BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kejang demam kompleks adalah ialah bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (suhu rectal lebih dari 380C) dengan durasi kejang lebih dari 15
menit dan dapat berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam, kejang fokal atau
parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial, yang tidak disebabkan
oleh proses intrakranial.1
2.2. Etiologi
Menjelaskan bahwa penyebab kejang demam baik itu kejang demam kompleks
maupun kejang demam sederhana hingga saat ini belum diketahui dengan pasti.
Penyebabab kejang demam kompleks dan sederhana tidak selalu timbul pada suhu
yang tinggi dikarenakan pada suhu yang tidak terlalu tinggi juga dapat menyebabkan
kejang. Kondisi yang dapat menyebabkan kejang demam kompleks diantaranya
adalah infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti infeksi saluran napas atas,
otitis media akut, bronkitis dan tonsilitis, dan gastroenteritis, infeksi saluran
kemih.4,5,38
Sedangkan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2013, menjelaskan
bahwa penyebab terjadinya kejang demam antara lain obat-obatan, ketidak
seimbangan kimiawi seperti hiperkalemia, hipoglikemia, asidosis, demam, patologis
otak dan eklamsia (ibu yang mengalami hipertensi prenatal, toksimea gravidarum).7
inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang eksitasi lebih dominan dibanding
inhibisi. 10
Usia pertama kali kejang pada kelompok kasus diketahui sebagian besar adalah
usia 2 tahun atau kurang dari 2 tahun.12 Glutamat baik ionotropik maupun
metabotropik sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya resep tor GABA
sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang eksitasi lebih dominan
dibanding inhibisi.12 Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptid
eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di
hipokampus tinggi, berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh
demam.13 Mekanisme homeostasis pada otak belum matang masih lemah, akan
berubah sejalan dengan perkembangan otak dan pertambahan umur, oleh karena pada
otak belum matang neural Na+/K+ ATP ase masih kurang. Pada otak yang belum
matang regulasi ion Na+, K+, dan Ca++ belum sempurna, sehingga mengakibatkan
gangguan repolarisasi pasca depolarisasi dan meningkatkan eksitabilitas neuron. Oleh
karena itu, pada masa otak belum matang mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi
dibandingkan otak yang sudah matang. Pada masa ini disebut sebagai developmental
window dan rentan terhadap bangkitan kejang. Eksitator lebih dominan dari eksitator
inhibitor, sehingga tidak ada keseimbangan antara eksitator dan inhibitor. Anak
mendapat serangan bangkitan kejang demam pada umur awal masa developmental
window mempunyai waktu lebih lama fase eksitabilitas neural dibanding anak yang
mendapat serangan kejang demam pada umur akhir masa developmental window.
Apabila anak mengalami stimulasi berupa demam pada otak fase eksitabilitas akan
mudah terjadi bangkitan kejang. Developmental window merupakan masa
perkembangan otak fase organisasi yaitu pada waktu anak berumur kurang dari dua
tahun. Sehingga anak yang mengalami serangan kejang demam pada umur di bawah
dua tahun mempunyai risiko terjadi bangkitan kejang demam berulang.13,14,35
Pada usia kurang dari 12 bulan mempunyai kemungkinan untuk mengalami
kejang demam kembali 2,7 kali lebih besar daripada anak yang mengalami kejang
4
demam pertama pada usia lebih dari 12 bulan. Penelitian yang telah dilakukan oleh
Verity dkk, Reza dkk menunjukkan hal yang sama bahwa rekurensi dari kejang
demam meningkat pada anak yang mengalami kejang demam pada usia lebih muda.
Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Pavlidou dkk mendapatkan
anak dengan usia muda lebih mudah mengalami kejang demam berulang.11
Pada Kategori Jenis Kelamin, perbandingan jumlah perempuan dan laki- laki
adalah 1,6:1 pada kejang pertama dan pada kejang demam berulang adalah 1,7:1
sedikit berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Gunawan & Saharso (2012)
yang mendapatkan perbandingan 2:1, namun jenis kelamin tidak memiliki perbedaan
bermakna. Hasil penelitian ini didukung pula oleh penelitian Jarrett, Fatunde, Osinusi
& Lagunju ( 2012) bahwa anak perempuan memiliki rasio perbandingan 1,3:1
dibandingkan jenis kelamin laki-laki namun secara statistik tidak mempunyai
hubungan bermakna terhadap kejang demam.15 Pada penelitian Dewanti
perbandingan jenis kelamin pada kejang demam kompleks adalah 1:1 artinya laki-laki
dan perempuan sama yang mengalami kejang demam kompleks. Jenis Kelamin rata
rata jenis kelamin antara kejang demam pertama dan kejang demam berulang adalah
pada jenis kelamin perempuan, yaitu 66(61.7%) pada kejang demam pertama dan 34 (
63%) pada kejang demam berulang. Dalam penilitian yang sama disebutkan juga
bahwa angka terjadinya kejang demam baik yang mengalami rekurensi maupun yang
tidak terjadi rekurensi yaitu, pada jenis kelamin laki laki sebesar 43,1% dan pda jenis
kelamin perempuan dalah 53,9%.16 Dalam penelitian lainnya disebutkan hal yang
sama. Pada penelitian yang dilakukan oleh Yunita, VE dkk didapatkan bahwa lebih
dari separuh kejang demam berulang terjadi pada pasien perempuan yaitu sebanyak
25 orang (62,5%) dari sampel sebanyak 40 orang. Kejang demam lebih sering terjadi
pada anak perempuan daripada laki-laki dengan perbandingan 2:1. Percepatan
maturasi serebral pada anak perempuan yang lebih cepat juga bisa dilihat dari
5
tingkat keparahan hipoksia yang terjadi pada jaringan otak terutama pada suhu
berkisar 38,9°C – 39,9°C, sedangkan pada suhu diatas 400C tubuh sudah melakukan
kompensasi karena durasi peningkatan suhu tubuh yang tidak singkat. Tidak
diketahui secara pasti saat timbul bangkitan kejang, apakah pada waktu terjadi
kenaikan suhu tubuh ataukah pada waktu demam sedang berlangsung.13
Menurut penelitian dari Dewanti dkk, didapatkan bahwa anak dengan suhu
<390C pada saat kejang mempunyai kemungkinan 4,4 kali lebih besar mengalami
rekurensi kejang dibandingkan dengan anak yang kejang dengan suhu >390C.
Beberapa penelitian lain juga menunjukkan hal yang sama, tingkat pireksia yang
diderita oleh anak akan mempengaruhi rekurensi terjadinya kejang demam.
Diperkuat oleh penelitian lain yang dilakukan oleh El Radhi dkk didapatkan anak
dengan suhu tubuh yang tidak terlalu tinggi (<390C) pada saat kejang demam pertama
akan lebih mudah untuk kejang kembali bila anak tersebut menderita panas. Suhu
yang rendah pada saat kejang pertama berpengaruh terhadap rekurensi kejang
demam.11
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam
2. 5 Patofisiologi
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan
muatan listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi
pada neuron tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi.
Sel syaraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial
membran. Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan
ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan dengan ekstrasel.
Dalam keadaan istirahat potensial membran berkisar antara 30-100 mV,
selisih potensial membran ini akan tetap sama selama sel tidak
mendapatkan rangsangan. Potensial membran ini terjadi akibat
perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion Na+, K + dan Ca++.,12
seluruh sirkulasi tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%.
Jadi kenaikan suhu tubuh pada seorang anak dapat mengubah keseimbangan
membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion Kalium dan
ion Natrium melalui membran tersebut sehingga mengakibatkan terjadinya
lepas muatan listrik. Lepasnya muatan listrik ini demikian besar sehingga
dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel lain yang ada didekatnya
dengan perantaraan neurotransmitter sehingga terjadilah kejang.25,26,27,33
Mekanisme timbulnya kejang demam juga dapat digambarkan dengan Seven
Processes in Neurotransmitter Action,sebagai berikut:
2.6.3 Elektroensefalografi
Indikasi pemeriksaan EEG Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang
demam, kecuali apabila bangkitan bersifat fokal. EEG hanya dilakukan pada
kejang fokal untuk menentukan adanya 11atin kejang di otak yang
membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
3.6.4 Pencitraan
Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin dilakukan
pada anak dengan kejang demam sederhana (level of evidence 2, derajat
rekomendasi B). Pemeriksaan tersebut dilakukan bila terdapat indikasi, seperti
kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya hemiparesis atau paresis
nervus kranialis.
2.7. Penatalaksanaan.1,37
Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu
pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien dating dalam keadaan
kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam
intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan
kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg.
Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti algoritma kejang pada
umumnya.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah (prehospital)
adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat
badan lebih dari 12 kg.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang
lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2
kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di
rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena.
12
Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epileptikus. Bila
kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi terapi
antikonvulsan profilaksis
1. Pemberian obat saat demam
Antipiretik Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi
risiko terjadinya kejang demam (level of evidence 1, derajat rekomendasi A).
Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa
antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-
15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali
sehari.
2. Antikonvulsan
Pemberian obat antikonvulsan intermiten yang dimaksud dengan obat
antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan yang diberikan hanya pada
saat demam. Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan salah
satu faktor risiko di bawah ini:
a) Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
b) Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
c) Usia <6 bulan
d) Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
e) Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat
dengan cepat
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau
rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat
badan >12 kg), sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5
mg/kali. Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu
diinformasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat
menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.
13
2.8 Edukasi.1
Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orangtua. Pada
saat kejang, sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya akan
meninggal. Kecemasan tersebut harus dikurangi dengan cara diantaranya:
1. Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumya mempunyai prognosis
baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang.
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
15
Kejang demam
>15 menit
Kejang demam
kompleks
Gejala klinis :
1. Kejang lama (>15 menit )
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi,
atau kejang umum didahului kejang
parsial
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam
waktu 24 jam