FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI
SEMARANG
NOVEMBER 2019
HALAMAN PENGESAHAN
Menyetujui,
Tanggal November 2019
Dosen Pembimbing
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Dibuat di : Semarang
Pada Tanggal : 18 November 2019
Yang Menyatakan,
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dimana atas
segala berkat dan rahmat yang diberikan-Nya penulis dapat menyelesaikan
penyusunan karya tulis seminar dengan judul “Dampak Pelapukan Pada Stabilitas
Lereng di massa batuan lunak” dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah seminar
dengan tepat waktu.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah mendukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan
penyusunan karya tulis seminar, antara lain:
1. Kedua orang tua tercinta dan kakak-kakak penulis yang selalu
memberikan dukungan moral, mendoakan, memotivasi, dan memberikan
semangat kepada saya.
2. Bapak Najib, ST., M.Eng., Ph.D selaku dosen pembimbing.
3. Seluruh dosen dan staff pengajar Departemen Teknik Geologi
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
4. Irvan Sumantri Pakpahan, Hillary, Lestari Butar-butar, Nadyk Evan
Nino, dan Rahmat Yusuf Borman selaku rekan kelompok bimbingan
seminar.
5. Teman – teman Teknik Geologi angkatan 2016 yang telah membantu dan
memberikan berbagai kritik dan saran selama proses pemetaan
penyusunan seminar.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan laporan
ini. Penulis mengharapkan adanya kritik maupun saran yang membangun, sehingga
laporan ini dapat disempurnakan. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi siapa
pun yang membaca laporan ini sebagai ilmu pengetahuan.
iv
SARI
Proses pelapukan dapat didefinisikan sebagai proses perubahan batuan yang terjadi akibat
pengaruh langsung atmosfer dan hidrosfer (Sounders dan Fookes, 1970 op. cit. Beavis dkk.,
1992). Adanya pelapukan pada massa dan material batuan sering mengakibatkan rencana
desain suatu struktur bangunan menjadi khas, karena pelapukan umumnya mengakibatkan
pula perubahan sifat keteknikannya (Sadisun dkk., 1998; Karpuz dan pasamehmetoglu,
1997; Krank dan Watters, 1983; Dearman dkk., l97g). Mernpelajari pengaruh pelapukan
batuan terhadap kondisi batuan dan karakteristik sifat keteknikannya merupakan bagian
yang sangat penting dalarn investigasi geologi teknik. Maka, dalam upaya mengetahui
secara rinci karakteristik sifat keteknikan batuan, studi pengaruh pelapukan batuan
terhadap beberapa sifat keteknikannya dapat menjadi parameter masukan yang penting
guna menunjang kegiatan perencanaan pembuatan desain perkuatan lereng. Menunjukkan
bahwa semakin tinggi derajat pelapukan batuan, berat isi batuan cenderung semakin kecil.
Secara umum perubahan berat isi batuan turun terhadap kenaikan derajat pelapukannya.
v
ABSTRACT
The weathering process can be defined as the process of rock change that occurs due to the
direct influence of the atmosphere and hydrosphere (Sounders and Fookes, 1970 op. Cit.
Beavis et al., 1992). Weathering in rock mass and material often results in a design plan
for a building structure to be typical, because weathering generally results in changes in its
engineering properties (Sadisun et al., 1998; Karpuz and pasamehmetoglu, 1997; Krank
and Watters, 1983; Dearman et al., 1977g) . Studying the effect of rock weathering on rock
conditions and their engineering characteristics is a very important part of engineering
geological investigations. So, in an effort to find out in detail the characteristics of rock
engineering characteristics, the study of rock weathering effects on some of its engineering
characteristics can be an important input parameter to support planning activities in the
design of slope reinforcement design. Show that the higher the degree of weathering of
rocks, the weight of rock contents tends to be smaller. In general, changes in the weight of
rock contents decrease with increasing degrees of weathering.
vi
DAFTAR ISI
vii
V.1 Latar Belakang ................................................................................ 39
V.2 Litologi Daerah Penelitian………….. ............................................ 40
V.3 Sifat Fisik dan Mekanik .................................................................. 40
V.4 Analisis Kestabilan Lereng Pada Batuan Lunak ............................. 41
BAB VI KESIMPULAN ............................................................................. 45
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 47
viii
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
x
BAB I
PENDAHULUAN
1
keberadaannya dalam batuan menjadi hal yang cukup penting dari sudut
pandang keteknikan. Adanya pelapukan pada massa dan material batuan
sering mengakibatkan rencana desain suatu struktur bangunan menjadi khas,
karena pelapukan umumnya mengakibatkan pula perubahan sifat
keteknikannya (Sadisun dkk., 1998; Karpuz dan pasamehmetoglu, 1997;
Krank dan Watters, 1983; Dearman dkk., l97g). Mernpelajari pengaruh
pelapukan batuan terhadap kondisi batuan dan karakteristik sifat
keteknikannya merupakan bagian yang sangat penting dalarn investigasi
geologi teknik. Maka, dalam upaya mengetahui secara rinci karakteristik
sifat keteknikan batuan, studi pengaruh pelapukan batuan terhadap beberapa
sifat keteknikannya dapat menjadi parameter masukan yang penting guna
menunjang kegiatan perencanaan pembuatan desain perkuatan lereng.
2
BAB II
PELAPUKAN BATUAN
3
pelapukan ini. Faktor yang paling dominan tersebut adalah suhu
udara, tekanan, dan juga kristalisasi garam. Pelapukan fisika dikenal
sebagai pelapukan yang disebabkan oleh adanya perubahan suhu
atau iklim. Jenis pelapukan fisika hanya bisa ditemukan di daerah
yang mempunyai iklim ekstrim, seperti sub tropis, gurun, pesisir
pantai yang mempunyai topografi yang curam. Adapun beberapa
jenis pelapukan fisika yang diambil dari buku (Sam, Boggs., Jr.,
Principles of Sedimentary and Stratigraphy) sebagai berikut
1. Stress release
Batuan yang muncul ke permukaan bumi melepaskan
stress menghasilkan kekar atau retakan yang sejajar
permukaan topografi. Retakan-retakan itu membagi batuan
menjadi lapisan-lapisan atau lembaran (sheet) yang sejajar
dengan permukaan topografi. Proses ini sering disebut
sheeting. Ketebalan dari lapisan hasil proses sheeting ini
semakin tebal menjauhi dari permukaan. Proses pelapukan
jenis ini sering terjadi pada batuan beku terobosan yang dekat
permukaan bumi. Seperti pada gambar 2.1 kenampakan
dilapangan batuan yang muncul kepermukaan dengan tekstur
retakan yang sejajar pada permukaan topografi.
4
2. Frost action and hydro-fracturing
Pembekuan air dalam batuan. Air atau larutan lainnya
yang tersimpan di dalam pori atau retakan batuan akan
meningkat volumenya sekitar 9% apabila membeku, sehingga
ini akan menimbulkan tekanan yang cukup kuat memecahkan
batuan yang ditempatinya. Proses ini tergantung keberadaan
pori dan retakan dalam batuan keberadaan air/cairan dalam
pori dan temperatur yang turun naik dalam jangka waktu
tertentu.
5
4. Insolation weathering
Akibat pemanasan dan pendinginan permukaan karena
pengaruh matahari. Tentu saja pelapukan jenis ini akan besar
pengaruhnya di daerah yang mengalami perbedaan suhu
cukup besar, misalnya siang (panas) dan malam (dingin).
6
2. Hidrolisa
Penguraian air atas ion-ion H yang positif dan ion-
ion OH yang negatif. Ion-ion H bersama dengan unsur K,
Na, C, dan Mg mengadakan persenyawaan basa. Basa
sangat mudah bereaksi dengan zat lain yang mengakibatkan
K, Na, Ca, dan Mg berubah menjadi garam yang mudah
larut. Hal semacam ini tampak pada persenyawaan
orthoklas dan hidroksil sebagai berikut: KAlSi 3O8 + HOH
HAlSi2O8 - KOH KAlSi 3O8 (orthoklas) KOH (hidroksil).
3. Oksidasi
Pengkaratan pada besi yang terkandung pada batuan.
Perubahan warna coklat pada pinggiran batuan induk
merupakan akibat dari oksidasi. Satu contoh reaksinya
yakni 4FeO + 3H2O + O2 2Fe2
4. Karbonasi
Pada proses ini gas karbon dioksida (CO2) bekerja
sebagai faktor pelapuk. Air yang mengandung gas karbon
dioksida memiliki daya pelapuk sangat kuat. Gas karbon
dioksida yang terkandung dalam air diikat dari udara atau
dari sisa tumbuhan setelah mengalami proses humifikasi.
Batuan yang paling mudah dilapukkan oleh proses
karbonasi adalah batuan kapur (lime stone). Proses kimia
karbonasi dapat dilihat pada persenyawaan di bawah ini:
CaCO3 + H2O + CO2 Ca (HCO3)2 CaCO3 (kalsit)
Ca (HCO3)2 (kalsium bikarbonat).
Bambang Nianto Mulyo dan Purwadi Suhandini
(2004: 145 dan 2007:80) mencontohkan bahwa
penghancuran batuan melalui proses kimia menyebabkan
batuan yang lapuk perubahan susunan kimia. Contoh
tersebut adalah Kaolin dihasilkan dari felspar (Na2O .
Al2O3 . 6SiO2) melalui proses kimia. Na2O . Al2O3 .
7
6SiO2 + nH2O + CO2 Na2CO3 + SiO2 + SiO2 .
nH2O + 2H2O . Al2O3 . 2SiO2 (kaolin).
2.2.3. Pelapukan Biologi
Pelapukan biologi merupakan jenis pelapukan batuan yang
dilakukan oleh organisme melalui aktivitasnya di sekitar lingkungan
batuan tersebut berada. Dengan kata lain pelapukan biologi ini
terjadi karena disebabkan oleh makhluk hidup. Pelapukan ini terjadi
karena adanya peranan organisme - organisme tertentu. Adapun
organisme - organisme yang berperan dalam pelapukan ini antara
lain berupa binatang, tumbuhan, jamur, bakteri, atau bahkan
manusia Ahmad Yani (2008). Proses pelapukan biologi atau organik
ini melibatkan 2 cara, yaitu cara biokimia dan cara mekanis. Adapun
contoh pelapukan secara biologi atau organik ini antara lain adalah:
8
BAB III
PELAPUKAN PADA BATUAN LUNAK
9
Gambar 3.1 klasifikasi batuan berdasarkan kekuatan menurut beberapa peneliti (Kanji, 2014)
10
3.2. Faktor Penyebab Pelapukan
Komposisi dari batuan yang ada di bumi ini berbeda beda sehingga
tingkat pelapukan dan jenis pelapukannya pun berbeda-beda. Pelapukan
terjadi karena faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pelapukan bekerja
dengan baik. Faktor-faktor penyebeb pelapukan adalah keadaan batuan asal,
topografi, iklim dan organisme, dan waktu (Wijono, 2013). Faktor penyebab
pelapukan seperti berikut.
3.2.1. Keadaan Struktur Batuan
Struktur batuan adalah sifat fisik dan sifat kimia yang
dimiliki oleh suatu batuan yang meliputi kekompakan batuan, warna,
susunan mineral dalam batuan. Sedangkan sifat kimia batuan adalah
kandungan kimia dalam batuan tersebut. Kedua sifat ini yang
mempengaruhi daya tahan batuan terhadap pelapukan. Adapun
contoh batuan yang mudah lapuk berdasarkan struktur batuannya
adalah batuan sedimen ataupun batuan lunak seperti batulempung.
3.2.2. Topografi
Kemringan daerah atau topografi merupakan faktor yang
mempengaruhi kecepatan proses pelapukan suatu batuan. Pada
batuan yang berada pada lereng curam akan lebih mudah
terlapukkan karena batuan tersebut kontak langsung dengan cuaca,
sedangkan yang berada pada lereng landai akan terselimuti oleh
berbagai endapan, sehingga memperlambat proses pelapukan.
Kemudian akan berpengaruh dengan aliran air dari elevasi yang
tinggi ke elevasi yang rendah serta berhubungan dengan jumlah
vegetasi yang dapat hidup.
3.2.3 Cuaca dan Iklim
Unsur-unsur cuaca dan iklim yang mempengaruhi proses
pelapukan suatu batuan antara lain suhu dan udara, curah hujan,
sinar matahari, dan angin yang mampu menyebabkan erosi. Batuan
yang berada di daerah yang memiliki amplitudo yang tinggi akan
lebih mudah mengalami pelapukan batuan daripada yang berada di
11
daerah yang mempunyai amplitude rendah. Hal ini akan
dipengaruhi oleh pertumbuhan vegetasi, organisme-organisme
serta intensitas waktu yang mempengaruhi pelapukan.
12
Tabel 3.2 Sistem kiasifikasi derajat pelapukan (Dearman, 1979 op. cit Dearman dkk., 1978).
13
Lapuk III Perubahan warna batuan mulai tampak jelas,
Sedang terjadi pada hampir sebagian besar permukaan
brdang rekahan (menjadi berwarna coklat
keabuan hingga coklat). Apabila pecahan
pipih batuan dipotong dengan pisau atau
dipatahkan dengan tangan, masih terlihat
warna asli batuannya dan perubahan warna
yang terjadi secara umum masih kurang dari
setengah tebal pecahan pipih tersebut,
sehingga determinasi batuan asal masih dapat
dilakukan dengan baik
Lapuk II Batuan pada deraiat pelapukan ini umumnya
Ringan ditandai oleh adanya gejala hancuran retak-
retak memipih dalam demensi dan spasi yang
masih cukup besar. Warna batuannya
umumnya telah memudar menjadi tidak
mengkilap/kusam; perubahan warna (menjadi
abu-abu kecoklatan hingga coklat keabuan)
masih sedikit sekali terjadi, hanya pada
permukaan atau pada bagian tepi bidang
rekahan yang terbuka.
Batuan Segar I Efek proses pelapukan belum atau sedikit
sekali dijumpai pada beberapa bagian batuan.
Dalam kondisi segar, batuan ini berwarna abu-
abu kehijauan hingga abu-abu kehitaman dan
secara umum tidak terlihat perubahan warna
batuan, baik pada permukaan singkapan atau
muka galian maupun pada permukaan bidang
rekahan batuan.
14
Penerapan sistem identifikasi derajat pelapukan pada tabel 3.1
didasarkan atas hadirnya beberapa efek perubahan pada batuan meliputi
warna batuan, perubahan fracture intensity, serta perubahan tekstur dan
struktur batuan. Uraian tersebut dibuat sederhana dengan mempertimbangkan
syarat-syarat umum klasifikasi massa batuan dalam kaitannya dengan proses
pelapukan. Seperti yang dirangkum oleh Dearman dkk (1978) antara lain:
1. Cepat dan mudah, termasuk dala preparasi contoh batuannya
2. Memiliki ketertarikan dengan sifat-sifat fisik massa dan material
batuannya
3. Memungkinkan untuk membedakan sifat-sifat keteknikan atas dasar
indeks pengujian yang sederhana
4. Memiliki keterkaitan dengan masalah rekayasa pada batuan
Dalam penyederhanaan profil pelapukan pada batuan lunak dalam
kaitannya dengan perkembangan derajat pelapukan batuan dapat dilihat pada
Gambar 3.1 adalah profil tanah residual (Little, 1969 dalam Hardiyatmo,
2006).
Gambar 3.2 Profil tanah residual (Little, 1969 dalam Hardiyatmo, 2006)
15
3.4 Perubahan Keteknikan Batuan Akibat Pelapukan
Beberapa Peneliti terdahulu juga telah melakukan analisis
mengenasi perubahan sifat keteknikan batuan dalam kaitannya dengan
perbedaan derajat pelapukannya. Namun, sebagian besar penelitian terdahulu
masi dilakkukan pada batuan beku, sehingga sifat keteknikan batuan yang
dihasilkan hanya relevan untuk jenis batuan beku saja. Pada penelitian
perubahan keteknikan batuan akibat pelapukan seperti halnya pada batuan
lunak dengan contoh batulempung akan dilakukan analisis laboratorium
untuk mendapatkan sifat-sifat keteknikan batuan yang menjadi parameter
dasar dalam kestabilan lereng yaitu berat isi (γ), kohesi (c), dan sudut geser
dalam (ᴓ). Adapun data perubahan keteknikan batuan akibat pelapukan
dengan parameter berat isi (γ), kohesi (c), dan sudut geser dalam (ᴓ)
berdasarkan derajat pelapukan pada lunak yaitu batulempung (Iman A.
Sadisun, 1998). Tabel berikut adalah nilai derajat pelapukan pada batuan
lunak dapat dilihat pada tabel 3.2 yaitu sistem klasifikasi derajat pelapukan
(Dearman, 1979 op. cit Dearman dkk., 1978) serta hubungannya dengan
Karakteristik dari setiap nilai derajat pelapukan dari Grade I sampai VI dapat
dilihat hubungannya pada Gambar 3.1.
Tabel 3.3 Derajat pelapukan batuan dan karekteristik beberapa sifat keteknikannya
(Sadisun, 1998)
Derajat γ ( gr/𝑐𝑚3 ) c (kPa) ᴓ (°)
Pelapukan
VI 1,614 - 1 .802 4,65 - 6,75 8,5 - 14
V 1,785 - 1,922 12,00 - 28, 65 10 - 20
IV 1,868 - 2,172 24,36 - 34,18 18,5 - 26
III 1,904 - 2,307 32,65 - 50,42 20 - 32
II 2,195 - 2,379 30,26 - 62,08 27 - 32,5
I 2,322 - 2,714 52,48 - 74,65 30,5 - 42
16
Tabel 3.2 Menunjukkan bahwa semakin tinggi derajat pelapukan
batuan, berat isi batuan cenderung semakin kecil. Secara umum perubahan
berat isi batuan turun terhadap kenaikan derajat pelapukannya.
Kohesi dan sudut geser dalam didapatkan melalui uji geser
langsung. Karena data tersebut tergolong dalam batuan lunak maka
dilakukan perlakuan khusus dalam pengujiannya. Hasil pengujian dapat
dilihat pada tabel derajat pelapukan bahwa semakin lapuk batuan atau
semakin tinggi derajat pelapukannya, makan nilai kohesi batuan turun linear
terhadap kenaikan derajat pelapukannya. Sama halnya dengan perubahan
sudut geser dalam yang secara umum juga menunjukkan penurunan nilai
terhadap kenaikan derajat pelapukannya.
17
BAB IV
STABILITAS LERENG PADA BATUAN LUNAK
18
Tabel 4.1 Klasifikasi longsoran oleh Stewart Sharpe (1938, dalam Hansen,1984)
19
yang dapat diamati ataupun diduga. Slides dibagi lagi menjadi
dua jenis. Disebut luncuran (slide) bila dipengaruhi gerak
translasional dan susunan materialnya yang banyak berubah..
Bila longsoran gelinciran dengan susunan materialnya tidak
banyak berubah dan umumnya dipengaruhi gerak rotasional,
maka disebut nendatan (slump), Termasuk longsoran gelinciran
adalah luncuran bongkah tanah maupun bahan rombakan, dan
nendatan tanah.
4.1.2. Klasifikasi Longsoran Menurut Stewart Sharpe (1938)
Secara sederhana, Coates (1977, dalam Hansen, 1984,
membagi longsoran menjadi luncuran atau gelinciran (slide), aliran
(flow) dan jatuhan (fall). Menurut Varnes (1978, dalam Hansen,
1984) longsoran (landslide) dapat diklasifikasikannya menjadi:
jatuhan (fall), jungkiran (topple), luncuran (slide) dan nendatan
(slump), aliran (flow), gerak bentang lateral (lateral spread), dan
gerakan majemuk (complex movement). Klasifikasi dapat dilihat
seperti tabel 4.2.
Tabel 4.2. Klasifikasi longsoran (landslide) oleh Coates (dalam Hansen, 1984)
20
Aliran (flow) adalah gerakan yang dipengaruhi oleh jumlah
kandungan atau kadar airtanah, terjadi pada material tak
terkonsolidasi. Bidang longsor antara material yang bergerak
umumnya tidak dapat dikenali. Termasuk dalam jenis gerakan
aliran kering adalah sandrun (larianpasir), aliran fragmen batu,
aliran loess. Sedangkan jenis gerakan aliran basah adalah aliran
pasir-lanau, aliran tanah cepat, aliran tanah lambat, aliran
lumpur, dan aliran bahan rombakan.
Longsoran majemuk (complex landslide) adalah gabungan dari
dua atau tiga jenis gerakan di atas. Pada umumnya longsoran
majemuk terjadi di alam, tetapi biasanya ada salah satu jenis
gerakan yang menonjol atau lebih dominan. Menurut Pastuto &
Soldati (1997), longsoran majemuk diantaranya adalah
bentangan lateral batuan, tanah maupun bahan rombakan.
4.1.3. Klasifikasi Longsoran Menurut Varnes (1978)
Berdasarkan definisi dan klasifikasi longsoran (Varnes,
1978), maka disimpulkan bahwa gerakan tanah (mass movement)
adalah gerakan perpindahan atau gerakan lereng dari bagian atas
atau perpindahan massa tanah maupun batu pada arah tegak,
mendatar atau miring dari kedudukan semula. Longsoran
(landslide) merupakan bagian dari gerakan tanah, jenisnya terdiri
atas jatuhan (fall), jungkiran (topple), luncuran (slide), nendatan
(slump), aliran (flow), gerak horisontal atau bentangan lateral
(lateral spread), rayapan (creep) dan longsoran majemuk.
Klasifikasi para peneliti di atas pada umumnya berdasarkan
kepada jenis gerakan dan materialnya. Klasifikasi yang diberikan
oleh HWRBLC, Highway Research Board Landslide Committee
(1978), mengacu kepada Varnes (1978) seperti diberikan pada
(Tabel 4.3) yang berdasarkan sebagai berikut:
a) material yang nampak
b) kecepatan perpindahan material yang bergerak
21
c) susunan massa yang berpindah,
d) jenis material dan gerakannya.
22
Tabel 4.4. Laju kecepatan gerakan tanah (Hansen, 1984)
Kecepatan Keterangan
> 3 meter/detik Ekstrim sangat cepat
23
b) Dangkal (1,5 s.d. 5 meter)
c) Dalam (antara 5 sampai 20 meter)
d) Sangat dalam (>20 meter)
24
lereng pada pekerjaan cut & fill, jika tanpa perencanaan dapat menyebabkan
perubahan keseimbangan tekanan pada lereng. Letak atau posisi tanaman
keras dan kerapatannya mempengaruhi Faktor Keamanan Lereng
(Hirnawan, 1993), hilangnya tumbuhan penutup menyebabkan alur-alur
pada beberapa daerah tertentu. Penghanyutan yang semakin meningkat
akhirnya mengakibatkan terjadinya longsor (Pangular, 1985). Dalam
kondisi ini erosi tentunya memegang peranan penting.
Penyebab lain dari kejadian longsor adalah gangguan-gangguan
internal, yaitu yang datang dari dalam tubuh lereng sendiri terutama karena
ikutsertanya peranan air dalam tubuh lereng; Kondisi ini tak lepas dari
pengaruh luar, yaitu iklim yang diwakili oleh curah hujan. Jumlah air yang
meningkat dicirikan oleh peningkatan kadar airtanah, derajat kejenuhan,
atau muka airtanah. Kenaikan air tanah akan menurunkan sifat fisik dan
mekanik tanah dan meningkatkan tekanan pori (µ) yang berarti
memperkecil ketahananan geser dari massa lereng (lihat rumus Faktor
Keamanan). Debit air tanah juga membesar dan erosi di bawah permukaan
(piping atau subaqueous erosion) meningkat. Akibatnya lebih banyak fraksi
halus (lanau) dari masa tanah yang dihanyutkan, lebih jauh ketahanan
massa tanah akan menurun (Bell, 1984, dalam Hirnawan, 1993).
4.2.1. Getaran atau Gempa Bumi
Banyak kejadian longsor terjadi akibat gempa bumi. Gempa
bumi Tes di Sumatera Selatan tahun 1952 dan di Wonosobo tahun
1924, juga di Assam 27 Maret 1964 menyebabkan timbulnya tanah
longsor (Pangular, 1985). Demikian juga di Jayawijaya, Irian Jaya
tahun 1987 (Siagian, 1989, dalam Tadjudin, 1996) dan di
Sindangwanggu, Majalengka tahun 1990 (Soehaimi, et.al., 1990).
Di jalur keretaapi Jakarta-Yogyakarta dekat Purwokerto tahun 1947
(Pangular, 1985) akibat getaran dan di Cadas Pangeran, Sumedang
bulan April; 1995, selain morfologi dan sifat fisik/mekanik material
tanah lapukan breksi, getaran kendaraan pun ikut ambil bagian
25
dalam kejadian longsor. Gempa di India dan Peru (2000) juga
menyebabkan longsor.
4.2.2. Cuaca atau Iklim
Curah hujan sebagai salah satu komponen iklim, akan
mempengaruhi kadar air (water content; ω , %) dan kejenuhan air
(Saturation; Sr, %). Pada beberapa kasus longsor di Jawa Barat, air
hujan seringkali menjadi pemicu terjadinya longsor. Hujan dapat
meningkatkan kadar air dalam tanah dan lebih jauh akan
menyebabkan kondisi fisik tubuh lereng berubah-ubah. Kenaikan
kadar air tanah akan memperlemah sifat fisik-mekanik tanah
(mempengaruhi kondisi internal tubuh lereng) dan menurunkan
Faktor Kemanan lereng (Brunsden & Prior, 1984; Bowles, 1989;
Hirnawan & Zufialdi, 1993). Kondisi lingkungan geologi fisik
sangat berperan dalam kejadian gerakan tanah selain kurangnya
kepedulian masyarakat karena kurang informasi ataupun karena
semakin merebaknya pengembangan wilayah yang mengambil
tempat di daerah yang mempunyai masalah lereng rawan longsor.
4.2.3. Ketidakseimbangan Beban di Puncak dan di Kaki Lereng
Beban tambahan di tubuh lereng bagian atas (puncak)
mengikut sertakan peranan aktifitas manusianan. Pendirian atau
peletakan bangunan, terutama memandang aspek estetika belaka,
misalnya dengan membuat perumahan (real estate) atau villa di
tepi-tepi lereng atau di puncak-puncak bukit merupakan tindakan
ceroboh yang dapat mengakibatkan longsor. Kondisi tersebut
menyebabkan berubahnya keseimbangan tekanan dalam tubuh
lereng. Sejalan dengan kenaikan beban di puncak lereng, maka
keamanan lereng akan menurun.
Pengurangan beban di daerah kaki lereng berdampak
menurunkan Faktor Keamanan. Makin besar pengurangan beban di
kaki lereng, makin besar pula penurunan Faktor Keamanan
lerengnya, sehingga lereng makin labil atau makin rawan longsor.
26
Aktivitas manusia berperan dalam kondisi seperti ini. Pengurangan
beban di kaki lereng diantaranya oleh aktivitas penambangan
bahan galian, pemangkasan (cut) kaki lereng untuk perumahan,
jalan dan lainlain, atau erosi (Hirnawan, 1993).
Kasus longsor yang disebabkan oleh kondisi
ketidakseimbangan beban pada lereng antara lain:
1. longsor di tempat penggalian trass di tepi jalan raya Lembang
akibat penggalian bahan baku bangunan dengan cara membuat
tebing yang hampir tegak lurus
2. longsor sekitar jalan di Bandung Utara akibat pemangkasan
untuk kawasan perumahan (real estate;
3. longsoran di tepi sungai Cipeles (Jalan raya Bandung-Cirebon)
juga diakibatkan oleh kondisi ketidakseimbangan beban.
Penyebab lain dari kejadian longsor adalah gangguan
internal yang datang dari dalam tubuh lereng sendiri terutama
karena ikut sertanya peranan air dalam tubuh lereng.
4.2.4. Vegetasi / Tumbuh-tumbuhan
Hilangnya tumbuhan penutup, dapat menyebabkan alur-
alur pada beberapa daerah tertentu. Penghanyutan makin
meningkat dan akhirnya terjadilah longsor (Pangular, 1985).
Dalam kondisi tersebut berperan pula faktor erosi. Letak atau posisi
penutup tanaman keras dan kerapatannya mempengaruhi Faktor
Keamanan Lereng. Penanaman vegetasi tanaman keras di kaki
lereng akan memperkuat kestabilan lereng, sebaliknya penanaman
tanaman keras di puncak lereng justru akan menurunkan Faktor
Keamanan Lereng sehingga memperlemah kestabilan lereng
(Hirnawan, 1993).
27
luar, yaitu iklim (diwakili oleh curah hujan) yang dapat
meningkatkan kadar air tanah, derajat kejenuhan, atau muka
airtanah. Kehadiraran air tanah akan menurunkan sifat fisik dan
mekanik tanah. Kenaikan muka air tanah meningkatkan tekanan
pori ( µ ) yang berarti memperkecil ketahanan geser dari massa
lereng, terutama pada material tanah (soil). Kenaikan muka air
tanah juga memperbesar debit air tanah dan meningkatkan erosi di
bawah permukaan (piping atau subaqueous erosion). Akibatnya
lebih banyak fraksi halus (lanau) dari masa tanah yang
dihanyutkan, ketahanan massa tanah akan menurun (Bell, 1984,
dalam Hirnawan, 1993).
4.2.6 Kuat Geser Tanah atau Batuan
Kekuatan yang sangat berperan dalam analisa kestabilan
lereng terdiri dari sifat fisik dan sifat mekanik dari batuan tersebut.
Sifat fisik batuan yang digunakan dalam menganalisa kemantapan
lereng adalah bobot isi tanah (), sedangkan sifat mekaniknya adalah
kuat geser batuan yang dinyatakan dengan parameter kohesi (c) dan
sudut geser dalam (). Kekuatan geser batuan ini adalah kekuatan
yang berfungsi sebagai gaya untuk melawan atau menahan gaya
penyebab kelongsoran.
Bobot isi tanah atau batuan
Nilai bobot isi tanah atau batuan akan menentukan
besarnya beban yang diterima pada permukaan bidang
longsor, dinyatakan dalam satuan berat per volume. Bobot
isi batuan juga dipengaruhi oleh jumlah kandungan air
dalam batuan tersebut. Semakin besar bobot isi pada suatu
lereng tambang maka gaya geser penyebab kelongsoran akan
semakin besar. Bobot isi diketahui dari pengujian
laboratorium. Nilai bobot isi batuan untuk analisa kestabilan
lereng terdiri dari 3 parameter yaitu nilai Bobot isi batuan
28
pada kondisi asli (n ), kondisi kering (d ) dan Bobot isi pada
kondisi basah (w).
Kohesi
Kohesi adalah gaya tarik menarik antara partikel
dalam batuan, dinyatakan dalam satuan berat per satuan luas.
Kohesi batuan akan semakin besar jika kekuatan gesernya
makin besar. Nilai kohesi (c) diperoleh dari pengujian
laboratorium yaitu pengujian kuat geser langsung (direct
shear strength test) dan pengujian triaxial (triaxial test).
Sudut geser dalam ( )
Sudut geser dalam merupakan sudut yang dibentuk
dari hubungan antara tegangan normal dan tegangan geser di
dalam material tanah atau batuan. Sudut geser dalam adalah
sudut rekahan yang dibentuk jika suatu material dikenai
tegangan atau gaya terhadapnya yang melebihi tegangan
gesernya. Semakin besar sudut geser dalam suatu material
maka material tersebut akan lebih tahan menerima tegangan
luar yang dikenakan terhadapnya.
Untuk mengetahui nilai kohesi dan sudut geser dalam,
dinyatakan dalam persamaan berikut :
τnt = σn tan + c
Dimana :
τnt = tegangan geser
σn = tegangan normal
= sudut geser dalam
c = kohesi
Prinsip pengujian direct shear strength test atau juga
dikenal dengan shear box test adalah menggeser langsung
contoh tanah atau batuan di bawah kondisi beban normal
tertentu. Pergeseran diberikan terhadap bidang pecahnya,
sementara untuk tanah dapat dilakukan pergeseran secara
29
langsung pada conto tanah tersebut. Beban normal yang
diberikan diupayakan mendekati kondisi sebenarnya di
lapangan.
Untuk perhitungan dalam pengujian di laboratorium
digunakan rumus-rumus perhitungan sebagai berikut :
1. Tegangan geser:
2. Tegangan normal (normal stress)
Dimana :
τnt = Tegangan Geser
σn = Tegangan Normal
P = Beban normal
A = Luas silinder sampel direct shear test
H = Kalibrasi Directian = 0,45 . x
X = Pembacaan Dial
30
pengalaman di lapangan (Pangular, 1985). Cara ini kurang teliti,
tergantung dari pengalaman seseorang. Cara ini dipakai bila tidak
ada resiko longsor terjadi saat pengamatan. Cara ini mirip dengan
memetakan indikasi gerakan tanah dalam suatu peta lereng.
4.3.2. Komputasi
Cara komputasi adalah dengan melakukan hitungan
berdasarkan rumus (Fellenius, Bishop, Janbu, Sarma, Bishop
modified dan lain-lain). Cara Fellenius dan Bishop menghitung
Faktor Keamanan lereng dan dianalisis kekuatannya. Menurut
Bowles (1989). Kemantapan lereng (slope stability) sangat
dipengaruhi oleh kekuatan geser tanah untuk menentukan
kemampuan tanah menahan tekanan tanpa mengalami keruntuhan.
Untuk memperoleh nilai safety factor (SF) suatu lereng, maka perlu
dilakukan ‘trial and errors’ terhadap beberapa bidang longsor yang
umumnya berupa busur lingkaran dan kemudian diambil nilai SF
minimum sebagai indikasi bidang longsor kritis. Penyelesaian
kelongsoran ini diselesaikan beberapa cara yaitu Metode Fellenius,
Metode Bishop’s (Bishop’s Method) dan menggunakan program
Plaxis V8.2.
Metode Fellenius
Metode Fellenius memberikan faktor keamanan yang
relatif lebih rendah dari metode elemen hingga. Batas-batas
nilai kesalahan tergantung dari faktor keamanan, sudut pusat
lingkaran yang dipilih, dan besarnya tekanan air pori. Karena
caranya yang sederhana sehingga kesalahan yang terjadi
masih pada batas aman.
Metode Bishop’s (Bishop’s Method)
Metode Bishop’s menganggap bahwa gaya-gaya
yang bekerja pada sisi irisan mempunyai resultan nol pada
arah vertikal dan persamaan kuat geser dalam tinjauan
tegangan efektif yang dapat dikerahkan tanah, sehingga
31
tercapainya kondisi keseimbangan batas dengan
memperhatikan faktor keamanan, perhitungan ini lebih sulit
tetapi memberikan hasil yang lebih akurat.
Metode Elemen Hingga Menggunakan Software Plaxis V8.2
Faktor keamanan dicari dengan mencari bidang
lemah pada struktur lapisan tanah. Faktor keamanan
didapatkan dengan cara mengurangi nilai kohesi (c) dan
sudut geser dalam tanah (φ), secara bertahap hingga tanah
mengalami keruntuhan.
Banyak rumus perhitungan Faktor Keamanan lereng
(material tanah) yang diperkenalkan untuk mengetahui tingkat
kestabilan lereng ini. Rumus dasar Faktor Keamanan (Safety
Factor, F) lereng (material tanah) yang diperkenalkan oleh
Fellenius dan kemudian dikembangkan adalah (Lambe &
Whitman, 1969; Parcher & Means, 1974).
Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan dan
studi-studi yang menyeluruh tentang keruntuhan lereng, maka
dibagi 3 kelompok rentang Faktor Keamanan (F) ditinjau dari
intensitas kelongsorannya (Bowles, 1989), sperti yang
diperlihatkan pada tabel 4.5 berikut.
32
Tabel 4.5. Hubungan Nilai Faktor Keamanan Lereng dan Intensitas Longsor
(Bowles, 1989)
Nilai faktor keamanan Kejadian / intensitas longsor
33
penyebab maupun pemicunya. Kendati demikian, tidak semua
faktor-faktor tersebut dapat dikendalikan kecuali dikurangi.
Beberapa cara pencegahan atau upaya stabilitas lereng adalah
sebagai berikut :
(a) Mengurangi beban di puncak lereng dengan cara
pemangkasan lereng, pemotongan lereng atau cut biasanya
digabungkan dengan pengisian/ pengurugan atau fill di kaki
lereng, pembuatan undak-undak. dan sebagainya.
(b) Menambah beban di kaki lereng dengan cara sebagai
berikut.
Menanam tanaman keras (biasanya pertumbuhannya
cukup lama)
Membuat dinding penahan (bisa dilakukan relatif
cepat; dinding penahan atau retaining wall harus
didesain terlebih dahulu)
Membuat ‘bronjong’, batu-batu bentuk menyudut
diikatkan dengan kawat; bentuk angular atau
menyudut lebih kuat dan tahan lama dibandingkan
dengan bentuk bulat, dan sebagainya
(c) Mencegah lereng jenuh dengan airtanah atau mengurangi
kenaikan kadar air tanah di dalam tubuh lereng Kadar
airtanah dan mua air tanah biasanya muncul pada musim
hujan, pencegahan dengan cara :
Membuat beberapa penyalir air (dari bambu atau pipa
paralon) di kemiringan lereng dekat ke kaki lereng.
Gunanya adalah supaya muka air tanah yang naik di
dalam tubuh lereng akan mengalir ke luar, sehingga
muka air tanah turun Membuat dinding penahan (bisa
dilakukan relatif cepat; dinding penahan atau
retaining wall harus didesain terlebih dahulu)
34
Menanam vegetasi dengan daun lebar di puncak-
puncak lereng sehingga evapotranspirasi meningkat.
Air hujan yang jatuh akan masuk ke tubuh lereng
(infiltrasi). Infiltrasi dikendalikan dengan cara
tersebut
Peliputan rerumputan. Cara yang sama untuk
mengurangi pemasukan atau infiltrasi air hujan ke
tubuh lereng, selain itu peliputan rerumputan jika
disertai dengan desain drainase juga akan
mengendalikan run-off.
(d) Mengendalikan air permukaan
Membuat desain drainase yang memadai sehingga air
permukaan dari puncak-puncak lereng dapat
mengalir lancar dan infiltrasi berkurang.
Penanaman vegetasi dan peliputan rerumputan juga
mengurangi air larian (run-off) sehingga erosi
permukaan dapat dikurangi.
35
dalam kondisi kritis makan nilai FS 1.118 - 1.287. Untuk itu diperlukan
sistem perkuatan lereng tertentu guna meningkatkan nilai faktor keamanan
lereng (FS) hingga lereng dapat dikatakan stabil.
Tabel 4.6 Nilai FS hasil Simulasi untuk berbagai model lereng pada batulempung
36
Gambar 4.1 Grafik tegangan geser sebagai fungsi dari perubahan
derajat pelapukan batulempung
37
permukaan saja (Heavily weathered) yaitu 1,0 hingga 5.0 m. Dengan nilai
kohesi 7 kPa dan sudut geser dalam 24°. Untuk lapisan dibawahnya
digunakan parameter batulempung ( slightly weathered) dengan nilai kohesi
50 kPa dan sudut geser dalam 24°. Dalam penelitian ini variasi derajat
pelapukan lebih didetailakan, yaitu dari batuan segar hingga tanah residu.
Dengan demikian perencanaan dalam pemilihan desain perkuatan lereng
dapat dilakukan dengan tepat. Dan efektif.
38
BAB V
STUDI KASUS
Pada Bab ini membahas studi kasus yang diambil dari paper berjudul “Analisis
kestabilan lereng high wall berdasarkan nilai faktor keamanan dengan metode bishop
simplified pada PIT S12GN PT. Kitadin Embalut Site, Kecamatan Tenggarong
Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur”. Studi kasus
ini membahas tentang kestabilan lereng pada material batuan lunak dengan tingkat
pelapukan (degree of weathering) batuan di lokasi penelitian beragam, mulai dari
high weathered, moderately weathered hingga slightly weathered.
39
penelitian ini yaitu untuk menentukan nilai faktor keamanan dari lereng
higwall hasil redesain pada Pit S12GN PT. Kitadin Embalut Site,
merekomendasikan desain geometri jenjang penambangan dengan
memperhatikan nilai faktor keamanan yang stabil Penelitian dilakukan di
PT. Kitadin Embalut Site, Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.
Secara geografis terletak di antara 00 18’ 00.0” Lintang Selatan – 0 0 22’
30.0” Lintang Selatan dan 1170 5’ 00.0” Bujur Timur – 1170 7’ 49.9” Bujur
Timur, dengan luas area konsesi pertambangan 2.973,6 Ha.
40
Tabel 5.1 Nilai parameter sifat fisik dan mekanik
(Laboratorium Geoteknik PT. Kitadin)
41
Gambar 5.1 Sebaran Section (Mahardika dkk. 2017)
42
5.4.2 Redesain Kestabilan Lereng pada soft clay material
Setelah dilakukan penentuan rekomendasi hasil analisis
kestabilan lereng tunggal pada area soft clay material, overburden
dan interburden, maka langkah selanjutnya adalah dilakukan
analisis kestabilan lereng keseluruhan (overall slope) pada masing-
masing section untuk didapatkan desain geometri lereng yang
stabil dengan nilai faktor keamanan minimum ≥1.3. Adapun
redesain pada soft clay mineral kering dan soft clay mineral jenuh
air.
Redesain Soft Clay Material (Kering)
Redesain untuk soft clay material dalam kondisi
kering adalah dengan cara jenjang penambangannya
dimulai dari topografi sampai dengan elevasi -5 msl,
dengan menggunakan tinggi 5 m, single slope sebesar
20°, berm 30 m dan overall slope sebesar 8°. Selebihnya
dapat dilihat pada tabel 5.3.
Tabel 5.3 Analisis Desain Awal Pada Soft Clay Material kering
Laboratorium Geoteknik PT. Kitadin)
43
Redesain Soft Clay Material (Jenuh )
Sedangkan redesain untuk soft clay material dalam
kondisi jenuh geometri jenjang penambangannya sama
seperti geometri soft clay material dalam kondisi kering,
hanya saja ada tambahan tanggul atau counterberm pada
elevasi 0 msl dengan menggunakan tinggi 5 m, panjang
15 m dan single slope sebesar 20°. Selebihnya dapat
dilihat pada tabel 5.4.
Tabel 5.4 Analisis Desain Awal Pada Soft Clay Material jenuh
Laboratorium Geoteknik PT. Kitadin)
44
BAB VI
KESIMPULAN
6.1 Kesimpulan
Proses pelapukan dapat didefinisikan sebagai proses perubahan batuan
yang terjadi akibat pengaruh langsung atmosfer dan hidrosfer
Jenis - jenis pelapukan dibagi atas bagian besar yaitu pelapukan fisika,
pelapukan kimia, dan pelapukan biologi.
Faktor Penyebab Pelapukan yaitu keadaaan struktur batuan, keadaan
topografi, cuaca dan iklim.
Profil pelapukan pada batuan lunak dalam kaitannya dengan
perkembangan derajat pelapukan batuan yang akan mempengaruhi sifat
keteknikan batuan yang dibagi kedalam VI derajat pelapukan pada sistem
klasifikasi dari batuan segar hingga tanah residu.
Tipe gerakan tanah dibagi berdasarkan klasifikasi longsoran menurut
parah ahli yaitu fall, slides, complex landslide, creep, lateral, dan juga
rotasional.
Faktor yang mempengaruhi kestabilan lereng berupa getaran, cuaca,
iklim, vegetasi, dan juga naiknya muka air tanah.
Dalam stabilisasi perkuatan lereng dapat dilakukan dengan analisis
komputasi dan juga mengelolah lingkungan
Menunjukkan bahwa semakin tinggi derajat pelapukan batuan, berat isi
batuan cenderung semakin kecil. Secara umum perubahan berat isi
batuan turun terhadap kenaikan derajat pelapukannya.
Untuk rekomendasi geometri jenjang penambangan dengan nilai faktor
keamanan yang aman dan stabil, untuk soft clay material dalam kondisi
kering adalah dengan cara jenjang penambangannya dimulai dari
topografi sampai dengan elevasi -5 msl, dengan menggunakan tinggi 5
m, single slope sebesar 20 °, berm 30 m dan overall slope sebesar 8°.
Sedangkan untuk soft clay material dalam kondisi jenuh geometri jenjang
45
penambangannya sama seperti geometri soft clay material dalam kondisi
kering, hanya saja ada tambahan tanggul atau counterberm pada elevasi
0 msl dengan menggunakan tinggi 5 m, panjang 15 m dan single slope
sebesar 20°. Pada area original material rekomendasi geometri jenjang
penambangannya dimulai dari topografi sampai dengan elevasi -5 msl,
dengan menggunakan tinggi 5 m, single slope sebesar 50° dan berm 5 m.
Selanjutnya dari elevasi -5 msl sampai dengan jenjang penambangan
paling bawah, geometri jenjang penambangannya menggunakan tinggi
10 m, single slope sebesar 60°, berm 5 m dan tambahan safety berm 15
m pada elevasi -40 msl.
46
DAFTAR PUSTAKA
47
Kanji, MA (2014). Critical issues in soft rock. In: Journal of Rock Mechanics and
Geotechnical Engineering, vol 6 pp 186-195.
Ollier, C.D., 1984, Geomorphology texts, 2nd edn., Oliver and Boyd, Edinburgh.
Sadisun, I. A., Rochaddi, B., dan Abidin, D. Z., Pengaruh perubahan derajat
pelapukan batuan terhadap beberapa karakter perubahan sifat keteknikan
batuan; batulempung Formasi Subang, Pros. Sem Geoteknik di Indonesia
Menjelang Milenium ke-3 Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi
Bandung IV., 33-IV, 40. (1998)
Selby., M.J., 1993, Hillslope Materials and Processes, 2nd edn., Oxford University
Press, Oxford
Vondracova T, Musilek j and Kais L 2015 The issues of soft rock causing problem
in foundation engineering Procedia Earth and Planetary Science 15 54
Wijono, S.,___,Geopedologi. Jurusan Teknik Geologi FT UGM.Yogyakarta.
Yao et al., 2016, Properties of Crushed Red-Bed Soft rock Mixtures Used in
Subgrade, Hindawi Publishing Coroporation : Advances in Materials
Science and Engineering Volume 2016, Article ID 9624974
48