Anda di halaman 1dari 2

Menulis, Menulis, dan Jangan Baca Lagi

Oleh: Dafrin Muksin

Sebagai penulis pemula, saban hari selalu gelisah memikirkan, segala sesuatu yang
ada, apa yang bisa dijadikan tulisan. Menulis lepas adalah kesenangan, menulis jurnal
adalah keterpaksaan. Ya, saya sangat senang mendokumentasikan hal-hal yang tampak
dari pengalaman kehidupan sehari-hari dengan mengabadikan dalam bentuk tulisan:
Bagaimana Aku Merantau untuk Kuliah dan Merawat Komunitas Literasi, Gemar Membaca:
Sebuah Cerita dari Jogja sampai ke Timur Indonesia, Pengusir Ayam yang Pensiun, Titik
Nol, dan Pohon Harapan merupakan tulisan keseharian itu, selama beraktivitas di Rumah
Baca Komunitas Yogyakarta.

Mungkin saja ada yang berfikir tulisan-tulisan itu aneh, menulis yang bukan-bukan,
karena bukan puisi, sajak, apalagi artikel ilmiah. Ya, benar tulisan itu bukan apa-apa
hanyalah keisengan seorang penulis pemula. “Pekerjaan penulis adalah menulis, menulis,
dan menulis,” begitu kata Muhidin M Dahlan. Itulah sebabnya saya belajar menulis dan
terus menulis, sekalipun menulis yang bukan-bukan.

Awalnya saya tidak menaruh perhatian tentang dunia menulis, apalagi terhadap
sastra. Sebagai alumnus Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, budaya tutur lebih mendominasi
ketimbang menulis. Dapat dipastikan sebagian besar mahasiswa, menulis hanya untuk
memenuhi kebutuhan akhir studi, menulis skripsi, selebihnya tidak lagi menulis dan
mungkin juga tidak lagi membaca.

Sebagai penulis pemula, menulis untuk dibaca, tentu mengalami banyak kendala:
menemukan ide, menata kalimat, dan memulai awal kalimat untuk menulis. Untuk itu
selama berproses di Yogyakarta, saya melibatkan diri ke komunitas-komunitas yang gemar
membaca dan menulis. Di Rumah Baca Komunitas (RBK) belajar mengurus buku
(membaca) dan Radio Buku belajar menulis.

Seorang penulis sudah tentu membaca, namun seorang pembaca belum tentu
menulis. Itulah hukum dunia perbukuan dan tulis-menulis. Namun kali ini saya dibuat
terkecoh oleh penulis buku “Hidup Ini Berengsek dan Aku di Paksa Menikmatinya,” Phutut
Ea. Pada suatu kesempatan, pameran buku perang dan cinta, Phutut Ea mengatakan “Saya
tidak akan membaca kembali karya-karya yang sudah saya tulis”. Mula-mula saya berfikir
mungkin saja karena alasan kesibukan, mengurus banyak hal terutama urusan menulis,
sehingga Phutut Ea tidak memiliki banyak waktu untuk membaca karya-karyanya lagi.

Namun, setelah saya berkenalan dengan penulis asal Rembang, Budi Darma lewat
karyanya: Orang-orang Bloomington dan Kritikus Adinan. Dan setelah membaca tulisan
Irfan Teguh berjudul Obsesi Menulis Budi Darma & Keterusterangan sebagai Kritikus,
dimuat di tirto id, memulainya dengan kutipan “Saya tidak mempunyai minat untuk
membaca esai-esai [lama] tersebut. Setelah saya terpaksa membacanya kembali, saya
merasa tidak bahagia,” dikutip dari karya Budi Darma berjudul Solilokui (1984).
Karenanya, saya menjadi paham mengapa Phutu Ea tidak ingin membaca tulisan-
tulisannya lagi, mungkin saja takut tidak bahagia.

Pada paragraf berikutnya, Teguh mengulas bahwa pikiran Budi Darma mirip dengan
yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer. Penulis Tetralogi Buru itu mengaku tidak pernah
membaca ulang karya-karyanya. Ia menulis dan melepaskan begitu saja anak-anak
rohaninya ke jalanan, hidup bebas bersama para pembaca dan menemui takdirnya masing-
masing: ada yang berumur panjang, ada pula yang mati muda.

Jika para penulis pesohor saja takut tidak bahagia karena membaca karya-karya
lama, bagaimana dengan saya sebagai seorang penulis pemula. Seperti penulis lainnya,
saya juga memiliki tulisan lama: MENGUNGKAP FAKTA: Wacana Kritis Problematika
Kampus dan Pemetaan Strategi Membangun Dinamika Kampus UMMU, Negeri di
Persimpangan Kiri Jalan: Konflik Tapal Batas Halut-Halbar, dan Manusia Bodoh. Sialnya,
tidak memiliki pengetahuan tentang bahaya membaca karya lama, saya membaca tulisan-
tulisan lama itu dan memang benar rasanya sangat tidak bahagia. Ya, ini pengalaman yang
memilukan.

Membaca tulisan-tulisan lama, membikin tangan bergerak cepat untuk mengedit


kesalahan tik (typo) dan sedihnya ada perasaan hampir semua tulisan-tulisan itu adalah
sampah. Untuk itu, saya doakan semoga pembaca yang budiman tidak merasakan hal yang
demikian itu. Tetap membaca karya lama, namun jangan membaca karya sendiri. Saya juga
sudah membayangkan bahwa tulisan ini di kemudian hari hanyalah sampah. Maka
solusinya adalah menulis, menulis, dan jangan baca lagi karena tugas penulis ya menulis. [ ]

Anda mungkin juga menyukai