Anda di halaman 1dari 15

Jurnal Utama

Cellular and Molecular Mechanisms of Dental Nociception


G. Chung, S.J. Jung and S.B. Oh
J DENT RES 2013

Oleh : Benny Perabuwijaya,drg.

JUDUL Mekanisme Molekul dan Seluler Pada Nosisepsi

LATAR Gigi merupakan jaringan unik yang terdisi dari pesarafan


BELAKANG yang padat dan jaringan lunak yang tervaskularisasi dikelilingi oleh
jaringan keras yang termineralisasi. Ada beberapa perbedaan yang
membedakan nyeri pada gigi dari jaringan lainnya yang ada di
tubuh. Dikelilingi oleh dentin dan enamel, pulpa gigi memiliki
ruangan terbatas untuk membengkak (swelling) ketika pada tahap
inflamasi, dan kondisi ini menyebabkan rasa sakit yang berlebihan,
meskipun pada inflamasi yang ringan. Perbandingannya, nyeri
karena suhu panas atau dingin yang berbahaya biasanya tidak
memberikan nyeri pada gigi sehat yang tidak terinflamasi karena
suhu terisolasi pada enamel gigi. Oleh karena itu, ketika lapisan
enamel hilang dan dentin terpapar, rangsangan termal yang sedikit
dapat menimbulkan rasa nyeri yang tiba-tiba dan menyengat pada
gigi. Sebagai tambahan, sangat sulit membedakan rangsagan dingin
dan panas yang ekstrim pada gigi, berbeda dengan rangsangan
dingin atau panas dari es atau batang panas yang diletakkan ke
kulit. Juga, rangsangan semprotan udara yang lemah pada dentin
yang terpapar menimbulkan nyeri kuat yang tiba-tiba, yang sangat
berbeda ketika diaplikasikan ke kulit, dimana, pada kondisi normal,
rangsangan dengan semprotan udara tersebut menimbulkan sensasi
sederhana dari sentuhan. Maka, dapat diasumsikan bahwa reaksi
pulpa gigi dari beberapa tipe rangsangan menghasilkan sensasi
nyeri yang tidak sama seperti jaringan lainnya yang ada di tubuh.

1
(Cook dkk, 1997)

Berdasarkan observasi, sangat wajar untuk menyarankan


bahwa gigi memiliki mekanisme nosiseptif yang khusus karena gigi
mendeteksi rangsangan berbahaya pada kondisi inflamasi atau
ketika dentin terpapar. Selanjutnya, saraf nosiseptif gigi dengan
sendirinya memiliki fungsi tambahan yang berbeda dari saraf
nosiseptif pada jaringan tubuh lainnya. Untuk menjelaskan
hipersensitivitas dentin, telah dijelaskan dalam 3 mekanisme
(Gambar 1): (1) teori neural, dimana ujung saraf yang masuk
kedalam tubulus dentin secara langsung merespon rangsangan
eksternal; (2) teori hidrodinamik, dimana pergerakan cairan
didalam tubulus dentik dideteksi oleh ujung saraf yang dekat
dengan dentin; dan (3) teori transduser odontoblas, dimana
odontoblas dengan sendirinya berperan sebagai transduser nyeri.
Pada masing-masing hipotesis mekanisme, aktivasi dari saraf gigi
aferen utama biasanya mengirimkan nosisepsi (nyeri) gigi ke sistem
saraf pusat. Dalam beberapa dekade, kami telah meneliti
perkembangan yang signifikan dari pemahaman ini, tidak hanya
pada fungsi neuroanatomis pada ujung saraf bebas-pulpa dan saraf
nosiseptif gigi (badan sel yang berlokasi pada ganglion trigerninal),
tetapi juga mekanisme molekuler dan seluler dari nosisepsi gigi.

TUJUAN Jurnal ini bermaksud untuk meneliti bagaiman kita biasanya


menerima rangsangan sensori dari gigi seperti dingin, atau
rangsangan terhadap hembusan udara yang tidak berbahaya atau
minuman yang dingin sebagai nyeri yang tiba-tiba dan hebat.

PEMBAHASAN Nyeri Inflamasi Gigi

Saraf mendeteksi perubahan kondisi berbahaya dan tidak berbahaya


dan mengirim informasi sensori dengan impuls elektrik. Sinyal
sensori dari gigi dihantarkan oleh saraf gigi yang mempersarafi
pulpa gigi dan dentin. Dalam kondisi ini, gigi merupakan organ
sensori yang unik, yang terdiri dari persarafan pulpa yang

2
dibungkus oleh lapisan enamel dan dentin yang termineralisasi.
Rendahnya penyesuaian pulpa gigi berhubungan dengan
sensitivitas nyeri yang berlebihan pada kondisi inflamasi. Sebagai
tambahan, beberapa mediator inflamasi dan faktor pertumbuhan
mengarah ke pertumbuhan dan perubahan aksi neuropeptida pada
saraf aferen gigi, yang juga dapat menghasilkan peningkatan
sensitivitas nyeri (Sessle, 2011).

Banyak bahan kimia, termasuk glikoprotein bakteri, neuropeptida,


sitokin, dan faktor pertumbuhan, kepekaan saraf pada kondisi
inflamasi, dan kemungkinan bahwa saraf aferen gigi memiliki
mekanisme aktivasi dan sensitisasi yang mirip dengan saraf yang
mempersarafi jaringan lainnya (Sessle,2011). Peran substansi P
(SP) neuropeptida dalam nyeri inflamasi gigi, diperlihatkan dengan
peningkatan produksi dan pelepasan SP sebagai respon untuk
rangsangan berbahaya dari pulpa gigi (Caviedes-Bucheli dkk,
2011), saat ini telah menarik perhatian. Selanjutnya, SP meningkat
lebih tinggi pada gigi inflamasi (100xlipat) dan pulpitis ireversibel
(1000 x lipat) dibandingkan dengan kondisi normal (Sacerdote dan
Levrini, 2012). SP menggunakan fungsinya sendiri melalui reseptor
yang spesifik, neurokin-1 (NK-1). Telah ditunjukkan bahwa
aktivasi SP dari NK-1 meningkatkan aktivasi dari poternsial
reseptor transien vanilloid 1 (TRPV1) dan purinergik P2X,
nosiseptor (Zhang dkk, 2007; Park dkk,2010) dan karena itu
mungkin merangsang saraf sensori perifer. Sebagai tambahan untuk
interaksi langsung dengan saraf sensori, SP mungkin juga
mengaktivasi leukosit, mengarah ke produksi dari mediator pro-
inflamasi dan sitokin. SP menginduksi pelepasan histamin dari sel
mast, yang kemudian meningkatkan tekanan darah dan
permeabilitas vaskularisasi, menyebabkan nyeri inflamasi yang
berdenyut (Sacerdote dan Levrini, 2012).

Peran dari neuroptida lainnya, calcitonin gene-related peptide


(CGRP), pada nyeri inflamasi gigi telah disarankan dengan
mengurangi aksi c-Fos pada batang otak setelah perawatan dari
antibodi monoklonal dari CGRP pada gigi yang inflamasi (Bowler
dkk, 2013). Mediator kimia seperti histamin, serotonin (5-HT),
opoid, dan sitokin telah diterangkan pada penelitian tentang nyeri
inflamasi gigi, dengan perfusi pulpa, mikrodialisis, dan aplikasinya
pada pulpa manusia (Sessle, 2011). Perbedaan sensitivitas dari
pulpa gigi terhadap 5-HT pada wanita telah diperlihatkan, secara
potensial menjelaskan prevalensi nyeri gigi yang lebih tinggi pada

3
wanita (Loyd dkk, 2012). Sebagai tambahan, telah disarankan
bahwa mediator inflasi dapat menyebabkan perubahan pada aksi
gen pada ganglion trigerminal, meliputi generasi neuropeptida,
perubahan molekuler intraseluler, dan peningkatan tranlasi kanal
ion seperti kanal TRP, yang menghasilkan peningkatan rangsangan
saraf (Sessle, 2011)

Aktivasi saraf menuju ke nyeri inflasi gigi membutuhkan transduse


spesifik dari nosiseptif. Diketahui bahwa kanal ion TRPV1
memiliki peran pusat pada nosisepsi perifer. TRPV1 merupakan
reseptor polimodal yang diaktivasi oleh beragam nyeri kimia dan
oleh suhu berbahaya (diatas 42C) (Chung dan Oh, 2013). Telah
ditunjukkan bahwa mediator inflamasi dapat menurunkan ambang
aktivasi dari TRPV1 atau meningkatkan aktivitasnya, seperti halnya
fosfolipase selama inflamasi (Chung dan Oh, 2013). Menariknya,
dalam konteks nyeri gigi, TRPV1 diregulasi di ganglion trigerminal
selanjutnya keadaan pulpitis diinduksi oleh lipopolisakarida (LPS),
pruduk dari bakteri Gram-negatif (Chung dkk, 2011), dan telah
disarankan bahwa inflamasi mungkin menginduksi peningkatan
regulasi dari TRPV1 pada gigi yang berdekatan, kemudian
menyebabkan nyeri ektopik pada gigi berdekatan yang tidak
terinflamasi (Matsuura dkk, 2013). Bersamaan dengan itu, bukti ini
menyatakan bahwa TRPV1 mungkin berperan sebagai integrator
dari faktor kimia, fisik dan inflamasi yang meningkatkan aksi dari
TRPV1 pada saraf aferen utama gigi mungkin berpengaruh
terhadap sifat rangsangan-yang berlebihan pada rangsangan panas
diteliti pada pasien dengan kondisi inflamasi seperti pulpitis kronis
(Chung dkk, 2010)

Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi, perawatan anti-


inflamasi seperti obat-obatan anti-inflamasi non-steroid (NSAID)
dapat membantu menangani banyak gejala dari nyeri inflamasi gigi.
Banyak masalah untuk merawat, bagaimanapun, pasien yang
mengatakan rasa nyeri yang tiba-tiba sebagai respon terhadap
rangsangan normal yang tidak berbahaya, disebut sebagai
hipersensitivitas dentin.

Hipersensitivitas dentin

Teori persarafan (neural)

Teori neural dari hipersensitivitas dentin menerangkan peran dari


nosiseptif ganglion trigerminal yang mempersarafi pulpa gigi

4
(yaitu, saraf aferen utama gigi). Untuk melakukan peran sensori,
saraf harus mencapai reseptor yang berperan dalam transduksi dari
rangsangan spesifik terhadap impuls elektrik. Penelitian dari
reseptor nosiseptif menunjukkan aksi fungsional dari beberapa
kanal TRP yang sensitif terhadap suhu (termo-) pada saraf ganglion
trigerminal dan, lebih khusunya, pada saraf aferen utama gigi
(Chung dan Oh, 2013).

Pencatatan elektropsikologi dengan pengaplikasian dari kapsaisin


atau suhu berbahaya awalnya menunjukkan aksi fungsional dari
TRPV1 dan TRPV2 pada saraf aferen utama gigi hewan pengerat.
Kombinasi dari elektropsikologi, sel-tunggal RT-PCR, dan analisis
imunohistokemis menyatakan bahwa saraf aferen gigi
menunjukkan TRPV1 dan TRPV2 lebih banyak berhubungan
dengan populasi saraf ganglion trigerminal, sesuai dengan
pandangan terdahulu bahwa saraf aferen gigi paling banyak adalah
nosiseptor. Data ini harus ditafsirkan sebagai peringatan,
bagaimanapun, ketika ada kemungkinan dari pulpa terpapar selama
preparasi kavitas sebagai saraf aferen akan menginduksi
peningkatan regulasi dari TRPV1 (Tarsa dkk, 2010). Sebagai
tambahan, prevalensi tinggi dari TRPV1 dalam mengisolasi
ganglion trigerminal dapat menyebabkan bias pada saraf TRPV1
positif berukuran kecil, ketika saraf berukuran besar lebih rentan
terhadap kerusakan selama kondisi akut.

Rangsangan dingin biasanya menyebabkan nyeri gigi yang tidak


dapat dijelaskan melalui aksi dan aktivasi dari TRPV1 atau TRPV2.
Diketahui bahwa populasi dibawah A5- dan serabut saraf-C
terpengaruh oleh dingin. Penelitian penggambaran kalsium
menunjukkan bahwa saraf dapat merespon suhu dingin (dibawah
18oC) lebih sering terjadi pada ganglion trigerminal (14%) daripada
dorsal akar ganglion (7%) (McKerny, 2005). Reseptor TRPM8 dan
TRPA1 diaktivasi oleh suhu dingin dengan ambang antara 25oC
dan 17oC. Seperti TRPV1, TRPM8 beraksi lebih khusus pada saraf
ganglion trigerminal berukuran kecil dan juga diaktivasi oleh
beberapa bahan kimia lain, meliputi mentol, menton, eukaliptol,
spearmint, WS-3, dan isilin (Tominaga dan Caterina, 2004).
Namun,ambang batas suhu yang relatif sederhana untuk
mengaktivasi dan kurangnya aksi tumpang tindih dari nosiseptif
lainnya menandakan bahwa peran dari TRPM8 dalam mendeteksi
suhu dingin yang berbahaya masih belum jelas. Selain itu, 2 garis
independen dari gen Trpm8 pada tikus menunjukkan

5
kecenderungan defisiensi dalam mendeteksi suhu yang cukup
dingin (BAutista dkk, 2007; Dhaka dkk, 2007). Secara kontras,
reseptor TRPA1 membantu aksi dari saraf TRPV1 dan telah
ditunjuk sebagai detektor suhu berbahaya (Story dkk, 2003).
Namun, penelitian selanjutnya dari aktivasi TRPA1 melalui suhu
dingin menunjukkan bahwa aktivasi TRPA yang diinduksi oleh
dingin menggunakan mekanisme yang tidak lansung (Caspani dan
Heppenstall, 2009) dan mediator utama dari hipersensitivitas dingin
dalam kondisi patologis, bukan dengan saraf nosisepsi dingin
(Patapoutin dkk, 2009).

Aksi utama dari TRPM8 dan TRPA1 pada saraf aferen utama gigi
telah didokumentasikan dengan baik (Chung dan Oh, 2013).
Peningkatan regulasi dari TRPA1 dalam respon terhadap penelitian
trauma gigi menunjukkan bahwa reseptor dingin mungkin berperan
utama pada nyeri gigi (Haas dkk, 2011). Namun, menariknya
bahwa prevalensi dari aksi TRPM8 dan TRPA1didalma ganglion
trigerminal lebih rendah daripada TRPV1 (Park dkk, 2006),
meskipun kecendurang dari rangsangan dingin menginduksi nyeri
gigi. Selanjutnya, reseptor dingin TRPM8 dan TRPA1 membantu
aksi dari subpopulasi dari saraf aferen gigi positif-TRPV1.
Penelitian ini dapat membantu untuk menjelaskan mengapa sulit
untuk membedakan antara rangsangan panas dan dingin pada gigi;
apa yang tidak diketahui adalah alasan mengapa rangsangan dingin
sering menyebabkan nyeri gigi. Penelitian dari proyeksi utama dari
saraf aferen gigi dapat berhubungan dengan pemahaman tentang
deteksi suhu berbahaya. Namun, kanal suhu -TRP pada posisi
utama untuk mendeteksi suhu dingin dan panas pada gigi (Gambar
2)

Teori Hidrodinamik

Nyeri gigi yang tiba-tiba dan kuat dpat juga ditunjukkan pada
rangsangan suhu yang normal seperti semprotan air, semprotan
udara, atau zat yang manis. Luasnya nyeri gigi tidak dapat
dijelaskan hanya dengan transduksi dari suhu berbahaya melalui
kanal suhu-TRP. Nyeri berdenyut sering dikatakan oleh pasien
pulpitis kronis yang menyatakan bahwa nyeri gigi dapat diinduksi
oleh tekanan hidrostatik pada jaringan pulpa inflamasi yang
dibungkus oleh struktur dentik yang keras (Heyraas dan Berggreen,
1999). Nyeri berdenyut dan hebat diinduksi oleh hembusan udara
menyatakan bahwa nyeri gigi dapat mempengaruhi deteksi dari

6
tekanan mekanis. Oleh karena itu, penelitian invivo tentang serabut
saraf tunggal dari anjing pemburu menunjukkan bahwa 75% dari
saraf pulpa mandibula merespon rangsangan mekanis terhadap
pulpa yang terpapar (Chung dan Oh, 2013)

Pemahaman ini mengarah ke ‘teori hidrodinamik’ dimana


menjelaskan tentang penyebab dari nyeri gigi dalam hal tekana
mekanis dimulai dari pergerangan cairan dentin. Penjelasan yang
detail dari teori hidrodinamik dapat ditemukan pada beberapa
literatur (Brederson dkk, 2013).

Saat ini dikatakan bahwa pergerakan masuk dan keluarnya cairan


dentin berpengaruh dalam membedakan nyeri gigi (Lindkk, 2011).
Meskipun pergerakan keluar dari cairan dalam merespon
rangsangan dingin lebih cepat daripada pergerakan masuk oleh
rangsangan panas, sensasi dingin lebih mudah dideteksi oleh
serabut A5 didalam tubulus dentin sebagai nyeri tajam pada kondisi
awal pulpitis. Ketika pulpitis berkembang, rangsangan serabut-C
dedalam jaringan pulpa yang dalam dapat diaktivasi oleg
pergerakan masuk dari carian dentin oleh rangsangan panas dan
dilihat sebagai nyeri yang tumpul.

Sejauh ini, transduser molekuler yang terhitung untuk deteksi


mekanis dari pergerakan cairan dentin belum ditemukan (Gambar
3). Molekul itu harus ditemukan terlebih dahulu dan terbukti
fungsional dalam gigi sebelum teori hidrodinamik dapat divalidasi
sebagai acuan dari hipersensitivitas dentin. Bahkan, kekuatan
mekanis seluler dari molekul transduser telah mulai dijelaskan
(Chung dan Oh, 2009). Diantara beberapa kandidat yang
menunjukan mekanosensitivitas yaitu TRPV1, TRPV2 dan TRPA1,
yang sudah menunjukkan aksinya didalan saraf aferen; aksi dari
kandidat mekano-transduser lainnya, TRPV4 dan TRPM3, telah
dilaporkan hanya ada didalam saraf ganglion trigerminal, tetapi
tidak ada pada saraf aferen utama (Chung dan Oh, 2013).

TRPA1 menarik perhatian dalam hubungannya terhadap nyeri gigi,


karna itu berdampak pada hiperalgesia dan mekanosensasi dingin.
Fungsi dari TRPA1 dapat menjelaskan mengapa nyeri gigi yang
terjadi karena hembusan udara sering dikelirukan dengan nosisepsi
dingin. Peran TRPA1 sebagai sel transduser mekanis dipertanyakan
dalam penelitian mengenai kemampuan pendengaran normal dari
TRPA1-pada tikus knockout (Bautista dkk, 2006; Kwan dkk,

7
2006), meskipun kemungkinan mekanisme seluler lainnya dapat
mengkompensasi hilangnya fungsi TRPA1 pada tikus transgenik.
Beberapa bukti juga menunjukkan TRPV1 sebagai reseptor untuk
transduksi-mekanis atau hiperosmolaritas, meskipun sisanya masih
kontroversial (Chung dan Oh, 2013). Jika TRPV1 berperan sebagai
detektor dari hipertonisitas dalam saraf aferen gigi, itu dapat
berkontribusi terhadap respon perkembangan nyeri gigi terhadap
kondisi hiperostomotik seperti mengkonsumsi subtansi manis.
Penelitian dari respon saraf aferen utama terhadap tekanan mekanis
dengan reseptor antaogonis yang sesuai dapat menunjukkan potensi
peran fungsional dari TRPV1 atau TRPA menginduksi nyeri gigi
secara mekanis.

TRPV1 dan TRPA1 ditunjukkan dalam subpopulasi dari serabut-C


peptidergik (Basbaurn dkk 2009; Cavanaugh dkk,2011). Namun,
peneltian baru-baru ini menyarankan bahwa populasi IB4-
nonpeptidergik positif dari saraf aferen utama berperan penting
dalam transduksi dari rangsangan mekanis di kulit (Abrahamsen
dkk, 2008; Cavanaugh dkk, 2009) dan, yang terbaru, subpopulasi
saraf mekanosensitif non-peptidergik ditunjukkan dalam saraf
ganglion trigerminal (Chung dkk,2012). Identitas molekuler dari
transduser mekanis dalam nosiseptor polimodal non-peptidergik
tetap dijelaskan.

Kemungkinan pasti bahwa nyeri gigi mungkintidak dimediasi oleh


serabut saraf nosiseptif-C klasik. Karena tingginya ambang
mekanis untuk aktivasinya, contohnya, serabut-C tidak dapat
menjelaskan nyeri tiba-tiba dan hebat yang diinduksi oleh tekanan
mekanis ambang rendah dari sentuhan tipis seperti hembusan
udara. Bahkan, banyak saraf aferen gigi serabut-AB termielinasi
berukuran sedang-sampai-besar (Paik dkk,2009; Fried dkk, 2011),
dipercaya sebagai saraf mekano-sensitif ambang rendah, bukan
nosiseptif yang normal. Sebagai tambahan, semua serabut saraf
pulpa mekanosensitif pada anjing pemburu merupakan serabut-A
termielinasi, sesaui dengan kecepatan konduksi (Chung dan Oh,
2013). Untuk menjelaskan penelitian ini, serabut-AB yang
mempersarafi pulpa gigi sudah dinyatakan sebagai ‘algoneuron’
ambang rendah: mekanoreseptor ambang rendah berpengaruh
dalam nosisepsi, dibandingkan dengan mekanoreseptor ambang
rendah konvensional diduga mengtransduksi sentuhan tipis dari
bagian tubuh lainnya (Fried dkk, 2011). Perlu diperhatikan bahwa
ciri khas dari molekuler dari tranduser mekanis dalam ‘algoneuron’

8
ambang rendah ditujukan untuk penelitian selanjutnya.
Kemungkinan bahwa TRPV2 dapat berperan penting sebagai
transduser mekanis dalam algoneuron, karena TRPV2 telah
dideteksi secara khusus dalam neuron berukuran sedang-sampai-
besar (Caterina dkk, 1999; Ichikawa dan Sugimoto, 2000), dan
lurus - yang menginduksi aktivasi dari TRPV2 telah dilaporkan
dalam pembuluh darah halus oto (Muraki dkk, 2003). Kanal ion
mekanosensitif ditunjukkan oleh analisis sel tunggal RT-PCR dari
saraf aferen utama gigi, seperti TRPM3, TRPV4, ASIC3, TREK-1,
TREk-2, ENaC-a, dan ENaC-y, dapat juga berperan dalam nyeri
gigi (Hemansyne dkk, 2008; Vandewauw dkk, 2013).

Teori Transduser Odontoblas

Odontoblas merupakan lapisan sel yang paling luar dari pulpa gigi
dan mengeluarkan matriks kalsium termineralisasi untuk
membentuk dentin. Lokasinya strategis, bersama dengan beberapa
bukti, menyatakan bahwa odontoblas dapat melakukan peran
tambahan sebagai transduser sensori (Gambar 4). Untuk
mengkonfirmasi beberapa peran dari odontoblas, 3 kriteria berikut
ini harus dilakukan: aksi fungsional dari reseptor untuk rangsangan
spesifik, kemampuan untuk mengirim sinyal pengaktivasian
reseptor, dan struktur sinaptik antara odontoblas dan neuron.

Mendukung kriteria yang pertama adalah data yang menunjukkan


aksi dari beberapa anggpta kanal TRP pada odontoblas tikus dan
manusia (Chung dan Oh, 2013). Odontoblas dari tikus nenasi
menunjukkan aksi dari TRPV1, TRPV2, TRPV3, TRPV4 dan
TRPM 3 melalui sel tunggal RT-PCR, imunohistokimia, dan
analisis penggambaran kalsium (Son dkk, 2009); namun, dalam
penelitan yang lain, odontoblas yang diambil dari tikus dewasa
tidak menunjukkan bukti tentang TRPV1 dan TRPV2 (Yeon
dkk,2009). Apakah perbedaan aksi dari TRPV1 dan TRPV2 antara
tikus muda dan dewasa disebabkan oleh perubahan perkembangan
atau sederhananya karena perbedaan kondisi penelitian masih perlu
dikonfirmasi. Reseptor dingin TRPM8 dan TRPA1, sedikit pada
tikus (Chung dan Oh, 2013). Namun, pemeriksaan kalsium
menunjukkan odontoblas manusia beraksi pada TRPM8 dan
TRPA1 seperti TRPV1 (El Karim dkk, 2011). Menariknya, dari
kanal termo-TRP yang teridentifikasi dalam odontoblas,
TRPV1,TRPV2, TRPV3, TRPV4 dan TRPM3 juga diduga
memiliki mekanosensitivitas yang baik. Kemudian, kemungkinan

9
yang sama bahwa reseptor ini mungkin berkontribusi dalam peran
sensori odontoblas melalui mekano-transduksi (Magloire dkk,
2010; Gibbs dkk, 2011). Sebagai tambahan, aksi mekanosensitif
kanal ion K berpartisipasi dalam persepsi suhu (Noel dkk, 2009),
yang merupakan peran lain dari odontoblas sebagai sel sensori.

Bukti-bukti sekarang dikumpulkan untuk mendukung sifat


rangsangan dari odontoblas. Seperti dara yang meliputi aksi
fungsional dari kanal voltage-gated Na, voltage-gated K, kanal K
yang diaktivasi kalsium, kanal store-operated kalsium, pertukaran
Na/Ca, dan kanal TREK-1; potensial aksi juga ditunjukkan oleh
odontoblas melalui rangsangan elektrik in vitro (Landquist dkk,
2000; Shibukawa dan Suzuki, 2003; Magloire dkk, 2010).
Meskipun penelitian fungsional selanjutnya dibutuhkan, analisis
data ini bersama-sama menyarankan pemenuhan dua kriteria dari
peran odontoblas sebagai transduser sensori.

Akhirnya, mekanisme dari sinyal antara odontoblas dan saraf


aferen utama dibawahnya harus memperlihatkan dukungan
terhadap peran sesnsori dari odontoblas. Penemuan terbaru
menyarankan bahwa aktivasi dari reseptor purinergik P2X dalam
jaringan orofasial cukup menghasilkan rangsangan pusat di dalam
tanduk dorsum medulari (Alavi dkk, 2001) dan P2X, reseptor-
reseptor dalam saraf aferen utama gigi, bersama dengan hubungan
antara odontoblas terhadap akson sensori trigerminal (Magloire
dkk, 2010), menyarankan bahwa ATP dapat memediasi sinyal nyeri
antara odontoblas dan neuron (Lim dan Mitchell, 2012). Yang
dipertanyakan adalah bagaimana transmiter dilepaskan dari
odontoblas untuk merangsang saraf yang berdekatan.

ATP telah lama dinyatakan sebagai neurotransmiter rangsangan


(Evans dkk, 1992), tetapi tidak sampai beberapa dekade lalu
mekanisme dari pernyerapan vaskular dari ATP telah diklarifikasi
(Sawada dkk, 2008). Sebagai tambahan, bukti dari beberapa
mekanisme dari pelepasan ATP yang tidak merangsang telah
didokumentasikan (Lazarowski dkk, 2003). Untuk mendukung
mekanisme terakhir yaitu kurangnya bukti dari neurotransmiter
yang mengandung vesikel dalam odontoblas (Magloire dkk, 2010).
Mekanisme pelepasan ATP dari sel non-neuronal meliputi
transporter yang mengikat ATP, hemikanal connexin/pannexin,
kanal anion yang tergantung tegangan, dan kanal P2X (Burnstock,
2007). Penelitian tentang mekanisme odontoblas ini, bersamaan

10
dengan analisis fungsional dari saraf alami dengan odontoblas,
dapat melepaskan transmisi kimia antara odontoblas dan saraf.

Sekarang ini, diketahui bahwa tekanan hidrodinamik memfasilitasi


diferensiasi dari stem sel pulpa manusia menjadi sel odontoblas
(Yu dkk, 2009), dimana disarankan bahwa tekanan mekanis yang
dilakukan pada dentin-pulpa kompleks dapat berkontribusi untuk
membentuk dentin bukan untuk memulai impuls saraf. Hal ini
merupakan mekanisme utama pembentukan dentin tersier. Serabut
silia utama, ada disetiap sel eukariotik dan cukup untuk sensasi
mekanis (Praetorius dan Spring, 2005), dapat berperan dalam
mendeteksi tekanan mekanis dari odontoblas (Magloire dkk, 2010).
Sejak silia primer dalam tulang telah menunjukkan peran dalam
mendeteksi laju cairan dinamis dan respon sistesis dari matriks
kalsium (Malone dkk, 2007), kemungkinannya bahwa silia primer
dalam odontoblas memiliki peran yang mirip (Thivicon-Prince dkk,
2009). Penelitian in vitro dari odontoblas dengan beragam kondisi
laju cairan dapat menunjukkan jawaban dari pertanyaan ini.

Menghentikan saraf nosiseptif gigi

Lidokain sudah digunakan dengan luas sebagai agen anestesi lokal


yang dapat menghambat aktivasi dari kanal voltage-gated sodium
dan menghentikan penyebaran potensial aksi. Namun, blokade non-
spesifik dari impuls saraf dapat dihasilkan dari anestesi (mati rasa),
parastesi (perasaan kebas atau perasaan seperti bengkak) dan dalam
kasus langka, imobilisasi, kemudian menyebabkan
ketidaknyamanan pasien. Sekarang ini, telah ditunjukkan bahwa
pemakaian turunan lidokain (QX-314) dapat digunakan untuk
menghentikan transmisi neuronal secara khusus dalam saraf
nosiseptif. Pemberian QX-314 dengan spesifik kedalam serabut
saraf nosiseptif dicapai bersamaan dengan aktivasi dari reseptor
TRPV1 dengan kapsaisin (Binshtok dkk, 2007). Kami telah
menjelaskan lebih lanjut bahwa penghentian selektif dari respon
nosiseptif dapat dicapai dalam sistem trigerminal (Kim dkk, 2010)
(Gambar 5), dan injeksi gingiva dengan anestesi nosiseptif yang
sama dapat mengurangi aktivasi saraf yang berhubungan dengan c-
fos di batang otak yang diikuti oleh luka karena ekstraksi gigi
(penelitian peneliti yang tidak diterbitkan). Perkembangan
selanjutnya dari pendekatan ini dapat memberikan kemungkinan
baru untuk mencapai anestesi lokal untuk nyeri selektif dalam

11
perawatan gigi.

Kekhawatiran tentang pendekatan ini, bagaimanapun, diperlukan


penggunaan baan alogenik yang potensial seperti kapsaisin.
Menariknya, lidokain sendiri dapat menunjukkan iritasi yang
sedikit dari TRPV1 (Leffer dkk, 2008) yang mampu menginduksi
analgesia selektif (Binshtok dkk, 2009). Sebagai tambahan, saluran
potensial lainnya untuk jalur masuk reseptor QX-314, seperti
TRPA1 dan P2X, memberikan jalur yang menargetkan saraf
nosiseptif yang tidak mengganggu TRPV1 (Kim dkk, 2011)

KESIMPULAN Nyeri gigi mempengaruhi kualitas hidup pasien daripada


nyeri pada bagian tubuh lainnya, tetapi mekanisme yang mendasari
transduksi informasi nosiseptif dari struktur gigi telah dikenal jauh
sebelumnya daripada mekanisme sinyal somatis. Gigi merupakan
jaringan yang unik dengan persarafan yang padat dari pulpa yang
dibungkis oleh lapisan yang keras. Banyak pertanyaan yang belum
terjawab, seperti bagaiman kita biasanya menerima rangsangan
sensori dari gigi seperti dingin, atau rangsangan terhadap hembusan
udara yang tidak berbahaya atau minuman yang dingin sebagai
nyeri yang tiba-tiba dan hebat. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
nosiseptif yang memproses sistem trigerminal dapat berbeda dari
yang ada pada bagian tubuh lain. Mekanoreseptor ambang rendah
bertanggungjawab untuk transduksi dari sentuhan ringan pada
daerah tubuh lainnya yang mungkin memediasi nosiseptif di gigi.
Penjelasan dari perbedaan mekanisme molekuler yang mendasari
nosiseptif gigi akan memberikan pemahamana yang beharga untuk
perkembangan perawatan gigi yang berhubungan dengan nyeri

12
Analisa Pico

Cellular and Molecular Mechanisms of Dental Nociception


G. Chung, S.J. Jung and S.B. Oh
J DENT RES 2013

Oleh : Benny Perabuwijaya,drg.


.

JUDUL Mekanisme Molekul dan Seluler Pada Nosisepsi

P Ada beberapa perbedaan yang membedakan nyeri pada


gigi dari jaringan lainnya yang ada di tubuh. Dikelilingi oleh
(Problem)
dentin dan enamel, pulpa gigi memiliki ruangan terbatas untuk
membengkak (swelling) ketika pada tahap inflamasi, dan
kondisi ini menyebabkan rasa sakit yang berlebihan, meskipun
pada inflamasi yang ringan

Berdasarkan observasi, sangat wajar untuk menyarankan


bahwa gigi memiliki mekanisme nosiseptif yang khusus karena
gigi mendeteksi rangsangan berbahaya pada kondisi inflamasi
atau ketika dentin terpapar. Selanjutnya, saraf nosiseptif gigi
dengan sendirinya memiliki fungsi tambahan yang berbeda dari
saraf nosiseptif pada jaringan tubuh lainnya

I Lidokain sudah digunakan dengan luas sebagai agen anestesi


lokal yang dapat menghambat aktivasi dari kanal voltage-gated
(Intervention)
sodium dan menghentikan penyebaran potensial aksi. Namun,
blokade non-spesifik dari impuls saraf dapat dihasilkan dari
anestesi (mati rasa), parastesi (perasaan kebas atau perasaan
seperti bengkak) dan dalam kasus langka, imobilisasi, kemudian
menyebabkan ketidaknyamanan pasien. Sekarang ini, telah
ditunjukkan bahwa pemakaian turunan lidokain (QX-314) dapat
digunakan untuk menghentikan transmisi neuronal secara

13
khusus dalam saraf nosiseptif. Pemberian QX-314 dengan
spesifik kedalam serabut saraf nosiseptif dicapai bersamaan
dengan aktivasi dari reseptor TRPV1 dengan kapsaisin
(Binshtok dkk, 2007). Kami telah menjelaskan lebih lanjut
bahwa penghentian selektif dari respon nosiseptif dapat dicapai
dalam sistem trigerminal (Kim dkk, 2010) (Gambar 5), dan
injeksi gingiva dengan anestesi nosiseptif yang sama dapat
mengurangi aktivasi saraf yang berhubungan dengan c-fos di
batang otak yang diikuti oleh luka karena ekstraksi gigi
(penelitian peneliti yang tidak diterbitkan). Perkembangan
selanjutnya dari pendekatan ini dapat memberikan kemungkinan
baru untuk mencapai anestesi lokal untuk nyeri selektif dalam
perawatan gigi.

Kekhawatiran tentang pendekatan ini, bagaimanapun,


diperlukan penggunaan baan alogenik yang potensial seperti
kapsaisin. Menariknya, lidokain sendiri dapat menunjukkan
iritasi yang sedikit dari TRPV1 (Leffer dkk, 2008) yang mampu
menginduksi analgesia selektif (Binshtok dkk, 2009). Sebagai
tambahan, saluran potensial lainnya untuk jalur masuk reseptor
QX-314, seperti TRPA1 dan P2X, memberikan jalur yang
menargetkan saraf nosiseptif yang tidak mengganggu TRPV1
(Kim dkk, 2011)

C Disini kami mengkaji lebih lanjut mengenai pemahaman


tentang rasa sakit inflamasi dan menduskusikan 3 hipotesa yang
(Comparative) bertujan untuk menjelaskan hipersensitivitas dentin: hipotesis
pertama, didukung oleh keadaan fungsional dari suhu – potensi
sensitivitas kanal reseptor, menitikberatkan pada transduksi
langsung dari suhu yang berbahaya melalui saraf aferen primer
gigi. Hipotesis kedua, dikenal sebagai teori hidrodinamik,
menunjukkan nyeri gigi melalui pergerakan cairan didalam
tubulus dentin, dan kami mendiskusikan beberapa transduser
mekanis seluler untuk mendeteksi pergerakan cairan. Hipotesis
ketiga berfokus pada kemampuan fungsi sensori dari odontoblas

14
dalam mendeteksi stimulus termal dan mekanis, dan kami
mendiskusikan dasar akumulasi yang mendukung sifat
rangsangannya.

O Penelitian ini menyimpulkan bahwa nosiseptif yang memproses


sistem trigerminal dapat berbeda dari yang ada pada bagian
(Output)
tubuh lain. Mekanoreseptor ambang rendah bertanggungjawab
untuk transduksi dari sentuhan ringan pada daerah tubuh lainnya
yang mungkin memediasi nosiseptif di gigi. Penjelasan dari
perbedaan mekanisme molekuler yang mendasari nosiseptif gigi
akan memberikan pemahamana yang beharga untuk
perkembangan perawatan gigi yang berhubungan dengan nyeri

15

Anda mungkin juga menyukai