Anda di halaman 1dari 281
NaS oO ° OG “Karena cetiap orang TEM ar ear ean lla Aletheia Agatha Fireflies “Karena Setiap Orang Punyw Cahayanye Sendir’ Aletheia Agatha Me “8 ? { | w 3¢ 4 * w % ‘ vu S fn we ste “8 ots a8 ae Firefliey Hak Cipta © 2013 Pada Penerbit Edu Penguin Penulis : Aletheia Agatha Penyunting : Tim Edu Penguin Tata letak : Tim Edu Penguin Cover : Tim Edu Penguin Redaksi : Edu Penguin Perumahan/Cluster Michelia. Michelia 10 No. 7, Gading Serpong, Tangerang. Telp. 0818995906, 081212603002 E_mail: edupenguin@yahoo.com Distributor : Gramedia Distribusi Business Development Department Gramedia of Book Publishing Gedung Kompas Gramedia Blok I It. 3 Jin, Palmerah Barat No. 29-37 Jakarta 10270 Telp. (021) 53650110/11 ext. 3903 Faks. (021) 53698038 Cetakan Pertama, Juni 2013 Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. Katalog Dalam Terbitan (KDT) Fireflies/Aletheia Agatha Penyunting: Tim Edu Penguin, Cet.1Tangerang; Edu Penguin, 2013 280 him; 13 x 19 cm ISBN 602-17777-1-9 ISBN (13) 978-602-17777-1-8 1. Fireflies I, Judul Il, Tim Edu Penguin 2 Katalog Dalam Terbitan THANKS TO... ‘be Kristus, ayah, penyelamat, pembimbing kehidupan yang akan selalu jadi yang terutama dalam hari-hariku. wy ‘yah dan ibuku yang tidak pernah bosan menanyakan kabar, yang selalu mendukung impian serta cita-citaku. Tanpa kalian, tidak akan ada aku yang sekarang ini terus berusaha menekuni apa yang sudah kujalani. Untuk ayah yang baik hati juga ibu yang paling cantik sedunia. Leniv, si Pendiam yang selalu menemani ceracauanku di malam hari. Tanpamu aku takkan “utuh”. Sahabat-sahabat yang senantiasa mewarnai hari- hariku: Kiky yang penuh canda tawa, Katrin yang sederhana dan baik hati, juga Sherina si Cantik yang penyabar. Nastiti, sobat semasa kecil yang sampai sekarang terus menularkan “kegilaannya”. Tak lupa dengan teman- teman sekelas satu jurusan. You're the best. Sepupu-sepupuku yang lucu: Kak Yogi, Kak Andre, Grace, dan Mbak Reni. Texan -teman dari komunigas kemudian.c Big thanks buat si Momed, Bang Ichi, Mbiile A bersyukur jaga punya bafiyak teman dari rumah hijawyang telah kuanggap seperti saudara: Shin, NirrfyalayDemcter, ww Ennab, Lana Lang, Fiefie, Dandi, Lazu. Berkat kalian, hasrat menulisku akan selalu ada dan bertumbuh :3 My high school friends, di mana pun kalian berada, aku tetap ada di sini dan mendoakan kesuksesan kalian ©. Special buat Kak Beti yang sangat baik hati >.< yang sudah mengenalkanku pada Mbak Rully. J Jove you all. Terakhir para pembaca yang telah meluangkan waktunya untuk membaca novel ini. Zhank you very much Jor reading my first novel. Semoga akan semakin lebih baik nantinya. 3% pa) Salam hangat, Aletheia Agatha PROLOG “Aku tak pernah menyukai hujan,” katanya. “Kenapa?” “Karena setiap hujan turun, aku selalu teringat akan seseorang yang sedang menangis di sana. Jika hujan datang dengan disertai petir, maka tak jarang listrik akan mati. Lalu dia... akan meringkuk sendirian di pojok kamarnya dengan badan gemetaran.. berharap seseorang akan mendekap dan menenangkannya.” Gadis i itu tersenyum. “Katulal seseorang itu.. “Mungkin | saja.” Laki-! Jaki diz sampingnya iut tersenyum. “Tapi di teyypat lain... ada seskoran, dengan ke¥€piannya, menikmati jikalau oie \d ae karena dia pernah berkata kalau ada sesuatu di luar sana yang akan tampak indahnya jika dilihat dalam suasana gelap.” Hening. “Karena dia memiliki cahayanya sendiri, serupa api di lilin kecil... Aku baru menyadari kalau cahaya itu telah ada di matanya. Seperti saat ini.. aku melihat lilin-lilin kecil menyambut seseorang pembawa cahaya itu, yang kubawa hari ini... ke sini...” » eM 4 +t sh x 3 “ 3 * se < * * SATU “« Mbak Rosa, coba ke sini sebentar deh,” panggil seorang wanita setengah baya yang duduk di meja besar samping pintu masuk. Dia sedang memegang selembar kertas berwarna merah muda yang sedikit kusut. “Ada apa, Bu Andang?” tanya Rosa yang lalu berjalan menghampirinya. “Ini, Mbak.. ada dua buku yang telat dikembalikan padahal sudah lewat lima bulan lho. Apa nggak sebaiknya rumahnya didatengin sekalian ya, Mbak?” Rost méhgambil catatan itu dan membacany¥a dengan mengerutkan kening. Di sda tertulis ada dua buku yang masih tergoleng baru, dipinjamy4 ‘dan| sampa \ 6 sekarang b¢fim dikembalikan. Jatuh tempo pepe Fn as 2 y sudah lewat lima bulan. Kalau orang itu datang mengembalikannya, entah berapa besar biaya denda yang harus dia bayar. Itupun kalau dia memang punya niat mengembalikannya. Rosa paling jengkel kalau ada kasus satu itu terjadi di perpustakaannya. Bisa saja orang itu ingin memiliki kedua buku yang baru itu, dan ia jelas tak ingin mengembalikannya, maka dari itu diapun kabur entah ke mana supaya tak terlacak pihak perpustakaan. Tapi semoga saja tidak. “Sudah dihubungi nomornya?” tanya Rosa. “Sudah, Mbak. Tapi nggak aktif.” Menghela napas panjang dan menggaruk bagian belakang kepalanya, Rosa mulai gusar. Sepertinya dia memang harus membuat surat peringatan pada alamat yang bersangkutan supaya orang itu segera mengembalikan buku yang dia pinjam. “Saya yang akan urus ini. Bu Andang silakan lanjut menyampul buku-buku baru saja,” putus Rosa tak lama kemudian. “Tya, Mbak,” jawab wanita yang sudah agak berkeriput itu lalu larut lagi dalam tumpukan buku-buku tebal. Rosa membawa catatan itu dan besjalanske arah ngan “tertutup yang letaknya ada di paling ujung {em perpustiléan yang baru saja berdiri setengah } tahun falu ini. Melewati mejakayu yang shelum lama dipelints, Hig, ymengambil lagi cangkirnya ‘Yang berisi wt kopi krim yang tinggal setengah. Memang kopi itu tak lagi hangat, tapi Rosa tak akan pernah mencuci cangkir kesayangannya itu sampai isinya habis tak bersisa. Ada sedikit bunyi berderit dari pintu yang dibuka. Sesuai dugaan Rosa, ruangan yang khusus disiapkan untuknya itu lumayan gelap, dan juga dingin walaupun tanpa AC. Saat membuka tirai, gadis itu terbatuk-batuk beberapa kali dan tangannya langsung memegangi dada setelah reda. Hari ini seharusnya cerah, batinnya. Karena memang suasana hatinya sedang cerah. Tepatnya karena malam nanti Haikal berjanji akan mengajaknya makan malam setelah laki-laki itu selesai berkonsultasi dengan dokter pribadinya di Jakarta. Mengingat itu adalah rencananya, seharusnya pagi ini Haikal sudah ada di rumahnya. Rosa tak berhenti tersenyum bahkan ketika dia menyesap kopinya. Baiklah, apa yang hendak dilakukannya tadi? Dua buku yang terlambat dikembalikan, dan Rosa harus membuat surat teguran untuk si Peminjam. Ada-ada saja... Rogge harap itu adalah satu-satunya masalah yang ada di perpustakaannya pada hari ini, Dia masih cu * bisa bersabar karena pikirnya semud%ikan beres nid karena mala nanti tid’ lain adalah buah penantianny. Bayangan Mikal selalu memenuhi beasknyy setiap sak ww 3% 3 Terakhir mereka melakukan kontak adalah tiga hari yang lalu. Haikal meneleponnya dan mengatakan kalau dia ada janji dengan seorang dokter. Rosa mencoba sedikit menenangkan hatinya dengan bertanya secara halus apa yang sedang terjadi, namun seperti biasa laki-laki itu selalu menjawab kalau dia baik-baik saja. Karena tak ingin memberikan beban untuk Haikal soal kekhawatirannya, Rosa hanya berdiam dan meyakinkan diri kalau dia percaya bahwa semuanya memang baik-baik saja. Love of A Life Time, salah satu lagu dari Fire House diputar di salah satu siaran radio pagi itu. Mendengarnya, kecemasan yang sesaat tadi secara tipis menyelimuti perasaan Rosa mendadak lenyap. Sepanjang lagu itu, Rosa tak bisa berhenti memikirkan sosok Haikal di benaknya. Laki-laki dengan sifatnya yang selalu ceria. Setahu Rosa hanya dia laki-laki yang tak pernah gagal membuatnya tersenyum dan tertawa di saat sedihnya. Haikal adalah laki-laki yang begitu baik. Rosa hanya tidak tahu bagaimana cara membalasnya meskipun mereka berdua adalah sepasang kekasih. Kadang dirinya merasa kalau Haikal menyembunyikan sesuatu darinya. Eatah apa.g est Rosa® menghentjkan jarinya yang mengetik. padahal anya smnenulisan nama si Peminjam. Kepalanya njengleh ke’ samping, memandépg: keluar jendela. Di luar nlenduhg, pagghals setahunya tadi ketika bangtin, matahari ws 10 bersinar normal. Rosa tidak tahu apa yang mendadak ada di pikirannya. Hanya saja sepertinya awan mendung itu dikarenakan sesuatu atau seseorang... i “Tidak bisa hari ini, Fano... aku punya janji dengan seseorang hari ini. Aku sudah bilang iya kemarin lusa,” kata seorang gadis berambut ikal panjang yang langsung membuat laki-laki di hadapannya diam dengan raut wajah kecewa. Gadis itu menolaknya dengan wajah sedikit menyesal tapi tidak mengucapkan kata maaf. “Lain kali saja,” tambahnya. Fano memaksakan sedikit senyumnya karena tak ingin membuat gadis itu benar-benar merasa bersalah. Sabrina telah berpenampilan rapi dan begitu cantik saat Fano menemui gadis itu di rumahnya. Dia memang telah merencanakan akan pergi saat akan menjelang siang hari itu. Dia juga bahkan membuka pintu depan rumahnya sebelum Fano sempat mengetuknya. Fano kecewa karena dia terlambat mengajak Sabrina untuk menemaninya membeli sesuatu sebagai hadiah temannya yang akan berulaniy? tahtin. Dia memaklumi sesuatu yang serigg sekali dilupakannya. Hanya kurangsmemperkirakan FN rs We semacam ini. ae 3 | ae n“ { | id 32 1 qe w Ww + Sabrina adalah gadis yang sangat istimewa. Wajahnya berbentuk oval dengan sepasang mata almond yang indah serta bulu matanya yang lentik. Pipinya bulat dan selalu merona cantik. Rambut Sabrina panjang dan ikal. Keningnya sedikit tertutup dengan poni rata yang tipis. Begitu memesonanya dia sampai Fano bertekad kalau sampai kapan pun, dirinya atau orang lain tidak boleh membuat gadis itu kecewa atau bersedih. “Oke, lain kali saja,” tanggap Fano sambil tersenyum tipis. “Memangnya mau ke mana? Sama siapa?” Sabrina masih resmi berstatus sebagai pacarnya, jadi Fano berhak bertanya. ‘Jalan-jalan sama temen. Entahlah ke mana,” jawab Sabrina singkat. Gadis itu melihat jam tangannya dan seketika membentuk mulutnya menjadi “o”. “Kalau nggak cepat-cepat, aku bisa terlambat!” “Ya sudah, berangkat gih,” kata Fano mencoba menenangkannya. “Oh ya, Fano, mumpung kamu ada di sini. Aku boleh minta tolong?” “Minta tolong apa?” ‘ Dengan, terburu-buru Sabrina mepogols tasnya 1 merigeluarkan dua buku yang lumayan tebal. Dia alco bend itu pada Fano, membuat cowok itu nhenerimana dengan wajah birtgting. a9 e ah “Kamu bisa kan mampir di perpustakaan sebelah Sekolah Luar Biasa depan Rumah Sakit Keluarga Sehat? Aku selalu lupa mengembalikannya. Jadi...” “Aku ngerti kok,” potong Fano. “Dikembalikan saja kan?” “Makasih, kamu baik sekali,” ucap Sabrina senang. “Oke, aku pergi dulu ya. Jangan lupa telepon aku nanti i Rosa berhasil menyelesaikan dua lembar surat malam! Bye!” teguran yang dikerjakannya diselingi dengan mulutnya yang terkadang selalu menguap karena kantuk. Gadis itu langsung mencetak keduanya tanpa menunda lagi. Menunggu sesaat sebelum dua kertas itu selesai dicetak, dia melirik ke samping dan menemukan cangkir kopinya telah kosong. Belakangan ini kantuknya semakin parah. Jam dinding menunjukkan pukul setengah dua belas lebih sedikit. Bahkan belum tengah hari tapi dia sudah ingin tidur lagi. Rosa sangat membutuhkan dua hal: oksigen dan kafein. Wksigen akan secara maksimal didapatkan keti}ga dia keluar ruangan selama beberapa menit untuk sea angin. Tapi dia tak bisa, ynelakukannya sekagang. |Banyak |) 3 buku yang faarus ditataita dengan rapi hari inj. Thottathe Fn as 2 £3 telah mengirimkan banyak sekali buku kemarin, dia tak bisa membiarkan buku-buku itu disusun secara asal-asalan di lantai, sakit matanya jika melihat hal itu. Para staf yang lain memang selalu siap membantunya dengan memberi label pada buku-buku itu, menstampel, memberi sampul plastik supaya tahan lama, atau bahkan menjahit beberapa, tapi Rosa tetap ingin sebagian besar pekerjaan itu dia yang melakukannya. Maka dari itu sepertinya dia masih harus tetap tinggal di tempat itu sampai sore. Lulus dengan predikat cum laude program sarjana Ilmu Perpustakaan, setahun setelahnya Rosa mewujudkan keinginannya sendiri untuk mendirikan sebuah perpustakaan. Ayahnya yang merupakan seorang pengusaha sukses di bidang properti mendukung penuh rencana putri semata wayangnya itu. Dia yang telah membantu Rosa dalam hal keuangan sehingga gadis itu sama sekali tak punya kesulitan soal dana. Namun berbeda dengan para sepupunya yang langsung melanjutkan $2 ke luar negeri, Rosa memilih bekerja dulu setidaknya setahun, baru setelah itu dia akan mempertimbangkan akan melanjutkan program magister atau tidak. dia tidak tinggal terlalu jauh daxj perpatstakaan ya; Rosa mengontrak sebuah rumah tidak jauh dari » {ow U kurganya jath lebih kecil dari rumah keluarganya | yang, tleedt belasan kilometerSfaraknya dari Kiapusat kota. Rosa sama sgkali tak mempermasalahkanny&> Dia justru wt Le menyukai lingkungan tempat tinggalnya. Rumah mungil bercat cokelat cerah itu tampak asri dengan banyak pot- pot kecil tempat tumbuhnya berbagai bunga, khususnya mawar. Gadis itu suka bertaman jika pekerjaannya selesai lebih cepat dan dia bisa pulang lebih awal. Kalau sudah begitu, sesorean dia akan membuat hampir sekujur tubuhnya kotor karena tanah. “Mbak Rosa.” Sebuah suara memanggilnya. Ketika menelengkan kepalanya ke pintu, Rosa melihat Susi melongokkan kepalanya ke dalam. “Sepertinya Mbak musti keluar sekarang deh...” “Ada apa?” Rosa mengangkat alisnya lalu beranjak dari tempatnya duduk. “Anu... Bu Andang lagi sama... pengunjung cowok...” “Cowok?” “Ttu... kayaknya Bu Andang tadi sempet bilang kalau buku yang telat dipinjam sampai lima bulan itu...” Susi belum menyelesaikan kalimatnya tapi Rosa langsung tahu akan ke arah mana informasi itu. Cepat- cepat dia mendatangi pintu untuk keluar dan melihat si Pengunjung yang dimaksud. Negak myngkin itu dia, batin Rosa. Seharusnya yang mengembalikan dua buku yang terlalu lama dipinjam j adalah perempuan. Kecuali kalau pedlik naga Villa >) Sabrina Tighro adalah sSrang laki-laki. * / 5 fun ww 30] i Rosa sempat merasakan jantungnya memacu dua kali lebih cepat selama beberapa detik ketika laki-laki itu menyadari kalau dia telah diperhatikan dari kejauhan, dan sekarang mata yang tajam itu tengah menatapnya. si, se a4 a 7. - > 16 DUA Fano melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi sepulangnya dari rumah Sabrina. Setidaknya itu bisa sedikit mengurangi rasa kecewanya karena penolakan Sabrina untuk ajakannya tadi. Gadis itu bilang kalau /ain hali dia mungkin bisa menemaninya pergi. Tidak ada suatu apa pun yang mampu mengukur betapa kecewanya Fano yang merasa dirinya bahkan telah diabaikan beberapa bulan terakhir ini. Seipgat Fano, sesuatu yang dia simpan baik-baik di memorfotakriya tentang kenangan semasa kécil, Sabritfa adalah seorang anak perempuan yangsmanis, dan bagiflya waktu itu, dirinya memiiki senyum polos sepérti peorang | gadis kecil fgda umumnya. Dia yang amat san; i paving . 2 LT o oleh sang Ayah. Sabrina sangat takut dengan yang namanya kegelapan. Pernah suatu kali, Sabrina menubruk Fano ketika listrik mati di sebuah museum yang mereka kunjungi sebelum waktunya makan malam. Tubuh mungil gadis itu gemetaran dan memeluk badan Fano erat-erat. Sesaat kemudian tangisnyapun pecah. Mata Sabrina memerah dan bulir-bulir air mata mengalir membasahi pipi merona gadis itu. Tetes-tetes air yang indah bagi Fano, namun sekaligus menyakitkan mendengar isak tangis Sabrina yang gemetar ketakutan seperti kelinci percobaan. Penyebab trauma Sabrina yang begitu besar terhadap tempat yang gelap gulita merupakan satu kesalahan terbesar yang pernah dilakukan Fano. Murung. Mood-nya bahkan semakin buruk saat melihat langit. Belakangan ini memang sering sekali hujan. Fano tak pernah menyukai hujan. Jalanan menjadi becek, kadang hawa dingin menyiksanya, dan juga ketika bertambah deras, Fano seperti dirantai untuk tidak bepergian. Semua tentang hujan sama sekali tidak disukainya, kecuali dua hal: aroma tanah basah setelahnya, dan pelangi, itupun juga kalau muncul. = 3% Sepdtong hati akecilnya entah kenapa agak terhibur fo mendyng pagt® ‘itu. Entahlah, Langit itu sepertinya bertanggang! rasa dengan mépgikuti suaggna hatinya sekarang, Baiglah, batin Fano, Mau hujan badét sekalipun, * wt 18 dia tak peduli. i "Van... Sab, mendungnya nggak asyik nih! Bentar lagi pasti hujan deres banget deh!” omel Adel dengan terus berdecap sebal. “Mau diapain lagi sth, Del? Biarin aja napa! Daripada panas trus kringetan? Th, nggak deh!” sahut Boni dengan gelagat feminimnya. Tiba-tiba Adel menghampiri sofa dan mengambil bantal kecilnya. Langsung saja benda kotak nan empuk itu melayang ke muka Boni. “Dasar tukang mandi!” “Daripada tukang ngomel?” Boni tak mau kalah, dia menjulurkan lidahnya. Adel tersulut. Namun ketika dia akan melemparkan satu bantal lagi pada Boni, Sabrina angkat bicara. Gadis itu yang semenjak tadi duduk gelisah dekat jendela depan mulai terusik oleh tingkah mereka berdua. “Bisa diem nggak?!” bentaknya. “Pagi ini udah bikin gue sebel dan sekarang musti ditambah kalian berdua! Kalau Aggak punya kerjaan, coba kontak temen-temennja si Rama! Kita jadi pergi nggak?!” x2 : iy): Adel dan Boni langgung diam. Reduangg Jala sibuk | dengan podgel masing-1 Masing. + Ne "v in ww 2 19; Berteman dengan Sabrina yang predikatnya adalah “Bunga Kampus”, adalah suatu keberuntungan. Dia populer karena cantik, otaknya encer, dan juga kaya. Banyak hal menyenangkan yang mereka lakukan bersama. Dan rencananya juga pagi ini mereka akan having fun di suatu tempat dengan mengundang seseorang yang tak lain adalah orang yang membuat Sabrina uring-uringan sejak tadi. Baiklah, dia memang cantik, layaknya serupa bidadari. Namun hanya orang yang mau cari mati saja yang membuatnya marah apalagi benci. Gadis itu akan melakukan apa pun untuk mendapatkan hal yang dia inginkan, “Mereka katanya lagi OTW ke sini, Sab. Tunggu aja bentar lagi,” kata Adel. Sabrina mendesah pelan lalu duduk lagi untuk menenangkan emosinya. Laki-laki itu... akhir-akhir ini selalu membuat pikirannya kacau. Berbeda dengan Fano yang cenderung pendiam, laki-laki yang satu ini akan berkata apa pun yang ada di otaknya dengan caranya sendiri. Dia boleh dibilang supel, namun ada-ada saja hal yang membuat Sabrina penasaran. Dari tingkah dan sikapnyg¥selama % Sabrina tahu kalau Rama tertarik padanya. Pasti, tapi wal chum Sabrina fibteu merasa seperti kalau dia justru digantyngkein begitu saja. * “Mbak, maaf, mobilnya sudah datang & lho,” kata st wt 20 bibi pembantu di rumah itu yang otomatis membuat perasaan lega Sabrina membuncah keluar. “Mereka udah masuk?” tanya Boni. “Udah, Mas.” Dan tak lama kemudian tampaklah batang hidung laki-laki yang jangkung namun tegap, memakai jaket jeans gelap. Bentuk wajahnya persegi dan bagian dagunya sedikit menonjol ke depan, nyaris membentuk belahan. Sepasang alis yang tebal miliknya menaungi mata yang bundar, namun melancip di kedua ujungnya. Berbeda dengan kulit Fano yang cerah namun cenderung pucat, kulit Rama lebih sedikit kecokelatan. Berulang kali Sabrina berpikir untuk membandingkan kedua orang itu, tapi dia tak bisa memutuskan badan siapa yang lebih tinggi. Dia rasa tinggi kedua orang itu bahkan setara. Senyum Sabrina melebar, dan dengan rongga dada yang mengembang, gadis itu berjalan cepat mendatangi Rama lalu memeluknya tanpa ragu. Rama memegangi kedua pundak Sabrina, melepaskan diri dari dekapan gadis itu. Senyumnya terbentuk menyebabkan munculnya sebuah lesung di pipi kiri. “Lapa sekali,” kata Sabrina sambil mengerucutkan bibir. Tapi walau begitu senyum di vajahnya tidak bjs *% hilang. Dia ganti mengaitkan kedua tengunnya ? ino Se kanan Rang peg iu ne 2 er 3, “Maaf,” ucap Rama lembut. Kepalanya menoleh ke belakang. “Salahkan saja kedua orang itu.” Sabrina ikut menoleh ke belakang diikuti oleh Adel dan Boni. Ada dua orang laki-laki lagi yang ternyata mengekor di belakang Rama sejak tadi. Salah satunya yang hanya memakai atasan kaos putih ketat—yang menunjukkan lekuk badan indahnya yang terbentuk berkat olahraga rutinnya—langsung tersenyum meringis pada mereka. Dia juga tinggi, walaupun tidak menyamai tinggi badan Rama. Ada setitik tahi lalat yang bertengger manis di bawah mata kanannya, dekat dengan tulang pipi. Sementara yang satunya lagi berbadan lebih pendek walaupun tidak bisa dibilang pendek, alias biasa saja. Wajahnya bundar dengan kedua mata yang sipit ditambah kantung mata yang tipis. Kulitnya berwarna cerah dan sedikit mengilap. Dia masuk dalam kategori “Laki-Laki Cantik” walaupun tak sefeminim Boni. “Kenalkan, yang kaos putih itu Dimas, lalu yang satunya lagi Denis,” jelas Rama. “Mereka temanku satu jurusan. Kami telat gara-gara Denis susah dibangunkan.” Sabrina hanya tersenyum sekilas pada kedua orang itu alu pandangannya beralih lagi pada Ramas, 3% Ri bisa berngkat sekarang?” tanyanya dengan pany megnohon. * real v4, terttu,” jawab Rama. ‘Pagan kirinyg, mengusap atas “kepala Sgbrina. “Aku harap waktu samp di lokasi at wt ae nanti, langitnya cerah.” “Seharusnya hari ini memang cerah,” balas Sabrina senang—tak menyadari sepasang mata memerhatikannya Hi Fano hampir saja akan berbelok ke perumahan lingkungan tempat tinggalnya kalau saja matanya tidak dengan ekspresi aneh. sengaja melirik ke kursi mobil di sampingnya. Dua buku yang tadinya bertumpuk itu sekarang terpisah karena salah satunya telah terjatuh ke bawah gara-gara Fano mengerem mendadak. Untung saja tempatnya berada saat itu bukan kawasan tertib lalu lintas sehingga dirinya tak perlu sampai mendengar lengkingan bunyi peluit polisi yang akan menegurnya. Fano nyaris lupa total kalau tadi Sabrina minta tolong supaya dia mengembalikan dua buku itu ke perpustakaan. Laki-laki itu mendengus dan menggigit bibirnya untuk beberapa saat. Rasanya dia ingin mengunci diri di kamar saja, mengetik sesuatu di laptopnya sambil menyesap cokelat panas. Tapi jelas dia tak mau kalau seumpama Sabrin#Gertafiya soal dua buku itu ada di mana, dan gadis ‘, itu akan kecewa. te (. wy Fano membalikkan, arah mobiinya Tatu kembalt We melaju kengeng dengan’ “fnendahului ieoridacaad laintyang , iu ne 2 5 menurutnya lamban. Benaknya beralih membayangkan suasana perpustakaan. Sepi dan tenang. Selain buku-buku fiksi yang menjadi kesukaannya, dia rasa tidak akan ada hal lain yang akan membuatnya tertarik. Dan benar saja, ketika sesampainya dia ada di sana, orang pertama yang ditemuinya adalah seorang wanita pustakawan paruh baya yang berbadan agak gemuk dengan wajah yang dihiasi pipi yang bergelambir. Sama sekali tak berkesan apa-apa... Kening wanita itu tambah berkerut ketika melihat dua buku yang disodorkan Fano ke mejanya. Kacamatanya melorot. “Telatnya sudah lima bulan lho, Mas. Dibawa ke mana saja bukunya?” sindir wanita itu dengan nada yang sama sekali tidak ramah. “Saya cuma mengembalikan...” “Kalau bukunya sampai hilang kan perpustakaan juga yang rugi. Lain kali tolong dikembalikan tepat waktu ya,” potong wanita itu sambil menuliskan sesuatu di selembar kertas. Sementara wanita itu mengoceh terus dengan tempo lynbat dan, suara yang agak pelan, seoraag gadis yang tuduk tik jauh dari tempat Fano berdiri, beranjak dari empat dudyknya fad berjalan cepat ke arah pintu yang | térletaly di, Bojok ruang utama pérbustakaan i ity, Dia hanya miembika pintu es sedikit kemudian kepalanfi melongok wt 2s ke dalam. Dia sedang berbicara dengan seseorang di dalam sana. “Dendanya banyak banget Iho, Mas...” Wanita itu masih berceloteh, membuat Fano beralih memandangnya lagi dengan mukanya yang ditekuk. “Yakin mau bayar?” Kesabaran Fano habis dan hampir saja dia menyemprot balik wanita itu tanpa berniat membentaknya kalau saja dia tak merasakan ada seseorang yang tengah mengawasinya tak jauh dari tempat itu. Fano menoleh lagi ke arah pintu yang letaknya ada di pojokan ruangan itu, dan benar saja. Dia melihat seorang gadis berkemeja cokelat menatapnya dengan pandangan aneh. Mata mereka bertemu. Kening Fano berkerut. Selesai memikirkan sesuatu—entah apa, gadis itu mendatangi mereka sambil mengulum bibir. Gadis itu berbadan ramping dan tegap. Tingginya hanya sedagu Fano saat mereka berhadapan dengan jarak yang bisa dibilang dekat. Kulitnya kuning langsat bersih bersinar. Wajahnya bundar dengan tulang pipi atas yang berbentuk bulat telur. Kedua alisnya yang tak begitu tebal menaungi sepasang mata almond yang begitu jernih dan bening— nyaris sfrupa gata bayi yang baru lahir. Gadjs itu sedikit mengangkat wajahnya untuk memgndang Faiio, tet, dengan ekspresi sedikit rag. Berhéiiti menguluin SY akhirnya di mulai mentgerlihatkan senyumnya. iu ne 2 ZS Fano seolah merasa kalau dia susah bernapas. Tidak tahu kenapa, senyum itu bagaikan magnet yang juga menarik kedua ujung bibirnya sehingga dia juga menyambut senyum itu. Fano baru menyadari kalau bibir ranum gadis itu begitu indah. Bagian atasnya mungkin sedikit tipis, namun bibir bagian bawahnya berisi. Dua- duanya terolesi neon pink lipgloss yang membuatnya semakin manis. Dia bahkan memiliki sebuah lesung pipi di bagian kanan wajahnya. Sekitar beberapa detik— mungkin—Fano terpaku sendiri pada hal yang menarik perhatiannya pada gadis itu. “Maaf.” Sebuah suara halus mengembalikan kesadarannya. “Apa benar Anda yang meminjam buku- buku ini?” Bahkan suara gadis ini sedikit membuat Fano gemas. “Bukan,” jawab Fano yang mampu menenangkan perasaan aneh yang membuat jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. “Saya cuma diminta tolong untuk mengembalikan buku ini ke sini.” “Begitu...” Gadis itu menggumam dan mengangguk. “Oh, maaf... Saya Kepala Perpustakaan di sini. Nama saya Novembe Rosa,” katanya lagi sambil menynjukk4n name nya.” Ps ' Nopember Rosai® sh Fago tertegun. eg ” Kepala Pexpustakaan? Semuda ini? "1 ew eo 5 nn * * ” 26 “Baru kali ini ya, ke perpustakaan ini?” tanya Rosa ramah. “Iya.” “Karena sudah lama pinjamnya, jadi dendanya juga menumpuk banyak. Tapi karena masnya ini bukan orang yang pinjam.. jadi bagaimana ya?” Kening Rosa berkerut bingung. Fano berpendapat kalau gadis itu sungkan menuntut denda padanya. “Tidak apa-apa. Biar saya yang tanggung dendanya,” kata Fano kemudian. “Benar tidak apa-apa?” tanya Rosa memastikan. Fano hanya mengangguk dan tersenyum. “Baiklah,” putus Rosa lalu menoleh pada wanita paruh baya tadi. “Bu Andang, tolong dihitung ya. Saya musti cek daftar kemarin...” “Tya, Mbak,” jawab wanita itu yang tak lama kemudian sibuk dengan kalkulatornya. Pandangan Rosa kembali beralih pada Fano. Laki-laki itu sampai merasa perlu menahan napasnya. “Kalau begitu, saya permisi dulu. Sampai ketemu lagi kalau berkunjung lain kali.” 1 " fm ae ye aw iu ne 2 Ze TIGA Haka sengaja datang satu jam lebih awal daripada waktu yang dijanjikan. Selama menunggu di meja restoran yang letaknya paling pojok, dia hanya menenggak segelas air putihnya sesekali sambil melihat pemandangan malam di luar lewat jendela berkaca bening dan lebar di sampingnya. Haikal punya alasan tersendiri mengapa dia harus repot-repot menunggu lumayan lama untuk menunggu Rosa datang. Beberapa tahun dekat dengan gadis itu, dia hampir mengetahui semua sifatnya. 7 Terlebih lagi beberapa minggu belakangan mereka jdrang Bertemu, gallis itu juga pasti akan datang lebih awal. \ Halkals Sbegitu merindukanaya. Gadisnya memiliki Nl lui di Pipi kanannya pastilah akan Yyemberikan 17 - > 28 senyum terbaiknya malam ini, karena Haikal tahu rasa mereka sama. Rosa juga merindukannya. Sembari menunggu, benak Haikal tak bisa lepas dari membayangkan Rosa berdiri di depan cerminnya, mematut diri sendiri supaya nanti dia tak terlihat kacau. Haikal bahkan merasa kalau dirinya telah melupakan aroma gadis itu. Aroma mawar yang segar ketika dulu dirinya sering memeluk gadis itu serta membelai rambut panjangnya yang lembut dan indah. Rosa tak memerlukan kosmetik demi menjerat hatinya selama ini. Gadis itu seolah memiliki segalanya. Hal yang selalu menarik hati Haikal, tak pernah sekalipun membuat laki-laki itu bosan. Karena dia indah... Haikal tersenyum, namun di saat yang sama, hatinya seolah tersayat. Sakit. Bertemu Rosa setelah beberapa hari tanpa kehadiran dan senyumnya, seharusnya Haikal senang. Tapi sungguh... apa pun akan rela dia tukar jikalau sesuatu itu dapat menggantikan air mata Rosa yang akan tumpah malam ini. Haikal tidak bisa menundanya lagi. Dia harus mengakhiri semuanya. Pilihan selain itu akan membuat luka digaatinya, dan menghindarkannya dari, ke tenangap yang lebih baik. , x Lama pandangannya mengamifgng dispdafa LN: dingin. Suaga ombak Yerdengar dibarengi “angin yang bergerak hisuk ke ventilasi nuh ity, Dindingnya i. a 2 zy, terbuat dari batang bambu yang menguning. Lampu yang temaram bersinar membuat perasaan Haikal kian terombang-ambing. Sesaat memikirkannya, Haikal baru menyadari kalau gadis itu begitu lama. Tak seperti biasanya. Mendadak dia merasakan tenggorokannya kering. Langsung diambilnya gelas di atas mejanya lalu dia meneguk isinya sampai habis tak bersisa. Memandang gelas yang kosong itu, terselip rasa ragu di hatinya kalau malam ini dia tak akan kuat menahan emosinya lalu terjatuh begitu saja ke liang tak berujung. Hanya kehampaan, dan juga hawa dingin. Detik dan menit berlalu, Haikal mengangkat wajahnya dan hatinya seolah mencelos begitu saja setelah melihat sosok yang ditunggunya masuk, melewati meja kasir. Senyum gadis itu langsung merekah begitu melihat Haikal. Tanpa menunggu lagi, dia menghampiri laki-laki itu dengan senyuman dan rasa senang yang membuatnya makin bersinar. “Sudah lama?” tanya Rosa, menyadarkan Haikal kembali dari lamunannya. Haikal menggeleng simpul. Apa yang ada di benaknya tadi adalah »pikiran yang senantiasa hadir ketikg'melihat sa. Séperti saat ini saja, dia datang setelah Haikal af pooneiliees hati dan jiwanya. Menantikan Waki antuk’ mengakhiri semuanjeé—lebih tepgipya. 2, 30 Dia tampak manis memakai atasan ungu berenda dan scraft dengan warna senada melingkar di lehernya. Rosa juga memadukannya dengan rok selutut berhias pita yang melingkar miring dan diikat dengan manis di samping kiri. Warnanya merah tua cantik serupa mawar. “Maaf, tadi di jalan macet,” katanya sambil menarik kursi di hadapan Haikal, kemudian diapun duduk di sana. “Kamu nggak marah kan?” “Nggak kok. Nggak apa-apa,” jawab Haikal memaksakan senyumnya. Rosa tersenyum lagi. Tapi kali ini dia agak mengerutkan keningnya. Gadis itu merasa ada sesuatu yang salah pada Haikal. Laki-laki itu entah kenapa sepertinya agak kacau. Bukan terletak pada pakaiannya, tapi dari caranya tersenyum, nadanya berbicara, juga sorot matanya yang memandang Rosa. Wajahnya tampak pucat dan lelah. Memang dia Haikal, wajahnya sama persis dengan yang dikenali Rosa. Matanya, hidung, serta bibir laki-laki itu tetap sama seperti dulu. Hanya saja dia seperti sedang kelelahan. Tanpa sadar, tangan kanan Rosa bergerak sendiri menyesth wajah Haikal. Laki-laki itu bergaksi hanya dengan mengerjapkan matanya, namun dia tak sédikit p 4 mengelak dari sentuhan tangan yang’lembut i itu. | yee “Haikal3” Rosa métanggilnya. Suaranya/ terdengar ‘ cemas. “Kathu sakit?” te Ge It ts ° te * Fr i SL Larut sesaat, Haikal mengingat kembali niatnya sedari awal sebelum dia ada di sini. Dipegangnya pergelangan tangan Rosa sementara gadis itu menatapnya bingung. “Aku rasa... kita cukup sampai di sini aja..” Fano berniat menyeduh cokelat malam itu sambil melanjutkan mengetik lanjutan naskah skenarionya saat bunyi telepon di ruang tengah berdering. Setelah mematikan kompor dan membiarkan kemasan bubuk cokelat terbuka begitu saja, dia berjalan malas menghampiri telepon kabel yang minta diangkat itu. “Halo?” “Halo, Fano? Kamu di mana? Lagi sama Sabrina nggak?” tanya seorang wanita di seberang sana dengan nada cemas. Fano tahu suara siapa itu. Ibu Sabrina. “Lagi di rumah, Tante. Sabrinanya nggak ada di sini. Tapi tadi siang katanya dia pergi sama temannya. Dia belum pulang?” “Duh, gimana ya? Tante khawatir nih, udah jam delapan tapi dia belum pulang. Hapenya juga nggak aif” os Fano terdiam sgukup lama sebelum akhirnya dia of menghela lapas panjang untyk menenangkan dirinya séndiri! Di mana gadis itu? Setetfh ibunya yaitg khawatir, * x “ 32 sekarang giliran Fano yang sibuk berpikir kira-kira apa yang dilakukan gadis itu sampai malam-malam begini. Hujan yang akhir-akhir ini sering sekali turun membuat udara di luar seakan mampu menusuk tulang. Bagaimana kalau dia sampai jatuh sakit? “Baiklah, Tante. Biar saya yang cari Sabrina. Tante jangan terlalu khawatir...,” kata Fano walaupun dia sendiri tak terlalu yakin akan berhasil menemukan Sabrina. “Mm... Nanti saya telepon lagi.” Laki-laki itu tak berpikir dua kali untuk segera mengambil jaket serta kunci kontak mobilnya. Dalam kepanikannya kini, otaknya berpikir keras untuk mencari Sabrina. Maka langsunglah setelah menghidupkan mobil, serta menyumpal telinganya dengan earphone, Fano pergi mencarinya. “Maksud kamu apa...?” Rosa sama sekali tidak mengerti apa maksud dari perkataan Haikal. Dia mendengarnya—kalimat yang diucapkan Haikal dengan bibir yang sedikit ‘gemetar. ‘ARteras ita cukup sampai di sini aja..” Tapi Rosa harap yang didengarnya sal ah, 4 i mungkin Haikal sedangybercanda dengannyste | { We “Aku nggak bisa lagiNanjutkan hubungan kita} Sel Haikal a s 32 1 . ds n w 3s 33 “Kamu bercanda,” tukas Rosa tak percaya. Haikal menggeleng pelan. Mukanya yang menunduk perlahan sedikit terangkat dan dia mendapati mata Rosa mulai berkaca-kaca. “Tapi... kenapa...?” “Ini semua salahku,” kata Haikal sedih. “Aku nggak bisa lukai kamu lebih jauh lagi.” “Aku nggak ngerti, Haikal... Jadi selama ini... kamu anggap aku apa..?” Cukup! Haikal mulai tak tahan lagi. Andai bisa,dia akan langsung memeluk gadis itu, membenamkan kepalanya sehingga tangisnya akan pecah dan reda secepatnya. Tapi dia tak bisa melakukannya. Tidak untuk saat ini dan juga seterusnya. Dia harus segera pergi sebelum tangisan gadis itu akan meruntuhkan satu-satunya dinding terakhir di hati Haikal. “Maaf.” Laki-laki itu beranjak dari kursinya kemudian berjalan cepat keluar dari restoran. “Haikal! Haikal!!”. Rosa berseru memanggilnya, namun laki-laki itu tak sekali pun menoleh. Sosoknya ryenghilang. sesudah melewati dinding di depan.sRosa tak a berkita apa puy lagi selain menyebutkan lirih nama Haikal.) |Kedna kakifiya lemas, dan perlahan tubuh mungil gadis, ith hefingsut ke bawah. 3 So Orang-orang yang ada di sana mulai_berbisik membicarakan apa yang terjadi. Dari reaksi Rosa, mereka tahu kalau gadis itu telah lebih dulu dicampakkan. Beberapa di antaranya bahkan memandang Rosa dengan sorot mata kasihan. Rosa menangis. Gadis itu menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan terisak. Dia menyangkal mengetahui apa yang baru saja dialaminya. Hati kecilnya meyakinkan dirinya kalau orang itu bukan Haikal. Dia hanyalah seorang laki-laki yang memiliki wajah sama persis dengan Haikal. Laki-laki yang telah membuatnya merasakan luka yang teramat sangat menyakitkan malam itu. Dan sesaat kemudian tetes-tetes air hujanpun turun.. Je e Ww : ¥ # Je WN JZ tt a * / de "i \ 4 Ww 32 1 te Ww * " EMPAT Di mana dia? Sambil menyetir, pandangan Fano sesekali beralih pada ponsel yang terletak di kursi sampingnya. Dia sangat berharap ponsel itu akan berkedip, bergetar, atau apa pun dari seseorang yang tahu keberadaan Sabrina. Fano sangat mengkhawatirkan gadis itu. Bagaimana kalau ada sesuatu yang menimpanya? Entah sudah berapa kali dia mencoba menghubungi ponsel Sabrina, namun tidak aktif. Gantinya, Fano j juga ritengiri nya pesan singkat secara bertiil tii. Tapi f p saja tidak adasgatupun laporan pesan terkirim. \ Jalanartsudah jomayan lengang. Fano yang tak tahu se frelyjukan mobilnya ke mana lagi, r§fnepi dekat 7. - 36 kawasan pertokoan yang tutup. Dia mendesah frustasi. Kabut uap yang tipis keluar ketika dia mengembuskan napas. Fano kedinginan. Semakin malam suhu udara memang akan semakin turun. Apalagi tetes-tetes hujan sudah terlihat jelas dari kaca mobilnya. Menghela napas panjang, kembali Fano mengambil ponselnya lalu menekan beberapa saat, tombol angka satu. Tersambung. Badan Fano sedikit terperanjat. “Halo?” Suara Sabrina seolah menyiramkan air hangat ke seluruh badan Fano. Begitu leganya laki-laki itu sampai tak mengeluarkan sepatah katapun untuk menyahut Sabrina. “Halo, Fano? “Sabrina...,” gumam Fano. “Di mana kamu?” “Dekat mercusuar...,”jawab Sabrina. “Tiba-tiba hujan, jadi aku berteduh dekat sini.. aku lupa kalau seharian ini ponselku tidak aktif...” “Tunggu di sana.” Fano langsung memutuskan sambungan. Tanpa menunggu apa pun lagi, laki-laki itu segera melajukan mobilnya lagi menuju ke pantai tidak jauh dea sana. Jalan cukup sepi sehingga Fano berapi mengendarai mobilnya dengan kecepatan tingdi. Ha % beberapa menit kemudian dia sampal! a | P\ ’ Setelah, setengah hembanting pintu ynobil., ifu sekeluarny%*dia dari sana, Fano langsung, mdagdarkdn Ne Me Br 7 1 < pandangannya ke sekeliling mencari Sabrina. Dia tak peduli meskipun hujan gerimis langsung mengguyurnya. “Fano!” Sabrina berseru memanggilnya. Fano membalikkan badannya. Matanya mengerjap melihat sosok itu tersenyum sambil memeluk badannya sendiri karena dingin. Dia berada di sebuah gubuk tak jauh dari sana untuk berteduh. Fano berlari menghampirinya. Napasnya memburu. Belum sempat Sabrina mengucapkan satu patah kata, Fano langsung memeluknya erat. Sabrina diam saja menerima kehangatan dari rengkuhan Fano. Benar... dia tak akan bisa meninggalkanku. Aku yang utama. Membalas pelukan Fano dengan menyandarkan kepalanya ke bahu laki-laki itu, Sabrina tersenyum penuh arti. ui “Dia lumayan juga,” komentar Dimas sambil menyulut rokok. “Ya, tapi menurutku dia juga over acting. Cerewet sgkali,” sambung Denis ketus. Dia mengiimbifyéetoples . rm lalu membula, tutupnya dan mengambil beberapa ae) st hatang| 3} ro 35 “ 38 Rama tak menyahut. Dia sibuk mengutak-atik kameranya, memastikan tidak ada bagian-bagian yang hilang. Fisik Sabrina boleh dibilang sempurna untuk menjadi model dari objek yang dia butuhkan. Gadis itu seolah telah memiliki kemampuan seorang model profesional dalam mengatur gaya serta ekspresinyadidepan kamera. Beruntung Sabrina bersedia menjadi model tanpa syarat ketika diminta. Rama benar-benar tak bermaksud apa-apa dengan menjadikannya sebagai model. Dia hanya memanfaatkan gadis itu demi memenuhi hobinya. Tidak lebih. “Dia sudah punya pacar?” tanya Dimas kemudian. Rama mendengarnya. Dia menatap Dimas sekilas lalu mengangkat bahu. Denis juga memandang Dimas tapi dia tersenyum sinis. “Yang benar saja. Baru tadi lihat orangnya udah mau disambar?” tanggap Denis sinis. “Aku cuma nggak nyangka aslinya bahkan jauh lebih cantik daripada yang di foto.” Dimas tertawa kecil. “Nggak ada salahnya kan?” Denis berdecap. Dia menaruh lagi toples yang dipegaxfgnya xe atas meja. Badannya beranjak dari sana dengan terlebih dulu melengos. Wajahny: aditekitk. “Dari tadi gitu terus mukanya.” *Dimas prenggel ng heran. Kepglanya mertateh pada Rama. “Pahul nggak } kenapa” * a] nw Be i) lle a Rama memutar bola matanya serta menggeleng. Ketika dia akan membongkar memori kamera itu, ponsel yang ada di saku celananya tiba-tiba bergetar. Rama langsung mengambilnya dengan tangan kiri. Ada panggilan masuk dari Haikal. Ada apa? Batinnya dengan kening berkerut. “Osh! Halo, Kal,” sapa Rama. “Rama, aku mau minta tolong.” Suara Haikal terdengar serak di sana. “Minta tolong apa?” “Tolong jemput Rosa... Dia ada di restoran pantai dekat mercusuat...” “Kenapa aku?” “Aku mohon, Rama.. nantinya kamu juga akan tahu. Tolong jemput Rosa...” Rama akan bertanya lagi tetapi Haikal telah memutuskan sambungan. Firasat aneh menyelinap di pikirannya. Beberapa menit dia memikirkan sesuatu, menebak apa yang terjadi. Dia menekan lagi tombol ponselnya untuk mengontak Haikal namun nomor itu telah tidak aktif. % \ Nanti gadis ity langsung muncul dalam benaknya. co f tae kembili. Rama langsung mengenakan lagi jdketny, lait’ 1 pergi keluar. x 7h “ sh +“ 40 “Hei! Mau ke mana? Hujan, woi!” seru Dimas mengingatkannya namun Rama tak memedulikannya. Hujan yang turun langsung mengguyur Rama yang menghampiri sebuah motor tiger hitam. Dia tak mengenakan mantelnya, hanya memakai helm alu segera pergi dari sana. Hanya dalam beberapa menit, dia sampai di restoran yang tadi diberitahukan Haikal. Tanpa melepaskan helmnya, Rama mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk menemukan Rosa, dan dia akhirnya melihatnya. Gadis itu duduk sendirian di kursi panjang depan restoran yang telah sepi. Rama lega melihatnya. Namun dahinya berkerut mendapati pipi Rosa basah, bukan karena hujan, melainkan air matanya sendiri. “Rosa...” Rama memanggilnya. Rosa menoleh ke samping. Melihat wajah Rama dari kaca helmnya yang sebagian terbuka, bibir gadis itu kembali bergetar. Matanya lagi-lagi mulai berkaca-kaca, dan tak berapa lama kemudian bulir-bulir air matanya jatuh. “Hei... laki-laki itu mengusap pelan bahu Rosa. Ketika gadis itu ” Rama berlutut memandang wajahnya. Tangan terisak,’Rama; tak berpikir dua kali untuk mpemeluknyg. “Negak apa-apa... ada aku.. meninges sepuasifu... om ae aN a] nw Be "| Ky dari persewaan?” ¢ LIMA « Mbak Rosa, omong-omong... matanya kenapa?” tanya Susi setelah memberikan secangkir teh hangat pada Rosa. Dahinya berkerut samar. “Ah, ini... semalam begadang nonton film romantis,” jawab Rosa berbohong. Dia juga memaksakan senyum serta tawa kecilnya supaya terdengar meyakinkan. “Oh... pasti sad ending ya, Mbak?” “Iya” ce apa sih? Jadi pengen nonton jUBR, , kapan- I&pan.” .. Pd Judule Eh, akw-tupa. Nggak aku inget sih judulnya.” \ “Yah... Mbak Rosa nontonnyg di bioskop atau pinjem 4h * x 7. - >, ek “Dari persewaan,” jawab Rosa cepat. “Kalau mau pinjam, tanya aja sama yang jaga. Pokoknya film romantis bikin nangis begitu.” Susimengangguk dan tersenyum. Sesuai harapan Rosa, gadis itu percaya saja dengan kata-katanya. Seperginya Susi dari ruangan itu, Rosa menghela napas panjang. Kepalanya masih pusing akibat menangis semalaman. Tadinya Rosa ragu untuk berangkat kerja. Pagi-pagi sewaktu bangun, dia melihat ke cermin dan mendapati wajahnya berubah mengerikan. Matanya masih merah, dan kantung matanya membesar. Dia memang tampak kacau balau, maka tak mengherankan kalau Bu Andang dan Susi serta staf yang lain melihatnya dengan ekspresi heran. Syukurlah Susi percaya alasannya tadi. Gadis itu pastinya akan menceritakannya pada staf yang lain sehingga mereka tak lagi bertanya-tanya. Rosa masih ingat jelas apa saja yang terjadi semalam. Seberapa pun dia mengenyahkan ingatan itu, tampaknya hal itu justru semakin melekat kuat di otaknya. Rosa tak mengerti. Mengapa Haikal melakukan hal itu? Benarkah itu adalah keinginannya sendiri? Tapi mengapa? Apa yang membupinya jadi seperti itu? mn “ Walaupun sakit hati dan keceya, saat itil diri masih berharap Haikal akan kemBali lagi, site| untuk menjemput, mgngantarkannya palapel Ros duduk sen@irian di kursi panjang depen restquast untae a menunggunya. Dia tak peduli tetes air hujan yang jatuh, memercik ke sebagian bajunya. Meskipun badannya sedikit menggigil, tadinya Rosa berharap Haikal akan kembali... Nyatanya bukan Haikal yang menghampirinya dalam keadaan menyedihkan seperti itu, melainkan Rama. Rama yang menjemputnya, tetapi mereka menunggu sampai hujan reda. Menenangkan Rosa yang menangis terisak, laki-laki itu hanya memeluknya tanpa memintanya menghentikan tangis. Rosa memijat kening. Mengulum bibir, matanya memandang cangkir kesayangannya yang berisi teh hangat dengan uap tipis yang masih mengepul. Rosa menyesapnya. Air teh itu mengaliri tenggorokannya, membuat perasaannya sedikit membaik. Hy Fano bingung menatap layar komputernya. Sudah satu setengah jam berlalu semenjak dia menghidupkan benda itu, tapi dia sama sekali tak bisa memikirkan satu katapun yang sesuai untuk meneruskan naskah skenarionya. Writer's Blovk kali itu. benar-benar membuatriyt kesal. rr terusan memgndangi satu halaman yang kosong Se) Yu juga bisi-berdampak buruk bagi matanya. Sepertinya 4 i aka lebih baik bila komptiter itu dimaggkan saja. a +“ 44 Fano teringat akan Sabrina. Gadis itu sempat terkena gerimis hujan. Fano berharap dia tak sampai jatuh sakit. Ketika melihat jam dinding di kamarnya, Fano ragu apakah dia harus makan siang atau tidak. Bibi yang bertugas mengurus dirinya di apartemen itu telah memasak banyak sarapan tadi pagi. Entah apa yang merasuki Fano sehingga dia kalap dan menghabiskan semuanya tanpa bersisa. Mungkin saja karena semalam sewaktu mencari Sabrina, dia belum sempat memasukkan apa pun ke dalam perutnya. Yang jelas dia harus keluar. Rasa bosan itulah yang pastinya membuat mood menulisnya hilang. Tapi ke mana? Tanpa bisa dicegah, pikiran Fano seolah melayang mengingat seorang gadis yang kemarin menarik perhatiannya. Fano masih ingat benar nada suara gadis itu ketika menyebutkan namanya. November Rosa... Dan ya, pikirnya, membaca buku-buku fiksi setelah sekian lama larut dalam kesibukannya, itu ide yang cukup bagus. Faxfg tersenyum. te 1 qs . a“ *% | we ? ‘i " 3 ~ te ws sy a ca Mengurutkan daftar judul-judul buku yang begitu banyaknya, Rosa akhirnya menguap setelah beberapa jam tanpa jeda gadis itu seolah tak berhenti mengetik dan menatap layar komputer. Matanya berair dan dirasanya cukup perih. Dia menoleh ke cermin kecil di sampingnya dan melihat wajahnya tak kunjung membaik alias masih tetap mengerikan. Rosa juga menilik cangkir kesayangannya. Benda itu ternyata telah kosong. Dia bahkan tidak ingat kapan telah meneguk tetes-tetes terakhir. Rosa harus mengisinya lagi. Dirinya sangat membutuhkan kafein saat ini. Selama ada kopi, semua hal yang bisa dikerjakan akan dia kerjakan semuanya tanpa terkecuali. Menyibukkan diri adalah satu-satunya cara bagi dia untuk melupakan sementara apa yang telah dia alami. Keluar dari ruangannya, Rosa seolah telah menjelma menjadi magnet. Bu Andang, Susi, juga staf lain yang bekerja di sana langsung menyadari kehadirannya. Mereka langsung menjadikan Rosa sebagai pusat perhatian. “Ehem!” Gadis itu sengaja berdehem keras. + Berpasang-pasang mata itu seperti’ dishtakkan a itu saja dari kfmunan mereka, lalu dengan salah | Yngkah meinjutkan apa yang tadi mereka kerjakan. Rosa sedikit mengerucutkan bibirnya,' Sebal. Semer¥fra itu, Susi tampakuilendaba menahan tawanya. sh 3 46 Rosa berjalan ke samping kanan. Di sana ada sebuah ruangan kecil mirip dapur. Biasa digunakan para stafnya untuk menyeduh minuman hangat ataupun makan seadanya sekedar mengganjal perut. Masuk ke sana, Rosa langsung menyalakan dispenser. Dia perlu air panas untuk kembali menyeduh kopi. Setelah menaruh cangkirnya di sekitar sana, Rosa masuk ke kamar mandi untuk sekedar mencuci muka. Merasa lebih segar sesudah mengelap wajahnya dengan handuk, dia mengambil sebungkus kopi instan dekat dispenser. Beberapa menit kemudian, sudah ada secangkir kopi krim panas di tangannya. Saatnya kembali ke ruangannya sendiri. Mata Rosa membelalak ketika membuka pintu, dia melihat seorang laki-laki yang masih dia ingat wajahnya. Laki-laki itu yang datang kemarin dan telah berbaik hati membayar denda padahal bukan dia peminjam yang tidak disiplin mengembalikan buku. Tanpa bisa dicegah, pandangan Rosa terpaku padanya. Seperti ada sesuatu yang rasanya dia kenali dari laki-laki itu. Entah apa. Laki-laki itu tersenyum ramah dan berbicara sesuatu pada Sug laluedengan Bu Andang. Rosa sedikit terkesiap ketika melihat dia menoleh, dan sekarang, play mereka bertemu. ¥ | 2 Ww WW < a WwW Fn ne 2 Che Ya a Fano datang ke perpustakaan itu. Sewaktu dia masuk ke sana, seorang gadis langsung mengenalinya dan menyambutnya ramah, diikuti dengan wanita setengah baya yang kemarin agak membuatnya kesal. Sayang sekali gadis muda itu bukan November Rosa. Mungkin usianya lebih muda. Fano melirik ke name tag-nya, mendapati nama Susi Steffany tercetak di sana berikut foto gadis itu. “Kalau tidak salah, masnya ini masih belum jadi anggota ya?” tanya Susi. “Tya.” Fano membenarkan. “Tapi saya ke sini cuma buat baca-baca saja...” “Nggak ada ruginya kok jadi anggota,” kata Susi lagi. Nadanya mulai berceloteh. Fano menyukai sikap ramah sekaligus cerewet dari gadis itu. “Kalau semisal mas baca sebuah buku di sini, terus nggak selesai, masnya bisa pinjam trus dibawa pulang. Asal jangan telat juga dikembalikannya. Gimana?” Fano tersenyum, menyambut baik usul Susi. Gadis itu langsung sumringah lalu dengan sopan, meminjam KTP Fano. Saat dia sedang sibuk menyalin nama lengkap serta alamat yang tertera di sana, Fano menoleh ke samping. Mfatanya, rfiengerjap melihat seorang gadis idk jauh aX ti sana tengah mgnatapnya dalam diam. Di tangannya Yerdapat sebnah cangkir putih Sengan uap yang samar- samitt terlihat di atasnya. * Roy +“ 48 November Rosa. Nama gadis itu terdengar cukup bagus. Mudah diartikan juga sepertinya. Fano melihat Rosa menutup matanya sejenak, lalu dengan wajah tenang yang dibuat-buat, dia berjalan menghampiri Fano. Kedua ujung bibir gadis itu terangkat, membentuk senyuman serta memunculkan sebuah lesung pipi yang menjadikannya manis. Fano balas tersenyum. Namun dahinya berkerut melihat kedua mata Rosa dari dekat. “Selamat siang,” sapa Rosa ramah. “Anda berkunjung lagi. “Ya.” Fano membalasnya. “Bosan di rumah, saya pikir lebih baik kalau baca-baca di sini.” “Senang mendengarnya. Sudah minta supaya jadi anggota?” “Sudah. Waktu baru masuk tadi, saya langsung ditawari.” Rosa mengangguk. “Kartunya akan langsung jadi, jadi ditunggu saja. Oh, sambil menunggu, bisa langsung baca koleksi kami juga kok... em...” “Fat. Saya Fano. Tolong panggil Fang saja tanpa perlu ditambahkan embel-embel apa, 1 pun. ao Rosa tertawa kecil. “Baiklah..’*Fano.. a » Tarde sedikit nada, yragu ketikasdia menyebut nama'Fyno, hal itu seolah meitbuat mereka tampak sett teal besteman ww a, Ne " dekat. “Selamat jadi anggota perpustakaan kami.” “Terima kasih, Mbak...?” “Rosa,” kata gadis itu meneruskan. “Atau apa saja asal nyaman.” Tanpa diduga, Rosa memberikan Fano pilihan. Well, entah kenapa Fano merasa senang. “Saya panggil November saja, boleh kan?” » & * OM 4 +t st x sh “ 3 * sb < * * 50 ENAM Tadinya Rosa berniat membiarkan Fano melihat- lihat buku-buku koleksi perpustakaan di rak-rak sana, sementara dirinya kembali ke ruangannya untuk meneruskan pekerjaannya mengurutkan daftar judul beberapa buku baru, namun urung. Pandangannya tidak kunjung lepas dari Fano yang tengah menyusuri buku- buku itu dengan jari telunjuknya. Rosa tersenyum lagi melihat ekspresi Fano yang begitu antusias memilih sebuah buku untuk dibacanya. Laki-laki itu secara tidak langsutlg mengingatkannya pada sescorang, ‘Dia melilat mulut Fano membentuk huruf “o”, Kiki mengambil salah satu buku yang letaknygepaling ujung padaygatu pense buku di tengah-tengah rak. Tetapi setelah ~~: bin, Fn ne 2 51 o Fano kebingungan melihat buku-buku lainnya langsung ambruk. Buku yang dia ambil jelas memiliki fungsi lain, yaitu sebagai penyangga. “Nggak apa-apa, gampang kok mengembalikannya.” Rosa tertawa kecil pada Fano yang bingung. Gadis itu menegakkan kembali buku-buku yang ambruk dengan sedikit mendorongnya ke samping. Dia juga mengambil sebuah penyangga kayu yang menganggur di barisan bawah, kemudian meletakkannya di tepian. “Makasih,” ucap Fano. Rosa mengedikkan bahu dan tersenyum. Kedua alisnya terangkat melihat buku yang ada di tangan Fano. “Suka fantasi?” “Lumayan,” jawab Fano. “Biasanya pengunjung lain kebanyakan memilih genre romance, horor, atau serial detektif.” “Aku suka menonton serial fantasi waktu kecil. Sampai sekarang tetap menarik buatku. Berimajinasi itu menyenangkan. Seperti negeri nun jauh di sana di mana ada seekor naga dan ksatria dengan pedangnya.” “Menyelamatkan seorang putri dari kastil penyihir?” Rosa menygmbung. “Omong-omong dudulglah.’s§ * La Meréka lalu duduk di dekat meja besar yang fare ”* paling poigk, dekit®™ jendela. Rosa meletakkan cangkir kbpinya di ‘ekat sana, lalu méafbuka halaman pertama sebuah buku yang sengaja dia ambil secara acti, wt 52 “Maaf, apakah keberatan kalau aku taruh cangkir kopiku di sini? Memang ada larangan makan dan minum saat membaca di sini.” Rosa meringis. “Nggak apa-apa kok,” kata Fano. Salah seorang pengunjung berdehem keras, membuat Rosa dan Fano otomatis menoleh. “Sepertinya kita terlalu berisik,” kata Rosa setengah berbisik. Fano menanggapinya dengan mengulum senyum. Mereka diam dan larut dalam buku yang mereka baca. Selama kurang lebih satu jam, suasana di ruangan itu kembali hening. Suara jarum jam terdengar jelas, dan sesekali juga terdengar suara beberapa lembar kertas yang dibalik. Yang mengejutkan adalah ketika Fano dan Rosa mendengar bunyi perut yang minta diisi. Rosa menahan napasnya dan menutup mata sejenak karena malu. Fano menatapnya dan diapun meringis. “Belum sempat makan siang ya?” tebak Fano tepat sasaran. Rosa tersenyum sambil menggigit bibir. Dia melihat jam tangan cokelatnya. Well, sebentar lagi juga waktunya untuk Jirahgt. Bukan masalah menahannya beberapa saat lagi. a Tidak disangka bunyi itu mmncht lagi. ni Pi R m9 yang salah fipskah. px 1 Fn i. Ya Tuban, itu memalukan... Fano menyalahkan perutnya yang berbunyi tadi, tidak lama setelah dia mendengar bunyi yang sama dari November Rosa. Fano tahu kalau gadis itu juga menahan tawanya. Dengan berbisik, Rosa mengajaknya keluar perpustakaan untuk makan siang. Sebenarnya sebelum gadis itu memberi usul untuk keluar, Fano juga telah berniat untuk mengajaknya duluan. Rosa sama sekali tidak canggung mengajaknya, dia berbicara dengan Fano seolah mereka telah akrab. “Benar nggak apa-apa?” tanya Fano memastikan sekali lagi saat mereka berjalan menyusuri trotoar. Fano tidak tahu Rosa akan membawanya ke mana. Dia mengikuti begitu saja dengan berjalan di samping Rosa. “Nggak apa-apa. Lagipula sebentar lagi memang waktunya istirahat,” jawab Rosa santai. “Kita mau ke mana?” “Di dekat sini ada bundaran kecil. Banyak tenda-tenda penjual makanan. Staf-staf yang lain juga sering ke sana. Eh, tapi kalau nggak suka, di dekat sini juga ada rumah makan Padang.” 3+ “Ke .buitdaran itu aja. Sudah lama nggak deikan di = ppat kayak gitu. Katenay see “dak pernah mau makan di tenda- ne Kecil seperti itu, jadi Fano j jarang me@Jpeli makan * 54 di sana. “Baiklah. Itu dia,” tunjuk Rosa bersemangat. Fano melihat cukup banyak penjaja makanan berjualan di sekitar sana. Karena hari masih siang, tempat itu masih cukup ramai. Rosa memesan taoge goreng sementara Fano memesan bakso. Mereka mengambil tempat duduk di tengah-tengah bundaran itu. “Sering makan di sini?” tanya Fano. “Tentu. Murah meriah dan enak,” jawab Rosa. “Rumahku juga ada di dekat sini.” “Oh ya? Seru dong, dekat tempat kerja juga.” Rosa tertawa. “Ya, sengaja begitu biar bisa selalu jalan kaki.” Fano mengangguk. Dilihatnya Rosa menoleh ke samping. Ada hal yang menarik perhatian gadis itu serta membuat pandangannya menerawang. Air mukanya berubah keruh. Fano menoleh ke arah yang sama. Tidak ada yang aneh. Di sekitar mereka banyak orang-orang yang makan dengan teman-teman atau keluarga mereka. Mereka makan sambil membicarakan sesuatu dan tertawa. Hal yang lazim terlihat di tempat umum dan ramai seperti ink Ye a Rosa mengalihkan pandangannya. Dia nienuni * memikirkan sesuatu. Sesekali dia jiiga mages ag napas Panjags: Ww we ae “Ada apa?” tanya Fano hati-hati, takut menyinggung gadis itu. “Nggak apa-apa.” Rosa hanya tersenyum menjawabnya. Tapi melihat tatapan Fano yang memandangnya ragu, Rosa melanjutkan, “Hanya teringat sesuatu.” “Seseorang?” Fano lagi-lagi menebak. Rosa menatapnya, tidak mengatakan apa-apa. Sorot matanya berubah sedih. Tebakan Fano benar. “Menangis terlalu lama, matamu jadi bengkak. Tapi kurasa sekarang sudah mendingan,” kata Fano lagi. “Kalau membengkak lagi, kompres saja dengan air hangat.” Rosa tertegun. Kata-kata Fano yakin sekali kalau dia akan menangis lagi mengingat seseorang itu. Mata teduh Fano mengingatkannya dengan orang itu. Rosa tidak tahu mengapa dia bisa berpikir demikian. Dia merasa kalau kedua orang itu mirip. Perhatian mereka teralihkan karena pesanan mereka datang, berikut minumannya. “Apakah kamu selalu seperti ini?” tanya Fano ketika mangkuknya sudah kosong sementara Rosa tinggal menghabiskan minumannya. y, “Apa?” Gadis i itu tidak mengerti. sgh » = * “Kita’baru kenal, ,kemarin, dan kamu percaya diri sekali me gaigkkey akan Sang.” SApa yang salah dengan itu®Rosa balik ertanya dan tersenyum, Lesung pipinya yang manis mfncul lagi. ws 56 “Bukan apa-apa,” jawab Fano. “Kamu tipe yang mudah sekali akrab dengan orang lain.” “Terimakasih.” Rosa meletakkan kembali gelasnya. “Tapi nggak semuanya. Kadang aku juga pemalu.” Mulut Fano membentuk huruf “o”. Rosa tertawa. “‘Jujur, pertama kali melihatmu di perpustakaan kemarin, aku gugup. Kamu mengingatkanku pada seseorang. Aku nggak tahu apa sebabnya. Kurasa kalian punya kemiripan,” jelas Rosa terus terang. “Seseorang yang berarti buatmu ya?” “Benar,” kata Rosa mengiyakan. “Lagipula aku nggak pernah salah mengenali orang. Kamu orang baik, dan nggak ada salahnya berteman denganmu... Fano.” Sudah dua kali Rosa menyebut namanya, dan itu membuat Fano senang. Seakan ada rasa hangat yang menenangkan dalam diri Fano. “Ah, sebenarnya aku juga merasa nggak enak soal denda itu... jadi sebaiknya, biar aku saja yang traktir makan siangmu hari ini.” “Sayang sekali, aku nggak akan membiarkan diri sendiri ditraktir seorang gadis. Biar aku saja yang bayar makan gang kita.” ue Rosa baru akan membuka mulutnya untuk fhende % Fano tapi urung. Fano langsung befinjak dasi sana ey menghampjsi penjual * tang mendapat pesangn , r mereka tadis Saat Fano kembali mendatang Rosas, gadis ww 57 itu menatapnya sambil mengerucutkan bibir. “Shall we go back?” tanya Fano mengulum senyum. Langit abu-abu menggantung. Sebentar lagi akan turun hujan. Rosa bahkan tidak menyadari sejak kapan sekelilingnya menjadi lebih gelap, tidak lagi seterang tadi. Lagi-lagi hujan... “Sepertinya banyak sekali orang yang murung akhir- akhir ini...,” ujar Fano sambil menatap langit. Rosa menoleh padanya. “Mungkin itu juga salah satu penyebab turunnya hujan. Siapa tahu? Bukan karena aku menganggap turunnya hujan itu pertanda buruk, yah.. meskipun aku nggak terlalu menyukai hujan. Wajar bila seseorang menangis ketika dia bersedih. Mungkin karena dia menyesali sesuatu yang telah berakhir...” “Ya.. apalagi kalau sesuatu itu adalah hal terindah buatnya...” Rosa menyambung. Lagi-lagi suasana hatinya berubah murung. “Jangan sesali sesuatu yang telah berakhir, meskipun ity indah, Tahu kenapa?” * %& el “Kenapa?” 3 P\ “Kare na‘tanpa akhir, nggak akan pernah ada awal baru eer lebih indah.” *“ sh ” +“ 58 Rosa terdiam cukup lama. Sesaat kemudian dia tersenyum. Kata-kata Fano membuatnya merasa lebih baik. Hal yang belum pernah dia pikirkan sebelumnya. “Lagipula saat hujan telah reda, kadang muncul pelangi. Bukankah lebih indah daripada terang biasa di saat sebelum mendung?” “Masuk akal,” kata Rosa sambil menyilangkan tangan. Dia berharap hujan cepat-cepat turun, dan cepat reda, sehingga ada kesempatan baginya melihat pelangi. Dalam hatinya berharap, ada awal baru yang lebih indah... Sore serupa malam, sama-sama gelap. Fano pamit pulang saat hujan turun dengan begitu derasnya. Rosa berharap laki-laki itu tidak menyadari ada sedikit rasa kecewa dari dirinya karena Fano pergi. Dia sudah mendapatkan kartu tanda anggota perpustakaan tadi, jadi pastinya, Fano akan datang lagi untuk berkunjung. “Mau pulang sekarang, Mbak? Hujannya deras banget nih,” kata Susi celingukan dekat jendela. “Mungkin bentar lagi. Aku nggak bawa payung,” jawab Hosa fesu. Dia sebenarnya ingin cepat pularg. Kadang dia merasa tidak enak smembiarkan vay sendirian di rumah. Memang ada Bik Ratih yang sesekali datang date memberinga makan Fn ne Rosa tidak |misraga | khawatir. Dia hanya kangen dengan polah manja Vanila. “Aku bawa payung, Mbak. Mau dipinjem dulu aja?” “Trus kamu?” “Nanti aku dijemput Mas Hengky kok. Dia bilang nanti mau bawa mobil. Nggak apa-apa kok mbak kalau mau dipinjem dulu.” “Boleh deh.” Rosa mengangguk senang. “Bentar ya, Mbak.” Susi kembali ke meja kerjanya untuk mencari payung lipat miliknya di laci. Ponsel Rosa berdering singkat. Ada satu pesan masuk di sana. Dari Rama. Udah baikan? Rosa tersenyum. Dia segera mengetik sesuatu untuk membalasnya. Jauh lebih baik © Makasih~ Dengan mantap dipencetnya tombol send. 60 TUJUH Tumben hari ini nggak hujan... Rosa membatin saat melihat keluar dari jendela yang telah tertutup rapat di ruang tamunya. Jam dinding baru menunjukkan pukul tujuh malam. Saatnya makan, tapi Rosa enggan ke dapurnya dan memasak sesuatu. Dia berencana bersantai saja dengan membaca novel romance sambil menyesap cokelat hangat. Vanila baru diberi makan tadi sore dan Rosa rasa dia tidak akan rewel sampai mengganggunya. Sekarang kucing persia putih itu sedang mendeaigkur ai dalam keranjang empuknya. Seminggu telah berlalu, tapi ifgatan akan Haikal * masih melekat sempurag di otaknya. aa wi ie mencoba Ygengenyahkan sosok laki-laki ith (déviga fe 61 membencinya sepenuh hati, tetap saja ada sebagian perasaannya yang mengkhawatirkan keadaan Haikal. Dia seperti menghilang ditelan bumi. Nomornya tidak aktif. Ketika Rosa memberanikan diri datang ke apartemennya, tempat itu telah kosong. Lebih dari rasa sakit akibat luka di hatinya, Rosa penasaran apa yang sebenarnya disembunyikan Haikal. Bagaimana pun juga mereka pernah sangat dekat. Rosa tidak suka kalau orang yang disayanginya memendam sebuah masalah seorang diri. Pasti ada alasannya.. Berkat Fano dia bisa berpikir dengan sudut pandang Jain. Laki-laki itu seperti punya kemampuan untuk membaca pikiran orang lain. Tebakannya seolah tidak pernah meleset. Belakangan ini dia memang sering mengunjungi perpustakaan. Rosa tidak bisa memutuskan apakah perasaan dia yang tertarik padanya adalah ketertarikan yang sama pada Haikal dulu. Entahlah. Rosa hanya merasa nyaman ketika mengobrol dengan Fano, juga saat di mana mereka saling diam membaca buku dengan duduk berhadapan. Rosa baru akan membaca halaman pertama novelnya ketika dia mendengar suara deru motor yang sherhenti Pa fk jauih ‘dari sana. Depan rumahnya mungkin. Tapi *f Sapa? se ™ Vanila “xbangun. Kucing 34 turun dag, keranjang ehrpubtyel egpudian meregangkan otot. “ wt 62 Rosa meletakkan novelnya ke atas meja, dia membuka pintu depan untuk melihat siapa yang datang. Pakaiannya serba hitam; jaket hitam, celana hitam, sarung tangan hitam, sepatu hitam, juga helm hitam. Motornya juga hitam. Oh salah, motor itu memang berwarna hitam sedari dulu. Rosa tetap pada posisinya di ambang pintu, membiarkan laki-laki itu membuka pagar sendiri lalu masuk ke dalam pekarangan rumahnya. “Tumben?” Rosa mengikuti Rama yang nyelonong masuk ke dalam setelah sukses memencet hidung gadis itu. “Baru pulang dari pemotretan buat majalah,” kata Rama. Wajahnya tampak kelelahan. Terlihat jelas ketika dia membuka helmnya. “Males pulang ke rumah. Mau nginep di sini aja boleh ya?” “Boleh,” jawab Rosa sambil mengangguk. “Kamu bisa tidur di kamar belakang.” “Ogah!” tolak Rama cepat. “Aku tidur di sofa aja. Kamar belakang rumah ini tuh horor abis. Apalagi kalau kucingmu itu bersliweran ke sana kemari.” Rosa tertawa. “Oke, baiklah. Udah makan?” “Beam. Aku ke sini juga mau minta makan. Tapi jangan beli di luar ya. Aku bosen sama masakan’ ‘yang i % itu aja. Aku lagi pengen masakan cutfihan,” a ry. te “Kulkagisu kosong, "Mata Rosa datar. “Tapt * aku bisa Ke supermarket sebentar... mau nunggu?” de ww ww 63 “Nggak masalah,” jawab Rama cuek. Dia melepaskan kaos kakinya setelah mencopot sarung tangan. “Ya udah, aku belanja dulu kalau gitu. Dan Rama...” Rosa sengaja menggantungkan kalimatnya. “Apa?” “Jangan coba-coba ngusilin Vanila ya.” Fano selesai mencetak beberapa lembar naskah skenarionya saat menyadari kalau perutnya terasa perih. Seharian mengetik membuatnya melupakan makan siang tadi. Sarapan hanya berupa roti bakar keju, sebutir telur, serta susu tentu belum cukup untuk mengisi energinya seharian. Ketika Fano mengecek dapur, kulkasnya kebetulan kosong. Bibi yang bertugas mengurusinya mungkin lupa mengisi. Hanya saja tidak biasanya dia lupa. Fano meraih ponsel di mejanya lalu mengetik pesan singkat. Isinya mengingatkan Sabrina supaya dia tidak melupakan makan malamnya. Dia juga tidak lupa membubuhkan kata kangen di sana. Seperti yang biasa dilakukannya. Sabrina jarang membalas pesan singkat i itu. Bano bisa menebak kalau gadis itu pasti pétgi jalan- -jalan mh makan bersamayeman-temannya entah di mana. Laki-lali itu menghela napas panjang. Mengetik sehatian \imtuk membayar hftang menultsnya yang | * 64 tertunda kemarin-kemarin membuatnya juga tidak sempat mengunjungi perpustakaan. November Rosa pastilah heran mengapa hari ini dia tidak pergi ke sana. Gadis itulah alasan Fano menjadi rajin ke tempat yang lumayan menenangkan itu. Mengobrol dengannya tidak akan membuat Fano bosan. November Rosa begitu menggemaskan. Gadis itu memang sempat tampak murung di awal-awal perkenalan mereka, tapi sepertinya Fano telah berhasil membuat wajahnya yang muram itu memudar. Setidaknya matanya tidak lagi sebengkak dulu. Setiap Fano datang ke sana, gadis bernama Susi akan langsung memanggil Rosa keluar ruangannya. Dia seolah tahu apa yang menarik perhatian Fano sehingga akhir-akhir ini sering berkunjung ke perpustakaan. Fano bisa melihat wajah bingung Rosa kenapa Susi harus repot-repot jadi mata-mata dadakan. Kalau sudah begitu, tidak ada pilihan lain, Rosa juga akan senang hati membantu Fano memilih buku serta menyarankan beberapa bacaan yang bagus. So far so good. Sejauh ini Fano merasa dia dan November Rosa telah menjadi teman baik. Fade meggambil jaketnya. Dia memutyskan unty membeli makanan jadi di luar. Tepat ketika dia real: ¥ kunci mobil, bel rumahnya berbunyi “Fano culsup | iterkéjut melihat siapg yang datarigt Gadis berusia ena! hel fs tahy{n itu langsun'’ 1 masuk begitu saja ke a n nya ranpa ww 65 mengucapkan sepatah katapun. Bibirnya mengerucut, wajahnya tampak keruh. “Astrid?!” Fano seolah tidak percaya. “Kamu...” “Aku nginep di sini aja ya!” potong Astrid memutuskan tanpa menghiraukan ekspresi bingung kakaknya. “Aku libur tiga hari. Daripada bengong di asrama, mending aku nemenin kakak di sini.” Dia melempar ranselnya ke sofa lalu merebahkan diri di sana. “Libur tiga hari?” Fano memandang Astrid ragu. Astrid menggembungkan pipinya membalas tatapan Fano. Kakaknya itu memang sulit sekali dibohongi. “Ada pensi sebenernya. Aku males ikut. Kalau aja mereka ngijinin aku gabung di band, mungkin aku nggak akan di sini. Aku ditolak terang-terangan. Entah ada dendam kesumat apa ketuanya sama aku.” Fano memalingkan mukanya supaya Astrid tidak bisa melihatnya menahan senyum. Adiknya itu punya hobi menyanyi. Tapi sayangnya hal itu tidak didukung dengan suara yang bagus. Fano tidak bilang suaranya jelek. Hanya saja suaranya itu bisa langsung merobek gendang telinga dari orang yang kena sial mendengarnya. “ “Oke, oke... kamu boleh nginep di sii selina tiga % i. Tapt cuma ga, hari! Nggak boleh lebih darii itu.” (x ya, iyaaa. ” Rid memutar bola matanya. Fano baginya tetdplah seorang kakak fitng bawel. ., “Kakak mau keluar beli makan. Kamu “Bau makan st wt 66 apa?” tanya Fano. “Kakak belanja persediaan bahan aja, selama di sini aku mau masak sendiri. Kakak kalau mau beli makanan jadi ya beli aja. Tapi beliin aku bahannya aja.” “Yang belanja tuh harusnya kamu. Ikut aja kalau gitu.” “Nggak mau. Aku capek. Mau tiduran bentar. Kakak nggak kasihan apa aku udah kabur jauh gini?” “Emang siapa yang nyuruh?” Fano lama-lama jadi kesal. “Minimal kamu bikin daftar, biar kakak tahu apa yang musti dibeli. Kulkasnya lagi kosong.” “Terserah kakaklah. Kakak mau makan apa, tinggal beli bahannya acak. Lagian ntar aku juga yang masak. Ribet banget,” gerutu Astrid. Kalau terus-terusan mendebat adiknya yang cukup menyebalkan itu, bisa-bisa cairan dalam otak Fano akan mendidih. Fano memilih langsung keluar dari sana sebelum dirinya gila menghadapi sifat Astrid yang terkadang menjengkelkan. Rosa mendorong keranjang belanjanya ke rak sayur dfn bitah. Sayangnya ketika dia sudah sampsi ke supermarket ini, dia justru baruygadar kalau aie lupa bertanya apa yang, gedang diinginkan Ramp untuk } makan malign nanti. Difimbah lagi dia tadi cuma seinpat fn ws 2 67 membawa dompet, ponselnya ketinggalan di meja televisi. Rosa harus cepat, mengingat waktunya sudah lewat dari jam makan malam. Apel fuji yang berwarna merah muda menarik perhatiannya di rak buah-buahan. Dia langsung meminta seorang petugas menimbangkan setelah dia lebih dulu memilih beberapa yang tampak bagus dan manis. Keranjangnya sudah cukup terisi dengan bermacam- macam bumbu tambahan, jadi dia tinggal membeli bahannya. Saat dirinya beralih ke rak yang lain, matanya menangkap seseorang yang tengah bingung memandang jajaran ikan dalam kotak pendingin. “Belanja?” Rosa langsung mendatanginya dan menyapa. Fano tampak sedikit terkejut melihat Rosa juga ada di sana dengan keranjang dorong di sampingnya. Laki-laki itu tersenyum mengangguk. “Adikku memintaku buat belanja. Dia nggak mau makan makanan jadi dan lebih milih repot masak di dapur. Padahal aku udah lapar,” katanya menggeleng. “Adikmu bisa masak?” “Ya, dia hobi masak selain menyanyi.” 5% st ee Meréka saling tertawa. '"Kammu,juga pelea,” kata Fano melihat isi keranjang , dos, | x se te " 7. - 68 “Ya, kebetulan kulkasku sedang kosong dan ada seseorang di rumahku yang minta dimasakkan saja daripada dibelikan makanan jadi. Sepertinya kita sama- sama direpotkan ya?” Rosa beralih melihat-lihat ikan-ikan segar di sana. Rasanya dia juga akan membeli beberapa. “Jadi apa saja yang mau kamu beli?” “Nggak tahu,” jawab Fano sekenanya. “Aku bingung.” “Kenapa nggak sekalian ajak adikmu?” “Dia nggak mau ikut. Ada-ada aja alasannya.” Rosa tersenyum sekilas. Gadis itu mengambil seplastik ikan kakap merah lalu menaruhnya dalam keranjang. “Aku sarankan bikin sup. Malam-malam begini enaknya makan sup,” saran Rosa. “Sup ikan?” “Terserah. Sup ikan juga sepertinya enak. Atau sup jamur kalau kamu suka.” “Kalau kamu? Apa yang mau kamu masak?” “Aku rasa aku akan buat ikan bumbu bali, sop sayur, dan perkedel.” “Sepertinya enak,” komentar Fano dengan mengangguk. “Mau bantu aku cari bahannya?” fn < 69 a DELAPAN Menunggu Rosa pulang, Rama berbaring santai di sofa besar hijau tua depan televisi yang baru dinyalakannya. Mata laki-laki itu tidak tertarik pada acara yang diputar namun justru dia menyibukkan diri_ membolak-balik halaman koran yang dia temukan di bawah meja di dekatnya. Banyak berita mengenai anggota keluarga yang hilang entah itu karena inisiatif mereka sendiri ataupun diculik. Tanpa bisa dicegah, Rama pun teringat pada Haikal. ue s+ Teleport genggam Rama _bergetar. “Lakimiki itu méletakkan lagi kefan itu ke atas meja lalu melihat ke Tayar ppnsélnya. Dari Sabrinay,Gadis itu menanyakan idpth eteka punya rencana pemnotretan lag Pia dengan Senatig hati akan membantu Rama. wt 70 Rama menutup indox ponselnya itu tanpa berniat sedikit pun membalas. Belakangan ini Sabrina cukup sering mengiriminya pesan singkat. Rama sendiri tidak terlalu mengacuhkannya. Dia tahu Sabrina menyukainya, tapi Rama sama sekali tak tertarik. Kalau saja dia tidak diberi tanggung jawab unit kegiatan kampusnya untuk mendokumentasikan beberapa objek dalam foto yang memerlukan model berpenampilan menarik, dia akan terang-terangan menjauhi Sabrina. Dengan kata lain Rama hanya memanfaatkannya untuk sementara. Setelah melemparkan ponsel itu ke sofa lain, dia kembali membaca koran tadi. Kali ini dia tidak berbaring, hanya duduk seenaknya dengan meletakkan kedua kakinya di atas meja. Beberapa menit membaca sebuah artikel di sana, laki-laki itu sedikit mengangkat mukanya lalu menoleh ke samping. Kedua alisnya bertaut. Sepertinya ada sesuatu yang berwarna putih berkelebat di sekitar sana. Mau tak mau, Rama merinding. Dia paling benci soal dunia gaib, hantu, setan, dan semacamnya. Tidak cocok sama sekali dengan penampilan luarnya yang gagah, Rama takut pada hal-hal mistis yang pernah dia simpulkan tidak masuk al. Sampai sekarang dia tidak pernah mengakyi fobianya yang satu itu. Hanya Rosa yang tahu. Gadis tahu Rama takut pada real gaib yan j ive. | -\ ‘i * ( te “Meongy’ se Rama “setengah _meloncat sang aca de ww 71 mendengar suara Vanila yang entah sejak kapan sedang duduk manis di atas meja kecil tidak jauh dari sana dekat dengan vas bunga. Matanya melotot kesal pada kucing betina itu lalu mulutnya menggumam tak jelas. Rama mencoba mengalihkan perhatiannya pada koran di tangannya, tapi dia cukup merasa terganggu oleh tatapan lurus kucing itu sehingga konsentrasinya buyar. Dia beralih lagi pada televisi, mengganti-ganti salurannya menggunakan remote, tapi usahanya sia-sia. Pelototan Vanila benar-benar membuat perasaannya tak enak. “Apa?” tanya Rama setengah membentak pada Vanila yang kini sedikit memiringkan kepalanya. “Lapar? Tunggu sampai Rosa pulang! Lagian aku nggak tahu kamu tuh biasanya dikasih makan apa.” Vanila mengeong lagi. Otomatis, bulu kuduk Rama berdiri semua. “Pergi sana! Hush hush!” Rama mengibas-ngibaskan koran ke arah Vanila, tapi kucing itu malah asyik menjilat- jilat tangan lalu mengusap-usapkan tangannya itu ke wajahnya. “Kucing nyebelin...,” gerutu Rama sebal. Ponselnya tiba-tiba berdering. Rama berdecap lalu mengambil, Jagi benda persegi panjang berwarag hitam Matai ya mengeyjap tak percaya membaca nama yang ufo di spnag| Cepat- “eat dia menekan tombol ponsel itu. “Halo, Haikal?” ” “< 3 72 Negak sekalian aku antar aja?” tawar Fano saat dia dan Rosa sudah keluar dari supermarket. Rosa menggeleng. “Aku cukup jalan kaki aja. Rumahku nggak terlalu jauh. Kamu yang mustinya cepat-cepat pulang. Nanti adikmu marah lho.” “Baiklah.” Fano tersenyum. “Besok mau ke perpustakaan lagi?” “Besok?” “Hari ini ada yang menanyakanmu karena kamu nggak datang ke sana. Beberapa hari ini kan kamu rutin ke sana.” “Oh... maaf, hari ini tadi...” “Sibuk ya?” potong Rosa maklum. “Nggak apa-apa kok. Kalau besok ada waktu luang, datang ya. Aku punya buku baru yang mungkin kamu akan suka.” “Oh ya? Jadi penasaran buku apa itu.” Rosa tertawa. “Oke, pulanglah. Sampai jumpa besok.” Fano mengangguk dan tersenyum. Melihat gadis itu berbalik badan lalu melangkah pergi menenteng belanjaannya, Fano tidak bisa menahan diri untuk memanggil namanya. “Névembér!” Rosa berhenti kemudian menolehike sida Rasaglya agak aneh juga mendengar seseorang mymarggilnyé | dengan nag depannya } Yang sama dengan b buldn pitting fn < 73 lle a itu. Rosa sekilas memikirkannya. Fano adalah satu-satunya orang yang memanggilnya dengan nama November, bukan Rosa seperti nama panggilan orang lain untuknya. Dia melihat Fano mengangkat sebentar tas plastik putih belanjaannya. “Terimakasih,” ucap laki-laki itu. “You're welcome,” sahut Rosa dan dia pun benar-benar beranjak pergi dari sana. Hawa saat malam benar-benar dingin saat Rosa menyusuri gang menuju rumahnya. Ditambah dengan angin yang berembus semakin kencang, gadis itu lebih mengeratkan jaket yang dipakainya. Hampir tiba di rumah mungil yang letaknya ada di paling ujung gang itu, rintik-rintik hujan mulai turun. Tanpa pikir panjang Rosa langsung berlari. Beruntung sekali dia sampai di depan pintu saat hujan bertambah deras. Saat dia membuka pintu itu, Vanila langsung berlari ke arahnya lalu mengusapkan badan mungilnya yang penuh bulu itu ke kaki Rosa. “Maaf lama. Aku langsung masak sekarang deh,” kata Rosa melihat Rama yang sepertinya memusatkan perhatian penuh ke televisi itu. sgh cs td uf. “Aga kamu tah kalau...” Kalimat Rama terhenti. 7 menyadath sestitu yang qembuatnya Rosa. “Ada apa?” “Eh, nggak. Cuma mau ngasih tahu aja kalau kayaknya si Vanila kelaperan.” “Tumben banget kamu perhatian sama Vanila.” Rosa tertawa kecil. Dia kemudian pergi ke arah dapur diikuti kucing gendut itu, meninggalkan Rama yang berwajah keruh memikirkan sesuatu. We ow a oe % W ae $2 de . wv 32 1 qe W ¥ a SEMBILAN Perpustakaan sedang ramai-ramainya saat ada beberapa puluh murid SD datang berkunjung dengan didampingi beberapa guru yang semuanya wanita. Seminggu sebelumnya wakil kepala sekolah telah menghubungi Rosa untuk meminta persetujuan supaya murid-murid itu diberi ijin berkunjung untuk sekedar membaca. Rosa tidak bisa menolak. Mana mungkin dia menolak salah satu kegiatan pembelajaran seperti itu? Hanya saja a anak-anak itu pasti susah diajak tthang. ,. eS “Kala sudah selesai dibaca, bukunya dibalikin ke rak ] Agalnyalya, "pesan Rosa ramah. yu, »Y4, Bhuuu!!” sahut anak- ante i itu secara$erempak. wos ¥* 2, 3 76 Rosa tersenyum meringis. Ketika dia menoleh pada Susi, ekspresinya ternyata tidak jauh berbeda. Sementara itu Bu Andang tetap dengan wajahnya yang datar ditambah sesekali kepalanya menggeleng. Setelah meladeni obrolan guru-guru pendamping anak-anak itu, Rosa berniat mengunci diri di ruangannya sampai kegiatan kunjungan itu selesai. Tapi niat itu urung saat tangannya akan membuka pintu, tiba-tiba terdengar suara buku-buku berjatuhan. Rosa menoleh ke asal suara itu dan melihat anak-anak itu mengerubungi tumpukan buku-buku yang jatuh sambil berkicau ribut satu sama lain. Rosa mau tak mau mendatangi mereka. Para guru yang tahu pun kebingungan. “Kenapa bisa jatuh tadi?” tanya Rosa berusaha agar nadanya terdengar selembut mungkin. “Disenggol Aryo, Bu!” celetuk salah satu anak yang berambut keriting pendek. “Nggak sengaja, Bu!” sambung seorang bocah yang hidungnya berwarna merah. Mungkin itu yang namanya Aryo. Hidungnya seperti itu mungkin karena tertimpa beberapa buku yang jatuh itu. “Me bagtu biar rapi lagi nggak?” tanya, ro pada anak-: anak i itu. \y, % “Mauuuuu!!!” jawab mereka sereftpak, / “Kalau, gitu, coba difata lagi ya bukunya, ‘di yang 1” nomornya Piling kecil, itu paling kiri.. nah yrutkan nomor ww 77 yang lebih besar di sebelah kanannya. Bisa kan?” Rosa memberi contoh sementara anak-anak itu memerhatikan. Kebetulan buku-buku yang berjatuhan itu adalah buku untuk anak-anak, sampul dan isinya ada gambar-gambar menarik sehingga mereka menatanya dengan semangat. Memastikan anak-anak berseragam putih-merah itu melakukannya dengan benar dan senang hati, Rosa tidak khawatir lagi untuk meninggalkan mereka. Sebelumnya Rosa memberi isyarat pada Susi untuk tetap mengawasi anak-anak itu. Ketika Rosa akan beranjak, salah satu anak tidak sengaja menabraknya. “Hati-hati, Sayang,” kata Rosa padanya. Dahinya berkerut saat melihat tangan anak itu membawa sebuah buku yang sangat tidak asing. “Kamu mau baca buku itu?” “Iya. Gambarnya bagus, Bu,” jawab anak itu sambil menunjuk sampulnya. “Nama kamu siapa?” “Kevin, Bu.” Rosa secara halus mengambil buku itu dari tangan Kevin. “Kevin, Sayang, gambarnya memang bagus, kakak juga suka. Tapi lihat nih... dalemnya isinya;tulisasemua, ti kafnu nggak kuat baca malah kepala kamu nanti a | gang Jo,’ kata Rééa sambil menunjukkan i isi buku itu. | Keyin, térdiam. Bibirnya mepgerucut. ce *" 78 “Nah, buat Kevin, kakak carikan buku yang cocok buat kamu ya. Pasti kamu suka.” Rosa menggandeng anak itu ke teman-temannya yang masih sibuk menata buku-buku yang jatuh tadi. Diambilnya sebuah buku lalu menyodorkannya pada Kevin. “Suka yang ini?” Kevin mengangguk. Rosa memberikan buku bergambar dinosaurus itu padanya. “Nah, dibaca sama Bu Guru di sana ya,” kata Rosa lagi. Kevin menurut lalu setengah berlari mendatangi gurunya. Rosa mendesah. Dia mengangkat buku yang ada di tangannya saat itu—buku yang tadinya diambil Kevin. “Kita tunggu dulu sampai hujannya reda, baru setelah itu keluar,” kata Rosa meletakkan secangkir susu sereal hangat di atas meja depan Haikal. “Kan bisa naik mobilku.” Haikal memprotes. Rosa menggeleng. Dia menyesap kopi di cangkir miliknya. “Sampai seenggaknya hujan nggak sederas ini. Aku lebih suka jalan kaki. Bukannya kita jarang jalan berdua? Di bawah pay payung yang sama pasti menyenangkan sekali.” Hathal hanya tersenyum dan menggeleng'*pelan. Rosa duduk di kursi depannya sehingga meréa saling berhada; Kening Rosa berkerut aeglibat buku yang sedlang dibada i x Haikal. 4 % fu i. 79 “Buku itu lagi? Bukannya udah selesai kamu baca?” tanya Rosa. “Ya. Isinya bagus sekali. Aku belum bosan mengulanginya,” Jjawab Haikal. “Ten Million of Fireflies?” Jutaan kunang-kunang.” Tanpa diminta Haikal Jangsung mengartikannya. “Serangga yang mirip seperti lilin ketika dilihat dari kejauhan. Bayangkan bila kamu dikelilingi oleh jutaan kunang-kunang itu. Mereka ada banyak, hampir seperti bintang-bintang yang bertaburan di langit malam.” “Tapi sinar mereka nggak akan terlalu nampak jika hari sedang terang,” kata Rosa. “Ya...” Haikal membenarkan. “Terlebih juga karena kamu nggak terlalu suka gelap. Kamu nggak pernah mematikan lampu kalau akan tidur kan?” Rosa diam. “Karena ada banyak hal yang akan tampak indahnya hanya ketika kita tak lagi takut pada gelap.” Haikal menatap Rosa penuh arti, membuat pipi gadis itu menghangat dan merona. “Mungkin bukan hanya aku yang kagum pada cahaya 4, mata yang sebening embun itu...,” kata Hejikal bigi. Rosa monsil sorot ngs sedih laki-laki itu. a semua Nnged ighhan artimu sesungertipiiya ee Roy 3 80 Itu buku yang paling disukai oleh Haikal di perpustakaan ini... Rosa tersenyum samar sambil telapak tangannya mengusap sampul buku itu. Ada gambar banyak kunang- kunang dengan sinarnya yang keemasan, terlihat benar- benar seperti bersinar karena background sampul buku itu berwarna hitam. Dengan mudahnya Haikal mengatakan kalau hubungan mereka telah selesai. Rosa terluka. Laki-laki itu mengatakannya seolah-olah kebersamaan mereka selama ini tidak ada artinya. Padahal dia seharusnya tahu bagaimana perasaan Rosa, bagaimana gadis itu rela melakukan apa pun supaya mereka tetap bersama. Rosa sendiri tidak mau mengakui kalau dia telah sangat merindukan Haikal. Merindukan senyuman laki-laki itu, suaranya, juga hangat tangannya ketika menggenggam i Fano datang ke perpustakaan itu sekitar pukul satu siang. Saat dia masuk, suasana di dalam lumayan sepi. erat tangan Rosa. Bahka¥ewanita paruh baya yang biasanya: berjaga i : meja dekat pintu masuk pun tidak ada di tempat. HEN .. bs mengedarkan pandanganpya ke sekeliling, melagecek kala |\7¢ ada satu oxing saja yang*masih berada di sana/ / Akhi¢nya dia menemukan Susi sedang berjongkgk metnerikSa buku ww 81 buku yang letaknya ada di barisan paling bawah sebuah rak. Gadis itu sedikit terperanjat menyadari ada seseorang di dekatnya. Ketika dia mendongak, memandang Fano, Susi menghela napas lega. “Yang lain sedang istirahat,” katanya yang langsung berdiri berhadapan dengan Fano. “Kalau mau baca, silakan saja. Masih ada saya sama mbak Rosa.” Fano mengangguk. Saat mulutnya membuka lagi hendak bertanya, Susi berceloteh lagi tapi matanya tidak lagi memandang Fano. Pandangan gadis itu menelusuri satu per satu buku yang ada di depannya. “Mbak Rosanya ada di dalem ruangan dalam lagi yang paling pojok.. sepertinya capek setelah ngajar sebentar anak-anak SD yang datang tadi,” kata Susi memberitahu. Dia menoleh lagi pada Fano. “Mau saya panggilkan?” “Nggak usah,” jawab Fano menggeleng. Dia berpikir lebih baik kalau menunggu sampai Rosa keluar dari ruangannya saja daripada nantinya dia malah mengganggu gadis itu. “Begitu? Padahal kalau mau saya bisa panggilkan.. Oh, iya, omong- omong kayaknya Mbak Rosa juga belum makan siang..” * 3h Ka “Apa?” ‘Obrolan, merck terputus karena tiba-tiba ponsel | da, -bergetir di dalam saku roknya. Dia ggglkit panik nlengambit papsel i a 7. - 82 “Halo? Eh, kamu! Kenapa? ... Kaset apa? Ada sih... Sekarang? Aku lagi kerja! ... oh, di sana? Oke, tunggu!” Susi menatap ponselnya sebentar lalu beralih memandang Fano dengan wajah bingung. “Sa-saya musti keluar sebentar... Duh, gimana ya? Saya boleh minta tolong nggak?” Fano tersenyum sekilas. “Tolong di sini sebentar ya sampai saya kembali.. eh, tolong juga kasih tahu Mbak Rosa saya juga ijin keluar sebentar saja!” kata Susi memelas. “Baiklah.” Fano mengangguk. “Makasih!” ucap Susi senang. Dia cepat-cepat pergi dari sana. Ganti setelah sosok Susi menghilang di balik tembok, Fano yang bingung. Berarti hanya ada dia di ruangan itu. November Rosa katanya ada di dalam ruangan terpisah yang letaknya ada di pojok. Fano melihat pintu berwarna cokelat gelap yang dihiasi dengan ukiran bunga-bungaan. Fano berpikir, mungkin tidak ada salahnya jika dia sekedar mengetuk pintu itu supaya November Rosa keluar. Dua kali ketukan. Hening. Fano mengetuk pintu sekali lagi,namun tetap tidak ada respon. fEangaanya beringsut turun menyentyh pegangap pintu itu. Tidak dikunci. Pintu itu dibukanya dengan “PN. * ragu dan dia melongok | ke dalam. Dia melibat bebe PH lemari besar,d disana denn sebuah meja di cciigahhtengdh ruangan itt "Di atas meja terdapat beberapa tuinpukan ww 83 " buku. Mata Fano mengerjap melihat benda hitam legam panjang yang menjuntai lemas ke bawah. Itu November Rosa, batinnya. Gadis itu sedang tertidur di meja kerjanya. Sepertinya dia lelah. Fano tidak mau mengganggu tidur November Rosa. Dia menutup kembali pintu itu lalu berjalan ke kursi baca. Tidak masalah menunggui perpustakaan yang sedang sepi itu sampai Susi kembali. Lagipula dia sedang tidak ada kegiatan hari itu. Hanya sedikit bosan. 4 Rosa akhirnya terbangun. Dia langsung menegakkan punggung saat menyadari beberapa bagian tubuhnya itu pegal. Matanya mengerjap sekali dua kali. Ketika dia tidak bisa menahan untuk tidak menguap, keluarlah air mata. Rosa mengambil beberapa lembar tisu yang ada di sampingnya lalu membersihkan matanya itu. Melihat ke cermin, dia tampak seperti baru saja menangis. Matanya memerah dan wajahnya pun terlihat pucat. Jam menunjukkan pukul setengah dua kurang lyna menit: Sebentar lagi staf-stafnya yang Fweminta yj beristirahat engah ke mana itu akan segera kembali. 33 Dia merase ‘harus Preiirita maaf pada Susi karena telah nhetibibrlban “a itu berjaga sefdirian tanpagya. * 84 Rosa beranjak dari ruangan itu. Kepalanya sedikit merasa pusing, namun ditahannya saat keluar dari sana. Begitu membuka pintu, dia tidak melihat tanda-tanda keberadaan Susi. Hanya ada tiga orang di sana. Dua orang laki-laki dan seorang gadis muda. Seorang laki- laki dan gadis muda itu sedang melihat-lihat buku di rak, sedangkan yang seorang lagi sedang duduk di dekat meja baca, memunggunginya. Meninggalkan perpustakaan tanpa ada yang berjaga.. ceroboh sekali, batin Rosa. Langkahnya terhenti saat akan menghampiri meja jaga, laki-laki yang sedang membaca tadi menoleh ke samping sehingga setengah wajahnya terlihat. Itu Fano. “Sudah lama?” Rosa menegurnya. Fano tampak sedikit terkejut. Dia mengangguk serta tersenyum. “Belum terlalu lama juga sih,” katanya sambil melirik arlojinya. “Maaf, tadi aku ketiduran di dalam... Susi harusnya beritahu aku. Dia harusnya berjaga di sini tapi orangnya sekarang pergi entah ke mana. Sekali lagi maaf ya.” “Sebenarnya tadi waktu aku datang, dja masih gi sini,” eat Fano meluruskan. “Dia mendadak_ adda Sry, % ki ne w Vie di luar dan... aku diminta buat kasih’tahu kamu. Sal seharusnya, aku yang tGsih tahu kamu Aipan, api. sepertinya Ramu sibuk di dalam, jadi aly nggak, mau ww 85 ganggu.” “Oh... gitu ya?” Rosa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Berkatmu aku nggak jadi akan memarahinya.” “Syukur deh.” Mereka tertawa. Fano mengisyaratkan supaya mereka berdua mengobrol sambil duduk saja. Rosa melihat buku yang ada di hadapan Fano saat itu. “Fiksi lagi. Kamu suka baca novel.” “Well, ya. Ini hobiku dulu sewaktu SMA. Sekarang ini aku lebih sering nonton film.” Rosa mengangguk. “Bagaimana tadi malam?” tanya Rosa yang tiba-tiba teringat pertemuan mereka secara kebetulan semalam. “Adikku nggak protes kok. Dia memang suka masak. Masakannya lumayan.” “Oh ya? Manis sekali dia,” puji Rosa. “Omong- omong... kamu datang ke sini waktu jam kerja, apa pekerjaanmu nggak terganggu?” “Aku melakukan pekerjaanku di rumah,” jawab Fano. “Kadang aku juga membantu ayah di pabriknya. Itu bisnis keluarga.” “Apa, yang kamu lakukan di rumah?” * * wo Atau kalau tidak, aku mendesain dekorasi sh u mah.7 * i Rosa tidak tahu harus menyfipulkan apa, Dia sengaja lenggharhngkan cake. ‘Jadi pekerjaanfh eed 86 “Aku penulis,”sambung Fano dengan tersenyum. “Tapi aku sempat kuliah jurusan arsitektur, jadi kadang-kadang aku juga ikut membantu orang yang butuh bantuanku untuk mendesain rumah baru mereka.” “Oh... kedengarannya menarik sekali,” komentar Rosa yang mengangguk-angguk antusias. “Kamu penulis fiksi?” “Seperti itu. Tapi seringnya aku menulis skenario.” “Kapan-kapan aku juga harus lihat hasil tulisan skenariomu itu. Boleh?” “Tentu.” “Oh, iya, ini kartu namaku.” Rosa menyodorkan kartu nama berwarna ungu keemasan pada Fano. “Hubungi aku kalau kamu sudah selesai menuliskan sesuatu lalu menerbitkannya, supaya aku bisa mencarinya di toko buku dan menaruh bukumu itu di sini.” Fano mengiyakan. “Dengan senang hati.” Rosa tersenyum senang. Dia merasa sangat beruntung bisa mengenal seorang penulis di perpustakaannya sendiri. Sejauh ini dia cukup puas menjadi seorang pustakawan, berkutat dengan buku-buku yang amat sangat disukainya. Tapi dalam hati, Rosa juga ingin sekali menjadi seorang penulissBukuy adalah dunianya, benda yang berisi berderet- deret tulisan yang menurutnya indah, Rosa punya wile kalau suatu saat nanti ada buku yang berasal far tulisan tangannya, jkut mengitt rak buku di patleslegih senditi, . fu i. " ° 87 Tidak berapa lama mereka mengobrol, datanglah Susi yang tampaknya kembali dengan berlari. Napasnya labil dan wajahnya basah karena keringat. “Maaf, Mbak...,” ucapnya sambil meringis salah tingkah. Rosa langsung berdiri menghampirinya. “Habis dari mana?” “Kembaliin kaset, Mbak.. soalnya diminta temen. Akunya yang minjem gitu...” Rosa mengangguk. “Ya sudah, duduk gih sana. Atau minum dulu,” saran Rosa. Susi mengangguk menurut. Atasannya itu benar-benar pengertian, ujarnya dalam hati. Rosa kembali akan duduk di dekat Fano, tapi ketika akan merebahkan badannya, dia merasa bumi sedang berguncang. Apakah sedang terjadi gempa? batinnya. Pandangan matanya juga mendadak buram. Ketika kesadarannya telah berangsur pulih, yang dia lihat tidak lain adalah Fano. Laki-laki itu berdiri dan badannya condong ke depan. Tangannya menahan lengan Rosa erat, mencegah supaya gadis itu tidak ambruk di;sanaz% “November,” panggil Fano. Wajahnya tampak cemas. . (ae psgak apa-ajpa>” . Tidak lihgsung menjawab, Résa masih tidak mengerti apa yang. barn saja terjadi. Kepalanya pusfig, Tangan oe * 7. “ te * “ 88 kanannya terangkat lalu memijit pelan pada bagian dahi. Fano juga menuntunnya supaya dia duduk. Susi yang tahu langsung mendatangi mereka dengan wajah tak kalah cemasnya. “Mbak Rosa kayak mau pingsan begitu.. pasti kecapekan ya? Belum makan siang juga kan? Mbak pergi makan dulu aja, biar aku yang jaga,” saran Susi. Fano mengangguk. Dia telah melepaskan pegangan tangannya dari Rosa dan entah kenapa rasanya enggan sekali ketika melepasnya tadi. Menurutnya badan Rosa kurus. Dia baru menyadarinya tadi. Kemeja jingga yang dipakai gadis itu membuatnya tampak sedikit berisi. Tapi nyatanya dia bahkan mungkin lebih kurus daripada Sabrina yang berprofesi sebagai model. “Aku nggak apa-apa,” kata Rosa sambil mengusap dahinya yang mengeluarkan keringat dingin. “Udah begitu bisa-bisanya bilang nggak apa-apa?” gerutu Fano menggeleng pelan. “Makanlah.” Rosa tersenyum samar. “Nanti juga aku akan makan.” “Sekarang,” tambah Fano singkat. Rosa mengerutkan dahinya. “Pig, temgni aku makan karena aku juga Japan.” ! ie se f \ 1, | 1 fm ae y oN fu ns 2 89 Sabrina mengetuk-ngetukkan ujung jari telunjuknya di meja sambil matanya tetap terarah serius ke layar laptop. Dia belum juga menyelesaikan salah satu tugas kuliahnya membuat makalah, padahal waktunya tinggal dua hari lagi. Tugas itu benar-benar telah memeras otak dan juga menghabiskan waktunya yang sangat berharga. Adel dan Boni pasti juga sibuk dengan urusan masing-masing. Lagi pula hari masih siang. Kalau dia ingin mencari kesenangan di luar, malam hari adalah waktu yang tepat. Sekarang tidak ada gunanya mengeluh. Kalau sampai tugas itu tidak selesai, yang ada dia akan stres terus- terusan memikirkannya. Sabrina tidak punya pilihan lain walaupun rasanya dia ingin melempar saja laptop itu ke gudang. Layar yang hidup itu juga membuat matanya sakit. Dia merasa butuh ditemani. Setidaknya ada seseorang di dekatnya yang bisa diajak mengobrol. Tidak mungkin Rama mau datang ke tempatnya tanpa ada sesuatu yang penting. Sabrina pun teringat pada Fano. Sedang apa dia sekarang? Tersenyum sekilas, akhirnya dia pun meraih a di sampingnya? 7 ro \) of \ | st “ sh +" oy ss s < we a 90 Mereka pergi ke bundaran itu lagi. Tempat khusus yang tersedia bagi pedagang-pedagang kaki lima yang setiap pagi mulai mendirikan tenda masing-masing yang didominasi warna biru. Tentu saja Fano tidak langsung mengajak Rosa keluar setelah insiden “nyaris pingsan’ itu. Saat staf-staf lain berdatangan, dia sama sekali tidak ragu meminta gadis itu untuk minum segelas penuh air putih. Barulah setelah isinya habis tak bersisa dan Fano benar- benar memastikan Rosa kuat berjalan kaki, mereka pergi ke bundaran itu. Sebenarnya Fano sempat menawarkannya untuk naik mobilnya saja, tapi Rosa menolak. Gadis itu lebih suka jalan kaki. “Jadi... rumahmu di dekat sini... Tinggal dengan siapa saja?” tanya Fano menciptakan topik saat mereka berjalan bersebelahan di atas trotoar. Rosa tersenyum. Lesung pipinya terlihat. “Ya,” jawabnya. “Aku tinggal dengan Vanila. Hanya kami berdua.” Fano mengangguk. “Kenapa sangat suka jalan kaki?” “Supaya bisa terus langsing,” jawab Rosa sekenanya alu tertawa kecil. “OW ya sekurus ranting.” 3% alau menurutku kamu baftkan sudah “Ranting?” Rosa Regpura pura terkejudg “Mungkis }* aja.” Pag * a] . OS v “Kamu nggak seharusnya melewatkan waktu makan...” Rosa menoleh pada Fano. Pandangan mata laki- laki itu terarah lurus ke depan, tidak pada Rosa. Ada perasaan hangat yang mengalir dalam hatinya ketika Rosa mendengar kalimat Fano tadi. Dia merasa... yah, laki-laki baik hati itu juga perhatian. Karena Rosa tidak mengatakan apa pun untuk menanggapi kata-katanya, dan Fano pun juga sedang larut memikirkan sesuatu, mereka berdua tetap diam sampai setibanya mereka di bundaran. “Aku udah menolongmu waktu kamu mau jatuh pingsan, dan sekarang aku juga temani kamu makan siang. Apa balasannya?” “Apa?” Rosa menatap Fano tak mengerti. “Aku minta balasan,” jawab Fano enteng. Rosa berwajah bingung untuk beberapa saat. Mengerjap sekali dua kali, gadis itu menggeleng dan tersenyum. “Kamu minta apa?” tanya Rosa akhirnya. “Berjanjilah sama aku, kamu nggak akan lupa makan dan kejadian kayak tadi nggak boleh terulang lagi.” “Baiklah, aku janji.” ” Fano mengusap dagunya sebegtar. 3 * Pesafian mereka, ,datang, Ada jeda sejenak. RR “Lalu... sbuku bata apa yang mau kamu kasih pinjam padakur” * * OZ “Buku baru?” Rosa mengerutkan kening sambil mengaduk kuah soto. “Yang semalam itu.” “Oh... iya, nanti ingatkan aku kalau kita kembali ke perpustakaan. Bukunya ada di ruanganku. Sebenarnya bukan buku baru sih...,” kata Rosa. Dalam sesaat timbul rasa ragu. Buku yang mau dia pinjamkan pada Fano itu... Tepat saat Rosa akan memberitahu sesuatu soal buku itu, ponsel Fano berdering. Fano melepaskan sendok dan garpu yang dia pegang lalu cepat-cepat merogoh saku celananya. Laki-laki itu sedikit terkejut membaca nama yang tertera di layar ponsel itu. Dia sempat melirik Rosa yang tengah menatapnya dengan tanda tanya. “Halo?” Fano menjawab panggilan itu. “Aku sedang di luar. Ada apa? ... Sekarang? ... Baiklah, aku ke sana sekarang.” Dia akan pergi, pikir Rosa kecewa. “November, maaf, aku harus pergi sekarang...,” kata laki-laki itu sesuai dengan dugaan Rosa. Rosa tidak bisa berbuat apa pun untuk menahan Fano supaya tidak pergi. Dipikirnya dia siapa? Kenapa juga dia harus keeewai-Dan sekarang pun dia tidak bisa melakukap sesuatu selain ea mengiyakan, : * “Nggak apa-apa.” w de. | N., Raut wajah Fano henjadi keruh karen’ dia \meraga tidak enak ‘Theninggalkan Rosa sendirian di,sarla, , ww 93) “Benar, nggak apa-apa,” kata Rosa sekali lagi untuk meyakinkannya. “Hari ini biar aku yang bayar, lain kali kamu juga harus ganti.” “Maaf ya.. aku pergi dulu. Sampai jumpa besok.” Rosa mengangguk. Fano benar-benar pergi dari tempat itu. Langkahnya setengah berlari dan sedikit tergesa-gesa. Rosa hanya bisa memandang punggungnya yang semakin menjauh. Fano bahkan tidak menoleh. Ah, apa yang sebenarnya dia harapkan? Mereka belum lama kenal dan hanya sebatas teman. Orang sebaik Fano tentunya memiliki seseorang yang sangat berarti buatnya. Rosa tahu, bahkan dia sangat mengerti. Hanya saja Rosa merasa sedih ditinggalkan seperti itu. Omong-omong soal ditinggalkan... Haikal juga melakukan hal yang sama. Kenapa harus terulang seperti itu lagi? “ BF . sh \ * \ — i \ | sh ‘ < * - 3% “ a st th * ” 94 SEPULUH Kati ini gantian Sabrina yang menelepon dan gadis itu ingin Fano menemuinya. Tumben sekali. Kalau saja hal itu tidak mengingatkannya, Fano bahkan lupa kalau dia memiliki seseorang yang amat sangat disayanginya. Harusnya Fano senang Sabrina yang menelepon. Itu tandanya Sabrina mengingatnya sehingga dia ingin bertemu Fano. Tapi kenapa Fano merasakan ada sesuatu yang salah? Karena dia meninggalkan November Rosa sendirian di sanade Well, tiba-tiba pikiran itu terlint{s begitu saja. G itu nyaris pingsan saat iperpustakaan karengéme' wl | waktu man siangnya. “Fano yang noxnaloriyy ted a] a 2 oS: # “Neg 4 J aku main ke,s sini. Ath apa?” segera beristirahat dan makan. Dia sendiri juga yang menawarkan diri untuk menemani. Jadi dalam hal ini Fano yang salah. Mungkin lebih baik kalau dia pergi setelah mengantar gadis itu kembali ke perpustakaan. Tapi bagaimana dengan Sabrina yang memintanya untuk datang secepatnya? Bukankah kekasihnya itu yang terutama? Fano mengacak-acak rambutnya sendiri. Yang jelas dia harus minta maaf pada November setelah ini. Atau secepatnya. Tapi oh, sayangnya dia tidak punya nomor ponsel gadis itu. Great... Rumah besar yang berdiri kokoh dengan pagar besi bercat cokelat keemasan menjulang tinggi itu terlihat. Ketika Fano menghentikan mobilnya di depan persis, satpam rumah itu tanpa diminta langsung membukakan pagar, membiarkan Fano masuk. “Sudah makan?” tanya Sabrina. Dia tersenyum lebar saat membukakan pintu. Fano hanya tersenyum mengangguk menjawabnya. “Duduk dulu. Habis dari rumah langsung ke sini? Mau min m2 apa?” sgh ~ “usah,” ” tglak Fano halus.“Tumben kamu minta | Marek Yelah duduk dalam psisi berhadap-hadapan. Fang diam tpenunggu jawaban Sabrina, taBi gadis itu wt 96 hanya menatapnya dengan berkerut kening seolah ada hal yang aneh. Sabrina bahkan terlihat bingung akan berkata apa. Alhasil dia hanya memiringkan kepalanya dan tersenyum hambar. “Apa aku... perlu alasan supaya kamu... datang ke sini... buat ketemu aku?” tanya Sabrina ragu. Dia mengucapkan kalimat tanyanya dengan penggalan-penggalan bernada heran. Fano langsung menyadari pertanyaan bodohnya tadi. Dia langsung memutar otak untuk menanggapi Sabrina yang sepertinya agak tersinggung. “Bukan begitu.. maksudku, kamu jarang meneleponku seperti tadi... jadi...” “Aku tahu kok,” potong Sabrina. Raut wajahnya berubah maklum. “Maaf ya, akhir-akhir ini aku sibuk, jadi nggak bisa temani kamu. Kamu marah?” “Nggak. Tenang aja,” jawab Fano. Dalam hati dia membatin, bukan marah tepatnya. Hanya saja dia yang sempat melupakan Sabrina beberapa hari ini. “Aku pikir kamu kayaknya marah beneran deh...,” ujar Sabrina. “Nggak. Rener kok. Nggak apa-apa. Aku, tahu ang sibuk, makanya aku pikir lebih bal kalau alfu ng} ganggu kamu.” we | / Vit Sabring gerdiam sejagak. x i \ nN a] a 2 aT “Udah lama kan kita nggak jalan-jalan bareng? Kamu mau temani aku belanja? Sekalian kita ke mana aja, terserah kamu yang tentukan,” ajaknya. “Maaf, tapi... hari ini aku nggak bisa.” “Kenapa?” Sabrina kecewa. Biasanya Fano sangat jarang menolak ajakannya. “Deadline-ku kurang sebentar lagi, jadi.. aku nggak punya banyak waktu. Lain kali saja ya kita jalan-jalan.” “Oh... baiklah...” “Kalau nggak ada yang lain lagi.. aku pulang ya. Maaf ya, aku benar-benar nggak bisa temani kamu hari ini.” “Oke, nggak apa-apa.” Saat Fano mulai beranjak dari ruang tamu rumah itu lalu keluar, dia tidak sedikit pun menoleh. Sabrina melihatnya masuk ke dalam mobil dan tidak berapa lama kemudian, kendaraan itu pun keluar dari halaman rumahnya. Ada yang berubah dari Fano. Dari awal dia datang sampai pergi, tidak sekali pun laki-laki itu menanyakan kabarnya, seperti yang biasa dia lakukan. Sebagian hati Sabrina kesal, Fano seolah sedang tidak ingin berlama-lama di dekatnya. Meremas tirai jendela, Sabrina juga sedjkit mtnggigit ir. Unituk hari ini saja Fano boleh mengabaikannya. i tidak yntuk Vesok dan seterusnya. Sabrina tidak bbleh ibhildigan orang seperti Bano. Tidak sampai kapan pp juga Balgupuns ada sesuatu yang tengah jai perhatian 98 laki-laki itu, pada akhirnya Fano tetap akan kembali pada Sabrina. Seperti yang seharusnya. A lo bisa ke sini nggak sekarang? Kita clubbing lagi. Ada Dimas sama Denis nih. Seru deh. Kita-kita mau ngajak lo juga,” celoteh Adel lewat ponselnya. “Nggak. Gue mau sendirian aja di rumah. Lagi nggak ada mood nih gue.” “Kesambet setan apaan lo? Udahlah, ke sini aja. Ada yang bikin lo bete ya?” “Tahu aja lo, Kalau nggak ada yang lain, gue tutup nih.” “Eh! Eh! Nggak ada lo nggak seru tau! Ayolah, lo ke sini pasti bete lo ilang.” Sabrina terdiam sesaat. “Ada Rama nggak di sana?” “Rama mulu deh yang ditanyain.” Adel mencibir. “Lagian Dimas sama Denis nggak kalah okenya tuh. Gue suka sama Dimas, lo harusnya bisa bantuin gue. Makanya ke sini sekarang!” SaBitna ntendesah. Baiklah, dia memang sangat malgs keluar rumah. Ditambah dengan fugas-tugasnya yafig belum juga selesai, rasanyp dia mulai stres. ‘Tagg sekilas di ) 3 mengingatykejadian tadi*siang. Fano seolah tidall téflalu a] . a9; peduli padanya. Sabrina merasa kesal. Belum pernah sekesal ini sebelumnya. “Oke, gue ke sana sekarang. Sampai jam berapa nanti?” s o8h . * * OF * wy % ai V3 x } or c 3 i. 7 BF 3 sh - sh WS ae “ 100 SEBELAS “Kak Fano! Ganggu pemandangan aja deh! Kalau mau mondar-mandir nggak jelas gitu, mending masuk kamar aja! Nggak bisa konsen nih liat filmnya!” gerutu Astrid sewot sambil jari telunjuk tangannya mengarah ke televisi. Fano hanya mendengus tak peduli diceramahi adiknya. Malam ini benar-benar mengesalkan, batinnya. Daerah tempat tinggalnya sedang diguyur hujan deras. Suara petir berulang kali terdengar. Sebal gara-gara itu, Astrid menaildéin vélume suara televisi, membuat rumahni¥a yang sebelumnya tenang menjadi suptt berisik. Tidak bisa mengenyahkan rasa salaynya semenjak tadk Sore’ sampa 4 sekarang difimbah dengan ulah Astrid, sian bénat- Bete a] a 2 101 kehilangan mood untuk menulis. Oh ya, omong-omong di mana celana panjang yang dia pakai tadi siang? Di dalam sakunya ada sebuah kartu nama. Fano seperempat tersentak. Laki-laki itu lantas berlari masuk ke kamarnya. Dia mencari celana panjang hitamnya itu di gantungan dalam lemari. Saat Fano merogoh sakunya, akhirnya dia menemukan benda itu. Kedua sudut bibirnya terangkat. “Halo?” Suara November Rosa kala menjawab panggilan teleponnya langsung membuat jantung Fano berdegup dua kali lebih cepat. “November. ini aku.” “Fano? Ada apa?” “Nggak.. cuma....” Sia/an, umpat Fano dalam hati. Dia bahkan merasa sedikit grogi. “Kuharap kamu nggak marah karena kutinggalkan begitu saja tadi siang...” “Kenapa aku harus marah?” Rosa tertawa kecil di seberang sana. “Nggak apa-apa. Urusan mendadak bisa terjadi kapan pun, aku maklum.” “Lain kali biar kutebus itu.” . “Oh ya? Jangan bilang kalau besok kamu bytkal ajak qu makin siang lagi. Kurasa besok aku akan lebih sibuk erpustakaan.” * LO \ Ralau begitu, biar bosok aku ke = sampai kimy spcipelgsaikan pekerjaanmu itu.” wt 102 “Kamu bisa ke sini kapan pun sewaktu perpustakaannya buka,” kata Rosa. Suaranya tetap sehangat biasanya. Dia seperti tidak menghiraukan kejadian tadi. “Baiklah kalau begitu. Sampai ketemu besok.” “Ya, aku tunggu.” “Hator Rama menoleh ke samping pada Rosa yang tengah menjawab panggilan di ponselnya. “Fano? Ada apa?” Dahi Rama mengerut mengetahui Rosa menyebut nama seseorang yang asing baginya. Tentu bukan salah satu dari staf kerjanya di perpustakaan. Rama hafal nama mereka. Tidak ada yang bernama Fano di sana. “Kenapa aku harus marah?” Rosa tertawa kecil. Obrolan yang seharusnya tidak boleh didengar orang selain mereka rupanya, batin Rama. Dia sedikit menjauh dari tempat Rosa berdiri di antara rak-rak buku di sebuah kawasan pertokoan. Rama sedang tidak sibuk. Dia bosan terus berkutat dengan ratusan lembar foto di ruang kerjanyatdi riimah. Maka dari itu pikir Ransa, tidak aga salahnya dia menemani Rosa sesekalke toko buku. “Ya,aku tunggu.” we | Je a | fi ww | Je w WV a] a 2 Rama menoleh lagi ke samping melihat Rosa. Gadis itu telah selesai mengobrol dengan seseorang, entah siapa itu. Setelah memasukkan ponselnya itu ke dalam tas, Rosa tersenyum-senyum sendiri sambil membayangkan sesuatu. Sepertinya memang karena si Penelepon tadi. Raut wajahnya tadi yang serupa mendung sekarang langsung berubah cerah. “Siapa?” tanya Rama pura-pura berbasa-basi padahal dia penasaran siapa penelepon itu. “Teman,” jawab Rosa singkat. “Yakin?” Rosa memutar bola matanya. “Memangnya aku harus jawab apa?” “Bukan apa-apa. Hanya aja kamu seneng banget gitu. Kirain someone special, atau apalah gitu.” Rosa terdiam. Gadis itu lalu mengalihkan perhatian dengan pandangannya menelusuri satu per satu buku- buku yang masih tersegel di raknya. Rama menyadari perubahan sikapnya itu. “Aku mau tanya.” “Apa?” “Gim: na dengan Haikal?” sgh buku yang dipegang Rosa nyaris saja jatuh * Sebu' 4 | kalau sp g gals itd tidak menangkapnya secara refleks stat, terjun” *ke lantai. Rama ‘renjulurkag, , tangannya ural membantu membawakan tas belanjafya, namun wow +“ ws 104 Rosa menolak. Dia juga menghindari pandangan Rama. Buku yang hampir terjatuh itu dipeluknya erat-erat. Rosa menggigit bibirnya, sementara tangannya terkepal untuk menyembunyikan kegelisahannya. “Kamu nggak tahu kan dia ada di mana?” “Berhenti bicarakan dia,” kata Rosa cepat. “Kenapa?” tanya Rama pura-pura tidak tahu. “Apa masalahnya?” “Ttu urusan kami. Kamu nggak perlu ikut campur.” Rosa menghindar. Rama menahan lengan gadis itu hingga dia tidak jadi pergi dari sana. “Dia sahabatku. Aku kenal dia sudah sejak lama.” “Lalu?” Rosa memandang Rama sinis. “Tapi kamulah yang seharusnya tahu segala hal tentangnya. Apa tiga tahun tidak berarti apa pun? Tolong pahami sedikit perasaannya..” “Aku rasa kamu juga tahu bagaimana perasaanku saat ini. Pertanyaan itu seharusnya bukan ditujukan buatku. Kamu di pihaknya? Coba tanya sendiri padanya!” saran Rosa ketus menahan emosinya. Dia menarik lengannya dan berbalik badan. ‘Teg. ” ee tt Tubuh Rosa seketika membeku. , | * “Aku bertanya padanya...,” kata’Rama_mer enle\ we maksudnya, "Dia tumbakg..” v lef ,” te 5: tt ts * te v ¥ 8 Tanpa menoleh lagi pada Rama, Rosa berkata, “Sebelumnya dia membuat hatiku hancur. Apa pun yang terjadi padanya sekarang bukan urusanku...” Dia memberi jeda sebelum meneruskan kata-katanya. Dadanya terasa sesak. “Dia melukaiku.” “Rosa...” “Kamu pikir aku nggak tahu siapa yang menyuruhmu datang pada malam itu?” Rama menelan ludah. “Berhenti bicarakan dia. Kami sudah berakhir.” i Langkah Sabrina terhenti saat melewati sebuah toko buku, dan dia sendiri berdiri mematung di luar, dekat dinding kaca. Matanya terpaku melihat sosok seseorang yang sangat dia kenali... Itu Rama. Laki-laki itu diam dan menunduk. Seorang gadis berdiri tidak jauh dari sana dan memunggunginya. Sepertinya gadis itu mengatakan sesuatu yang jelas membuat semburat kecewa di wajah Rama. ; st Wajah gadis itu langsung Sabrina hafali. Ekptesi tak * re langsung terpagear di air mukanya. \ | 1 | se ” 1 s x 106 DUA BELAS Aiael, Boni, dan Dimas keasyikan bermain kartu. Kadang-kadang mereka tertawa bersamaan, membuat ruangan yang besar itu berisik karena suaranya sedikit menggaung. Dimas sesekali melirik pada Sabrina yang duduk tanpa banyak bergerak di sofa paling pojok. Tangan gadis itu memegang gelas god/et berisi jus jeruk yang tinggal setengah. Pandangannya menerawang entah ke mana. Dimas tahu dia sedang melamun. Denis tidak jauh berbeda. Cowok itu sedang dikuasai rasa bdSan. Dia sudah dua kali menyulut “dua bataty tokok. Tidak ada yang tahu satupufedari mereka, Denis juga sesekali meligik ke arah Sabrina. Kiasanya gadjs itu cerewery Pikirnya seolah hafal tabiatnya. Apalagt*jika iS a 2 107 ada Rama. Tapi siang itu Sabrina seolah mengunci rapat mulutnya. Denis curiga ada hal yang membuat gadis itu kesal, atau marah. “Gue menang lagi!” pekik Adel girang dengan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. “Gimana? Mau main lagi?” “Gue nggak,” jawab Boni ketus. Sudah lima putaran berlalu, yang ada dia tidak pernah jadi pemenang. “Yang lain aja. Gue juga udah bosen,” tambah Dimas. Adel mengangguk setuju. Dia beralih memandang Sabrina. “Sab! Ngelamun aja lo! Gabung dong sama kita!” ajak Adel. Sabrina menatapnya tanpa ekspresi. Menanggapi Adel, dia hanya menghela napas panjang kemudian menaruh gelas yang dipegangnya sedari tadi ke atas meja. Kembali, diapun memalingkan mukanya ke arah lain. Pandangannya lagi-lagi menerawang. Adel dan Boni saling berpandangan. “Lo kenapa, Sab?” tanya Boni aneh. Tidak ada respon. "Kaya ya kita musti a vn kelyar elu deh, 108 “Neggak usah. Kita tunggu aja di sini. Lagian janjiannya kurang dari sejam lagi.” Akhirnya Sabrina angkat bicara. Hening sejenak. “Lo sakit ya, Sab?” tanya Boni lagi. “Nggak,” jawab Sabrina singkat. “Terus?” Adel minta alasan. Sabrina mengatupkan bibirnya lagi. Ya, sesuatu telah membuatnya kesal. Tadi dia sempat mengirim pesan singkat pada Fano, tapi sampai sekarang belum dibalas. Belakangan dia selalu sibuk. Sabrina benar-benar tidak tahu apa yang sedang dia kerjakan. Setahunya apa pun yang Fano kerjakan, dia pastilah bisa menyempatkan menghubungi Sabrina. Dia mengambil ponselnya lalu menekan beberapa tombol, setelah itu dia mendekatkan benda berwarna ungu itu ke telinganya. Sebagai jawaban, panggilannya hanya dijawab operator yang mengatakan nomor yang dia tuju sedang sibuk. Dia sedang bicara dengan siapa? Perasaan Sabrina menjadi campur aduk. Walau begitu dia tetap berusaha untuk tidak memusingkannya. “Rumah Rama di mana sih?” tanya Adel pada Dimas untuk sengganti topik. we “Rumah aslinya ada di Pemalang, Tapi kalaui‘di Bog ini, kita nggak pernah tahu dia tinggal di men i LT) Dimas. xf / | de “Mistetlus banget sih,” komentar Boni.,, 3'= “8 iS a 2 109 Mendengar nama Rama disebut, Sabrina langsung ingat apa yang dia lihat suatu malam beberapa hari sebelumnya. “Apa Rama punya pacar?” tanya Sabrina akhirnya. Semuanya otomatis menoleh padanya, termasuk Denis. “Setahuku nggak,” jawab Dimas. “Rama jarang banget deket sama cewek. Kalaupun ada cewek yang bisa dibilang deket sama dia, persoalannya pasti nggak jauh-jauh dari tugas ataupun pekerjaan. Sebenernya gue nggak mau bilang gini, tapi dia itu kalau baik banget sama seorang cewek, pasti ada maunya. Kebanyakan cuma dimanfaatin.” Denis langsung tersenyum sinis setelah memalingkan mukanya dan menggeleng. Dia yakin Sabrina bukan tipe gadis bodoh yang tidak menyadari arti kata-kata Dimas. “Oh ya?” Sabrina mengulum bibir. Dimanfaatkan? Sabrina meragukan itu. Mimik wajah Rama sewaktu memandang punggung gadis yang dia lihat beberapa hari sebelumnya itu... bukan pandangan pura- pura. Walaupun Sabrina sadar betul kalau Rama hanya memanfaatkannya, dia tidak akan berhenti membuat Rama beralih hanya memandangnya. Lagipula ¢$pa pun is i agi Sabrina tidak ada masalah. “\ | ost e 4 au " o 110 Kamu ngagetin aja!” gerutu November Rosa tanpa mengucapkan kata “halo” terlebih dulu saat mengangkat telepon. Fano tertawa. “Nggak secara langsung,” kelit Fano. “Aku lagi masak!” “Tahu kok.” Jelas, karena terdengar bunyi spatula beradu dengan wajan. “Ada apa?” tanya Rosa. Tapiketika Fano mau menjawab, muncul bunyi-bunyi berisik yang lain. Rosa tampaknya hanya menaruh ponselnya entah di mana tanpa menutup sambungan. “Vanila! Kenapa ke sini?! Belum jam tujuh! Eh! Eh! Jangan guncang pancinya!” Fano tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa geli. Pikirnya Vanila itu adalah seorang anak kecil yang tinggal bersama Rosa. Dulu gadis itu pernah bercerita kalau dia tinggal hanya berdua dengan seseorang bernama Vanila. Mendengar Rosa mengomel begitu, sepertinya dia memang benar-benar sedang kerepotan. “Halo? Kamu masih di sana?” tanya Rosa meladeni kembali i ponselnya. “Mesih kok.” “Maaf, anak itu entah kenapa bifin ulah scat gerutu Rosa. 1 3¢ | Je we | “Adiknig?” i ( \* in ns 2 “Bukan.” “Lantas?” Rosa hanya tertawa kecil. “Kapan-kapan kemarilah kalau aku sedang tidak bekerja. Akan kukenalkan kamu dengannya.” “Jangan-jangan dia anakmu?” tembak Fano. Tentu saja meleset jauh. “Aku akan membawanya ke tempat kerja kalau dia memang anakku. Sayang dia tidak boleh ke sana.” Rosa tergelak. “Omong-omong kenapa meneleponku?” “Oh ya, aku baru baca sebagian bukunya. Buku ini sedikit memusingkanku,” kata Fano. Dia sedang duduk dekat meja kerjanya dan sekarang tengah menelepon sambil matanya memandang keluar jendela. Di pangkuannya ada sebuah buku dalam posisi tertutup berjudul Ten Million of Fireflys. “Memusingkan bagaimana?” tanya Rosa. ‘Jutaan kunang-kunang itu adalah perwujudan dari seorang gadis yang selalu suka menyalakan lilin, serta menaruhnya di semua sudut rumahnya... Dia selalu berharap dengan hal itu, kekasihnya akan kembali melihat terang. T: i aku baca sampai hampir setongah halaman fari bukit in Noyember Roatterdiam sesaat sebelum menjawab. JSeolqht “olah... sang Kekdth masih di dekatnya, bbkapet i,aku masih tak tahu di mana kekasihnya i itu.” LEZ “Ya,” jawab Fano. Apa yang dikatakan Rosa hampir sama dengan yang dia pikirkan. “Mereka saling merindukan, kurasa.” “Apa yang nggak kamu ngerti?” “Pertanyaanku: di mana kekasihnya itu? Dan mengapa dia meninggalkan si Gadis padahal mereka sama-sama saling mencintai?” “Entahlah...,” jawab Rosa setengah menggumam. “Selesaikan saja membaca buku itu. Nanti juga kamu akan tahu sendiri.” Fano mengangguk pelan. “Baiklah, biar aku baca lagi sampai tertidur,” kata Fano. “Mungkin besok aku absen lagi ke perpustakaan. Jadi jika aku ke sana, mungkin aku telah selesai membacanya.” “Aku tunggu.” “Selamat malam..” Sambungan diputus. Fano meletakkan kembali ponselnya ke atas meja dan dia memandangi langit-langit kamarnya. Kedua sudut bibir laki-laki itu terangkat. bea « Yrnitet Ke sini, Manis!” seru Rose kemudign : setelah menutup telepon. Matanya mengerjap karena "f\ « " / dipanggil tidak kunjungypuncul. 3 | {} x 4 “ {\* 3 é < gt 1 * qe Ww w i A213) Meletakkan mangkuk kecilnya, gadis itupun mencari- cari sosok kucing berbulu putih itu di ruang tamu. Namun ranjang kecil Vanila kosong. Rosa kembali lagi ke dapur, siapa tahu Vanila sudah ada di sana dan dia memang berniat main petak umpet. Tapi kucing itu seolah lenyap. “Vanila?” Lagi-lagi Rosa memanggilnya. Mondar-mondar nyaris di semua ruangan di rumah itu, pada akhirnya Rosa menemukan Vanila memojok di kamar utama. Kucing itu duduk malas sambil bersandar ke lemari kaca. Ekornya yang berbulu lebat, halus, panjang, dan berwarna putih bersih itu mengayun lembut. “Kenapa ke sini?” tanya Rosa heran. “Ayo ke dapur. Udah ada tuh makan malammu.” Sebagai jawaban, Vanila mengeong keras. Dia tidak melakukan apa kata Rosa, tapi badannya berbalik ke belakang, melihat ke dalam isi dari lemari kaca itu. Sepasang kaki depannya terangkat. Dia sedang mencoba untuk membuka lemari itu. Rosa mengerutkan kening. Kakinya melangkah ke depan lalu dia beringsut mendekati Vanila. Tangannya tanpa ragu membuka tutup kacanya. Vanila langsung metingsek gasuk ke dalamnya dan dia ymengdluarkan (x. enang wol merah muda. Kucing itu tampak Sif Semang pekal. meméainkannya. a seperti anak kecil. \ * 7, te " 114 Rosa tersenyum samar melihatnya. “Akhirnya meski aku simpan di mana pun... kau tetap berhasil menemukannya...,” gumam Rosa lirih. “Kangen ya?” Tangan gadis itu mengusap lembut kepala Vanila. Tanpa sadar air matanya menetes, mengalir membasahi pipi. Vanila tidak terlalu memedulikan Rosa. Badannya berguling-guling. Sesekali dia juga menggigit kecil gulungan benang wol itu. “Akupun sama...” bisik Rosa. “Merindukan Haikal...” Je Ww “ W ws J de i " ae 1 f "nv wW BLS: TIGA BELAS Rosa tersenyum melihat langit cerah dari jendela ruang kerjanya. Tidak seperti hari-hari sebelumnya yang hujan ataupun mendung. Dia lebih memilih udara di sekitarnya hangat daripada angin dingin menerpanya dan membuat kulitnya merinding. Pagi-pagi seperti biasa dia telah kembali memulai kesibukannya mendaftar judul buku-buku yang masih ada di raknya ataupun yang masih dibawa peminjam. Tapi saat kedua matanya mulai perih memandang layar komputer, Rosa beralih mendongak ritclihat janitdinding. ue Sudah lewat teagah hari, ujarnya dalam hati. Rosa *[) hanya menghela napas panjang ¢ gymbil mone pelipisnya (fob felunjule Dad * os * - “ > 116 Ah, apa yang sebenarnya dia pikirkan? Rosa enggan mengakuinya, tapi dia memang sedang menunggu laki-laki itu—Fano. Bukankah tiga hari yang lalu dia menelepon Rosa dan berkata kalau dia telah hampir menyelesaikan buku yang dia pinjam? Tapi nyatanya sampai sekarang Fano belum sekali pun menjejakkan kakinya lagi di perpustakaan. Oh, Well, kalau dia sampai terlambat mengembalikan buku itu karena sudah akan lewat dua minggu, Rosa tentu saja akan mendendanya. “Mbak Rosa.” Rosa sedikit tersentak lalu menoleh ke samping. Susi memandanginya heran sambil tangan kirinya terkepal untuk mengetuk pintu tadi. Kini pintu itu sudah dibuka. “Mbak ngelamun ya?” tanya Susi heran. “Eh, oh, nggak kok.. cuma..” Rosa jadi salah tingkah. “Tya, ini daftarnya baru setengahnya selesai...” Susi tidak terlalu peduli dan hanya mengangguk. “Buku-buku yang di ruang referensi lembarannya ada yang copot, Mbak. Kalau hilang bisa repot...,” lapor gadis yang hari ini mengucir rambutnya tinggi-tinggi berhiaskan ikat rambut merah darah. “Ada berapa?” tanya Rosa. a “Dua belas buku pas tadi kuhitung. Tru buku catty; yang disumbangkan sih. Karena tebaf jadinya, susah bua dijahit. Hagys dilem kayaknya, Mbak.” ~ | Rosa m&ngangguk. ‘on a8 iS a 2 117 “Biar nanti aku bawa ke rumah, mau aku lem sendiri.” “Aku bantu bawain ya, Mbak.” “Neggak usah. Kamu di sini aja, jaga sama Bu Andang. Lagian aku ngantuk sih. Biar sekalian cari angin.” Rosa menggeser ke belakang kursinya kemudian dia beranjak keluar. Matanya memilah satu per satu barang-barang yang ada di atas meja kerjanya sekarang. Selain komputer, buku-buku dan kertas mendominasi di atas meja. Belum barang-barang lainnya yang termasuk golongan benda “tak penting”. Berantakan semuanya. Tapi Rosa tidak akan meninggalkan meja itu dalam keadaan kacau sepulangnya nanti. Itulah penyebab mengapa dia biasa pulang paling akhir. Diambilnya cangkir putihnya yang kosong lalu dia berikan itu pada Susi ketika mereka mau meninggalkan ruangan itu. “Minta tolong diisi ya. Aku mau ngecek langsung i Fano sulit sekali memarkir mobilnya di halaman buku-bukunya.” pérpustakaan waktu itu karena banyak sepeda motor yang r (ee secara asaleasalan, Beruntung seorang petugas ke x ebersihans'tidak fauh dari sana mau membantunya niefipikar\ deretan motor-motorgtu. Setelah nggngucapkan ferima Kasih dan petugas kebersihan itu pergi, Fano yang ws 118 hendak memasuki perpustakaan itu terhenti langkahnya melihat seorang gadis berbaju renda keluar dari sana dan dia cukup kerepotan membawa tumpukan buku tebal. Dia sangat berhati-hati dengan langkahnya saat menuruni tangga. Itu November Rosa. Melihatnya tampak kerepotan seperti itu, senyum Fano pun tersungging. “Mau kubantu?” tawar Fano menghampiri Rosa. Gadis itu tersentak karena tanpa sepengetahuannya Fano sekarang telah berdiri tepat di sampingnya. Meringis, Rosa menjawab, “Nggak usah. Aku bisa sendiri kok.” Fano tidak peduli. Dia mengambil tiga buku yang letaknya paling atas. Memandang wajah Fano yang datar- datar saja pertanda tidak peduli, Rosa pun membiarkannya membawa sebagian buku itu. Pikirnya dia memang butuh dibantu. Awalnya dia tidak mengira tumpukan buku-buku tadi akan seberat itu. “Mau dibawa ke mana?” tanya Fano yang sekarang berjalan beriringan dengan Rosa. “Kggumapku. Aku mau mengelem beberapa lembgr isinya yang copot. Maklum, buku tua,” jawab Rofa. h\ de . | te sf { Wrr “Rumahmu benar-! Behar tidak jauh dari sinj ange “Kenapd memangnya?” Rosa mengerutkan keniing. Fano mengangguk mengerti, iS a 2 219) “Jangan salah ya, aku kuat sih bawa buku-buku ini. Emang nggak berat. Tapi aku udah ngerasa pegal gara- gara tasku ini.” Rosa melirik ke belakang Fano. “Tasmu besar sekali,” komentarnya. “Ada buku yang mau kukembalikan dan kupikir aku juga bisa sekalian kerjakan proyek tulisanku juga di sana.” “Sudah selesai baca?” tanya Rosa. Senyumnya merekah indah, dan itu membuat Fano entah kenapa sedikit gugup. Getaran-getaran di dalam dada laki-laki itu sedikit membuatnya tidak nyaman di dekat Rosa. Semakin mereka berdekatan, maka Fano akan makin kikuk. “Sudah,” jawab Fano cepat. “Suka?” “Apanya?” Rosa mengerjap. “Bukunya. Apalagi?” “Oh, itu...” Fano menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Bagus. Ternyata akhirnya aku menyukainya. Gadis itu terus menunggu hingga pada akhir cerita mereka bertemu. Saat kekasihnya datang.. dia tak lagi bisa melihat terang. Nyala lilin yang dinyalakan gadis ineysia- sia. ngorBankan dirinya, dia menjelma menjadi ‘Kunang- (Sen Bukan haifa satu kunang-kunang.. tapi jutaan. Barulalt ketika sang Kekasih tébuka matanya, yang dia lihat, adalah iytaan Jeinang- kunang itu.. Dit’ hanya bisa ‘7 aa 120 dilihat jika gelap datang.” Fano tidak menyadari Rosa tersenyum samar menanggapinya. Meskipun gadis itu tahu kalau cerita dalam buku itu tidak akan berubah walau berapa kalipun dibaca, tetap saja inti dari cerita itu selalu mengingatkannya pada suatu hal. Apa yang ditangkap oleh Fano tidak jauh berbeda dengan cerita versi Haikal meskipun dia telah membacanya berulang kali. “Banyak orang tidak menyukai kegelapan. Mereka bahkan takut dengan hal itu,” ujar Rosa. “Lalu apa yang akan dilakukan seseorang apabila dia ada dalam kegelapan? Mereka akan mencari sumber cahaya.. seperti api kecil di sebatang lilin. Nggak ada seorang pun yang menyalakan lilin kemudian menyembunyikannya di kolong tempat tidur, melainkan dia akan menaruhnya ke tengah-tengah ruangan atau di atas meja rumahnya, supaya cahaya yang berpendar itu menjadi penerang. Kalau terang datang, mereka nggak akan takut pada gelap.” Fano tertegun. “Tapi.. bukan berarti gelap harus selalu dienyahkan... kadang kita juga membutuhkannya,” kata Rosa lagi denganjeersegyum. “‘Jutaan bintang, indahnya bulan, dan cantiknya kerlap-kerlip kuning-kuning... semudhya wl \ % akan berarti tanpa adanya gelap. Murfgkin karena iculal y Vase malam harj,selalu indaf buatku. Denganny, /lilin pun akan cAhtik bagaikan bunga.” x i. a x 121 “Benda-benda yang kamu sebutkan itu punya cahayanya sendiri..,” simpul Fano. “Setiap orang juga pasti punya cahayanya sendiri.” “Aku setuju.” Fano mengangguk. Sekilas Rosa melirik pada orang di sampingnya. Seperti telah kenal sejak lama, mereka mudah sekali menjadi dekat. Tanpa bisa dicegah walaupun olehnya sendiri, Rosa merasa Fano memang memiliki kemiripan dengan Haikal. Mungkin itu satu-satunya alasan jika dia memang tidak ingin terlalu dekat dengan laki-laki itu. Tidak lagi. Dia tidak ingin dilukai lagi. “Ah, itu rumahku,” kata Rosa menunjuk rumah mungilnya yang ada di ujung jalan itu. Pandangan Fano langsung menyusuri satu per satu sudut dari rumah bercat cokelat cerah itu. Benar, rumah itu mungil. Fano suka pada tiang-tiang kayu penyangganya yang masih beraroma khas. Di atas depannya, tergantung berderet tanaman sulur yang beberapa telah berbunga. Di sebelah kirinya tumbuh pohon yang tidak terlalu besar dan tinggi. Di batangnya ditempel media tumbuh tanaman anggrek yang bunganya mekar, dan juga basah oleh embun yang masih tersisa. Halaman rumah itu masih beruga tanah, * mbuat Fano j juga harus menjaga langkahnya supaya dia sh Tae menginjak batu-batu pipih yang disiapkan sebagai jalan, stpaya orang yang ke Sia tidak kgtor kakinya akibat kena tanah. Di samping kiri dan kanaft tempatnya ”" 2, Laz berdiri saat ini, banyak sekali jenis tanaman yang seolah menyambutnya karena telah menemani tuan rumah. Amarilis merah dan kuning ditanam berselang-seling. Mawar yang tumbuh dengan anggun disertai duri-durinya yang tajam, ditanam membentuk bundaran. Menutupi tanah basah di bawahnya, rumput-rumput jepang yang terlihat lembut juga tidak lupa ditambahkan. Fano merasa pandangan matanya jernih seketika dan baru kali ini napasnya terasa segar sekali seperti tersaring oleh atmosfer menyenangkan di sekeliling rumah itu yang seolah memancar. Rumah November Rosa bukanlah bangunan baru, tapi juga bukan bangunan tua. Rumah yang dinilainya sangat sederhana itu bahkan sepertinya bisa dihitung dengan jari di perkotaan besar di sana. “Fano?” Rosa memanggilnya karena mendapati Fano seperti melamun. “Mau masuk nggak?” Fano mengerjap bingung. “lya.. boleh?” Rosa tertawa. “Tentu. Tidak ada orang kok di dalam. Aku rasa yang lain nggak akan keberatan kalau aku menerima tamu sebentar di rumah.” Gadis itu memasang kunci yang dia ambil dari saku rok ke pintu. “Rifahngn bagus,” puji Fano jujur. us “Keil,” sambung Rosa. “Tapi sangat nyanifin unt * ditinggali.” bad te | 7 3 Pintu dipuka. Rosa asuk diikuti Fano. ** / se “Kamu'bilang nggak ada orang?” & se te 7" te " es ra 123 “Memang.” “Vanila?” Rosa langsung memasang ekspresi tiba-tiba ingat karena tadi dia lupa total pada keberadaan sosok Vanila. Setelah meletakkan tumpukan buku yang dibawanya ke atas meja, kepalanya pun celingukan ke sana kemari untuk mencarinya. “Ke mana dia ya? Biasanya sih dia tidur di belakang...eh, maaf, duduklah dulu,” kata gadis itu. Fano memerhatikan wajah gadis itu setiap saat. Hampir semua ekspresi Rosa ditangkapnya. Lesung pipi gadis itu seolah tidak pernah hilang dari wajahnya. “Mau minum apa?” tanya Rosa yang langsung membuat Fano gugup. “Apa saja..” “Suka kopi?” “Lumayan.” “Kopi hitam atau kopi krim? Oh ya, aku juga masih punya cokelat kalau nggak salah..” “Kopi instan biasa saja yang sering kamu minum.” “Yang kuminum?” Rosa mengerutkan dahi. -waktu kamu di perpustakaan, Alg&, jarang nelihatrii tanpa cangkir kopi i itu.” “Oh, baiklah. Thnggu sebentar ya.” Rosa masuk ke digg lagi. Tidak berapa lama¥ferdengar sygra berbisik yang eras. Fano bisa mendengarnya. “Vihila, keluar. tae Jangan di situ! Sana masuk kamar! Jangan naik-naik ke meja! Di mana benangmu?” Itukah Vanila? Fano bertanya dalam hati. Tiba-tiba saja muncul sekelebat sosok putih yang melesat dari sana. Mau tak mau Fano kaget. Menyadari ada orang lain ada di sana selain majikannya, Vanila pun menatap Fano dengan mata bundarnya yang jernih, mirip mata Bisque Doll yang hitam. Kejernihan mata yang sama dengan yang dimiliki Rosa. Vanila mengeong pelan, lalu kaki-kakinya yang mungil itu berjalan cepat menghampiri Fano. Kucing itupun tanpa ragu mengusapkan tubuhnya yang penuh bulu ke kakinya. Fano tersenyum. Tangannya turun dan mengelus lembut kepala Vanila. Saat Fano berhenti mengelusnya, Vanila mendongak memandangnya. Sepasang kaki depannya terangkat. Sedetik kemudian, si Kucingpun berada di pangkuan Fano. Manja sekali. “Vanila?” Rosa memanggil namanya. Dia kembali ke ruang tamu sambil membawa nampan dan di atasnya ada secangkir kopi dengan asapnya yang mengepul. Melihat Vanila berselonjor ria di pangkuan Fano, gadis itupun berwajalg terkejut. Namun sesaat kemudian kembali tersungging. “Aku lihat kalian udah “k katanya menaruh cangkir! kopi itu di ‘tas meiggerya roy) “Dia bat: Fano tfenebak. / at aw x Ww L25; Rosa mengangguk. “Dulu ada Choco, pasangannya waktu mereka masih amat kecil. Tapi Choco hilang entah ke mana...” Fano dan Rosa melihat Vanila menguap lebar. “Selain aku, kamu orang kedua yang jadi sasaran bermanja-manja Vanila,” kata Rosa terkikik. “Oh ya? Siapa yang lain?” Wajah Rosa seketika berubah keruh. “Maaf, aku nggak bermaksud...” “Seseorang.” Rosa memotong ucapan Fano. “Dulu dia sering datang ke sini... sering bermain dengan Vanila.. memeriksa kesehatannya juga. Dia orang yang sangat baik..” Gadis itu menelengkan kepalanya ke samping, memandang menerawang keluar jendela. “Tapi dia pergi karena kemauannya sendiri, meninggalkan kami yang menyayanginya.” Hening. Beberapa saat lamanya mereka saling diam. “Ah, aku cerita hal yang nggak penting ya?” kata Rosa menyembunyikan rasa sedihnya dengan tersenyum tawar. Gadis itu selalu tersenyum tanpa peduli bagaimana suasana hatinya. », “Bukan, _keinginannya untuk pergi,” ujgr Fagp yakin. sal langsung beralif menatapnya.“Mungkin perasaannya af dure herbeda “@enganmu.” \ JAlku hdfgai i itu.” Rosa bersiap seolah semppranya baik- b k saja. Topi ena kenapa hatinya sesak. “Oh ya, buku se] 126 yang kamu pinjam... Ten Million of Fireflys... ita buku yang sangat dia sukai sampai-sampai dia membacanya be ac Aku suka kamu,” ujar Dimas sore itu. “Mau nggak jadi pacarku?” berulang-ulang.” Sabrina menatap lawan bicaranya. Semilir angin yang berembus sepoi-sepoi membuat rambut panjangnya yang ikal meliuk-liuk lembut ke samping. Rambut itu juga seolah sedang mengusap pundaknya yang terbuka. Dimas selalu terpesona melihat warna pualam kulit gadis itu. Beberapa detik mereka saling balas pandang, namun Sabrina tidak kunjung menjawab. “Aku tahu kamu punya pacar, tapi aku nggak peduli. Aku nggak keberatan jadi nomor dua, asalkan kamu ngizinin aku buat deket sama kamu.” Sabrina memundurkan kursi yang didudukinya. “Udah terlalu banyak yang bilang begitu ke aku. Sorry, tapi aku nggak minat,” tolak gadis itu datar. Saat Sabrina berdiri dan mulai berjalan_pergi dengartvmenitinggungi Dimas, laki-laki ita Jangsugg menambahkan lagi kata-katanya. 2 (N. “Gue bakal lakuin aga pun yang ; Io mie Serunyx. “Gue seriuggTapi tolong pikirin!” * It te * te we * wt 127 Be " Sempat terhenti jalannya, Sabrina hanya tersenyum sinis sesaat. Tanpa menoleh lagi pada Dimas, dia pun benar-benar pergi dari tempat itu. 128 EMPAT BELAS Fano mendengar dering ponselnya yang tergeletak di atas kasur kamarnya saat dia baru selesai mandi. Dimatikannya keran shower dan tanpa gerakan terburu- buru, dia keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk menyerupai piyama. Dahinya berkerut membaca nama di layar ponsel itu. “Paman?” “Fano? Apa kamu masih di Bogor?” tanya suara seorang pria d dari seberang sana. “lyf kendpa?” “Secepatnya kamu harus pulang!ke Manado, Ib yang minta. Dia udah, geengen banget sanyé kahnu daft) Astrid. Baga juga adikmu. Kalian tinggalldh \di*sini sebentar sampai keadaannya membaik,” * i de 2L9) le aw “Tbu makin parah?” tanya Fano lirih. Ibu yang sangat dia sayangi memang belakangan ini sering sakit-sakitan. Kesehatannya juga bergantung pada perasaannya. “Begitulah..,” jawab Om Luki—Paman Fano. “Om minta maaf kalau itu ganggu kamu, tapi ibu kalian bener- bener kangen. Sebentar saja. Tengoklah dia. Suara kalian lewat telepon nggak cukup katanya.” “Ya udah. Nanti aku telepon lagi, Om...” Secepatnya ya...,batin Fano sedetik setelah memutuskan sambungan. Dia melihat jam digital di ponselnya. Masih pukul delapan lewat enam belas pagi. Siang nanti dia berencana datang ke kantor penerbitan mengingat salah satu proyek tulisannya telah selesai. Setelahnya dia juga berjanji akan ke perpustakaan karena November Rosa ingin sekali membaca hasil tulisannya itu. Kebetulan selesai dengan cepat. Astrid pasti sedang sibuk pagi ini sampai sore nanti. Fano akan meneleponnya setelah kegiatannya usai saja daripada mengganggu. Sepertinya Fano harus memaksanya lagi karena sebelumnya anak itu sebal bukan main kare: a. dipaksa pulang ke kampung hglamabibunya mana ‘dia tidak bisa bergerak bebas. Dia masih remaja offen Fano 1 geemakfafninya, Tapi kdffiu dia pergi ke Maiado dan tinggal di sana sampai Keadaan ibunya membaik entah safipai kapan, 130 berarti dia tidak bisa mengunjungi perpustakaan yang menyenangkan itu. Dia tidak akan bisa bertemu November Rosa untuk sementara waktu. Satu hal lagi, dia juga harus memberi tahu Sabrina. Fano merasa bersalah karena belakangan ini telah mengabaikan gadis itu, walaupun di lubuk hatinya dia juga tahu kalau justru Sabrina duluan yang berhenti mengacuhkannya. “Gue mau ke perpustakaan,” ujar Sabrina sambil menerapkan jam tangannya di pergelangan. “Ngapain?” tanya Adel di ujung sana. “Makan!” jawab Sabrina ketus. “Tya-iya deh, gue tahu kok. Cuma tumbenan aja. Pasti ada yang mepet banget sampai lo sendiri ke sana. Sorry ya, gue nggak bisa nemenin. Oh ya, hari ini lo ada janji ke studio, gue ngingetin aja nih. Karena gue nggak bisa nganter, jadi ada Boni di sana yang gantian jadi asisten lo. Nggak apa-apa kan?” Sabrina tidak menjawab. Dia membalikkan badannya ke cermin untuk merapikan riasan serta rambutnya yang tergerarjatulif Berulang kali dia membuke tutup Ig¢i mejanya untuk mengambil alat kogmetik, sisir, ases dan sebagainya. i | { se re ( | + * It ee w w ul Ponsel dengan gantungan manik-manik warna-warni yang berkilauan itu dibiarkan Sabrina tetap tersambung sampai Adel sendiri yang memutuskannya. Dia juga telah mengeraskan volume suaranya supaya bisa sambil berdandan. “Oke, gue anggap lo nggak keberatan,” sambung Adel yang tidak kunjung mendengar sahutan. “Rama juga ada di sana. So plis, lo jangan pasang tampang jutek gitu kalau lo bener-bener pengen dapat perhatiannya dia. Udah, gitu aja. Have fun ya, Sab. Dah!” Perhatian Sabrina kini beralih pada tas kuning yang akan dibawanya. Memasukkan satu pack kosmetiknya, dompet, serta ponsel yang telah mati, tanpa menunggu lebih lama dia pun segera beranjak dari sana. Sopir yang biasanya mengantar jemput Sabrina salah tingkah saat nona majikannya itu mengambil kunci mobil dari saku bajunya tanpa mengatakan apa-apa. Dua puluh menit kemudian, mobil silver itu telah sampai di pekarangan rimbun dari perpustakaan yang letaknya berdekatan dengan sebuah sekolah luar biasa. Sabrina keluar dari mobilnya itu dengan memakai kgcamata hitamnya. Gadis itu keluar dan langsung fnenjadi ¥ at pethatian orang-orang di sekeliling sana. Menjadi balan fentgnan, Sarina tak peduli. Tanpa banyak kata, dia pur berfilan cepat memasulfuangan di spe + f Roy * 132 Sama sekali tidak terlihat dari wajahnya yang datar, Sabrina sebenarnya sangat kesal hari itu. Dia terpaksa mengunjungi perpustakaan karena ketua kelompoknya di salah satu mata kuliah memintanya mencari beberapa buku. Harus, jika dia tidak ingin ada kata “pasif” tertulis di sebelah tulisan namanya pada makalah akhir. Sabrina hanya tahu satu perpustakaan itu di Bogor yang sebegitu luasnya. Yang dia hafali hanyalah nama-nama mal, ataupun tempat hiburan lainnya yang sering dia datangi. “Selamat siang...,” sapa Susi yang bertugas menjaga di meja informasi. Sabrina hanya tersenyum sekilas padanya. Setelah membuka kacamata hitamnya, dia mendatangi rak- rak buku dengan klasifikasi tujuannya dia datang ke perpustakaan itu. Cukup lama dia di sana. Matanya sesekali melirik pada orang-orang di sekitarnya yang tidak jarang berbisik. Rak tempat Sabrina mencari buku-buku yang dia inginkan, dekat dengan sebuah pintu yang letaknya ada di ujung sana. Pintu itu dibuka dari dalam dan keluarlah seorang gadis yang kira-kira seumurannya dengan rambut dikucityekor ; :kuda. Dia tampak sedang terburu- bury. Sabrina menoleh pada gadis itu, spandangaii naw x bertemu lalu saling tersenyum satu sma lain Setelahnya, gadis itu bgjalan cepat Bielewatinya. | | ie Fn ne 3 q33) Sabrina merasakan sesuatu yang aneh menjalari perasaannya. Langkahnya mengikuti nalurinya yang muncul tanpa dia tahu sebabnya. Pandangannya mengikuti gerak gadis itu beserta tingkahnya. Gadis itu membuka pintu keluar. Sabrina pun berusaha melihat apa yang dia Jakukan. Sebuah mobil hitam dengan plat nomor yang Sabrina hafali terparkir di sana. Saat gadis tadi mendatanginya, keluarlah seorang laki-laki yang amat dia kenal. Gadis tadi menatap laki-laki itu dengan bingung. Laki- laki itu tersenyum padanya, kemudian mereka saling berpandangan penuh arti. Sesuatu kemudian bergejolak di hati Sabrina. Hawa dingin menjalar di sekujur tubuhnya. Ttu Fano. Pandangan yang sama saat dia bersama Sabrina, diberikannya juga pada gadis itu. Sabrina tidak mungkin salah mengartikan tatapan itu. Bibirnya terkatup erat, kedua tangannya terkepal. Hatinya sesak. Tidak ingin salah satu dari mereka melihatnya, Sabrina berbalik, pergi dari sana melalui pintu lain. 7 3 a ) . ° ' = 7) 134 LIMA BELAS Fano mulai mengemasi beberapa bajunya sambil dirinya mondar-mandir dari kamar ke ruang tamu untuk memastikan adiknya, Astrid benar-benar menurut untuk menemaninya pulang ke kampung halaman. Anak itu memang telah selesai mempersiapkan semuanya lebih dulu daripada Fano, tapi sejak tadi tidak ada sepatah kata pun yang diucapkannya. Entah karena mengantuk ataupun kesal karena mendadak disuruh pulang ke rumah orang tuanya setelah sekian lama tinggal di Bogor. Saat ini Astrid Snarbenar diam sambil matanya ménatap layér televisi yang menyala. 3 “Minum susumu Yens di atas meja. Bala aoe menyeduhgga,” kata Fané. ( \* 3 1 * te ww * ws Loo “Kak.” “Ya?” “Aku sebenernya nggak mau pulang...” Fano menghela napas panjang. “Kakak tahu kok.” “Aku takut sama mama...” Fano tertegun sesaat sebelum dia menghampiri Astrid dengan duduk di sebelahnya. Tangan kanannya terangkat dan mengusap lembut ubun-ubun gadis remaja itu. Astrid sama sekali tidak mencoba menampik tangan yang sekarang membuat rambutnya acak-acakan. Dia tetap diam dan tak berapa lama, kepalanya bersandar ke bahu Fano. “Kenapa takut sama mama sendiri? Heran deh.” “Astrid tetep sayang kok sama mama..Cuma semenjak mama sakit, mama juga udah mulai berubah. Nggak kayak dulu lagi. Setiap mama telepon... intinya pasti nyuruh aku sama Kak Fano pulang... Tapi kadang mama manggil Kak Fano dengan nama yang beda kan? Astrid tahu..” “Mama cuma ngelindur..,” kata Fano datar. “Kadang Astrid juga ngerasa kalau ada yang disembunyikan mama... papa juga. Itu kan, yang bikin kita Iebih baik tinggal di sini?” x 3 os “Papi sama mama cuma mau yang terbaik buat kita. Fa Ao jlebib, Sebaitknya kamu juga nggak mikir yang aheb- aheh. “Pasti itu gara-gara kébanyakan baga novel ya?” ‘Astrid mendengus. 7h 136 “Kalau udah sampai di sana nanti, kamu jangan cemberut ya. Musti senyum sama mama. Sama Om Luki juga. “Tyaaaaa,” sahut Astrid asal-asalan dan Fano langsung mengacak rambutnya terang-terangan. “Makan sarapanmu sana!” Astrid melengos lalu pergi ke ruang makan. Fano terdiam cukup lama sebelum otaknya kembali mengingat dengan jelas kata-kata ayah dan ibunya kurang lebih beberapa tahun yang lalu. Waktu itu mungkin umurnya sama dengan umur Astrid sekarang ini, hanya saja dirinya telah mampu berpikir secara dewasa. Suatu ketika dia tidak sengaja menguping pembicaraan antara ibunya dengan adiknya, Paman Luki. Fano mengetahui persisnya walaupun dia mendengar secara samar. Sebelum menikah dengan ayahnya, ibu Fano pernah menikah dan memiliki seorang putra. Karena itu adalah pernikahan yang terpaksa sebab ibunya mengandung di luar nikah, rumah tangga itu pun tidak berlangsung lama. Dia dan suaminya pun memutuskan untuk bercerai dalam hitungan minggu setelah anak mereka lahir. Ibu Fano menyintgan kepedihannya karena anak itu djbawa pakga oleh suaminya karena pria itu merasa,berhak. *% Beberapa tahun setelahnya, ibu” Fano ayn ren, Be lagi kemudign lahirlah Faho serta Astrid. Fano ‘tah ihunya . sangat merffayangi dirinya juga Astnid, 4, tapi dia tidak bia ww i137 sekalipun melupakan putra yang sebelumnya pernah dia lahirkan. Dengan kata lain anak itu adalah kakak Fano dan Astrid. Akhir-akhir ini ibu Fano sakit. Maryam Sanjaya, agak terganggu kondisi psikisnya. Kadang memang sama sekali tidak terlihat karena biasanya dia bersikap normal. Namun bila kondisi kejiwaan yang sebenarnya kambuh, maka wanita itu akan terlihat sangat depresi. Sama sekali tidak berbahaya. Wanita itu tidak pernah sekali pun melukai orang-orang di sekelilingnya. Tapi saat mendengarnya tiba-tiba menangis entah karena mimpi buruk ataupun sekedar teringat, lalu tanpa dia sadari menyebut nama putranya dulu, hati Fano langsung terasa sakit. Kadang Fano merasa tidak berguna, karena walaupun dia ada di sampingnya, wanita itu tetap tidak bisa melupakan putra sulungnya. Sekarang dia harus kembali ke rumah itu karena ibunya sangat membutuhkannya. Fano mengambil ponsel dari sakunya lalu menekan beberapa tombol. “Halo? Fano?” ro Dari dylu hingga kini, suara gadis ity seoith tetap ¥ mberikan ketenapgan di kala kegelisahannya. “Sabrina,” pangéiil Fano, JAda apa?” Didengar dari Baranya, gadis itu masih nlengabouk, Maklum waktu memang masih fh ‘igi sekali. +“ a, Erol 138 “Kuharap kamu nggak marah.. tapi hari ini juga aku ke Manado. Ibuku sakit.” “Oh ya? Dengan Astrid?” “Tya.” “Well... hati-hati. Semoga ibumu membaik dan kamu bisa secepatnya pulang.” “Makasih. Sampai di sana nanti aku telepon.” “Fano..” “Hm?” “Nggak apa-apa.” Jeda sejenak. “Aku cuma mau bilang kalau... aku sayang kamu.” “Heato2 Fano?” “Sabrina.” Fano memanggilnya dengan nada halus seperti biasanya. Sabrina mengerjap beberapa kali lalu menoleh ke samping untuk melihat jam weker yang menunjukkan hari masih terlalu pagi. Suasana gelap masih menyelimuti kamarnya. Bisque doll yang duduk manis di atas lemari pakaian seolah menatap Sabrina untuk membuat gadis itu terlelaprRembiili. te : “Ada apa?” tanya Sabrina diikuti dengan suara ern w rendahnya. i | (Vit “Kuhaygp kamu nebik marah.. tapi hari ini ihe saku fn < 559) ke Manado. Ibuku sakit.” “Oh ya? Dengan Astrid?” “Iya.” Sabrina tersenyum tipis saat dia mengingat pertemuannya dulu dengan Ibu Fano. Wanita itu sedikit terganggu jiwanya, dan Sabrina pastinya akan malas bertemu dengannya. “Well... hati-hati. Semoga ibumu membaik dan kamu bisa secepatnya pulang.” “Makasih. Sampai di sana nanti aku telepon.” Sabrina cepat-cepat memanggil namanya sekali lagi supaya Fano tidak langsung memutuskan sambungan. Otaknya mengingat secara cepat apa yang dilihatnya kemarin. Sedikit nyeri di hatinya ketika melihat Fano tersenyum penuh arti pada seorang gadis namun bukan dirinya. “Fano..” “Hm?” “Nggak apa-apa.” Jeda sejenak. “Aku cuma mau bilang kalau... aku sayang kamu.” Fano terdiam beberapa detik sedang Sabrina sibuk menerka a a yang dipikirkan laki-laki itu. Saat inighungkin sesuatu yang berbeda dengan saat dulu sebelum Fano ball megueut pikirnya, pAb j juga,’ ” balas Fano akhitatya. “Benatkab?” . 140 Dan tanpa menunggu Fano membalas lagi, Sabrinalah yang langsung memutus sambungan. Merenung cukup lama sambil menggigit bibirnya, Sabrina teringat akan seseorang. Hatinya mendebat sendiri soal apa yang akan dia lakukan. Sedetik kemudian, dia mengambil lagi ponselnya dan segera menekan tombol call pada orang yang jarang dia hubungi. « Ada temen yang mau nganter ya?” tanya Astrid yang heran melihat Fano berulang kali menatap layar ponselnya dengan gelisah. Fano terkesiap, lalu cepat-cepat memasukkan ponselnya itu ke dalam saku celana. Dia dan Astrid telah siap di bandara. Kurang dari lima belas menit lagi waktunya keberangkatan. Langit tidak bisa dibilang cerah ataupun mendung. Hanya semilir angin sejuk menerpa mereka yang ada di lobi. Orang-orang yang ada di sana mondar-mandir, ataupun sekedar duduk-duduk sembari menunggu dan mengobrol. Astrid yang tadinya memberengut sebelum mereka sampai di bandara itupun sekarany sedahg duduk tenang. Tapi matartya, menatgp aneh pada Fano. Be : “Nggak,” jawab Fang ysingkat. ' “Yaking2 Astrid ménastikan lagi deed sont curiga. * fn < 141 Fano memberengut melirik adiknya. Berdehem sebentar, dia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Astrid benar. Fano menunggu sesuatu. Tapi bukan kehadiran seseorang untuk mengantarnya. Dia tidak berharap Sabrina yang hadir. Sama sekali. Tapi juga bukan November Rosa. Fano memang memberitahu Rosa jika dia akan pergi untuk sementara waktu. Tapi dia tidak memberitahu kapan tepatnya. Lagipula, tidak mungkin kalau Fano sampai memintanya untuk mengantar karena gadis itu bekerja. “Lupain aja kalau kakak mau nunggu Sabrina,” celetuk Astrid. Nada suaranya berubah sinis. Fano mendongak, memandang langit-langit. Sakit matanya jika menerima tatapan tajam adiknya yang bagaikan elang itu. Astrid tidak pernah bisa menyukai Sabrina. Entah apa yang membuatnya jadi seperti itu. Feeling cewek, jawab Astrid dulu. Mungkin dia iri karena tidak semenarik Sabrina. Atau entahlah, Fano tidak bisa memahaminya. Akhirnya benda yang ada di dalam saku celana Fano berbunyi. Hanya dering pendek pertanda sebuah pesan singkat yang masuk. Fano tidak bisa megahansbibirnya ng mefhbentuk seulas senyum. f. \ 5s \ * th aS wt 17 - >, 142 Semoga perjalananmu menyenangkan. Titip salam untuk ibumu, semoga cepat sembuh. Pulangnya nanti, jangan Tupa mampir lagi ke perpustakaan. Dari November Rosa. Astrid mengerutkan keningnya mendapati Fano yang tadinya gelisah, sekarang senyum-senyum sendiri seperti orang gila. Tapi itu lebih baik pikirnya, daripada Fano mondar-mandir di depannya dan mengganggu pemandangan. Lagipula Fano tampak lebih baik daripada kemarin sewaktu menerima kabar soal ibu mereka. Astrid menggeleng pelan sebelum perhatiannya beralih ke majalah yang baru saja dia beli. Je ow OU i “ 1s ww Jag | f ag ww | * Ye dt " 1 " 34 1 te Ww ¥ a ENAM BELAS Tidak diragukan lagi, Rosa benar-benar menyukai pekerjaannya sebagai seorang pustakawan. Pagi tadi perpustakaannya menerima sebuah paket, yaitu satu ox besar yang memerlukan beberapa orang pria untuk mengangkatnya karena bobotnya yang sungguh berat. Rosa tambah senang ketika tahu siapa pengirim paket berisi lusinan buku-buku tebal itu, yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Setelah menelepon sang Ayah tadi untuk mengucapkan terima kasih sekaligus mengungkapkan rsa gembifanya, Rosa pun menggeledah Buku-biku itu. Se agian Resat buky baru, hanya iain yang usang, wt 7. - 144 Rosa bersikeras untuk memilah serta merapikan buku- buku itu sendiri tanpa bantuan rekan-rekannya. Karena gadis itu tampak sangat antusias, yang lain pun menyerah dan membiarkannya tenggelam dalam keasyikannya sendiri. Susi sebenarnya telah mengingatkan Rosa kalau langit sudah mulai gelap sore tadi. Rosa menjawab seadanya ketika satu per satu karyawan pamit padanya untuk pulang. Sekarang tinggallah dia seorang di dalam perpustakaan itu. Beruntung buku yang dibacanya habis saat itu juga. Gadis itu sedikit terlonjak saat mendongak untuk melihat jam dinding. Melihat buku-buku yang menumpuk di mejanya, Rosa langsung berinisiatif untuk merapikannya. Hanya seadanya. Secepatnya juga supaya dia bisa cepat-cepat pulang dan memberi Vanila makan. Kalau Vanila adalah seorang bocah kecil, dia pasti sedang ngambek berat sekarang. Angin dingin langsung menerpa wajah Rosa dan langsung membuat semua bulu kuduknya merinding ketika dia keluar dari perpustakaan itu. Rosa merekatkan jaketnyggyangymenyembunyikan dua buku di baliknya. “ Jalanan lengang malam itu. Rosa tidak berdhi aw karena suara langkahnya pasti akan” ‘fexdengy® j jélas dap berisik. Cukyp jauh dia Bérjalan, perasaan anéh pendadak muncul, R8sa tidak tahu kenapa rasanyy ingin gekali ww 145 menoleh ke belakang. Tapi ketika dia melakukannya, tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Masih sepi, sama seperti saat dia baru saja memasuki gang yang tidak terlalu sempit itu. Hanya saja detak jantung Rosa memacu dua kali lebih cepat. Lagi dia menoleh ke belakang. Cukup lama dia memerhatikan sebuah bangunan tua dengan mobil silver terparkir di halamannya ketika akhirnya dia melihat bayangan hitam bergerak-gerak di balik mobil itu. Rosa terkesiap. Ada penguntit! Rosa berbalik spontan dan berlari secepat yang dia bisa. Tenggorokannya seolah tersumbat, akibatnya dia tidak bisa sedikitpun berteriak ataupun menjerit. Saat berlari, Rosa juga menyadari kalau penguntit itu juga langsung mengejarnya. Matam bertambah dingin daripada sore yang mendung tadi. Rama baru sadar kalau dia telah pergi terlalu jauh untuk mencari objek untuk dipotret. Berdebat ; sgndiri dalam benaknya, akhirnya dia memiitusk&s untuk * Ce kembali. Itu dh lebih baik daripada dia harus mati Bey Kednepanyk jalan! Fotografer j ip manusia, batin Rama 146 Rahang Rama terkatup keras menahan angin dingin yang menusuk badannya saat dia mengendarai motor hitamnya di jalan. Otaknya langsung berpikir keras. Dia tidak bisa menunggu lama lagi untuk mencari kehangatan. Letak rumahnya masih terlalu jauh. Akhirnya dia pun memutuskan untuk berbelok ke daerah tempat tinggal Rosa. Gadis itu pasti tidak akan keberatan kalau Rama lagi-lagi menginap di rumahnya. Memeluk badannya sendiri, kening Rama berkerut melihat rumah itu masih gelap. Mungkinkah gadis itu belum pulang dari perpustakaan? Mau tidak mau Rama harus mencarinya. Harus, karena dia tidak mau sampai disangka pencuri yang berniat mendobrak paksa pintunya meskipun lingkungan sekitar sana lumayan sepi. Baru saja beberapa langkah Rama meninggalkan rumah itu, telinganya menangkap suara seperti seseorang yang berusaha berteriak tapi sesuatu membuatnya terpaksa bungkam. Rama refleks berjalan cepat untuk mencari sumbernya. Setelah melewati sebuah belokan, dia tidak bisa menyembunyikan besar keterkejutannya melihat sekilas pemandangan yang seketika membuat amarahnya bangkige fm Aw y- a8 3 Bs fn 1S 2 “Diamlah! Gue nggak perlu kayak gini semisal lo nggak coba-coba teriak!” bentak Dimas dengan berbisik tepat di telinga Rosa. Seolah tidak peduli dengan kata-kata laki-laki itu, Rosa terus meronta untuk membebaskan dirinya, tapi semua itu dirasa percuma karena tubuh Dimas yang kekar jauh lebih kuat daripada badan Rosa yang kurus. Rosa tidak menyerah dan tetap berusaha untuk lari. Tidak mencoba untuk berteriak? Yang benar saja! Yang jelas penguntit itu bukan orang baik dan Rosa tidak akan pernah mau berkompromi dengan orang jahat. Mata Rosa mulai buram karena tenaganya telah terkuras. Dimas juga belum melepaskan tangannya yang membungkam mulut Rosa. Tangan laki-laki itu mencengkeram kuat lengan Rosa hingga membuat gadis itu kesakitan. Setetes air matanya menitik. Tiba-tiba saja badan Dimas tertarik kuat ke belakang. Begitu besarnya energi orang itu, Dimas sampai-sampai tidak percaya sedetik kemudian badannya terjerembab begitu saja ke tanah. Kedua tangan yang tadinya membekap Rosa pun terlepas. Masih belum bisa mencerna apa yang télah terjadi tahu-tahu sebuah tangan lain’ ‘yangvterkepal kuat langsung mexigenai rahang Dimas. Tidak cukup ” Rosa menyeringai. “Anggap saja begitu.” “Senang jika benar begitu,” sambung Fano dan wajah Rosa langsung memerah. Untung saja mereka berada di tempat yang berbeda sehingga Fano tidak akan bisa melihat wajah Rosa yang perlahan jadi semerah tomat ranum. “Bagaimana keadaan ibumu?” Rosa cepat-cepat mengalihkan topik. “Sangat sehat. Beliau membaik setelah aku dan Astrid ada di sini.” “Syukurlah. Beliau benar-benar merindukan kalian ada di sisinya.” Hening. “Halo? Kamu bisa dengar aku kan?” “Bagaimana denganmu?” tanya Fano kemudian. “Bagaimana apanya?” “Apa kamu merindukanku?” eb rtegun. Butuh waktu lama yang dia perlukan «| vyatuk foegigwab ‘pertanyaan itu, Tapi saat mulutnya ay hembuka) Hendak menjawab, pita ruangan Rosa diketuk din, labgsbng. aie Susi melongokkan Rpalanya ke 170 dalam. “Mbak Rosa, dicariin sama ayahnya,” kata Susi dengan mata berbinar-binar. “A-ayah?” “Tya, cepetan! Ditungguin tuh! Beliau lagi nyapa yang lain juga.” Susi menutup lagi pintunya. Hal itu sukses membuat Rosa tambah bingung. Ponsel yang masih tersambung itu masih menempel di telinganya. “Fano.. aku—..” “Nggak apa-apa. Lain kali aku telepon lagi. Semoga harimu menyenangkan.” “Semoga harimu menyenangkan.” Fano benar-benar tulus mengatakannya. Benar begitu, sampai ketika saat dia memikirkannya, kata-kata itu justru bisa bermakna sebaliknya. Tapi dia harap Rosa tidak akan mengartikannya seperti itu. Fano merasa dirinya sungguh bodoh karena bisa-bisanya bertanya seperti tadi. Apakah November Rosa merindukannya? Fano jelas tidak ingin gellis ifa tahu kalau jantungnya serase mau lepyss menunggu jawabannya. 4s (N. * Benar-benar... Mengpenya jawaban sepigti apa yang x dia harapkga? * if ge te * qe “ Ww * 171 Hujan deras yang pagi tadi mengguyur sudah reda. Tapi langit di luar masih berwarna abu-abu. Keruh dan pekat seperti suasana hati Fano sekarang ini. Ketika dia berbalik badan menuju ke arah kamarnya untuk mengerjakan sesuatu, ponsel yang tadi dia masukkan ke saku celana berdering. Mata Fano bahkan tidak berkedip saat melihat nama yang tertera pada ponselnya itu. “Sabrina?” “Hei...” Suara gadis di seberang sana terdengar lesu. “Kamu belum hubungin aku sesampainya di sana...” “Maaf,” ucap Fano. “Kamu baik-baik aja?” “Sebenernya nggak...” “Kamu sakit?” “Nggak juga...” Fano diam sejenak, berpikir. Ada yang aneh pada Sabrina. “Di mana kamu sekarang? Di rumah atau...” “Masih di kampus...,” potong Sabrina. “Fano.. kapan kamu pulang?” Sekarang, suaranya berubah lirih. “Apa ada sesuatu yang terjadi? Kamu bener-bener baik-baik aja kan?” “Aku nggak akan bisa baik-baik aja kalau nggak ada sini...,” ” javyab Sabrina setengah berbisik. “Aku * au di aif via harap, kamu ‘dda di sini peluk aku... anggap aja aku ¢ rherindiikarinu.” x LCE DUA PULUH Gaun putih selutut dengan dua pita merah tua keemasan yang kemudian dijalin membentuk seperti renda, tanpa lengan namun bagian atas dada sampai leher yang tertutup sangat pas di badan mungil Rosa di pesta malam pertengahan November. Hernawan Soemowidado tersenyum saat melihat putri tunggalnya itu keluar dari kamar utama setelah didandani oleh Melati Soemowidado, istrinya sekaligus ibu Rosa. “Aku lebih pantas pake yang ini atau rok panjang yang tadi, pie tania Rosa sambil mengeneorsnalee bagitth bawah roknya ke kanan dan ke kiri. J “Kamu cantik pake, fee aja kayaknya,” ip prin Yt menggelemy { te Ww vn ws 2 73) at * Rosa dan ibunya saling berpandangan kemudian tertawa bersamaan. “Anak siapa dulu dong?” imbuh ibunya. Tangannya terangkat lagi untuk menata hiasan perak berbentuk mawar yang disematkan di rambut Rosa. Tapi tiba-tiba dia terbatuk-batuk juga menekan dadanya, menahan rasa sakit. “Mama istirahat aja di kamar. Aku sama papa mau langsung berangkat,” kata Rosa cemas. “Maaf, mama nggak bisa temenin kalian ya... Mama janji bakal cepet sehat deh. Tapi nanti temenin mama jalan-jalan ya.” “Pasti kok.” Rosa mengerling. Dia beralih menghadap papanya lalu menggamit lengan pria berusia lima puluh tahunan itu. “Ayo, Pa.” “Yuk. Berangkat dulu ya,” kata Hernawan pada Melati. Istrinya itu tersenyum mengangguk, Mobil hitam itu pun meninggalkan rumah mewah di kawasan elit yang letaknya cukup jauh dari pusat kota. Rosa dan Hernawan duduk berjejer di belakang sopir yang mengemudi. “Mam: , sebenarnya sakit apa?” tanya Resa. 3% " demam, dan batuk biasa. Kamu nggak perlu fe | Nagak ad yang perlu, dikhawatirkan,” jawab ayahnya terfing. * “Pasti gara-gara kecapekan.” 174 “Ya.. kata dokter begitu. Mamamu itu kadang kecanduan memasak di restorannya sendiri. Bahkan chef di sana sering bingung. Kamu tahu mamamu nggak lagi semuda dulu sewaktu masih aktif di beberapa restoran bintang lima. Tapi semangatnya musti jadi teladan buat kamu.” Rosa tersenyum. “Tapi aku belum bisa bikin masakan seenak masakan mama.” “Mamamu nggak pelit kan kalau ngajarin? Makanya, sering-sering aja pulang ke rumah biar kalian bisa masak bareng.” Hernawan berdehem sebelum melanjutkan. “Kan papa juga bisa komentarin masakan kamu nanti.” “Bilang aja papa cuma mau masakannya.” Mereka berdua tertawa. Hernawan Soemowidado adalah seorang pebisnis yang sukses di bidang properti. Tetapi dia juga tidak ragu untuk merambah ke bisnis lain seperti restoran dan hotel. Di umurnya yang telah menginjak tiga puluhan, dia bertemu dengan seorang chef perempuan yang begitu tekun dan mencintai pekerjaannya. Dialah Melati, ibu Rosa. Wanita,yang tetap cantik walau usianya tidak lagi muda. Matanya yang dulu teramat teduh serta nN ¥ irly Was pipi kanannya, ada pada Rosa. Dat™ Hernayyan |sen Rosa mendapatkan rantifat lurus yang hitam" ‘legam, serta tebal, berb@da dengan Melati yang meiliki rambbt ww 275 a bergelombang. Sekitar lima belas menit kemudian, mobil itu berhenti di parkiran sebuah hotel mewah yang berdiri megah dengan ditemani pancuran besar di kanan dan kiri pintu masuk utama. Pelayan berseragam menyambut Rosa dan ayahnya dengan ramah serta mengantar mereka ke aula. Di sana telah banyak orang-orang berkumpul dengan mengenakan pakaian yang indah—seperti pesta kepunyaan orang berpengaruh pada umumnya. Rosa tetap melingkarkan kedua lengannya pada lengan kiri Hernawan saat ayahnya itu menyapa beberapa orang yang dikenalnya. “Ini putri saya, Rosa,” kata Hernawan ramah. Rosa tersenyum dan menjabat tangan satu per satu beberapa orang yang mengobrol dengan mereka. Ada tiga orang, dua pria dengan setelan jas hitam dan seorang wanita bergaun panjang berwarna abu-abu. “Cantik sekali. Mirip dengan nyonya. Bagaimana kabarnya?” tanya wanita yang berusia sekitar tiga puluhan itu. “Agak kurang sehat. Maka dari itu saya ditemani Rosa. Qh ya, sekagang kelas berapa anaknya?” es ss Rosa" tidak begitu tertarik mendengar percakapan rO Datos. grang- ofiing yang sudah berumur itu. Dia } Kemudian amit sebentar pada Wernawan dengan alasan mau ke gay, kecil. Rosa mengambil sebuaif’s ‘gelas berisi * 176 Jemon squash dan mencomot sebuah kue kering di atas meja hidangan. Sambil minum, dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling aula yang luas itu dan memerhatikan beberapa tamu lain yang mengobrol ataupun pelayan pembawa nampan yang bersliweran ke sana kemari. “Permisi, bisa tolong ambilkan kotak tisu di dekatmu?” Rosa membalik badannya dan melihat seorang laki- laki muda yang tersenyum padanya. Mereka berhadapan namun dipisahkan oleh meja panjang hidangan itu. Rosa ikut tersenyum kemudian mengambilkan sebuah kotak tisu yang laki-laki itu maksudkan. “Terima kasih,” ucapnya. “Sama-sama.” Laki-laki yang tampan. Rosa menebak mungkin usia mereka kira-kira sama. Wajahnya putih merona, halus tanpa noda karena terawat dengan baik. Dia hanya sedikit lebih tinggi dari Rosa. Matanya sipit, mengingatkan Rosa pada aktor-aktor asia yang sering dia lihat di televisi waktu sore hari. “Maaf, ada sedikit remah kue di bibirmu,” kata laki- laki itu sambil menunjuk bibirnya sendiri, sebelah kanan. Rogg langgung kikuk sendiri dan Jangsung. mengampjl tisu untuk membersihkan bibirnya. * “Sudah hilang>” tanyanya. Ww | /\ a Laki- lagi itu terse&fum manis. “Sudaits 4 jjawahmy. “Kamu ke {hi sendirian?” Pe ee 3% ts ° te ww * a 177 7 “Nggak. Aku ke sini dengan ayahku.” “Sudah memberi selamat pada tuan rumah?” “Tuan dan Nyonya Kartawira? Sudah. Tapi pasangan yang bertunangan belum hadir kan?” “Ya. David dan Liana,” sebut laki-laki itu. “David Kartawira itu kakakku. Aku rasa dia sedang menunggu Liana yang pastinya belum selesai berdandan.” “Oh, maaf.” Buru-buru Rosa meletakkan gelasnya kembali ke meja. “Namaku Rosa.” Mereka berjabat tangan. “Aku Denis. Apakah ayahmu rekan kerja ayahku?” Rosa mengangguk. “Katanya mereka berteman sudah cukup lama. Karena mama sedang sakit, jadi aku ke sini menemani ayah.” “Kau tampak cantik memakai gaun itu,” puji Denis dan Rosa hanya tersenyum tersipu. “Kuharap kau nggak keberatan menunggu beberapa saat lagi. Rasanya agak membosankan ya?” “Sedikit,” jawab Rosa jujur. “Omong-omong, selamat atas pertunangan kakakmu.” “Terima kasih.” ro Rosa mengambil gelasnya lagi dan bespiat péxgi dari a. Taji sialnya | saat membalikkan badan, dia tidak ofous menabrak *Sseorang sehingga lemon squash itu “| timpal dant’ membasahi baju ntpteka berdua, Denis yang awalnys juga gkan erg dari sana langsung ienoleh lagi 178 dan tahu-tahu dia melihat Rosa panik karena kejadian itu. “Maaf!” ucap Rosa penuh rasa bersalah. Dia menabrak seorang gadis dan membuat gaun panjang biru tua miliknya jadi basah di bagian kiri atas. Awalnya gadis yang berambut bergelombang panjang dengan poni tipis yang lurus itu terlihat kesal, tapi wajahnya seketika berubah saat melihat Rosa. Tamu-tamu lain yang melihat kejadian tadi tidak terlalu peduli dan melanjutkan obrolan masing-masing dengan lawan bicara mereka. Denis melangkah ke samping, bukan untuk pergi, tapi dia berjalan memutar untuk mendatangi mereka. Raut wajahnya tanpa ekspresi mengingat gadis yang bergaun biru tua itu ternyata juga datang ke pesta ini. Gadis yang sangat dia kenal, dulu sewaktu SMA. Perasaan laki- laki itu sulit dijelaskan. Antara rasa tidak suka dan rasa ketertarikan yang telah lama ada. Sabrina tidak merasa kalau dia berjalan cepat. Menurutnya tempo langkah kakinya biasa saja, tapi tabrakdne tadi*cukup keras. Tidak hanya nienubruknja hingga Sabrina nyaris saja terjatuh keybelakang, gadis yfBN memakai gaun putih pengek selutut i itu juga senyiramkayt } 3 isi gelasnyajke gaun bird Yua Sabrina. Akibatnyd, bbigidn vn Leo) gaun itu basah. Sabrina juga merasakan bagian samping badannya lengket. Tapi saat dia akan mengomeli gadis yang lebih pendek darinya itu, mendadak Sabrina mematung. Nama gadis itu... Rosa? “Saya minta maaf... saya nggak sengaja,” ucap Rosa panik. Dia sibuk mencari-cari tisu. “Lebih baik kalian segera ke ruang ganti.” Sabrina dan Rosa kompak menoleh pada Denis yang tahu-tahu sudah ada di tengah-tengah mereka berdua. Dengan tenang, laki-laki itu menggiring keduanya menjauh dari keramaian pesta. Sabrina dan Rosa bebarengan masuk ke ruang ganti wanita. Sementara Rosa sibuk membersihkan gaunnya dengan air seadanya, Sabrina melirik gadis itu dengan raut wajah tidak suka. “Lo temenan sama Denis?” tanya Sabrina. Rosa menoleh padanya. Mereka sama-sama saling memandang lewat cermin. “Kami baru berkenalan tadi,” jawab Rosa. Dalam hati dia gelisah karena Sabrina jelas-jelas menatapnya tanpa keramahan sedikit pun. “Oh ya?” Sabrina tersenyum sinis. erti itt Dia sama sekali tidak merasa inva Detik (Xs a, gadis “tu berniat segera pergi dari sana sételah merfgucapkan kata maatéekali lagi. Jeri Sabrina nlemadggll ngmanya. + 180 “Namamu Rosa kan?” “Tya. Apa kita pernah bertemu sebelum ini?” Bagi Sabrina, Rosa tampak begitu naif. Hal itu yang tambah membuatnya tidak menyukai gadis yang terkesan polos itu. Lagipula, kenapa gadis yang bekerja di sebuah perpustakaan sederhana bisa-bisanya hadir dalam pesta mewah yang sedang berlangsung ini? Sabrina bisa maklum kalau gadis itu adalah teman Denis. Tapi dia bilang kalau mereka baru saja berkenalan. Atau ada orang lain lagi yang mengajaknya? Lebih dari itu Sabrina benar-benar penasaran siapa sebenarnya Rosa. “Lo kerja di perpustakaan,” ujar Sabrina yang terang- terangan menghindari tatapan Rosa. “Memang. Apa kamu salah satu anggota di perpustakaanku?” “Perpustakaanku” katanya? Jangan bercanda! Tangan Sabrina terkepal. Benaknya teringat Fano dan seketika hatinya memanas. “Fano...” sebut Sabrina pelan. “Kenal dia?” “Ya, dia sering datang ke perpustakaan.” “Kalian terlihat... akrab.” “Mbaf?” ». nN Rosa sedikit terkesiap melihat Sabrina Sabhatanoe lurus seperti pisau yang siap merighujam, Aapan pun, | Tidak hanyg itu, Sabriga juga perlahan-! tafian besaldn | mendekati Rosa. is < im ‘ 181 “Gue nggak tahu kalian punya hubungan apa, yang jelas gue minta lo jauhin dia.” Kedua bibir Rosa terkatup erat. Ekspresi wajahnya menunjukkan kalau dia tidak mengerti apa maksud Sabrina. “Fano itu calon tunangan gue.” Tubuh Rosa seketika membeku. “Lo pasti inget malam sewaktu ada seseorang coba nguntit lo kan? Rama nolong lo dengan ngehajar orang itu. Gue juga nggak tahu ada hubungan apa lo sama Rama sampai-sampai dia ngancam gue supaya nggak ganggu lo lagi. Tapi lo musti camkan baik-baik, gue sama sekali nggak takut sama dia. Gue bisa lakuin lebih dari itu kalau lo masih tetap ganggu Fano. Dia pacar gue.” Rosa diam mematung. Tidak ada kata yang mampu keluar dari mulutnya sekarang. “Gue yang nyuruh orang itu buat nguntit lo,” kata Sabrina lagi, memperjelas kata-katanya. “Inget baik-baik a « : Anak mama jadi cantik begini.. ujar Maryam soal ini.” * ee saat mepyisir rambut panjang Astrid dan Ymereka|sama-sama ‘menghadap J Ke cermin. “Kamu benar- benar uidah ‘bestit Udah berapaffahun yar” 3h as Woy 182 “Astrid ke Bogor setelah lulus SMP, Ma...” “Ya.. Mama ingat. Kalian berdua di sana.. ninggalin mama sendirian di sini...” Astrid terdiam sesaat. “Astrid sama Kak Fano nggak punya niat ninggalin mama. Bukannya karena saran Mama juga, aku sama Kak Fano ada di sana?” Maryam mengangguk perlahan. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi dia tersenyum. Astrid yang melihat hal itu mendadak sulit bernapas. “Mama... berharap kalian menemukan dia... anak mama...” “Maksud mama apa?” ia... punya mata, hidung, dan bibir.. yang sama seperti yang kalian punya...” Lagi-lagi mamanya berbicara aneh. Rasa takut mulai menjalar di sekujur tubuh Astrid. Badannya bergerak cepat ke samping, menggeser tempat duduknya, dan sekarang dia berdiri menghadap Maryam yang masih tetap pada posisinya tadi. Tenggorokan Astrid seperti tercekat saat bulir-bulir air mata jatuh membasahi pipi di wajah pucat Maryaste # “Ma.” Empat hari di sana, Astrid pilér nega 4 ler te berubah ngrmal. Papay mama, Fano, serta \dizinya berkumpul”layaknya sebuah keh ‘Topi puampanya . a 2 183 Ya 3" bersikap seakan ada orang lain lagi yang harusnya ada di tengah-tengah mereka. Seseorang yang baginya begitu berharga. Yang jelas dia bukan Astrid maupun Fano. Maryam tertegun. Kedua tangannya gemetaran lalu terangkat untuk menutupi wajahnya. Dan tidak lama kemudian tangisnya pun pecah. Dia menangis terisak. Suaranya terdengar sampai ke seluruh sudut rumah itu. Astrid benar-benar tidak mengerti apa yang membuat mamanya jadi seperti itu. Dia lalu berlari keluar kamar mamanya dengan tergesa-gesa. Astrid memekik ketika dia menubruk Fano. Kakaknya itu langsung memeluknya tanpa berkata apa pun. Perasaan Astrid campur aduk, dan dia pun mulai menangis. i Sabrina mengeluarkan sebuah kotak rokok dari tas kecilnya kemudian mulai menyulut salah satu isinya saat dia menyadari seseorang mendekatinya dari belakang. Spontan dia menoleh dan melihat Denis memandangnya datar. Kedua tangan laki-laki itu masuk ke saku celananya. “Gue salut. Sifat lo ternyata nggak berubah sedikit pen,” jar Benis. * x Rokok yang taginya dijepit oleh kedua bibir Sabrina Sekarang dilempar’ begitu saja, ske tong sampah tanpa sémyati dinyalakan. Gadis itu baitis menatap Pgnis dingin. Woy 184 Dahinya berkerut melihat laki-laki itu tersenyum. Oke, dia memang mengenal Denis saat pertama kali mereka bertemu sewaktu dia dan Dimas menemani Rama waktu pemotretan. Wajah laki-laki itu cukup lumayan untuk dijadikan sebagai model. Dia jelas sangat peduli pada penampilannya seperti Boni, tapi tingkah mereka tidak sama. Perasaan aneh timbul begitu saja pada Sabrina yang untuk pertama kalinya ini dia memerhatikan sosok Denis baik-baik. Matanya menyipit melihat sesuatu yang terasa tidak asing pada orang di hadapannya sekarang ini. “Beberapa kali kita ketemu akhir-akhir ini.. gue simpulkan kalau lo bener-bener lupa,” kata Denis lagi yang lalu tertawa kecil sinis. “Gue kenal lo sebelumnya?” Sabrina memasukkan lagi kotak rokoknya ke dalam tas. “Daripada gue musti repot-repot cerita, mendingan lo inget-inget lagi kejadian tujuh tahun lalu, sore hari, di laboratorium fisika...” Sabrina merasakan jantungnya diremas kuat-kuat dan sekujur tubuhnya membeku. Ingatannya langsung melayang saat dia masih duduk di bangku SMA. Ada seoranglgadig; remaja seumurannya selain Sabrina, dan seorang lagi remaja laki-laki yang tiba;tiba saja rineayiny + % x , *% | Vs apa yang dia lakukan di am Ww ay a Ww fm ns 2 185 DUA PULUH SATU Mereka satu kelas, Denis dan Sabrina. Tapi karena saat itu Sabrina yang memiliki segalanya; populer, cantik, kaya, juga pintar, gadis itu tidak terlalu memedulikan hal- hal lain di sekitarnya. Termasuk perasaan Denis. Sabrina jelas tidak tahu kalau Denis punya perasaan lebih padanya. Hingga suatu hari, datanglah seorang siswi pindahan dari sekolah lain di luar kota. Sangat bertolak belakang dengan Sabrina yang populer berkat penampilan luarnya, Bertha mementingkan tthgkah Jaktunya yang menyenangkan sefiingg@*dirinya diSukai oleh siapa saja. Bertha tidak pilih-pilih teman. Dia . Thurah enyizm dan sering kali gnendahulukan yang lain /) sebéhurh themikirkan dirinya. Denis pikir d&png seperti *" st st 7. “ we * “ 186 dia sudah jarang ada di dunia ini. Bertha yang cerewet, juga dengan senang hati mengobrol banyak dengan Denis hingga mereka berdua jadi sahabat. Denis masih setia menaruh perasaannya pada Sabrina, hanya saja dia merasa nyaman jika berada dekat Bertha. Gadis itu periang dan menyenangkan. Tapi ternyata Sabrina tidak menyukainya. Saat sore hari dan hujan, Sabrina dan teman-temannya waktu itu menemukan kesempatan yang bagus untuk menyekap Bertha dan memberi pelajaran pada gadis itu. Denis tidak tahu persisnya inti dari permasalahan yang menyeret mereka berdua. Yang dia tahu hanyalah perasaan tidak suka Sabrina pada Bertha. Hari itu Bertha pulang terlambat dari biasanya setelah mengerjakan piket kelas. Entah apa yang sebenarnya dipikirkan Sabrina hingga dia menculik gadis malang itu dengan bantuan teman-teman pembuat onarnya. Kedua mata Bertha ditutup dengan kain, dan mulutnya disumpal dengan jalinan tali tambang. Dia dibuat pingsan terlebih dulu sehingga tidak bisa melawan. Baru setelah mereka ada di laboratorium fisika yang letaknya terpisah dari gedung sekolah, Bertha dibangunkan paksa dengan menyiram tubuhnge dengan air. ue Denis tidak sengaja mendengar, bunyi berigik de * bagian belakang gedung. Penasarih, dia ona ne laboratoriugy fisika itu dean mengintip lewat jandela tanpa * tirai. Denis’terkesiap melihat Sabrina becluigt thenighadap . ? ie 2 187 Bertha—yang tubuhnya terikat dengan tali—dengan tangannya yang teracung ke depan, membawa sebuah gunting. Tanpa pikir panjang, Denis memergoki mereka setelah lebih dulu mendobrak pintu. “Apa yang kalian lakukan?!!” bentak Denis penuh kemarahan. Teman-teman Sabrina yang terkejut, khawatir kalau Denis akan melaporkan mereka, membujuk Sabrina supaya lekas pergi dari sana, tapi gadis itu bergeming. “Gue nggak tahu apa masalah kalian! Jangan ganggu dia lagi!!” “Jangan ganggu dia lagi?” Sabrina mengulangi ancaman Denis. Gadis itu menyeringai. Tiba-tiba dia berjalan cepat ke arah wastafel dan mengambil sebuah gelas berisi cairan bening. Komplotan Sabrina sama sekali tidak menyangka kalau dia akan senekat itu. Semuanya terkesiap, tidak terkecuali Denis. Sabrina berbalik badan, berjalan cepat lagi tapi kali ini dia menuju ke arah Bertha. Dan benar saja, Sabrina menyiramkan cairan itu. Tapi tidak mengenai Bertha, melainkan Denis. gmemekik menahan sakit. Wajahng& terasa ertitébakar, | \ | gt * 4] | 6 no sh "s st os “ st sb ot sh “ * “ 188 “Gue beruntung,” ucap Denis yang tampak tenang walaupun dalam hati sebaliknya. “Gue punya keluarga yang nggak pernah kekurangan dalam hal materi. Orang tua gue nggak ragu keluarkan uang buat gue operasi plastik supaya wajah gue bisa kembali normal. Jadi wajar kalau lo sama sekali nggak ingat sama gue.” Sabrina tetap membisu. “Kenapa lo diam?” Tatapan tajam Denis kini menghujam Sabrina. “Apa lo bisa bayangin bagaimana rasa sakit yang harus gue tanggung waktu lo siram gue dengan air keras?” Sabrina mundur selangkah. Napasnya memburu. Rona wajah Denis berubah kemerahan. Teringat masa lalu, rasa marah yang selama ini dia simpan, mulai keluar. “Apa di kamus lo nggak ada kata maaf?” Air mata Sabrina menyeruak keluar namun tidak sampai tumpah. Kedua tangannya terkepal kuat untuk menyembunyikan sedikit gemetar ketakutan yang entah sejak kapan muncul. Kulit wajah seseorang yang melepuh. Terjakan menahan sakit. Dat ¥sekelflingnya gelap. ey # Ingatan yang buruk itu kembali dagi. [iN i 3 | Ve 14 w “7 Nas | Z x * 3% 1 . te * * *t Fano lupa menjemput Sabrina padahal sudah mulai menjelang malam. Langit pun semakin gelap. Fano tambah panik mengetahui Sabrina ternyata belum pulang ke rumahnya. Dia berusaha menghubungi semua teman- teman Sabrina yang dia kenal. Nihil. Gadis itu juga tidak ada di tempat-tempat yang biasa dia datangi. Apa mungkin Sabrina masih ada di sekolah? Pikiran itu tiba-tiba saja terlintas saat emosi Fano tidak karuan. Fano mendatangi bangunan besar yang kokoh itu. Seorang penjaga awalnya menghadang Fano tapi akhirnya dia mengijinkannya masuk hanya saja dengan ditemani. Hanya dengan cahaya senter, mereka berkeliling dan berseru memanggil nama Sabrina. Gadis itu ternyata terkunci di dalam ruang kelasnya sendiri. Dia meringkuk di pojok ruangan sambil memeluk kedua kakinya yang terlipat. Ujung kaki beserta tangannya dingin, tapi tubuhnya demam. Wajahnya basah berkat air mata yang belum juga berhenti mengalir. Sabrina ketakutan. Fano tidak tahu apa yang menyebabkan dia jadi seperti itu walaupun dia berusaha mencari tahu. Sabrina pun tidak pernah | mengungkit- wrgkitnya lagi. Tapi semenjak itu dia takut pada Blap. * 7 a4 190 “Kita akan pulang setelah keadaan ibu membaik.. Mungkin lusa, oke?” Astrid memberengut menatap kakaknya sebentar. Matanya sembab sehabis menangis di pelukan Fano tadi. Tapi sekarang dia jauh lebih baik setelah Fano menenangkannya. Astrid tetap merajuk sebelum akhirnya dia tersenyum samar. Fano balas tersenyum lalu mencium kepala adik perempuannya itu setelah mengusap-usap rambutnya. “Nah, sekarang tidur. Lebih baik kalau lampunya dimatikan aja biar kamu...” Seketika listrik padam. Astrid pura-pura terkesiap. Fano mengambil ponsel dari sakunya sehingga bisa menerangi kamar itu walaupun intensitas cahayanya tidak seberapa. “Cobalah buat tidur. Mungkin sebentar lagi lampunya nyala. Eh, tapi memang seharusnya lampunya mati. Astrid tertawa kecil. “Met malem, Kak.” “Selamat malam, Astrid.” Bau tanah basah tercium, bercampur dengan aroma farnitu?ayu Yang baru dipelitur saat Fano pefgi-ke ruan tamu. Sesampainya di sana, seseoradg telah menyalakfan lilin lalu menaruhnya diggreja tengah. Tirai jedela belum | Pa ditutup sekifgga Fano bisa melihat dengan j jel gions ww % ¥ SEES hujan di luar rumah. Angin bertiup menerobos ventilasi dan celah bagian bawah pintu sehingga api lilin kecil pun mengerjap. Seseorang tengah menangis, batin Fano entah karena apa. Dan lilin itu mengingatkannya pada kunang-kunang. Fano mendesah sesaat seraya duduk di salah satu kursi. Matanya terpejam, berusaha menikmati suatu hal. Merindukan seseorang. > 7 wt 192 DUA PULUH DUA Nomor yang anda tuju sedang sibuk. Silakan...” Kenapa dia selalu menolak telepon? Fano terpaksa mematikan lagi ponselnya. Berkali- kali dia mencoba menghubungi seseorang, namun yang menjawabnya selalu layanan operator. Apa mungkin gadis itu terlalu sibuk sehingga menjawab telepon pun dia tidak sempat? Tapi berulang kali juga Fano mengirim pesan singkat, tetap tidak ada balasan. “Aku ke tempat kakak dulu atau gimana nih?” tanya Astrid Ping ldhgsung membuyarkan lamunarFano. + “Oh, well... kamu bisa langsung plang ke “te Nanti kalau ada baranggwu yang ane bis iw antar ke sa¥@ kapan- kapan.” | * fn a 3 93) Astrid mengangguk. “Kalau begitu aku naik taksi aja. Dah kakak!” Mereka berdua saling melambai saat berpisah di bandara. Perhatian Fano beralih lagi pada layar ponselnya yang mati. Apakah terjadi sesuatu? Tiba-tiba saja pikiran itu terlintas. Fano memasukkan lagi ponselnya ke saku. Selanjutnya dia menarik koper, berpikir kalau sebaiknya dia cepat pergi dari sana dan mendatangi suatu tempat. « Mas Fano! Lama nggak ke sini,” sambut Susi ramah. Alis Fano terangkat melihat model rambut gadis pustakawan itu. Dia telah memotong rambutnya menjadi pendek sekali. Persis gaya rambut laki-laki. “Um.. anu...” “Mau ketemu Mbak Rosa?” Tebakan Susi tepat sasaran. Fano membenarkannya déngan hanya tersenyum dan mengangguk* = of Rosa sebenarnya ada di ruangannya,” kata Susi dengast- berbistk. “Tapi tad dia pesan kalau nggak maéidigangeu sama siapa pun ja. Mbak Row kelihatan Roy * Loe murung akhir-akhir ini. Nggak ada yang tahu kenapa..” “Kira-kira ada masalah apa ya?” Susi menggeleng dan mengedikkan bahu. “Mas Fano juga nggak tahu? Pernah nggak, nyoba tanya langsung?” “Dia nggak pernah jawab teleponnya..” Susi mengangkat alis. Gadis itu lalu beranjak dari meja kerjanya dan memberi isyarat Fano untuk duduk di salah satu kursi baca yang disediakan. Mumpung perpustakaan tidak begitu ramai dan staf yang lain bersikap seolah tidak peduli walau kadang sesekali mereka melirik ke arah dua orang itu. “Susi tahu kalau Susi nggak berhak ikut campur, tapi Susi bener-bener nggak suka Mbak Rosa jadi sering sedih begitu akhir-akhir ini. Mbak Rosa yang biasanya tuh selain ramah, dia juga baik banget kalau sama yang lain. Entahlah, semenjak awal bulan November kemarin kayaknya Mbak Rosa sering banget kena masalah. Terakhir, meskipun Mbak Rosa nggak cerita, tapi Susi tahu kalau dia udah pisah sama Mas Haikal, pacarnya...” “Pacar Rosa?” Sugigmengangguk. Kalau tidak salah pada awal-awal mereka! “berte mata gadis itu sedikit bengkak akibit menapgid rN lama. Apalgh itu sebabitya? Fano membatin.* fn ww x £95 “Tapi semenjak Mas Fano datang ke sini, dan nggak tahu sejak kapan kalian jadi dekat... Mbak Rosa juga jadi balik ceria gitu.” Fano tertegun. “Tepatnya dua hari yang lalu deh, Mbak Rosa jadi murung begitu.” Pelan-pelan Susi mencondongkan badannya ke arah Fano. “Apa kalian lagi ada masalah? Atau jangan-jangan kalian lagi berantem?” “Hah? Apa? Nggak. Sama sekali nggak.” Pandangan mata Susi pada Fano jelas mengatakan kalau dia tidak percaya. “Serius. Aku benar-benar nggak tahu ada apa dengan Rosa. Aku ke sini juga ingin ketemu dia karena dia nggak pernah balas telepon ataupun smsku.” “Hm... Jadi ada masalah yang lain lagi ya?” Susi menghela napas panjang. “Tapi dugaan Susi bener kan? Mas Fano suka sama Mbak Rosa kan?” Fano berubah gugup. “Tebakan Susi nggak pernah salah,” kata Susi percaya diri. “Susi mau kasih tahu sesuatu sebenernya... seminggu lagi, Mbak Rosa ulang tahun..” Susi mnengangeyk. \Tepat saat Susi® hendak membuka mulutnya untuk | Dmpal biéara, bunyi derit plata membugy keduanya terdiasn dan kompak menoleh ke samping. “Orang yang wow “ 7. 3 * a * “ 196 sedang mereka bicarakan muncul. November Rosa keluar dari ruangannya dan terkejut melihat orang yang sedang ingin dia hindari justru berada di perpustakaannya. “November.” Fano memanggilnya. Tapi gadis itu bergeming dengan ekspresi ragu. Rosa mengerang pelan. Kepalanya berdenyut- denyut seperti mau pecah. Matanya sakit karena terlalu lama memandang layar komputer yang menyala. Rosa juga tetap tidak bisa menghalau kantuknya yang melanda semenjak pagi hari tadi saat dia baru memulai aktivitasnya seperti biasa. Matanya melirik ke samping, melihat cangkir putihnya lagi-lagi kosong. Seolah nasihat Rama beberapa hari yang lalu dia abaikan, entah sudah berapa cangkir kopi yang telah dia minum sampai susut tak bersisa. Rosa melihat bayangannya sendiri ke cermin dan mendapati kalau wajahnya sudah sepucat mayat. Hari ini Rosa benar-benar merasa tidak sehat. Kapan terakhir kali tepatnya dia bisa tertidur nyenyak? Rosa lupa. Mungkin beberapa hari yang lalu. Sebelum pesta itu persisnye. Ga¥a-gara itu dirinya jadi susah tidus. Dalatn hati Rosa marah. Lebih tepatnya kecewa. Dia sakit 4 dan terus-terusan merufyki kebodohannya ‘Karena dekg¢ | dengan sesgerang yang Bélum begitu dia kenal{ | s < Ba 197 * Ne v Fano begitu baik padanya. Rosa tidak pernah salah menilai seseorang. Dia bukan orang jahat. Tapi sayangnya laki-laki itu telah tidak jujur. Apa susahnya memberitahu kalau dia punya seseorang yang begitu mencintainya? Kalau Rosa tahu, dia tidak perlu kesal seperti saat ini. Tunggu. Kenapa juga Rosa harus marah? Bukankah mereka cuma sebatas teman? Ya, dan Rosa benar-benar merasa bodoh sampai-sampai dia berharap lebih dari itu. Rosa benci mengakuinya, tapi Fano sebenarnya tidak punya alasan apa pun untuk merasa bersalah. Masalahnya hanya ada pada Rosa, yaitu tentang perasaannya yang dia nilai tidak jelas. Rosa mendesah keras. Frustasi. Kedua tangannya terangkat lalu memijit perlahan bagian pelipisnya. Pukul berapa ini? Lewat tengah hari dan sebaiknya dia pulang saja untuk beristirahat. Dia benar-benar merasa tidak sehat. Yah, itu salah satu kejelekannya. Kesehatan Rosa sangat bergantung pada suasana hatinya. Dia tidak yakin akan sanggup jalan kaki dari perpustakaan itu ke rumahnya, maka dari itu dia mengambil ponsel lalu mengetik sebuah pesan singkat. Rama masih ada di rumahnya. Kalau tidak:galahstaki-laki ty sempat bilang kalau dia tidak akan pergi ke mana- - TAY sebelum senith tugas pelik menyangkut kuliahnya ) itu selefaiy Tigasnya banyak sek. se ” * 198 Bisa jemput aku, nggak? Kepalaku pusing... -_- Hanya dalam beberapa menit sms itu dibalas oleh Rama Oke. Tunggu di sana bentar. Rosa memasukkan ponsel itu ke dalam tas. Dia juga berpikir kalau sebaiknya menunggu Rama di luar saja. Ruangan itu lama-lama membuatnya jenuh. Sungguh. Dia tidak memiliki firasat apa pun saat akan membuka pintu itu. Orang yang pertama kali dia lihat justru adalah seseorang yang sedang sangat ingin dia hindari. Rosa bersikap untuk tetap tenang, tapi sial sepertinya yang tampak justru sebaliknya. “November.” Fano memanggilnya. Kedua mata Rosa menyipit. Lagi-lagi dia bertanya- tanya, kenapa Fano selalu memanggil dengan nama depannya yang terdiri dari tiga suku kata itu? Bukankah lebih mudah kalau dia memanggilnya dengan nama seperti yang orang lain sebutkan? Bukankah nama Rosa jauh lebih simpel? Susyang’tahu kalau tidak sebaiknya dia tkut campifr pun berdehem sekali, kemudian dia kembali ke ufe\ le \ kerjanya dan pura-pura sidak melihat. 3¢ | { n~ / de 3 Ww le * te w % w “Kenapa akhir-akhir ini susah dihubungi?” tanya Fano akhirnya, masih dengan senyum yang sama seperti yang dia perlihatkan dulu. Pandangan matanya yang lembut, mirip seseorang, selalu membuat Rosa merasa kikuk. Rosa memaksakan senyumnya. “Aku sibuk.” “Oh.” Fano terdiam. Timbul kecanggungan di antara mereka. “Aku.. sebentar lagi aku dijemput,” kata Rosa kemudian, menghindari tatapan Fano. “Kamu mau pulang?” Alis Fano terangkat. “Kenapa? Kamu sakit? Wajahmu pucat.” Rosa menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajah. Benar mukanya pucat. Tapi Rosa juga merasa kalau wajahnya menghangat. “Aku cuma mau pulang,” jawab Rosa sekenanya. Tanpa basa-basi lagi dia melangkah maju dan melewati Fano tanpa berniat menoleh sedikitpun. Rosa tahu Fano langsung mengikutinya karena itu dia berusaha untuk tidak kelihatan gugup. Persis saat mereka ada di luar perpustakaan dengan posisi Rosa membelakangi Fano, gadis itu memutar badannya sehingga mereka saling st - Dalam hati di berharap Rama cepat sampai di sana. ‘Sebendinya nggak. Aku% Ske sini mau ketemu dengpatiaih,” iggrab F Hanis) jujur. Keningnya beriérut melihat 200 sikap Rosa yang memang tidak seperti biasanya. Ada guratan rasa kesal di sana. Fano yang baru kembali dari Manado tadi pun walau tidak tahu apa yang menjadi sebab Rosa jadi begitu tetap berusaha untuk menerka alasannya. “Hari ini aku sedang nggak pengen ngobrol dengan siapa pun. Lain kali aja.” Fano pikir kalau itu untuk pertama kalinya nada bicara Rosa terdengar ketus. Saat Rosa membalikkan badannya lagi hendak pergi, Fano tanpa ragu menghentikannya. “Kenapa kamu marah?” Rosa tertegun. Apakah sejelas itu tergambar di wajahnya kalau dia sedang marah? “Aku nggak sedang marah.” “Tapi sikapmu jelas menunjukkan seperti itu.” Rosa menoleh dan memicingkan matanya saat memandang Fano. “Aku nggak marah. Aku cuma sedang capek.” “Karena itu kamu nggak balas kontak dariku beberapa hari ini?” Pertanyaan Fano itu jelas-jelas tidak diantisipasi dari Rosa sebelumnya sehingga dia nampak seperti orang bodoh Jang kehabisan kata-kata untuk sekedar mencagi alasan. Mulutnya telah membuka tapi tidak ada satuj kata yang keluar. Mereka masih tetap pada, a possi awal | yaitu saling perhadaparitgFano menatap Rost penuh, arti 3'= a8 dan membitit gadis itu merasa tidak enak. . i. a 2 201 “Kamu marah padaku,” kata Fano lagi. Bukan pertanyaan. Dia menyimpulkan sendiri sikap Rosa padanya. “Kenapa?” Tubuh Rosa seperti mematung padahal Fano mulai mendekat. Tapi tangannya terkepal kuat menahan sesuatu yang bergejolak dalam hatinya. Baiklah, batin Rosa seraya menghela napas panjang. “Kamu nggak pernah bilang padaku kalau kamu punya calon tunangan...” Mata Fano mengerjap. “Dari mana kamu tahu?” tanya laki-laki itu heran, seakan ada sesuatu yang mencelos dari dalam dadanya. Itu sebabnya Rosa marah? “Kamu seharusnya beri tahu aku..” Rosa menggigit bibir. “Itu lebih baik daripada aku harus... harus..” Dan perkataannya tersendat. Bunyi deru motor tiger hitam mendatangi mereka. Rosa dan Fano menoleh pada pengendaranya. “Aku harus pulang sekarang.” Rosa memalingkan mukanya. Fano diam di tempat tanpa mengatakan apa pun lagi. Dia sempat, melihat mata Rosa yang berkaca-kgca dan : tunya’dia tidak i ingin menambah beban gadis itu lagi. Ti lak je satu méfiit sampai Rosa dan seseorang yang tidak, Fano nal segera pergi dix sana. Motgy i itu melaju, setelgh pagina melirik pada Fano sekilas. *“ sy f 202 DUA PULUH TIGA « Mas Denis, dicariin tamu tuh!” seru wanita setengah baya yang mengetuk pintu kamar Denis. “Siapa?” Denis membuka pintu itu tanpa minat. Keningnya terlipat mengingat dia tidak punya janji dengan siapa pun pagi itu. Rama dan Dimas sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Kalau pun mereka mau datang, harusnya ada sms pemberitahuan yang masuk ke ponselnya. “Cewek, Mas. Cantik banget! Kayak artis!” ont kali‘ini Denis salah menebak. Setabtunya Desifs tidak terlalu dekat dengan cewek manjxpun kecuali Bertha. Tapi jelas tidak mungkipJealau gadis itu yang¢@atahg. Daf > apa kata bité pembantunya itu tadi? Cantik heangea ‘aitis? | te v Apa mungkin dia salah cari orang? Mungkin saja dia sedang mencari David, kakaknya. “Mungkin dia nyari David, Bik.” “Bukan, Mas. Lha wong jelas-jelas dia bilang mau ketemu sama Mas Denis gitu kok. Udah ditungguin tuh di ruang tamu.” Denis menghela napas panjang. “Ya udah, aku turun nih. Udah dibikinin minum belum?” “Belum, Mas. Makanya bibik mau ke dapur dulu deh ya. Denis mengangguk. Setelah pembantunya itu pergi, benak Denis diliputi rasa penasaran. Saat dia menuruni tangga, dia melihat sekilas sosok cewek berambut ikal panjang itu, tapi dia tidak melihat wajahnya dengan jelas. Barulah ketika sesampainya dia di ruang tamu itu, Denis terbelalak mendapati Sabrina yang menjadi tamu mencarinya. “Maaf gue datang nggak bilang-bilang,” kata Sabrina menanggapi keterkejutan Denis. “Gue mau bicara sesuatu sama lo.” . Denis berusaha menampakkan ekspregi tending saat nding Sabrina walaupun perasaannya justru kacau . Bebegapa ait sebelumnya, tentu dia belum lupa "I apa yang, did katakan pada gadistin. Sabrina Run kelihatan yok papery hal yang disembunyikan nis selama 204 ini. Denis masih ingat jelas perubahan air muka Sabrina. Terakhir kali mereka bertemu saat pesta malam itu masih berlangsung. Sabrina gemetaran. Gadis itu menyimpan ketakutan nyata pada kejadian yang telah lama berlalu. Tapi kalau pun Sabrina berusaha menghindari akibat kesalahannya itu, kenapa dia datang menemui Denis? Kecil kemungkinannya kalau dia akan meminta maaf. Sabrina bukan tipe orang seperti itu. Yang lebih mungkin adalah dia ke sana untuk meminta supaya Denis tidak membocorkannya. “Gimana dengan Bertha?” tanya Sabrina pendek setelah Denis duduk tidak jauh dari tempatnya. Denis melirik sekilas. Canggung. “Dia baik-baik aja,” jawab Denis. “Kenapa? Bukannya lo nggak suka sama dia?” “Memang. Tapi jangan salah, gue ke sini bukan mau minta maaf sama dia lewat lo. Gue lihat dari cara lo yang sinis banget jawab gue, gue bisa simpulin kalau hubungan kalian masih baik banget.” Mata Denis menyipit. “Trus apa alasan lo ke sini?” Salfgina tersenyum tipis. Sorot matanya terarah lurys pada Denis dan membuat cowok itu menelan ‘ludah. “Gue jadi tahu alasan lo nggak fika sam gue why , pertama kalj kita ketemufstmenjak kejadian itu’ 'Gue benef- bener nggal’ nyangka kalau gue masih h dibes Kesehapatin i. a 2 205 Ne " buat ketemu sama lo. Walaupun wajah lo udah berubah..” Sabrina mendesah. “Seperti yang gue bilang tadi, gue nggak akan minta maaf sama Bertha.” Denis membuka mulutnya untuk menyela perkataan Sabrina, tapi gadis itu cepat memotongnya. “Gue mau minta maaf sama lo.” Denis tertegun. Dia pikir Sabrina hanya asal-asalan mengatakannya tapi sepertinya dia salah. Wajah gadis itu berkata sebaliknya. Pandangannya menerawang. Sangat berbeda dengan sikap Sabrina yang selama ini Denis tahu, Sabrina yang angkuh dan punya harga diri tinggi. Sabrina yang saat itu ada di hadapannya seolah sedang sangat menyesali perbuatannya. “Jujur, gue sama sekali nggak bisa tenang setelah kejadian itu. Gue syok, tapi gue nggak pernah cerita ke siapa pun. Beberapa hari setelahnya saat gue sudah bisa yakinin diri buat minta maaf...lo menghilang. Gue terlalu pengecut sampai nggak berani nyari lo. Bertha nggak pernah tahu kalau gue yang nyekap dia waktu itu. Dia pun nggak tahu lo pindah ke mana. Gue inget sama lo, maka dari itu gue nggak pernah ganggu dia lagi.” . Sabrina, menunduk sebentar. Matagya Bemejam erapadetik. (“, bigganya *duduk di bangku paling belakang. ‘Temany frenfan bilang lo pendiartyggue j juga lihatnya begitu. Tapi, gue. phy lo Orns baik. Itu juga yang® bikin rasa x 206 bersalah gue makin dalam.” “Lo inget gue?” Denis mengernyit tidak percaya. “Apa lo masih inget waktu MOS dulu? Semua siswi cewek baru disuruh ngikat rambut mereka jadi delapan, pakai lipstik merah, dan dicoret-coret spidol di wajah. Yang banyak ngelakuin kesalahan, maka banyak juga coretan spidol yang dia dapat. Kalau sudah kayak gitu.. siapa pun juga nggak bakalan tahu siapa yang punya wajah bagus.” Sabrina tersenyum penuh arti. “Waktu lari.. gue nggak sengaja keserempet trus jatuh ke kubangan lumpur. Yang lain ngetawain gue. Tapi ada lo yang akhirnya bantu bersihin kaki gue yang penuh lumput...” Denis tertegun. Dia ingat tapi, dia benar-benar tidak menyangka kalau anak yang terjatuh di kubangan lumpur sewaktu MOS itu adalah Sabrina. “Dari mana lo tahu kalau itu gue?” tanya Denis ragu. Seingatnya juga waktu itu wajahnya juga penuh spidol, dan tambah diperparah dengan siraman tepung dari kakak- kakak kelas yang tahu kalau hari itu dia sedang berulang tahun. “Dulu lo punya bekas luka kecil dekat pelipis kanan yang mBnonjqj,” kata Sabrina yakin. “Tapi sekarang udgh hilang ya?” Denis menggeleng. Dua sisi seditig mendeb it aly), benaknya tappa bisa digtgah. Sabrina sedatigy/j /jujug.saat mengatakafthya, ataukah semua yang Sicegiakanya ip i. a 2 207 hanya kebohongan belaka supaya dia dapat simpati dari Denis? “Lo bilang kalau lo nggak akan minta maaf sama Bertha. Kenapa? Bukannya lo salah udah nyekap dia kayak gitu sampai dia ketakutan?” tanya Denis. Rasa penasarannya meringsek keluar. “Yang lo denger dari Bertha pasti cuma waktu dia mulai gue sekap,” simpul Sabrina datar. “Yang perlu lo tahu, semua hal yang gue lakuin bukan tanpa alasan...” “Jadi maksud lo, Bertha yang ganggu lo duluan?” kata Denis jelas-jelas tidak percaya. “Nggak secara langsung...,” jawab Sabrina tenang. “Lo yang dekat sama Bertha.. jadi lo pasti tahu sifatnya kayak apa. Dia tipe orang yang gue jauhi karena kadang omongannya nggak bisa diduga..” Hening sesaat. “Keluarga gue bukan keluarga yang harmonis..masing- masing sibuk sama urusannya sendiri-sendiri. Bertha nggak sengaja denger waktu gue bertengkar sama mama lewat telepon. Dia juga denger sewaktu gue nyinggung soal papa. Lalu dengan percaya dirinya dia ngehibur gue dan bilang kalau gue harus sabar. Gue myak veaktu dia xd ita soal Keluarganya yang hangat. Gue sakit hati. Gue aloe gukay dikasihaii.” } SCpma’p gara-gara itu lo sdtpai nekat pyekap dia?” Denis fetap tidak terima alasan Sabrina. Berthffsahabatnya st 2 4 te * ” 208 dan nggak seharusnya dia diperlakukan seperti itu. “Lo nggak tahu bagaimana perasaan gue waktu itu, dan nggak semuanya yang lo pikir itu benar...” Sabrina memandang Denis penuh arti. Wajahnya sendu. “Gue jadi tenang udah minta maaf sama lo.. itu aja udah cukup.” Denis merasakan sesuatu yang tiba-tiba menyelinap masuk ke hatinya. Perasaan yang membuatnya begitu ingin menenangkan Sabrina dan berkata kalau dia sudah memaafkannya jauh sebelum dia minta maaf hari itu. “Kalau begitu.. gue permisi pulang. Maaf udah ganggu..” Satu hitungan. Dua hitungan.. Sampai dengan hitungan ke-tiga, tubuh Denis bergerak sendiri—refleks karena Sabrina menjauh darinya, hendak pergi dari rumah itu. Denis membiarkan badannya mengambil alih kuasa atas dirinya seolah memang itu yang diinginkannya sedari dulu. Tangan Denis terjulur lalu mengaitkannya dengan Sabrina. Dalam sekali sentakan, badan Sabrina berbalik. Sedetik kemudian tidak ada jarak sama sekali di antara mereka. Hangat tubuh Denis menjalar pada Sabrina. Bagaikan terhipnptis olgh rasa lega yang mengalir di sela pelukgn itu, Sabrina tidak butuh waktu yang lama untuk thence: arti perlakuan Denis. Tidak sama ‘engan, Aehi may dan ketenapgan yang dianya diberikan oleh Fang, Denis ” memberikaa| lebih dari itu, rasa aman dan lega. 209 “Aku memaafkanmu..” Dan air mata Sabrina pun tumpah. “" a DUA PULUH EMPAT Rosa terpaksa mengambil satu hari libur untuk alasan yang sudah jelas kenapa. Pagi-pagi dia terbangun dan membersihkan rumahnya dari sudut mana pun tanpa terkecuali. Dia melakukan semua itu dalam diam. Rama yang tahu ada yang tidak beres dengan gadis itu pun berpikir kalau lebih baik dia tidak mengajaknya bicara dulu. Rosa perlu menyibukkan diri dengan kegiatan yang hanya terkadang saja dia lakukan jika sedang ada waktu luang. Dugaannya tepat saat Rosa mengambil sekop dan guntingfebuit dari belakang rumahnya kemudiandia pergi ke pekarangan untuk menata tamanifya. Saking seriusfiya dia melakukan hal itu gopertinya dia pun sda elihgt langit mengung yang Stakan-akan bisa mer yinte Yo Fn w 2 ait 3% 3" seketika dalam sekali sentakan. Baiklah, Rama akan membiarkan Rosa melakukan hal yang juga disukainya itu: bertaman. Tapi jika hujan mulai turun, Rama tidak akan ragu lagi untuk memaksanya menghentikan aktivitasnya itu. Rosa menghujam sekop kecilnya berulang kali untuk membajak tanah. Alhasil sebagian tanah basah itu mengotori tangannya dan masuk ke sela kukunya. Aroma tanah tercium, membuat perasaannya sedikit tenang. Disianginya rumput liar yang mengganggu mawar-mawar yang kebanyakan belum mekar bunganya. Tangan Rosa bergerak terus secara teratur merapikan deretan mawarnya sampai ketika matanya tertumpu pada sebatang mawar yang ada di pinggir. Mawar kuning yang memiliki kuncup bunga kecil. Sayangnya sebagian dari mawar itu telah mulai layu. Saking kecilnya kuncup mawar itu, mengingatkannya pada serangga kecil yang bersinar seperti lilin. Kunang-kunang... Lama Rosa termenung sendiri memandangi bunga itu. Hujan yang terus-menerus akan membuat semua mawar itu mati. * s Satu” etes hyjan jatuh tepat menimpa kuncup unga mavyar kunitig yang Rosa pegang. Gadis itupun nhendopgait ke atas, menatap fahgit berwagga abu-abu. Hujan mulai turun. Tidak ada semenit kemuffian volume * ws ZED hujan bertambah. “Hei! Masuk! Cepet masuk kalau nggak mau masuk angin!” seru Rama dari dalam rumah. Laki-laki itu berseru padanya lewat jendela dengan tangannya yang bergerak memberi isyarat pada Rosa untuk segera berteduh. Namun gadis itu bergeming. Rama berdecap. Setengah berlari, dia mengambil sebuah payung lalu akan pergi menghampiri Rosa. Tapi ketika dia membuka pintu, langkahnya terhenti melihat seseorang telah lebih dulu memayungi Rosa dari belakang gadis itu. Bukankah dia, laki-laki yang Rama lihat kemarin sewaktu dia dan Rosa tengah berbicara? Awalnya Rosa tidak menyadari kalau ada seseorang yang mendekatinya dari belakang. Dia baru saja terheran saat tidak ada lagi tetes-tetes air hujan yang membasahi tubuhnya dari atas. Gadis itu mendongak dan serta merta mendapati seseorang telah memayunginya. Rosa berdiri kemudian memutar badannya, menghadap Fano. “Masuklah, nanti kamu sakit,” kata Fano lembut. Dia melirik sekilas pada Rama yang masih tetap pada tempatnya di ambang pintu. Rogg mengikuti arah pandangannya dan gnemandang penuh arti pada Rama. Rama mengapgguk sekali, PN % masuk lagi ke dalam untuk membefi’ ‘paiva pad kedug \ s4 re orang itu. we ¥ r| Fano dit Rosa saling Derpandanigan kemudian- alg Ww * aS) “Aku nggak tenang jika kamu _ terus-terusan menghindar dariku, November. Pembicaraan kita belum selesai kemarin,” ujar Fano secara halus. Rosa tidak berkata apa-apa. “Aku punya calon tunangan. Kamu benar, harusnya aku memberitahumu sebelumnya, karena kita seperti sahabat.” Rosa menggigit bibir bawahnya. “Tapi sekarang aku punya perasaan yang berbeda padamu. Kamu mengerti? Aku benar-benar belum bisa tenang kalau hubungan kita terus-terusan seperti ini. Aku tahu kamu marah, dan aku ke sini untuk minta maaf.” Jeda terisi dengan suara hujan di sekeliling mereka. Mereka saling menatap satu sama lain. “Aku merasa berbeda.. selalu ingat padamu. Apa kamu juga merasakan hal yang sama?” “Bagaimana dengan calon tunanganmu itu?” tanya Rosa lirih. “Kami berteman sejak kecil. Hubungan kami adalah karena pertemanan orang tua kami. Bukan aku yang menginginkan pertunangan itu,” papar Fano. “Selama ini kypikir aku, mencintainya. Rasanya selalu singing nenjadi eng Baginya dap selalu melindunginya kapan pun dan dann pup dia béfada. Tapi suatu hari aku sadar kalau dia sidak \nfemiliki perasaan yang, sama degganku. Aku 3% menyesalipya, T api bagaimana pun aku sayang* padanya.” ws 214 “Lalu buat apa kamu ke sini?” “Dan kemudian aku bertemu denganmu.” Fano melanjutkan kalimatnya. “Aku nggak bisa memberitahu kenapa saat pertama kali bertemu, aku merasakan hal yang berbeda. Aku rasa kamu menyimpan hal yang indah entah di mana... tapi semakin lama aku sadar kalau.. itu cuma kamu... kamu yang buat aku jatuh cinta...” Bibir Rosa gemetar. Matanya mulai berlinang. Satu tangannya terangkat untuk menyentuh Fano. Tapi belum sempat dia melakukannya, Fano yang lebih dulu merengkuh November Rosa ke pelukannya. Totong Jaga Rosa... temani dia saat aku nggak ada. Aku percaya padamu...” Rama menyingkap sedikit tirai jendela yang tertutup dan melihat dua orang yang tengah berdiri di bawah rinai hujan. Gadis itu tersenyum senang dan mereka berpelukan. Tika dia bertemu dengan seseorang yang membuatnya bisa tersenyum lagi seperti dulu... tolong jangan beritahu aku. Dia akint baik®baik saja.. Karena dia punya jalats babagianya sendiri, walau nggak ada aku di dekatipya.” ( Kata- kata Haikal ¥rngiang lagi. Kak jnil Ranfa mengerti tga maksudnya. Dilepaskannya, trai itu *hagi Lo: lle Ve sehingga pemandangan di bawah siraman hujan itu tidak lagi terlihat. Memang tidak seharusnya Rama ikut campur. Rosa pantas menemukan sesuatu yang baru setelah dia terluka. Rama tahu persis gadis itu sering kali termenung sendirian dengan membuka satu demi satu halaman sebuah buku yang lusuh. Titik-titik buram dalam buku itu adalah bukti gadis itu menangis karena mengingat seseorang. Kalau saja tidak ada sesuatu yang tengah menghalangi Haikal sehingga laki-laki itu memutuskan untuk menyerah, Rama jelas lebih tenang sekarang melihat November Rosa bahagia dengannya. Atau kalau bisa, Rama saja yang jadi orang paling penting di hidup Rosa. Tapi sayangnya bukan itu arti Rama buatnya. Agustus Rama Soemowidado, nama marga yang sama dengan yang dimiliki Rosa. Sampai sekarang dia selalu menyesali ada hubungan darah antara mereka berdua. " : x sh x : « is 3% “ st 2h Po 3 * * ” 216 DUA PULUH LIMA Setelah membuat janji untuk pergi bersama semenjak hari di mana mereka ada di bawah guyuran hujan, Fano dan Rosa memutuskan untuk berkeliling ke mana saja asalkan pikiran mereka jadi segar kembali. Duduk bersebelahan di dalam mobil, Fano berwajah cerah seakan berhari-hari sebelumnya dia melewati waktu di ruangan yang sempit dan muram. Siang hari cerah awalnya, namun rintik-rintik hujan turun walaupun di luar terik. Sepanjang perjalanan yang ada haffalah* deretan bermacam-macam péhon tinggi yang mengiringi mereka. Rosa yakin-faereka sudah ber; jauh sekali dari pusat kong. de Ww Fn w 2 hie “Kita mau ke mana?” tanya gadis itu tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi. “Desa,” jawab Fano singkat. “Desa?” Rosa mengernyit. “Desa,” ulangnya lagi sambil menebak-nebak sesuatu. Mereka tidak lagi bicara sampai akhirnya tiba di sebuah bangunan tua dekat persawahan. Sama seperti pedesaan pada umumnya, bangunan-bangunan rumah berbentuk sederhana, tidak berbeda jauh dengan rumah mungil Rosa. Tidak ada gedung-gedung berlantai banyak seperti yang dia lihat di pusat kota Bogor. Satu rumah dengan rumah lain memiliki jarak sehingga masing-masing memiliki ruang tanah yang cukup. Orang-orangnya memanfaatkan tanah itu dengan sebaik-baiknya melihat hampir semua sisi pekarangan mereka penuh dengan tanaman bunga, ataupun sayur-sayuran. Suasana yang menyenangkan. Telinga Rosa menangkap suara gemericik air. Ketika mengedarkan pandangan ke sekeliling, dia baru menyadari ada air mengalir tidak jauh dari tempatnya berdiri. Irigasi. Saking beningnya air di sana, sinar matahari pun dipantulkan sghingga terlihat seperti kristal yang berkilguan. 3% Senyiim Rosa zpengembang. Fano senang ce itu kembalit tersenyiim seperti biasa. sAyo, jalan,” ajak Fano merfptlurkan tangannya pada Rosa, “ sh * 218 Tidak ragu gadis itu langsung menyambutnya. “Jadi sebenarnya kita belum sampai?” tanya Rosa. “Belum. Kita harus jalan kaki untuk naik bukit. Nggak apa-apa kan?” Rosa mengangguk. “Aku suka jalan kaki.” Gadis itu tidak peduli, atau bahkan merasa wajar- wajar saja kalau Fano menggenggam tangannya sepanjang mereka menelusuri jalan berliku-liku yang menanjak. Fano merasa semuanya menjadi benar. Dia tidak salah telah membawa November Rosa ke tempat itu, desa di mana awalnya seorang teman mengajaknya rekreasi. Rosa tidak berhenti menunjukkan kekagumannya pada desa yang amat indah itu. “Orang-orang di sini suka sekali menanam bunga,” gumam Rosa. “Selain untuk memperindah pemandangan, mereka juga akan senang hati menjualnya pada orang yang datang berkunjung,” kata Fano. “Benarkah?” “Ya.” “Jadi kamu mau ajak aku melihat-lihat koleksi bunga- bunga if juga?” “e “Tru nanti, Setelah kita mampir ke suatu tempat du! “Masih jauh?” te | 7) “Sebenjgr lagi kita afnpai...” a { de [ Benar, ‘dak berapa lama kemudian Lmegeke memasulki ww ZED lagi sebuah permukiman yang berbeda dengan desa yang tadi mereka datangi. Setiap pekarangannya juga ditumbuhi berbagai tanaman hias. Rosa dan Fano memasuki sebuah rumah tua yang kecil, terletak di tengah- tengah daerah itu. Saat Rosa mendongak melihat bagian atas pintunya, tertempel sebuah kayu pipih bertuliskan “PERPUSTAKAAN”. “Perpustakaan?” gumam Rosa. Mereka berdua langsung masuk ke sana karena pintu dibiarkan terbuka lebar. Seorang pria berjanggut yang tidak menyadari kehadiran mereka terlihat sedang menuliskan sesuatu di sebuah buku usang. “Apa kabar, Pak?” sapa Fano. Pria itu hanya menggerakkan kedua bola matanya untuk melihat Fano. Kerut di keningnya bertambah saat berusaha mengingat apakah dia mengenali seorang laki- laki muda di hadapannya kini. Sudah bertahun-tahun, jadi wajar kalau dia lupa, batin Fano. “Saya Fano, Pak. Saya teman Andra. Dulu saya pernah menginap di rumah bapak waktu KKN dulu...” ~ Pria ity, tambah mengerutkan keningpya tapi tidak ‘apa ldima kemudian mulutnya membentuk huruf “o”. Nee mengeidbang lebar. “Nak \ Fano!” sebutnya séping. Dia derdiri dari tempat dyduk dan langsung memeluk Fino seperti st wt 220 putranya sendiri. “Udah berapa tahun, Nak? Duduk dulu deh, duduk dulu. Eh, kursinya di mana ini? Bu! Ibu! Mana yah dia?” Fano dan Rosa saling berpandangan dan tersenyum geli. “Ya ampun, mungkin sedang di belakang.. Bapak panggilin dulu ya. Eh, ini siapa ya mbak cantik? Kamu udah nikah ya, Nak Fano?” “Bu-bukan, Pak.” Fano dan Rosa langsung salah tingkah. “Ee.. November, kenalin ini Pak Yusuf, yang punya perpustakaan ini.” Pak Yusuf menyambut uluran tangan Rosa dan mereka bersalaman. “Pak Yusuf ini yang punya inisiatif bangun perpustakaan di sini. Dulu desa ini paling-paling cuma sawah sama tumbuhan liar. Tapi berkat Pak Yusuf yang ngajar baca dan tulis lalu bangun perpustakaan ini, warga jadi tahu caranya bertanam tanaman ekonomis supaya tumbuh baik. Seperti yang kamu lihat tadi,” jelas Fano pada Rosa. “Nak Fano juga banyak bantu,” tambah Pak Yusuf denganferkekeh mengingat masa lalu. “Eh, kalian tunggu di sini bentar ya. Biar bapak cariin kursi alu riinta i bapak buatin minum.” \ 7) “Saya peleh lihat- Beat bukunya, Palo “tanya ofa meminta aft, “ Fn w aeT “Tentu boleh! Bapak malah senang kalau gitu. Sebentar ya.” Buku-buku tua yang telah usang dan beraroma khas kertas yang begitu lama disimpan. Rosa menyentuh deretan buku-buku yang sebagian berwarna kecokelatan itu. Jari telunjuknya kemudian terangkat dan dia mengambil salah satu buku. Apa yang dikatakan Fano benar. Kebanyakan buku-buku di sana merupakan buku nonfiksi yang semuanya berisi tentang keterangan tanaman-tanaman bunga, buah, maupun sayur. Di punggung buku itu ada label yang ditempel seadanya sedangkan ketika membuka isinya, Rosa juga menemukan penomoran dalam buku itu yang tidak mengikuti pedoman pada perpustakaan umumnya. Rosa tersenyum. Bukan teori, pikirnya. Orang yang mendirikan perpustakaan itu lebih mementingkan tindakan nyata. “Sederhana banget ya?” komentar Fano yang ada di sisi Rosa. “Selain jaga perpustakaan ini, Pak Yusuf dan istrinya bercocok tanam di kebun belakang. Mereka hidup dari hasil penjualannya.” ‘ Rosa 1 memandang Fano dan mendengarkag dengan 4 [, \*Mireka spunyatda orang putra. Salah satunya Andra, sh dla tenjankr semenjak SMA. K3mi j juga kuligh di tempat yang sama. Aku di _jurusan arsitektur, sedaiffkan dia di wt 222 jurusan hukum. Kebetulan KKN kami juga diadakan di sini. Pak Yusuf nggak keberatan kalau rumahnya dijadikan penampungan oleh gerombolan mahasiswa seperti kami.” “Di mana temanmu sekarang?” “Dia di Australia. Kadang-kadang kami saling berkirim email.” Fano membalas pandangan Rosa dan dia tersenyum manis. “Suka dengan tempat ini?” Rosa mengangguk. “Lain kali aku juga akan ajak kamu ke suatu tempat di sekitar sini. Tapi kita nggak bisa melihatnya sekarang. Tempat itu jadi markas rahasia aku dan Andra. Kupikir kamu akan menyukainya juga.” “Ternyata dia lagi masak!” kata Pak Yusuf yang tiba- tiba datang membawa dua buah kursi. Fano tanpa diminta langsung membantunya. “Gimana kalau kita makan siang sama-sama aja? Kita ngobrol nanti. Ayo ikut ke belakang!” Belum terlalu larut sewaktu mobil Fano akhirnya berhenti di depan halaman rumah Rosa. Fano menoleh dan mendapati gadis itu menutup matanya—tidur. Tiga jae perjalanan membuat Rosa kelelahan, sehingya diserang kantuk yang sangat. Fano sebenarnya tidak &\ a untuk membangunkangya, tapi dia’ benargpenge tidak Wie boleh tidugdi dalam mdBil yang dingin. ¥ ge 1 = qe n w ul “November, kita sudah sampai..,” katanya sedikit menepuk bahu gadis itu. Rosa mengerang sesaat. Matanya mengerjap dan perlahan mengenali lingkungan sekitarnya. “Ya ampun,” gumam Rosa. “Sejak kapan kita di sini dan aku masih tidur?” Fano tertawa kecil. “Kita baru saja sampai,” jawab Fano halus. “Masuk dan istirahatlah.” Rosa tersenyum penuh arti padanya. “Terima kasih. Hari ini menyenangkan,” ucap Rosa. “Kapan-kapan apakah kamu akan mengajakku lagi ke sana?” “Tentu saja. Kita bisa ketemu lagi kan besok?” “Di perpustakaan?” “Ya, di perpustakaan.” “Aku tunggu.” Rosa memalingkan mukanya untuk membuka pintu mobil. Sekeluarnya dia dari sana, setelah menutup pintu mobil, Fano mengklakson sekali. Rosa melambaikan tangannya rendah. Pandangannya terarah pada mobil itu sampai so: ‘oknya tidak terlihat lagi. Ketika, »mengialikkan anya, dia melihat lampu rumahnya dinyalakan ws Sean tampak dai luar suasananya terang benderang. Vanila "Jangsung berlari $fenyambut .qnajikannya dengan méngusapkan tubuhnya ke kaki Rosaf* wt Zar “Sudah makan, Sayang?” tanya Rosa lembut. Vanila mengeong pelan. Sayup-sayup terdengar suara televisi dari ruang yang berbeda. Kalau dari tempatnya berada suaranya terdengar sangat jelas, maka volume suaranya pasti sengaja dikeraskan. Rama tidak terlalu suka mendengar bunyi berisik. Tapi kenapa dia menyalakan televisi sekeras itu? Dengan diikuti Vanila, Rosa membuka ruang yang ada di sampingnya. Dan benar saja saat membuka pintunya, suara televisi benar-benar sangat kencang sampai Rosa harus menutup telinganya. “Pelankan suaranya! Atau matikan saja! Ini udah malam!” seru Rosa pada Rama yang duduk menyila di atas sofa. Rama tidak membantah. Dia meraih remote lalu mematikan televisi itu. Tanpa menoleh pada Rosa sedikit pun, dia merebahkan badannya lalu pura~pura membaca sebuah majalah. Rosa mengernyit melihatnya bertingkah seperti itu. Dia seperti sedang... kesal. “Udah lewat jam makan malam sih,” ujar Rosa seraya melihaggam tgngannya. “Kamu udah makan?”, Tidak ada jawaban. * Bd “Kalau kamu lembur lagi, aku ths buatkan teh a susu hangag, atau mungkgn kopi kalau kamu raul” tawar Rosa lagi. ** a fn < 2 ZED: Masih tidak ada respon. “Rama!”panggil Rosa mulaijengkel. Diamenyentakkan kertas majalah yang menutupi wajah Rama dan hendak memarahinya tapi ternyata laki-laki itu sedang menyumpal telinganya dengan headset. Rosa mendengus keras. “Apa?” tanya Rama tanpa rasa bersalah bahkan melemparkan pandangan menuduh serta balik kesal. “Lupain aja.” Rosa melengos. “Hei.” Gadis itu menoleh lagi ke belakang. “Siapa itu tadi? Pacarmu?” “Bukan. Cuma teman.” Tatapan Rama menyorot penuh selidik. “Serius,” kata Rosa lagi. “Kami dekat. Itu aja. Jadi kamu nggak perlu berpikir yang aneh-aneh.” “Siapa namanya?” “Fano.” “Kalian memang kelihatan akrab.” Mata Rosa menyipit. Dia menangkap ada nada tidak suka dari cara bicara Rama. Ada apa dengannya? “Ini cuma perasaanku aja atau memang suasana hatimu yang lagi buruk?” sot * Rama berdehem, pura-pura tidak mendengar dan sf penguliah baluan Bérhatiannya, \ Sahgat “lupa tidur. Aku hau istirahat. kamu juga janganlembur terlalu larut nanti,” kata Bésa setelah 3 226 menghela napas panjang. “Jangan lupa matikan lampu depan juga ya. Selamat malam.” “Sebentar.” Rosa berhenti melangkah keluar dan menoleh lagi. “Apa?” “Apa dia.. kamu bilang namanya Fano. Apa dia udah bilang kalau dia punya pacar.. selain kamu?” “Dari mana kamu tahu?” Rama berdehem lagi. Lebih keras. “Kalau nggak mau kejadian buruk malam-malam kemarin itu terulang lagi, aku saranin kamu jauh-jauh darinya. Aku yakin kalau dia bisa lakuin itu lagi sewaktu- waktu. Gimana jadinya kalau aku nggak ada?” Je ri “ v4 J te i " qt a : n Ww 227 DUA PULUH ENAM Rauang penyimpanan. Buku-buku yang baru saja datang, entah itu baru saja dibeli ataupun pemberian dari beberapa orang diseleksi dan diolah terlebih dulu di sana. Memang tidak seluas ruang utama perpustakaan, tapi cukup untuk menyimpan banyak tumpukan buku yang kalau tidak segera diurus, pasti akan membuat tempat itu terlihat seperti gudang. Rosa datang ke sana dengan membawa_ salah satu bukunya yang bersubjek ekonomi. Satu Bet satu ditclusuriny’a deretan rak yang menyimpan olorighin yang sata dengan bukusdi tangannya. Gadis itu mengerutkan *] Npning lal¢kepalanya perlahan, mendongak. Ternyata bukit bukt yang dia cari letakrlya ada di bésan paling “atase * oy st 7. - %, 228 Sempurna... Rosa hendak tertawa tapi urung. Dia lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling mencari benda yang akan membantunya mengambil buku-buku itu. Tangga kayu. Rosa menemukan alat itu di balik pintu yang terbuka. Untung saja tangga itu cukup ringan sehingga tidak terlalu sulit untuk memindahkannya. Satu kakinya menginjak pijakan pertama, kemudian seterusnya sampai dia berhasil mencapai barisan paling atas rak itu. Masalah terjadi ketika Rosa akan turun. Dia merasakan telapak kakinya berkeringat sehingga sepatunya terasa licin. Detik berikutnya gadis itu terkesiap lalu terdengarlah bunyi bedebum yang lumayan keras. Fano baru saja mengenakan jaketnya dan berencana akan pergi keluar siang itu ketika bel di apartemennya berbunyi. Dia bergegas membuka pintu depan dan melihat Sabrina tersenyum padanya dengan wajah yang berseri- seri. “Hai, Fano,” sapa gadis itu, tidak menghiraukan perubalén aif muka Fano. “Kamu mau keluar? Kanga kelihatan rapi.” ie AY « “Tya, aku memang Be keluar,” * vawab Fano sedik; at | xd enggan. J es “Kebetulan! Kita bisa jalan ge $2 < a 2 Belum sempat Fano menjawab ajakannya, Sabrina dengan cepat menggamit lengan laki-laki itu untuk menariknya segera keluar setelah menutup serta mengunci pintu. Fano benar-benar tidak mengerti maksud Sabrina mendatanginya secara tiba-tiba seperti itu. Gadis itu sepertinya sedang senang. Kalau tidak mana mungkin dia repot-repot menghampiri Fano langsung. Yang perlu dia lakukan hanyalah memakai ponselnya untuk menghubungi Fano seperti biasanya. “Aku ke sini naik taksi. Jadi kita jalan-jalan pakai mobilmu ya? Udah lama kita nggak jalan-jalan bareng. Kamu bebas tentuin tempatnya,” ujar Sabrina semangat. Menyadari Fano yang diam saja, gadis itu menoleh dan mengerutkan keningnya. “Fano? Kamu dengar aku kan?” “Ya..” Fano memaksakan senyumnya. Sabrina ikut tersenyum. Senyum termanis yang dulu membuat jantung Fano berdebar karenanya. Tapi sekarang Fano tidak merasakan apa-apa. Duduk di kursi kemudi, Fano sedikit gelisah. Tadinya dia berniat mengunjungi perpustakaan Rosa siang ini karena semenjak beberapa jam yang lalu ponsel gadis itu tidak bisa dihubungi. Fano ingin bertemu dengannya lagi. Tapi sekarang digtsedang sama Sabrina. Fano bingung apa yang seharusnya dia wees st * } {KAmpFencananya mau ke4ifana siang in? Aku bisa temepin kapan pun. Atau kamu mau makan% ‘Siang dulu?” * 230 tanya Sabrina membuyarkan lamunan Fano. Tidak ada pilihan selain menemani Sabrina hari ini. Tidak mungkin kalau dirinya mengajak gadis itu ke perpustakaan Rosa. Dari beberapa hari yang lalu, Fano perlahan bisa menebak siapa yang memberitahu Rosa mengenai Sabrina. Kabar mengenai rencana pertunangan dirinya dan Sabrina belum disebarluaskan. Hanya beberapa dari anggota keluarga mereka yang tahu. Tapi dari mereka semua, hanya Sabrinalah yang kemungkinan besar memberitahu Rosa. Mengerutkan kening karena Fano tidak menyahut pertanyaannya, Sabrina melirik Fano sekilas. Lagi-lagi pikiran-pikiran mengenai Fano dengan seseorang bernama Rosa mulai mengganggu benaknya. Sabrina benar-benar merasa tidak nyaman. Belum lama Sabrina menyadari kalau dia telah mengabaikan Fano, sekarang dirinya tetap tidak bisa menerima keberadaan orang lain. Apa boleh buat, pikirnya. Sabrina harus membalikkan situasi ini ke keadaan semula sebelum terlambat. “Aku minta maaf, Fano...,” ucap Sabrina. Pandangannya terarah lurus ke depan. Sementara itu Fano yang m&adengarnya, menoleh pada gadis itu. “Minta maaf untuk apa?” Tanya Fano heran. x “Semuanya salahku.” Sabrina métunduk, “Schelpe se aku nggak ,bermaksud Mat mengabaikanm’t. Aku sfahu aku salah, Hakanya aku minta maaf. Tapi kumohon. Kar 231 benar-benar mau maafin aku. Aku akan lakuin apa pun supaya kamu maafin aku.” “Negak ada yang perlu dimaafkan. Aku ngerti kok,” kata Fano yang tetap berusaha berkonsentrasi menyetir. Sabrina menoleh ke samping, memandangnya. “Benarkah?” “Ya.” Sabrina terdiam. “Kalau begitu, aku punya permintaan sebagai tanda kalau kamu udah benar-benar maafin aku.” “Apa?” Sabrina tidak langsung menjawab. Kepalanya tetap meneleng ke samping, memandang sosok Fano lekat- lekat. Sabrina menelusuri setiap bagian dari samping laki-laki itu. Rambutnya, wajahnya, tangannya yang sedang memegang kemudi, juga tubuhnya yang tegak. Sejak kapan Sabrina melupakannya? Walau bagaimana pun, dia tidak boleh kehilangan Fano. Fano tidak boleh meninggalkannya hanya karena menemukan seorang pengganti. Sabrina harus bisa mengembalikan perasaan Fano padanya, supaya laki-laki itu tetap menjadikannya yang utama, Ba Ped “Kiti mulai dari, awal lagi.” \ “Apa maksud Kanu?” tanya Fano tidak mengerti. ia \nfulai semuanya lagi Pari awal,” ays Sabrina 2 Bt Fano mengerem mobilnya. Mereka sekarang ada di tepi jalan yang tidak terlalu ramai. Fano menarik tangannya dari setir. Pandangannya beralih pada Sabrina. Mereka berpandangan selama beberapa detik. Fano pikir kali ini adalah waktu yang tepat baginya untuk bicara mengenai hal yang ingin dia perjelas. “Seperti dulu seperti apa, maksud kamu?” tanya Fano. Sabrina tertegun. Matanya melebar. “Aku sayang kamu, Fano. Aku cinta sama kamu. Kamu harusnya tahu itu. Aku...” “Aku nggak tahu,” potong Fano. “Aku nggak pernah tahu soal itu. Sejak dulu, sampai akhirnya sebelum sekarang ini kamu beritahu aku.” Sabrina membuka mulutnya hendak membalas, tapi mendadak mulutnya terasa sangat kaku. Entah ini nyata atau bukan, tapi Fano benar-benar tampak seperti sedang memojokkannya. “Kamu marah,” simpul Sabrina kemudian. “Kamu masih nggak terima kesalahanku, dan tadi kamu bilang kalau kamu maafin aku?” “Kita nggak sedang bicara soal itu,” ujar Fano yang mencolg tengng. Dia menatap Sabrina lurys dan taku kalau ada yang sedang bergejolak dalam hati ‘gadis a = ang, x Fano tidak bisa menahannya lagi. Saitina harys tabu y' sebenarnya, atau merek&dakan terus berhubithgan dalam kebohongatt, ae 233 “Lalu?” tuntut Sabrina yang mulai tidak sabar. Satu tangannya terkepal. “Aku maafin kamu, tapi bukan berarti kita bisa seperti dulu lagi. Aku nggak bisa, Sabrina. Ini sudah nggak sama seperti dulu lagi.” Mulut Sabrina membuka. Dia seperti akan tersenyum tapi urung. Kedua bibirnya mengulum. Matanya terasa perih. Semburat kemerahan terlihat. Dia tertawa singkat. “Sabrina...” Fano mencoba menenangkan gadis itu dengan mengulurkan tangannya, hendak menyentuh pundak Sabrina, tapi gadis itu langsung menampiknya. “Apa ada orang lain?” tanya Sabrina tepat sasaran. Fano terdiam. “Aku bener kan? Kamu punya perasaan dengan orang lain! Bahkan saat kamu masih sama aku! Aku bener kan?!” Suara Sabrina meninggi. “Maaf..,” ucap Fano pelan. “Aku nggak minta kamu minta maaf!” Sabrina mulai kehilangan kendali emosinya. “Ini... ini salah, Fano. Harusnya kamu tahu.. Harusnya kamu tahu kalau ini semua salah! Bukan ini yang harusnya kamu katakan sama algal” Fané' dak menyahut. * au " “Kamu, snggak” ‘bisa ninggalin aku.. nggak bisa. ( Sanin imu masih sayang Syma aku? Jagi sekarang kamy Hea ibah ea benci aku?” 234 “Nggak.” Fano menggeleng pelan. “Aku masih sayang kamu. Aku nggak pernah benci kamu.” “Terus?” “Hanya aja sekarang sudah berbeda.. Perasaanku... aku... nggak sama lagi dengan yang dulu. Aku minta kamu mengerti... kali ini aku yang salah. Karena itu, kamu nggak usah menyalahkan dirimu sendiri.” Sabrina menggeleng. “Siapa dia?” tanyanya tidak menyerah. Air matanya telah penuh, namun dia berhasil menahannya supaya tidak tumpah. Menunggu Fano menjawabnya, Sabrina tidak sekali pun mengalihkan pandangannya. Dia mengatupkan erat bibirnya. “Seseorang... yang mengambil kesepianku, lalu menukarnya dengan penghiburan.” Sesaat, mereka sama-sama membisu. Berikutnya Fano dan Sabrina hanya saling mencoba mengartikan tatapan satu sama lain. Sorot mata Fano terarah lembut pada Sabrina. Dia tampaknya akan menerima apa pun yang dikatakan Sabrina, seburuk apa pun itu nantinya. Lepas dari hal itu, Fano hanya ingin Sabringgnengerti. Kali ini saja. Cukuplah untuk ke sekian dan terakhir kalinya, Fano melihat — kecevva, PN % dan marah dari gadis itu. Beberapa menit ihéreka terdiam. Reiki bapa 1 kemudian “fhembuat Fano cukup terkeiye Gatlis itu . < a 2 239 menunduk lalu mengusap matanya yang sembab. Dia menatap Fano lagi sambil menggigit bibirnya. Tidak disangka, sebuah senyuman tipis ditunjukkannya pada Fano. “Kamu udah berubah..,” gumam Sabrina pelan. “Bukan Fano yang aku kenal dulu...” “Sabrina...” Fano hendak membalasnya, mengira kalau lagi-lagi Sabrina akan menyalahkan diri lagi. “Aku ngerti...,” potong Sabrina. “Kita sampai di sini.” Fano mengangkat alis. Sabrina memalingkan mukanya lalu membuka pintu mobil dan keluar. Fano tersentak. Segera laki-laki itu melakukan hal yang sama. Dia berlari untuk menahan Sabrina yang berjalan cepat menjauh. Ketika Fano menyentuh lengan kanannya, Sabrina menampiknya pelan. “Kamu mau ke mana?” tanya Fano. “Pulang.” “Masuklah lagi ke mobil. Biar aku antar kamu pulang.” Sabrina menggeleng. “Aku naik taksi saja,” balas Sabrina dan Fano pun tidak mengatakan apa pun lagi. Gadis itu snengitentikan Po ah tiksi lalu masuk ke dalamnya tanpa menoleh lagi ( katanya dengan er enyym penuh arti. ‘Kamu’ ‘tadi kirim pesan. iWekata Rosa, Maat, aku “ sempat ketidyran tadi.” 3 246 “Nggak apa-apa,” balas Fano tersenyum. “Kebetulan kamu keluar. Niatnya aku memang mau mengajakmu makan siang.” Mereka berjalan beriringan menuju ke tempat mereka biasa makan siang. Awalnya, Fano dan Rosa diam. Mereka sama-sama sedang memikirkan sesuatu. Barulah setelah merasa suasana di antara mereka menjadi kaku, Fano angkat bicara. “Tadi... kamu seperti melihat orang lain.” “Apa?” Rosa menoleh ke arahnya, tidak mengerti. “Waktu kita berpapasan tadi. Kamu seperti lihat hantu.” “Oh ya?” “Ya.” Fano tersenyum menggeleng. “Kamu _pikir siapa?” Rosa tidak langsung menjawab. Matanya nanar. Fano yang mengetahui perubahan ekspresi Rosa langsung sadar kalau dia telah salah bicara. “Haikal...,” sebut Rosa kemudian. Dua sudut bibirnya terangkat ke atas. Dia menoleh pada Fano, berusaha sebisa mungkin supaya terlihat seperti tanpa beban. “Namanya Haikalfe “ “ Fano ingat nama itu. Kalau tidak salah Susi j *% pernah menyebut nama itu sewaktth bicara, pa mate perpustakagp. Ucapanifa benar. Seper tity Kis claki we bernama Hiikal i itu pernah menjadi seseorang yang, sangat Je » a " * w eT penting bagi Rosa. Tapi Rosa tersenyum saat menyebut nama orang itu, bukan dengan mata sembabnya seperti saat pertama kali mereka bertemu. “Mungkin hanya perasaanku saja,” kata Rosa lagi. “Aku rasa kalian berdua mirip. Sifat kalian nggak jauh berbeda... belakangan sepertinya aku sudah merasa kalau telah melupakannya. Tapi ternyata nggak akan pernah bisa.. Tadi entah kenapa aku melihat lagi wajah Haikal di foto yang aku simpan lama sekali. Wajah kalian juga punya kemiripan..” “Oh ya?” Fano mengerutkan kening. “Apa selain adik perempuanmu.. kamu punya saudara laki-laki?” Fano tertegun. Dalam benaknya mulai berputar-putar mengenai sebuah rahasia kalau dia memang memiliki saudara laki-laki. Putra yang dilahirkan oleh ibunya sebelum Fano dan Astrid. Seorang laki-laki yang jelas lebih tua daripada Fano. Dengan kata lain, orang itu adalah kakak laki-lakinya. “Fano?” panggil Rosa. “T-iya..” iG “Kamu,melamun?” x St ~ “Maiif.. : Po cc ‘Rosa tersenyurit agi. “Aku yang harusnya minta maaf “y Drege ludalt® bertanya hal yang‘aheh- -aneh. Wajah kalian begitu puigp, gakanya aku iseng tanya.” * 3 2, “ te ¥ “ 248 “Jadi namanya Haikal? Dia yang kamu bicarakan sewaktu di rumahmu?” “Benar..” “Sekarang kamu tahu dia ada di mana?” “Nggak... kami nggak pernah saling berhubungan lagi. Rasanya udah lama sekali..” Fano lebih banyak diam saat mereka sampai di bundaran dan makan siang di sana. Rosa yang merasa tidak enak karena telah menceritakan Haikal pun meminta maaf lagi. “Nggak seharusnya aku bicara soal dia lagi. Apalagi kalian tidak tahu menahu satu sama lain.” “November.. maaf, tapi... boleh kalau aku melihat foto Haikal sebentar saja?” tanya Fano sungkan. “Kamu ingin tahu wajahnya?” “Ya. hanya sebentar. Tapi itu kalau kau mengijinkannya.” “Tentu.” Be oe ae “ % Je * S42 i * \ of) de a ( | sf it 1 ds w Ww i DUA PULUH DELAPAN Fano menunggu hingga sore hari menjelang Rosa selesai bekerja. Dia lalu mengantar gadis itu pulang ke rumahnya. Rosa yang bersedia menunjukkan foto Haikal lalu mempersilakan Fano masuk ke rumah itu. Sementara Fano duduk menunggunya di ruang tamu, Rosa masuk ke kamarnya lalu tidak berapa lama kemudian, mendatangi Fano dengan membawa sebuah foto kecil berbingkai kayu. Setelah melihatnya, tenggorokan Fano seolah tercekat. Matanya melebar dan sekujur tubuhnya menjadi s sedingin e& Dia mesioleh pada sebuah cermin di meja kSéil tidak jath dari sana, mfelihat wajahnya sendiri kemudian hak lagi pada: foto HaikaksKalau dugaannya benar, / mala itu adalah kebetulan yang vtuat biasa. V¥gjah Haikal ow +“ 2, - > 250 mirip dengan Maryam, ibunya. Lekuk pipi dan dagu mereka bahkan sama persis. “November, kamu benar-benar nggak tahu ada di mana dia sekarang ini?” tanya Fano. Rosa hanya menggeleng sedih. “Kalau begitu... apa kamu bisa kasih tahu aku siapa nama ayah Haikal?” Rosa mengulum bibirnya, berusaha mengingat. “Namanya Affandi Wahyu Chaerdinan...” bea Whajan Fano pucat saat dia bilang mohon pamit untuk pulang. Rosa sudah berusaha untuk menahannya dan bilang kalau sebaiknya laki-laki itu jangan berkendara dulu. Tapi pada akhirnya Fano tetap bersikeras untuk pulang. Dia tersenyum lembut pada Rosa serta mengatakan kalau dirinya baik-baik saja. Rosa ragu. Rosa tidak yakin kalau laki-laki itu baik-baik saja. Ada apa dengan Fano? Rosa melihat sosok Fano yang berjalan cepat ke mobil lalu masuk ke dalamnya. Tidak lama kemudian, mobil itupun melaju dengan tergesa-gesa. Apkeida Babungannya dengan foto Haikal yang dia liktet tadi? ae Sepertinya iya. Rautypuka Fano Berubahtgaat melihat 1 3 foto itu. Tai mengapa?*Ada hubungan apa afta Fano Fn ns 3 251 dan Haikal? Rosa mengepalkan tangannya. Dia berbalik badan menatap bingkai foto yang masih ada di atas meja. Wajah Haikal tersenyum. Senyuman yang akan selalu Rosa rindukan kapan pun juga. Namun mungkin karena senyuman itu jugalah, timbul jutaan tanya dalam hati Rosa. “Apa... yang kamu sembunyikan...?” tanya Rosa Hi J antung Fano berdetak kencang tidak karuan. Tahu kalau akan sangat berbahaya kalau dia terus melajukan pelan. mobilnya, Fano akhirnya berhenti di tepi jalan yang tidak terlalu ramai. Tangannya terkepal erat, kemudian dia mengambil ponsel yang ada di dalam saku celananya. Cukup lama dia berpikir lalu menekan beberapa tombolnya. Gugup, dia mendekatkan ponsel itu ke telinga. “Halo? Fano?” Suara seorang pria menyahut panggilannya. “Om Luki... Ada hal yang pengen aku tanyakan ke Om Luki..” “Kamu: mau tanya apa?” * A “Kakak kandung Fano dan Astrid... Om tahu ) hamanya siapa?” “Siapa yang kamu maksud™ sh +“ 252 “Om Luki, Fano minta Om kasih tahu yang sebenernya ke Fano. Fano udah tahu jauh sebelum pertemuan kita kemarin. Fano dengar obrolan waktu itu. Sebelum mama menikah dengan papa, mama pernah hamil. Mama melahirkan bayi laki-laki. Iya kan?” Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana. “Kamu benar Fano. Memang iya, kamu punya kakak laki-laki. Tapi om sama sekali tidak tahu nama yang diberikan pada anak itu.Om nggak pernah tahu dia ada di mana. Setahu om, ayah kandung dialah yang sekarang ini membawanya.” “Om Luki nggak tahu nama anak sulung mama itu.. tapi pastinya, Om tahu siapa nama ayahnya, kan?” “Fa-Fano... kenapa kamu tiba-tiba tanya soal itu ke om?” “Om Luki tolong jawab pertanyaanku! Ini semua demi mama! Mama tetap nggak bisa lupa dengan anak itu, makanya dia selalu ungkit-ungkit dia di depanku dan Astrid!” Hening sejenak. “Baiklah... one itu satu-satunya cara supaya mamanga jadi,tenang....” m “ Fano menahan napas menunggpnya merivebutl * sebuah nama. Je 7. “Wahyy, -.” ¥ vi | ds (i Fano Yherasakan jantungnya berdgyak semakin ge Se “ qe ww * * 253 kencang. “Namanya Affandi Wahyu Chaerdinan... dia kekasih Maryam sewaktu masih di universitas...” Hi Rama menatap layar ponselnya dengan kening terlipat. Ada sebuah pesan singkat yang masuk. Dari Rosa. Kamu di mana? Rama berpikir sejenak sebelum membalasnya. Studio. Kenapa? Pesan terkirim. Tidak lama kemudian, ponsel Rama bergetar. Rosa begitu cepat membalas pesannya. Aku akan ke sana. Rama terkejut. Cepat-cepat dia menelepon nomor Rosa, tapi gadis itu telah menonaktifkan ponselnya. Rama bingung. Dalam hati dia bertanya-tanya apa maksud Rosa. Mengapa gadis itu berniat menyusulnya padahal dia hanya perlu meminta Rama untuk datang bertemu tanpa Rosa harus repoterepot pergi sendiri? * Aneh. Apa adagsesuatu yang sedang terjadi? ‘Ada apa” Dimas yang sedapg bersama dengan Rama, thea theljhat perubahan air mufanya. 3 “ ew 3 sh - 3 * ¥ ” 25 Rama tidak menjawab. Pintu di ruangan kedap suara itu dibuka. Dimas dan Rama menoleh mendapati Denis datang tidak sendirian. Di belakangnya ada Sabrina yang menggamit lengannya. “Sorry, gue telat,” kata Denis. Dimas terbengong-bengong. “Kok ada Sabrina juga?” tanyanya lalu menoleh pada Rama. “Lo ngajak dia pemotretan lagi?” Lagi-lagi Rama tidak menyahut. Denis dan Sabrina saling berpandangan. “Nggak. Dia cuma pengen ikut aja. Barusan dari rumah gue,” kata Denis kalem. “Di rumah lo?” Dimas memastikan. “Tya, di rumah gue.” “Ngapain Sabrina ke rumah lo?” “Oh, itu...” “Cuma pengen ketemu sama Denis...” Kali ini Sabrina yang menjawab. Sementara Dimas melongo, Sabrina dan Denis saling berpandangan lalu tersenyum satu sama lain. Tidak lama kemudian, pintu yang telah ditutup Denis itu dibyga lagi dari Iuar. Rama terkesiap saat menoleh. Dimas, Denis, dan Sabrina menoleh ke arah ying sai % dan terkejut. Rama yang tersentak, sfitak berdiri r) e Rosa besdiri di san’tdengan napas sedikit, /tetengall- engah. w x < 255 “Rama...” “Ros?” Rosa yang tidak memedulikan reaksi mereka lalu melangkah maju mendekati Rama tanpa basa-basi. Tangan kanannya terulur meraih lengan Rama dan menarik laki- Jaki itu mendekat. “Ada apa?” Rama bertanya sekali lagi. “Aku bener-bener bodoh... Percaya gitu aja pada apa yang baru pertama kali aku dengar.. tanpa aku coba cari tahu sendiri..,” gumam Rosa pelan. Rama bergeming. “Aku telah mencari ke mana pun kenyataan itu sendirian... hanya untuk mengetahui kalau jawaban yang bisa kudapatkan adalah dari sepupu yang selalu ada di sekitarku.” “Apa yang kamu bicarakan?” Mata Rosa pedih. Nanar, ditatapnya Rama dalam- dalam. Jemari Rosa yang meremas lengan jaket Rama pun gemetar. Tangan kanan Rama terangkat hendak menyentuh bahu Rosa untuk menenangkannya, namun sesuatu seperti mencelos keluar dari dalam hatinya ketika sebulir air mata yang bening, jatuh membagahi pipi pucat * is di Findapannya, itu. : “Rosa. ya * Kénapf Far nggak kasih4thu aku.. “Rbcal r Sekali lagi 3 256 Rama =: namanya. . : ” Ingin sekali dia langsung mendekap gadis itu ke dalam pelukannya, tapi Rosa memandangnya seakan-akan ingin menjauh. Apa maksud perkataan gadis itu? Rama benar- benar... “Aku sama sekali nggak ngerti.. ada apa?” “Di mana Haikal?” Pertanyaan itu bagaikan pisau yang menancap langsung ke ulu hati Rama. Dia menarik badannya, sedikit menciptakan jarak antara dia dan Rosa. Kedua tangannya terjuntai lemas ke bawah, namun jari-jarinya menekuk dan terkepal kuat. Tidak tahan menerima tatapan Rosa, Rama membuang muka. “Tolong jawab,” kata Rosa lagi. “Jangan buat aku seperti ini.. aku harus tahu, Rama. Dia di mana? Haikal... dia ada di mana? Dia kenapa?” “Kenapa tiba-tiba kamu tanya soal itu?” Rama beralih menatapnya lagi. “Bukankah kamu nggak ingin dengar soal dia lagi?” “Rama! Dia sengaja! Kalian sengaja buat aku benci dia!” teriak Rosa. Rama tersentak. Dia tidak menyangka Rosa akan menjadi emosi seperti itu. Rama menggigit bibir bawahuya. Dalam hati dia bertanya-tanyg apa yang membuat Rosa tiba-tiba mengungkit soal Hailéal. Si yang memberitahunya? Apakah Hikale Tapi itu tidal) mungkin.. ,Kalau Haikat yang memberitahlupy4, ofa tidak munin ada di sana dan menage pepjelastn 25 Rama. Apakah orang lain? Atau gadis itu memang benar- benar mencari tahu sendiri serta mengambil kesimpulan kalau Rama adalah ‘kunci’ yang tahu jawabannya? “Kamu... habis dari mana?” Rama tidak mengacuhkan kata-kata Rosa sebelumnya. “Tidak penting aku habis dari mana.” “Siapa yang beritahu kamu?” “Berhenti_ mengalihkan pembicaraan!” Suara Rosa meninggi. “Bagaimana bisa...? Gimana bisa kamu setega itu sama aku?” Rama diam. “Walaupun kamu nggak mau jawab, aku akan cari tahu sendiri.. dengan atau tanpa kamu!” Rosa berbalik badan. Tapi belum sempat dia memenuhi satu langkahnya untuk pergi, tangan Rama terulur menahannya. “Dia nggak mau ditemui siapa pun!” kata Rama. “Terutama kamu!” Dengan sekali sentakan, Rosa melepaskan lengannya dari tangan Rama. “Sementara kamu dan aku akan jadi orang munafik a Rosa. Gadis itu kembali berbblik lalu 258 untuk kedua kalinya. Dia telah gagal menepati janjinya supaya orang yang paling dia sayangi selalu bahagia. Fano terpekur sendirian di dalam mobilnya sambil sesekali melihat jam tangan. Sudah cukup malam dan dia masih berada di sana tanpa ada keinginan untuk beranjak. Rumah mungil yang ada di depannya itu sunyi. Tidak ada tanda-tanda keberadaan seseorang di sana. Lampu dalam rumah itu mati sementara lampu di luar dibiarkan hidup. November Rosa belum kembali, batin Fano. Ke mana dia malam-malam begini? Fano sendiri tidak bisa tenang. Jawaban yang diberikan Om Luki membuatnya benar-benar tercengang. Bukan hanya karena Haikal ternyata adalah kakak laki-lakinya, putra sulung mamanya, tapi juga kenyataan bahwa dia pernah menjadi orang paling penting bagi Rosa—yang sekarang telah pergi meninggalkan gadis itu. Dunia ini ternyata sempit sekali, ujar Fano lagi dalam hati. Dirinya bahkan tidak benar-benar mengerti kenapa setelah mengetahui kenyataan mengejutkan itu, Fano tidak kembalike aptirtemennya melainkan kembali: ‘mendatangi rumah Rosa. Persisnya dia merasa bersalah karena ey mengungkit tentang Hajkal hanya untuk megehifangias hee rasa keingidtahuannya. w i un ns 2 259 Seseorang berjalan melewati mobilnya. Saat Fano menoleh dan melihat orang itu, dia cepat-cepat keluar dan memanggil namanya. “November!” Rosa berhenti melangkah lalu berbalik badan. “Fano.” Rosa tidak = bisa. menyembunyikan keterkejutannya. Pandangannya menerawang, kemudian dia menunduk serta menggumam sangat pelan, “Haikal...” “Au menemui orang tua Haikal..,” papar Rosa bercerita. “Entah kenapa setelah kamu memintaku menunjukkan foto itu, aku meyakinkan diri untuk mencoba menemui Haikal lagi. Nggak peduli walaupun dia nggak mau lihat wajahku lagi.. yang penting aku dapat bertemu dengannya. Meski cuma sebentar.” Jeda sejenak. “Tapi dia nggak ada di sana... ayah Haikal bilang kalau Haikal telah pergi.. tidak lama setelah dia memutuskan hubungan kami. Ada yang aneh saat dia bercerita soal Haikal padaku.. sorot matanya... Dia kelihatan sangat bgrsedih, Aku mendesaknya waktu itu sampai aklifnya dia c™ menjawab pertanyaanku,.. ternyata Haikal sekarat.” st \\ ‘Fado stmengangkat wajahnya cepat, _terkejut “7 oe merdengarnya. i] se ” 260 “Apa maksud kamu?” Senyuman tipis menghias wajah Rosa. Mata gadis itu lagi-lagi berlinang air. “Bukankah nggak adil?” gumam Rosa. “Dia selalu mendengar keluh kesahku, kecewaku, rasa sedihku.. lalu dia akan menukarnya dengan kegembiraan yang selalu bisa dia bagikan untukku. Tapi giliran saat dia diberikan beban yang begitu berat, dia malah berniat menanggungnya sendirian.” Rosa melipat kedua tangannya. “Alasan dia memutuskan hubungan kami... akhirnya aku tahu sebabnya...,” ujar Rosa pelan. Bibirnya bergetar. “Dia nggak mau aku bersedih karena mengkhawatirkannya. Dia merasa kalau lebih baik aku membencinya dan melupakannya..supaya dengan begitu, dia bisa menghadapi semuanya sendirian tanpa perlu merisaukan orang-orang yang menyayanginya.” Rosa tertawa kecil. “Dia bodoh sekali kan?” “Rosa...” “Tapi akulah yang jauh lebih bodoh... percaya begitu saja pada kebohongan orang semacam itu. Aku juga bodoh felah mengabaikannya tanpa mencari, tahu alasan yang sebenarnya... Dan tahukah..., aku cukup mer; diriku adalah orang paling muna di dunia ini kalay aku menyapgkal bahwdé¥elama i ini aku meieral|pgendh | } mencintai ata.” un ns 2 261 Je Ray Tangis Rosa pecah. Fano mengulurkan kedua tangannya untuk menggenggam tangan Rosa, berharap hal itu setidaknya akan sedikit membuatnya tenang. Fano menunggu sampai gadis itu tenang. Setelahnya, Fano beranjak dari sofa tempatnya duduk, lalu berlutut memandang Rosa tanpa melepaskan genggamannya. “Kamu ingin menemui Haikal lagi?” tanya Fano halus. Rosa mengangguk. Gadis itu menangis seolah dia mendapatkan rasa sakit yang luar biasa. Terutama dalam hatinya. “Kamu masih sangat mencintai Haikal, bukan?” Fano tersenyum, namun dalam hatinya sakit. “November pasti bisa bertemu Haikal,” katanya. “Aku janji... aku akan bantu kamu untuk menemuinya...” 3% we 262 DUA PULUH SEMBILAN Bulan ketujuh telah berlalu semenjak terakhir kali Fano melihat Rosa. Fano tidak pernah sedetik pun melupakannya. Senyuman serta sorot mata yang tegar itu terus terbayang dalam benaknya seperti mimpi yang terus diulang. “Terima kasih, Fano. Jaga dirimu baik-baik...” Itu kata-kata yang dilontarkan Rosa untuknya sebelum keberangkatannya dari bandara. Sepintas tidak ada yang salah dari ucapan itu. Selama ini Fano berusaha untuk tidak tétfalu themikirkannya. Dia sibuk menémykan cafa untuk menghibur diri. Tapi semakin Trina merenung, Fgno akhirnya menyadari satu, bagian penting dat cata Rosa mengucapKfonya kala itu. Tidak ada kata- kata Jiteke } tinggal” di sana. w * un ns 2 263 Je re Apa itu berarti jaminan kalau mereka akan bertemu lagi? Fano tersenyum samar sambil membuka halaman demi halaman sebuah buku fiksi. Sementara dia menuliskan sesuatu di bagian-bagian tertentu, tangannya yang lain meraih cangkir kopi yang isinya masih mengeluarkan uap tipis. Seekor kucing berbulu putih yang lebat berlari-lari kecil mendatangi Fano lalu mengusapkan badannya pada kaki laki-laki itu. “Oh? Udah waktunya makan ya?” Fano mendongak, melihat jam dinding di atasnya. Kucing itu mengeong mengiyakan. Fano tersenyum lalu menutup buku yang sedang dibacanya tadi. Dia beranjak dari kursi kemudian berjalan keluar ruangan sementara kucing itu mengikutinya. Sesampainya di dapur, Fano mengambil makanan kucing dalam kemasan dari atas rak, membukanya, lalu menuangkan isinya ke sebuah wadah kecil. Dengan lahap kucing itu memakannya. Sementara kucing itu sibuk, Fano mengelus bagian atas kepala dan punggungnya. ‘ “Kira Kjea kapan ya dia akan mengambilma” tanya "Bofing a tibattiba saja bersin. eve maak. bukan berarti abet bosan koky “Hanya saja apa ‘kan nggak Kangen padanya, Vanila? Semoga dia 264 kembali dalam waktu dekat ini ya.” i “Selamat ya atas pemutaran filmnya,” ucap Sabrina. Denis menggeleng. “Pesannya dalam banget.Ceritanya kayak semacam dongeng atau fantasi gitu ya? Keren.” “Makasih,” balas Fano. Sekumpulan orang berkumpul mengerubuti Fano. Beberapa meminta tanda tangannya dan sebagian lagi cukup puas mengambil beberapa foto dengannya. Keluar dari kerumunan itu, Denis dan Sabrina menghampiri Rama dan Dimas yang ada di tepi ruangan itu. Mereka semua berpakaian formal untuk merayakan pemutaran perdana film yang naskah skenarionya merupakan hasil tulisan Fano. Film berjudul The Light of A Candle and Fireflies ita menjadi sangat populer karena disorot banyak media publik. “Kenapa di sini terus? Nggak ngasih selamat sama tuan rumah?” Denis menyilangkan tangannya. “Gue udah kok tadi,” sahut Dimas datar. “Rama?” “Bagtar lagi,” jawab Rama acuh tak acuhs: “Omong-omong... dia nggak sdatang ya? Sabrina. Je * we “Siapag’eDenis menahggapi. “Cewek itu, sepupu Rama. lya kan?” 4s i. a 2 “Oh ya, namanya Rosa. Dulu aku pernah ketemu dia,” kata Denis. “Kamu nggak ngajak dia, Rama?” tanya Sabrina. “Gue yakin Fano pengen banget dia datang. Walaupun Fano kelihatan seneng sama semua orang, kadang gue lihat mukanya murung gitu.” Rama tidak merespon. Matanya mencari-cari sosok Fano di antara banyak orang di tengah-tengah pesta itu. Dia melihatnya. Laki-laki itu sedang sibuk meladeni para tamu undangan. Barulah saat dia melihat Fano menjauh dari kerumunan dan menyendiri, Rama menegakkan punggungnya yang tadi bersandar di tembok. Dia memberikan gelas punchnya pada Dimas lalu_pergi menyusul Fano. “Nggak suka sama pestanya?” Fano langsung menoleh ke belakang dan mendapati Rama mendekatinya dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. “Kelihatannya memang seperti itu ya?’ Fano tersenyum. “Yah.. gue ngerti kok, apa yang lo rasain.” Rama melangkah dan berdiri tepat di sebelahnya. “Hanya saja gue nggak ngerti kenapa lo malah mau baatu Résa buat emu “Haikal, Bukannya lo punya perasaan khusus (Soon * Ngeak’y peduli seberapa bear aku sayang, Rosa, tapi ikalelah yang lebih dulu ada di samping dik? ujar Fano. * 266 “Kau pasti berpikir aku bodoh. Tapi kurasa cuma itu yang bisa aku lakukan untuknya. Ini keputusanku. Nggak ada hubungannya dengan kenyataan kalau Haikal adalah kakakku.” Rama tersenyum sinis dan menggeleng. “Pemikiran kita jauh berbeda ya?” komentarnya datar. “Dari awal gue tahu ada yang aneh pada Haikal. Tapi saat tahu apa yang terjadi, gue tetap tutup mulut. Tadinya semua hal berjalan sesuai dengan keinginan Haikal. Menurut gue itu nggak masalah selama Rosa nggak tahu apa-apa dan dia akan baik-baik aja. Ada atau tidaknya Haikal, gue pikir akan sama aja. Selama dia tetap seperti biasanya, dan selalu ada gue yang ada buat dia.” Fano memandang sisi samping Rama dengan kening mengernyit. “Aneh ya? Gue sayang Rosa bukan hanya sekedar sebagai sepupu.. Andai bisa, gue lebih milih ngebuang nama marga yang sama dengan Rosa, trus jadi orang lain aja.” “Jadi itu juga alasannya kenapa kau nggak kasih tahu yang sebenernya ke Rosa?” “Tetserahy;lo aja deh nganggepnya gimana,” jawab Rama datar. “Gue datang ke sini aslinya buf’an “en ucapan selamat, tapi buat ngasih tahiifo sesuagu.” * Lae | W 267 Gadis itu mengenakan kaus putih berbahan kain yang tebal dan berlengan panjang. Sementara dia memakai sebuah rok polos sekitar sepuluh sentimeter panjangnya di bawah lutut. Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan tergerai tanpa hiasan apa pun. Kulit wajahnya sedikit pucat, namun bibirnya berwarna merah muda merekah karena dia berulang kali mengulumnya. Tidak banyak barang yang dibawanya ketika menjejakkan kakinya di bandara. Dia hanya membawa sebuah koper kecil dan tangan satunya membawa tas tangan biasa. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mendapati kalau suasananya tidak jauh berbeda ketika dia ada di sana terakhir kalinya dulu dengan seseorang mengantarnya. Kedua sudut bibirnya _ terangkat. Pandangannya menerawang. Menghela napas panjang, dia melangkah keluar untuk memanggil sebuah taksi. Tapi kakinya berhenti bergerak ketika dia melihat seseorang mondar-mandir gelisah dan sesekali melihat jam tangannya. Sudah berapa lama dia ada di situ? Batin Rosa bertanya- aks + Dia yakin kalau tidak sedang salah lihat. Lakilaki itu ‘ano. Tyjuh bulan lal dialah yang mengantar Rosa sampai “I Re bandaraty Seni, dan sekarang gia juga yang menunggu epitaph. Tapi kenapa dia Bisa tahu kal§ Rosa akan * “ +“ 268 kembali hari ini? Setahu Rosa, dirinya hanya memberitahu kedua orang tuanya. Mama Rosa tidak bisa menjemput karena tidak enak badan sedangkan papanya harus bekerja. Ragu-ragu, didekatinya sosok Fano yang masih belum menyadari keberadaannya. “Fano..” Barulah saat Rosa memanggil namanya, Fano otomatis menoleh ke sumber suara. Dia terkejut melihat Rosa. “Lama nggak ketemu..”ucap Rosa lirih. Dia tersenyum, tapi matanya berlinang. Fano berjalan cepat menyongsongnya. Dia langsung mendekap Rosa erat. Rosa tidak bisa lagi membendung air matanya yang seketika tumpah. Gadis itu membiarkan pegangan kopernya jatuh ke bawah sementara tas tangannya juga bernasib sama. Kedua tangan Rosa bergerak membalas pelukan Fano. Dia menangis tanpa suara. Air matanya membuat baju bagian pundak Fano basah. “Selamat pulang. aku merindukanmu...,” bisik Fano dan Rosa pun makin dalam mempererat pelukannya. Wok 1% : “ es \\ i * : , 12 ts | (" te o { | * f Ww It 1 te we sy TIGA PULUH “Vanila!”Rosaberserumelihatkucingkesayangannya sedang terlelap di sebuah ranjang kecil di dalam keranjang bambu. Kucing gendut berbulu putih lebat itu terperanjat kaget. Tapi ketika melihat orang di hadapannya, dia mengeong keras lalu bergulung-gulung di sekitar kaki Rosa. Melihatnya, gadis itu tertawa kecil. “Berat badanmu bertambah sepertinya,” komentar Rosa. “ 3+ “Dia, ¢kan minta makanan ekstra “kala? sedang mérindukanmu,” celgtuk Fano. si, Erol = ya? Rosa mengelus punggung Vanila sebelum ‘ mierigg meinen “Kamu sehat kan? Neggak §kal kan ya? 2, - 270 Aku rindu sekali padamu.” Vanila bergeliat manja, senang. “Mau langsung bawa dia pulang ke rumah?” tanya Fano. Rosa menggeleng. “Aku mau ke beberapa tempat dulu sebelum pulang ke rumah..” Fano tersenyum. “Biar kuantar.” i a Mbak Rosa!!!” Susi berteriak terkejut melihat Rosa membuka pintu perpustakaan. Bukan hanya dia, staf- staf yang lain segera berkerumun di sekitar Rosa untuk menyambutnya. “Kapan pulangnya?” “Sampai bandara pagi tadi,” jawab Rosa. “Ah.. apa nggak capek begitu pulang langsung ke sini?” “Mbak Rosa sehat?” “Ngapain aja ke Singapura?” Sementara Rosa harus meladeni pertanyaan- pertanyaan dari para karyawannya itu, Fano berpikir kalau sebaiknya dia menyingkir dulu. Rosa pasti merindukan perpustakaanifya selama dia menemani Haikal. . tt Walaupun tidak terlalu sering, Kano dan Boss sel menyempatkan diri unipk melakukan kodak eth 1? email, Daggsitulah Fato mengetahui kondhgi ‘Hedkal. vn i. 271 Siapa yang bisa menduga sebelumnya kalau dia mengidap leukemia selama ini. Semakin lama sel-sel kanker itu berkembang di tubuhnya tahap demi tahap. Tubuh Haikal melemah, dan sayangnya juga mulai meredupkan binar cahaya di matanya. Fano bisa sedikit membayangkan bagaimana reaksi pertama laki-laki itu saat Rosa datang padanya. Awalnya dia menolak bertemu dengan gadis itu, bahkan memintanya untuk segera kembali pulang. Tapi meskipun Haikal mencoba mengenyahkannya, Rosa tetap tidak peduli. Gadis itu terus menemani hari-hari terakhirnya dengan sabar. Rosa berhenti mengirimkan email sekitar sebulan yang lalu. Selama itu pula Fano tidak mendapatkan kabar apa pun. Pernah terbesit dalam benaknya untuk bertemu dengan Haikal, namun dia terlalu takut. Haikal tidak pernah tahu menahu mengenai mama Fano yang juga adalah ibu kandungnya. Sejauh ini, Fano hanya memberitahukan hal itu pada ayah Haikal, Wahyu dan Rama. Fano menyadari seperti ada sesuatu yang hilang pada Rosa ketika memeluk gadis itu sewaktu di bandara. Wajahnya ferlihat _kurang sehat dan sepertihya dia % tambah kurus. Walaupun samar, Fano juga bisa melihat (oe pect cekufigan di bawah kantung mata Rosa. * Mungkin gidis itu sering menafigis saat sedapg sendirian. st 2, > 272 Salah seorang staf pustakawan mengeluarkan beberapa candaan sehingga sekumpulan orang-orang itu tertawa— ternasuk Rosa. Fano melihat gadis itu juga membalas dengan gurauan karangannya sendiri sehingga dia terus tersenyum dan tertawa. Lesung pipinya yang manis itu terlihat. Tidak bisa menahan tawanya yang memuncak, mata Rosa kembali berair. Gadis itu tidak membiarkan air matanya jatuh. Dia langsung mengusapnya dengan punggung tangan. Fano berbalik keluar perpustakaan. Saat dia selesai menuruni tangga dan turun, dia terkejut melihat Rama berdiri memandangnya dengan bersandar pada sebuah motor hitam. Rama menyilangkan tangannya, sementara satu kakinya berayun menendangi kerikil. “Sejak kapan ada di situ?” tanya Fano menahan senyumnya. “Barusan,” jawab Rama datar. Fano mengangguk, tanda percaya. “Dia ada di dalam.” “Gue tahu dia di dalam.” “Trus?” Rama berdehem dan memalingkan muka. “Gimana kalau gate yang balik tanya? Kenapa lo keluar2” ue ‘Oh, itu... dia masih... yah... ay cuma nggak * ganggu.” 7, sf Rama spenggeleng’*femudian dia in roa penuh ‘ arti, Fano ‘walnya tidak paham, tapi dia, grdzabialasniya ww Zn 3: dengan tersenyum juga. Senyum itu kemudian hilang saat Rama memakai helmnya lagi dan menaiki motornya. “Kau nggak ingin ketemu dengannya?” “Ttu bisa lain kali. Gue tiba-tiba ingat punya urusan hari ini.” “Hei..” Fano menyipitkan mata. “Gue tahu dia baik-baik aja, ketahuan dari muka lo yang cerah itu.” Rama mulai menghidupkan mesin motor dan suara deruannya yang berat terdengar. “Bilang sama dia, gue nggak bakal muncul di hadapannya sampai dia minta maaf ke gue. Itu juga sebaliknya, dia musti maafin gue dulu.” “Kenapa dia harus minta maaf?” tanya Fano bingung. “Gara-gara dia, tidur gue kadang nggak nyenyak,” sungut Rama yang langsung ngeloyor begitu saja tanpa mengucapkan kalimat pamit. Fano hanya bisa memandang sosoknya yang semakin jauh kemudian menghilang. Dia tidak menyadari Rosa ada tepat di belakangnya. “Rama ya?” Otomatis Fano menoleh dan melihat Rosa tersenyum penuh arti. “He aw me,” kata Rosa yakin. “Kayaknya dia juga en aja kag tahu “flasan aku harus minta maaf, supaya 4 aku dengan” * “Terug kepapa I bela nggak saling sapa iv ws Ce Rosa tersenyum. “Banyak hal yang nantinya akan aku katakan ke dia. Lain kali saja.. itu kan yang tadi dia bilang>?” Mereka berdua terdiam beberapa saat. “Wajahmu pucat. Aku antar pulang, lalu kamu bisa istirahat.” tawar Fano. “Aku belum mau pulang,” tolak Rosa halus. Dia menoleh dan tersenyum manis pada Fano. Kedua tangannya terangkat, melingkar ke lengan Fano. “Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar?” bea “Atm ingin minta maaf.. karena telah membuatmu khawatir. Kamu harus percaya kalau aku telah berusaha melakukan apa pun untuk bersamamu, tapi aku tidak bisa. Karena itu berjanjilah, kamu tetap akan menjadi seperti yang dulu aku kenal. Tersenyum dan tertawa senantiasa.., sebab aku tidak pernah meninggalkanmu. Dulu, sekarang, dan kapan pun juga, kuminta kamu tidak menyesali hari-hari yang kita lewati bersama. Dan inilah yang terakhir kalinya kuucapkan padamu.. Aku mencintaimu dengan sepenuh hati.” Rosa terus mengingatnya, dan dia akan selamanya menyirkgan themori itu dalam hatinya. Semakin dja beraethaunrak Sak mean a Cg ¥ air mata yang dia tumpahkan. Pandangaioya | burany, ) 3 dadanya tafasa sesak. Sifira isakannya tidak mampif dia vn i. ZL: redam lagi. Dan di saat Rosa mulai kehabisan sisa-sisa energinya, Fano memeluk gadis itu dan menyandarkan kepalanya ke bahunya. What if I had never let you go Would you be the man I used to know What if I had never walked away ‘Cos I still love you more than I can say If Td stayed, If youd tried, If we could only turn back time But I guess we'll never know (Penggalan lirik lagu Kate Winslet — What If) s eM ” ah +t sh ~ “"“ se * ” oy 3 oe * 2 % < 276 EPILOG “Aku nggak pernah tahu ada tempat seperti ini...,” gumam gadis itu sambil mengeratkan jaketnya. “Gelap..” “Akan tambah gelap sebentar lagi,” kata laki-laki di sampingnya yang kemudian duduk beralaskan rumput. “Jangan terlalu ke depan.. itu rawa.” “Kenapa mengajakku ke rawa-rawa?” “Kamu juga akan tahu nanti.” Laki-laki itu tersenyum. Angin dingin berembus pelan menerpa mereka. “Sebentar lagi akan hujan..,” tebak si Gadis. “Ake tak pernah menyukai hujan.” “Kenapa?” 3 “Karena setiap hujany turun, aku selalu tin, Jat akafi seseorang ng sedang” menangis di sana. Tika Bajdn datang dengan disertai petir, maka, ztaki, “ie listrike de 277 le a akan mati. Lalu dia... akan meringkuk sendirian di pojok kamarnya dengan badan gemetaran.. berharap seseorang akan mendekap dan menenangkannya.” Si Gadis tersenyum lalu menyandarkan kepalanya ke bahu laki-laki itu. “Kamulah seseorang itu ...,” katanya pelan. “Mungkin saja.” Laki-laki di sampingnya ikut tersenyum. “Tapi di tempat lain... ada seseorang yang dengan kesepiannya, menikmati jikalau gelap datang karena dia pernah berkata kalau ada sesuatu di luar sana yang akan tampak indahnya jika dilihat dalam suasana gelap.” Mata gadis itu mendadak melebar melihat titik-titik cahaya yang mulai tampak. Dari banyak semak-semak di sana, keluar jutaan kunang-kunang yang beterbangan. Saking indahnya, sepasang bibir gadis itu mulai merekah. Cahaya kunang-kunang memantul di matanya yang bening serupa air, menciptakan binar seperti bintang. “Karena dia memiliki cahayanya sendiri, serupa api di lilin kecil... Aku baru menyadari kalau cahaya itu telah ada di matanya. Seperti saat ini.. aku melihat lilin-lilin kecil seseorang pembawa cahaya itu, yang'kubawa i ini..."ke sini...” uf | “Betauseeveryord has its own light ...” '\ [ | sh *] | END Ba 7 - 278 Aletheia Agatha AMetheia Agatha merupakan nama pena dari seorang gadis belasan tahun yang doyan bermimpi. Lahir dan besar di kota kecil, Pati di bawah naungan zodiak Scorpio. Awalnya suka mencoret-coret wajah orang-orangan sawah yang kemudian memberinya ide untuk membuat sebuah kisah yang manis. Suka dengan segala hal yang indah, manis, dan sederhana. Senang bermimpi apabila di suatu hari nantinya akan memiliki sebuah perpustakaan sendiri. Saat ini masih aktif menjadi mahasiswi jurusan Ilmu Perpustakaan di Universitas Diponegoro Semarang, alias calon pustakawan ©. Masih aktif jadi penulis suka- suka di situs hijau kemudian.com. Fireflies adalah novel pertamanya yang diterbitkan. Email : zahiradianasari@yahoo.co.id Twitter : @agathaCL20 Facebook : Aletheia Agatha wo nw = de fm ww y- aN 2 3 vn ns 2 Ingin Ne askih Ceritamu Diterbitkan? Jangan ragu untuk kirimkan naskah ceritamu ke Redaksi Edu Penguin! Syarat Pengiriman Naskah: + Naskah merupakan karya asli dan menarik. * Ketebalan naskah 90-150 halaman A4, jenis huruf Times New Roman 12 pt, spasi 1,5 (margin standar). * Isinaskah tidak melanggar hak cipta orang/pihak lain. ¢ Kirimkan CV dan naskah kamu dalam bentuk softcopy ke alamat email: edupenguin@yahoo.com * Jangan lupa cantumkan kategori naskah pada subject. Semua naskah yang diterima akan diseleksi. Penulis akan mendapatkan informasi mengenai naskah kirimannya, paling lambat dua minggu sejak naskah diterima penerbit. Naskah yang tidak lolos seleksi tidak akan diterbitkan oleh penerbit, dan hak cipta dikembalikan sepenuhnya kepada penulis. a, 3 a ) . ° ' = ” 280

Anda mungkin juga menyukai