Anda di halaman 1dari 16

PENDAHULUAN

 Latar Belakang

Manusia diciptakan sebagai khalifah dimuka bumi ini sebagai pemelihara


kelangsungan mahluk hidup dan dunia seisinya. Dalam rangka itulah Allah
membuat sebuah undang-undang yang nantinya manusia bisa menjalankan
tugasnya dengan baik, manakala ia bisa mematuhi perundang-undangan yang telah
dituangkan-Nya dalam kitab suci Al-Qur’an.
Pada kitab suci orang muslim ini, telah dicakup semua aspek kehidupan,
hanya saja, berwujud teks yang sangat global sekali, sehingga dibutuhkan penjelas
sekaligus penyempurna akan eksistensinya. Maka, Allah mengutus seorang nabi
untuk menyampaikannya, sekaligus menyampaikan risalah yang ia emban. Dari
sang Nabi inilah yang selanjutnya lahir yang namanya hadits, yang mana
kedudukan dan fungsinya amat sangatlah urgen sekali.
Terkadang, banyak yang memahami agama setengah setengah, dengan
dalih kembali pada ajaran islam yang murni, yang hanya berpegang teguh pada
sunnatulloh atau Al-Qur’an, lebih-lebih mengesampingkan peranan al Hadits,
sehingga banyak yang terjerumus pada jalan yang sesat, dan yang lebih parah lagi,
mereka tidak hanya sesat melainkan juga menyesatkan yang lain.
Oleh karena itu, mau tidak mau peranan penting hadits terhadap Al-Qur’an
dalam melahirkan hukum Syariat Islam tidak bisa di kesampingkan lagi, karena tidak
mungkin umat Islam memahami ajaran Islam dengan benar jika hanya merujuk
pada Al-Qur’an saja, melainkan harus diimbangi dengan Hadits, lebih-lebih dapat
disempurnakan lagi dengan adanya sumber hukum Islam yang mayoritas ulama’
mengakui akan kehujahannya, yakni ijma’ dan qiyas. Sehingga, seluruh halayak
Islam secara umum dapat menerima ajaran Islam seccara utuh dan mempunyai
aqidah yang benar, serta dapat dipertangungjawabkan semua praktik
peribadatannya kelak.
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadists

Kata hadits berasal dari kata hadits , jamaknya ahadits, hidtsan dan
hudtsan.Namun yang terpopuler adalah ahadits, dan lafal inilah yang sering dipakai
oleh para ulama hadits selama ini.
Dari segi bahasa kata ini memiliki banyak arti, diantaranya al-jadid (sesuatu yang
baru) yang merupakan lawan dari kata al-qadim (sesuatu yang lama). Bisa diartikan
pula sebagai al-khabar (berita) dan al-qarib (sesuatu yang dekat).
Ilmu hadis : ilmu tentang memindah dan meriwayatkan apa saja yang
dihubungkan dangan Rasulullah saw, baik mengenai perkataan beliau ucapkan,
atau perbuatan yang beliau lakukan, atau pengakuan yang beliau ikrarkan (yakni
berupa sesuatu yang dilakukan di depan nabi saw, perbuatan itu tidak dilarang
olehnya) atau sifat-sifat nabi saw, termasuk tingkah laku beliau sebelum menjadi
rasul atau sesudahnya, atau menukil/meriwayatkan apa saja yng dihubungkan
kepada sahabat atau tabi’in.
Sedangkan pengertian hadits secara terminologis adalah “Segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya”.
Pengertian hadits menurut istilah dari 3 sudut pandang Ulama :
1. Menurut para Muhadditsun (ahli hadits)
Hadits didefinisikan sebagai segala riwayat yang berasal dari Rasulullah baik
berupa perkataan , perbuatan , ketetapan (taqrir), sifat fisik dan tingkah laku, beliau
baik sebelum diangkat menjadi rasul (seperti tahannuts beliau di gua Hiro’) maupun
sesudahnya”. Karena para muhadditsun meninjau bahwa pribadi Nabi Muhammad
itu adalah sebagai uswatun hasanah , sehingga segala yang berasal dari beliau baik
ada hubungannya dengan hukum atau tidak, dikategorikan sebagai hadits.

2. Menurut para ahli ushul fiqh (ushuliyyun)


Para ushuliyyun mendefinisikan hadits sebagai segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW selain al-Qur’an , berupa perkataan ,perbuatan
maupun ketetapan (taqrir) beliau , yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum syari’ah
karena bersangkut-paut dengan hukum islam. Ushuliyyun meninjau bahwa pribadi
Nabi Muhammad adalah sebagai pembuat undang-undang (selain yang sudah ada
dalam Al-Qur’an) yang membuat dasar-dasar ijtihad bagi para mujtahid yang datang
sesudahnya dan menjelaskan kepada umat islam tentang aturan hidup (ibid).
3. Menurut sebagian ulama (jumhur ulama)
Menurut sebagian ulama antara lain at-Thiby, sebagaimana dikutip M.
Syuhudi Ismail , mengatakan bahwa hadits adalah segala perkataan , perbuatan,
dan takrir nabi, para sahabat, dan para tabiin.(ibid)
Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi
hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni:
a. Imam Bukhari
b. Imam Muslim
c. Imam Abu Daud
d. Imam Turmudzi
e. Imam Ahmad
f. Imam Nasa'i
g. Imam Ibnu Majah.

Pemberitaan terhadap hal-hal yang didasarkan kepada Nabi Muhammad


SAW disebut brita yang marfu’, sedangkan yang disandarkan kepada sahabat
disebut berita mauquf dan yang disandarkan kepada tabi’iy disebut maqthu’.

B. Unsur-unsur yang harus ada dalam menerima hadits

Seseorang yang tidak melihat sendiri suatu peristiwa masih dapat


mengetahui hal tersebut melalui pemberitaan. Persoalannya, pemberitaan itu
mungkin benar, mungkin juga keliru. Oleh sebab itu, perlu adanya klarifikasi berita
untuk mengecek kebenarannya.
Untuk menguji kebenaran masing-masing yang diterima secara tidak langsung
itu, memerlukan suatu dasar dan sandaran, kepada dan dari siapa pengetahuan
dan pemberitaan itu diterimanya. Jika pemberitahu atau penyampai berita itu
bertahap-tahap, maka si pemberi tahu atau penyampai berita yang terakhir harus
dapat menunjukkan sandarannya, yakni orang yang memberitakan padanya, dan
orang yang memberitakan ini pula harus dapat menunjukkan sumber asli yang
langung, yang menerima sendiri dan pemilik berita.
Demikian halnya dengan hadits Nabi saw. Untuk menerima hadits dari Nabi
Muhammad s.a.w. unsur-unsur tersebut, yaitu pemberita, materi
berita dan sandaran berita. Satupun tidak dapat ditinggalkan. Para Muhadditsin
menciptakan istilah-istilah untuk unsur-unsur itu dengan nama Rawi (pemberita),
Matan (materi berita) dan Sanad (sandaran berita) dari suatu hadits Nabi saw.

A. Rawi

Rawi ialah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab
apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya). Bentuk
jamaknya adalah ruwah. Perbuatannya menyampaikan hadits tersebut
dinamakan me-rawi (meriwayatkan) hadits.
Sebuah Hadits sampai kepada kita dalam bentuknya yang sudah terkodifikasi
dalam kodifikasi hadits, melalui beberapa rawi dan sanad. Rawi terakhir hadits yang
termaksud dalam Shahih Bukhari atau dalam Shahih Muslim, ialah Imam Bukhari
atau Imam Muslim. Demikian pula Rawi terakhir dalam buku Sunan Abu Daud,
misalnya, adalah Abu Daud itu sendiri. Seorang penyusun atau pengarang, bila
hendak menguatkan suatu hadits yang ditakhrijkan dari suatu kitab hadits, pada
umumnya membubuhkan nama rawi terakhirnya pada akhir teks (matan)
haditsnya. Misalnya, terdapat hadits yang diriwayatkan dari Ummul Mukminin,
‘Aisyah ra., bahwa Rasulullah saw bersabda : “Barang siapa yang mengada-
adakan sesuatu yang bukan termasuk dalam urusan (agama)ku, maka ia
terto1ak” (Riwayat Bukhari dan Muslim). Ini berarti bahwa rawi yang terakhir bagi
kita, ialah Bukhari dan Muslim, kendatipun jarak kita dengan beliau-beliau itu sangat
jauh dan kita tidak segenerasi dan tidalc pernah berternu, namun dernikian kita
dapat rnenemui dan mmenggali kitab beliau. Dalam hal ini kitab beliau merupakan
sanad yang kuat.
Sistem Penyusunan Kitab Hadits

Sebuah Hadits kadang-kadang mempunyai sanad banyak. Dengan kata lain,


bahwa Hadits tersebut terdapat dalam kodifikasi atau kitab-kitab Hadits yang
berbeda rawi akhirnya. Misalnya, ada sebuah hadits disamping terdapat dalam
shahih Bukhari, juga terdapat dalam shahih Muslim. Demikian pula termaktub
dalam sunan Abu Dawud dan perawi lainnya. Untuk menyingkat penyantuman
nama-nama nawi yang demikian banyak jumlahnya tersebut, penyusun kitab hadits,
biasanya tidak mencantumkan nama-nama itu seluruhnya, melainkan hanya
merumuskan dengan bilangan yang menunjukkan banyak atau sedikitnya rawi
hadits pada akhir matan haditsnya. Misalnya, rumusan yang dibuat oleh Ibnu Ismail
As Shan’ani dalam kitab Sublus-Salam:

No. Istilah Makna


1. Akhrajahus Sab’ah Hadits itu diriwayatkan oleh tujuh orang rawi, yaitu
Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu
Dawud, At-Turmudzi, An-Nasa’iy dan Ibnu Majah.
2. Akhrajahus Sittah Diriwayatkan oleh 6 orang rawi, yaitu para perawi
pada poin 1 selain Imam Ahmad
3. Akhrajahul Khamsah Diriwayatkan oleh 5 orang, yaitu perawi poin 1 selain
Bukhari dan Muslim
4. Akhrajahul Arba’ah wa Diriwayatkan oleh para ashabus sunan ditambah
Ahmad Imam Ahmad
5. Akhrajahul Arba’ah Diriwayatkan oleh 4 orang ashabus sunan yaitu Abu
daud, Turmudzi, An Nasai, dan Ibnu Majah
6. Akhrajahuts tsalatsah Diriwayatkan oleh 3 orang rawi yaitu Abu Daud,
Turmudzi, dan An Nasa`I
7. Akhrajahusy Syaikhain Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim
8. Akhrajahul Jama’ah Diriwayatkan oleh para perawi yang banyak
jumlahnya
9. Muttafaq ‘Alaih Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Ahmad

Gelar Keahlian Bagi Imam-Imam Rawi Hadits


Para imam hadits pada mendapat gelar keahlian dalam bidang ilmu hadits
sesuai dengan keahlian, kemahiran dan kemampuan dalam menghafal beribu-ribu
buah hadits beserta ilmu-ilmunya. Gelar keahlian itu ialah sebagai benikut:
1. Amirul Mukminin fil Hadits
Gelar ini sebenarnya diberikan kepada para khalifah setelah khalifah Abu Bakar
As-Shiddiq r.a. Mereka yang memperoleh gelar ini antana lain: Syu’bah Ibnu Al
Hallaj, Sufyan Ats Tsauri, Ishaq Ibnu Rahawaih, Ahmad Ibnu Hambal, Bukhari, Ad
Daruquthni, dan Muslim.
2. Al.Hakim
Yaitu suatu gelar keahlian bagi imam-imam hdits yang menghafal seluruh hadits
yang diriwayatkan baik matan, maupun rawinya serta mengetahui persis
karakteristik dan sifat-sifat baik ataupun buruk masing-masing perawi
tersebut. Setiap rawy diketahui sejarah hjdupnya, perjaialanannnya, guru-guru dan
sifat.sifatnya yang dapat diterima maupun ditolak. Mereka harus dapat menghafal
lebih dari 300.000 hadits beserta sanadnya. Diantara mereka adalah : Ibnu Dinar
(meninggal 162 H), Al-Laits bin Sa’ad (meninngal 175 H), Imam Malik (179 H) dan
Imam Syafi’i (204 H).
3. A1-Hujjah
Yaitu gelar keahlian bagi para imam yang sanggup menghafal 300.000 hadits, baik
matan, sanad, maupun perihal hal ihwal para perawinya baik tentang keadilabn,
kecacatan, dan biografinya. Diantara mereka adalah Hisyam bin ‘Urwah (rneninggal
146 H), Abu Hudzail Muhammad bin Al.Walid (meninggal 149 H) dan Muhammad
‘Abdullahh bin ‘Amr (meninggal 242 H).
4. A 1-Hafidh
Al hafidh merupakan gelar yang diberikan kepada ahli hadits yang dapat
menshahihkan sanad dan matan hadits serta dapat menunjukkan keadlan maupun
cacat perawinya. Al hafidh harus menghafal 100.000 hadits. Diantara mereka yang
termasuk Al hafidh adalah : Al-’Iraqiy, Syarafuddin Ad.Dimyathi, Ibnu Hajar Al
‘Asqalani dan Ibnu Daqiqil ‘Id.
5. AL-Muhaddits
Ada yang berpendapat dari kalangan muhaddoitsin terdahulu bahwa Al
Muhaddits sama dengan Al Hafidh. Namun, belakangan, al Muhaddits dimaknai
dengan orang yang mengetahui sanad, ‘iat, nama rawi, tinggi-rendahnya derajat
hadits, dan memahami kutubus sittah, musnad Imam Ahmad, Sunan Baihaqi,
Mu’jam Thabrani. Juga, ia harus menghafal 1000 hadits. Diantaranya adalah :
‘Atha’ bin Abi Ribah (seorang Mufti masyarakat Mekah wafat: 115 H) dan Imam Az-
Zabidy (salah seorang ‘ulama yang mengikhtisharkan kitab Bukhary-Muslim).
6. A1.Musnid
Al Musnid merupakan sebutan bagi orang yang meriwayatkan hadits besrta
sanadnya; baik menguasai ilmunya maupun tidak. Istilah lain untuk Al Musnid
adalah : Ath Thalib, Al Mubtadi`, dan Ar Rawy.

Matnul Hadits (Matan Hadits)

Matan hadits adalah pembicaraan atau materi berita yang terdapat di dalam
sanad terakhir. Baik isinya itu berupa sabda Rasulullah saw, ungkapan sahabat
tentang Rasulullah saw, ataupun tabi’in yang menceritakan tentang perbuatan
sahabat atau Nabi. Ringkasnya, matan itu adalah isi dari teks hadits
tersebut. Misalnya, Al Hakim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda :
“Penghulu syuhada adalah hamzah dan orang yang berdiri di hadapan penguasa
untuk menasihatinya lantas ia dibunuh karenanya.” Pernyataan demikian
merupakan matan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Hakim tersebut.
Contoh lain, Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah
saw bersabda : “Masyarakat itu berserikat dalam 3 barang : air, padang gembalaan,
dan api.” Isi dari hadits tersebut merupakan matan hadits yang diriwayatkan oleh
kedua perawi hadits itu.

Sanad

Sanad atau thariq ialah jalan yang dapat menghubungkan matnu’l hadits
kepada junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w. Misalnya seperti kata Al-Bukhari:
“Telah memberitakan kepadaku Muhammad bin a]-Mutsanna, ujarnya: “‘Abdul-
Wabhab ats-Tsaqafy telah mengabarkan kepadaku, ujarnya:” telah bercerita
kepadaku Ayyub atas pemberitaan Abi Qilabah dan Anas dari Nabi Muhammad s.a.
w., sabdanya:
“Tiga perkara, yang barangsiapa mengamalkannya niscaya memperoleh keledzatan
iman yakni: (1) Allah dan Rasui-Nya hendaknya lebih dicintai daripada selainnya. (2)
Kecintaannya kepada seseorang, tak lain karena Allah semata-mata dan (3)
Keengganannya kembali kepada kekufuran, seperti keengganannya dicampakkan
ke neraka”.
Maka matnu’l-Hadits “Tsalatsun” sampai dengan “an yuqdzafa finnar” ditenima oleh
al-Bukhari melalui sanad pertama Muhammad ibnu’l.Mutsanna, sanad
kedua ‘Abdul-Wahhab Ats-Tsaqafy, sanad ketiga Ayyub, sanad keempat Abi
Qilabah dan seterusnya sampai sanad yang terakhir, Anas r.a., seorang sababat
yang langsung menenima sendiri dari Nabi Muhammad saw.
Dapat juga dikatakan bahwa sabda Nabi tersebut djsampaikan oleh
shahabat Anas r.a. sebagai rawi pertama, kepada Abu Qilabah, kemudian Abu
Qilabah sebagai Rawi kedua menyampaikan kepada Ats Tsaqafy, dan Ats-Tsaqafy
sebagai rawi keempat menyampaikan kepada Muhammad Ibnu’l-Mutsanna. hingga
sampai kepada Al-Bukhary sebagai rawi terakhir. Dengan demikian, A1-Bukhari itu
menjadi sanad pentama dan rawi terakhir bagi kita.
Dalam bidang ilmu Hadits sanad itu merupakan neraca untuk menimbang
shahih atau dla’ifnya suatu hadits. Andaikata salah seorang dalam sanaa-sanad itu
ada yang fasik atau yang tertuduh dusta maka, dla’iflah hadits itu, hingga tak dapat
dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu hukum.

C. Kedudukan Hadits Terhadap Hukum Islam

Al-Qur’an dan Hadis merupakan dua sumber hukum syariat islam yang tetap,
yang orang islam tidak mungkin memahami syariat islam secara mendalam dan
lengkap dengan tanpa kembali kepada kedua sumber islam tersebut.
Banyak ayat Al-Qur’an dan Hadis yang memberikan pengertian bahwa hadis
itu merupakan sumber hukum islam selain al-qur’an yang wajib diikuti, baik dalam
perintah maupun larangannya. Uraian di bawah ini merupakan paparan tantang
kedudukan hadis sebagai sumber hukum islam dengan melihat beberapa dalil, baik
naqli maupun aqli.
1. Dalil Al-Qur’an
Artinya:
Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam
Keadaan kamu sekarang ini[254], sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik)
dari yang baik (mukmin). dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada
kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di
antara rasul-rasul-Nya[255]. karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya;
dan jika kamu beriman dan bertakwa, Maka bagimu pahala yang besar. (Qs. Ali
Imran:179)
Dalam ayat lain Allah SWT, juga berfirman:
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-
Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah
turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu
telah sesat sejauh-jauhnya. (Qs. AnNisa’:136)
Dalam Qs. Ali Imran di atas, Allah memisahkan antara orang-orang mukmin
dengan orang-orang yang munafik, dan akan memperbaiki keadaan orang-orang
mukmin dan memperkuat iman mereka. Oleh karena itulah orang mukmin dituntut
agar tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedang pada Qs. An-Nisa’, Allah
menyeru kaum muslimin agar mereka tetap beriman kepada Allah, Rasul-Nya, Al-
Qur’an, dan kitab yang diturunkan sebelumnya. Kemudian pada akhir ayat, Allah
mengancam orang-orang yang mengingkari seruan-Nya

.
2. Dalil Al-Hadis

Dalam salah satu pesan Rasulullah saw, berkenaan dengan keharusan


menjadikan hadis sebagai pedoman utamanya. Beliau bersabda:
(‫تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب هللا وسنة نبيه )رواه مالك‬
Artinya : Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak
akan akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yang berupa
kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik)
Dalam hadis lain Rasul bersabda:
...‫اهيلع اوضعو اهب اوكسمت نييدهملا نيدشاررلا ءافلخلا ةنسو يتنسب مكيلعف‬...)‫(هجام نبا و دواد وبا هاور‬
Artinya: Wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah
Khulafa ar-Rasyidin(khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu
sekalian dengannya.
Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada
hadis atau menjadikan hadis sebagai pegangan dan pedoman hidup adalah wajib,
sebagaimana berpegang teguh pada Al-Qur’an.
3. Kesepakatan Ulama (Ijma’)
Umat islam telah sepakat menjadikan hadis sebagai salah satu dasar hukum
beramal; karena sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Kesepakatan umat
muslimin dalam mempercayai, menerima dan mengamalkan segala ketentuan yang
terkandung di dalam hadis ternyata sejak Rasulullah masih hidup. Banyak peristiwa
menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadis sebagai sumber hukum
islam, sebagai berikut:
· Ketika Abu Bakar di baiat menjadi khalifah, ia pernah berkata, “Saya tidak
meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah,
sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya.”
· Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata, “Saya tahu bahwa engkau
adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak
akan menciummu.”
Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa apa yang
diperintahkan, dilakukan, dan diserukan, niscaya diikuti oleh umatnya, dan apa yang
dilarang selalu ditinggalkan oleh mereka.[5]

4. Sesuai Dengan Petunjuk Akal


Kerasulan Nabi Muhammad saw, telah diakui dan dibenarkan oleh umat
islam. Di dalam mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar
menyampaikan apa yang diterima dari Allah swt., baik isi maupun formulasinya dan
kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan ilham dari Tuhan. Namun juga
tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu
masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu dan juga tidak dibimbing oleh ilham.
Sudah selayaknya segala peraturan dan perundang-undangan serta inisiatif beliau,
baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham atau atas hasil ijtihad semata,
ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup.
Siapa saja yang ingin mengetahui tentang manhaj (metodologi) praktis Islam
dengan segala karakteristik dan pokok-pokok ajarannya, maka hal itu dapat
dipelajari secara rinci dan teraktualisasikan dalam Sunnah Nabawiyah, yakni
ucapan, perbuatan dan persetujuan Nabi saw.

1. Manhaj Komprehensif

Manhaj Islam tersebut mencangkup seluruh aspek kehidupan manusia,


dalam dimensi “panjang”, “lebar”, dan “dalam”-nya.
Yang dimaksud dengan “panjang” di sini adalah rentang waktu secara
vertical, yang meliputi kehidupan manusia, sejak saat kelahiran sampai
kematiannya, bahwa sejak masa kehidupannya sebagai janin sampai setelah
kematiannya.
Adapun yang dimaksud dengan “lebar” di sini adalah rentangan horizontal
yang meliputi seluruh aspek kehidupan, sedemikian sehingga Petunjuk Nabi
(hidayah nabawiyyah) senantiasa bersamanya; di rumah, di pasar, di masjid, di
jalanan, dalam pekerjaannya, dalam hubungannya dengan Allah, dengan dirinya
sendiri, dengan keluarga, dan segenap manusia sekitarnya, yang Muslim maupun
yang non-Muslim, bahkan dengan semua manusia, hewan dan benda mati.
Sedangkan yang dimaksud dengan “dalam” disini adalah dimensi yang
berkaitan dengan “kedalaman” kehidupan manusia, yaitu yang mencangkup tubuh,
akal dan ruh, meliputi lahir dan batin, serta ucapan perbuatan dan naitnya.

2. Manhaj yang Seimbang

Ciri lain dari manhaj ini adalah “keseimbangan”. Yakni keseimbangan antara
ruh dan jasad, antara akal dan kalbu, antara dunia dan akhirat, antara
perumpamaan dan kenyataan, antara teori dan praktik, antara alam yang gaib dan
yang kasatmata, anatara kebebasan dan tanggung jawab, antara perorangan dan
kelompok, antara ittiba (mengikuti apa yang dicontohkan oleh Nabi saw.)
dan ibtida’ (menciptakan sesuatu yang baru yang tidak ada contohnya dalam
sunnah beliau), dan seterusnya.
Dengan kata lain, ia merupakan manhaj yang bersifat “tengah-tengah” bagi
umat yang berada di “tengah-tengah” (yakni umat Islam sebagaimana dinyatakan
dalam Al Qur’an, Surah Al Baqarah, ayat 143).
Karena itu, setiap kali Nabi saw. melihat para sahabatnya condong kea rah
“berlebihan” atau “berkurang” (dalam berbagai aspek kehidupan mereka), maka
beliau segera mengembalikan mereka dengan kuat kea rah tengah (moderasi),
sambil memperingatkan mereka akan akibat buruk dari setiap ekstremitas (dalam
melaksanakan sesuatu atau dalam mengembalikannya).
Itulah sebabnya beliau menyatakan ketidaksenangnya kepada ketiga orang
yang menanyakan tentang ibadah beliau, lalu rupa-rupanya mereka
menganggapnya terlalu sedikit dan tidak sesuai dengan keinginan keras mereka
untuk memperbanyak ibadah. Seorang dari mereka hendak berpuasa terus-
menerus setiap hari (shiyam ad dahr). Seorang lagi hendak qiyam al lailatau
begadang sepanjang malam untuk shalat. Dan yang ketiga hendak menjauhi
perempuan dan tidak akan menikah. Maka ketika mendengar ucapan mereka itu,
Nabi saw. bersabda yang artinya:
“Sungguh aku ini adalah yang paling takut, di antara kamu, kepada Allah, dan
paling bertakwa kepada-Nya. Tetapi aku adakalanya berpuasa dan tidak berpuasa,
bershalat di malam hari dan tidur, dan mengawini perempuan. Maka barang siapa
menjauh dari sunnah-ku, ia tidak termasuk golonganku.”
Dan tatkala melihat Abdullah bin ‘Amr berlebih-lebihan dalam berpuasa, ber-
qiyamullail dan ber-tilawat Al Qur’an, Nabi saw. memerintahkannya agar melakukan
semua itu dengan sedang-sedang saja, tidak berlebih-lebihan. Sabda beliau yang
artinya:
“Sungguh badanmu mempunyai ha katas kamu (yakni untuk beristirahat),
matamu mempunyai ha katas kamu (yakni untuk tidur), istrimu mempunyai hak atas
kamu (yakni untuk disenangkan hatinya dan dipergauli dengan baik), dan para
tamumu mempunyai ha katas kamu (yakni untuk dihormati dan diajak berbincang),
maka berikan hak-hak itu kepada masing-masing.”

3. Manhaj Memudahkan
Di antara ciri-ciri lainnya dari manhaj ini adalah keringanan, kemudahan, dan
kelapangan. Seperti juga di antara sifat-sifat Rasul ini yang tercantum dalam kitab-
kitab suci terdahulu – Taurat dan Injil –
“(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya)
mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-
beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang
beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang
terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang
beruntung. ”(QS : Al A’raf : 157).
Sifat seperti itulah yang menyebabkan tidak adanya sesuatu
dalamsunnah Nabi ini yang menyulitkan manusia dalam agama mereka, atau
memberati mereka dalam dunia mereka. Bahkan beliau pernah bersabda tentang
dirinya sendiri, yang artinya :
“Sesungguhnya aku ini adalah rahmat yang dihadiahkan (untuk seluruh
manusia).”
Ucapan ini merupakan penafsiran bagi firman Allah SWT:
“… Tiadalah Kami (Allah) mengutus kamu (Muhammad) melainkan sebagai
rahmat bagi semesta alam” (Al Anbiya: 107).
Dan beliau telah bersabda pula, yang artinya:
“sesungguhnya Allah tidak mengutusmu sebagai seorang yang mempersulit atau
mencari-cari kesalahan orang lain, tetapi akudiutus oleh-Nya sebagai pengajar dan
pembawa kemudahan.”
Dan ketika mengutuh Abu Musa dan Mu’adz ke Yaman, beliau berpesan
kepada mareka berdua dengan sebuah pesan yang ringkas namun padat, yang
artinya:
“permudahlah dan jangan mempersulit, gembirakanlah mereka dan jangan
menyebabkan mereka menjauh, dan berusahalah kalian berdua untuk senantiasa
bersepakat dan jangan bertengkar.”
Pernah pula beliau menujukan sabdanya kepada umatnya, yang artinya:
“permudahlah oleh kalian dan jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan
membuat orang pergi menjauh!”
Dan tentang misi yang dibawanya, beliau berkata, yang artinya:
“sesungguhnya aku ini diutus dengan al hanifiyyah as samhah (yakni jalan hidup
yang lurus dan lapang).”

D. Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an

1. Bayan at-Taqrir
Bayan al-taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’kid dan bayan al-itsbat. Yang
artinya ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-
Qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur’an.
Suat contoh hadis yang diriwayatkan Muslim dari Ibnu Umar, yang berbunyi sebagai
berikut:
‫(ملسم هاور) اورطفأف هومتىأر اذإو اوموصف لاللهلا متئأر‬
Artinya: Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga
apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah.
Hadis di atas datang men-taqrir ayat al-qur’an di bawah ini:

Artinya: ...Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan,
hendaklah ia berpuasa...(Qs. Al-Baqarah:185)
2. Bayan al-Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan al-tafsir adalah bahwa kehadiran hadis
berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran global (mujmal), memberikan
persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan
mengkhususkan (takhsis) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum.
Diantara contoh tentang contoh ayat-ayat yang masih mujmal adalah perintah
mengerjakan shalat, puasa, zakat, disyariatkannya jual beli, nikah, qhisas, hudud,
dsb. Ayat-ayat al-Qur’an tentang masalah ini masih bersifat mujmal, baik mengenai
cara mengerjakan, sebab-sebanya, syarat-syaratnya, atau halangan-halangannya.
Oleh karena itulah Rasulullah saw, melalui hadisnya menafsirkan dan menjelaskan
masalah-masalah tersebut. Contoh fungsi hadis sebagai bayan al-tafsir yaitu:
‫(ىراخبلا هاور) ىلصأ ىنومتىأر امك اولص‬
Artinya: Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat. (HR. Bukhori)
Hadis ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam al-Qur’an tidak
dijelaskan secara rinci, salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah:
Artinya: dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-
orang
Sedangkan contoh hadis yang membatasi (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat
mutlak, antara lain seperti sabda Rasulullah saw:
‫فكلا لصفم نم هدي عطقف قراسب ملسو هيلع هللا ىلص هللا لوسر ىتأ‬
Artinya: Rasulullah saw, didatangi seseorang dengan membawa pencuri,
maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan.
Hadis ini men-taqyid Qs. Al-Maidah:38 yang berbunyi
Artinya: laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Qs. Al-
Maidah:38)
3. Bayan at-Tasyri’
Yang dimaksud dengan bayan al-Tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum
atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an, atau dalam al-Qur’an hanya
terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja. Hadis Rasul saw, dalam segala
bentuknya (baik yang qauli, fi’li maupun taqriri) berusaha menunjukkan suat
kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang muncul, yang tidak terdapat
dalam al-Qur’an. Hadis-hadis Rasul saw, yang termasuk ke dalam kelompok ini
diantaranya hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita (antara
istri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam pezina wanita yang masih
perawan, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak. Suatu contoh, hadis
tentang zakat fitrah, sebagai berikut:
‫نم اعاص الوأ رمت نم اعاص سانلا ىلع ناضمر نم رطفلا ةاكز ضرف ملس و هيلع هللا لوسر نأ‬
‫(ملسم هاور) نيمسملا نم ىثنأ وا ركذ دبع وأ رح لك ىلع ريعش‬

Artinya: Bahwasannya Rasul saw, telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat
islam pada bulan Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap
orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan muslim. (HR. Muslim)
Hadis Rasul saw, yang termasuk bayan at-Tasyri’ ini wajib diamalkan, sebagaimana
mengamalkan hadis-hadis lain.

4. Bayan al-Nasakh
Kata nasikh secara bahasa berarti ibthal (membatalkan), izalah
(menghilangkan), tahwil (memindahkan), dan taghyir (mengubah). Para ulama’
mengartikan bayan al-Nasikh ini banyak yang melalui pendekatan bahasa, sehingga
diantara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam menta’rifkannya. Jadi intinya
ketentuan yang datang kemudian tersebut menghapus ketentuan yang datang
terdahulu, karena yang akhir dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan
nuansanya. Ketidakberlakuan suatu hukum harus memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan, terutama syarat ketentuan adanya nasikh dan mansukh. Pada akhirnya,
hadis sebagai ketentuan yang datang kemudian daripada Al-Qur’an dapat
menghapus ketentuan dan isi kandungan Al-Qur’an. Salah satu contoh yang biasa
diajukan oleh para ulama’ ialah:
‫ثراول ةيصو ال‬
Artinya: tidak ada wasiat bagi ahli waris.
Hadis ini menurut mereka menasikhk isi firman Allah swt;
Artinya: diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-
bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang
yang bertakwa.
Makalah Agama Islam Hadits
PENUTUP

Simpulan
1. Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa ucapan,
perbuatan, ketetapan, atau dengan sifat.

2. Al-Qur’an itu menjadi sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits menjadi asas
perundang-undangan setelah Al-Qur’an sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr.
Yusuf Al-Qardhawi bahwa Hadits adalah “sumber hukum syara’ setelah Al-Qur’an”.
Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam dan merupakan
rujukan umat Islam dalam memahami syariat.

3. Fungsi Hadits terhadap Al Qur’an adalah berfungsi untuk memperkokoh isi


kandungan al-Qur’an, untuk memberikan rincian dan tafsiran global (mujmal),
memberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak,
dan mengkhususkan (takhsis) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat
umum.

4. Kedudukan Hadits sebagai sumber hukum Islam sesudah Al-Qur’an adalah sebab
kedudukannya sebagai penguat dan penjelas, namun Hadits juga dalam
menetapkan hukum berdiri sendiri, sebab kadang-kadang membawa hukum yang
tidak disebutkan Al

5. Qur’an, seperti memberikan warisan kepada nenek perempuan (jaddah), dimana


Nabi SAW, memberikan seperenam dari harta tinggalan orang yang meninggal
(cucunya)
Daftar Pustaka
https://id.wikipedia.org/wiki/Hadits

https://alhadistonline.wordpress.com/

http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/ulumul-
hadits/hadist/909/macam-macam-hadits.html

Anda mungkin juga menyukai