12GN PT. Kitadin Embalut Site, Kecamatan Tenggarong
Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur”. Studi kasus
ini membahas tentang kestabilan lereng pada material batuan lunak dengan tingkat
pelapukan (degree of weathering) batuan di lokasi penelitian beragam, mulai dari
high weathered, moderately weathered hingga slightly weathered.

5.1 Latar Belakang


Penambangan merupakan suatu rangkaian kegiatan mulai dari
kegiatan penyelidikan bahan galian sampai dengan pemasaran bahan galian.
Penambangan bahan galian dengan sistem terbuka dilakukan dengan cara
membuat suatu lubang bukaan di permukaan hingga elevasi tertentu yang
bertujuan untuk mengambil bahan galian berupa mineral atau batubara.
Sebagian perusahaan melakukan upaya untuk meningkatkan jumlah
cadangan batubara yang akan ditambang, salah satunya dengan melakukan
pendalaman penggalian. Bukaan tersebut akan dibiarkan tetap terbuka
selama pengambilan mineral atau batubara masih berlangsung. Semakin
dalam tambang terbuka tersebut dilakukan penggalian, maka kestabilan
lerengnya akan semakin rendah. Kestabilan lereng sangat erat kaitannya
dengan longsor atau gerakan tanah yang merupakan proses perpindahan
massa tanah secara alami dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih
rendah. Pergerakan tanah ini terjadi karena perubahan keseimbangan daya
dukung tanah dan akan berhenti setelah mencapai keseimbangan baru.
Longsoran umumnya terjadi jika tanah sudah tidak mampu menahan berat
lapisan tanah di atasnya karena ada penambahan beban pada permukaan
lereng dan berkurangnya daya ikat antara butiran tanah relief. Tujuan

39
penelitian ini yaitu untuk menentukan nilai faktor keamanan dari lereng
higwall hasil redesain pada Pit S12GN PT. Kitadin Embalut Site,
merekomendasikan desain geometri jenjang penambangan dengan
memperhatikan nilai faktor keamanan yang stabil Penelitian dilakukan di
PT. Kitadin Embalut Site, Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.
Secara geografis terletak di antara 00 18’ 00.0” Lintang Selatan – 0 0 22’
30.0” Lintang Selatan dan 1170 5’ 00.0” Bujur Timur – 1170 7’ 49.9” Bujur
Timur, dengan luas area konsesi pertambangan 2.973,6 Ha.

5.2 Litologi Daerah Penelitian


Berdasarkan data bor milik PT. Kitadin Embalut Site, untuk litologi
daerah penelitian terdiri dari beberapa jenis batuan penyusun suatu lereng,
antara lain adalah sandstone, sandy siltstone, silty sandstone, clayey
siltstone, claystone, silty claystone, carboneceouse siltstone, carbonaceouse
claystone dan siltstone. Sedangkan untuk tingkat pelapukannya (degree of
weathering) batuan di lokasi penelitian beragam, mulai dari high weathered,
moderately weathered hingga slightly weathered.

5.3 Sifat Fisik dan Mekanik


Untuk sifat fisik dan mekanik, pengujian sampel materialnya
dibedakan, yaitu antara material lunak (soft clay material) dan material
original basement. Dari beberapa jenis material tersebut, memiliki sifat fisik
yang berupa bobot isi batuan dan sifat mekaniknya berupa kohesi dan sudut
geser dalam. Sifat fisik dan mekanik merupakan parameter-parameter yang
diperlukan dalam analisis kestabilan lereng batuan. Pada penelitian ini nilai
sifat fisik dan mekanik batuan diperoleh dari hasil pengujian laboratorium
geoteknik milik PT. Kitadin Embalut Site. Berikut ini merupakan nilai dari
bobot isi, kohesi, dan sudut geser dalam dari material-material yang ada pada
Pit S12GN. Adapun nilai parameter sifat fisik dan mekanik seperti pada tabel
5.1.

40
Tabel 5.1 Nilai parameter sifat fisik dan mekanik
(Laboratorium Geoteknik PT. Kitadin)

5.4 Analisis Kestabilan Lereng Pada Batuan Lunak


Seperti pada gambar 5.1 di bawah ini, analisis kestabilan lereng
dilakukan pada Pit S12GN dengan pembagian section seperti pada gambar
5.1 yaitu section A-A’, B-B’, C-C’, D-D’, yang merupakan section material
batuan lunak berupa lempung. Pada studi kasus soft clay material dilakukan
analisis kestabilan lereng sebagai berikut.

41
Gambar 5.1 Sebaran Section (Mahardika dkk. 2017)

5.4.1 Kestabilan Desain Awal


Dengan melihat kondisi aman dari suatu lereng yaitu dengan
nilai faktor keamanan sebesar ≥1.3 maka dari beberapa section yang
memiliki nilai faktor keamanan seperti pada tabel 5.2.

Tabel 5.2 Analisis Desain Awal Pada Soft Clay Material


Laboratorium Geoteknik PT. Kitadin)

42
5.4.2 Redesain Kestabilan Lereng pada soft clay material
Setelah dilakukan penentuan rekomendasi hasil analisis
kestabilan lereng tunggal pada area soft clay material, overburden
dan interburden, maka langkah selanjutnya adalah dilakukan
analisis kestabilan lereng keseluruhan (overall slope) pada masing-
masing section untuk didapatkan desain geometri lereng yang
stabil dengan nilai faktor keamanan minimum ≥1.3. Adapun
redesain pada soft clay mineral kering dan soft clay mineral jenuh
air.
 Redesain Soft Clay Material (Kering)
Redesain untuk soft clay material dalam kondisi
kering adalah dengan cara jenjang penambangannya
dimulai dari topografi sampai dengan elevasi -5 msl,
dengan menggunakan tinggi 5 m, single slope sebesar
20°, berm 30 m dan overall slope sebesar 8°. Selebihnya
dapat dilihat pada tabel 5.3.

Tabel 5.3 Analisis Desain Awal Pada Soft Clay Material kering
Laboratorium Geoteknik PT. Kitadin)

43
 Redesain Soft Clay Material (Jenuh )
Sedangkan redesain untuk soft clay material dalam
kondisi jenuh geometri jenjang penambangannya sama
seperti geometri soft clay material dalam kondisi kering,
hanya saja ada tambahan tanggul atau counterberm pada
elevasi 0 msl dengan menggunakan tinggi 5 m, panjang
15 m dan single slope sebesar 20°. Selebihnya dapat
dilihat pada tabel 5.4.

Tabel 5.4 Analisis Desain Awal Pada Soft Clay Material jenuh
Laboratorium Geoteknik PT. Kitadin)

44
BAB VI
KESIMPULAN

6.1 Kesimpulan
 Proses pelapukan dapat didefinisikan sebagai proses perubahan batuan
yang terjadi akibat pengaruh langsung atmosfer dan hidrosfer
 Jenis - jenis pelapukan dibagi atas bagian besar yaitu pelapukan fisika,
pelapukan kimia, dan pelapukan biologi.
 Faktor Penyebab Pelapukan yaitu keadaaan struktur batuan, keadaan
topografi, cuaca dan iklim.
 Profil pelapukan pada batuan lunak dalam kaitannya dengan
perkembangan derajat pelapukan batuan yang akan mempengaruhi sifat
keteknikan batuan yang dibagi kedalam VI derajat pelapukan pada sistem
klasifikasi dari batuan segar hingga tanah residu.
 Tipe gerakan tanah dibagi berdasarkan klasifikasi longsoran menurut
parah ahli yaitu fall, slides, complex landslide, creep, lateral, dan juga
rotasional.
 Faktor yang mempengaruhi kestabilan lereng berupa getaran, cuaca,
iklim, vegetasi, dan juga naiknya muka air tanah.
 Dalam stabilisasi perkuatan lereng dapat dilakukan dengan analisis
komputasi dan juga mengelolah lingkungan
 Menunjukkan bahwa semakin tinggi derajat pelapukan batuan, berat isi
batuan cenderung semakin kecil. Secara umum perubahan berat isi
batuan turun terhadap kenaikan derajat pelapukannya.
 Untuk rekomendasi geometri jenjang penambangan dengan nilai faktor
keamanan yang aman dan stabil, untuk soft clay material dalam kondisi
kering adalah dengan cara jenjang penambangannya dimulai dari
topografi sampai dengan elevasi -5 msl, dengan menggunakan tinggi 5
m, single slope sebesar 20 °, berm 30 m dan overall slope sebesar 8°.
Sedangkan untuk soft clay material dalam kondisi jenuh geometri jenjang

45
penambangannya sama seperti geometri soft clay material dalam kondisi
kering, hanya saja ada tambahan tanggul atau counterberm pada elevasi
0 msl dengan menggunakan tinggi 5 m, panjang 15 m dan single slope
sebesar 20°. Pada area original material rekomendasi geometri jenjang
penambangannya dimulai dari topografi sampai dengan elevasi -5 msl,
dengan menggunakan tinggi 5 m, single slope sebesar 50° dan berm 5 m.
Selanjutnya dari elevasi -5 msl sampai dengan jenjang penambangan
paling bawah, geometri jenjang penambangannya menggunakan tinggi
10 m, single slope sebesar 60°, berm 5 m dan tambahan safety berm 15
m pada elevasi -40 msl.

46
DAFTAR PUSTAKA

Anon, 1995, The Description and Classification of Weatherred Rocks for


Engineering Purposes., G.J Engineering Geol 28:207-242.
Anwar, H.Z., dan Kesumadhama, S., 1991, Konstruksi Jalan di daerah
Pegunung- an tropis, Makalah Ikatan Ahli Geologi Indonesia, PIT ke-20,
Desember 1991, hal. 471- 481
Attewel, P.B.,& Farmer, I. W., 1976, Principles of engineering geology, Chapman
& Hall, London, 104p.
Boggs Jr., S., 2006. Principles of Sedimentology and Stratigraphy. Pearson Prentice
Hall, New Jersey, 4th ed., 662h.
Bowles, JE.,1989, Sifat-sifat Fisik & Geoteknis Tanah, Erlangga, Jakarta, 562 hal.
Brunsden,D., Schortt,L., & Ibsen,M.L.(editor), 1997, Landslide
Recognition, Identificat- ion Movement and Causes, John Wiley & Sons,
England, p. 137 – 148 Dikau
Balfas, M. D., 2014, Panduan Tugas Akhir, Skripsi dan Praktik Kerja Lapangan.
Fakultas Teknik, Universitas Mulawarman. Samarinda
Dearman, W.R., Baynes, F. J., dan Irfan, T. Y., Engineering grading of weathered
granit. Eng Geology, 12. 345-374. (1978)
Hardiyatmo, H.C., 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Hansen, M.J., 1984, Strategies for Classification of Landslides, (ed. : Brunsden,
D, & Prior, D.B., 1984, Slope Instability, John Wiley & Sons, p.1-25
Hirnawan, R.F., 1993, Ketanggapan Stabilitas Lereng Perbukitan Rawan
Gerakan tanah atas Tanaman Keras, Hujan & Gempa, Disertasi, UNPAD,
302pp. . Hirnawan, R. F., 1994, Peran faktor-faktor penentu zona berpotensi
longsor di dalam mandala geologi dan lingkungan fisiknya Jawa Barat,
Majalah Ilmiah Universitas Padjadjaran, No. 2, Vol. 12, hal. 32-42.
Hunt, R.E., 1984, Geotechnical engineering investigation manual, McGrawHill
Book Co., 984 p.

47
Kanji, MA (2014). Critical issues in soft rock. In: Journal of Rock Mechanics and
Geotechnical Engineering, vol 6 pp 186-195.
Ollier, C.D., 1984, Geomorphology texts, 2nd edn., Oliver and Boyd, Edinburgh.
Sadisun, I. A., Rochaddi, B., dan Abidin, D. Z., Pengaruh perubahan derajat
pelapukan batuan terhadap beberapa karakter perubahan sifat keteknikan
batuan; batulempung Formasi Subang, Pros. Sem Geoteknik di Indonesia
Menjelang Milenium ke-3 Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi
Bandung IV., 33-IV, 40. (1998)
Selby., M.J., 1993, Hillslope Materials and Processes, 2nd edn., Oxford University
Press, Oxford
Vondracova T, Musilek j and Kais L 2015 The issues of soft rock causing problem
in foundation engineering Procedia Earth and Planetary Science 15 54
Wijono, S.,___,Geopedologi. Jurusan Teknik Geologi FT UGM.Yogyakarta.
Yao et al., 2016, Properties of Crushed Red-Bed Soft rock Mixtures Used in
Subgrade, Hindawi Publishing Coroporation : Advances in Materials
Science and Engineering Volume 2016, Article ID 9624974

48

Anda mungkin juga menyukai