Anda di halaman 1dari 2

Oalah!

“Assalammualaikum Pak, Saya Mahasiswa maba IP kelas C. Mau tanya, katanya besok
Mahasiswa mengadakan demo, dan katanya fisipol besok libur. Apakah besok benar libur
atau bapak besok masuk kelas.?” Tanya Mahasiswa.
“Astaga masuk enak aja…! Bilang di WA group kelas, besok tetap kuliah! Tahu apa maba
tentang politik bapak juga tukang demo dulu, tapi tidak menganggu kuliah… yang nggak
kuliah besok nilai E” jawab dosen.
Balas mahasiswa, “Oalah oke Pak siap”

#GejayanMemanggil, seruan aksi itu telah tercuit diberbagai sosial media: Facebook,
WhatshApp, Instagram, dan Twitter menjadi trending topik semenjak 23-30 September 2019,
di kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Walhasil, seluruh mahasiswa se-DIY
begerak memadati Gejayan.

Walaupun, beberapa Universitas tidak memberikan ilham atas gerakan mahasiswa itu, namun
tidak membikin redup semangat mahasiswa untuk turun ke jalan. #GejayanMemanggil adalah
gerakan terbesar kedua setelah 1998 dengan jumlah jutaan mahasiswa dari berbagai
Universitas. Gejayan di tahun 2019 kembali menjadi saksi perlawanan mahasiswa dan
masyarakat Yogyakarta terhadap rezim yang represif dan cenderung lalim.

Jika aksi masa yang berdemonstrasi sudah berlipat ganda, itu tandanya negara tidak dalam
keadaan baik-baik saja. Sehingga, Gejayan kembali memanggil jiwa-jiwa yang resah karena
kebebasan dan kesejahteraannya terancam oleh pemerintah. #GejayanMemanggil merupakan
gerakan solidaritan kemarahan untuk merespon kebijakan pemerintah yang tidak berpihak
kepada masyarakat melalui RKUHP, UU KPK, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan,
Kriminalisasi Aktivis, kerusakan lingkungan dan RUU PKS yang tak kunjung disahkan.

Meskipun demikian, #GejayanMemanggil dan seluruh aksi demonstrasi diberbagai daerah di


Indonesia itu, merupakan fenomena baru pasca reformasi. Bisa dibilang sebagai sebuah
gerakan perlawanan jonior (muda) kepada generasi senior (Tua) di mana–Reformasi
dikorupsi. Menariknya, generasi muda itu memiliki lingkungan kehidupan dan pola
komunikasi yang jauh berbeda dengan angkatan tua pencetuskan sejarah 1998.

Semenjak munculnya Teori Generasi (Generasion Theory), kemudian istilah geerasi


tradisonalis (1928-1945), baby boomers (1946-1964 , generasi X (1965-1976), Y (1977-
1998) , Z (1999-2012) dan Alpha (2013-2025) mulai di perkenalkan. Dan menjadi pembeda
yang berkaitan dengan perilaku, gaya hidup, profesi, yang menjadi ciri dari generasi-generasi
tersebut.

Generasi muda itu lebih familiar dikenal dengan sebutan generasi milenial (generasi Z) yang
saat ini sedang berproses sebagai mahasiswa di banyak perguruan tinggi dan beberapa
lapangan pekerjaan lainnya. Sehingga, #GejayanMemanggil adalah sejarah anak-anak muda
milenial yang sudah cukup mapan secara pengetahuan untuk menigisi ruang-ruang kritis yang
telah hilang.

#GejayanMemanggil memperlihatkan pola dan gaya komunikasi yang mewakili gernerasi


milenial. Hal itu terlihat dari spanduk dengan tertera kata-kata kritikan yang sangat santai,
bahkan bisa dibilang menolak bahasa formal yang cernderung digunakan dalam komunikasi
politik sebagaiman di era perlawanan orde baru dan oalah adalah bagian yang tidak
terpisahka dari gaya bahasa milenial itu.

Gerakan #GejayanMemanggil terbilang masif disebabkan karena konsulidasi sosial media


yang mana menjadi gaya hidup generasi milenial (Z). Ini adalah era baru, perang ide,
gagagsan tidak hanya diruang-ruang formal, namun juga perang dalam dunia digital.

Walaupun demikian, sangat disayangkan sikap dari angkatan tua yang didominasi oleh
generasi kelahiran 80-90an yang saat ini bercokol di partai bolitik ataupun yang saat ini lagi
berpangku tangan, kaki dan perutnya di parlemen. Yang mungkin saja merasa aktivitasnya
(Pekerjaan) terancam, sehingga berbagai macama argumentasi yang dibagun untuk
memojokkan anktan muda milenial.

Tindakan kalangan tua itu, membunuh dan menghianati pikiran. Sebagaimana kita ketahui
bahwa dalam kehidupan berdemokrasi, setiap orang memiliki kehendak untuk bertindak
bebas terutama kebebasan berpendapat untuk menyampaikan pikiran-pikiran kritis. Sebab,
demokrasi tidak melulu persoalan kandidasi dan negosiasi kepentingan. Jika demikian, maka
demokrasi menjadi milik elit politik.

Kebebasan menjadin kunci utama dalam berdemokrasi, kebesan bertindak, berpendapat dan
bergaul dengan sesamanya. Memang benar bahwa kebebasan yang sebebas-bebasnya tidak
dibenarkan dalam demokrasi. Namun, mebatasi kebebasan sebatas-batasnya dengan tuduhan
anarkis, kemudian memberikan kebebasan kepada penguasa untuk melakukan penindasan
kepada rakyat adalah bentuk penghianatan terhadap sistem demokrasi.

Dalam demokrasi kita juga mengal yang namanya oposisi, namun sungguh aneh oposisi yang
nampak terlihat sebelum menjelang pemilu ketika pencalonan capres dan cawapres menjadi
lebur ketika menyikapi RKUHP, UU KPK, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan,
Kriminalisasi Aktivis, kerusakan lingkungan dan RUU PKS yang tak kunjung disahkan itu,
memberikan sinyal bahwa oligarki telah tumbuh dalam demokrasi. Rakyat tidak lagi berkuasa
bahkan untuk dirinya sendiri.

Oalah… Tidak ada jalan lain ketika hilangnya oposisi di dalam demokrasi sebagai akibat dari
perselingkuh elit plitik, maka mahasiswa harus menjadi oposisi sejati. Untuk itu, jangan
pernah berhenti berjuan demi perbaikan demokrasi.***

Anda mungkin juga menyukai