Anda di halaman 1dari 33

HALAMAN JUDUL

MAKALAH
BISING
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata higiene industri

KELAS K3
DISUSUN OLEH KELOMPOK 2:

1. Kurnia Wulan Ramadhani (J1A1 17 066)


2. Nasruddin (J1A1 17 088)
3. Nur Riska Anwar (J1A1 17 097)
4. Nuraisyah Darwis (J1A1 17 098)
5. Nurhadisa (J1A1 17 102)
6. Rahma Yani (J1A1 17 113)
7. Regitha Pricillia Cahyani T (J1A1 17 116)
8. Sazkia Masyhuriana Andarawati (J1A1 17 128)

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya,
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Bising” tepat pada waktunya.
Makalah ini merupakan tugas mata kuliah “Higiene Industri”.
Dengan perasaan yang sangat lega, kami mengucapkan Alhamdulillah
karena kami telah menyelasaikan tugas kami. Pada kesempatan ini juga kami
ingin menyampaikan rasa terima kasih kami yang tak terhingga kepada dosen
pembimbing mata kuliah Higiene industri.
Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna, oleh
karena itu kami sangat membutuhkan kritik dan saran yang sifatnya membangun
dan pada intinya untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan agar dimasa yang
akan datang lebih baik lagi.

Kendari, April 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................2
1.3 Tujuan.............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
2.1 Definisi Bising dan Kebisingan......................................................................3
2.2 Contoh Kasus Bising......................................................................................5
2.3 Dampak Bising...............................................................................................8
2.4 Alat Ukur Bising...........................................................................................14
2.5 Cara Mengukur Bising.................................................................................15
BAB III PENUTUP..............................................................................................22
3.1 Kesimpulan...................................................................................................22
3.2 Saran.............................................................................................................22

3
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Sel-Sel Rambut dan Sel-Sel Pendukungnya di dalam makula Cochlea
Sumber: (LP Gartner, JL Hiatt, 2007)......................................................................9
Gambar 2 Organ Corti, organ khusus untuk reseptor bunyi, membentang diatas
membran basiler dan tersusun dari sel-sel rambut neuroepitel dan beberapa tipe
sel-sel pendukungnya. Sumber: LP Gartner, JL Hiatt, 2007..................................11
Gambar 3 Struktur macula. Tampak sel reseptor dan sel pendukung dengan
mikrovili. Terdapat deposit kristal (otolit) pada permukaan lapisan gelatinosa.
Sumber: Junqueira LC, Carneiro J; 2005...............................................................11
Gambar 4 Sound Level Meter................................................................................15

4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Bising diartikan sebagai bunyi yang tidak dikehendaki yang bersumber


dari aktivitas alam seperti bicara dan aktivitas buatan manusia seperti penggunaan
mesin. Kebisingan mempengaruhi kita baik secara fisiologis maupun psikologis.
Terkadang kebisingan yang ada di sekitar kita merupakan gangguan yang bisaa,
akan tetapi kebisingan yang keras dan berlangsung secara terus menerus dapat
menyebabkan gangguan kesehatan. Pengaruh utama kebisingan terhadap
kesehatan adalah kerusakan pada indera pendengar yang dapat menyebabkan
ketulian progresif. Pengaruh tersebut tentunya sangat berpengaruh bagi
perusahaan dan kesehatan kerja ( AR Hani, 2010).

Pada tahun 2001 World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa


secara global penderita gangguan pendengaran di seluruh dunia mencapai 222 juta
jiwa usia dewasa. Di Amerika lebih dari 35 juta jiwa pada usia 18 tahun ke atas
mengalami gangguan pendengaran dan semakin parah dengan bertambahnya usia.
Penelitian yang dilakukan di India menyatakan dari 50 pekerja yang terpapar
bising 80% pekerja menderita kehilangan pendengaran pada frekuensi kurang dari
4000Hz (speech frequency) dan 90% pekerja pada frekuensi 4000 Hz (Rini
Tekriwal, 2011).
Bising lingkungan kerja merupakan masalah utama pada kesehatan kerja di
berbagai negara. Sedikitnya 7 juta orang (35% dari total populasi industri di
Amerika dan Eropa) terpajan bising 85 dB atau lebih. Ketulian yang terjadi dalam
industri menempati urutan pertama dalam daftar penyakit akibat kerja di Amerika
dan Eropa. Di Amerika lebih dari 5,1 juta pekerja terpajan bising dengan
intensitas lebih dari 85 dB. Barrs melaporkan pada 246 orang tenaga kerja yang
memeriksakan telinga untuk keperluan ganti rugi asuransi, ditemukan 85%
menderita tuli saraf, dan dari jumlah tersebut 37% didapatkan gambaran takik
pada frekuensi 4000 Hz dan 6000 Hz. Di Indonesia penelitian tentang gangguan
pendengaran akibat bising telah banyak dilakukan sejak lama. Survei yang

1
dilakukan oleh Hendarmin dalam tahun yang sama pada Manufacturing Plant
Pertamina dan dua pabrik es di Jakarta mendapatkan hasil terdapat gangguan
pendengaran pada 50% jumlah karyawan disertai peningkatan ambang dengar
sementara 5-10 dB pada karyawan yang telah bekerja terus menerus selama 5-10
tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Hendarmin dan Hadjar tahun 1971,
mendapatkan hasil bising jalan raya (Jl. MH. Thamrin, Jakarta) Sebesar 95 dB
lebih pada jam sibuk (Komnas Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan
Ketulian, 2013).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini
antara lain:
1. Apa yang dimaksud dengan bising dan kebisingan ?
2. Apa saja contoh kasus bising ?
3. Apa saja dampak bising ?
4. Apakah alat yang digunakan untuk mengukur bising ?

5. Bagaimana cara mengukur bising ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui konsep


bising
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan makalah ini antara lain:
1) Untuk mengetahui defenisi bising dan kebisingan
2) Untuk mengetahui contoh kasus bising
3) Untuk mengetahui dampak bising
4) Untuk mengetahui alat yang digunakan untuk mengukur bising
5) Untuk mengetahui cara mengukur bising

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Bising dan Kebisingan

Bising diartikan sebagai bunyi yang tidak dikehendaki yang bersumber


dari aktivitas alam seperti bicara dan aktivitas buatan manusia seperti penggunaan
mesin. Kebisingan mempengaruhi kita baik secara fisiologis maupun psikologis.
Terkadang kebisingan yang ada di sekitar kita merupakan gangguan yang bisaa,
akan tetapi kebisingan yang keras dan berlangsung secara terus menerus dapat
menyebabkan gangguan kesehatan (AR Hani, 2010).

Bising merupakan bunyi yang tidak dikehendaki atau tidak disenangi yang
merupakan aktivitas alam dan buatan manusia (JF Gabriel, 1996).

Bising merupakan suara yang tidak dikehendaki. Tetapi definisi ini sangat
subjektif. Definisi lain antara lain :

1. Denis dan Spooner, bising adalah suara yang timbul dari getaran-getaran yang
tidak teratur dan periodic.

2. Hirrs dan Ward, bising adalah suara yang komplek yang mempunyai sedikit
atau bahkan tidak periodik, bentuk gelombang yang tidak dapat diikuti atau
di produsir dalam waktu tertentu.

3. Spooner, bising adalah suaira yang tidak mengandung kualitas music.

4. Sataloff, bising adalah bunyi yang terdiri dari frekuensi yang tidak acak dan
tidak berhubungan satu dengan yang lainnya.

5. Burn, littler, dan Wald, bising adalah suara yang dikehendaki kehadirannya
oleh yang mendengar dan menganggu.

6. Menurut Permenkes RI NO : 718/MENKES/PER/XI/1987 tentang kebisingan


yang berhubungan dengan kesehatan, BAB I pasal 1 (a) : kebisingan adalah

3
terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki, sehingga menganggu dan atau
membahayakan kesehatan (dalam Arum Dian Pratiwi, 2016).

Kebisingan adalah suara yang tidak dikehendaki oleh pendengaran


manusia, kebisingan adalah suara yang mempunyai multi frekuensi dan multi
amplitudo dan biasanya terjadi pada frekuensi tinggi. Sifat kebisingan terdiri dari
berbagai macam, antara lain konstan, fluktuasi, kontinue, intermiten, impulsif,
random dan impact noise. Menurut Siswanto (2002), kebisingan adalah terjadinya
bunyi yang keras sehingga mengganggu dan atau membahayakan kesehatan.
Sedangkan menurut Gabriel (1996) bising didefinisikan sebagai bunyi yang tidak
dikehendaki yang merupakan aktivitas alam dan buatan manusia (dalam Iwan M.
Ramdan, 2013).

Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 48. tahun 1996,


tentang Baku Mutu Tingkat Kebisingan, bahwa kebisingan adalah bunyi yang
tidak diinginkan dari suatu usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu yang
dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan
lingkungan(dalam Iwan M. Ramdan, 2013).

Kebisingan didefinisikan sebagai bunyi yang tidak dikehendaki. Bising


menyebabkan berbagai gangguan terhadap tenaga kerja, seperti gangguan
fisiologis, gangguan psikologis, gangguan komunikasi dan ketulian, atau ada yang
menggolongkan gangguannya berupa gangguan pendengaran, misalnya gangguan
terhadap pendengaran dan gangguan pendengaran seperti komunikasi terganggu,
ancaman bahaya keselamatan, menurunnya performa kerja, kelelahan dan stres.
Jenis pekerjaan yang melibatkan paparan terhadap kebisingan antara lain
pertambangan, pembuatan terowongan, mesin berat, penggalian (pengeboman,
peledakan), mesin tekstil, dan uji coba mesin jet. Bising dapat didefinisikan
sebagai bunyi yang tidak disukai, suara yang mengganggu atau bunyi yang
menjengkelkan. Suara bising adalah suatu hal yang dihindari oleh siapapun, lebih-
lebih dalam melaksanakan suatu pekerjaan, karena konsentrasi pekerja akan dapat
terganggu.

4
Dengan terganggunya konsentrasi ini maka pekerjaan yang dilakukkan akan
banyak timbul kesalahan ataupun kerusakan sehingga akan menimbulkan
kerugian (Anizar, 2009).

Kebisingan (Noise) adalah suara yang tidak dikehendaki. Menurut Wall


(1979), kebisingan adalah suara yang mengganggu).Sedangkan menurut
Kep.Men-48/MEN.LH/11/1996, kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan
dari suatu usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapt
menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan,
termasuk ternak, satwa dan sistem alam (dalam Heru dan Haryono, 2011).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa kebisingan adalah bunyi atau suara yang
tidak di kehendaki dan dapat menganggu kesehatan, kenyamanan serta dapat
menimbulkan ketulian.

2.2 Contoh Kasus Bising

Kasus 1: Dampak Intensitas Kebisingan Terhadap Gangguan Pendengaran


Petugas Laundry

Mesin memiliki kebisingan dengan suara berkekuatan tinggi. Dampak


negatif yang ditimbulkannya adalah kebisingan yang berbahaya bagi karyawan.
Kondisi ini dapat mengakibatkan gangguan pendengaran yang dikenal dengan
Noise Induce Hearing Loss. Gangguan pendengaran akibat bising atau Noise
Induce Hearing Loss merupakan gangguan pendengaran yang timbul akibat
paparan berulang dan lama bisa menahun yaitu setelah bekerja lebih dari 1015
tahun (Addina, 2014).

Pendengaran merupakan salah satu dari sistem indera manusia, jika


mengalami gangguan pendengaran maka proses komunikasi akan sulit dilakukan.
Saat berinteraksi dengan orang yang mengalami gangguan pendengaran akan
menyebabkan perasaan frustasi, tidak sabar, marah atau rasa iba terhadap orang

5
tersebut (Buchari, 2007). Berdasarkan data dari WHO (2004), diketahui bahwa
gangguan pendengaran akibat bising merupakan kecelakaan akibat kerja
terbanyak kedua yang diderita seumur hidup. Gangguan pendengaran akibat
bising dapat terjadi tiba-tiba dalam hitungan detik atau secara perlahan dalam
hitungan bulan sampai tahun bahkan kadang kurang disadari.

Proses pencucian di unit laundry menimbulkan adanya kebisingan yang


diakibatkan oleh mesin pencucian Dari akibat yang ditimbulkan dapat
menurunkan ambang pendengaran petugas, mengganggu psikologis petugas dan
berdampak pada penurunan tingkat produktivitas. Dengan waktu kerja 8 jam per
hari atau 40 jam per minggu dan karakteristik petugas laundry yang berbeda-beda
maka intensitas kebisingan yang diterima oleh petugas juga berbeda. Petugas
laundry merupakan petugas yang berpotensi terpajan oleh intensitas kebisingan.
Semakin lama petugas terpajan oleh kebisingan maka dapat berisiko mengalami
gangguan pendengaran. Dari hasil survei pendahuluan terhadap intensitas
kebisingan di Unit Laundry RSUD Dr. Soetomo Surabaya diperoleh hasil 81,2 dB
(A) yang tidak sesuai dengan nilai yang dipersyaratkan yaitu 78 dB (A).

(Sumber: Dewanty, Rindy Astike., Sudarmaji. 2015. Analisis Dampak Intensitas


Kebisingan Terhadap Gangguan Pendengaran Petugas Laundry. Jurnal
Kesehatan Lingkungan Vol. 8, No. 2 : 229–237).

Kasus 2: Kebisingan Akibat Arus Lalu Lintas Di Pemukiman Kota


Pontianak (Studi Kasus : Pemukiman Sungai Raya Dalam Kecamatan
Pontianak Tenggara)

Kota Pontianak merupakan ibu kota Provinsi Kalimantan Barat yang


memiliki jumlah penduduk sebanyak 598.097 jiwa (BPS Provinsi Kalimantan
Barat, 2015) yang dapat dilihat sering terjadinya kemacetan pada setiap jam-jam
sibuk dengan volume kendaraan bermotor yang terus meningkat tanpa terkendali.
Sementara banyak jalan raya telah mencapai tingkat jenuh (v/c) melebihi
kapasitas atau melebihi 0,7 derajat kejenuhan (Dinas Perhubungan, 2011).
Padatnya aktivitas penduduk Kota Pontianak pada saat ini menyebabkan

6
meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di jalan raya sehingga aktivitas lalu
lintas semakin padat. Tingkat pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor
untuk Kota Pontianak mencapai 729.979 unit dibandingkan dengan tahun 2010
yang hanya mencapai 574.322 unit (Dispenda, 2011). Hal ini menunjukan
terjadinya pertumbuhan kendaraan yang tidak sebanding dengan pertambahan
prasarana seperti angkutan umum sehingga masyarakat lebih memilih
menggunakan kendaraan pribadi guna memenuhi kebutuhan sehari-hari dan
menyebabkan volume kendaraan bermotor di jalan lebih banyak dari sebelumnya
dan menimbulkan kebisingan akibat bunyi kendaraan bermotor tersebut.

Pemukiman di Kota Pontianak berpotensi mengalami polusi suara karena


berada tepat disamping jalan raya. Salah satunya yang berpotensi mengalami
polusi suara akibat padatnya arus lalu lintas adalah pemukiman di Jl. Sungai Raya
Dalam, Kecamatan Pontianak Tenggara. Jalan tersebut merupakan jalan yang
berhadapan dengan Kabupaten Kuburaya yang hanya dibatasi oleh parit kecil. Jl.
Sungai Raya Dalam tengah mengalami pelebaran, sehingga jarak pemukiman
lebih dekat dengan jarak 1-10 m dari perkerasan jalan raya sehingga menyebabkan
pemukiman sudah termasuk dalam zona bising (Pedoman Teknik, 1999).

Tingkat kebisingan di pemukiman Jl. Sungai Raya Dalam Kecamatan


Pontianak Tenggara sudah melebihi ambang baku mutu menurut Peraturan
Kementrian Lingkungan Hidup No. 48 tahun 1996 yang hanya diperbolehkan
sebesar 55 dB. Tingkat kebisingan tertinggi pada hari kerja berada pada titik satu,
yakni pada komplek Villa Lestari dengan nilai sebesar 68,8 dB dan hari libur
dengan nilai sebesar 65,8 dB pada pengukuran pukul 06.00 –08.00 WIB dan 15.00
–17.00 WIB. Tingkat ketergangguan masyarakat di pemukiman Jl. Sungai Raya
Dalam Kecamatan Pontianak tenggara akibat kebisingan yang bersumber dari arus
lalu lintas sudah di tahap sedang terganggu dengan nilai sebesar 51% persen dari
perhitungan skala Likert.

7
(Sumber: Alsey, Ferdyana Annisaa.,dkk. 2016. Analisis Tingkat Kebisingan
Akibat Arus Lalu Lintas Di Pemukiman Kota Pontianak (Studi Kasus :
Pemukiman Sungai Raya Dalam Kecamatan Pontianak Tenggara). Hal: 1-10)

Kasus 3: Kebisingan Pada Kapal Motor Tradisional Angkutan Antar Pulau


Di Kabupaten Pangkajene

Pentingnya kapal sebagai mode transportasi bagi masyarakat pulau


Kulambing menjadikan kapal sebagai pilihan yang wajib untuk bepergian guna
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Khusus kapal yang melayari rute pulau
Kulambing - Pangkajene berjumlah 3 (tiga) buah kapal yang beroperasi dari pagi
hingga siang hari dengan hanya sekali pelayaran pergipulang dengan lama
pelayaran kurang lebih 2 jam sekali jalan atau sekitar 3-4 kali setiap hari. Kapal-
kapal ini umumnya berukuran kecil sehingga mesin dan penumpang seakan
berada dalam satu ruangan yang sama. Akibatnya mau tidak mau kebisingan yang
ditimbulkan suara mesin tidak dapat dihindari. Kebisingan yang timbul ini
tentunya akan berpengaruh pada kesehatan orang. Jika kebisingan ini melebihi
nilai ambang batas yang telah ditetapkan.

Tingkat kebisingan akibat sumber bising seperti permesinan, baling-baling


dan lain-lain ditentukan oleh direktorat jenderal perhubungan darat dan
departemen perhubungan antara 65-75 dB. Jadi tingkat kebisingan pada ruangan
penumpang tersebut adalah dianggap sama dengan kamar mesin pada kapal
konvensional/kapal baja.

(Sumber: Baharuddin., dkk. 2012. Kebisingan Pada Kapal Motor Tradisional


Angkutan Antar Pulau Di Kabupaten Pangkajene. Jurnal Riset dan Teknologi
Kelautan (JRTK) Volume 10, Nomor 2, Hal: 225-232)

2.3 Dampak Bising

1. Dampak Auditory

8
Telinga siap untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan
terhadap tingkat suara/bising, tetapi setelah terlalu sering mengalami perubahan
yang berulang-ulang lama-kelamaan daya akomodasinya akan menjadi lelah dan
gagal memberikan reaksi. Dalam keadaan ini pendegaran timbul akibat pekerjaan
(occupational deaf-ness), tidak hanya terdapat pada pekerja pabrik saja tetapi juga
pada pekerjaan-pekerjaan luar, seperti supir taksi/alat transportasi, polisi
lalulintas, dan sebagainya (Heru dan Haryono, 2011).

Efek kebisingan pada indera pendengaran dapat dilklasifikasikan menjadi:

a) Trauma akustik, gangguan pendengaran yang disebabkan oleh pemaparan


tunggal terhadap intensitas kebisingan yang sangat tinggi dan terjadi secara
tiba-tiba. Sebagai contoh ketulian yang disebabkan oleh suara ledakan bom
(Heru dan Haryono, 2011).

Pada trauma akustik terjadi kerusakan organik telinga akibat adanya energi
suara yang sangat besar. Cedera cochlea terjadi akibat rangsangan fisik
berlebihan berupa getaran yang sangat besar sehingga merusak sel-sel rambut
(Gambar 1) (LP Gartner, JL Hiatt, 2007). Pada pajanan berulang kerusakan
bukan hanya sematamata akibat proses fisika, tetapi juga proses kimiawi
berupa rangsang metabolik yang secara berlebihan merangsang sel-sel rambut
sehingga terjadi disfungsi sel-sel tersebut. Akibatnya terjadi gangguan ambang
pendengaran sementara. Kerusakan sel-sel rambut juga dapat mengakibatkan
gangguan ambang pendengaran yang permanen (JF Gabriel 1996, Bising
PLTSa [homepage on the Internet] 2008, Sastrowinoto 1985).

9
Gambar 1 Sel-Sel Rambut dan Sel-Sel Pendukungnya di dalam makula Cochlea
Sumber: (LP Gartner, JL Hiatt, 2007)

b) Ketulian sementara (Temporary Threshold Shift/TTS), gangguan pendengaran


yang dialami seseorang yang sifatnya sementara. Daya dengarnya sedikit demi
sedikit pulih kembali adalah berkisar dari beberapa menit sampai beberapa
hari (3-7 hari), namun yang paling lama tidak lebih dari 10 hari (Heru dan
Haryono, 2011).

Pada keadaan ini terjadi kenaikan ambang pendengaran sementara yang secara
perlahan-lahan akan kembali seperti semula. Keadaan ini berlangsung
beberapa menit sampai beberapa jam bahkan sampai beberapa minggu setelah
pemaparan. Kenaikan ambang sementara ini mula-mula terjadi pada frekuensi
4000 Hz, tetapi apabila pemaparan berlangsung lama maka kenaikan nilai
ambang sementara akan menyebar pada frekuensi sekitarnya. Makin tinggi
intensitas dan lama waktu pemaparan makin besar perubahan nilai ambang
pendengarannya. Respon tiap individu terhadap kebisingan tidak sama
tergantung sensitivitas masing-masing individu(JF Gabriel 1996, Bising PLTSa
[homepage on the Internet] 2008, Sastrowinoto 1985).

c) Ketulian permanen (Permanent Threshold Shift/PTS), bilamana seseorang


pekerja mengalami TTS dan kemudian terpajan bising sebelum pemulihan

10
secara lengkap terjadi, maka terjadi “akumulasi”sisa ketulian (TTS), dan hal
ini berlangsung secara berulang dan menahun, sifat ketuliannya akan berubah
menjadi menetap (permanen). PTS sering juga disebut NIHL (Noise Induced
Hearing Loss) dan NIHL terjadi umumnya setelah terpajan 10 tahun atau lebih
(Heru dan Haryono, 2011).

Kelainan yang timbul pada telinga akibat bising terjadi tahap demi tahap sebagai
bentuk:

1) Stadium adaptasi. Adaptasi merupakan suatu daya proteksi alamiah dan


keadaan yang dapat pulih kembali, atau kata lain sifatnya reversible.

2) Stadium “temporary threshold shiff” disebut juga “auditory fatigue” yang


merupakan kehilangan pendengaran “reversible” sesudah 48 jam terhindar
dari bising itu. Batas waktu yang diperlukan untuk pulih kembali sesudah
terpapar bising adalah 16 jam. Bila pada waktu bekerja keesokan hari
pendengaran hanya sebagian yang pulih maka terjadi “permanent hearing
lose”.

3) Stadium “persistem trehold shiff”. Dalam stadium ini ambang pendengaran


meninggi lebih lama, sekurang-kurangnya 48 jam setelah meninggalkan
lingkngan bising, pendengaran masih terganggu.

4) Stadium “permanent trehold shiff”. Pada stadium ini meningginya ambang


pendengaran menetap sifatnya, gangguan ini banyak ditemukan dan tidak
dapat disembuhkan. Tuli akibat bising ini merupakan tuli persepsi yang
kerusakannya terdapat dalam cochlea berupa rusaknya syaraf pendengaran
(Arum Dian Pratiwi, 2016).

Kenaikan terjadi setelah seseorang cukup lama terpapar kebisingan terutama pada
frekuensi 4000 Hz. Gangguan ini paling banyak ditemukan dan bersifat permanen.
Kenaikan ambang pendengaran yang menetap dapat terjadi setelah 3,5 sampai 20

11
tahun terjadi pemaparan. Penderita mungkin berkurang dan baru diketahui setelah
dilakukan pemeriksaan audiogram (LP Gartner, JL Hiatt, 2007)

Gambar 2Organ Corti, organ khusus untuk reseptor bunyi, membentang diatas
membran basiler dan tersusun dari sel-sel rambut neuroepitel dan beberapa tipe
sel-sel pendukungnya. Sumber: LP Gartner, JL Hiatt, 2007

12
Gambar 3 Struktur macula. Tampak sel reseptor dan sel pendukung dengan
mikrovili. Terdapat deposit kristal (otolit) pada permukaan lapisan gelatinosa.
Sumber: Junqueira LC, Carneiro J; 2005

Hilangnya pendengaran sementara akibat pemaparan bising biasanya sembuh


setelah istirahat 1-2 jam. Bising dengan intensitas tinggi dalam waktu yang lama
(10-15 tahun) akan menyebabkan robeknya sel-sel rambut organ Corti sampai
terjadi destruksi total organ Corti (Gambar 2,3) ((LP Gartner, JL Hiatt 2007,
Junqueira LC, Carneiro J, 2005). Proses ini terjadi karena rangsangan bunyi yang
berlebihan dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan perubahan metabolism
dan vaskuler sehingga terjadi kerusakan degenerativ pada struktur sel-sel rambut
organ Corti, akibatnya terjadi kehilangan pendengaran yang permanen. Ini
merupakan proses yang lambat dan tersembunyi sehingga pada tahap awal tidak
disadari oleh para pekerja. Hal ini hanya dapat dibuktikan dengan pemeriksaan
audiometrik. Apabila bising dengan intensitas tinggi tersebut berlangsung dalam
waktu yang cukup lama, akhirnya pengaruh penurunan pendengaran akan
menyebar ke frekuensi percakapan (500-2000 Hz) (JF Gabriel 1996, Alan H,
Cromer, Djoyodiharjo B, Sukrawinata T 1993).

2. Dampak Non-Auditory

Kebisingan di tempat kerja dapat menimbulkan ganggauan yang


dikelompokkan secara bertingkat sebagai berikut :

13
a) Gangguan Fisiologis

Gangguan fisiologis adalah gangguan yang mula-mula timbul akibat bising,


dengan kata lain fungsi pendengaran secara fisiologis dapat terganggu.
Pembicaraan atau intruksi dalam pekerjaan tidak dapat didengar secara jelas,
sehingga dapat menimbulkan gangguan lain, seperti kecelakaan. Pembicaraan
terpaksa berteriak-teriak sehingga memerlukan tenaga ekstra dan juga
menambah kebisingan. Disamping itu kebisingan dapat juga mengganggu
“cardiac output” dan tekanan darah. Pada berbagai penyelidikan ditemukan
bahwa pemaparan bunyi terutama yang mendadak menimbulkan reaksi
fisiologis seperti : denyut nadi, tekanan darah, metabolisme, gangguan tidur
dan penyempitan pembuluh darah. Reaksi ini terutama terjadi pada permulaan
pemaparan terhadap bunyi kemudian akan kembali pada keadaan semula. Bila
terus menerus terpapar maka akan terjadi adaptasi sehingga perubahan itu
tidak tampak lagi (Arum Dian Pratiwi, 2016).

b) Ambang Pendengaran

Ambang pendengaran adalah suara terlemah yang masih bisa didengar. Makin
rendah level suara terlemah yang didengar berarti makin rendah nilai ambang
pendengaran berarti makin baik pendengarannya. Kebisingan dapat
mempengaruhi nilai ambang batas pendengaran baik bersifat sementara atau
menetap. Kehilangan pendengaran bersifat sementara apabila telinga dengan
segera dapat mengembalikan fungsinya setelah terkena kebisingan (Arum
Dian Pratiwi, 2016).

c) Gangguan pola tidur

Pola tidur sudah merupakan pola alamiah, kondisi istirahat yang berulang
secara teratur, dan penting untuk tubuh normal dan pemeliharaan mental serta
kesembuhan. Kebisingan dapat mengganggu tidur dalam hal kelelapan,
kontinuitas, dan lama tidur. Seseorang yang sedang tidak bisa tidur atau sudah
tidur tapi belum terlelap. Tiba-tiba ada gangguan suara yang akan

14
mengganggu tidurnya, maka orang tersebut mudah marah/tersinggung.
Berperilaku irasional, dan ingin tidur. Terjadinya pergeseran kelelapan tidur
dapat menimbulkan kelelahan. Berdasarkan penelitian yang mengemukakan
bahwa presentase seseorang bisa terbangun dari tidurnya sebesar 5% pada
tingkat intensitas suara 40 dB(A) dan meningkat sampai 30% pada tingkat 70
dB(A). Pada tingkat intensitas suara 100 dB (A) sampai 120 dB (A), hampir
setiap orang akan terbangun dari tidurnya (Arum Dian Pratiwi, 2016).

d) Gangguan psikologis

Gangguan fisiologis lama kelamaan bisa menimbulkan gangguan psikologis.


Kebisingan dapat mempengaruhi stabititas mental dan reaksi psikologis,
seperti ras khawatir, jemgkel, takut dan sebagainya. Stabilitas mental adalah
kemampuan seseorang untuk berfungsi atau bertindak normal. Suara yang
tidak dikehendaki memang tidak menimbulkan mental illness akan tetapi
dapat memperberat problem mental dan perilaku yang sudah ada.

Reaksi terhadap gangguan ini sering menimbulkan keluhan terhadap


kebisingan yang berasal dari pabrik, lapangan udara dan lalu lintas. Umumnya
kebisingan pada lingkungan melebihi 50-55 dB pada siang hari dan 45- 55 dB
akan mengganggu kebanyakan orang. Apabila kenyaringan kebisingan
meningkat, maka dampak terhadap psikologis juga akan meningkat.
Kebisingan dikatakan mengganggu, apabila pemaparannya menyebabkan
orang tersebut berusaha untuk mengurangi, menolak suara tersebut atau
meninggalkan tempat yang bisa menimbulkan suara yang tidak dikehendaknya
(Arum Dian Pratiwi, 2016).

e) Gangguan patologis organis

Gangguan kebisingan yang paling menonjol adalah pengaruhnya terhadap alat


pendengaran atau telinga, yang dapat menimbulkan ketulian yang bersifat
sementara hingga permanen (Arum Dian Pratiwi, 2016).

15
Proses terjadinya gangguan pendengaran terjadinya secara berangsur-angsur,
yaitu mula-mula tidak terasa adanya gangguan pedengaran, baru setelah
menderita sadar bahwa ia memerlukan suara-suara keras untuk sanggup
mendengarkan suatu percakapan diketahui adanya gangguan pendengaran.
Pergeseran ambang pendengaran nampak dalam tahun-tahun pertama terpapar
kebisingan. Orang yang belum pernah berada dalam kebisingan biasanya
menunjukkan perbaikan yang bagus setelah dipindahkan dari kebisingan,
sedangkan orang yang sudah bertahun-tahun terkena bising dan tuli agak berat
sekali kemungkinan untuk pulih (Arum Dian Pratiwi, 2016).

f) Komunikasi kebisingan dapat mengganggu pembicaraan

Paling penting disini bahwa kebisingan mengganggu kita dalam menangkap


dan mengerti apa yang dibicarakan oleh orang lain, apakah itu berupa :

1) Percakapan langsung

2) Percakapan telepon

3) Melalui alat komunikasi lain, misalnya radio, televisi dan pidato (Arum
Dian Pratiwi, 2016).

Tempat dimana komunikasi tidak boleh ternganggu oleh suara bising adalah
sekolah, area latihan dan test, teater, pusat komunikasi militer, kantor, tempat
ibadah, perpustakaan, rumah sakit dan laboratorium. Banyaknya suara yang
bisa dimengerti tergantung dari faktor seperti: level suara pembicaraan, jarak
pembicaraan dengan pendengaran, bahasa/kata yang dimengerti, suara
lingkungan dan faktor-faktor lain (Arum Dian Pratiwi, 2016).

2.4 Alat Ukur Bising

Alat yang digunakan untuk pengukuran intensitas kebisingan adalah sound


level meter (SLM) yang mempunyai beberapa jenis antara lain :

16
1. Precision sound level meter

2. General purpose sound level meter

3. Survey sound level meter

4. Special purpose sound level meter (Heru dan Haryono, 2011)

Gambar 4 Sound Level Meter

Keterangan:

1. Tombol pengatur hidup mati/power (on/off)

2. Tombol pengontrol battery

3. Tombol pengatur penunjukkan cepat lambt (slow/fast)

4. Tombol pengukur skala angka puluhan

5. Tombol pengatur penunjukkan maksimum (max.hold)

6. Microphone

7. Filter microphone

8. Kalibrator

9. Display

17
2.5 Cara Mengukur Bising

Pengukuran kebisingan bertujuan untuk membandingkan hasil pengukuran


pada suatu saat dengan standar atau nilai ambang batas (NAB) yang telah
ditetapkan (Heru dan Haryono, 2011).

Pengukuran yang ditujukan hanya sekedar untuk mengendalikan terhadap


lingkungan kerja dilaksanakan ditempat diman pekerja menghabiskan waktu
kerjanya serta dilaksanakan pada waktu pagi, siang, dan sore hari (Heru dan
Haryono, 2011).

Pengukuran yang bertujuan untuk mengetahui efek kebisingan terhadap


pendengaran perlu dilaksanakan secara intensif selama jam kerja. Bila pekerja
selalu berpindah tempat maka disamping dilaksanakannya pengukuran tingkat
suara juga diacatat waktu selama pekerja berada ditempat tempat tersebut agar
dapat diketahui apakah pekerja sudah terpajan melalui NAB (Heru dan Haryono,
2011).

Untuk mengukur kebisingan di lingkungan kerja dapat dilakukan dengan


menggunakan alat Sound Level Meter. Sebelumnya, intensitas bunyi adalah
jumlah energi bunyi yang menembus tegak lurus bidang per detik. Metode
pengukuran akibat kebisingan di lokasi kerja, yaitu:

1. Pengukuran dengan titik sampling

Pengukuran ini dilakukan bila kebisingan diduga melebihi ambang batas


hanya pada satu atau beberapa lokasi saja. Pengukuran ini juga dapat dilakukan
untuk mengevalusai kebisingan yang disebabkan oleh suatu peralatan sederhana,
misalnya kompresor/generator. Jarak pengukuran dari sumber harus dicantumkan,
misal 3 meter dari ketinggian 1 meter. Selain itu juga harus diperhatikan arah
mikrofon alat pengukur yang digunakan

2. Pengukuran dengan peta kontur

18
Pengukuran dengan membuat peta kontur sangat bermanfaat dalam
mengukur kebisingan, karena peta tersebut dapat menentukan gambar tentang
kondisi kebisingan dalam cakupan area. Pengukuran ini dilakukan dengan
membuat gambar isoplet pada kertas berskala yang sesuai dengan pengukuran
yang dibuat. Biasanya dibuat kode pewarnaan untuk menggambarkan keadaan
kebisingan, warna hijau untuk kebisingan dengan intensitas di bawah 85 dBA,
warna oranye untuk tingkat kebisingan yang tinggi di atas 90 dBA, warna kuning
untuk kebisingan dengan intensitas antara 85–90 dBA (Iwan M. Ramdan, 2013).

Hal-hal yang pelu diperhatikan dalam melakukan pengukuran adalah


sebagai berikut :

1) Sebelum pengukuran dilaksanakan battery harus diperiksa untuk mengetahui


apakah masih berfungsi atau tidak

2) Agar peralatan SLM yang akan digunakan benar-benar tepat , maka terlebih
dahulu harus dicek dengan menggunakan kalibrator, yaitu dengan meletakkan/
memasang alat tersebut diatas microphone dari SLM, kemudian dengan
tombol pada alat tersebut dikeluarkan nada murni (pure tone) dengan
intensitas tertentu, maka jarum penunjuk/display SLM tersebut harus
menunjukkan sesua dengan intensitas suara dari kalibrator tersebut

3) Meletakkan sejauh mungkin SLM sepanjang tangan (paling dekat 0,5 meter
dari tubuh pengukur) bila perlu gunakan tripot untuk meletakkannya. Hal ini
dilakukan karena selain operator dapat merintangi suara yang dating dari salah
satu arah operator terseut juga dapat memantulkan suara sehingga
menyebabkan kesalahan pengukuran.

4) Pengukuran di luar gedung/lingkungan harus dilakukan pada ketinggian 1,2-


1,5 meter diatas tanah dan bila mungkin tidak kurang dari 3,5 meter dari
semua permukaan yang dapat memantulkan suara. Sebaliknya digunakan
WindsScreen (terbuat dari karet busa berpori) yang dipasang pada microphone
untuk mengurangi turbelensi aliran udara disekitar duafragma microphone.

19
5) Bila ingin diketahui dengan tepat sumber suara yang sedang di ukur dapat
digunakan suatu headphone yang dihubungkan dengan output dari SLM.

6) Hindarkan pengukuran terlalu dekat dengan sumber bunyi, karena hasil


pengukuran akan menunjukkan perbedaan yang bermakna pada posisi SLM
yang berubah-ubah

7) SLM ini dapat digunakan pada suasana kelembapan sampai dengan 90%
dengan suhu antara 10-50 derajat Celsius (Heru dan Haryono, 2011).

Rencana Pengukuran Kebisingan

Merumuskan rencana-rencana pengukuran:

1. Pokok-pokok pengukuran utama

Ada dua pokok-pokok penting bila mengukur kebisingan: tingkat tekanan


suara berbobot A yang kemudian dibandingkan dengan nilai referensi dan
kebisinganitu sendiri karena frekuensi harus dianalisa untuk merumuskan
langkah-langkah pencegahan terhadap kebisingan.

2. Studi-studi pendahuluan

a) Sifat dari masalah kebisingan

b) Periode waktu dan berapa sering kebisingan dihasilkan

c) Situasi propagasi

d) Situasi kerusakan

e) Situasi kebisingan latar belakang (Apakah ada sumber-sumber lain atau


tidak)

3. Perencanaan pengukuran

Dalam merencanakan pengukuran, perlu untuk menginvestigasi:

20
a) Titik-titik pengukuran

b) Personalia

c) Peralatan pengukuran

d) Proses-proses pengukuran

e) Metode komunikasi dan sebagainya (Heru dan Haryono, 2011).

Waktu memilih alat-alat pengukuran, perlu untuk mengingat tujuan dari


hasil-hasil pengukuran. Terutama, bila pengukuran adalaha bagian dari invetigasi
untuk langkah-langkah penanggulangan maka perlu diadakan pengukuran-
pengukuran pada titik-titik dimana suara-suara mudah bocor seperti jendela-
jendela, pintu-pintu, kipas angin dan sebagainya (Heru dan Haryono, 2011).

Persiapan -persiapan Pengukuran

1. Peralatan pengukuran

Buatlah daftar dari peralatan yang diperlukan dan terlebih dahulu perisalah
batere, operasi,dan aspek-aspek lain dari peralatan. Juga sediakan kabel-kabel
power yang diperlukan, kertas perekam pengganti, pena-pena, betere-batere, dan
perbekalan-perbekalan lain, dan peralatan penting apa saja seperti tripod-tripod,
takaran-takaran, alat ukur waktu, kamera-kamera, alat-alat tulis, catatan lapangan,
transceivers, dan sebagainya.

2. Dokumen-dokumen

Untuk merekam titik-titik pengukuran dan informasi lain di lapangan,


siapkan dokumen-dokumen lapangan atas dasar peta-peta lingkungan sekitarnya,
dan sebagainya.

3. Lain-lain

21
Diskusikan penempatan personil dan proses-proses pengukuran diantara
personil terlebih dahulu (Heru dan Haryono, 2011).

Tindakan pencegahan dalam pengukuran

1. Catat sebelum pengukuran

Catat tanggal dan waktu pengukuran, lokasi, kondisi cuaca, nama-nama


personil, tinggi mikrofon, lingkup pengukuran, kompensasi frekuensi dari meteran
tingkat kebisingan, kecepatan pencatuan kertas dari perekam tingkat, model
peralatan dan pabrik peralatan

2. Pengaruh angin

Waktu mengukur kebisingan diluar rumah, pasanglah layar pencegah


angin pada mikrofon dari meteran tingkat kebisingan.

3. Tempat pengukuran

Pilihlah lokasi yang tidak dipengaruhi oleh suara yang tidak bergema atau
yang terpengaruhi oleh medan magnetik, getaran-getaran, atau suhu ekstrim atau
kelembapan.

4. Periode pengukuran

Pilihlah waktu yang kebisingan latar belakangnya stabil dan tidak ada
sumber-sumber lainnya yang mempengaruhi pengukuran-pengukuran. Dimana
sumber masalah stabil, kebutuhan pengukuran hanya perlu berlangsung 2-3 menit.
Tetapi, jika tingkat tekanan suara berbobot A sangat berfluktuasi, ukurlah selama
250 detik atau lebih. Apabila ada kebisingan latar belakang dari lalu lintam mobil
atau sumber lain, ukurlah untuk waktu yang disebutkan sebelumnya dalam
periode dimana efek-efek tersebut tidak kelihatan dengan jelas. Terutama bila
sedang merekam, makin lama perekamannya makin baik.

5. Mengatur lingkup

22
Dapatkan ide tentang tingkat tekanan suara berbobot A sebelum
pengukuran, kemudian stel skala penuh dengan kelonggaran tertentu yang
bertanggung jawab atas waktu pengukuran penuh.

Dengan sinyal-sinyal kejutan, puncak bentuk gelombang dapat keluar dari


skala meskipun pembacaan jarum (nilai yang terukur) mungkin tidak. Oleh karena
itu perlu mengawasi lampu pengingat kelebihan beban yang menyala bila suatu
bentuk gelombang memuncak. Langkah pencegahan yang sama diperlukan untuk
perekam audio dan tidak hanya untuk alat-alat pengukuran.

6. Pelihara catatan-catatan selama pengukuran

Dengan menggunakan indera pendengaran seseorang, bedakan antara


suara teaget dan kebisingan lainnya dan buatlah catatan tentang itu pada kertas
rekaman selama pengukuran. Bila lingkungan pengukuran berubah selama
pengukuran, catatlah perubahan ini dalam status dan waktu hal itu terjadi dan
informasi terkait pada kertas rekaman. Misalnya, bila suat mesin berhenti atau
seseorang lewaat di depan meteran tingkat kebisingan, buatlah catatan mengenai
status dan waktu hal itu terjadi pada kertas rekaman.

7. Instruksi kepada orang-orang lain

Peringatkan orang-orang lain untuk tidak membuat suara-suara selama


merekam kebisingan.

8. Catatan-catatan titik pengukuran

Bedakan titik-titik perekaman dengan angka-angka atau cara-cara lainnya


dan terlebih dahulu tandailah hal-hal itu pada dokumen yang disediakan. Juga
masukkan jarak dari sumber, dinding-dinding, dan sebagainya. Untuk mengecek
kembali titik pengukuran sesudah pengukuran, ambillah foto tempat kerja.

9. Komunikasi selama pengukuran

23
Bila daerah perbatasan tidak dapat dilihat sumber, tempatkan seseorang
pada sumber untuk memantau operasi dan seorang lain pada titik pengukuran,
keduanya berkomunikasi dengan transceiver. Bila ditemukan adanya pemucakan
yang tinggi atau kejadian istimewa lainnya pada titik pengukuran maka orang
yang ada di titik pengukuran harus menghubungi orang yang memantau sumber
dan mencatat informasi apa saja yang berguna yang dapat dilaporkan (Heru dan
Haryono, 2011).

Metode pengukuran kebisingan

Metode pengukuran kebisingan meliputi:

1. Melakukan kalibrasi sebelum alat sound level meter digunakan untuk


mengatur kebisingan, agar menghasilkan data valid. Alat kalibrasi dengan
menempatkan kalibrator suara (pistonphon) pada mikrofon sound level meter
pada frekuensi 1 Khz dan intensitas 114 dB, kemudian aktifkan dengan
memencet tombol “ON”, kemudian putar sekerup (kekanan untuk menambah
dan ke kiri untuk mengurangi) sampai didapatkan angka 114.

2. Mengukur kebisingan bagian lingkungan kerja, dengan cara alat diletakkan


setinggi 1,2 sampai 1,5 meter dari alas lantai atau tanah pada suatu titik yang
ditetapkan.

3. Angka yang terlihat pada layar display dicatat setiap 5 detik dan pengukuran
dilakukan selama 10 menit untuk setiap titik lingkungan kerja.

4. Setelah selesai alat dimatikan dengan menekan tombol “OFF”.

5. Data hasil pengukuran, kemudian dimasukkan ke rumus :

Leg = 10 log 1/N [(n1 x 10L1/10) + (n2 x 10L2/10) + …..+ (nn x 10Ln/10)]

Keterangan :

Leg = tingkat kebisingan ekivalen (dB)

24
N = Jumlah bagian yang diukur

Ln = Tingkat kebisingan (dB)

nn = Frekuensi kemunculan Ln (tingkat kebisingan)

(Arum Dian Pratiwi, 2016)

25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Bising diartikan sebagai bunyi yang tidak dikehendaki yang bersumber dari
aktivitas alam seperti bicara dan aktivitas buatan manusia seperti penggunaan
mesin. kebisingan adalah bunyi atau suara yang tidak di kehendaki dan dapat
menganggu kesehatan, kenyamanan serta dapat menimbulkan ketulian.

2. Contoh kasus bising: Dampak Intensitas Kebisingan Terhadap Gangguan


Pendengaran Petugas Laundry, Kebisingan Akibat Arus Lalu Lintas Di
Pemukiman Kota Pontianak (Studi Kasus : Pemukiman Sungai Raya Dalam
Kecamatan Pontianak Tenggara), dan Kebisingan Pada Kapal Motor
Tradisional Angkutan Antar Pulau Di Kabupaten Pangkajene.

3. Dampak bising terdiri atas dampak auditory dan dampak non auditory.

4. Alat yang digunakan untuk pengukuran intensitas kebisingan adalah sound


level meter (SLM).

5. Cara mengukur kebisingan : Melakukan kalibrasi sebelum alat sound level


meter digunakan, Mengukur kebisingan bagian lingkungan kerja, Angka yang
terlihat pada layar display dicatat setiap 5 detik, Setelah selesai alat dimatikan
dengan menekan tombol “OFF”, dan Data hasil pengukuran, kemudian
dimasukkan ke rumus.

3.2 Saran

Adapun saran yang dapat kami berikan yakni :

26
1. Meningkatkan upaya pengendalian kebisingan di tempat kerja sangat perlu
dilakukan dan apabila cara-cara pengendalian idak efektif maka digunakan
penggunaan alat pelindung diri.

2. Sebaiknya periksaan telinga yag berpotensi tuli disebebkan oleh


kebisingan dilakukan sedini mungikin mengingat sering terpapar
menyebabkan ketulian.

27
DAFTAR PUSTAKA

Alsey, Ferdyana Annisaa.,dkk. 2016. Analisis Tingkat Kebisingan Akibat Arus


Lalu Lintas Di Pemukiman Kota Pontianak (Studi Kasus : Pemukiman
Sungai Raya Dalam Kecamatan Pontianak Tenggara). Hal: 1-10.

Anizar. 2009. Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Industri. Yogyakarta:


Graha Ilmu.

Baharuddin., dkk. 2012. Kebisingan Pada Kapal Motor Tradisional Angkutan


Antar Pulau Di Kabupaten Pangkajene. Jurnal Riset dan Teknologi
Kelautan (JRTK) Volume 10, Nomor 2, Hal: 225-232.

Bising PLTSa [homepage on the Internet]. 2008. Available from: www.gedehace.


blogspot.com/2008/04/bising pltsa,html.

Dewanty, Rindy Astike., Sudarmaji. 2015. Analisis Dampak Intensitas Kebisingan


Terhadap Gangguan Pendengaran Petugas Laundry. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Vol. 8, No. 2 Juli 2015: 229–237.

Djoyodiharjo B, Sukrawinata T. 1993. Strategi pemeriksaaan dan rehabilitasi


pada gangguan dengar oleh bising. M.K.B

Gabriel JF.1996. Fisika Kedokteran. Jakarta: EGC XV.

Gartner LP, Hiatt JL. 2007. Color textbook of histology 3rd edition. Philadelphia:
Saunders Elsevier. p. 529-33.

Hani AR. 2010. Fisika Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Heru., Haryono. 2011. Hygiene Lingkungan Kerja. Bantul: Media Cendikia Press,
Jogjakarta.

Junqueira LC, Carneiro J. 2005. Basic Histology text & atlas 11th edition. New
York: McGraw Hill Lange. p. 471-3

28
Komnas Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian. 2013. Gangguan
Pendengaran. Jakarta: Komite Nasional Penanggulangan Gangguan
Pendengaran dan Ketulian.

Pratiwi, Arum D. 2016. Buku Ajar Higiene Industri. FKM UHO.

Ramdan, Iwan M. 2013. Higiene Industri. Sleman: Penerbit Bimotry.

Sastrowinoto. 1985. Penanggulangan dampak pencemaran udara dan bising dari


sarana transportasi
Tekriwal, Rini. 2011. Noise Induced Hearing Loss-A Comparison Between
Speech Frequency And 4000 Hz Frequency. National Journal Of
Physiology, Pharmacy & Pharmacology. Vol 1, Issue 2. Hal: 79-85. India.

29

Anda mungkin juga menyukai