Laporan Kologi Antikonvulsi
Laporan Kologi Antikonvulsi
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kejang
Kejang merupakan respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam otak.
Secara pasti, apa yang terjadi selama kejang tergantung kepada bagian otak
yang memiliki muatan listrik abnormal. Jika hanya melibatkan daerah yang
sempit, maka penderita hanya merasakan bau atau rasa yang aneh. Jika
melibatkan daerah yang luas, maka akan terjadi sentakan dan kejang otot di
seluruh tubuh. Penderita juga bisa merasakan perubahan kesadaran,
kehilangan kesadaran, kehilangan pengendalian otot atau kandung kemih dan
menjadi linglung. (Medicastore, 2008)
Konvulsi adalah gerak otot klonik atau tonik yang involuntar. Konvulsi
dapat timbul karena anoksia serebri, intoksikasi sereberi hysteria, atau
berbagai manifestasi epilepsi. Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak
dengan berbagai etiologi namun dengan gejala tunggal yang khas, yaitu
serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron kortikal
secara berlebihan. (Mardjono, 1988)
Kejang yang timbul sekali, belum boleh dianggap sebagai epilepsi.
Timbulnya parestesia yang mendadak, belum boleh dianggap sebagai
manifetasi epileptic. Tetapi suatu manifestasi motorik dan sensorik ataupun
sensomotorik ataupun yang timbulnya secara tiba-tiba dan berkala adalah
epilepsi. (Mardjono, 1988)
Bangkitan epilepsi merupakan fenomena klinis yang berkaitan dengan
letupan listrik atau depolarisasi abnormal yang eksesif, terjadi di suatu focus
dalam otak yang menyebabkan bangkitan paroksismal. Fokus ini merupakan
neuron epileptic yang sensitif terhadap rangsang disebut neuron epileptic.
Neuron inilah yang menjadi sumber bangkitan epilepsi. (Utama dan Gan,
2007)
Pada dasarnya, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
1. Bangkitan umum primer (epilepsi umum)
Bangkitan tonik-konik (epilepsi grand mall)
Bangkitan lena (epilepsi petit mal atau absences)
Bangkitan lena yang tidak khas (atypical absences, bangkitan tonik,
bangkitan klonik, bangkitan infantile
2. Bangkitan pasrsial atau fokal atau lokal (epilepsy parsial atau fokal)
Bangkitan parsial sederhana
bangkitan parsial kompleks
Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum
3. Bangkitan lain-lain (tidak termasuk golongan I atau II)
(Utama dan Gan, 2007)
B. Striknin
Striknin tidak bermanfaat untuk terapi, tetapi untuk menjelaskan fisiologi
dan farmakologi susunan saraf, obat ini menduduki tempat utama diantara
obat yang bekerja secara sentral. (Louisa dan Dewoto, 2007)
Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif
terhadap transmiter penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan
pascasinaps, dimana glisin juga bertindak sebagai transmiter penghambat
pascasinaps yang terletak pada pusat yanng lebih tinggi di SSP. (Louisa dan
Dewoto, 2007)
Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP. Obat ini
merupakan obat konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada hewan
coba konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan dan semua anggota gerak.
Gambaran konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat yang
merangsang langsung neuron pusat. Sifat khas lainnya dari kejang striknin
ialah kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan
sensorik yaitu pendengaran, penglihatan dan perabaan. Konvulsi seperti ini
juga terjadi pada hewan yang hanya mempunyai medula spinalis. Striknin
ternyata juga merangsang medula spinalis secara langsung. Atas dasar ini efek
striknin dianggap berdasarkan kerjanya pada medula spinalis dan konvulsinya
disebut konvulsi spinal. (Louisa dan Dewoto, 2007)
Medula oblongota hanya dipengaruhi striknin pada dosis yang
menimbulkan hipereksitabilitas seluruh SSP. Striknin tidak langsung
mempengaruhi sistem kardiovaskuler, tetapi bila terjadi konvulsi akan terjadi
perubahan tekanan darah berdasarkan efek sentral striknin pada pusat
vasomotor. Bertambahnya tonus otot rangka juga berdasarkan efek sentral
striknin.pada hewan coba dan manusia tidak terbukti adanya stimulasi saluran
cerna. Striknin digunakan sebagai perangsanmg nafsu makan secara irasional
berdasarkan rasanya yang pahit. (Louisa dan Dewoto, 2007)
Striknin mudah diserap dari saluran cerna dan tempat suntikan, segera
meninggalkan sirkulasi masuk ke jaringan. Kadar striknin di SSP tidak lebih
daripada di jaringan lain. Stirknin segera di metabolisme oleh enzim
mikrosom sel hati dan Necel 4 diekskresi melalui urin. Ekskresi lengkap
dalam waktu 10 jam, sebagian dalam bentuk asal. (Louisa dan Dewoto, 2007)
Gejala keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah kaku otot muka
dan leher. Setiap rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motorik
hebat. Pada stadium awal terjadi gerakan ekstensi yang masih terkoordinasi,
akhirnya terjadi konvulsi tetanik. Pada stadium ini badan berada dalam sikap
hiperekstensi (opistotonus), sehingga hanya occiput dan tumit saja yang
menyentuh alas tidur. Semua otot lurik dalam keadaan kontraksi penuh. Napas
terhenti karena kontraksi otot diafragma, dada dan perut. Episode kejang ini
terjadi berulang; frekuensi dan hebatnya kejang bertambah dengan adanya
perangsangan sensorik. Kontraksi otot ini menimbulkan nyeri hebat, dan
pesien takut mati dalam serangan berikutnya. Kematian biasanya disebabkan
oleh paralisis batang otak karena hipoksia akibat gangguan napas. Kombinasi
dari adanya gangguan napas dan kontraksi otot yang hebat dapat menimbulkan
asidosis respirasi maupun asidosis metabolik hebat; yang terakhir ini mungkin
akibat adanya peningkatan kadar laktat dalam plasma. (Louisa dan Dewoto,
2007)
Obat yang penting untuk mengatasi hal ini ialah diazepam 10 mg IV,
sebab diazepam dapat melawan kejang tanpa menimbulkan potensial terhadap
depresi post ictal, seperti yang umum terjadi pada penggunaan barbiturat atau
obat penekan ssp non-selektif lain. Kadang-kadang diperlukan tindakan
anastesia atau pemberian obat penghambat neuromuskular pada keracunan
yang hebat. (Louisa dan Dewoto, 2007)
Pengobatan keracunan striknin ialah mencegah terjadinya kejang dan
membantu pernapasan. Intubasi pernapasan endotrakeal berguna untuk
memperbaiki pernapasan. Dapat pula diberikan obat golongan kurariform
untuk mengurangi derajat kontraksi otot. Bilas lambung dikerjakan bila diduga
masih ada striknin dalam lambung yang belum diserap. Untuk bilas lambung
digunakan larutan KMnO4 0,5 ‰ atau campuran yodium tingtur dan air
(1:250) atau larutan asam tanat. Pada perawatan ini harus dihindarkan adanya
rangsangan sensorik. (Louisa dan Dewoto, 2007)
C. Pentetrazol
Pentetrazol adalah obat yang dipakai sebagai stimulan peredaran darah dan
pernafasan. Dosis tinggi menyebabkan kejang, seperti yang ditemukan oleh
ahli saraf Hungaria-Amerika dan psikiater Ladislas J. Meduna tahun 1934.
Telah digunakan dalam terapi kejang, tetapi tidak pernah dianggap efektif, dan
efek samping seperti kejang yang sulit untuk dihindari.
METODE PERCOBAAN
3.3 Prosedur
1. Hewan ditimbang dan dikelompokan menjadi 4 kelompok, kelompok
kontrol diberi pembawa ( Na CMC ), kelompok pembanding diberi obat
fenitoin 100mg, kelompok uji 1 diberi luminal 30mg dan kelompok uji 2
di beri luminal 100mg
2. Semua kelompok diberi obat secara peroral catat waktu pemberian obat.
3. Setelah 30 menit hewan diberi zat penginduksi, konvulsi yaitu pentetrazol
4. Segera setelah pemberian zat penginduksi di catat waktu timbulnya
konvulsi, rentang waktu timbulnya konvulsi, dan lamnya konvulsi yang
terjadi, juga waktu terjadinya kematian hewan percobaan.
5. Data yang diperoleh ditabulasi dan di analisis secara statistik dengan
menggunakan, analisis fariansi dan kebermaknaan antara kelompok
kontrol dan kelompok uji dianalisis dengan student test
6. Buat grafik hasil percobaan
7. Bahas hasil percobaan anda.
BAB IV
HASIL PERCOBAAN
PEMBAHASAN
Hal ini disebabkan oleh perbedaan mekanisme dan durasi kerja dari
masing-masing obat yang bersangkutan. Fenitoin memiliki efek stabilisasi pada
membran karena blokade kanal Na+. Fenitoin memiliki indeks terapi yang sempit,
konsentrasi terapeutiknya dalam plasma darah adalah 5-20 µg/mL, konsentrasi
maksimal dalam plasma setelah 3-12 jam, diabsorbsi lambat setelah pemberian
oral sebanyak 70-90%, ikatan obat-protein plasma sekitar 90%. Karena obat ini
termasuk obat kerja cepat, onset kejangnyapun lebih singkat dari obat uji yang
merupakan obat kerja panjang. Pada hasil percobaan, obat ini dapat memberikan
efek yang lebih cepat tetapi tidak bertahan lama.
KESIMPULAN
Katzung, BG. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi 6. EGC : Jakarta, hal.
354-356
Louisa M & Dewoto HR . 2007. Perangsangan Susunan Saraf Pusat . Dalam :
Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta, hal. 247-248
Mardjono, M. 1988. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat : Jakarta, hal. 439-441;
444
Medicastore. 2008. Kejang. Apotek Online dan Media Informasi Obat Penyakit.
(online), (http://www.medicastore.com, diakses 4 Mei 2008)
Mycek, MJ dkk. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medika : Jakarta,
hal. 90; 149
Utama H. & Gan. V . 2007. Antiepilepsi dan Antikonvulsi . Dalam : Farmakologi
dan Terapi, edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta, hal. 179-181; 186; 188
Farmakologi dan toksikologi Oleh Gery Schmitz, Hans Lepper & Michael
Heidrich, EGC.
http://medicatherapy.com/index.php/content/printversion/138
http://medicatherapy.com/index.php/content/printversion/140
9:58 11/04/13
LAMPIRAN
Pertanyaan
1. Mengapa diazepam masih dipilih sebagai obat antikonvulsi?
Jawab :
Walaupun diazepam memiliki efek samping yang sangat berat dan
termasuk kedalam obat psikotropika, namun diazepam masih digunakan
dalam pengobatan antikonvulsan. Diazepam untuk terapi konvulsi
rekuren, miksalnya status epileptikus. Obat ini juga bermanfaat untuk
terapi bangkitan parsial sederhana misalnya bangkitan klonik fokal dan
hipsaritmia yang refrrakter terhadap terapi lazim. Diazepam efektif pada
bangkitan lena karena menekan 3 gelombang paku dan ombak yang terjadi
dalam satu detik. Sangat penting untuk digunakan dalam menanggulangi
kegawatdaruratan pada kejang eklamptik. Mempunyai waktu paruh yang
pendek dan efek depresi SSP yang signifikan. Diazepam dapat melawan
kejang tanpa menimbulkan potensial terhadap depresi post ictal, seperti
yang umum terjadi pada penggunaan barbiturat atau obat penekan ssp non-
selektif lain
2. Selain diazepam adakah obat lain yang dapat digunakan sebagai anti
konvulsan?
Jawab:
Selain diazepam masih ada golongan obat lain yang masih dapat
digunakan sebagai obat antikonvulsan dan memiliki efek samping yang
lebih rendah dibandingkan diazepam.
a. Golongan Hidantoin
Fenitoin (Difenilhidatoin), mefinitoin dan etotoin dengan fenotoin sebagai
prototype.
Fenitoin adalah obat utama untuk hampir semua jenis epilepsy,
kecuali bangkitan lena. Adanya gugus fenil atau aromatic lainnya
pada atom C penting untuk efek pengendalian bangkitan tonik-
klonik, sedangkan gugus alkilbertalian dengan efek sedasi, sifat
yang terdapat pada mefenitoin dan barbiturat, tetapi tidak
padafenitoin. Adanya gugus metal pada atom N akan mengubah
spectrum aktivitas misalnyamefenitoin, dan hasil N dimetilisasi
oleh enzim mikrosom hati menghasilkan metabolit tidak aktif.
b. Golongan Barbiturat
Disamping sebagai hipnotik-sedatif, golongan barbiturate efektif
sebagai obat antikonvulsidan yang biasa digunakan adalah
barbiturate kerja lama (long acting barbiturates). Disini dibicarakan
efek antiepilepsi prototip barbiturate yaitu fenobarbital dan
pirimidon yang strukturkimia nya mirip dengan barbiturate.Sebagai
antiepilepsi fenobarbital menekan letupan di fokus epilepsy.
Barbiturat menghambattahap akhir oksidasi mitokondria,sehingga
mengurangi pembentukan fosfat berenergi tinggi.Senyawa fosfat
ini perlu untuk sintesis neurotransmitor misalnya Ach, dan untuk
repolarisasimembrane sel neuron setelah depolarisasi.
FENOBARBITAL
c. Golongan Oksazolidindion
TRIMETADION
Asam Valproat
e. Antiepilepsi Lain
FENASEMID
5. Syarat apa yang harus dipenuhi bila suatu zat dapat digunakan
sebagai antikonvulsan ?
Jawab:
Syarat yang harus dipenuhi bila suatu zat dapat digunakan sebagai
antikonvulsan, yaitu :
Dapat bekerja cepat, memiliki onset pada hewan percobaan dalam
waktu lama.
Dapat menahan kejang dalam jangka waktu lama, hingga
menyembuhkan.
Dapat mengurangi frekuensi kejang.
Obat yang digunakan monoterapi lebih baik karena mengurangi
potensi, adverse effect, meningkatkan kepatuhan pasien, tidak
terbukti bahwa politerapi lebih baik dari monoterapi.
Harus sesuai dengan jenis epilepsy yang dihambat.
Memiliki efek samping yang dapat dihindari.
Memiliki toksisitas yang dapat dihindari.
Perhitungan dosis
1. Kontrol
Na CMC = 23/20 x 0,5mL = 0,575mL
Pentetrazole = 23/1000 x 70mg = 1,61mg
volume Pentetrazole 2,6mg/mL = 1,61mg : 2,6mg/mL = 0,619mL
FREKUENSI KEJANG
KONTROL PEMBANDING UJI I UJI II
0 7 13 10
9 64 57 0
5 8 15 11
1 2 2 1 TOTAL
141 269 36 109
1 7 5 17
1 26 15 6
37 27 16 0
TOTAL 195 410 159 154 918
ONSET
t PEMBANDING -1.657841585
t UJI I -1.795911702
t UJI II -2.008237063
Student-t (onset)
0.000000000
t PEMBANDING t UJI I t UJI II
-0.500000000
-1.000000000
Series1
-1.500000000
-2.000000000
-2.500000000
Student-t (durasi)
0.00000000
-0.20000000 t PEMBANDING t UJI I t UJI II
-0.40000000
-0.60000000
-0.80000000
Series1
-1.00000000
-1.20000000
-1.40000000
-1.60000000
-1.80000000
Student-t (frekuensi)
1
0.5
0
t PEMBANDING t UJI I t UJI II
-0.5 Series1
-1
-1.5
-2
0.500000000
0.000000000
ONSET DURASI FREKUENSI t PEMBANDING
-0.500000000
t UJI I
-1.000000000
t UJI II
-1.500000000
-2.000000000
-2.500000000