S M A NEGERI 2 PADANG
RPP
1.2. Menghayati keteladanan para 1.2.1 Menunjukkan rasa syukur kepada Tuhan
pemimpin dalam toleransi antar Yang Maha Esa atas karunianya di dunia
umat beragama dan ini.
mengamalkannya dalam kehidupan
sehari-hari.
2.1.Menunjukkan sikap tanggung jawab, 2.1.1. Siswa dapat menunjukan sikap toleransi
peduli terhadap berbagai hasil budaya terhadap suku bangsa yang ada di
pada zaman praksara, Hindu –
Indonesia sebagai asal usul nenek moyang
Buddha dan Islam.
bangsa Indonesia
4.2 Menyajikan hasil penalaran mengenai 4.2.1 Membuat laporan hasil diskusi
corak kehidupan masyarakat pada 4.2.2 Menyajikan hasil diskusi dari tugas yang
zaman praaksara dalam bentuk tulisan diberikan guru tentang corak kehidupan
masyarakat pada zaman pra aksara
C. TUJUAN PEMBELAJARAN
Kompetensi Sikap Spiritual
Setelah mengikuti serangkaian kegiatan pembelajaran peserta didik dapat:
1.1.1.1 Menerapkan sikap berdoa yang baik sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan yang
Maha Esa.
1.1.1.2 Memberi salam pada saat awal dan akhir pembelajaran dengan baik.
Kompetensi Keterampilan
4.2.1.1 Membuat hasil diskusi
4.2.1.2 Menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru dengan tepat dan sistematis.
D. MATERI PEMBELAJARAN
Corak kehidupan Masyarakat pra aksara :
1. Pola Hunian
2. Kehidupan sosial-ekonomi
3. Sistem Kepercayaan.
2. Alat/Bahan
- Slide, LCD, spidol, papan tulis
3. Sumber pembelajar
- Buku Sejarah untuk SMA dan MA Kelas X kementrian pendidikan dan kebudayaan.
- Buku sejarah untuk SMA dan MA Kelas X yang relefan .
- Bahan ajar
- Internet : http://id.wikipedia.org/
G. Langkah-Langkah Pembelajaran
Kegiatan Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran Alokasi Waktu
Pertemuan 90 Menit
Pendahuluan a. Guru mempersiapkan secara fisik dan psikis peserta 10 Menit
didik untuk mengikuti pembelajaran dengan
melakukan berdoa, menanyakan kehadiran peserta
didik, kebersihan dan kerapian kelas, kesiapan buku
tulis dan sumber belajar.
b. Guru melakukan apersepsi
c. Guru menyampaikan topik dan tujuan pembelajaran
yang akan dicapai.
d. Guru menyampaikan secara singkat model
pembelajaran tipe STAD yang akan digunakan pada
pertemuan kali imi.
Mengamati 10 Menit
1) Peserta didik mengamati gambar dan video
mengenai corak kehidpan masyarakat pra aksara
Menanya 5 Menit
Mengasosiasi/menalar
Mengkomunikasikan
H. Penilaian
Kisi-kisi soal
No Indikator Butir
Instrumen
Jumlah instrument 6
2) Non tes : tugas dan hasil diskusi (untuk penilaian keterampilan, lihat
lampiran dan observasi)
3. Kompetensi Keterampilan
a. Keterampilan membuat rangkuman / portofolio
Jenis/Teknik Penilaian : Observasi/Lembar Observasi
Bentuk Instrumen dan Instrumen :
No Aspek Keterampilan Skor Keterangan
1 2 3 4
3. Isi laporan.
4. Penggunaan bahasa.
1. Partisipasi/ keaktifan
2. Kerjasama.
Mengetahui, Padang
Kepala Sekolah, Guru Mapel,
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Coba sebutkan ciri-ciri pola hunian masyarakat pra aksara pada masa kehidupan nomaden!
2. Coba sebutkan ciri-ciri pola hunian masyarakat pra aksara pada masa kehidupan semi
nomaden!
3. Coba sebutkan ciri-ciri pola hunian masyarakat pra aksara pada masa kehidupan menetap!
4. Jelaskan bagaimana kehidupan sosial-ekonomi masyarakat pra aksara pada masa berburu
dan meramu!
5. Jelaskan bagaimana kehidupan sosial-ekonomi masyarakat pra aksara pada masa bercocok
tanam!
6. Bagaimana sistem kepercayaan masyrakat pra aksara?
Pedoman Penilian :
∑ Skor perolehan
Nilai = X 100
Skor Maksimal
Kriteria Nilai
A = 80 – 100 : Baik Sekali
B = 70 – 79 : Baik
C = 60 – 69 : Cukup
D = ‹ 60 : Kurang
Lampiran :2
∑ Skor perolehan
Nilai = X 100
Skor Maksimal (20)
LAMPIRAN 3
Kelas :
Tanggal Pengamatan :
Materi Pokok :
No Aspek Penilaian Kriteria Penilaian
1. Kesesuaian Tema dengan KD Skor 4, apabila tema sangat sesuai dengan
KD
Rubrik Penilaian:
Petunjuk Penskoran :
Skor akhir menggunakan skala 1 sampai 4
Perhitungan skor akhir menggunakan rumus :
𝑆𝑘𝑜𝑟
𝑥 4 = 𝑠𝑘𝑜𝑟𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟
𝑆𝑘𝑜𝑟𝑇𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖
Contoh :
Skor diperoleh 14, skor tertinggi 5 x 4 pernyataan = 20, maka skor akhir :
14
𝑥 4 = 2,8
20
1 2 3 4
1. Partisipasi/ keaktifan 5 5 5 5 20 10
4 Kemampuan mengemukakan
pendapat
Skor maksimum 20
4 : Baik
3 : Cukup
2 : Kurang
1 : Sangat Kurang
KELAS X IPA 5
Masyarakat pra aksara adalah gambaran tentang kehidupan manusia – manusia pada masa
lampau, di mana mereka belum mengenal tulisan atau istilah lain. Untuk menamakan zaman pra
aksara yaitu zaman Nirleka. Nir artinya tidak ada dan leka artinya tulisan, jadi zaman Nirleka
zaman tidak adanya tulisan. Batas antara zaman Praaksara dengan zaman sejarah adalah mulai
adanya tulisan. Hal ini menimbulkan suatu pengertian bahwa Pra aksara adalah zaman sebelum
ditemukannya tulisan, sedangkan sejarah adalah zaman setelah adanya tulisan. Berakhirnya
zaman Praaksara atau dimulainya zaman sejarah untuk setiap bangsa di dunia tidak sama
tergantung dari peradaban bangsa tersebut. Salah satu contoh yaitu bangsa Mesir pada tahun
4000 SM masyarakatnya sudah mengenal tulisan, sehingga pada tahun 4000 SM, bangsa Mesir
sudah memasuki zaman sejarah. Kehidupan masyarakat pra aksara dapat di bagi dalam beberapa
tahap, yaitu :
1. Kehidupan nomaden
2. Kehidupan semi nomaden
3. Kehidupan menetap
Meskipun demikian, pola kehidupan masyarakat pra aksara tidak dapat dijadikan dasar
pembagian zaman. Oleh karena itu, apabila dikaitkan dengan pembagian zaman, maka
masyarakat pra aksara hidup pada zaman batu dan zaman logam
Terlepas dari mana asal usul nenek moyang bangsa Indonesia dan kapan mereka mulai tinggal di
wilayah Indonesia, kita herus percaya bahwa nenek moyang bangsa Indonesia telah ribuan tahun
sebelum masehi telah hidup di wilayah Indonesia. Kehidupan mereka mengalami perkembangan
yang teratur seperti bangsa – bangsa di belaha dunia lain. Tahapan perkembangan kehidupan
masyarakat pra aksara di Indonesia adalah sebagai berikut :
Berdasarkan pola kehidupan nomaden tersebut, maka masa kehidupan masyarakat pra aksara
sering disebut sebagai ‘masa mengumpulkan bahan makanan dan berburu’. Jika bahan makanan
yang akan di kumpulkan telah habis, mereka akan berpindah ke tempat lain yang banyak
menyediakan bahan makanan. Di samping itu, tujuan perpindahan mereka adalah untuk
menangkap binatang buruannya. Kehidupan semacam itu berlangsung dalam waktu yang lama
dan berlangsung secara terus menerus. Oleh karena itu, mereka tidak pernah memikirkan rumah
sebagai tempat tinggal yang tetap
Pada masa nomaden, masyarakat pra aksara telah mengenal kehidupan berkelompok. Jumlah
anggota dari setiap kelompok sekitar 10-15 orang. Bahkan, untuk mempermudah hidup dan
kehidupannya, mereka telah mampu membuat alat – alat perlengkapan dari batu dan kayu,
meskipun bentuknya masih sangat kasar dan sederhana. Ciri – ciri kehidupan masyarakat
nomaden adalah sebagai berikut:
Pola kehidupan semi nomaden ditandai dengan ciri – ciri sebagai berikut:
o Setiap keluarga dapat membangunan tempat tinggal yang lebih baik untuk waktu yang
lebih lama;
o Setiap orang dapat menghemat tenaga karena tidak harus membawa peralatan hidup dari
satu tempat ke tempat lain;
o Para wanita dan anak – anak dapat tinggal lebih lama di rumah dan tidak akan
merepotkan;
o Wanita dan anak – anak sangat merepotkan, apabila mereka harus berpindah dari satu
tempat ke tempat lain;
o Mereka dapat menyimpan sisa – sisa makanan dengan lebih baik dan aman;
o Mereka dapat memelihara ternak sehingga mempermudah pemenuhan kebutuhan,
terutama apabila cuaca sedang tidak baik;
o Mereka memiliki waktu yang lebih banyak untuk berkumpul dengan keluarga, sekaligus
menghasilkan kebudayaan yang bermanfaat bagi hidup dan kehidupannya;
o M mulai mengenal sistem astronomi untuk kepentingan bercocok tanam;
o Mereka mulai mengenal sistem kepercayaan.
Dilihat dari aspek geografis, masyarakat pra aksara cenderung untuk hidup di daerah lembah atau
sekitar sungai dari pada di daerah pegunungan. Kecenderungan itu didasarkan pada beberapa
kenyataan, seperti:
o Memiliki struktur tanah yang lebih subur dan sangat menguntungkan bagi kepentingan
bercocok tanam;
o Memiliki sumber air yang baik sebagai salah satu kebutuhan hidup manusia
o Lebih mudah dijangkau dan memiliki akses ke daerah lain yang lebih mudah
Pola Hunian
Manusia mengenal tempat tinggal atau menetap semenjak masa Mesolithikum (batu tengah) atau
masa berburu dan meramu tingkat lanjut. Sebelumnya manusia belum mengenal tempat tinggal
dan hidupnomaden (berpindah-pindah). Setelah mengenal tempat tinggal, manusia mulai
bercocok tanam dengan menggunakan alat-alat sederhana yang terbuat dari batu, tulang binatang
ataupun kayu. Pada dasarnya hunian pada zaman praaksara terdiri atas dua macam, yaitu :
1. Nomaden
Nomaden adalah pola hidup dimana manusia purba pada saat itu hidup berpindah-pindah atau
menjelajah. Mereka hidup dalam komunitas-kuminatas kecil dengan mobilitas tinggi di suatu
tempat. Mata pencahariannya adalah berburu dan mengumpulkan makanan dari alam (Food
Gathering)
2. Sedenter
Sedenter adalah pola hidup menetap, yaitu pola kehidupan dimana manusia sudah
terorganisir dan berkelompok serta menetap di suatu tempat. Mata pencahariannya bercocok
tanam serta sudah mulai mengenal norma dan adat yang bersumber pada kebiasaan-kebiasaan
Air merupakan kebutuhan pokok mahkluk hidup terutama manusia. Keberadaan air pada suatu
lingkungan mengundang hadirnya berbagai binatang untuk hidup di sekitarnya. Begitu pula
dengan tumbuhan. Air memberikan kesuburan pada tanaman.
Manusia purba mempunyai kecendrungan hidup untuk menghuni sekitar aliran sungai. Mereka
beristirahat misalnya di bawah pohon besar dan juga membuat atap dan sekat tempat istirahat itu
dari daun-daun. Kehidupan di sekitar sungai itu menunjukkan pola hidup manusia purba di alam
terbuka. Manusia purba juga memanfaatkan berbagai sumber daya lingkungan yang tersedia,
termasuk tinggal di gua-gua. Mobilitas manusia purba yang tinggi tidak memungkin untuk
menghuni gua secara menetap. Keberadaan gua-gua yang dekat dengan sumber air dan bahan
makanan mungkin saja dimanfaatkan sebagai tempat tinggal sementara.
Pola hunian itu dapat dilihat dari letak geografisnya situs-situs serta kondisi lingkungannya.
Beberapa contoh yang menunjukkan pola hunian seperti itu adalah situs-situs purba disepanjang
aliran sungai bengawan solo (sangiran, sambung macan, trinil , ngawi, dan ngandon), merupakan
contoh dari adanya kecendrungan hidup dipinggir sungai. Manusia purba pada zaman berburu
dan mengumpulkan makanan selalu berpindah-pindah mencari daerah baru yang dapat
memberikan makanan yang cukup.
Pada umumnya mereka bergerak tidak terlalu jauh dari sungai, danau, atau sumber air yang lain,
karena binatang buruan biasa berkumpul di dekat sumber air. Ditempat-tempat itu kelompok
manusia praaksara menantikan binatang buruan mereka. Selain itu, sungai dan danau merupakan
sumber makanan, karena terdapat banyak ikan di dalamnya. Lagi pula di sekitar sungai biasanya
tanahnya subur dan ditumbuhi tanaman yang buah atau umbinya dapat dimakan
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, mereka telah mulai lebih lama tinggal di suatu
tempat. Ada kelompok-kelompok yang bertempat tinggal di pedalaman, ada pula yang tinggal di
daerah pantai. Mereka yang bertempat tinggal di pedalaman, biasanya bertempat tinggal di dalam
gua-gua atau ceruk peneduh (rock shelter) yang suatu saat akan ditinggalkan apabila sumber
makanan di sekitarnya habis.
Pada tahun 1928 sampai 1931, Von Stein Callenfels melakukan penelitian di Gua Lawa dekat
Sampung, Ponorogo. Di situ ditemukan kebudayaan abris sous roche, yaitu merupakan hasil dari
kebudayaan yang ditemukan di gua-gua. Beberapa hasil teknologi bebatuan yang ditemukan
adalah ujung panah, flake, batu penggiling. Selain itu juga ditemukan alat-alat dari tanduk rusa.
KebudayaanAbris sous roche ini banyak ditemukan di Besuki, Bojonegor, juga di daerah
Sulawesi Selatan seperti di Lamoncong.
Mereka yang tinggal di daerah pantai makanan utamanya berupa kerang, siput dan ikan. Bekas
tempat tinggal mereka dapat ditemukan kembali, karena dapat dijumpai sejumlah besar sampah
kulit-kulit kerang serta alat yang mereka gunakan.
Di sepanjang pantai Sumatra Timur antara Langsa di Aceh sampai Medan, terdapat tumpukan
atau timbunan sampah kulit kerang dan siput yang disebut kjokkenmoddinger (kjokken = dapur
,modding = sampah) . Tahun 1925 Von Stein Callenfels melakukan penelitian di tumpukan
sampah itu. Ia menemukan jenis kapak genggam yang disebut pebble ( Kapak Sumatra) . Selain
itu, ditemukan juga berupa anak panah atau mata tombak yang diguankan untuk menangkap
ikan.
Corak kehidupan manusia purba pada masa ini tetap sama seperti pada masa sebelumnya, yaitu
berburu dan mengumpulkan makanan dari alam. Bedanya, selain alat-alat dari batu, pada masa
ini mereka juga mampu membuat alat-alat dari tulang dan kulit kerang.
Mereka mengenal pembagian kerja: laki-laki berburu, sedangkan perempuan mengumpulkan
makanan berupa tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan kecil, memasak atau memelihara api, dan
membimbing anak.
Hal itu jugalah yang membuat mereka mengenal kebiasaan bertempat tinggal secara tidak
tetap (semi-sedenter), terutama di gua-gua payung (abris sous roche). Mereka memilih gua-gua
yang tidak jauh dari sumber mata air atau sungai yang terdapat sumber makanan seperti ikan,
kerang, dan siput.
Selain bertempat tinggal di gua-gua, ada juga kelompok manusia lain yang bertempat tinggal
di tepi pantai, yang hidupnya lebih tergantung pada bahan-bahan makanan yang terdapat di laut.
Hal ini terbukti dari penemuan-penemuan kulit kerang dan siput dalam jumlah banyak selain
tulang-tulang manusia dan alat-alatnya di dalam timbunan kulit kerang (remis) dan siput yang
membukit yang disebut dengan kjokkenmoddinger. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa
mereka telah mengenal pencarian dan pengumpulan makanan di laut.
Selama bertempat tinggal di gua-gua, selain mengerjakan alat-alat, mereka juga mulai
mengenal tradisi melukis di dinding-dinding gua atau dinding karang. Sumber inspirasi dari
lukisan ini adalah cara hidup mereka yang serba tergantung pada alam. Lukisan-lukisan itu
menggambarkan suatu pengalaman, perjuangan, harapan hidup, dan bahkan kepercayaan
mereka.
Selain itu, agar terhindar dari binatang buas, manusia purba memilih untuk membangun
rumah di atas pohon. Begitu juga segala aktifitas yang mereka lakukan di atas pohon. Terutama
kegiatan makan yang menyebabkan sisa makanan yang di buang ke bawah lama-lama menjadi
bukit fosil yang kemudian juga dapat disebut kjokkenmoddinger.
Pada masa ini pula, untuk pertama kalinya manusia purba menemukan api. Penemuan api
tidak terlepas dari perkembangan otak mereka sebagai akibat dari tuntutan menyesuaikan diri
dengan perkembangan alam dan lingkungan. Secara khusus, api berperan penting dalam
kehidupan gua, seperti menghangatkan tubuh, menghalau binnatang buas pada malam hari , serta
memasak makanan.
Di tahap akhir masa ini, mereka telah mengenal bercocok tanam yang sangat sederhana dan
dilakukan secara berpindah-pindah menurut kondisi kesuburan tanah. Hutan yang dijadikan
tanah pertanian dibakar terlebih dahulu dan dibersihkan (slash and burn). Di sana mereka
menanam umbi-umbian seperti keladi.
Cara hidup berburu dan mengumpulkan makanan perlahan-lahan ditinggalkan. Seiring dengan
itu, masyarakat memelihara hewan-hewan tertentu (pastoralisme). Sebagian kecil penduduk yang
tinggal di tepi pantai memproduksi garam dan mencari ikan.
Kegiatan bercocok tanam dilakukan dengan menebang dan membakar pohon-pohon dan
belukar (slash and burn) sehingga terciptalah ladang-ladang yang memberikan hasil-hasil
pertanian, meskipun sifatnya masih sederhana. Tanaman yang dikembangkan di antaranya
keladi, pisang, kelapa, salak, rambutan, sukun, dan duku; sedangkan jenis hewan yang
diternakkan di antaranya ayam, kerbau, anjing, dan babi.
Sebagai konsekuensi dari tradisi baru itu (bercocok tanam), mereka sudah tinggal menetap
(sedenter). Perkampungan terdiri atas tempat-tempat tinggal sederhana yang didiami secara
berkelompok oleh beberapa keluarga. Bangunan tempat tinggal dibuat dari kayu atau bambu.
Gotong royong juga telah menjadi bagian dari corak kehidupan masyarakat. Menebang hutan,
membakar semak belukar, menabur benih, memetik hasil, membuat gerabah, kegiatan tukar-
menukar, berburu dan menangkap ikan dilakukan secara gotong royong.
Mereka juga mengenal pembagian kerja antara kaum wanita dengan laki-laki. Misalnya,
pekerjaan berburu yang menghabiskan tenaga banyak dilakukan oleh para lelaki. Menangkap
ikan yang dekat dengan tempat tinggal (sungai, rawa, atau tempat-tempat yang dangkal di danau-
danau) dapat dilakukan oleh kaum wanita dan anak-anak, sedangkan menangkap ikan di laut
lepas pada umumnya dikerjakan oleh laki-laki. Selain itu, ada anggota masyarakat yang
membuat beliung kasar di tempat yang disebut atelier, ada yang bertugas menghaluskan, dan
sebagainya.
Dari sumber praaksara dapat diketahui bahwa masyarakat Indonesia yang hidup pada masa
praaksara pada mulanya hidup dari berburu dan mengumpulkan makanan ( Footghaterings
)Hal ini sesuai dengan:
a. Cara berpikir sangat sederhana, mulutnya belum bisa berbicara dan fisiknya belum
memungkinkan bertindak seperti manusia sekarang
b. Lingkungan hidupnya masih hutan belantara dan banyak binatang buas
c. Kehidupannya sangat tergantung kepada persediaan alamnya, mereka makan dari yang
disediakan alam.
d. Hidupnya mengembara dari hutan yang satu ke hutan yang lain/ nomaden. Sebagai tempat
berlindung dari hujan dan terik matahari serta binatang buas mereka berlindung di gua-gua
sementara.
e. Pada umumnya mereka bergerak tidak jauh dari daerah sumber mata air seperti danau,
sungai dan pantai
f. Alat-alat yang digunakan untuk berburu dan mengumpulkan makanan sangat sederhana
yakni, tanduk, batu, tulang dll. Dan cara pembuatannny masih kasar dan belum diasah
g. Sudah dapat menghias diri meskipun sangat sederhana
h. Mereka belum bisa menggunakan bahasa, sebagai alat komunikasi mereka menggunakan
isyarat berupa teriakan dan pekikan dan gerakan tubuh
i. Sebagai alat tranfortasi sederhana untuk menyusuri sungai dibuat sampan dari kayu
maupun bambu
j. Mereka telah mengenal budaya rohani yaitu percaya pada arwah nenek moyang yang telah
meninggal dunia. Hal ini ditunjukkan dari peningggalan lukisan telapak tangan dan gambar
babi rusa yang bagian jantungnya tertancap panah yang ditemukan CHM
HeerenPalm 1950 di Sulawesi Selatan. Lukisan tersebut simbul berburu dan pemujaan
terhadap roh nenek moyang agar berhasil dalam berburu, jadi kepercayaannya bersifat
animisme, dinamisme dan totenisme. Animisme artiny percaya pada roh nenek moyang yang
telah meningggal, Dinamisme artinya percaya kepada benda-benda yang dianggap memiliki
kekuatan gaib dan Totenisme percaya kepada binatang atau pohon yang dianggap punya
kekuatan tertentu.
Masa bercocok tanam ini dimasukan ke dalam zaman atau masa mesolithikum, neolithikum
dan megalithikum. Di mana peralatannya sudah dihaluskan, manusia pendukungnya adalah
homo sapien.
Adapun kehidupan manusia pada masa bercocok tanam adalah sebagai berikut:
a. Cara bercocok tanam yang mula-mula adalah dengan cara berladang dan berhuma, yakni
dengan cara membersihkan hutan lalu menanaminya dengan tanaman yang dapat dimakan.
b. Selain dapat bercocok tanam, manusia pada masa ini sudah mulai beternak dan memelihara
binatang. Para ahli berpendapat bahwa binatang yang mulai diternakan/ dijinakan adalah
anjing yang diduga sebagai teman berburu dan binatang babi dipelihara untuk dimakan.
c. Kemampuan menyediakan makanan dan mengawetkannya ditunjang dengan kemampuan
membuat gerabah/ wadah terbuat dari tanah liat yang dibakar.
d. Dengan ditemukannya gerabah yang dihias dengan pola tenunan, maka dapat
disimpulkan manusia pada waktu itu sudah mengenal cara menenun
e. Mengenal perdagangan dengan cara menukar dengan barang yang dibutuhkan atau dengan
cara barter
f. Manusia pada waktu itu sudah mengenal berhias dengan ditemukannnya gelang yang
terbuat dari batu yang indah dan manik – manic
g. Konsep kepercayaan merupakan lanjutan masa sebelumnya di mana mayat selalu diarahkan
ke gunung-gunung
Daerah itu juga merupakan tempat persinggahan hewan-hewan seperti kerbau, kuda, monyet,
banteng, dan rusa, untuk mencari mangsa. Hewan-hewan inilah yang kemudian diburu oleh
manusia. Di samping berburu, mereka juga mengumpulkan tumbuhan yang mereka temukan
seperti ubi, keladi, daun-daunan, dan buah-buahan. Mereka bertempat tinggal di dalam gua-gua
yang tidak jauh dari sumber air, atau di dekat sungai yang terdapat sumber makanan seperti ikan,
kerang, dan siput.
Ada dua hal yang penting dalam sistem hidup manusia Praaksara (masa berburu dan
mengumpulkan makanan) yaitu membuat alat-alat dari batu yang masih kasar, tulang, dan kayu
disesuaikan dengan keperluannya, seperti kapak perimbas, alat-alat serpih, dan kapak genggam.
Selain itu, manusia Praaksara juga membutuhkan api untuk memasak dan penerangan pada
malam hari.
Wawasan
Kegiatan berburu dan meramu sudah ditinggalkan, namun di beberapa masyarakat Indonesia
kegiatan tersebut masih dilakukan, seperti pada masyarakat suku-suku terasing.
Api dibuat dengan cara menggosokkan dua keping batu yang mengandung unsur besi sehingga
menimbulkan percikan api dan membakar lumut atau rumput kering yang telah disiapkan. Sesuai
dengan mata pencahariannya, manusia Praaksara tidak mempunyai tempat tinggal tetap, tetapi
selalu berpindah-pindah (nomaden) mencari tempat tempat yang banyak bahan makanan.
Tempat yang mereka pilih di sekitar padang rumput yang sering dilalui binatang buruan, di dekat
danau atau sungai, dan di tepi pantai. Dalam kehidupan sosial, manusia Praaksara hidup dalam
kelompok-kelompok dan membekali dirinya untuk menghadapi lingkungan sekelilingnya.
Perkembangan selanjutnya, manusia praaksara masa ini mampu membuat alat-alat dari batu yang
sudah diasah lebih halus serta mulai dikenalnya pembuatan gerabah. Alat-alatnya berupa beliung
persegi dan kapak lonjong, alat-alat pemukul dari kayu, dan mata panah.
Pada masa bercocok tanam, manusia mulai hidup menetap di suatu perkampungan yang terdiri
atas tempat-tempat tinggal sederhana yang didiami secara berkelompok oleh beberapa keluarga.
Mereka mendirikan rumah panggung untuk menghindari binatang buas.
Kebersamaan dan gotong royong mereka junjung tinggi. Semua aktivitas kehidupan, mereka
kerjakan secara gotong royong. Tinggal hidup menetap menimbulkan masalah berupa
penimbunan sampah dan kotoran, sehingga timbul pencemaran lingkungan dan wabah penyakit.
Pengobatan dilakukan oleh para dukun.
Pada masa bercocok tanam, bentuk perdagangan bersifat barter. Barang-barang yang
dipertukarkan waktu itu ialah hasil-hasil bercocok tanam, hasil kerajinan tangan (gerabah,
beliung), garam, dan ikan yang dihasilkan oleh penduduk pantai.
c. Masa Perundagian
Masa perundagian merupakan masa akhir Prasejarah di Indonesia. Menurut R.P. Soejono, kata
perundagian berasal dari bahasa Bali: undagi, yang artinya adalah seseorang atau sekelompok
orang atau segolongan orang yang mempunyai kepandaian atau keterampilan jenis usaha
tertentu, misalnya pembuatan gerabah, perhiasan kayu, sampan, dan batu (Nugroho Notosusanto,
et.al, 2007).
Manusia Praaksara yang hidup pada masa perundagian adalah ras Australomelanesoid dan
Mongoloid. Pada masa perundagian, manusia hidup di desa-desa, di daerah pegunungan, dataran
rendah, dan di tepi pantai dalam tata kehidupan yang makin teratur dan terpimpin. Kehidupan
masyarakat pada masa perundagian ditandai dengan dikenalnya pengolahan logam. Alat-alat
yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari sudah banyak yang terbuat dari logam.
Adanya alat-alat dari logam tidak serta merta menghilangkan penggunaan alat-alat dari batu.
Masyarakat masa perundagian masih menggunakan alat-alat yang terbuat dari batu. Penggunaan
bahan logam tidak tersebar luas sebagaimana halnya penggunaan bahan batu. Kondisi ini
disebabkan persediaan logam masih sangat terbatas. Dengan keterbatasan ini, hanya orang-orang
tertentu saja yang memiliki keahlian untuk mengolah logam.
Pada masa perundagian, perkampungan sudah lebih besar karena adanya hamparan lahan
pertanian. Perkampungan yang terbentuk lebih teratur dari sebelumnya. Setiap kampung
memiliki pemimpin yang disegani oleh masyarakat.
Pada masa ini, sudah ada pembagian kerja yang jelas disesuaikan dengan keahlian masing-
masing. Masyarakat tersusun menjadi kelompok majemuk, seperti kelompok petani, pedagang,
maupun perajin.
Masyarakat juga telah membentuk aturan adat istiadat yang dilakukan secara turun-temurun.
Hubungan dengan daerah-daerah di sekitar Kepulauan Nusantara mulai terjalin. Peninggalan
masa perundagian menunjukkan kekayaan dan keanekaragaman budaya. Berbagai bentuk benda
seni, peralatan hidup, dan upacara menunjukkan kepada kita bahwa kehidupan masyarakat masa
itu sudah memiliki kebudayaan yang tinggi
Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Praaksara
1. Masa Berburu dan Meramu
Kehidupan sosial ekonomi pada masa berburu dan meramu dicirikan dengan hal-hal
sebagai berikut:
Aktivitas mencari dan mengumpulkan makanan. Pada masa itu, manusia purba hidup
dari berburu dan meramu. Berburu berarti mencari dan menangkap binatang buruan
seperti banteng, kerbau liar, rusa, sedangkan meramu berarti mencari dan mengumpulkan
makanan yakni mencari bahan makanan yang sekiranya enak dimakan, sepeti umbi-
umbian, keladi, dan juga daun-daunan. Cara hidup dengan cara seperti di atas disebut
sebagai food gathering.
Hidup secara berkelompok. Hidup manusia purba pada masa itu sangat bergantung dari
alam, maka dari itu untuk menghindari bahaya dari binatang buas, mereka akan hidup
bergerombol di tempat-tempat yang menyediakan banyak bahan makanan, serta
menyediakan air, juga tempat-tempat yang banyak dilalui oleh binatang buruan. Mereka
tinggal di tempat seperti padang rumput, hutan yang berdekatan dengan sungai. Yang
berburu biasanya adalah laki-laki, sedangkan yang perempuan bertugas mengasuh anak
dan meramu makanan.
Bertempat tinggal sementara. Manusia purba mulai belajar dari alam. Yakni mereka
menyadari bahwa bahan makanan pada suatu tempat akan habis, maka dari itu
merekaakan berpindah dari satu tempat ke tempat lain yang masih menyediakan banyak
bahan makanan. Biasanya mereka memilih gua-gua, tepi danau, tepi sungai atau bahkan
di tepi pantai.
Alat untuk mencari, berburu dan meramu bahan makanan. Manusia praaksara sudah
bisa menggunakan alat bantu sederhana dalam mengumpulkan makanan. Alat bantu itu
terbuat dari batu yang diasah sederhana, tulang, ataupun kayu. Pada masa berburu dan
meramu, manusia purba menggunakan peralatan sebagai berikut:
1. Kapak Genggam. Merupakan sejenis kapak yang terbuat dari batu, namun tidak
bertangkai. Digunakan untuk memukul bahan makanan, atau melempar binatang buruan
serta mengorek tanah untuk mencari umbi-umbian. Kapak genggam seperti ini banyak
ditemukan di Pacitan, Jawa Timur. Kapak genggam ini biasa juga disebut kapak penetak
atau chopper.
2. Alat serpih. Merupakan alat-alat yang terbuat dari batu pipih yang diasah dan berukuran
lebih kecil dari kapak genggam, berfungsi sebagai alat untuk penusuk ataupun sebagai
pisau.
3. Alat-alat yang terbuat dari tulang dan kayu. Alat yang terbuat dari tulang biasanya
berupa mata tombak, yang bertangkai kayu, digunakan untuk berburu ataupun
menangkap ikan.
4. Pebble merupakan alat semacam kapak genggam yang terbuat dari batu kali, ada juga
yang berupa batu penggilingan/pipisan yang digunakan untuk menghaluskan makanan.
5. Anak panah/flake. Digunakan untuk berburu dan mencari ikan. Dan dalam
perkembangannya, manusia purba jenis pithecanthropus erectus ternyata sudah mengenal
api.
2. Kehidupan pada masa bermukim dan bercocok tanam.
Memasuki zaman Neolithikum, kehidupan sosial ekonomi manusia purba sudah mencapai
tingkatan yang cukup maju, yakni ditandai dengan perkembangan Homo Sapiens Murni yaitu
manusia purba yang sudah menggunakan akal pikiran secara sempurna, yang mendorong adanya
perubahan besar dalam kehidupan manusia purba yakni manusia mulai bermukim secara
menetap, dengan ciri:
Kehidupan bermukim dan berladang. Setelah tingggal secara menetap, manusia purba
mulai mengenal bercocok tanam, dengan menanam tumbuhan yang sekiranya
menghasilkan bahan makanan. Mereka membakar belukar dan menebang pohon untuk
ditanami padi-padian, sukun, pisang, dan bahan makanan lain. Disamping itu mereka
masih berburu dan menangkap ikan. Makin lama mereka mengenal beternak seperti
unggas, sapi, kerbau, kuda. Dengan demikian manusia pada masa itu tidak lagi
bergantung pada alam tetapi sudah memproduksi sendiri bahan makananya atau dikenal
dengan istilah food producing.
Kegiatan bercocok tanam di persawahan. Dengan hidup dengan cara menetap, telah
mendorong populasi manusia purba meningkat secara pesat, yang mendorong juga pada
peningkatan kegiatan food producing. Pertanian meningkat dengan mulai beragamnya
jenis tanaman yang di tanam. Manusia juga mulai mengenal pembuatan pematang untuk
menahan air, yang dilengkapi dengan saluran air, ini merupakan tehnik irigasi permulaan.
Setelah itu manusia mulai mengenal padi-padian, sayur-sayuran, dan juga mulai
mengenal menanam padi di persawahan,
Alat yang digunakan adalah jenis kapak yakni kapak persegi dan kapMerupakan alat
yang terbuat dari batu juga namun sudah dibuat dengan lebih halus.
Sistem kepercayaan masyarakat praaksara Indonesia
Sistem kepercayaan masyarakat praaksara di Indonesia tidak terlepas dari kepercayaan asli
masyarakat Indonesia. Dalam kehidupan keagamaan di Indonesia, kepercayaan asli merupakan
bentuk kerohanian yang khas dimiliki oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kepercayaan asli
sering disebut dengan agama asli atau religi. Kepercayaan manusia tidak terbatas pada dirinya
sendiri saja, akan tetapi pada benda-benda dan tumbuh-tumbuhan yang berada di sekitarnya.
Berdasarkan keyakinan tersebut, manusia menyadari bahwa makhluk halus atau roh itu memiliki
wujud nyata dan sifat yang mendua, yaitu sifat yang membawa kebaikan dan sidat yang
mendatangkan keburukan. Jika diperhatikan, lukisan-lukisan yang terdapat di gua-gua tidak
hanya mempunyai nilai estetika, tetapi juga mengandung makna etika magis. Beberapa ahli
menyimpulkan bahwa cap-cap tangan dengan latar belakang cat merah memiliki arti kekuatan
atau perlindungan dari roh-roh jahat. Seperti terdapat pada beberapa lukisan di Papua
mempunyai kaitan dengan upacara penghormatan nenek moyang, meminta hujan dan kesuburan,
serta memperingati suatu peristiwa yang sangat penting. Adanya keyakinan-keyakinan itulah
yang kemudian mendorong berkembang beberapa kepercayaan di Indonesia, diantaranya
animisme, dinamisme dan totemisme. Animisme merupakan kepercayaan terhadap roh-roh
nenek moyang. Awal munculnya kepercayaan animisme ini didasari oleh berbagai pengalaman
dari masyarakat yang bersangkutan. Misalnya pada daerah di sekitar tempat tinggal terdapat
sebuah batu besar. Masyarakat yang melewati batu besar tersebut mendengar keganjilan seperti
suara minta tolong, memanggil namanya, dan lain-lain. Namun begitu dilihat mereka tidak
menemukan adanya orang atau apapun. Peristiwa tersebut kemudian terus berkembang hingga
masyarakat menjadi peracaya bahwa batu yang dimaksud mempunyai roh atau jiwa. Dinamisme
adalah suatu kepercayaan dengan keyakinan bahwa semua benda mempunyai kekuatan gaib,
misalnya gunung, batu, dan api. Bahkan benda-benda buatan manusia seperti patung, tombak,
jimat dan lain sebagainya. Totemisme merupakan keyakinan bahwa binatang tertentu merupakan
nenek moyang suatu masyarakat atau orang tertentu. Binatang yang dianggap nenek moyang
antara masyarakat yang satu dengan lainnya berbeda-beda. Biasanya binatang nenek moyang
tersebut disucikan, tidak boleh diburu dan dimakan, kecuali untuk upacara tertentu. Kepercayaan
animisme dan dinamisme menjadi kepercayaan asli bangsa Indonesia sebelum agama Hindu dan
Budha masuk ke Indonesia. Dalam kehidupan keagamaan di Indonesia, kedua kepercayaan itu
sudah berakar kuat. Salah satu aspek yang dapat dikaitkan dengan kedua kepercayaan tersebut
adalah berupa peninggalan-peninggalan zaman megalitikum. Menhir atau arca, merupakan
lambang dan tahta persemayaman roh leluhur. Kedua jenis peninggalan itu digunakan sebagai
sarana pemujaan terhadap roh nenek moyang. Dolmen dan punden berundak berkaitan dengan
aktivitas upacara, karena dolmen digunakan sebagai tempat sesaji, sedangkan punden berundak
digunakan untuk tempat upacara. Praktik-praktik kepercayaan animisme dan dinamisme itu juga
terlihat dalam penyelenggaraan upacara-upacara yang berhubungan dengan kematian.
Penyelenggaraan upacara kematian dilandasi dengan kepercayaan bahwa kematian itu pada
hakikatnya tidak membawa perubahan dalam kedudukan, keadaan dan sifat seseorang. Dengan
landasan itu, penguburan mayat selalu disertai dengan bekal-bekal kubur dan arwah mayat yang
disesuaikan dengan kedudukannya ketika masih hidup. Keyakinan akan adanya dunia arwah
terlihat dari arah penempatan kepala mayat yang diarahkan ke tempat asal atau tempat
bersemayam roh nenek moyang mereka. Tempat yang biasanya diyakini sebagai tempat roh
nenek moyang adalah tempat matahari terbit atau terbenam, dan tempat-tempat yang tinggi,
misalnya di gunung dan bukit. Bukti mengenai hal ini terlihat dari hasil penggalian kuburan-
kuburan kuno di beberapa tempat di wilayah Indonesia, seperti Bali dan Kalimantan yang
menunjukkan arah kepala mayat selalu ke arah timur, barat atau ke puncak-puncak gunung atau
bukit.