TAHUN 2020
Oleh
NIM 172303101005
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2020
BAB 1 PENDAHULUAN
Anemia akan berat lagi apabila fungsi ginjal menjadi lebih buruk lagi tetapi apabila
ginjal sudah mencapai stadium akhir , anemia akan relative menetap. Anemia merupakan
kendala yang cukup besar bagi upaya untuk mempertahankan kualitas hidup pasien gagal
ginjal kronik (Lewis, 2017 dalam Agustina dkk, 2019) Anemia terjadi pada 80-90% pasien
gagal ginjal kronik yang mengalami hemodialisis. Anemia pada gagal ginjal kronik
terutama disebabkan oleh defisiensi hormon eritropoietin. Defisiensi besi merupakan
penyebab anemia kedua terbanyak pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
hemodialisis. Anemia defisiensi besi pada pasien gagal ginjal kronik terutama disebabkan
oleh asupan nutrisi yang kurang, gangguan absorbsi, perdarahan kronik, inflamasi atau
infeksi, serta peningkatan kebutuhan besi selama koreksi anemia dengan terapi
Eritropoietin Stimulating Agent (ESA) (Felix Suyatno dkk, 2016). Anemia yang terjadi
pada gagal ginjal kronik karena penurunan suplai oksigen ke seluruh tubuh akan semakin
menurun, sehingga dapat menurunkan pengiriman oksigen mengakibatkan perfusi jaringan
perifer dan terjadi kelemahan fisik menganggu sejumlah aktivitas fisiologi, sehingga
meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas (Kiswari, 2014). kelemahan yang
menyebabkan penderita tidak dapat beraktivitas secara normal, yang diakibatkan oleh
menumpuknya sampah metabolic hingga anemia yang dapat menyebabkan penurunan
fungsi fisik yang kemampuan aktivitas sehari-hari hingga muncul masalah keperawatan
intoleransi aktivitas (sodikin, 2015) .
Menurut data World Health Organization (WHO), penyakit gagal ginjal kronik
sudah menyebabkan kematian pada 850.000 orang setiap tahunnya. menunjukkan bahwa
penyakit gagal ginjal kronik tersebut menduduki peringkat ke-12 tertinggi sebagai
penyebab angka kematian di dunia, persentase penyakit gagal ginjal kronis di Indonesia
masih lumayan tinggi. Yaitu sebesar 3,8 persen pada tahun 2018, dengan kenaikan
sebesar 1,8 persen dari tahun 2013 (Riskesdas, 2018).
Prevalensi ginjal kronik pada tahun 2017 sebesar 10% populasi dunia pada
penyakit ginjal kronik menempati urutan ke 18 dari daftar urutan penyakit penyebab
kematian di dunia lebih dari 2 juta orang diseluruh dunia yang sangat ini menerima
pengobatan dengan dialisis dan transplantasi ginjal (National kidney foundation, 2015
dalam Sholika,M, 2019). Prevalensi gagal ginjal pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi
dibandingkan dengan perempuan (0,2%). Berdasarkan karakteristik umur prevalensi
tertinggi pada kategori usia diatas 75 tahun (0,6%), dimana mulai terjadi peningkatan
pada usia 35 tahun ke atas (kemenkes, 2017)
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh mahasiswi Universitas Jember
kampus Lumajang tahun 2018 ( Wahyuni Meidayanti) di RSUD dr.Haryoto Lumajang
didapatkan pasien gagal ginjal kronik yang di rawat di ruang melati selama bulan Januari
sampai April pada tahun 2018 sebanyak 102 pasien.
Intoleransi aktivitas pada gagal ginjal kronik terjadi akibat anemia yang dapat
terjadi karena saat ginjal mengalami kerusakan ,produksi eritropientin akan berkurang ,
(sanjaya dkk, 2016) . anemia pada gagal ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin
turun kira kira 40ml/mnt/1,73m2 dari permukaan tubuh. Laju filtrasi glomerulus akan
menurun dengan progresif seiring dengan rusaknya nefron. Eritropoetin merupakan
hormone yang dapat merangsang sumsung tulang untuk memproduksi sel darah merah
sehingga jika produksi eritropoetin menurun maka akan terjadi penurunan pembentukan
sel darah merah dalam darah yang secara langsung mengakibatkan kadar hemoglobin
dalam darah semakin rendah dampak yang ditimbulkan yaitu suplai oksigen dalam darah
akan menurun maka terjadilah anemia yang disertai kelemahan dan keletihan , anemia
yang yang terjadi pada gagal ginjal kronik biasanya jenis normokrom normositer dan non
regenerative (Kiswari, 2014) intoleransi pada penderita gagal ginjal kronik dapat
menyebabkan penurunan fungsi fisik dan kemampuan aktivitas sehari hari , seperti
kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar hingga muncul masalah lainnya yaitu deficit
perawatan diri hingga gangguan fungsi peran (Judith, M. 2012). Dampak intoleransi
aktivitas tersebut dapat dicegah dengan diberikannya intervensi keperawatan yaitu terapi
aktivitas hingga menejemen energy untuk melatih kemampuan aktivitas pasien , serta
diperlukan pemberian health education pada klien tentang latihan aktivitas bertahap
(Kozier, 2010)