BERBAGI INFORMASI
b. Etiopatogenesis
Penyebab dari mioma uteri sejak dahulu memang belum jelas,
tetapi menurut berbagai penelitian yang sudah dilakukan, mioma uteri
terjadi akibat pengaruh hormon estrogen, sehingga banyak mengenai
perempuan usia reproduktif (Sarwono, 2010).
Menurut Meyer dan De Snoo patogenesis mioma uteri berkaitan
dengan teori cell nest atau genitoblas. Sel otot imatur dari uterus yang
didalamnya mengandung cell nest, jika dirangsang dengan hormon
estrogen maka akan timbul tumor pada otot uterus. Hal ini sudah
dibuktikan oleh penelitian yang dilakuakan Miller dan Lipscheitz
(Sarwono, 2010).
c. Klasifikasi
- Mioma submukosum
Merupakan pertumbuhan tumor yang terletak dibawah
endometrium dan menonjol kedalam rongga uterus.
- Mioma intramural
Merupakan tumor yang terdapat didinding uterus (diantara
miometrium).
- Mioma subserosum
Merupakan pertumbuhan tumor ke luar dinding uterus,
menonjol pada permukaan uterus dan dilapisi lapisan serosa
(Sarwono, 2010).
d. Manifestasi Klinis
- Perdarahan abnormal uterus
Perdarahan abnormal uterus pada mioma uteri terjadi akibat
hambatan pasokan darah endometrium, tekanan dan ulserasi
endometrium diatas tumor serta bendungan vena di area tumor
(Sarwono, 2010).
- Nyeri
Nyeri uterus pada mioma uteri terjadi akibat gangguan
vaskular uterus, oklusi pembuluh darah, infeksi dan torsi
tangkai mioma (sering pada mioma subserosum) (Sarwono,
2010).
- Efek penekanan
Jika terdapat mioma uteri dan massanya semakin
membesar, maka bisa mengganggu fungsi dari organ-organ
sekitar yang mengalami penekanan. Jika terjadi penekanan
pada uterus dan vesika urinaria, penderita akan mengeluh sulit
BAK, jika penekanan terjadi pada rektum penderita akan
mengeluh konstipasi dan obstipasi (Sarwono, 2010).
e. Penegakan Diagnosis
- USG abdomen
- TVUSG
- MRI
(Sarwono, 2010)
f. Terapi
Terapi bagi penderita mioma uteri harus memperhatikan usia,
paritas, konservasi fungsi reproduksi, keadaan umum dan gejala ang
ditimbulkan. Sebenarnya tidak ada tatalaksana khusus bagi penderita
mioma uteri, karena penyebab dari mioma uteri sendiri akibat
pengaruh hormonal. Jika pasien sudah mengalami menopause, maka
mioma akan mengecil dengan sendirinya. Namun jika mioma tersebut
mengganggu proses persalinan, menyebabkan perdarahan hingga
penderita mengalami anemia maka perlu dilakukan pengambilan
mioma. Tatalaksana operatif bagi mioma uteri ada dua, yaitu
miomektomi atau histerektomi, tergantung besarnya massa dan
mengganggu penderita atau tidak (Sarwono, 2010).
g. Komplikasi
- Degenerasi ganas
Keganasan umumnya terjadi ditemukan pada pemeriksaan
histologi uterus yang telah diangkat. Kecurigaan akan keganasan
uterus apabila mioma uteri cepat membesar dan apabila terjadi
pembesaran sarang mioma dalam menopause.
- Torsi (putaran tangkai)
Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi,
timbul gangguan sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis,
sehingga terjadi sindrom abdomen akut. Sarang mioma dapat
mengalami nekrosis dan infeksi yang diperkirakan karena
gangguan sirkulasi darah padanya (Prawiroharjo, 2011)
2) Tumor Ovarium
Pembesaran ovarium kurang dari 6 cm yang ditemukan pada awal
kehamilan biasanya mencerminkan pembentukan korpus luteum. Satu
dari 1.500 kehamilan mendapat komplikasi tumor yang terdeteksi
secara klinis, berdiameter <50 mm. Jika pemeriksaan ultrason
dilakukan secara rutin, tumor ovarium dapat dideteksi pada 1 dari 200
kehamilan. Kebanyak tumor karena kista, biasanya karena pembesaran
korpus luteum, yang dapat hilang secara spontan ( Llewelyn dan
Jones,2001).
Pada kehamilan yang disertai kista ovarii seolah – olah terjadi
perebutan ruangan, ketika kehamilan makin membesar. Oleh karena
itu, kehamilan dengan kista memerlukan operasi untuk mengangkat
kista tersebut pada usia kehamilan 16 minggu. Kebanyakan adalah
kistadenoma serosa, sedikit kistadenoma musinosa dan keduanya
meliputi 65 persen dari semua neoplasma yang menjadi penyulit pada
kehamilan. Teratoma mencakup 25 persen. Sisanya 10 persen terdiri
dari berbagai tumor ovarium lainnya ( Llewelyn dan Jones,2001).
Bahaya melangsungkan kehamilan bersama dengan tumor ovarii
adalah dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin yang akhirnya
mengakibakan abortus, kematian dalam rahim. Pada kedudukan kista
di pelvis minor, persalinan dapat terganggu dan dan memerlukan
penyelesaian dengan jalan operasi seksio sesaria. Pada kedudukan
kista ovarii di daerah fundus uteri, persalinan dapat berlangsung
normal tetapi bahaya postpartum mungkin menjadi torsi kista, infeksi
sampai abses. Oleh karena itu, segera setelah persalinan normal bila
diketahui terdapat kista ovarii, laparotomi dilakukan untuk mengngkat
kista tersebut. (Manuaba,2010).
Tanda-tanda dan gejala-gejala termasuk haid tidak teratur,
ketegangan menstrual yang terus meningkat, darah menstrual yang
terus meningkat, darah menstrual yang banyak (menoragia) dengan
nyeri tekan pada payudara, menopause dini, rasa tidak nyaman pada
abdomen, dispepsia, tekanan pada pelvis, dan sering berkemih. Gejala-
gejala ini biasanya samar, tetapi setiap wanita dengan gejala-gejal
gastrointestinal dan tanpa diagnosis yang diketahui harus dievaluasi.
Flattulenes, rasa begah setelah makan makanan keci, dan lingkar
abdomen yang terus meningkat merupakan gejala-gejala signifikan.
Sebagian sel kanker mengeluarkan penanda-penanda (marker) sel.
Penanda-penanda tersebut adalah zat spesifik yang dikeluarkan oleh
tumor ke dalam darah, urin, atau cairan spinalis pada seseorang yang
mengidap kenker. Penanda sel tumor merupakan antigen spesifik yang
terdapat di sel kanker. Sebagian antigen tumor serupa dengan antigen
janin dan disebut antigen onkofetal (onko berarti tumor). Karena sering
tidak merangsang respons imun, maka antigen-entigen janin tersebut
sering menyamarkan tumor dari sistem imun penjamu (Corwin, 2000).
Patofisiologi
3) Adenomyosis
a. Pengertian
Adenomiosis adalah invasi jinak jaringan endometrium ke
dalam lapisan miometrium yang menyebabkan pembesaran uterus
difus dengan gambaran mikroskopis kelenjar dan stroma
endometrium ektopik non neoplastik dikelilingi oleh jaringan
miometrium hipertrofik dan hiperplastik. (Benagiano G.,Brosens I.,
2006)
b. Etiologi
Faktor resiko adenomiosis yaitu:
Usia antara 40-50 tahun
Multipara,
Riwayat hiperplasia endometrium
Riwayat abortus spontan
Polimenore
(Pernol ML, 2001)
c. Gejala Klinis
d. Patofisiologi
Adenomiosis berkembang dari pertumbuhan kebawah dan
invaginasi dari stratum basalis endometrium ke dalam miometrium
sehingga bisa dilihat adanya hubungan langsung antara stratum
basalis endometrium dengan adenomiosis di dalam miometrium.
Di daerah ekstra-uteri misalnya pada plika rektovagina,
adenomiosis dapat berkembang secara embriologis dari sisa duktus
Muller. Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke dalam
miometrium pada masih harus dipelajari lebih lanjut. Perubahan
proliferasi seperti aktivitas mitosis menyebabkan peningkatan
secara signifikan dari sintesis DNA & siliogenesis di lapisan
fungsional endometrium daripada di lapisan basalis.(Pernol ML,
2001)
e. Diagnosis
Adanya riwayat menorragia & dismenorea pada wanita multipara
dengan pembesaran uterus yang difus seperti hamil dengan usia
kehamilan 12 minggu dapat dicurigai sebagai adenomiosis.
Beberapa pencitraan yang digunakan pada pasien yang dicurigai
adenomiosis yaitu Histerosalpingografi (HSG), USG
transabdominal, USG transvaginal dan MRI. Pencitraan
mempunyai 3 peran utama dalam mengelola pasien yang dicurigai
adenomiosis secara klinis. Pertama, untuk menegakkan diagnosis
dan diagnosis diferensial adenomiosis dari keadaan lain yang mirip
seperti leiomioma. Kedua, beratnya penyakit dapat disesuaikan
dengan gejala klinisnya. Ketiga, pencitraan dapat digunakan untuk
monitoring penyakit pada pasien dengan pengobatan konservatif.
Gambaran karakteristik utama pada HSG berupa daerah yang sakit
dengan kontras intravasasi, meluas dari cavum uteri ke dalam
miometrium. Kriteria diagnostik dengan USG transabdominal yaitu
uterus yang membesar berbentuk globuler, uterus normal tanpa
adanya fibroid, daerah kistik di miometrium dan echogenik yang
menurun di miometrium. (Edmonds DK, 2007)
f. Tatalaksana
Tatalaksana adenomiosis bergantung pada usia pasien dan
fungsi reproduksi selanjutnya. Dismenorea sekunder yang
diakibatkan oleh adenomiosis dapat diatasi dengan tindakan
histerektomi, akan tetapi perlu dilakukan intervensi non invasif
terlebih dahulu. Obat-obatan inflamasi non steroid (NSAID), obat
kontrasepsi oral dan progestin telah menunjukkan manfaat yang
signifikan. Penanganan adenomiosis pada prinsipnya sesuai dengan
protokol penanganan endometriosis. (Edmonds DK, 2007)
2. PP lanjutan yang diperlukan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan berikut:
Pap smear
USG transvaginal
Biopsi endometrium kemudian dilanjutkan pemeriksaan histopatologi
untuk memastikan jaringan tersebut merupakan myoma, bukan keganasan.
Untuk membantu menentukan stadium atau penyebaran kanker, dilakukan
pemeriksaan berikut:
Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan urin
Rontgen dada
CT scan tulang dan hepar
Sigmoidoskopi
Limfangiografi
Kolonoskopi
Sistoskopi
(Prawirohardjo, 2010).
Perdarahan Ireguler
Perdarahan ireguler dapat dalam bentuk metroragia, menometroragia,
oligomenorea, perdarahan memanjang yang sudah terjadi dalam hitungan
minggu atau bulan dan berbagai bentuk perdarahan lainnya. Sebelum
memulai dengan terapi hormon sebaiknya penyebab sistemik dievaluasi
lebih dulu, seperti yang dilakukan dibawah ini :
Periksa TSH : evaluasi hipertiroid dan hipotiroid
Periksa prolaktin : bila ada oligomenorea atau hipomenorea
Lakukan pap smear : bila ada perdarahan pasca senggama
Bila curiga atau terdapat risiko keganasan endometrium :
Lakukan biopsi endometrium dan USG transvagina. Bila terdapat
keterbatasan untuk melakukan evaluasi ersebut dapat segera
melakukan pengobatan seperti dibawah ini :
- Kombinasi estrogen dan progestin
Dosis 1 x 1 tablet sehari , diberikan secara siklik selama 3
bulan
- Progestin
Bila terdapat kontraindikasi pemakaian pil kontrasepsi
kombinasi. MPA dosis 10 mg 1 x 1 tablet per hari dilakukan
selama 14 hari dan dihentikan selama 14 hari diulang selama 3
bulan.
Penanganan dengan Medikamentosa Non Hormon
Penanganan medikamentosa diberikan bila tidak ditemukan keadaan
patologi pada panggul.
1. Asam mefenamat diberikan dengan dosis 250 mg – 500 mg 2 – 4 kali
sehari.
2. Ibuprofen diberikan dengan dosis 600 – 1200 mg per hari .
Antifibrinolisis
Asam traneksasamat bekerja menghambat plasminogen secara reversibel
dan bila diberikan saat haid mampu menurunkan jumlah perdarahan 40 –
50 %. Efek sampingnya adalah keluhan gastrointesinal dan tromboemboli.
Penanganan dengan Terapi bedah
Histerektomi merupakan prosedur bedah utama yang dilakukan pada
kegagalan terapi medikamentosa. Beberapa prosedur bedah yang sekarang
ini digunakan pada penanganan perdarahan uterus abnormal adalah ablasi
endometrium, reseksi transerviks, histeroskopi, operatif, miomektomi,
histerektomi, dan oklusi atau emboli arteri uterina ( Prawirohardjo, 2011 ).