Anda di halaman 1dari 18

1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kejang demam kompleks adalah ialah bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (suhu rectal lebih dari 380C) dengan durasi kejang lebih dari 15
menit dan dapat berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam, kejang fokal atau
parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial, yang tidak disebabkan
oleh proses intrakranial.1

2.2. Etiologi
Menjelaskan bahwa penyebab kejang demam baik itu kejang demam kompleks
maupun kejang demam sederhana hingga saat ini belum diketahui dengan pasti.
Penyebabab kejang demam kompleks dan sederhana tidak selalu timbul pada suhu
yang tinggi dikarenakan pada suhu yang tidak terlalu tinggi juga dapat menyebabkan
kejang. Kondisi yang dapat menyebabkan kejang demam kompleks diantaranya
adalah infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti infeksi saluran napas atas,
otitis media akut, bronkitis dan tonsilitis, dan gastroenteritis, infeksi saluran
kemih.4,5,38
Sedangkan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2013, menjelaskan
bahwa penyebab terjadinya kejang demam antara lain obat-obatan, ketidak
seimbangan kimiawi seperti hiperkalemia, hipoglikemia, asidosis, demam, patologis
otak dan eklamsia (ibu yang mengalami hipertensi prenatal, toksimea gravidarum).7

2.3 Faktor Risiko


2.3.1 Faktor Usia
Kejang demam kompleks dan sederhana sering terjadi pada 2-4% anak berumur
6 bulan – 5 tahun. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun
2

mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi


SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. Kejang disertai demam
pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam.8
Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu: 1) neurulasi 2) perkembangan
prosensefali, 3) proliferasi neuron, 4) migrasi neural, 5) organisasi, dan 6) mielinisasi.
Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi sampai migrasi neural.
Fase perkembangan organisai dan mielinisasi masih berlanjut sampai tahun-tahun
pertama paska natal. Sehingga kejang demam terjadi pada fase perkembangan tahap
organisasi sampai mielinisasi. Fase perkembangan otak merupakan fase yang rawan
apabila mengalami bangkitan kejang, terutama fase perkembangan organisasi.9 Fase
perkembangan organisasi meliputi 1) diferensiasi dan pemantapan neuron pada
subplate, 2) Pencocokan, orientasi, pemantapan dan peletakan neuron pada korteks,
3) Pembentukan cabang neurit dan denrit, 4) pemantapan kontak di sinapsis, 5)
kematian sel terprogram 6) proliferasi dan diferensiasi sel glia. Pada fase proses
diferensiasi dan pemantapan neuron di subplate terjadi diferensiasi neurotransmiter
eksitator dan inhibitor. Pembentukan reseptor untuk eksitator lebih awal
dibandingkan inhibitor. Pada fase proses pembentukan cabang-cabang akson (neurit
dan denrit) serta pembentukan sinapsis terjadi proses “kematian sel terprogram” dan
plastisitas. Terjadi proses eliminasi sel neuron yang tidak terpakai, proses ini disebut
proses regresif. Proses tersebut terjadi sampai anak berusia 2 tahun, apabila pada
masa proses regresif terjadi bangkitan kejang demam sederhana maupun kompleks
dapat mengakibatkan trauma pada sel neuron sehingga mengakibatkan modifikasi
proses regresif. Apabila pada fase organisasi ini terjadi rangsangan berulang-ulang
seperti kejang demam berulang akan mengakibatkan aberrant plasticity, yaitu terjadi
penurunan fungsi GABA-ergic dan desensitisasi reseptor GABA serta sensitisasi
reseptor eksitator. Pada keadaan otak belum matang reseptor untuk asam glutamat
sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai
3

inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang eksitasi lebih dominan dibanding
inhibisi. 10
Usia pertama kali kejang pada kelompok kasus diketahui sebagian besar adalah
usia 2 tahun atau kurang dari 2 tahun.12 Glutamat baik ionotropik maupun
metabotropik sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya resep tor GABA
sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang eksitasi lebih dominan
dibanding inhibisi.12 Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptid
eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di
hipokampus tinggi, berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh
demam.13 Mekanisme homeostasis pada otak belum matang masih lemah, akan
berubah sejalan dengan perkembangan otak dan pertambahan umur, oleh karena pada
otak belum matang neural Na+/K+ ATP ase masih kurang. Pada otak yang belum
matang regulasi ion Na+, K+, dan Ca++ belum sempurna, sehingga mengakibatkan
gangguan repolarisasi pasca depolarisasi dan meningkatkan eksitabilitas neuron. Oleh
karena itu, pada masa otak belum matang mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi
dibandingkan otak yang sudah matang. Pada masa ini disebut sebagai developmental
window dan rentan terhadap bangkitan kejang. Eksitator lebih dominan dari eksitator
inhibitor, sehingga tidak ada keseimbangan antara eksitator dan inhibitor. Anak
mendapat serangan bangkitan kejang demam pada umur awal masa developmental
window mempunyai waktu lebih lama fase eksitabilitas neural dibanding anak yang
mendapat serangan kejang demam pada umur akhir masa developmental window.
Apabila anak mengalami stimulasi berupa demam pada otak fase eksitabilitas akan
mudah terjadi bangkitan kejang. Developmental window merupakan masa
perkembangan otak fase organisasi yaitu pada waktu anak berumur kurang dari dua
tahun. Sehingga anak yang mengalami serangan kejang demam pada umur di bawah
dua tahun mempunyai risiko terjadi bangkitan kejang demam berulang.13,14,35
Pada usia kurang dari 12 bulan mempunyai kemungkinan untuk mengalami
kejang demam kembali 2,7 kali lebih besar daripada anak yang mengalami kejang
4

demam pertama pada usia lebih dari 12 bulan. Penelitian yang telah dilakukan oleh
Verity dkk, Reza dkk menunjukkan hal yang sama bahwa rekurensi dari kejang
demam meningkat pada anak yang mengalami kejang demam pada usia lebih muda.
Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Pavlidou dkk mendapatkan
anak dengan usia muda lebih mudah mengalami kejang demam berulang.11

2.3.2 Faktor Jenis Kelamin

Pada Kategori Jenis Kelamin, perbandingan jumlah perempuan dan laki- laki
adalah 1,6:1 pada kejang pertama dan pada kejang demam berulang adalah 1,7:1
sedikit berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Gunawan & Saharso (2012)
yang mendapatkan perbandingan 2:1, namun jenis kelamin tidak memiliki perbedaan
bermakna. Hasil penelitian ini didukung pula oleh penelitian Jarrett, Fatunde, Osinusi
& Lagunju ( 2012) bahwa anak perempuan memiliki rasio perbandingan 1,3:1
dibandingkan jenis kelamin laki-laki namun secara statistik tidak mempunyai
hubungan bermakna terhadap kejang demam.15 Pada penelitian Dewanti
perbandingan jenis kelamin pada kejang demam kompleks adalah 1:1 artinya laki-laki
dan perempuan sama yang mengalami kejang demam kompleks. Jenis Kelamin rata
rata jenis kelamin antara kejang demam pertama dan kejang demam berulang adalah
pada jenis kelamin perempuan, yaitu 66(61.7%) pada kejang demam pertama dan 34 (
63%) pada kejang demam berulang. Dalam penilitian yang sama disebutkan juga
bahwa angka terjadinya kejang demam baik yang mengalami rekurensi maupun yang
tidak terjadi rekurensi yaitu, pada jenis kelamin laki laki sebesar 43,1% dan pda jenis
kelamin perempuan dalah 53,9%.16 Dalam penelitian lainnya disebutkan hal yang
sama. Pada penelitian yang dilakukan oleh Yunita, VE dkk didapatkan bahwa lebih
dari separuh kejang demam berulang terjadi pada pasien perempuan yaitu sebanyak
25 orang (62,5%) dari sampel sebanyak 40 orang. Kejang demam lebih sering terjadi
pada anak perempuan daripada laki-laki dengan perbandingan 2:1. Percepatan
maturasi serebral pada anak perempuan yang lebih cepat juga bisa dilihat dari
5

kematangan organ pada saat mencapai usia reproduksi.17

2.3.3. Faktor suhu


Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi pada anak tersering
disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan faktor utama timbul bangkitan kejang
demam kompleks maupun sederhana. Demam disebabkan oleh infeksi virus
merupakan penyebab terbanyak timbul bangkitan kejang demam. (80%).18,19 Setiap
kenaikan suhu tubuh satu derajat celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat
10-15%, sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan
kebutuhan glukose dan oksigen. Pada demam tinggi akan dapat mengakibatkan
hipoksi jaringan termasuk jaringan otak. Pada keadaan metabolisme di siklus Kreb
normal, satu molukul glukose akan menghasilkan 38 ATP, sedangkan pada keadaan
hipoksi jaringan metabolisme berjalan anaerob, satu molukul glukose hanya akan
menghasilkan 2 ATP, sehingga pada keadaan hipoksia akan kekurangan energi, hal
ini akan menggangu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamat oleh sel
glia.20 Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya ion Na+ ke dalam sel meningkat
dan timbunan asam glutamat ekstrasel, Na+ intrasel dan ekstrasel. Disamping itu
demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu.21
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa demam mempunyai
peranan penting karena terjadi perubahan potensial membran dan menurunkan fungsi
inhibisi sehingga menurunkan nilai ambang kejang. Penurunan nilai ambang kejang
memudahkan untuk timbul bangkitan kejang demam kompleks maupun sederhana.
Berdasarkan dari penelitian Fuadi dkk dalam Sari Pediatri, bangkitan kejang demam
sederhana dan kompleks memiliki batas tinggi demam dengan 390C sebagai rata-rata
dan terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh berkisar 38,9°C-39,9°C (40-56%).
Bangkitan kejang terjadi pada suhu tubuh 37°C-38,9°C sebanyak 11% penderita dan
sebanyak 20 % penderita kejang demam terjadi pada suhu tubuh di atas 400C. Hal ini
diakibatkan oleh semakin tingginya suhu saat demam maka semakin tinggi pula
6

tingkat keparahan hipoksia yang terjadi pada jaringan otak terutama pada suhu
berkisar 38,9°C – 39,9°C, sedangkan pada suhu diatas 400C tubuh sudah melakukan
kompensasi karena durasi peningkatan suhu tubuh yang tidak singkat. Tidak
diketahui secara pasti saat timbul bangkitan kejang, apakah pada waktu terjadi
kenaikan suhu tubuh ataukah pada waktu demam sedang berlangsung.13
Menurut penelitian dari Dewanti dkk, didapatkan bahwa anak dengan suhu
<390C pada saat kejang mempunyai kemungkinan 4,4 kali lebih besar mengalami
rekurensi kejang dibandingkan dengan anak yang kejang dengan suhu >390C.
Beberapa penelitian lain juga menunjukkan hal yang sama, tingkat pireksia yang
diderita oleh anak akan mempengaruhi rekurensi terjadinya kejang demam.
Diperkuat oleh penelitian lain yang dilakukan oleh El Radhi dkk didapatkan anak
dengan suhu tubuh yang tidak terlalu tinggi (<390C) pada saat kejang demam pertama
akan lebih mudah untuk kejang kembali bila anak tersebut menderita panas. Suhu
yang rendah pada saat kejang pertama berpengaruh terhadap rekurensi kejang
demam.11

2.3.4. faktor riwayat kejang pada keluarga


Faktor genetik atau keturunan misalnya pada orang tua dengan riwayat kejang
(pada masa kanak-kanak), saudara kandung dengan riwayat kejang demam kompleks
maupun sederhana dan orang tua dengan riwayat epilepsi tanpa demam. Hal ini
menunjukkan bahwa anak yang mempunyai riwayat kejang dalam keluarga terdekat
mempunyai resiko untuk bangkitan kejang demam kompleks maupun sederhana
sekitar 4,5 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat dan
faktor riwayat kejang pada ibu, ayah dan saudara kandung menunjukkan hubungan
yang bermakna karena mempunyai sel yang kosong .13
Berdasarkan studi kasus kontrol yang dilakukan Fuadi A., dkk (2010) di
RSUP dr. Kariadi Semarang menunjukkan bahwa anak yang memiliki keluarga
dengan riwayat kejang berisiko 4,5 kali untuk mengalami kejang demam kompleks
maupun sederhana dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki keluarga dengan
7

riwayat kejang.13 Penelitian Ridha, N.R., dkk (2009) di RS Wahidin Sudirohusodo di


Makassar menunjukkan bahwa anak yang memiliki keluarga dengan riwayat kejang
demam kompleks maupun sederhana berisiko 6 kali untuk mengalami kejang demam
kompleks maupun sederhana. Keluarga dengan riwayat pernah kejang demam
sebagai factor risiko untuk terjadinya kejang demam adalah kedua orang tua ataupun
saudara sekandung (first degree relative). Belum dapat dipastikan cara pewarisan
sifat genetic terkait dengan kejang demam, apakah autosomal resesif atau autosomal
dominan. Penetransi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60%-80%.14 Bila kedua
orang tuanya tidak mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam maka risiko
terjadinya kejang demam hanya 9%. Apabila salah satu orang tua pasien dengan
riwayat pernah kejang demam mempunyai risiko untuk terjadi bangkitan kejang
demam 20%-22%. Apabila kedua orang tua pasien tersebut mempunyai riwayat
pernah menderita kejang demam maka risiko untuk terjadinya bangkitan kejang
demam meningkat menjadi 59%- 64%.22 Kejang demam diwariskan lebih banyak
oleh ibu dibandingkan ayah, 27% berbanding 7%.11

2.4 Manifestasi Klinis.


Pada penelitian Djamaludin dkk pada tahun 2010 menjelaskan bahwa tanda
pada anak yang mengalami kejang adalah sebagai berikut : (1) Suhu badan mencapai
390C; (2) Saat kejang anak kehilangan kesadaran, kadang-kadang napas dapat
terhenti beberapa saat; (3) Tubuh termasuk tangan dan kaki jadi kaku, kepala terkulai
ke belakang disusul munculnya gejala kejut yang kuat; (4) Warna kulit berubah pucat
bahkan kebiruan dan bola mata naik ke atas; (5) Gigi terkatup dan terkadang disertai
muntah; (6) Napas dapat berhenti selama beberapa saat; (7) Anak tidak dapat
mengontrol untuk buang air besar atau kecil.22
Kejang demam kompleks (complex febrile seizure) Adapun ciri-ciri kejang
demam kompleks antara lain : 1
1. Kejang lama (>15 menit )
8

2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam

2. 5 Patofisiologi
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan
muatan listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi
pada neuron tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi.
Sel syaraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial
membran. Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan
ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan dengan ekstrasel.
Dalam keadaan istirahat potensial membran berkisar antara 30-100 mV,
selisih potensial membran ini akan tetap sama selama sel tidak
mendapatkan rangsangan. Potensial membran ini terjadi akibat
perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion Na+, K + dan Ca++.,12

Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:


a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-
K, misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia.
Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan
terjadi hipoksemia.
b. Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya
hipokalsemia dan hipomagnesemia.
c. Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi
dibandingkan dengan neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan
depolarisasi yang berlebihan. Misalnya ketidak seimbangan antara
GABA atau glutamate akan menyebabkan kejang. 12,24,25
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan meningkatnya kebutuhan oksigen sebesar
20%. Pada seorang anak usia 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari
9

seluruh sirkulasi tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%.
Jadi kenaikan suhu tubuh pada seorang anak dapat mengubah keseimbangan
membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion Kalium dan
ion Natrium melalui membran tersebut sehingga mengakibatkan terjadinya
lepas muatan listrik. Lepasnya muatan listrik ini demikian besar sehingga
dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel lain yang ada didekatnya
dengan perantaraan neurotransmitter sehingga terjadilah kejang.25,26,27,33
Mekanisme timbulnya kejang demam juga dapat digambarkan dengan Seven
Processes in Neurotransmitter Action,sebagai berikut:

Gambar 2.1 Seven Processes in Neurotransmitter Action.12

Faktor genetik merupakan peran utama dalam ketentanan kejang dan


dipengaruhi oleh usia dan metoritas otak. Kejang demam yang berlangsung lebih dari
15 menit (kejang demam kompleks ) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan
oksigen dan akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidodosis laktat disebabkan
oleh matabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak
teratur dan suhu tubuh makin meningkat yang disebabkan makin meningkatnya
aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otot meningkat. Hal ini
mengakibatkan terjadinya kerusakan pada neuron dan terdapat gangguan perederan
10

darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggalkan permeabilitas kapiler dan


timbul edema otak. Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah
mendapatkan serangan kejang sedang berlangsung lama di kemudian hari sehingga
terjadi serangan epilepsi yang spontan. Karena itu kejang demam yang berlansung lama
dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi.24,25,26,34

2.6 Pemeriksaan Diagnostik.1


2.6.1 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab
demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi
misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah (level of evidence 2, derajat
rekomendasi B).

2.6.2 Pungsi lumbal


Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru,
saat ini pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak
berusia <12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan
keadaan umum baik.
Indikasi pungsi lumbal (level of evidence 2, derajat rekomendasi B):
A. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
B. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis
C. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang
sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut
dapat mengaburkan tanda dan gejala meningitis.
11

2.6.3 Elektroensefalografi
Indikasi pemeriksaan EEG Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang
demam, kecuali apabila bangkitan bersifat fokal. EEG hanya dilakukan pada
kejang fokal untuk menentukan adanya 11atin kejang di otak yang
membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
3.6.4 Pencitraan
Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin dilakukan
pada anak dengan kejang demam sederhana (level of evidence 2, derajat
rekomendasi B). Pemeriksaan tersebut dilakukan bila terdapat indikasi, seperti
kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya hemiparesis atau paresis
nervus kranialis.

2.7. Penatalaksanaan.1,37
Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu
pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien dating dalam keadaan
kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam
intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan
kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg.
Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti algoritma kejang pada
umumnya.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah (prehospital)
adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat
badan lebih dari 12 kg.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang
lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2
kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di
rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena.
12

Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epileptikus. Bila
kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi terapi
antikonvulsan profilaksis
1. Pemberian obat saat demam
Antipiretik Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi
risiko terjadinya kejang demam (level of evidence 1, derajat rekomendasi A).
Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa
antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-
15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali
sehari.
2. Antikonvulsan
Pemberian obat antikonvulsan intermiten yang dimaksud dengan obat
antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan yang diberikan hanya pada
saat demam. Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan salah
satu faktor risiko di bawah ini:
a) Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
b) Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
c) Usia <6 bulan
d) Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
e) Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat
dengan cepat
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau
rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat
badan >12 kg), sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5
mg/kali. Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu
diinformasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat
menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.
13

3. Pemberian obat antikonvulsan rumat


Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan
penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka
pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka
pendek (level of evidence 3, derajat rekomendasi D). Indikasi pengobatan rumat:
a) Kejang fokal
b) Kejang lama >15 menit
c) Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.
4. Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat
Pemberian obat fenobarbital atau asam valporat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang (level of evidence 1, derajat rekomendasi
B).
Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan
kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valporat.
Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun, asam
valporat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam 13ating13e13
adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari
dalam 1-2 dosis.
5. Lama pengobatan rumat
Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk
kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat anak
tidak sedang demam.
14

Gambar 2.2 Algoritma penatalaksanaan kejang demam

2.8 Edukasi.1
Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orangtua. Pada
saat kejang, sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya akan
meninggal. Kecemasan tersebut harus dikurangi dengan cara diantaranya:
1. Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumya mempunyai prognosis
baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang.
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
15

4. Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang


efektif, tetapi harus diingat adanya efek samping obat.
2.8. Prognosis1
1. Kecacatan atau kelainan neurologis
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian
kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien
yang sebelumnya normal. Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus
kejang lama atau kejang berulang, baik umum maupun fokal. Suatu studi
melaporkan terdapat gangguan recognition memory pada anak yang
mengalami kejang lama. Hal tersebut menegaskan pentingnya terminasi
kejang demam yang berpotensi menjadi kejang lama.
2. Kemungkinan berulangnya kejang demam
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah:
1. Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius saat kejang
4. Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan
terjadinya kejang.
5. Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam
kompleks.
3. Faktor risiko terjadinya epilepsi
Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari adalah:
1. Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas
sebelum kejang demam pertama
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung
16

4. Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih


dalam satu tahun.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian
epilepsi sampai 4-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut akan
meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%. Kemungkinan menjadi
epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumatan pada kejang
demam.36
17

2.11 Kerangka Teori

Infeksi ekstrakranial Faktor resiko


Suhu tubuh 1. Faktor umur
meningkat 2. Faktor jenis
kelamin
3. Faktor suhu
4. Faktor
riwayat
Demam keluarga

Metabolisme basal kebutuhan oksigen,


meningkat meningkat

Perubahan difusi ion Na+


dan k+

Ketidak seimbangan reseptor


GABA dan fungsi inhibisi
terganggu

Ambang kejang demam

Kejang demam
>15 menit

Kejang demam
kompleks

3.1 Gambar Kerangka Teori


18

2.12 Kerangka Konsep

Etiologi : Faktor resiko


1. Infeksi ekstrakranial 1. Faktor umur
 Infeksi virus 2. Faktor jenis
kelamin
 Infeksi bakteri
3. Faktor suhu
2. Ketidak seimbangan kimiawi
4. Faktor riwayat
 Asidosis
keluarga
 Hyperkalemia
 Hipoglikemia
 Patologis otak

Gejala klinis :
1. Kejang lama (>15 menit )
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi,
atau kejang umum didahului kejang
parsial
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam
waktu 24 jam

Kejang demam kompleks

3.2 Gambar Kerangka Konsep

Anda mungkin juga menyukai