Indikator Mutu
Indikator Mutu
Keselamatan Pasien
Keselamatan pasien (patient safety) merupakan suatu variabel untuk mengukur dan
mengevaluasi kualitas pelayanan keperawatan yang berdampak terhadap pelayananan
kesehatan. Sejak malpraktik menggema di seluruh belahan bumi melalui berbagai
media baik cetak maupun elektronik hingga ke jurnal-jurnal ilmiah ternama, dunia
kesehatan mulai menaruh kepedulian yang tinggi terhadap isu keselamatan pasien.
Program keselamatan pasien adalah suatu usaha untuk menurunkan angka
kejadian tidak diharapkan (KTD) yang sering terjadi pada pasien selama dirawat di
rumah sakit sehingga sangat merugikan baik pasien itu sendiri maupun pihak rumah
sakit. KTD bisa disebabkan oleh berbagai faktor antara lain beban kerja perawat yang
tinggi, alur komunikasi yang kurang tepat, penggunaan sarana kurang tepat dan lain
sebagainya.
Indikator keselamatan pasien (IPS) bermanfaat untuk mengidentifikasi area-
area pelayanan yang memerlukan pengamatan dan perbaikan lebih lanjut, misalnya
untuk menunjukkan:
1. adanya penurunan mutu pelayanan dari waktu ke waktu;
2. bahwa suatu area pelayanan ternyata tidak memenuhi standar klinik atau terapi
sebagaimana yang diharapkan;
3. tingginya variasi antar rumah sakit dan antarpemberi pelayanan;
4. ketidaksepadanan antarunit pelayanan kesehatan (misalnya, pemerintah dengan
swasta atau urban dengan rural).
2. Faktor risiko.
Faktor-faktor risiko untuk terjadinya dekubitus. Ada dua hal utama yang
berhubungan dengan risiko terjadinya dekubitus, yaitu faktor tekanan dan
toleransi jaringan. Faktor yang memengaruhi durasi dan intensitas tekanan di
atas tulang yang menonjol adalah imobilisasi, inakitifitas, dan penurunan sensoris
persepsi. Sementara itu faktor yang memengaruhi toleransi jaringan dibedakan
menjadi dua yaitu faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik. Faktor intrinsik yaitu
faktor yang berasal dari pasien. Sementara itu yang dimaksud dengan faktor
ekstrinsik yaitu faktor-faktor dari luar yang mempunyai efek deteriorasi pada
lapisan eksternal dari kulit. Di bawah ini adalah penjelasan dari masing masing
faktor di atas.
a. Mobilitas dan aktivitas.
Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan mengontrol posisi
tubuh, sedangkan aktivitas adalah kemampuan untuk berpindah. Pasien yang
berbaring terus-menerus di tempat tidur tanpa mampu untuk mengubah
posisi berisiko tinggi untuk terkena dekubitus. Imobilisasi adalah faktor yang
paling signifikan dalam kejadian dekubitus.
b. Penurunan sensoris persepsi.
Pasien dengan penurunan sensoris persepsi akan mengalami penurunan
kemampuan untuk merasakan sensari nyeri akibat tekanan di atas tulang
yang menonjol. Bila ini terjadi dalam durasi yang lama, pasien akan mudah
terkena dekubitus.
c. Kelembapan.
Kelembapan yang disebabkan karena inkontinensia dapat mengakibatkan
terjadinya maserasi pada jaringan kulit. Jaringan yang mengalami maserasi
akan mudah mengalami erosi. Selain itu kelembapan juga mengakibatkan
kulit mudah terkena pergesekan (friction) dan perobekan jaringan (shear).
Inkontinensia alvi lebih signifikan dalam perkembangan dekubitus daripada
inkontinensia urine karena adanya bakteri dan enzim pada feses dapat
merusak permukaan kulit.
d. Tenaga yang merobek (shear).
Merupakan kekuatan mekanis yang meregangkan dan merobek jaringan,
pembuluh darah, serta struktur jaringan yang lebih dalam yang berdekatan
dengan tulang yang menonjol. Contoh yang paling sering dari tenaga yang
merobek ini adalah ketika pasien diposisikan dalam posisi semifowler yang
melebihi 30 derajat. Pada posisi ini pasien bisa merosot kebawah, sehingga
mengakibatkan tulangnya bergerak ke bawah namun kulitnya masih tertinggal.
Ini dapat mengakibatkan impitan pada pembuluh darah kulit, serta kerusakan
pada jaringan bagian dalam seperti otot namun hanya menimbulkan sedikit
kerusakan pada permukaan kulit.
e. Pergesekan (friction).
Pergesekan terjadi ketika dua permukaan bergerak dengan arah yang
berlawanan. Pergesekan dapat mengakibatkan abrasi dan merusak permukaan
epidermis kulit. Pergesekan bisa terjadi pada saat penggantian sprei pasien
yang tidak berhati-hati.
f. Nutrisi.
Hipoalbuminemia, kehilangan berat badan, dan malnutrisi umumnya
diidentifikasi sebagai faktor predisposisi untuk terjadinya dekubitus. Stadium
tiga dan empat dari dekubitus pada orang tua berhubungan dengan penurunan
berat badan, rendahnya kadar albumin, dan asupan makanan yang tidak
mencukupi.
g. Usia.
Pasien yang sudah tua memiliki risiko yang tinggi untuk terkena dekubitus
karena kulit dan jaringan akan berubah seiring dengan penuaan. Penuaan
mengakibatkan kehilangan otot, penurunan kadar serum albumin, penurunan
respons inflamatori, penurunan elastisitas kulit, serta penurunan kohesi
antara epidermis dan dermis. Perubahan ini beserta faktor penuaan lain
akan membuat toleransi kulit terhadap tekanan, pergesekan, dan tenaga yang
merobek menjadi berkurang.
h. Tekanan arteriolar yang rendah.
Tekanan arteriolar yang rendah akan mengurangi toleransi kulit terhadap
tekanan sehingga dengan aplikasi tekanan yang rendah sudah mampu
mengakibatkan jaringan menjadi iskemia. Tekanan sistolik dan tekanan
diastolik yang rendah berkontribusi pada perkembangan dekubitus.
i. Stres emosional.
Depresi dan stress emosional kronik, misalnya pada pasien psikiatrik, juga
merupakan faktor risiko untuk perkembangan dari dekubitus.
j. Merokok.
Nikotin yang terdapat pada rokok dapat menurunkan aliran darah dan
memiliki efek toksik terhadap endotelium pembuluh darah.
k. Temperatur kulit.
Peningkatan temperatur merupakan faktor yang signifikan dengan risiko
terjadinya dekubitus.
Menurut hasil penelitian, faktor penting lain yang juga berpengaruh terhadap
risiko terjadinya dekubitus adalah tekanan antarmuka (interface pressure).
Tekanan antarmuka adalah kekuatan per unit area antara tubuh dengan
permukaan matras. Apabila tekanan antarmuka lebih besar daripada tekanan
kapiler rata-rata, maka pembuluh darah kapiler akan mudah kolaps atau mudah
untuk terjadinya iskemia dan nekrotik. Tekanan kapiler rata-rata adalah sekitar 32
mmHg. Tekanan antarmuka yang tinggi merupakan faktor yang signifikan untuk
perkembangan dekubitus. Tekanan antar muka diukur dengan menempatkan
alat pengukur tekanan antarmuka (pressure pad evaluator) di antara area yang
tertekan dengan matras.
3. Stadium dekubitus.
Menurut National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP), dekubitus dibagi
menjadi empat stadium.
a. Stadium satu.
Adanya perubahan dari kulit yang dapat diobservasi. Apabila dibandingkan
dengan kulit yang normal, akan tampak salah satu tanda. Tanda yang
muncul adalah perubahan temperatur kulit (lebih dingin atau lebih hangat),
perubahan konsistensi jaringan (lebih keras atau lunak), perubahan sensasi
(gatal atau nyeri). Pada orang yang berkulit putih, luka mungkin kelihatan
sebagai kemerahan yang menetap. Sementara itu , pada orang berkulit gelap,
luka akan kelihatan sebagai warna merah yang menetap, biru, atau ungu.
b. Stadium dua.
Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis, dermis, atau keduanya.
Cirinya adalah lukanya superfisial, abrasi, melempuh, atau membentuk lubang
yang dangkal.
c. Stadium tiga.
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau nekrosis dari
jaringn subkutan atau lebih dalam, tapi tidak sampai pada fascia. Luka terlihat
seperti lubang yang dalam.
d. Stadium empat.
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap dengan kerusakan yang luas, nekrosis
jaringan, kerusakan pada otot, tulang atau tendon. Adanya lubang yang dalam
serta saluran sinus juga termasuk dalam stadium IV dari dekubitus.
Menurut stadium dekubitus di atas, dekubitus berkembang dari permukaan
luar kulit ke lapisan dalam (top–down). Namun menurut hasil penelitian saat
ini, dekubitus juga dapat berkembang dari jaringan bagian dalam seperti fascia
dan otot walapun tanpa adanya kerusakan pada permukaan kulit. Ini dikenal
dengan istilah cedera jaringan bagian dalam (deep tissue injury—DTI). Hal ini
disebabkan karena jaringan otot dan jaringan subkutan lebih sensitif terhadap
iskemia daripada permukaan kulit. Kejadian DTI sering disebabkan karena
immobilisasi dalam jangka waktu yang lama, misalnya karena periode operasi
yang panjang. Penyebab lainnya adalah seringnya pasien mengalami tenaga yang
merobek (shear).
Infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial (inos) adalah Infeksi yang didapat atau timbul pada waktu pasien
dirawat di rumah sakit. Rumah sakit merupakan suatu tempat orang sakit dirawat dan
ditempatkan dalam jarak yang sangat dekat. Di tempat ini pasien mendapatkan terapi
dan perawatan untuk agar mendapat kesembuhan. Akan tetapi, rumah sakit dapat
juga merupakan depot bagi berbagai macam penyakit yang berasal dari penderita
maupun dari pengunjung yang berstatus pembawa (carier). Kuman penyakit ini
dapat hidup dan berkembang di lingkungan rumah sakit, seperti udara, air, lantai,
makanan dan benda-benda medis maupun nonmedis. Mulai tahun 2001, Depkes RI
telah memasukkan pengendalian infeksi nosokomial sebagai salah satu tolak ukur
akreditasi rumah sakit.
Infeksi rumah sakit (nosokomial) merupakan masalah penting di seluruh dunia
dan terus meningkat setiap tahunnya. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pihak
tenaga kesehatan untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial. Salah satu upayanya
adalah penerapan universal precaution (perlindungan diri). Akan tetapi peningkatan
kejadian infeksi nosokomial tetap terjadi.
Angka kejadian infeksi nosokomial yang tinggi juga terjadi pada negara maju,
misalnya, di Amerika Serikat terjadi 20 ribu kematian setiap tahun akibat infeksi
nosokomial. Di seluruh dunia, 10% pasien rawat inap di rumah sakit mengalami infeksi
yang baru selama dirawat atau sebesar 1,4 juta infeksi setiap tahun. Di Indonesia,
penelitian yang dilakukan di sebelas rumah sakit menunjukkan bahwa 9,8% pasien
rawat inap mendapat infeksi yang baru selama dirawat. Sebesar 0,0% hingga 12,06%,
dengan rata-rata keseluruhan 4,26%. Untuk lama perawatan berkisar 4,3–11,2 hari,
dengan rata-rata keseluruhan 6,7 hari. Infeksi nosokomial dapat menyebabkan pasien
dirawat lebih lama sehingga harus mengeluarkan biaya yang lebih banyak. Demikian
pula dengan pihak rumah sakit karena harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk
pelayanan. Kejadian infeksi nosokomial dapat berakibat kematian apabila tidak
mendapat penanganan yang tepat. Menurut Dewan Penasihat Aliansi Dunia untuk
Keselamatan Pasien, infeksi nosokomial menyebabkan 1,5 juta kematian setiap hari di
seluruh dunia. Studi yang dilakukan WHO di 55 rumah sakit di 14 negara di seluruh
dunia juga menunjukkan bahwa 8,7% pasien rumah sakit menderita infeksi selama
menjalani perawatan di rumah sakit. Sementara di negara berkembang, diperkirakan
lebih dari 40% pasien di rumah sakit terserang infeksi nosokomial.
Berbagai tindakan pelayanan medis dapat berisiko kepada terjadinya infeksi
nosokomial, misalnya suntikan/pengambilan darah, tindakan bedah dan kedokteran
gigi, persalinan, pembersihancairantubuh, danlain-lain. Salahsatuupayapengendalian
infeksi di rumah sakit dilakukan universal precaution yang telah dikembangkan
sejak tahun 1980. Universal precaution merupakan upaya pencegahan infeksi yang
mengalami perjalanan panjang, dimulai sejak dikenalnya infeksi nosokomial yang
terus menjadi ancaman bagi petugas kesehatan dan pasien (Depkes, 2011). Unsur
universal precation meliputi cuci tangan, alat pelindung yang sesuai, pengelolaan alat
tajam (disediakan tempat khusus untuk membuang jarum suntik, bekas botol ampul,
dan sebagainya), dekontaminasi, sterilisasi, disinfeksi dan pengelolaan limbah.
Penerapan universal precaution merupakan bagian pengendalian infeksi yang
tidak terlepas dari peran masing–masing pihak yang terlibat di dalamnya yaitu
pimpinan rumah sakit beserta staf administrasi, staf medis dan nonmedis, serta
para pengguna jasa rumah sakit, misalnya pasien dan pengunjung pasien. Pimpinan
rumah sakit berkewajiban menyusun kebijakan mengenai kewaspadaan umum
dengan membuat standar operasional prosedur pada setiap tindakan, memantau dan
mengontrol pengendalian infeksi nosokomial melalui pembentukan tim pengendalian
infeksi rumah sakit, dan lain-lain. Pimpinan juga bertanggung jawab atas perencanaan
anggaran dan ketersediaan sarana untuk menunjang kelancaran pelaksanaan universal
precaution. Tenaga kesehatan wajib menjaga kesehatan atau keselamatan dirinya dan
orang lain serta bertanggung jawab sebagai pelaksana kebijakan yang ditetapkan
rumah sakit.
Tenaga kesehatan bertanggung jawab dalam menggunakan sarana yang
disediakan dengan baik dan benar serta memelihara sarana agar selalu siap dipakai dan
dapat dipakai selama mungkin (Kemenkes, 2011). Perawat adalah tenaga profesional
yang perannya tidak dapat dikesampingkan dari baris terdepan pelayanan rumah
sakit. Oleh karena perawat merupakan petugas kesehatan yang kontak paling lama
dengan pasien bahkan sampai 24 jam penuh, maka perawat ikut mengambil peran
yang cukup besar dalam memberikan kontribusi kejadian infeksi nosokomial. Tenaga
keperawatan juga ikut berperan aktif dalam pengendalian infeksi nosokomial.
Flebitis
Flebitis (flebitis) didefinisikan sebagai peradangan akut lapisan internal vena yang
ditandai oleh rasa sakit dan nyeri di sepanjang vena, kemerahan, bengkak dan hangat,
serta dapat dirasakan di sekitar daerah penusukan. Flebitis adalah komplikasi yang
sering dikaitkan dengan terapi IV. Ada sejumlah faktor yang dapat berkontribusi dan
meningkatkan risiko flebitis. Faktor-faktor ini (M. McCaffery dan A. Beebe, 1993)
antara lain:
1. trauma pada vena selama penusukan;
2. cairan infus bersifat asam atau alkali atau memiliki osmolaritas tinggi;
3. penusukan ke pembuluh darah yang terlalu kecil;
4. menggunakan jarum yang terlalu besar untuk vena;
5. jarum infus lama tidak diganti;
6. jenis bahan (kateter infus) yang digunakan;
7. riwayat pasien dan kondisi sekarang;
8. kondisi pembuluh darah;
9. stabilitas kanul;
10. pengendalian infeksi.
Penyebab flebitis dapat digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu secara mekanis,
kimiawi,dan bakteri. Flebitis yang terjadi secara mekanis (mechanical flebitis) terjadi
ketika ukuran kanul terlalu besar sehingga menyebabkan gesekan pada area internal
pembuluh darah yang mengakibatkan radang. Semakin rendah atau tinggi pH dari
obat atau larutan, semakin besar risiko radang pembuluh darah (chemical flebitis)
terjadi. Bacterial flebitis dapat disebabkan oleh teknik asepsis yang tidak benar selama
mencampurkan obat dan larutan atau saat penusukan serta saat perawatan.
Pencegahan meliputi:
1. mengikuti teknik asepsis selama penusukan dan saat pencampuran obat;
2. rotasi tempat pemasangan;
3. menggunakan jarum yang sesuai dengan ukuran vena;
4. pemantauan berkala area IV line;
5. pendidikan pasien tentang tanda dan gejala dari flebitis;
6. pilihan perangkat IV yang tepat;
7. mengikuti pedoman pengenceran obat, untuk mencegah partikel dan untuk
memastikan bahwa obat atau solusi tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah kadar
pH atau kepekatannya.
Visual Infusion Phlebitis (VIP) adalah alat yang sangat populer untuk memantau
area pemasangan infus. Alat ini direkomendasikan untuk memantau area infus. Pada
tahun 2006 Paulette Gallant dan Alyce Schultz alat ini digunakan untuk memantau
kapan penggantian jarum harus dilakukan (M. McCaffery dan A. Beebe, 1993).
Dua dari tanda berikut ialah: 2 Tahap awal flebitis Pindahkan kanul
• nyeri pada IV line
• kemerahan
• pembengkakan
Semua tanda-tanda berikut jelas: 3 Tahap menengah flebitis Pindahkan kanul,
• nyeri sepanjang kanul Pertimbangkan pera-
• kemerahan watan infeksi
• pembengkakan
Semua tanda-tanda berikut adalah 4 Tahap lanjut flebitis atau Pindahkan kanul,
nyata: awal tromboflebitis Pertimbangkan pera-
• nyeri sepanjang kanul watan infeksi
• kemerahan
• pembengkakan
• vena teraba keras
Semua tanda-tanda berikut adalah 5 Stadium lanjut trom- Memulai perawatan
nyata: boflebitis infeksi
• nyeri di sepanjang kanul
• kemerahan
• pembengkakan
• vena teraba keras
• pireksia
Perawatan Diri
• Angka tidak terpenuhinya kebutuhan mandi, berpakaian, dan eliminasi yang
disebabkan oleh keterbatasan diri.
• Angka tidak terpenuhi kebutuhan diri (mandi, toilet pada tingkat ketergantungan
parsial dan total).
Persentase kebutuhan perawatan diri pasien:
Jumlah pasien yang tidak terpenuhi kebutuhan diri × 100%
Jumlah pasien dirawat dangan tingkat ketergantungan parsial dan total
Terdapat enam aktivitas yang diperhatikan dalam perawatan diri hal makan,
BAK/BAB, mengenakan pakaian, pergi ke toilet, berpindah dan mandi. Dari
enam aktivitas tersebut penilai dapat mengategorikan pasien kedalam kelompok
yang mana.
Keterangan: mandiri berarti tanpa pengawasan, pengarahan, atau bantuan aktif dari
orang lain. Seseorang yang menolak untuk melakukan suatu fungsi dianggap tidak
melakukan fungsi, meskipun ia dianggap mampu.
Kepuasan Pasien
Teknik Pengukuran
Beberapa teknik pengukuran ialah teknik rating, pengukuran kesenjangan, dan indeks
kepuasan.
1. Teknik Rating (Rating Scale).
Teknik ini menggunakan directly reported satisfaction, simple rating, semantic
difference technique (metode berpasangan).
2. Teknik pengukuran langsung (directly reported satisfaction).
Teknik pengukuran langsung menanyakan pasien atau pasien tentang kepuasan
terhadap atribut. Teknik ini mengukur secara objektif dan subjektif. Objektif
bila stimuli jelas, langsung bisa diamati, dan dapat diukur. Sebaliknya, subjektif
bila rangsangan stimuli sifatnya intangible dan sulit ditentukan, sehingga lebih
dikenal sebagai pengukuran persepsi. Asumsi dasar teknis ini ialah hasil telaah
tentang selisih manfaat dengan pengorbanan atau risiko yang diantisipasi. Hasil
di sini memberikan informasi tenyang mutu layanan.
Instrumen ini (directly reported satisfaction) meminta individu menilai 1)
derajat kesukaan, 2) persetujuan, 3) penilaian, 4) tingkat kepuasan yang dapat
dinyatakan dalam teknik skala. Skala penilaian bisa ganjil atau genap (rating
scale).
Dalam penetapan banyakanya skala genap bisa 1 sampai 4, 6, 8 atau 10. Analisis
hasil dengan skala dapat ditentukan atas nilai rerata dan simpangan bakunya.
Dominan bila kurang dari nilai rerata (bila skala positif, bila skala negatif diambil
lebih dari nilai reratanya). Teknik ini banyak dipakai pada teori kepuasaan yang
menggunakan stimulo value judgement reaction.
Prosedur metode untuk skala directly reported satisfaction melalui langkah
awal pertama, yaitu tentukan skala standar. Skala ini bisa berdasarkan nilai skala
tengah dari pengukuran dan bisa dietentukan oleh peneliti berdasarkan tujuannya.
Langkah kedua adalah menghitung nilai rerata. Nilai rerata komposit adalah
penjumlahan nilai skala dari individu yang diamati dibagi jumlah individu.
3. Metode berpasangan.
Metode berpasangan menyediakan beberapa objek yang harus dinilai, kemudian
individu tersebut disuruh memilih pasangannya. Metode berpasangan sering
dipakai karena lebih mudah menentukan pilihan antarkedua objek pada satu
waktu yang bersamaan. Misal: tingkat tanggap (response) perawat tehadap
keluhan pasien.
Disconfirmation Perception
Bandingkan apa yang Anda terima dengan apa yang Anda ketahui dengan rumah
sakit lain atau harapan Anda? Tulislah harapan Anda terhadap pelayanan dalam hal
tersebut.
Tabel 11.9 Tabel Penilaian Disconfirmation Perception
Sedikit
Sangat Sedikit tidak Tidak Buruk
Menyenangkan Menyenangkan menyenangkan Netral senang Senang Sekali
1 2 3 4 5 6 7
Kenyamanan
Fenomena nyeri timbul karena adanya kemampuan sistem saraf untuk mengubah
berbagai stimulus mekanis, kimia, termal, elektris menjadi potensial aksi yang
dijalarkan ke sistem saraf pusat. Nyeri merupakan suatu mekanisme protektif bagi
tubuh yang akan muncul bila jaringan tubuh rusak, sehingga individu akan bereaksi
atau berespons untuk menghilangkan mengurangi rangsang nyeri. Nyeri adalah
sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan dengan kerusakan
jaringan aktual atau potensial.
Kecemasan
Kecemasan merupakan reaksi pertama yang muncul atau dirasakan oleh pasien dan
keluarganya di saat pasien harus dirawat mendadak atau tanpa terencana begitu mulai
masuk rumah sakit. Kecemasan akan terus menyertai pasien dan keluarganya dalam
setiap tindakan perawatan terhadap penyakit yang diderita pasien.
Cemas adalah emosi dan merupakan pengalaman subjektif individual,
mempunyai kekuatan tersendiri dan sulit untuk diobservasi secara langsung. Perawat
dapat mengidentifikasi cemas lewat perubahan tingkah laku pasien.
Cemas adalah emosi tanpa objek yang spesifik, penyebabnya tidak diketahui dan
didahului oleh pengalaman baru. Takut mempunyai sumber yang jelas dan objeknya
dapat didefinisikan. Takut merupakan penilaian intelektual terhadap stimulus yang
mengancam dan cemas merupakan respons emosi terhadap penilaian tersebut.
Kecemasan adalah suatu kondisi yang menandakan suatu keadaan yang
mengancam keutuhan serta keberadaan dirinya dan dimanifestasikan dalam bentuk
perilaku seperti rasa tidak berdaya, rasa tidak mampu, rasa takut, fobia tertentu.
Kecemasan muncul bila ada ancaman ketidakberdayaan, kehilangan kendali,
perasaan kehilangan fungsi-fungsi dan harga diri, kegagalan pertahanan, perasaan
terisolasi.
3. Teori perilaku.
Kecemasan merupakan hasil frustasi segala sesuatu yang mengganggu kemampuan
untuk mencapai tujuan yang diingikan. Para ahli perilaku menganggap kecemasan
merupakan suatu dorongan, yang mempelajari berdasarkan keinginan untuk
menghindari rasa sakit.
Pakar teori meyakini bahwa bila pada awal kehidupan dihadapkan pada rasa
takut yang berlebihan maka akan menunjukkan kecemasan yang berat pada masa
dewasanya. Sementara para ahli teori konflik mengatakan bahwa kecemasan
sebagai benturan-benturan keinginan yang bertentangan. Mereka percaya bahwa
hubungan timbal balik antara konflik dan daya kecemasan yang kemudian
menimbulkan konflik.
4. Teori keluarga.
Gangguan kecemasan dapat terjadi dan timbul secara nyata dalam keluarga,
biasanya tumpang tindih antara gangguan cemas dan depresi.
5. Teori biologi.
Teori biologi menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor spesifik untuk
benzodiasepin. Reseptor ini mungkin memengaruhi kecemasan.
Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003: 121) pengetahuan merupakan hasil “tahu”,dan ini terjadi
setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Jadi pengetahuan
ini diperoleh dari aktivitas pancaindra yaitu penglihatan, penciuman, peraba dan indra
perasa, sebagian basar pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan/kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003: 121). Penelitian Rogers (1974) dalam
buku pendidikan dan perilaku kesehatan (Notoatmodjo, 2003 dan Nursalam, 2007)
mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang
tersebut terjadi proses yang berurutan, yaitu:
1. awareness (kesadaran) ketika seseorang menyadari dalam arti mengetahui terlebih
dahulu terhadap stimulus (objek);
2. interest (tertarik), ketika seseorang mulai tertarik pada stimulus;
3. evaluation(menimbang-nimbang)terhadapbaikdantidaknyastimulustersebutbaginya;
4. trial (mencoba), ketika seseorang telah mencoba perilaku baru;
5. adoption (adaptasi), ketika seseorang telah berperilaku baru yang sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.