Anda di halaman 1dari 81

Seberkas Cahaya

Bahwa kegelapan tidak benar-benar gelap

Oleh:

Nadia Amalia
Isi Buku
Kata Pengantar ......................................................................................................................... iii
1. Kehilangan .......................................................................................................................... 1
2. Tentang Ayah dan juga Kak Rina....................................................................................... 9
3. Pertemuan ......................................................................................................................... 14
4. Berjumpa Kembali ............................................................................................................ 21
5. Kesepakatan ...................................................................................................................... 25
6. Diary Bunda ..................................................................................................................... 31
7. Lepas Kontrol ................................................................................................................... 36
8. Kesalahpahaman ............................................................................................................... 42
9. Rahasia.............................................................................................................................. 46
10. Sahabat (?) ........................................................................................................................ 56
11. Takdir ................................................................................................................................ 60
12. Berbaikan dengan Ayah dan Janji kepada Sherry............................................................. 64
13. Pengakuan ......................................................................................................................... 71

ii
Kata Pengantar

Buku ini menceritakan kisahku dan orang-orang terdekatku.


Ya, jadi begini. Perkenalkan namaku Adit Prasetya, biasa dipanggil Adit. Aku pelajar
yang lumayan populer di sebuah SMA swasta, khususnya di kalangan cewek. Bukannya
sombong, hanya kenyataan. Rey, abangku, juga sekolah di SMA yang sama begitu juga
dengan Soni dan Cyntia, sahabatku. Kami melewati masa-masa sulit bersama. Kalo ingat
masa-masa itu, aku jadi sedih. Tapi aku juga bahagia karena kami melewatinya bersama.
Sukanya ada, nggak cuma duka doang. Hanya saja … ah sudahlah nanti kalian baca sendiri.
Kalo ditanya buku ini untuk siapa, kurasa untuk orang-orang yang kusayangi,
terutama untuk Rey, abangku. Dia sudah berkorban banyak untukku. Sampai cerita ini
sampai di tangan kalian, aku sering merindukannya. Tapi Rey telah berjanji kami akan
bertemu di waktu yang tepat.
Dan juga, buku ini untuk bunda. Wanita nomor satu yang paling kucintai. Aku tidak
akan melupakan kelembutan hati bunda sampai kapanpun juga.
Di sini juga diceritain gimana aku bisa bertemu kembali dengan ayahku. Kalau
diingat-ingat kembali, bagaimana hubungan kami dulu begitu rumit. Dan tentu saja, buku ini
menceritakan bagaimana aku bisa menemukan cinta sejatiku. Dia selalu datang saat aku
membutuhkan. Aku bersyukur karena itu. Hal ini juga tidak terlepas dari pertolongan Soni
dan tentu saja abangku Rey.
Kuucapkan juga terima kasih kepada Nadia Amalia yang telah mendengar curhatan
kami dan menuliskannya menjadi buku. Buku ini tidak akan sampai ke tangan kalian kalau
bukan karena hasil kerja kerasnya.
Sekian dulu ya dari aku.

Salam,
Adit Prasetya

iii
1. Kehilangan

Aku tak suka jika Rey mulai berbuat seperti itu. Dia seperti bukan kakakku. Satu-
satunya yang ia risaukan adalah gagal memasukkan bola ke ring. Tapi kulihat dia begitu
marah padaku seperti perempuan.

“Aku nggak berani bilang karena lo bakal khawatir nantinya … lo kan harus menang
basket.” ujarku.

Rey meremas tangannya. Tangannya yang besar dan bahunya yang lebar bergetar.
“Lo nggak berperasaan amat sih? Bunda kecelakaan, lo malah telat bilang ke gue?! Bunda
bisa aja diambang maut, Dit!”

Tiba-tiba jantungku berdebar kencang. Rey suka melebih-lebihkan sesuatu. “Lo kalo
mau nakut-nakutin liat sikon dong! Ngga lucu tau!”

Sedetik kemudian bahu Rey melemas. Dia mundur dan duduk perlahan di ruang
tunggu UGD. Aku duduk mengikutinya kemudian. Aku tahu ia tak tahan berdebat denganku.

“Gue menang! Puas lo?!” ujar Rey.

Apa? Puas? Bukannya Rey yang selama ini ngotot memenangkan pertandingan itu?
Bukannya Rey yang selama ini menginginkan beasiswa itu? bukannya Rey yang selama ini
ingin segera hengkang dari rumah?

“Tapi wajah lo nggak kelihatan senang? Bunda memang kecelakaan tapi kata
dokter…”

Sebelum aku menyelesaikan kalimat, seorang perawat keluar dari ruang UGD. Dia
menatap kami. “Maaf, siapa diantara anda yang bergolongan darah B?”

Rey langsung berdiri. “Saya Dok!”

“Mari ikut saya. Ibu anda membutuhkan darah segera” ujar perawat itu.

Rey dan perawat itu pergi meninggalkanku.

***

1
“Bunda! Jangan tinggalkan Adit!”

Kulihat bunda berjalan menjauhiku.

“Bundaaa … !!”

Seseorang menarikku. Aku menoleh.

Rey?

“Dit!”

“Bunda! Bunda mana?” tanyaku.

Rey menatapku iba. Diambilnya selembar kain di meja sebelum dicelupkannya ke


dalam baskom berisi air di sampingku. Kemudian diletakkannya kain itu di keningku. “Ssst
… tidur lagi … lo harus cepet sembuh.”

“Bunda masih ada di sini kan?” ujarku. Aku tak tahu mengapa rasanya seperti dunia
berputar di sekelilingku dan badanku terasa menggigil.

Rey memejamkan matanya. Kemudian ia membukannya dan berkata. “Dit…, tolong


jangan gini terus… gue sedih liat lo kaya gini.”

Lalu, aku mulai ingat, segala kejadian itu.

“Bundaaa!”

***

Sudah dua bulan sejak aku dan Rey kehilangan bunda. Rey bisa mengatasinya.
Kulihat ia begitu tabah. Aku masih tak percaya kami telah kehilangan bunda. Bundaku.
Cahaya kehidupanku.

“Makan! Gue ngga mau lo sakit lagi.” Rey menyodorkan sepiring sup ke hadapanku.

“Nggak mau,” aku menjawab. Tipikal Rey. Seakan makan hal yang penting di saat
seperti ini.

“Kenapa?,” Rey bertanya seperti ia tak benar-benar peduli dengan apa yang
kurasakan.

2
“Nggak selera.” Aku berkata apa adanya. Memang rasanya tak enak makan saat
suasana hati sedang kacau.

“Terserah lo ah!”Rey berjalan ke kamarnya lalu membanting pintu.

Krucukkkk. Terdengar suara perutku. Walau lapar, aku merasa tak ingin makan.

Beberapa saat kemudian, pintu kamar Rey terbuka.

“Gue mau keluar dulu,” ujar Rey.

“Terserah lo.” Aku menjawab sekenanya.

“Makan! Gue udah susah-susah bikinnya.”

Aku hanya diam tak menjawab.

***

“Woi! Udah sembuh lo!” Soni menepuk bahuku. Di sodorkannya bakmi ayam
dihadapanku. Kami sedang berada di kantin sekolah. “Makan gih, lo kurusan.”

Aku melirik bakmi ayam itu tanpa selera. Kualihkan pembicaraan. “Si Cyntia nyariin
gue?”

“Lo kayak nggak tau si Cyntia aja… dia….”

“ADIT!!”

Aku dan Soni menoleh. Cyntia berjalan cepat ke arah kami. “Aku nelpon lo terus! ga
diangkat! Sori soal nyokap lo….”

Soni kembali menepuk bahuku. “Yang kuat, Dit.”

Mereka tak tahu aku sudah berusaha keras melupakan kejadian itu.

“Gimana kakak lo? Si Rey? Baik kan dia?”

Aku mendengus. “Baik.”

Kurasa Rey akan baik-baik saja walau seseorang mengatakan padanya bahwa besok
kiamat.

3
Bunyi bel masuk terdengar. Sebenarnya aku malas masuk ke kelas. Semua pelajaran
itu masuk kuping kiri keluar kuping kanan.

“Cabut dulu lo?” Soni seperti mengerti apa yang ada di pikiranku.

“Ayo,” jawabku.

Cyntia menjewer telinga kami. “Lo berdua mau dihukum ya?”

“Aduduh… sakit nih!” Soni memprotes. Aku tak bisa menyembunyikan senyum
walau juga merasa sakit. Jeweran Cyntia lumayan keras juga. Dengan langkah seribu kami
segera keluar dari kantin, meninggalkan Cyntia yang uring-uringan sendiri.

***

Bunga-bunga di halaman mulai layu. Bunda suka sekali bunga-bunga itu, terutama
bunga kamboja. Bunga-bunga ini mengering seiring kepergian bunda. Rey mana peduli
dengan bunga-bunga ini. Basket adalah satu-satunya yang dipikirkannya. Hidupnya hanya
untuk basket. Tujuan utamanya adalah memperoleh beasiswa salah satu universitas terkenal
di luar kota melalui jalur prestasi.

“Udah makan lo?” Rey datang entah dari mana. Pasti dari latihan basket. Rambutnya
basah dan baju olahraganya penuh dengan keringat. Entah kenapa aku selalu teringat dengan
kejadian yang menimpa bunda jika melihat Rey selesai latihan basket.

“Bukan urusan lo juga.” jawabku. Aku tak suka kakakku memperlakukanku seperti
anak kecil.

“Adit!”

“Udah! Udah!”, kujawab pertanyaannya agar ia tak bertanya terus. Aku bukan robot.
Tentu saja aku butuh makan pada akhirnya.

“Mandi lo! udah busuk banget bau lo!, lo ngga ingat apa pas lo sakit gue yang
ngelapin lo … lo udah sakit dua minggu lebih … bla … bla …”

Aku mendengar omelan Rey dengan tak acuh. “Iya… iya…, lo ngaca dong! Paling
busukan elo!”

4
Rey berlari mengejarku. Untung aku segera masuk kamar mandi. Terdengar bunyi
orang terpleset. Hahaha … pasti Rey terkena jebakanku. Aku sudah memasangnya sebelum
Rey pulang.

“WOI, GILA LO! LO KAN YANG NARUH TAMIYA DI SINI!”

Aku membuka pintu kamar mandi. Rey tampak kesakitan sambil mengusap
kepalanya.

“Hahaha… liat tampang lo!”

“Udah gila lo ya?! Gue bisa gegar otak tolol!”

“Eh masa?” aku memasang tampang serius. “Lo malah jadi pinter kali!”

Kututup pintu kamar mandi sebelum kena damprat si Rey.

***

Hujan turun. Tanganku membelai Telon, kucing peliharaan bunda. Seringkali kucing
ini ketakutan saat hujan.

Bunda, baik-baik ya disana.

Rey tak pulang selama tiga hari. Aku mengajak Soni menginap di rumahku. Rey
mengerahkan seluruh tenaga dan waktunya untuk latihan basket. Dia berkata padaku di
telepon untuk beberapa hari ia akan menginap di rumah pelatihnya untuk latihan intensif.
Walaupun kakakku itu menjengkelkan, rasanya aneh jika ia tak ada.

“‘Tu kucing tua banget ya!” Soni nongol dari kamarku.

“Hmm …, udah delapan tahun umurnya ….”

Soni mengambil dua minuman kaleng di kulkas lalu menghempaskan pantatnya di


sampingku.“Si Rey kapan baliknya?”

“Dua hari lagi ….” aku menghela napas.

“Gue ada kencan hari ini.” Soni mengerling seraya menyeringai kepadaku.

Aku langsung teringat Sania, gebetan Soni. Gadis itu cantik juga. “Ati-ati tuh jaga
gebetan lo ….”

5
“Iya… iya… lo kayak kakek-kakek aja nasihatin gue!” ujar Soni.

Aku menyeringai. Soni paling tak suka dinasihati.

“Titip beliin gue es krim ya!” ujarku.

“Iya.. iya… yang rasa strawberry kan?”Soni bangkit lalu ngeloyor pergi.

***

Rey telah pulang. Namun, aku tak menyangka ia pulang hanya untuk mampir dan
memberitahukan bahwa latihan intensifnya diperpanjang. Dia terfokus pada latihan basket
seakan-akan tak ada hal lain yang dapat dilakukan selain itu.

“Lo nggak akan ninggalin gue lagi kan?” ujarku. Entah mengapa rasanya tak enak
melihatnya keluar masuk rumah. Lagipula Soni tak senantiasa menginap di rumahku.

“Lo akan baik-baik aja.” Rey tersenyum lalu merangkul leher dan menggosok
kepalaku. “Jaga rumah baik-baik selama gue ga ada,” diliriknya Soni. “Jaga adik gue.”

“Siap bos!”Soni meletakkan tangannya di pelipis. Soni tak berpikir dua kali untuk
mengiyakan seluruh perkataan Rey. Kurasa ia menyimpan sedikit rasa kagum pada kakakku.

Aku melepaskan rangkulan Rey dan merapikan rambutku. “Pacar lo gimana?”

Rey kembali tersenyum. “Rina … drama bentar … tapi dia nerima kok ”

Tiba-tiba aku merasa kasihan pada Kak Rina, cewek Rey. Gadis itu sering ditinggal
Rey. Aku, Rey dan Soni satu sekolah dengan Kak Rina. Aku sering melihat Rey dan Kak
Rina berpacaran di belakang sekolah.

“Ya udah kalau mau pergi-pergi aja,” ujarku ketus.

“Woa… woa… lo bakal kangen gue Dit,” ujar Rey.

Aku hanya mendengus.

Mobil yang menunggu Rey telah membunyikan klaksonnya. Aku dan Soni segera
membantu Rey mengangkut barang-barangnya.

Entah kenapa aku teringat masa kecilku. Saat itu, aku pulang dengan wajah murung
karena timku kalah main bola. Hujan mengguyurku seakan ikut berduka dengan kekalahanku.

6
Aku berjalan tak tentu arah karena memikirkannya begitu dalam. Setelah cukup lama
berjalan, kakiku mulai terasa capai dan aku pun istirahat di dalam pipa beton di sebuah
lapangan. Tubuhku mulai menggigil, kurasakan badanku panas dingin. Hujan semakin deras
turun, memercikkan airnya ke punggung kakiku. Saat itulah seseorang datang. Aku menoleh.
Kulihat Rey menatapku. Sebelah tangannya memegang payung.

“Kenapa lo disini?” tanya Rey.

Kuacuhkan dia. Aku sedang tak ada mood untuk berbicara.

“Gue tanya, kenapa kok?!”

Aku kesal dengan bentakkannya. Kubalas dia dengan bentakan. “Tim gue kalah!”

Tanpa kusangka, Rey malah tertawa terbahak-bahak.

“Haha … kirain haha … ayo pulang!” akhirnya ia berkata disela-sela tawanya.

Aku mendorongnya kuat-kuat. Kami berguling-guling di tanah becek di bawah hujan


selama sesaat. Setelah kurang lebih setengah jam, akhirnya kami melepaskan diri sambil
terengah-engah. Aku bangkit dan kembali ke dalam pipa.

Kutahu Rey mengikutiku. Kuabaikan dia.

“Jangan frustasi gitu ah! Lo kan bisa nyoba lagi lain kali!” Rey berkata.

Aku diam membisu. Aku tahu betul perkataan Rey benar, aku hanya tak suka dia
mengatakannya untukku.

“Pulang! Gue tinggal nih!” ujar Rey

“Lo kalo mau pergi-pergi aja!” aku berkata.

“Hah! Ya sudah!,” Rey melemparkan payung ke sebelah kakiku. Setelah beberapa


lama kemudian tak kudengar lagi suaranya.

Setelah kurasa dua jam duduk, aku mulai batuk-batuk dan menggigil hebat. Kakiku
melemas dan tenggorokanku terasa kering. Aku mencoba untuk berbaring dan memeluk
tubuhku.

7
Kesal mengakuinya, namun aku berharap tadi ikut Rey saja. Aku merangkak keluar
dan terjatuh di atas tanah becek. Mataku terasa berat.

“Lo keras kepala banget!”

Kubuka mataku. Rey tampak berdiri di sebelahku. Kurasakan tangannya menopang


punggungku.

***

“Adit! Ngelamunin apa lo??” Terdengar suara Soni tepat di samping telingaku.

“Nggak ada.”

“Jaga Telon woi!” Rey berteriak dari jendela mobil. Kemudian mobil melaju pergi
meninggalkan kami.

8
2. Tentang Ayah dan juga Kak Rina
Aku tak pernah menyukai ayahku. Dia kerap menyiksaku dan Rey. Untunglah ibu
mengusirnya. Aku berharap tak bertemu dengannya kapanpun juga. Kalau saja aku bertemu
dengannya, dia tak akan kuakui sebagai ayah. Aku ingat saat pertama kali ayah mengajakku
ke kebun binatang, seakan tak akan ada masalah setelah itu. Tapi semuanya berubah drastis
saat uang ayah menipis. Perusahaan ayah tak bertahan lama. Seketika ia bangkrut. Ayah
menjadi frustasi dan mulai memukul kami, terutama Rey. Rey sering dipukul karena
menutupi kesalahanku. Bekas luka itu masih ada di sekujur tubuhnya. Aku tak tahu apakah
Rey berusaha menunjukkan diri sebagai kakak yang baik atau dia hanya tak takut pada ayah.
Aku merasa berhutang padanya.

“Meowww…!!” Kudengar suara si Telon dari arah ruang tamu. Pasti kucing tetangga
masuk rumah lagi. Tua-tua gitu, si Telon banyak gebetannya.

Kakiku melangkah, ingin memeriksa keadaan si Telon. Bagaimanapun juga, Rey


memintaku untuk menjaganya.

“Lha, kirain Kak Rey!” Cyntia muncul di depan pintuku. Pipinya menggembung. Ia
terlihat kecewa. “Kak Rey kemana?”

“Latihan intensif.”

Cyntia ngeloyor masuk dan menghempaskan pantatnya di sofa ruang tamu.


Tangannya meraba-raba bantal sofa. “Kapan baliknya?”

Aku menghela napas. Selalu Rey yang ditanyakan Cyntia. “Tiga hari lagi”

“YAAAHHH…”

“Napa? Mau ikut lo? Sana!” ujarku.

“Ih…!”

Soni muncul dari kamarku sambil mengusap-usap rambut gondrongnya. Dia


menginap di rumahku. “Berisik banget dah! Gue nggak bisa tidur! Lha, ngapain lo di sini
Cyn?”

“Emang nggak boleh?” tanya Cyntia.

9
“Dia kepikiran abang gue …” aku menyeletuk.

Cyntia melempar bantal ke wajahku. “Ih, cuma main doang kok.”

Aku tak suka jika Cyntia terlalu terpaku pada Rey. Rey sudah punya pacar. Apakah
Cyntia tidak menyadari bahwa perbuatannya sia-sia saja?

“Ayo anterin gue ke mall!” seketika Cyntia bergelayut di lenganku. Dadaku bergetar,
entah mengapa.

“Lo kalo mau ngajak liat sikon dong! Udah hampir malem nih” Soni nyeletuk. Cyntia
melepaskan pegangannya padaku. “Lagian ngapain sih malem-malem ke mall?”

Tiba-tiba Cyntia tersenyum. Pipi chubby-nya bersemu merah. Dia terlihat cantik. “Lo
nggak peka sih! Besok ayah gue ulang tahun … mau nyari kado nih …”

“Lo kasih pijatan penuh cinta, bokap lo paling ‘dah seneng!” Soni nyeletuk. Dia
memang suka menggoda Cyntia.

“‘Pala lo!” Cyntia membalas. Dia kembali memegang lenganku. “Anterin ya Dit! Lo
kan baik! Nggak kaya Soni!”

“‘Ni cewek!”Soni mengangkat kepalan tangannya. Cyntia hanya menjulurkan


lidahnya.

Rey tak ada di rumah. Semua game-ku sudah kumainkan semua bersama Soni. Tak
ada salahnya menyenangkan hati Cyntia.

“Bentar, gue ganti baju dulu,” ujarku.

Cyntia kembali tersenyum. “Lo baik banget deh, Dit!”

***

Buatku, aku tak pernah punya ayah. Ayah adalah sosok yang tak pernah kumiliki.
Aku tak pernah mengingat hal baik yang pernah dilakukannya padaku. Ayah meninggalkan
kami saat umurku tujuh tahun. Aku ingat peristiwa itu …

***

10
“Dasar laki-laki jahanam! Pergi kau dari sini!” Bunda melepas sepatunya dan
melemparkannya pada ayah. Rey di hadapan ayah. Penuh dengan lebam.

Aku merasa syok. Bunda dan aku baru saja kembali dari sekolahku saat melihat ayah
kembali memukuli Rey. Muka Rey pucat sekali. Tapi ia tak menangis.

Ayah melepaskan Rey, maju dan menampar bunda. Aku berteriak pada ayah agar ia
tak menyakiti bunda. Kebencian pada ayahku memuncak.

Aku berlari ke luar rumah, berharap seseorang dapat menolong kami. Seseorang
lewat. Aku segera berlari ke arahnya. Kusadari itu paman. Anak angkat kakek.

“Paman, bunda… bunda… ayah pukul bunda…” aku berkata pada paman.

Paman menatapku iba. Digenggamnya tanganku lalu dituntunnya aku masuk rumah.

Kemudian, kulihat Rey berusaha melerai ayah dan bunda. Wajah bunda penuh lebam.
Aku ingin berlari ke arah bunda namun paman mencekram tanganku.

“Tunggu disini.” ujar paman.

Paman melangkah maju. Seketika ia membabi buta memukul ayahku. Entah mengapa
hatiku terasa sakit. Padahal aku tahu ayah pantas mendapatkannya.

***

“Dit!”

“…”

“Dit!”

Cyntia menyadarkan lamunanku. Kami sedang berada di mall. “Lo ngelamunin cewek
yang baru lewat itu ya?”

“Cewek?”

Cyntia memutar bola matanya. “Hah… sudah lupain.”

Aku merasa sesak tiap kali mengingat peristiwa itu. Campuran antara perasaan sedih
dan marah beradu menjadi satu. Seharusnya aku tak memiliki memori itu. Tanganku
mengepal erat.

11
“Lo ga apa-apa Dit?” Cyntia meraba keningku. “Lo kelihatan pucet, masi sakit lo?”

Tangan Cyntia terasa nyaman di keningku. Kupejamkan mataku sejenak. Kuraba


tangannya. Namun kami seketika merasa canggung sehingga Cyntia melepaskan tangannya
dari keningku.

“Nggak lagi,” kutatap lurus Cyntia. “Berkat lo.”

“Udah deh nggombalnya,” Cyntia mencibir.

Aku tersenyum getir. Cyntia tidakkah kau tau … aku …

“Lho, kalian di sini?”

Aku dan Cyntia menoleh. Tampak di hadapan kami seorang gadis tinggi berambut
panjang tersenyum pada kami. Kak Rina. Cewek Rey.

Cyntia tersenyum lebar. “Kak Rina!”

Aku menatap lurus gadis di hadapanku. Kak Rina begitu cantik. Kurasa Rey sangat
beruntung.

“Lagi shopping ya, Kak?” Cyntia bertanya.

Kak Rina tersenyum. “Iya, sama ibu”

Kak Rina menoleh padaku. “Lo tambah ganteng Dit!”

Aku tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya, aku hanya mengangguk kikuk dan
berkata, “Makasih kak.”

Kurasakan mata Kak Rina menatapku lekat. “Lo mirip banget sama Rey, kirain
beneran dia”

“Ah … Kak Rina … Adit mah kalah ganteng sama kakaknya!” Celetuk Cyntia.
Kucekek dia main-main.

Cyntia mencubit pahaku. Aku mengaduh kesakitan. Terpaksa kulepaskan lenganku


dari lehernya. Cyntia kembali berkata,“Kakak paling cantik! Kak Rey nggak bakalan
selingkuh deh!”

Kak Rina tertawa. Tawanya benar-benar renyah. Seperti penyiar radio.

12
“Gue tau itu lo kok Dit!” Kak Rina menyentuh pipiku. “Lo kalo senyum, bibir lo
miring ke kiri”

Tanganku bergerak memegang jari-jari Kak Rina. Jari-jarinya begitu halus. Cepat-
cepat kulepas karena aku tahu itu tak sopan. Kak Rina hanya tersenyum melihat tingkahku.

Kak Rina pergi meninggalkan kami karena ibunya telah memanggilnya.

Aku menatap kepergian Kak Rina sambil mengusap pipiku.

13
3. Pertemuan

Seharusnya ayah dan bunda tak menikah. Rey dan aku tak bakal lahir. Kami tak perlu
memendam kebencian begitu mendalam. Aku tak tahu mengapa aku dilahirkan. Semuanya
terlihat tak pasti dan tak nyata. Kutahu aku bersikap seperti orang yang tak pandai bersyukur.
Hanya saja luka itu terlalu dalam bagiku.
Aku punya tempat persembunyian. Tempat dimana aku menjadi diriku sendiri. Tak
ada yang mengetahui tempat itu selain Rey. Kutenangkan diriku di sana. Sekolah seperti
biasa, monoton. Untunglah aku tahu tempat yang lebih baik.
Kulangkahkan kakiku menuju danau itu. Terpencil, tak banyak yang tahu. Kulepas
sepatuku dan kucelupkan kakiku ke dalamnya. Sejuk sekali rasanya.
“Nggak ada buayanya kan?”
Aku terlonjak. Sebuah suara mengagetkanku. Aku menoleh. Tampak seorang gadis
berambut kuncir ekor kuda di sebelahku.
“Atau ular danau mungkin?”
Aku mengerutkan dahi. Bingung.
Gadis itu melepas sepatunya dan duduk di sebelahku.
“Sherry..” diulurkannya tangannya padaku.
“Hah?”
Gadis itu menjabat tanganku dan menggoyang-goyangkannya. “Salam kenal ‘Hah’.”
Aku mulai dapat menguasai diri. “Nama gue bukan ‘Hah’.”
Mata bulatnya membesar. “Siapa dong?”
Aku diam saja.
“Adit Prasetya” ujar gadis itu.
Aku menoleh padanya. Bagaimana…?
“Tuh di baju lo!”
Pantas saja… kusadari aku masih memakai seragam sekolahku.
“Lo seharusnya nggak datang ke sini,” gadis itu menatapku. “Lo nggak tau? Tempat
ini terkutuk.”
Berani-beraninya …
“Lagian, lo kenapa ke sini?!”aku berkata dengan nada sewot.
Tanpa diduga, gadis itu tertawa. “Terkutuk buat penyendiri kaya lo.”
Kenapa dia kerap membuatku bingung? Lagaknya benar-benar tak terduga.
14
“Ini tempat gue,” aku memandangnya lurus. “Hanya gue yang boleh di sini.”
Gadis itu menatapku dengan pandangan bertanya-tanya. “Emang punya nyak lo?”
Aku menarik napas dalam-dalam. Tiba-tiba saja kepalaku pening menghadapi gadis
yang satu ini.
“Gue duluan yang di sini,” aku menunjuk wajahnya. “Lo baru dateng”
“Ck… ck… ck…,” gadis itu menggelengkan kepalanya. “Tunggu sampe gue bilang
Alex.”
Aku mencibir. “Alex?”
“Roh,” gadis itu menjawab mantap.
Entah mengapa aku merinding. Mata coklat gadis itu mengerjap-ngerjap jahil.
“Lex …,” gadis itu bersuara. “Tempat lo di ganggu nih.”

***

Aku tak habis pikir. Gadis itu kelihatan waras. Apa dia hanya ingin menggangguku?

Aku berjalan hilir mudik di kamar. Peristiwa tadi teringat olehku sampai aku
menyadari sesuatu.

Rasanya kok ada yang aneh ya? Kok celanaku terasa ringan?

Kuraba kantong celanaku.

Astaga, dompetku! Dompetku hilang!

“Muka lo kusut banget Dit”

Aku menoleh. Soni baru saja keluar dari kamar mandiku. Dia sedang main di
rumahku.

“Kenapa lo?”tanya Soni.

“Lo tau dompet gue nggak Son?” tanyaku setengah panik pada Soni. Aku benar-benar
tak bisa kehilangan dompetku.

Soni mengedikkan bahunya. “Ye, mana gue tau!”

Aku dan Soni berusaha mencarinya di dalam rumah. Setelah satu jam mencari aku
mulai berpikir usaha kami sia-sia saja.

15
“Jatuh di luar kali, Dit!” Soni berkata. “Btw, lo habis kemana sih?”

Terpaksa aku katakan tempat persembunyianku pada Soni.

“Yaelah, cari coba di sono!” Soni menyarankan.

Tanpa babibu kami segera menuju tempat itu.

***

“Lha, nggak ada ‘tu Son!” aku berteriak sebal. Sudah kurang lebih satu jam kami
mencari.

Soni menghentikan pencariannya. Dia menoleh kepadaku. “Udah, ikhlasin aja …


susah kalo udah gini mah”

“Sial!” aku mengumpat. Padahal banyak kartu penting dalam dompet itu dan sebuah
surat yang kusimpan baik-baik.

Tunggu dulu, apa cewek itu … siapa namanya? Sherry? Yang nemuin dompetku?

Aku menggelengkan kepala. Nggak mungkin, pasti seharusnya udah dikembalikan


sama dia tadi.

Sherry … Sherry … kenapa aku teringat terus sama namanya?

“Lo…” aku berkata pada Soni. “Lo percaya sama roh?”

“Hah?” Soni berkata. “Roh penasaran maksud lo?”

“Cewek itu…”

Soni menungguku menyelesaikan kalimat.

“Ah, sudah lupain.”

Seketika aku merasa bodoh. Barangkali aku kemakan kebohongan Sherry.

“Lo mau gue temenin ke pusara nyokap lo?”

Seketika aku ingat telah berkata pada Soni akan ke pusara bunda.

“Boleh deh ….”

16
Bunda, tunggu aku.

***
Tanganku bergerak membersihkan pusara bunda. Biasanya aku datang kemari
bersama Rey. Rey biasa menenangkanku di sini.
“Adit?”
Aku menoleh. Seseorang memanggil namaku. Tampak seorang pria berusia akhir
empat puluhan berdiri di belakangku.
Kutatap bola matanya, hidungnya, dagunya. Kenangan lama kembali mengusikku.
Ayah?
Pria itu mengulurkan kedua tangannya ke arahku. Aku diam tak bergerak.
Ayah menunduk sambil menurunkan kedua tangannya. Bibirnya bergetar. “Ayah
kangen Adit.”
Dadaku terasa bergetar. Semua kenangan pahit itu terulang kembali. Aku belum
memaafkannya.
“Ayah tinggal di mana?” bibirku tiba-tiba berucap kata-kata yang sebenarnya tak
ingin kuucapkan.
“Dekat sini, ayah mengawasi kalian.”
Mengapa sosok pria ini ingin sekali kupeluk? Mengapa seorang ayah seperti dirinya
meninggalkan luka begitu dalam padaku?
“Ayah tak pernah melupakanmu Dit.”
Tolong, jangan berkata-kata lagi …
“Maafkan ayah …”
Aku melangkah perlahan kepadanya.
“Bunda meninggal gara-gara ayah,” kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku.
Padahal kutahu bunda meninggal karena kecelakaan. Aku hanya …
Ayah memegang bahuku. “Dit ….”
Kukibaskan tangannya dengan kasar. “Bunda mati gara-gara ayah!!!”
Ayah mencoba memegang lenganku.
Seketika kenangan itu kembali terulang.

***

“Sst …, Dit, masuk!” Rey menarik tanganku. Wajahnya penuh khawatir. “Dari mana
aja lo?”
17
Aku diam saja.

“Sakit nggak?” Rey mengusap punggung tanganku yang berdarah. “Si Tony malak lo
lagi?”

Aku terkejut. Rey selalu bisa membaca emosiku.

“Ayah ngamuk, Dit,” Rey memegang bahuku. “Lo bilang aja gue yang nggak sengaja
bikin lo jatuh.”

Aku menggeleng kuat-kuat. Rey tak ada hubungannya dengan ini. “Nggak”

“Ayah bakalan mukul lo Dit kalo dikiranya lo berantem.” Rey meniup punggung
tanganku. “Luka lo banyak, Dit.”

Aku menatap tubuhku. Lututku berdarah. Kedua sikuku lebam. Kurasakan darah
mengalir di pelipisku. Seragam SD-ku penuh darah. Aku benar-benar ingin menangis.

“Reyyyy!!!” terdengar suara ayah.

Jantungku berdetak kencang. Ketakutan merasukiku. Cepat-cepat aku bersembunyi di


balik tubuh Rey. Ayah melihatku. Ia menarik lenganku. Ditamparnya wajahku. Rasanya
panas sekali. Rey bergerak melindungiku. Ayah memukul wajahnya. Rey terjatuh dengan
mulut berdarah.

“Ayah …,” Rey menelan ludahnya dengan susah payah. “Ini semua salahku.”

Kedua mata ayah menatap Rey dengan amarah. Kedua tanganku mengepal. Aku
benar-benar membencinya.

“Adit …,” napas Rey mulai tersenggal. “Adit kupukul.”

“Kenapa kau pukul adikmu hah?!”

“Kami… kami berkelahi.”

Ayah melepas sabuknya. Dipukulnya Rey berkali-kali. Aku berlari menerjang ayah.

“Jangan pukul Rey!” Aku berteriak. “Bukan salahnya!”

“Diam kau!!” Ayah mendorongku.

18
Ayah kembali memukul Rey. Wajah Rey berubah pucat pasi. Tapi dia tidak berteriak
sedikit pun.

Kakiku melangkah keluar rumah. Bunda sedang berjualan. Aku harus segera
menyusul beliau!

Aku berjalan tertatih. Orang-orang menatapku bingung. Tak kuhiraukan mereka. Aku
harus menyelamatkan Rey!
Bunda sedang sibuk melayani pembelinya. Aku segera berlari ke arah bunda.
“Bunda!!”
Bunda menoleh. “Adit??”
Bunda memegang pipiku. “Kok Adit bisa luka-luka gini??”
“Bunda…, ayah… ayah… siksa Rey...”
Bunda segera minta maaf pada pelanggannya dan berlari ke arah rumah. Kakiku
berlari menyusulnya.
Kami segera tiba di rumah. Ayah telah pergi, entah kemana. Kulihat sosok abangku
telungkup di atas lantai. Kemejanya penuh darah.
“Ya Allah Rey!” Bunda berlari ke arah Rey. “Maafkan bunda.”
Rey bangkit dengan susah payah. Dia tersenyum. “Nggak apa-apa bunda”
“Rey… ” Aku menunduk. “Maafin gue”
Rey mengusap rambutku. “Yang penting lo nggak apa-apa”

***

Aku memandang ayah dengan jijik. Lelaki itu tidak pantas menjadi ayahku. Dia telah
melukai Rey dan bunda. Aku tak ingin berhubungan dengannya lagi. Kutarik tangan Soni lalu
melangkah pergi. Suara panggilan lelaki itu tak kugubris sama sekali. Kunyalakan motorku,
menyuruh Soni naik lalu melesat pergi.

***

“Yakin lo ga mau ketemu bokap lo lagi?” Soni melempar bola basket ke arahku.
Kami sedang berada di lapangan basket dekat rumahku sepulang dari pusara bunda.

“Yakin” kulempar bola itu ke ring. Masuk.

“Lo nggak berperasaan Dit” Soni menangkap bola basket itu lalu melemparnya ke
arahku. “Itu ayah lo Dit, darah daging lo”

19
Aku melakukan pivot lalu three point. Masuk. “Lo nggak paham Son.”

Ya, Soni mana tau apa yang kurasakan. Dia terlalu menyayangi ayahnya sehingga tak
bisa memahamiku.

Soni menangkap bola basket itu untuk kedua kalinya lalu membuangnya ke tanah.
Kakinya melangkah menuju ke arahku lalu dipegangnya bahuku.“Gue gini karena gue
sahabat lo.”

Kukibaskan tangannya. “Jangan mulai Son.”

Soni menghela napas. Pandangannya lurus ke mataku. “Lo ga tau rasanya kehilangan
bokap, Dit.”

Jantungku memompa dua kali lebih cepat. Rahangku mengeras. “Lo yang nggak tau
rasanya kehilangan nyokap!!”

“Gue tau lo masih sedih karena nyokap lo meninggal,” Soni berkata. “Tapi Rey bakal
kecewa sama lo kalau dia tahu lo bersikap gitu ke bokap lo … kurasa Rey udah maafin bokap
lo, Dit”

Aku tak tahu ternyata Soni bisa sangat menyebalkan. Kulayangkan tinju ke arahnya.
Soni tersentak mundur. Tangannya mengusap ujung bibirnya yang berdarah.

“Sialan,” ujar Soni.

Aku dan Soni adu kekuatan. Kupegang tangannya lalu kupelintir. Soni segera
melepaskan diri. Dijegalnya kakiku. Aku jatuh tersungkur. Selama beberapa menit kami
berkelahi. Setelahnya, kami merasa kelelahan dan berbaring di atas lapangan basket.

“Sialan lo!” Soni bangkit duduk, memegang pipinya dan meludahkan darah. “Sakit
woi!”

Aku bangkit berdiri. Kuulurkan tanganku kepada Soni. “Tau rasa kan lo?”

Seringai Soni muncul. Disambutnya tanganku. Kubantu ia berdiri.

“Bajingan lo!” Soni menyahut.

20
4. Berjumpa Kembali

Esoknya, setelah pertemuanku dengan ayah, paman, kakak tiri ayah, datang ke
rumahku. Aku dan Rey bergantung padanya. Siapa pula yang membiayai kami kalau bukan
dirinya? Tak ada keluarga lain yang dapat membantu kami.
Kutahu ayah membenci paman. Itu terlihat dari sorot matanya. Pertengkaran demi
pertengkaran selalu terjadi di antara mereka. Selalu saja muncul konflik di antara mereka.
Paman sering menasihatiku untuk jangan seperti ayah. Aku paham maksud beliau.
Siapa sudi menjadi seperti ayah? Ayah telah menyia-nyiakan kami. Bahkan melihat wajahnya
pun aku tak sudi.
“Sekolahmu… baik?,” paman bertanya padaku.
“Baik.”
Paman berjalan menyeberangi ruang tamu. Tangannya meraba sebuah foto yang
dipajang di lemari. Fotoku dan Rey saat kami kecil. Beliau tersenyum.“Kalian sudah besar”
Aku mengangguk. “Iya.”
“Rey?”
“Latihan intensif… um… pertandingan basket.” jawabku.
Paman mengangguk. “Aku mengerti… dia.. punya ambisi besar.”
Paman memandang foto lain. Foto bunda.“Ibumu begitu cantik.”
Aku segera teringat. “Bunda pernah bilang….”
“Iya…”paman memotong kata-kataku. “Aku pernah berpacaran dengan ibumu”
Aku menyeringai. “Tapi bunda menolak paman.”
Paman tertawa. “Jangan meledek pamanmu.”
“Tapi …” aku tak habis pikir. “Mengapa bunda memilih ayah?”
Paman menghela napas panjang. “Aku tak tahu.”
“Paman membencinya kan?” aku berkata. “Ayah…?”
Paman menggeleng. “Tidak, aku tak pernah membencinya”
“Tapi ….”
“Aku menyayangi ayahmu, Dit”
“Mengapa paman memukul ayah dulu?”, aku bertanya.
Paman menatapku. “Karena ibumu.”
“Bunda?” aku berpikir. “Karena ayah sering memukul bunda?”
Paman membelakangiku. Tapi aku tahu jawabannya.

21
***

Aku tak sabar bertemu dengan Rey. Entah mengapa. Mungkin aku tidak terbiasa
hidup tanpanya. Badanku kecil ketika SD. Kakak kelas sering mem-bully-ku. Rey-lah yang
menolongku. Dia selalu hadir kapanpun aku membutuhkannya.
Rencananya, Rey akan pulang. Aku masak makanan kesukaannya. Sup jamur.
Akhirnya Rey datang juga.
“Kangen lo sama gue?” Rey melepas sepatunya dan meletakkan sepatu itu di atas rak.
“Nggak,” aku menyeringai.
Rey memukul kepalaku. “Kampret lo!”
Sakit, tapi aku senang Rey di sini.
Rey meregangkan punggungnya.
“Lo capek?” tanyaku.
Rey menoleh. Tersenyum. “Gue tanding tiga bulan lagi di liga nasional, awas lo
nggak dateng!”
“Lo bakal menang kan?”
“Gue?” Rey menunjuk hidungnya. “Mampus mereka dikoyak-koyak three poin gue.”
“Bisa aja lo!”
Aku menghidangkan makan untuk Rey. “Favorit lo nih!”
Rey malah ngeloyor pergi. Ia melangkah menuju kamarnya. Aku mengikutinya.
“Maafin gue…” Rey berbicara di telepon. “Gue ngga bakal pergi lagi”
Rey pasti lagi telpon Kak Rina.
“Gue baik-baik aja” ujar Rey lagi.
“…”
“Adit?” Rey melepas handphone dari telinganya. “Pacar gue nanyain lo tuh!”
“Baik Kak!,” aku berteriak agar bisa terdengar dari saluran telepon.
“Hahaha… iya” Rey kembali asyik bertelepon ria.
Kuletakkan sup ditanganku ke mejanya. “Makan woi keburu dingin”
Rey melemparkan bola basket kepadaku dengan sebelah tangannya sambil tetap
berbicara di telepon.
Aku mengangguk mengerti.

***

“Paman bilang gitu ke lo?”Rey melakukan slum dunk. Masuk.

22
Aku merebut bola darinya dan melakukan pivot. Rey berusaha merebutnya kembali.
“Lo udah tau?”
Rey berhasil merebut bola basket dariku dan melakukan jump shoot. Masuk. “Gue
tau”
Aku kembali merebut bola dan melakukan dribble. Setelah dekat ring, aku melakukan
shooting. Gagal.
Sial.
Rey kembali merebut bola dariku, saat ia akan melakukan shooting aku berhasil
merebutnya kembali.
“Kenapa lo nggak bilang gue?” ujarku sambil melakukan pivot.
“Karena ngga ada yang perlu dijelasin,” Rey mencoba merebut bola dariku. “Paman
memang menyayangi ayah walau mereka bukan saudara kandung.”
Aku melempar bola ke ring. Masuk. “Apa gara-gara kakek?”
Kakek. Entah mengapa aku tiba-tiba teringat dengan beliau.
“Kakek?” Rey berhasil merebut bola dariku dan melakukan rebond. Masuk. “Apa
hubungannya dengan kakek?”
“Beliau lebih menyayangi paman,” aku mencoba merebut bola. “Bunda ngomong
gitu.”
Rey melakukan ball spinning di jari telunjuknya, lalu melemparkan bola kepadaku.
Permainan selesai.
“Entahlah …,” Rey memasukkan kedua tangannya ke kantung celana dan berjalan ke
arahku. “Mungkin … ya … mungkin karena itu ayah membenci paman”
“Rey ….”
“Hmm?”
“Lo benci ayah?”
Kutahu aku tak perlu menanyakannya. Jawabannya pasti ‘iya’.
Rey terdiam. Rahangnya mengeras. “Nggak, gue nggak bisa membenci beliau.”
Apa?
“Setelah yang dia lakukan ke lo?,” aku menelan dengan susah payah. “Ke bunda?”
Mata Rey berkaca-kaca. “Tidak … ini … rumit.”
“Rey….”
Aku tak suka mengatakannya tapi kurasa cepat atau lambat Rey akan segera
mengetahuinya.
“Hmm?”
23
“Gue ketemu ayah.”
Wajah Rey menegang. “Dimana?”
Dipegangnya kedua bahuku. “Dimana Dit?!”
Kuceritakan semuanya pada Rey, tentang pertemuanku dengan ayah di pusara bunda.
“Dit!! Kenapa lo ngga bilang gue??”
***

Semenjak pertemuanku dengan ayah yang kuceritakan pada Rey, setiap hari Rey pergi
ke pusara bunda. Aku tak suka jika Rey terlalu berharap. Lagipula aku tak mau bertemu ayah.
Aku benar-benar tak mau bertemu dengannya sampai kapan pun.
Parasmu tampan Dit, mirip ayahmu. Begitulah yang dikatakan orang-orang. Aku
membencinya. Mengapa aku harus mirip ayah? Rey mirip bunda. Bola matanya yang
berwarna coklat, hidungnya yang mancung dagunya yang lancip persis seperti bunda.
Setampan apapun ayah, aku tak mau disamakan dengannya. Kadang aku membenci diriku
sendiri. Dunia tidak adil.
Ibu sering berkata padaku, kau semakin mirip ayahmu. Aku lihat sorot matanya.
Sendu. Aku tahu pasti ibu tak menyukainya, itu pasti. Bunda, apa kau membenciku? Anakmu
yang mirip dengan sosok yang sering melukai hatimu?
Rey tak pernah paham. Dia tak pernah paham seberapa keras aku berusaha membenci
ayah. Dia hanya tak ingin seseorang melukaiku. Dia hanya ingin menjagaku. Dia juga
berharap tak ada sesuatu yang buruk terjadi pada bunda. Dia yang melindungiku dan bunda.
Pengorbanannya begitu besar pada kami. Dia rela melakukan apa saja demi kami.
Kakek… aku tahu beliau lebih menyayangi paman. Bunda berkata, sejak kecil kakek
membedakan mereka berdua. Bunda berteman dengan ayah dan paman sejak kecil. Lagipula,
siapa yang menyayangi sosok ayah?
Kehidupan kami keras. Tetangga sering membicarakan kami. Ayah yang kejam …
istri dan anak-anak yang malang … kata-kata itu membakar telingaku. Kami jadi gunjingan.
Aku sering diolok oleh teman sekolahku sendiri. Hidupku tak pernah tenteram.
Rumah tidak menyediakan kedamaian untukku. Jika itu terjadi, aku menenangkan diri
di tempat persembunyianku. Tak ada seseorang pun yang dapat menggangguku di sana. Tak
ada seorang pun yang mencapaiku ketika aku di sana. Soni dan Cyntia pun tidak.
Hanya Rey. Dialah yang menemukanku di sana.

24
5. Kesepakatan

Rambutnya panjang. Semilir angin menerbangkannya. Cewek itu menoleh. Lho,


bukannya itu Sherry? Si cewek aneh itu? Kenapa dia tampak begitu cantik dengan senyum
manisnya padaku?

“Dit, bangun oi!”

Rey menepuk bahuku. Aku terbangun. Mimpi yang aneh.

Kukucek sebelah mataku. “‘Napa lo bangunin gue?”

“Ada yang nyariin lo!”

“Siapa?” tanyaku.

Rey mengedikkan bahunya. “Sherry namanya.”

Panjang umur. Aku baru mimpiin dia.

Tunggu. Kenapa dia bisa tau alamatku?!

Aku berjalan cepat menuju ruang tamu. Tampak Sherry menungguku.

“Lo… lo … kok bisa di sini sih?”

Sherry menggoyangkan telunjuk lentiknya. Dia memakai kaos kuning dan jeans biru
tua. Dia tampak lumayan manis dengan baju bebasnya. “Ck… ck.. ck… seharusnya gue yang
nanya kenapa lo bisa nyante di sini sementara dompet lo di gue”

Seketika mataku melebar. “Kenapa baru lo balikin sekarang?!”

“Terserah gue dong.” Sherry berkata tak acuh.

Kuulurkan tanganku. “Balikin”

“Ada syaratnya.”

25
Jiah, pake syarat. Emang ijab qabul?

“Apa?” ujarku.

“Lo harus jadi pacar gue”

Aku ternganga.

Nggak salah dengar nih?

“Pacar kontrak,” lanjut Sherry.

“Ha?”

Tak kuduga sama sekali kata-kata yang dikeluarkan Sherry.

“Ya udah… ini dompet isinya KTP, uang, SIM,…”

“Wo … wo …!” aku menyela pembicaraannya. Aku harus memastikan.“Pacar


kontrak kata lo?”

“Alasannya….nanti gue jelasin, yang penting lo setuju dulu.”

Udah gila ni cewek.

“Ya udah, ku buang nih,” ujar Sherry.

Kami saling bertatapan sejenak lalu secepat kilat aku berusaha merebut dompet itu.

Sherry dengan sigap menjauhkannya dariku. Dikeluarkannya pematik api dari


kantongnya sebelum dinyalakan lalu didekatkan ke dompetku.

“Woi …, woi …!,” aku berteriak panik. Cewek ini benar-benar sudah kehilangan akal
sehatnya.

“Terima dulu nggak?” Sherry semakin mendekatkan pematik api itu ke dompetku.
Kulihat api mulai menjilat bagian ujungnya.

“Oke! Oke! Oke!,”

Aku harus menghentikannya sebelum gadis itu melanjutkan aksi gilanya. Kutahu
artinya aku menerima permintaannya tapi yang terpenting dompetku selamat.

26
Sherry menyeringai kepadaku. Bulu kudukku tiba-tiba merinding.

***

Aku tak habis pikir dengan perangai Sherry. Perbuatannya tak pernah bisa kutebak.
Padahal, untuk ukuran cewek, dia lumayan cantik, dengan rambut ikal coklatnya dan alisnya
yang tebal.
Kuakui aku penasaran dengannya.
Pada pertemuan kami yang kedua itu Sherry meminta nomor handphoneku. Dia
berkata akan menghubungiku dalam waktu dekat untuk membahas kesepakatan kami.
Gadis itu begitu mudah mempengaruhiku. Aku tak tahu alasannya.
“Woi!”Soni mengagetkanku dari belakang. Dia sedang main di rumahku. “Ngelamun
aja lo! Kesambet baru tau rasa lo!”
“Son….”
“Apaan?”
“Ngadepin cewek itu gimana sih?”
“Cewek ya…,” Soni mengusap dagunya. “Cewek itu kaya gula kapas.”
“Gula kapas?”
Soni mengangguk. “Gula kapas.”
Soni selalu punya cara aneh dalam menggambarkan sesuatu. Suatu ketika ia pernah
mengatakan bahwa tiap orang mirip dengan hewan tertentu pada teman-teman sekelas kami.
Akhirnya ia menghentikan aksinya setelah beberapa anak memukulnya karena tak terima.
“Alesannya?” aku bertanya.
“Gini …,” Soni berkata. “Lo bayangin sekarang gula kapas”
“Udah”
Tak sulit membayangkan gula kapas. Rey dan aku sering ke taman kota untuk
membelinya saat kami masih kecil.
“Merem bro!” Soni berkata.
“Ni anak…! Udah!” aku memejamkan mata seperti kata Soni. Sebenarnya aku bisa
membayangkannya dengan mata terbuka tapi memang lebih mudah membayangkan sesuatu
dengan mata tertutup.
“Menarik kan?” Soni berkata.
“Iyalah,” aku mengangguk sambil tetap memejamkan mata. “Warna-warni”
“Sama kayak cewek… mereka juga menarik” ujar Soni.

27
Aku mengangguk sambil tetap memejamkan mata. Soni ada benarnya. Kurasa
filosofinya menarik untuk dipelajari.
“Terus ….” Soni melanjutkan.
“Terus?” tanyaku.
Soni berdehem. “Lo percaya nggak gula kapas ngga bertahan lama?”
“Iya.”
Memang. Aku bisa menghabiskannya dalam waktu dua puluh detik.
“Sama kayak cewek, cepet ngambek, cepet senewen, cepet…”
Aku membuka mataku. Ingin tahu saja. Soni menggerakkan tangannya membentuk
setengah lingkaran di depan perut.
Aku menyeringai. “Kampret lo.”
Suara tawa Soni terdengar. Lalu, dilanjutkannya lagi.
“Tapi ada untungnya Dit”
“Untung?”
“Iya, UNTUNG,” Soni kembali berdehem. “Gula kapas nggak pernah selingkuh”
“Kok bisa?”
“Emang mau selingkuh sama sapa?” Soni terkikik. “Orang masuk ke mulut lo.”
“Seriusan lah..”
“Emang napa sih lo nanya begituan?” Soni bertanya. “Demen lo sama seorang
cewek?”
“Nggak … cuma ….”
Kembali kuceritakan pertemuanku dengan Sherry kepada Soni.
“Cakep nggak? Gue demen sama yang cakep-cakep doang.”
“Ah lo Son, ngga romantis.”
“Hatinya maksud gue… elo tuh yang kelewat romantis.”
Aku tertawa menangkap maksud Soni. Dia menjebakku.
“Mana gue tau, gue kan baru ketemu ‘ma dia” aku berkilah.
“Gue nasihatin lo…” Soni berkata pelan.
“Apaan?”
“Jangan sakitin hati cewek itu.” ujar Soni.
“Tau lah.”
“Nggak, maksud gue,” Soni menyeringai. “Bisa jadi dia cinta pertama lo.”
“Sialan lo, Son.”

28
***

Esoknya, Sherry meneleponku. Tengah malam lagi. Gila. Tapi Sherry memang aneh.
Ajaib. Baru sekali aku bertemu gadis seperti dia.
“Gue mau bales dendam ‘ma mantan gue” ucap Sherry di telepon.
“Hmm, trus?” aku bertanya. Aku tak tertarik antara hubungan Sherry dengan mantan
pacarnya. Hanya saja Sherry terdengar serius saat mengatakannya. Dan jarang sekali aku
melihat cewek serius di jaman ini.
Kudengar dia menarik napas panjang.
“Gue mau bikin dia sakit hati.”
Aku merasa penasaran. Cara bicaranya begitu lugas seakan penuh tekad. Jadi aku
kembali bertanya padanya.“Emang apa yang dia lakuin ke elo? Selingkuh?”
Hening.
“Halo…? Halo…? Lo masih ‘idup kan?” aku bertanya.
“Lo ngga perlu tau sekarang, intinya lo harus pro sama gue”
Sabar. Sabar. Ni cewek tukang merintah ya.
“Gue harus ngelakuin apa?” tanyaku. Sebenarnya aku tak mau menanyakannya hanya
saja aku sudah terlanjur berjanji pada Sherry.
Entah mengapa aku merasakan Sherry sedang menyeringai di ujung telepon setelah
mendengar pertanyaanku.
“Pertama, lo harus jadi pacar gue dan lo dah setuju itu.”
Aku mengangguk walau tau Sherry tidak bisa melihatnya. Lagipula … gimana lagi?
Cowok harus memegang janji.
“Kedua, faktanya, mantan gue masih ngarepin gue… tugas lo…”
“Wo… wo…tugas?,” aku memotong pembicaraannya. “Lo tinggal bilangin kalo gue
pacar lo ke temen-temen lo kan masalah ‘dah kelar”
Ya, kukira akan semudah itu.
Kali kedua, aku bisa membaca gerakan Sherry, dia pasti sedang geleng-geleng kepala
menyatakan ketidak persetujuannya.
“Itu sama aja bo’ong” Sherry berkata. “Lo harus nunjukin rasa cinta lo ke gue di
depannya”
Yailah mak. Apalagi sekarang? Ni cewek ada-ada aja.
“Gue ngga mau.” aku berterus terang.

29
“KENAPA?!” Sherry berteriak di ujung telepon. “Lo…lo… arrgh … ada cewek yang
lo sukai?”
Iya. Dan cewek itu ada di depan hidung gue. Cewek itu temen masa kecil gue. Cewek
tercantik yang pernah gue kenal.
“Oke!” Sherry berkata lugas. “Nggak apa-apa kok. Gue ngerti.”
Eh, beneran nih?
“Dear Cyntia…,” tiba-tiba Sherry bersuara dengan nada berbeda.
Mataku membelalak. Jangan-jangan…
“Aku suka kamu loh. Tiap hari aku mikirin kamu. Kamu kok ngacuhin aku sih? Tiap
hari kamu nanyain Rey mulu. Aku sebenarnya…”
Sialaaan! Suratku buat Cyntia! Aku bikin itu pas SD! Seharusnya nggak kusimpen di
dompet! Mampus aku!
“Cukup!” mukaku merah padam karena malu.
Kurasakan Sherry sedang menyeringai di seberang telepon.
“Lo tau kan surat ini nyampe kemana kalo lo nolak permintaan gue?”
“Emang lo tau Cyntia?” ujar gue dengan gigi beradu.
“Tau lah, tinggal tanya abang lo yang ganteng itu”
Sial.
“Ok.”
“Apa? Gue ngga denger, coba katakan sekali lagi”
“OKE!”
Aku tahu Cyntia sedang tersenyum puas saat ini. Cewek j*han*m itu.
“Makasih cintaku…!”

30
6. Diary Bunda
Kepalaku pening memikirkan kesediaanku melakukan permintaan Sherry. Seharusnya
aku pikir masak-masak dulu. Tapi ucapan tak dapat ditarik lagi. Itu namanya seperti makan
ludah sendiri.
Argh …, sial …
Rey mengajakku nonton bola di TV beberapa hari setelah Sherry meneleponku.
Pertandingan bagus, Indonesia melawan negara tetangga. Aku cukup senang Rey mengajakku
menonton. Apalagi yang kuharapkan? Setidaknya dia berhenti memikirkan tentang ayah.
“Gol…!!!” Aku dan Rey berteriak kegirangan. Gol pertama untuk Indonesia.
“Taruhan ga lo?” Rey berkata padaku.
“Ogah, bokek gue.”
“Payah lo.”
Beberapa saat kemudian aku melihat Rey seperti menahan sakit.
“Lo ngga apa-apa?”
“Maag gue kambuh.”
Aku segera berdiri, mengambil obat di kotak P3K serta segelas air putih dan
memberikannya pada Rey. Rey segera menelannya. Kutunggu dia menghabiskan air
putihnya.
“Lo nasihatin gue supaya makan teratur tapi lo ngga jaga kesehatan lo sendiri, gimana
sih lo?”
Rey tak menjawab pertanyaanku. Setelah beberapa lama, akhirnya dia buka mulut.
“Dit…”
“Hmm?”
“Gue udah ketemu ayah.”
Badanku seketika menegang. Aku tak suka topik pembicaraan ini.
“Dit…,” Rey menatapku. “Ayah mau tinggal sama kita.”
Jantungku berdebar kencang. Tanganku mengepal erat. Tinggal bersama ayah lagi?
“Rey … udah kubilang … gue …”
“Dit!” Rey menghela napas panjang. “Ini demi lo!”
Demi aku?
“Apa maksud lo?” aku bertanya.
31
Rey tak menjawab pertanyaanku.
“Gue…”
Kutatap langsung mata Rey. Dia seperti menyimpan sesuatu dariku.
“…nerima beasiswa basket di luar kota” lanjut Rey.
“Oh”
Entah kenapa berita ini membuatku kecewa.
Luar kota?
“Gue bakal pergi lagi, Dit … lo bakal ditinggal sendiri … makannya ayah …”
“Gue nggak mau,” aku segera memotong perkataan Rey.
Rey terlihat benar-benar kecewa. Sebenarnya aku tak mau melihatnya kecewa. Tapi
aku benar-benar tak mau bertemu dengan ayah. Aku tahu Rey mengerti itu.
“Ayah udah berubah, Dit,” Rey berkata padaku. “Nggak seperti dulu lagi.”
Aku menggeleng. “Gue masih sakit hati sama ayah.”
“Ini permintaan bunda, Dit.”
Bunda?
“Apa maksud lo? Jangan bawa-bawa nama bunda! Gue … gue ….”
Rey meraba kantung celananya. Di berikannya sebuah buku kecil kepadaku.
“Diary bunda, baca itu.”
“Gimana lo bisa….”
“Baca aja.”
Rey mematikan TV. Ternyata alasannya ini mengapa tiba-tiba ia mengajakku nonton
bersama. Ia ingin berbicara empat mata padaku.
Kutatap buku kecil itu.
“Gue tinggal ya” ujar Rey lalu berjalan ke kamarnya.

***

Aku berbaring di kasurku. Perkataan Rey terngiang di kepalaku.


Ini permintaan bunda, Dit…
Kuambil diary bunda di atas mejaku. Buku itu berwarna biru muda. Kecil dan tebal.
Jariku meraba buku itu. Entah mengapa mataku terasa panas.
Aku mulai membaca:

23 Agustus 1998

32
Aku berciuman dengan Martin, kakak tiri suamiku. Kami menghabiskan waktu
bersama di rumahnya. Sebagian dari diriku merasa bersalah namun sebagian lainnya
aku merasa terberkahi. Aku mencintai Martin. Kami menyembunyikan peristiwa itu
dari suamiku. Maafkan aku suamiku…

Aku tak percaya ini. Bunda… bunda… selingkuh dengan paman?


Aku harus menghentikan kegilaan ini. Aku tak percaya sedikit pun. Tapi dari
tulisannya, aku tahu bunda sendiri yang menulisnya. Dari tahun yang tertera, aku juga tahu
ini pasti ditulis saat aku dan Rey masih kecil.
Apa ayah menyiksa bunda karena membaca diary ini?
Aku merasa gusar. Kubaca tulisan bunda yang lain.

15 September 1998
Gila! Ini gila! Suamiku mengetahuinya! Kami bertengkar hebat. Dia mengetahuinya
saat perusahaan bangkrut dan ingin meminjam uang pada Martin. Dia melihat kami.
Berciuman. Suamiku hendak membunuh Martin jika aku tak mencegahnya. Ini semua
salahku. Apa yang harus kulakukan?

Aku meremas halaman itu.


Bunda, mengapa kau tega melakukan ini pada kami?
Aku benci mengetahui orangtuaku tidak saling mencintai. Aku benci mengetahui
bunda selingkuh. Tak kuasa aku menahan tangis. Air mataku merebak. Cepat-cepat kuseka
karena jadi cowok harus kuat.
Selanjutnya, bunda tidak menulis diary lagi selama beberapa tahun. Bunda kembali
menulis saat aku dan Rey telah menjadi remaja.

14 Oktober 2007
Seharusnya semua ini tak terjadi. Aku yang memulainya. Maafkan aku Rey… Adit… .
Kalian harus menanggung kesalahanku. Aku menyesal. Ingin kuputar kembali waktu.
Rey… Adit kumohon jangan benci ayahmu… . Dia sudah terluka karena aku…

Perasaanku campur aduk setelah membaca diary itu. Campuran antara perasaan
marah, sedih dan merasa tidak berdaya.
Apa yang harus aku lakukan?
33
Selama ini aku menganggap ayah menyiksa kami karena dia frustasi dengan
kegagalan perusahannya.
Ya Allah, kenapa bisa jadi begini?
Kenapa dunia tidak memperlakukanku dengan adil?
KENAPA?!
Kubanting buku itu. Napasku menggebu. Amarahku membuncah. Tanganku bergerak
mengambil gelas kaca di meja lalu kulemparkan ke tembok. Kuambil sebuah piala lalu
kebanting ke lantai. Darah mengucur dari tanganku. Piala besi itu berlumuran darahku.
“Adit,” Rey muncul ke kamarku. Dipeluknya diriku. Badanku terguncang hebat.
“Tenang Dit, gue di sini.”
Rey membimbingku untuk duduk. “Maaf, lo harus tau kenyataan ini.”
Amarahku belum hilang. Namun mulai mereda. “Kenapa … kenapa … bunda …”
“Sst… Dit…” Rey meremas bahuku. “Gue juga terguncang, sama seperti lo saat tau
semua ini…”
Aku kembali bangkit. Rey menahanku. “Jangan ngelukai diri lo sendiri… gue sedih
liat lo kayak gini.”
Gue sedih liat lo kaya gini … selalu itu yang dikatakan Rey saat aku terluka.
“Sekarang lo paham kan permasalahannya?,” mata Rey berkaca-kaca. “Ini semua
bukan semata kesalahan ayah, Dit.”
Perlakuan itu. Pukulan-pukulan ayah yang ditujukan pada Bunda. Bahkan padaku dan
Rey. Ternyata …
“Ayah kecewa sama bunda, Dit” Rey berkata padaku. “Maafin ayah”
“…”
“Dit.” Rey kembali mengajakku berbicara.
Apa yang harus aku lakukan?
Pikiranku mundur seperti flashback. Kuingat Ayah begitu menyayangiku dan Rey
sampai umur kami enam dan delapan tahun.
Ayah…
Ayah yang mengajak kami bertiga ke kebun binatang. Ayah yang pertama kali
mengajak kami pergi ke TMII. Ayah yang juga sering mengajakku membeli ice cream
favoritku. Ayah yang…
“Gue … gue … belum ngelupain perlakuan ayah ke gue dan lo selama ini.” kutarik
napas panjang. “Tapi gue juga ngga semata-mata menyalahkannya”
Rey kembali memelukku. “Gue bangga ke lo, Dit.”
34
“Ayah … ayah …” kutelan ludah dengan berat.
“Boleh tinggal sama kita lagi?” Rey melanjutkan perkataanku.
Aku mengangguk.
Rey melepaskan pelukannya padaku. Ia mengembangkan senyum.
“Thanks, Dit.”
Kuharap aku membuat keputusan yang benar.

***

Aku tak berkonsentrasi selama di sekolah. Pikiran-pikiran itu meracuniku. Aku masih
belum percaya kenyataan bahwa bunda selingkuh dengan paman.
Mengapa bunda tega melakukannya?
“Hei bro!” Soni menepuk bahuku. Kami sedang berada di kelas saat tak ada guru.
“Ntar main basket sama kelas sebelah, lo ikutan nggak?”
Alih-alih menjawab pertanyaan Soni, aku malah bertanya padanya.
“Gimana perasaan lo ke ayah lo?”
Soni mengerutkan dahinya. Sedikit bingung mengapa aku tiba-tiba bertanya seperti
itu. Tapi kemudian ia mengangguk mengerti. Di baliknya kursi di hadapanku lalu
didudukinya. Aku tahu pertanyaanku tidak sopan. Ayah Soni meninggal saat umurnya
sembilan tahun. Soni sangat dekat dengan ayahnya. Sering dia menceritakan pengalamannya
dengan ayahnya padaku. Entah mengapa aku butuh pendapatnya tentang sosok ayah padanya
kali ini.
“Gue bangga ke ayah gue” jawab Soni mantap. “Beliau ayah yang terbaik buat gue”
Sudah kuduga. Seharusnya aku tak menanyakannya.
“Gimana em…ayah lo, Dit?” tanya Soni hati-hati. “Gue denger dari si Rey kalian
bakal tinggal sama beliau lagi.”
Aku sudah muak dengan pembicaraan ini. Entah mengapa semua ini menggangguku
dan membuat dadaku terasa semakin sesak saja. Kualihkan pembicaraan.
“Cyntia mana?”
Wajah Soni berubah masam. “Auk ah, gelap.”
Keningku berkerut bingung. “‘Napa emangnya?”
“Palingan sibuk sama pacarnya” Soni menghela napas. “Jadi ngelupain kita deh.”
“Apa… Cyntia…”
PACARAN?!

35
7. Lepas Kontrol

Aku tak percaya ini, aku tak percaya… Cyntia resmi PACARAN?!

Cyntia yang kukenal sejak kecil. Cyntia yang begitu berarti bagiku.

Apakah kau ingin melepaskan genggamanku walau aku belum sempat melakukannya?
Cyntia?

“Siapa pacarnya?” aku bertanya pada Soni dengan gigi beradu.

“Ari, anak IPA 2,” Soni mengerutkan keningnya. “Nggak nyangka tipe Cyntia cowok
playboy gitu.”

Playboy?

Kupejamkan mataku. Kutarik napas dalam-dalam. Sekarang aku mengerti. Cyntia


diperdaya.

“Lo mau kemana?” Soni menatap kepergianku.


Aku menatapnya lurus. “Tunggu gue, ada yang mau gue lurusin”
Kakiku melangkah ke luar kelas.

***

“Mana Ari?” aku bertanya kepada salah seorang siswi IPA 2.


Gadis itu memandangku tanpa menjawab. Mulutnya menganga.
“Woi!” aku menggebrak meja. “Mana Ari?!”
Gadis itu pun tersadar. “I.. tu… main catur di ruang catur.”
Aku segera mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Sempat terdengar olehku
jeritan histeris gadis itu dengan teman disebelahnya.
“Kyaaa… Adit nanyain gue..! Cakep banget! Kayak abangnya!”
Aku menghela napas dan hanya mampu geleng-geleng kepala.

***

Aku berjalan menuju ruang catur. Perasaanku campur aduk. Aku ingin segera
menyelesaikan permasalahan ini.

36
“Mana yang namanya Ari?” lantang aku bertanya kepada seisi ruangan.
Salah seorang di ruangan itu menunjuk seseorang yang sedang main catur di pojok
ruangan dengan lawannya. “Tuh.”
Aku segera berjalan ke arah yang ditujukan.
“Mana diantara lo yang namanya Ari?”
Seorang cowok diantara mereka melirik yang lainnya. “Ni anak nyariin lo tuh.”
Cowok yang diajak bicara berkata. “Skip dulu, gue lagi main.”
Aku mulai hilang kesabaran. Kugebrak meja catur itu. Bidak-bidak catur itu
berjatuhan.
“Ini penting!” ujarku. “Tentang Cyntia.”
Ari berdiri. Tangannya mengepal. Aku tahu ia ingin memukulku.
Namun, yang terjadi malah sebaliknya.
“Kalo lo mau ngomong sama gue” Ari menghidupkan pematiknya dan menyalakan
rokok. “Sini duduk sama gue. TANDING”
Tanganku bergerak mencekram kerah baju Ari. Dia tipe orang yang membuatku
hilang kesabaran. “Gue mau ngomong ke lo sekarang juga!”
“Hei! Hei!,” seseorang mencoba melerai kami. “Lo jangan buat keributan dong di
sini. Lo yang butuh, lo yang harus nurut”
Kulihat beberapa orang berjalan ke arahku dengan tatapan mengancam.
Sial, aku kalah jumlah.
Kulepaskan cengkramanku pada Ari dengan gusar. Terpaksa aku duduk di depan Ari.
Ia menyusulku duduk. Dikebulkan asap rokoknya. Ia menyeringai padaku.

***

Permainan berlangsung sengit. Aku hampir tak bisa bergerak. Catur memang bukan
keahliah terbaikku. Ari seakan menyadari kecemasanku. Ia menyeringai senang.
“Lo ngebet banget mau bicara sama gue tentang Cyntia” Ari memajukan bidak
pionnya satu langkah.
Tak kugubris perkataanya. Tanganku memajukan bidak pionku satu langkah.
Ari memajukan bidak gajahnya. “Lo seneng ya sama pacar gue?”
Gerahamku mengeras. Sial bidak rajaku terpojok. Kumajukan bidak pionku sekali
lagi. “Bukan urusan lo”
“Gue ngerti kok, pacar gue banyak yang demen.” Ari tertawa keras. Entah mengapa
aku kesal mendengarkan perkataannya. Kulihat dia memajukan bidak menterinya.
37
“Gue beri tahu lo,” Aku memajukan bidak kudaku. “Jangan mainin Cyntia”
“Skak mat!” Ari memajukan bidak menterinya.“Ok, gue ngga ada urusan lagi sama
lo.”
Ari pergi dari tempat duduknya. Dibuang puntung rokoknya lalu diinjaknya dengan
sebelah kaki. Aku mengejarnya.“Gue belum selesai ngomong!”
Ari menatapku setengah terpana. “Lo ngga ada kapoknya ya?”
“Kalo lo sampai mainin Cyntia” aku menatap tepat matanya. “Lo tau siapa yang bakal
lo hadapin”

***

Aku merasa kesal, merasa tak dapat menjaga Cyntia dengan benar.
Rey. Rey harus gue beritahu tentang ini. Aku mencari Rey ke kelasnya.
“Ke mana Rey?” kutanya seorang cowok kecil berkacamata. Dia siswa yang pernah
kutolong saat dibully oleh kakak kelas
“Lo nggak tau?” cowok itu berbisik. “Rey barusan kacau… gue kaget… padahal
biasanya…”
“Mana abang gue?!” aku menarik kerah bajunya. Aku benar-benar sedang tak bisa
diajak kompromi.
“Ta … ta… tadi … gu … gue kebetulan … lihat … dia … di … be … belakang
sekolah …” cowok kecil berkacamata itu menunjuk ke arah belakang sekolah dengan takut-
takut.
Aku segera melangkah ke tempat yang ditunjukkannya.

***

“Lhaa … ini adik tersayang gue …!” Rey datang memelukku. Aku kaget. Dia bau
alkohol.
Aku menoleh ke dua cowok yang ada di situ. Renald dan Topan. Sahabat Rey. “Apa
yang kalian lakuin? Kenapa abang gue bisa begini?!”
Renald dan Topan saling melempar pandangan.
“Ceritanya panjang,” jawab Renald seraya menghela napas.
Rey menutup mulutnya. Aku segera memapahnya ke selokan terdekat. Disana,
dikeluarkannya seluruh isi perutnya. Aku memijat tengkuk Rey. “Kenapa abang gue bisa
begini?!”
Topan menghela napas. “Rey barusan aja…”

38
Tanpa diduga Rey melepaskan tanganku dan memukul Topan. “Diem lo!”
Topan bangkit dari tanah dan memapah Rey yang oleng ke tempat duduk. Pipi Topan
mulai membiru, namun ia tak membalas Rey.
“Rey barusan apa?!”aku menoleh kepada Renald. Aku harus meminta kejelasan dari
semua ini.
Renald terlihat ingin mengatakan sesuatu. Ia menimbang-nimbang sebelum
mengatakannya. “Rina… kecelakaan.”
Aku terkaget.
Kak Rina kecelakaan?
“Parah nggak?”
Renald meremas bahuku. “Abang lo sedang kacau Dit…”
“Karena Kak Rina kecelakaan?”
Tanpa kuduga, Renald menggeleng. “Nggak cuma itu aja… dia putus sama Rina…
Rina mau bunuh diri…”
“Apa?!”
Renald mengangguk. Kepalaku tiba-tiba pening.
“Rina… dia menabrakkan dirinya sendiri di depan mobil”
“Kapan kejadiannya?! Kenapa gue baru tau?!”
“Lo gue cariin nggak ada… pas tau lo di ruang catur … tiba-tiba Rey …”
“Kak Rina sekarang dimana?!” kugoncangkan bahu Renald.
“Masih di rumah sakit.”
“Kenapa kalian nggak kesana?! Malah biarin abang gue minum?!”
“Kami diusir sama ayah Rina di rumah sakit, Dit” Renald menggigit bibirnya.
“Kasian abang lo Dit”
Aku mengusap wajahku. Kepalaku semakin terasa pening. Pantas sebelum mencari
Rey aku mendengar kasak-kusuk ada yang kecelakaan.
Ya, Allah… kenapa Kak Rina mencoba melakukan hal yang engkau laknat?
Aku teringat segala kebaikan hati Kak Rina. Kesabarannya …, kekuatannya sebagai
seorang perempuan. Rey dan Kak Rina putus pasti karena sesuatu yang serius.
Kak Rina sampai … sampai …
Ah, sialan…!
Aku segera memapah Rey menuju ke depan sekolah. Orang-orang melihat kami.
Kuabaikan mereka. Renald dan Topan mengikutiku dari belakang.

39
Sebuah taksi lewat. Tanganku bergerak untuk menyetopnya. Taksi berhenti. Aku
menoleh ke arah Renald dan Topan.
“Makasih udah jaga abang gue.” aku berkata pada mereka.
“Ingetin dia minum obat.” Topan berkata padaku.
“Obat apa?”
“Obat maag.” Renald menjawab cepat.
Aku mengangguk mengerti. Mereka pasti tahu penyakit Rey.
Aku mendudukkan Rey di jok belakang lalu duduk di sampingnya. Kutatap abangku
satu-satunya itu. Matanya mulai terpejam. Napasnya memburu. Dia terlihat begitu lelah. Aku
ingin tahu masalah apa saja yang menghimpitnya. Mengapa Rey dan Kak Rina putus? Kak
Rina… semoga dia baik-baik saja.
Ingin rasanya aku memukul sesuatu. Semua ini terjadi secara bersamaan dan
membuatku merasa kacau.
Kenapa semuanya menjadi begitu rumit?

***

Rey terbangun. Aku dan dirinya sedang berada di kamarnya. Jam menunjukkan pukul
sepuluh pagi. Rey berusaha bangkit. Kubantu dia untuk duduk.
“Hari apa ini?” Rey berkata sambil memegang pelipisnya. Aku tahu dia masih merasa
pening. Kuambilkan ia segelas air.
“Minggu” aku menjelaskan. “Kemarin lo…”
“Cukup, nggak usah dibahas” Rey memotong kata-kataku. Dia menyibakkan
selimutnya dan berusaha berdiri.
Kubantu dia berdiri. “Lo mau ke mana?”
Rey tak menjawabku. Pelan-pelan ia berjalan menuju gantungan baju. Diambilnya
sebuah jaket.
“Lo dirumah aja” Rey memintaku. “Ayah hari ini rencananya datang.”
Aku bersyukur Rey kembali normal. Tampaknya ia mulai tenang.
“Gue mau ikut.”
Rey berhenti mengancingkan resleting jaketnya, menghela napas dan berbalik padaku.
“Biarkan gue nyelesain masalah gue sendiri” ujar Rey.
“Rey…” aku menepuk bahunya. “Lo masih punya gue”
Rey kembali menghela napas. “Iya, gue tau, Dit.. tapi kali ini biarkan gue
nyeleseinnya sendiri.”
40
Setelahnya, Rey melangkah keluar dari kamar. Aku menghela napas berat. Ingin
sekali aku berlari mengejar Rey dan membujuknya menjelaskan semua duduk
permasalahannya.

41
8. Kesalahpahaman

Aku merasa sedih kakakku harus menghadapi masalah seperti ini. Rey yang begitu
tegar …, kulihat sisi lain dari kakakku. Aku ingin sekali membantunya. Rey berkata ia akan
memecahkan permasalahannya sendiri. Aku mencoba mengingat-ingat apakah Rey pernah
kehilangan kontrol sebelumnya. Belum pernah. Ini pertama kalinya ia menjaga jarak
kepadaku. Apa yang Rey dan Kak Rina permasalahkan sampai Kak Rina rela untuk …

Sial!

Ini tidak adil. Aku tak mau melihat mereka menderita. Aku harus bergerak,
melakukan sesuatu. Aku segera menelepon Renald.

“Dimana rumah sakitnya?”


Renald memberitahu rumah sakit tempat Kak Rina dirawat.
“Ati-ati Dit” Renald berpesan padaku.
Aku mengangguk. “Ok, thanks Nald”
Aku bersiap-siap untuk berangkat saat bel rumah berbunyi.
Kubuka pintu rumah.
Aku melihatnya. Ayahku. Berdiri di depan pintu.
“Adit…”
Aku tak mengharapkan kedatangan ayahku. Tapi Rey berpesan untuk membiarkan
ayah tinggal bersama kami. Kubulatkan tekad. Baiklah, ini demi Rey.
“Masuk saja… aku mau keluar” ucapku dingin.
Aku tahu ayah kelihatan lelah. Tapi aku berusaha tak mempedulikannya. Namun
kuangkat kopernya ke kamar tidur.
“Adit nggak mau bicara sama ayah?”
“Nanti saja.”
Ayah terlihat kecewa.
Aku tetap pada pendirianku.
“Dit… ayah…”
Kulangkahkan kakiku keluar kamar sebelum mendengar kata-kata yang keluar dari
mulut ayah.

42
***

Aku tahu seharusnya aku di rumah. Seperti yang Rey katakan padaku. Aku tahu aku
harus mempercayai Rey, memberi kesempatan pada Rey untuk menyelesaikan masalahnya
sendiri.
Tapi terkadang aku tak mendengarkan kata hatiku.
Itulah yang biasa dikatakan bunda saat aku kecil.
Dit, kau seperti arus sungai…
Kenapa bunda?
Bunda tersenyum padaku dan mencubit hidungku.
Karena kau berbeda dengan kakakmu Rey.
Rey gimana bunda?
Rey kuat, seperti pohon yang kokoh yang tak bisa ditumbangkan
Aku nggak bunda?
Bunda tertawa mendengar perkataanku.
Sebaliknya…, kau mengalir seperti arus sungai… dan kadang melawan batu…
melawan kata hatimu…
Itu baik bunda?
Bunda kembali tersenyum. Itu keunikan masing-masing dari kalian.
Jika mengingatnya lagi, betapa aku merindukan bunda. Kau yang tak memiliki ibu
pasti juga merasakannya. Kehilangan ibu adalah kehilangan sosok yang paling berharga
dalam hidupmu. Aku menyesal tak mampu berbuat apa-apa untuk membahagiakan bundaku.

***

“Pasien atas nama Rina Azela Putri,” aku bertanya pada petugas resepsionis.
“Silakan … kamar …,” petugas wanita itu memberi tahu kamar tempat Kak Rina
dirawat.
Saat aku berjalan ke kamar Kak Rina, berbagai pikiran berkecamuk di hatiku.
Kuharap aku menemukan Rey di sana. Kuharap Rey sedang disana dan tidak dalam suatu bar
atau hal yang serupa itu. Kuharap aku tak terlalu mengecewakan Rey. Kuharap …
Kubuka pintu kamar Kak Rina.
Mereka berdua menatapku terkejut. Rey dan Kak Rina.
“Udah gue bilangin jangan ke sini kok!” Rey berdiri dan memandangku dengan kesal.
Tanpa kuduga, Kak Rina tertawa. “Udah Rey”

43
Ha? Sebenarnya apa yang terjadi?
Aku memegang tangan Kak Rina. “Gimana keadaan kakak?”
Kak Rina tersenyum dan mengangguk. “Baik.., makasih ‘dah dateng.”
Aku tersenyum membalasnya.
Rey, sebaliknya ia masih merasa kesal. “Lo kok nggak nurut sama gue sih?”
“Kalian udah baikan?” aku tak menggubris pertanyaan Rey.
Kak Rina tersenyum dan memegang tangan Rey.
Aku senang mereka telah berbaikan.
Tapi kenapa terasa janggal?
Apa yang mereka sembunyikan dariku?
Aku tak tahan lagi. Aku harus mengetahui semuanya.
“Coba jelaskan ke gue apa permasalahannya”
“Rey … dia….”
Kulihat Rey meremas tangan Kak Rina dan memotong pembicaraannya. “Drama aja
kok, Rina nggak mau gue tinggalin ke luar kota”
Aku tidak percaya. Masak Kak Rina sampai mau bunuh diri?
“Jangan bohong,” aku berkata pada Rey. “Kenapa Kak Rina sampai mau bun…
bun…”
“Itu salah gue!” Kak Rina menyahut lalu tertawa. “Kami bertengkar … lalu gue
bilang mau bunuh diri karena kesal … gue berlari menjauhi Rey … tiba-tiba ada mobil yang
menabrak gue … jadi ya gitu deh.”
Mulutku menganga. “Ja … ja … di … semua itu cuma kesalahpahaman?!”
Kak Rina mengangguk. “Begitulah …”
Aku tak tahu harus tertawa atau merasa kesal. Aku tertawa karena ini begitu bodoh
dan menggelikan. Aku kesal karena orang-orang menyimpulkan sesuatu tanpa tahu yang
sebenarnya terjadi pada Kak Rina dan Rey.
“Astaga … kirain!” aku berkata.
Semua orang tertawa.
Aku menatap Rey. Dia terlihat begitu pucat dan lelah. Pasti dia begitu khawatir
dengan keadaan Kak Rina.
Makannya dia sampai minum-minum gitu.
Rey menepuk bahuku. “Lo pulang gih! Ntar lo kecapekan… lo kan dah nungguin gue
semaleman pas gue mabok … Ayah… udah dateng?”
Suasana hatiku kembali muram. “Udah”
44
“Dit…” Rey menatapku. “Maafin ayah”
Aku diam saja.
Rey mengehela napas. Dituntunnya aku keluar kamar inap Kak Rina.
“Tolong perlakukan ayah dengan baik, Dit,” Rey berkata padaku.
“Oke,” aku berkata dengan nada dingin.
Rey menepuk bahuku seraya tersenyum. “Gue tau lo ngga bakal ngecewain gue.”

45
9. Rahasia
[Ditulis dengan sudut pandang Rey berdasarkan cerita Rey kepada penulis]

Aku tahu aku telah melakukan hal yang benar. Ayah bersalah pada kami tapi aku
mulai memahami tindakan beliau. Beliau kecewa dengan bunda. Aku juga kecewa.

Aku mencari ayah di kuburan bunda. Setiap hari aku ke sana sampai pada akhirnya
keinginanku terkabul. Ayah. Aku bertemu dengan ayahku lagi.

Akhir-akhir ini aku sering sakit maag. Ayah menyarankanku untuk periksa ke dokter.
Aku menurutinya. Kami sering bertemu di rumah kontrakan ayah. Begitu sempit kontrakan
itu. aku membayangkan ayah tidur sendiri di rumah kecil itu. Aku … aku ingin ayah tinggal
bersama kami lagi.

Aku menyarankan ayah tinggal di rumah kami lagi. Ayah tak keberatan. Malah beliau
merasa bersalah pada Adit dan aku karena telah meninggalkan kami. Aku berkata ini bukan
salahnya. Kami hanya berada di tempat dan waktu yang tidak tepat.

Sampai kemudian aku menyadari dunia itu kejam…

***

“Anda pasien bernama Rey Seihan Pratama?”


Aku mengangguk dan berdiri. Kurasa hasil tesku keluar. Aku segera bertanya pada
perawat itu.
“Iya, silakan ikut saya,” dia menatapku sekilas lalu berbalik. Entah mengapa ada
perasaan aneh di dadaku. Aku merasa sesuatu yang buruk akan terjadi.
Aku menatap setiap langkah suster itu dengan pandangan kosong. Semoga penyakitku
tidak parah atau aku tak tahu apa yang harus kukatakan pada Adit.
Suster itu berhenti di depan ruangan dan berbalik. “Silakan masuk, dokter sudah
menunggu anda”
Aku mengangguk, mengucapkan terima kasih lalu masuk ke dalam ruangan.
Di dalam, dokter telah menungguku. Ia mempersilahkan aku duduk.
“Anda tinggal bersama siapa?” dokter itu bertanya padaku.

46
“Saudara saya dan sepertinya ayah saya juga akan tinggal bersama dengan kami …
lagi.”
Dokter itu tersenyum. “Masalah keluarga?”
Aku membalas senyumnya. “Terlalu panjang untuk diceritakan.”
Dokter itu kembali tersenyum dan memutar kursinya sebesar sembilan puluh derajat.
“Istriku dan aku pisah ranjang namun kami terpaksa bersama lagi karena ibu mertuaku
hendak meninggal.”
Dokter itu tertawa. Aku ikut tertawa hanya demi menjaga kesopanan. Kurasa dokter
itu hanya ingin mencairkan suasana namun yah … sepertinya dia tidak berhasil.
Sesaat kemudian dokter itu mencari berkas-berkas yang ada di lacinya. Aku tak sabar
menunggu hasil tesku. Dokter itu sepertinya mengerti. Tangannya membuka sebuah berkas
yang diletakkannya di hadapanku.
“Sebaiknya anda mendengarkan penjelasan saya baik-baik.”
Aku mengangguk.
Dokter itu berkata lagi. “Anda terkena … biasa yang kami katakan sebagai … gastric
cancer”.
Aku rasa aku salah mendengar perkataannya. Aku rasa aku mendengar kata ‘cancer’.
Dokter itu melipat tangannya di atas meja. “Biasa disebut sebagai kanker lambung”
Tak ada yang berkata-kata setelahnya. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing
selama kurang lebih tiga menit.
Aku mencoba mencari kejelasan. “Apa bisa diobati dok?”
Nada suaraku terdengar aneh. Kurasa dokter itu juga menyadarinya. “Bisa …, selama
ini …”
Aku bernapas lega dan segera memotong perkataan dokter itu. “Jadi … nggak parah
kan dok?”
Dokter itu mengernyit. Ditelitinya berkas di tangannya. “Kasus anda sama dengan
yang kami terima beberapa tahun sebelumnya”
“Jadi…?”
Dokter itu mengangguk. Dia menatapku lurus. “Sangat kecil kemungkinan anda
untuk sembuh dikarenakan ada keunikan dalam kasus anda.”
Aku menunduk. Apa yang dikatakan dokter itu masuk akal? Aku tak menyerah.
“Bukankah dokter bilang …”
Tanganku bergetar.

47
“Kasus anda berbeda. Berat saya mengatakannya … tapi … usia anda tinggal tiga
bulan lagi … jadi …”
Aku segera memotong perkataan dokter itu. “Dokter jangan bercanda …”
Dokter itu menghela napas.
Kurasakan tubuhku bergetar. Aku merasa mual. Perutku terasa sakit sekali.
Dokter itu berdiri. “Anda tidak apa-apa??”
Aku segera melangkahkan kaki menuju keluar ruangan. Langkahku terseok-seok
menuju toilet. Setelah sampai, kumuntahkan seluruh isi perutku.
Aku merasa lemas. Andai ada seseorang di sini. Badanku kembali bergetar.
Aku takut.
Mengapa dunia ini tidak adil?!
Apa katanya? Tiga bulan?!
Tanganku bergetar.
Aku kembali muntah.

***

Aku tak tahu apa yang harus kukatakan pada Adit. Kakiku melangkah gontai menuju
rumah. Adit, adikku satu-satunya …
Kepalaku mulai terasa pening. Aku ingat orang-orang yang kusayangi.
Aku akan meninggalkan dunia ini? Meninggalkan mereka semua?
Aku merasa hampir tak sadarkan diri di depan rumah saat melihat seorang gadis
tersenyum padaku dari arah pintu.
Penglihatanku mulai mengabur. Kupaksa diriku untuk tetap sadar.
“Cari siapa?” aku bertanya pada gadis itu. Perutku terasa sakit sekali.
Gadis itu mengulurkan tangannya. “Salam kenal kak, saya Sherry … um … temennya
Adit.”
Aku mengangguk. Kepalaku terasa semakin pening.
“Kakak nggak apa-apa?” gadis itu bertanya padaku dengan nada khawatir. “Benar
kakak pemilik rumah ini?”
Aku berusaha mengabaikan rasa sakitku. “Gue abangnya Adit … ada perlu apa? Mau
ketemu Adit?”
Sherry masih terlihat khawatir. Aku berpikir, apakah aku terlihat begitu buruk?
“Um… ya… dompet si Adit terjatuh… saya mau …”
“Baik” aku memaksakan senyumku. “Tunggu di sini, gue panggilin Adit”
48
Aku berjalan ke kamar Adit. Setelah sampai, kulihat Adit sedang tidur. Langkahku
bergerak menujunya. Kutatap wajah Adit. Damai sekali dia saat tidur. Aku ingin berada di
mimpinya. Aku tersenyum getir. Tanganku bergerak mengelus rambutnya. Jari-jariku
bergetar. Adit … kakakmu ini … sedang sekar …
“Sherry …” Adit menggumamkan nama seseorang. Aku ingat. Gadis itu.
“Dit, bangun oi!” kutepuk bahu Adit.
Adit terbangun dengan kaget. Dikuceknya sebelah matanya. “Napa lo bangunin gue?”
“Ada yang nyariin lo.” aku menjawab.
“Siapa?”
“Sherry namanya…”
Aku memejamkan mata. Mengapa perutku begitu sakit?
Adit segera menuju ruang tamu.
Aku berjalan terseok-seok menuju kamarku. Tanganku bergerak mencari tablet
aspirin yang biasa kumakan. Rasa sakit itu semakin menjadi-jadi. Sebelum aku mencapai
meja, aku merasa tubuhku melayang lalu gelap.

***

“Rey …! Bangun Rey!” seseorang menepuk pipiku. Mataku terbuka. Samar-samar


kulihat wajah seseorang yang kukenal.
Renald?
Renald membantuku duduk. Diambilkannya aku segelas air putih. Aku menerimanya
dan meminumnya sampai habis.
“Lo bikin gue jantungan aja!” Renald berkata. “Gue pikir lo bakal mati.”
Aku berusaha untuk turun dari kasur. Namun, Renald mencegahku. “Lo pingsan di
lantai tadi. Gue angkat lo ke kasur. Setengah jam gue bingung gimana bikin lo sadar.”
Setelahnya aku ingat. “Lo masuk …”
“Iya … iya … untung gue tau dimana lo dan Adit biasa naro kunci pintu.”
Aku menghela napas. “Thanks Nald.”
“Tapi lo nggak apa-apa kan? Kenapa sih lo?”
Aku memejamkan mataku.
“Kenapa oi?!” Renald berteriak tak sabar.
Kubuka mataku sambil menarik napas dalam-dalam. “Nald … gue kena kanker”
Renald tertawa terbahak-bahak. “Kampret lo! Gue nanya serius!”

49
Aku kembali memejamkan mata. Lalu, kutatap wajah Renald dengan pandangan
kosong.
“Ha… ha… ha…” Renald mengusap matanya yang berair karena tertawa. “Bercanda
kan lo?”
Aku kembali berbaring dan menarik selimut. Kubalik badanku membelakangi Renald.
Renald menggoyang-goyangkan badanku. “Tolong bilang ini ngga bener! Rey! Rey!”
Renald berhenti berteriak dan menggoyangkan badanku setelah beberapa menit
berlalu.
“Rey …” suara Renald terdengar aneh. “Nggak mungkin kan?”
Aku menoleh.
Renald menatapku dengan pandangan berkaca-kaca.

***

Lo tidur ya? Gue main ke rumah Soni


Udah gue masakin sup jamur tuh
Jangan lupa matiin kompor habis manasin
-Adit-
Kubaca pesan Adit yang tertempel di pintu kulkas. Senyum getirku mengembang.
Dunia tetap berputar walau apapun yang terjadi padaku …
Renald telah pulang. Dari wajahnya, aku tahu dia masih syok. Tapi apalagi yang harus
kuperbuat? Renald terlanjur tahu penyakitku. Namun aku tetap berpesan padanya untuk
merahasiakannya pada siapapun terutama Adit. Karena …
Karena aku belum siap …
Aku membuka panci. Makanan favoritku telah dihidangkan oleh Adit. Kuambil
piring, menuangkan sup dan mulai makan.
Enak.
Air mataku merebak.

***

Dering telepon berbunyi. Aku terbangun dari tidurku. Pukul berapa sekarang?
Kulihat jam telah menunjukkan pukul 17.30. Aku tertidur rupanya. Entah kenapa aku merasa
cepat lelah.
Kuangkat telepon. “Halo …”
50
“Benar ini saudara Rey Seihan Pratama?” terdengar suara wanita di ujung telepon.
“Benar.”
“Kurang lebih tiga bulan lagi anda akan bertanding basket di liga nasional, bukan?”
wanita itu bertanya.
“Iya.”
Atau mati.
“Kami berencana melihat pertandingan anda, jika anda menang kami akan memberi
beasiswa di universitas kami … universitas …”
Penelepon itu menyebutkan nama universitas terkenal di luar kota yang selama ini
kuimpikan.
“…”
“Maaf, anda masih di sambungan?”
Aku kehilangan kata-kata. Kuingat lagi, separuh hidupku kuhabiskan untuk bisa
masuk ke universitas itu. Namun sekarang setelah aku mulai berhasil mendapatkannya … aku

“Baik, sekian pemberitahuan dari kami …, kami tunggu performa terbaik dari anda,
selamat sore.”
Kubanting telepon itu setelah mendengar bunyi sambungan putus. Perasaanku kacau.
Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Aku merasa tak berdaya. Impianku… , hal yang
selama ini kuimpikan …
… semuanya musnah.

***

Walaupun rasa kecewa masih menggelayutiku, aku harus bertindak sesuatu untuk
Adit. Beberapa hari, setelah aku menerima telepon dari wanita itu, aku mengajak Adit
menonton bola di TV. Aku harus berbicara empat mata padanya. Aku ingin jujur padanya
jika aku sudah bertemu ayah dan bahkan telah mengunjungi rumah kontrakannya. Aku ingin
berkata pada Adit kalau ayah bersedia tinggal bersama kami lagi.
Akhirnya, hari itu pun tiba. Aku berpikir bagaimana caranya agar Adit bersedia
menerima keputusanku. Aku berjalan hilir mudik di kamar sampai kemudian terdengar
ketukan pintu dari luar.
“Masuk!”
Pintu terbuka. Kepala Adit muncul dari balik pintu. “Jadi liat bola nggak?”
51
“Jadi lah!” kupaksakan untuk tersenyum.
“Cepet keluar! Gue tunggu di ruang TV!” ditutupnya pintuku.
Kakiku melangkah mengambil sebuah diary di atas meja. Diary bunda.

***

Adit duduk menungguku di sofa ruang TV. Dia sedang tertawa karena acara komedi
yang sedang ditayangkan. Entah mengapa tiba-tiba dadaku merasa sesak.
Akankah aku bisa tertawa bersamamu lagi, Dit?
Aku menatap Adit lama. Adit segera menyadarinya.
“Woi! Bengong lo? Pertandingannya mau dimulai ‘ni!”
Kupaksakan sebuah seringai. Aku berjalan menuju sofa lalu duduk diatasnya.
Pertandingan berjalan seru. Tapi aku tetap tak bisa berkonsentrasi. Satu-satunya yang
ada di pikiranku saat itu hanya Adit.
Tiba-tiba kurasakan sakit di perutku.
Sial, obatku di kamar.
Kucoba menyembunyikan rasa sakitku di depan Adit.
“Lo ngga apa-apa?”
Tanpa kuduga, Adit menyadarinya.
Sekarang, apa yang harus aku katakan padanya?
“Maagku kambuh.”
Aku berbohong.
Adit segera berdiri dan mengambil obat di kotak P3K. Bulir-bulir keringat mulai
berjatuhan di pelipisku. Adit kembali, diserahkannya sebutir obat maag kepadaku. Aku
langsung menelannya lalu meminum air putih yang disodorkan Adit padaku.
“Lo nasihatin gue supaya makan teratur tapi lo nggak jaga kesehatan lo sendiri,
gimana sih lo?” Adit berujar padaku.
Aku mengabaikan petanyaannya, berpura-pura berkonsentrasi kembali pada TV.
Sampai beberapa saat kemudian aku membuka mulut. “Dit …”
“Hmm?”
“Gue udah ketemu ayah.”
Wajah Adit berubah menegang. Aku tahu ia tak menyukainya.
“Dit…,” kutatap bola matanya. “Ayah mau tinggal sama kita.”
Hening sebentar. Perutku terasa mulai membaik.
“Rey … udah kubilang … gue …”
52
“Dit!,” aku menyela sebelum Adit menyelesaikan kalimatnya. Ini … ini … “Ini demi
lo!”
Ya Dit, ini demi lo. Kalau gue nggak ada …
“Apa maksud lo?”
Adit mulai curiga padaku. Haruskah aku katakan padanya? Haruskah aku melihat
adikku bersedih?
“Gue…”
Jangan, jangan sekarang.
“…nerima beasiswa basket di luar kota.”
Aku kembali berbohong.
“Oh.”
“Gue bakal pergi lagi, Dit … lo bakal ditinggal sendiri … makannya ayah …”
“Gue nggak mau,” Adit segera memotong pekataanku.
Bahuku merosot. Kecewa aku mendengar perkataan Adit. Tapi aku belum menyerah.
“Ayah udah berubah,” aku berkata pada Adit. “Nggak seperti dulu lagi.”
Adit menggeleng. “Gue masih sakit hati sama ayah.”
Kutarik napas dalam-dalam. “Ini permintaan bunda, Dit.”
Kutangkap sinar berbeda di mata Adit.“Apa maksud lo? Jangan bawa-bawa nama
bunda! Gue … gue …”
Kutahu pertahanan Adit mulai goyah. Segera kuambil buku kecil dikantong celanaku.
“Diary bunda, baca itu.”
Adit terlihat terkejut. “Gimana lo bisa….”
“Baca aja,” ujarku seraya mematikan TV. “Gue tinggal ya”

***

Seharusnya aku jujur pada Adit. Aku menghancurkan segalanya. Sekarang Adit
benar-benar percaya aku telah menerima beasiswa basket di luar kota. Namun setengah
dariku bersyukur Adit tak tahu.
Aku belum siap mengatakannya. Aku belum siap mengatakannya pada keluargaku.
Bagaimana jika mereka bersedih? Bagaimana jika mereka menyuruhku tinggal di rumah
sakit? Aku tak mau menghabiskan sisa hidupku di sana.
Rina. Aku harus memberitahunya. Aku rasa dia akan memahami posisiku. Aku tak
mau menjalin hubungan dimana aku tak dapat mempertahankannya lebih lama lagi. Aku
harus putus dengannya.
53
Kuputuskan untuk meneleponnya. Aku tak tahu apa reaksinya saat tahu hasil tesku.
Kuharap dia bisa menerimanya. Kutahu Rina begitu mencintaiku dan aku sangat
mencintainya. Aku hanya tak mau dia syok setelah mendengar penjelasanku.
Tiga bulan?
Aku merasa tak berdaya. Apakah artinya aku telah di vonis? Aku tak percaya.
Mengapa dunia memperlakukanku seperti ini?
“Halo… Rin, ada yang mau gue omongin besok di sekolah” aku berbicara di telepon.
“Lho, kenapa nggak bicara sekarang aja?”
Aku … aku …
“Nggak enak ngomong di telepon,” tanganku mengepal. “Ini … penting”
“Oke …”
Kututup telepon. Sekarang aku harus menyusun kata-kata untuk kukatakan pada Rina.

***

“Kita putus ya, Rin”, aku berkata pada Rina. Kami sedang berada di belakang
sekolah.
Rina memandangku dengan mata bulatnya “Lo … lo … bercanda kan?”
Aku tak tahan lagi. Tersiksa aku melihat raut wajah terluka dari Rina. “Gue nggak
lama lagi tinggal di dunia ini.”
Rina terlihat bingung. “Maksud lo apa?”
Kupersiapkan diriku. “Kanker … gue ngidap kanker.”
Rina membuka mulutnya. Bahunya melemas. Ditatapnya aku dengan pandangan
nanar. “Bohong kan?”
Aku begitu tersiksa melihat raut wajahnya. Rina, akankah kau tetap mengenangku?
“Gue nggak bohong,” aku menghela napas berat. “Maaf Rin.”
Rina memukul dadaku. Air mata mengalir di pipinya. “Gue nggak percaya! Lo
bohong!”
Tanganku bergerak memeluknya. Aku berusaha menenangkannya. “Ssst … Rin …
gue nggak apa-apa kok … gue ikhlas … maafin gue kalo kita putus”
“Kapan lo tau?” Rina mengusap air matanya.
Kuberitahu pada Rina hari dimana aku mengambil hasil tesku.
“Nggak,” Rina menggeleng. “Lo nggak boleh putus sama gue!”
Rina, jangan membuatku semakin tersiksa.
54
“Rin … gue nggak bisa buat lo sed …”
“Nggak!” Rina kembali menangis. “Gue mau bunuh diri kalo lo putus sama gue!”
Astagfirullah Rina …
Tanganku kembali memeluknya. “Sadar Rin! Lo jangan gitu!”
“Kenapa dunia nggak adil?!” Rina berkata. “Padahal … padahal … ”
Aku tahu Rina tak sanggup menyelesaikan kata-katanya. Tanganku bergerak
mencium puncak kepalanya. Kuhapus air matanya. “Maaf, kita tetep putus Rin … gue nggak
mau lo terluka karena gue … gue … gue …”
Tak kuasa aku menahan air mata. Tanganku memeluk Rina semakin erat. “Maafin
gue.”
“Nggak!” Rina melepaskan diri dari pelukanku. “Gue benci lo!”
Rina berlari ke jalan raya. Aku segera mengejarnya.
Rina menempatkan dirinya sendiri di depan mobil. Aku segera berteriak untuk
mencegahnya. Sampai kemudian hal mengerikan itu terjadi.

***

55
10. Sahabat (?)
[Ditulis dengan sudut pandang Renald berdasarkan cerita Renald kepada
penulis]

Rey meneleponku. Dia berkata Rina kecelakaan. Dia berkata Rina mencoba bunuh
diri dengan menempatkan diri di depan mobil. Dia berkata Rina tahu penyakitnya.
Tubuhku terasa lumpuh setelah mendengarnya.
Rina … cewek yang kusayangi …
Kutahu aku tak boleh menyayanginya. Tapi takdir berkata lain. Cintaku bertumpu
pada pacar sahabatku sendiri.
Rey begitu panik. Aku segera menyiapkan motor dan menyusul Rey yang telah
berangkat terlebih dahulu menggunakan ambulan yang membawa Rina. Hati kecilku
menyalahkan Rey yang tak dapat menjaga Rina. Sebagian lainnya menyalahkan diriku sendiri
mengapa aku tak jujur kepada Rina soal perasaanku.
Aku berlari di koridor rumah sakit menuju ruang UGD. Perasaanku begitu kacau. Aku
mengumpat berkali-kali dalam hati.
Sialan … kenapa jadi begini?!
Kudengar suara keributan di depan kamar UGD. Tampak Rey sedang beradu mulut
dengan seorang lelaki paruh baya. Aku segera menarik Rey saat keadaan mulai memanas.
Pria itu mencoba memukul Rey.
“Bajingan tengik! Pergi kau dari sini!” lelaki itu berteriak kasar pada Rey. Kutahu
beliau ayah Rina.
Ibu Rina yang berada di samping suaminya berkata. “Pak! Sabar! Rina masih di
dalam! Ini … pasti bukan salah Rey!”
Ayah Rina tak menggubris perkataan istrinya, beliau melirikku. “Kau dan kawan
brengsekmu! Pergi dari sini!”
Suasana hening dengan mencekam.
“Rey, sebaiknya kita pergi dari sini …,” aku berbisik pada Rey.

56
Rey berbalik dengan gusar. Kutahu pikirannya masih jalan. Rina telah ditangani.
Satu-satunya jalan bagi kami adalah keluar dari rumah sakit sebelum satpam mengusir kami
karena keributan yang kami timbulkan.

***

Aku memapah Rey yang berjalan gontai di koridor rumah sakit. Ia tampak begitu
syok. Mulutnya menggumamkan nama Rina berkali-kali. Wajahnya begitu pucat dan
tangannya tak henti-hentinya gemetar. Pandangannya kosong.
Dia tiba-tiba mendorongku mundur dan berlari pergi.
“Rey!! Rey!!” aku mengejarnya. Rey berhenti di pojok koridor rumah sakit. Dia
menyumpah dan memukul dinding dengan kepalan tangannya. Di memukulnya berkali-kali
sampai tangannya berdarah.
“Rey! Ini nggak nyelesein masalah!” aku menampar pipi Rey.
Rey berhenti memukul tembok. Tangannya bergerak hendak memukulku. Aku
dengan sigap mencekal lengannya. “Rey, tenang … percaya gue!”
Para perawat, pasien dan pengunjung menatap kami dengan raut wajah bingung.
Mereka berbisik-bisik membicarakan kami. Kuusir mereka dengan bentakan. Suasana
kembali lengang.
Rey berjongkok sambil bersandar di tembok. Wajahnya begitu frustasi. Aku berusaha
menenangkannya. “Rey, Rina akan baik-baik saja”
Rey menatapku. “Kunci motor lo! Sekarang!”
Kukeluarkan kunci motorku dengan ragu. “Lo nggak berbuat gila kan?”
Rey segera mengambil kunci motor di tanganku. Langkahnya begitu cepat
meninggalkanku.
Kuhela napas berat. Rey … kuharap dia tak lepas kontrol.

***

Aku mencoba berada di posisi Rey. Rey yang di vonis terkena kanker …, Rey yang
mengetahui Rina masuk rumah sakit …, Rey yang terpaksa menyembunyikan penyakitnya
dari Adit …, semua itu ….
Handphone-ku tiba-tiba berdering. Segera kuangkat telepon itu.
“Rina beneran kecelakaan?” Topan berkata di ujung telepon. “Gue coba hubungin
Rey tapi nggak diangkat”
57
Kuceritakan kepada Topan. Semuanya. Tentang kecelakaannya Rina dan penyakit
Rey. Topan terdengar sangat terkejut. Aku berpesan padanya untuk mencari Rey.
“Ok” ditutupnya telepon.
Adit segera kucari setelah sampai di sekolah. Seseorang memberi tahuku dia sedang
berada di ruang catur. Aku menuju ke sana.
Handphone-ku tiba-tiba kembali berdering. Topan.
“Lo cepetan ke sini!” Topan berkata. “Rey minum-minum di belakang sekolah!”
Aku mematikan handphone-ku dan meremasnya. Kakiku melangkah menuju
belakang sekolah. Sesampainya di sana tampak olehku pemandangan yang tak kuinginkan.
Rey benar-benar kehilangan akal sehatnya.
Aku menyambar kaleng bir yang dipegang Rey.
“Apa-apaan lo!” Rey menonjokku. Topan segera memegang tangan Rey. Kubuang
kaleng itu jauh-jauh.
“Ini dilarang Allah, Rey!” aku berteriak.
Rey mencoba melepaskan diri. Topan tetap memeganginya.
“Lepasin gue!,” teriak Rey.
Setelah beberapa lama, Rey berhasil melepaskan diri dari Topan. “Lhaa … ini adik
tersayang gue …!”
Adit tampak berjalan cepat ke arah kami. Rey memeluknya.
“Apa yang kalian lakuin? Kenapa abang gue bisa begini?!”
Aku dan Topan saling melempar pandangan. Akhirnya kubuka mulutku, “Ceritanya
panjang.”
Tangan Rey bergerak menutup mulutnya. Adit memapah Rey ke arah selokan. Ia
menoleh ke arah kami sambil memijat tengkuk Rey.“Kenapa abang gue bisa begini?!”
“Rey barusan aja….”
Kurasa Rey masih setengah sadar. Di pukulnya pipi Topan sebelum Topan
menyelesaikan kalimatnya. “Diem lo!”
Tubuh Rey oleng. Topan segera memeganginya dan memapahnya ke tempat duduk.
“Rey barusan apa?!,” Adit meminta penjelasan dariku.
Haruskah kukatakan padanya? Tentang penyakit Rey?
“Rina … kecelakaan” ujarku, setidaknya aku tak berbohong.
Mata Adit terbelalak. “Parah nggak?”
Aku tahu Adit belum paham situasinya. Aku tahu aku harus memberi pengertian
kepada Adit. Tanganku bergerak memegang bahunya. “Abang lo sedang kacau Dit…”
58
“Karena Kak Rina kecelakaan?” Adit bertanya padaku.
Kugelengkan kepalaku. “Nggak cuma itu aja… dia putus sama Rina… Rina mau
bunuh diri…”
“Apa?!” Adit berteriak.
Aku mengangguk.“Rina… dia menabrakkan dirinya sendiri di depan mobil”
“Kapan kejadiannya?! Kenapa gue baru tau?!”
“Lo gue cariin nggak ada… pas tau lo di ruang catur … tiba-tiba Rey ….”
“Kak Rina sekarang dimana?!” Adit menggoncangkan bahuku.
“Masih di rumah sakit.”
“Kenapa kalian nggak kesana?! Malah biarin abang gue minum?!”
“Kami diusir sama ayah Rina di rumah sakit Dit,” kugigit bibirku. “Kasian abang lo
Dit”
Adit tampak syok. Namun ia segera tersadar dan memapah Rey menuju ke depan
sekolah. Aku dan Topan mengikutinya dari belakang.
Sebuah taksi lewat. Adit segera melambaikan tangannya. Taksi itu berhenti.
“Makasih udah jaga abang gue.” Adit berkata.
“Ingetin dia minum obat.” Topan spontan berkata.
“Obat apa?” Adit terlihat bingung.
“Obat maag.” Segera kusela sebelum Topan membocorkan rahasia Rey.
Kulihat taksi meluncur pergi.

59
11. Takdir
[Ditulis dengan sudut pandang Rina berdasarkan cerita Rina kepada penulis]

Aku terbangun. Tampak oleh mataku langit-langit berwarna putih. Ibu adalah yang
pertama kali kulihat setelahnya. Cepat-cepat beliau menekan sebuah tombol di sebelahku.
“Alhamdulilah nak! Kau sudah sadar!,” tangan ibu bergerak memelukku.
“Rey mana …?,” aku bertanya pada ibu.
Ibu menggigit bibirnya. Aku tahu bahasa tubuh ibuku saat enggan mengatakan
sesuatu. Ibu pasti menyembunyikan sesuatu dariku.
Aku mencoba untuk bangkit. Kepalaku terasa pening. Rey! Aku butuh Rey sekarang
juga!
“Ibu nggak melarangmu bertemu Rey nak … hanya saja ayahmu …,” ibu
memandangku dengan raut wajah sedih.
“Ayah mana?” aku bertanya.
Ibu mengelus rambutku. “Ayahmu sedang ada rapat mendadak di kantornya … oh …
ibu harus menghubungi ayahmu … beritahu kalo kamu sudah sadar ….”
Ibu bangkit dan berjalan menuju meja. Diambilnya handphone beliau.
“Ibu! Jangan telepon ayah! Kumohon! Rey ….”
Pintu ruang inapku terbuka. Dokter berjalan masuk sambil menyunggingkan senyum.
“Saya periksa dulu keadaan Anda.”
Ibu meletakkan handphone-nya dan mendekat ke arahku.
Dokter itu mulai memeriksaku. “Keadaan Anda sudah cukup membaik, namun perlu
rawat inap selama kurang lebih tiga hari.”
Ibu berkata pada dokter itu. “Tidak ada organ yang bermasalah kan Dok?”
Dokter itu tersenyum pada ibu. “Gegar otak ringan … selebihnya tak apa”
Ibu masih terlihat khawatir. “Gegar otak ringan?”
“Ibu tak perlu khawatir, kami akan segera menanganinya” dokter itu berusaha
menenangkan ibuku.
Aku tak sabar bertemu dengan Rey. Rey … dimana kau?
Terdengar ketukan dari pintu ruang inap.
Apakah itu Rey?
Pintu terbuka.
Renald?

60
Renald berjalan mendekatiku. Dia tersenyum kepada ibu sebelum berkata padaku.
“Lo bikin gue jantungan! Gimana keadaan lo?”
Aku memaksakan senyum. “Baik … um … Rey mana?”
“Dia …”
“Rey mana?!”
Renald menceritakan padaku bagaimana Rey menjadi syok saat melihatku kecelakaan
dan keadaannya benar-benar buruk.
Aku menutup mulutku.
Rey ….
Tiba-tiba pintu kembali terbuka.
“Rey!!” aku bangkit dari kasur.
Rey! Rey-ku datang!
“Renald?” Rey menatap Renald.
“Permisi,” dokter berbalik untuk keluar dari ruangan. Rey segera mencegahnya.
“Bagaimana keadaan pacar saya Dok?” Rey bertanya.
“Gegar otak ringan sehingga perlu rawat inap selama kurang lebih tiga hari” dokter
itu menjawab.
“Terima kasih Dok!” Rey berkata pada dokter itu yang mengangguk sambil
tersenyum sebelum keluar dari ruangan.
Rey berjalan perlahan mendekatiku. Dipegangnya tanganku. Dikecupnya keningku.
Air mataku mulai mengalir. “Rey … Rey … jangan tinggalin gue …!”
Ibu dan Renald mulai beranjak pergi. Aku tahu mereka menyediakan ruang bagiku
dan Rey untuk berbicara.
Rey membelai rambutku. Dikecupnya lagi keningku sebelum berkata, “Sst … gue di
sini … gue nggak akan kemana-mana.”
Aku menatap Rey. Cowok yang paling kucintai. Aku tak rela berpisah dengannya.
Kucium bibirnya. Air mataku mengalir.
Mengapa Tuhan rela memisahkan kami?
Rey berkata padaku. “Tolong rahasiakan semuanya dari Adit”
Aku tak kuasa menahan tangis. Kembali kukeluarkan air mataku. Rey … Rey yang
begitu memikirkan adiknya …
Aku mengangguk.
Rey naik ke kasurku. Kami berbaring bersama. Rey … andai kita bisa tua bersama …

61
Rey memelukku di dadanya yang lebar. Air matanya mulai mengalir. Rey … Rey-ku
yang kuat … aku tak tahan melihatnya menangis …
“Rina …” Rey berbisik di telingaku. “Gue rela menukar segalanya demi lebih lama
bersama lo.”
Aku memeluk pinggang Rey. “Rey … tak adakah jalan lain selain kita berpisah?”
Rey memelukku makin erat. “Andai aku punya jawabannya”
Tiba-tiba saja Rey merasa kesakitan.
“Rey!” aku melepas slang infusku dan mengejar Rey yang telah berlari ke toilet.
“Rey! Buka pintunya!”
Rey tak mendengarkanku. Dikuncinya pintu toilet. “Gu … gue … nggak pengin me
… lihat wajah lo yang me … nga … sihani gu…e”
“Rey tolong! Buka pintunya! Gue … gue …” kuseka air mataku. “Bener-bener cinta
lo!”
Perlahan pintu toilet terbuka.
“Rey!” kupeluk pinggang Rey. Gue nggak akan ngelepasin lo. Gue nggak akan
ngelepasin lo sampai kapan pun juga ….
Kubantu Rey untuk duduk di kasurku. Rey merogoh kantung celananya dan
meminum sebutir obat. Kuberikan padanya segelas air minum.
Pintu tiba-tiba terbuka.
Adit?
“Udah gue bilangin jangan ke sini kok!” Rey berdiri dan memandang Adit dengan
kesal. Melalui tangannya, ia memberiku isyarat. Aku tak sanggup melakukannya. Namun,
aku telah berjanji kepada Rey.
“Udah Rey,” kupaksakan untuk tertawa.
Adit terlihat bingung. Dipegangnya tanganku. “Gimana keadaan kakak?”
Kupaksakan seulas senyum dan mengangguk. “Baik.., makasih ‘dah dateng.”
Adit terlihat lega. Ia tersenyum membalasku.
“Lo kok nggak nurut sama gue sih?” Rey berkata pada Adit.
Adit sepertinya tak menggubris pertanyaan kakaknya.“Kalian udah baikan?”
Kembali kupaksakan senyum dan meraih tangan Rey.
Adit menatap kami satu per satu. Kurasa ia mulai curiga. “Coba jelaskan ke gue apa
permasalahannya”
Aku mencoba menjawab. “Rey … dia….”

62
Rey meremas tanganku. Di potongnya perkataanku. Dalam hati aku menangis.
“Drama aja kok, Rina nggak mau gue tinggalin ke luar kota.”
“Jangan bohong,” Adit berkata. “Kenapa Kak Rina sampai mau bun… bun….”
“Itu salah gue!” aku menyahut. “Kami bertengkar … lalu gue bilang mau bunuh diri
karena kesal … gue berlari menjauhi Rey … tiba-tiba ada mobil yang menabrak gue … jadi
ya gitu deh.”
Mulut Adit menganga. “Ja … ja … di … semua itu cuma kesalahpahaman?!”
Aku mengangguk. “Begitulah ….”
Adit menggelengkan kepalanya. “Astaga … kirain!!”
Kupaksakan diriku untuk tertawa, mengikuti Rey.
Rey menepuk bahu Adit. “Lo pulang gih! Ntar lo kecapekan… lo kan dah nungguin
gue semaleman pas gue mabok … Ayah… udah dateng?”
“Udah.”
Kurasa pembicaraan ini begitu sensitif dan Adit tak menyukainya.
“Dit….” Rey berkata pada Adit “Maafin ayah.”
Mereka mulai berjalan keluar ruangan.
Tanganku bergerak menutupi wajah. Air mataku mulai mengalir.

63
12. Berbaikan dengan Ayah dan Janji kepada Sherry

Aku tahu Rey pasti mempertimbangkan semuanya. Aku tak habis pikir mengapa
waktu itu aku bersedia menerima ayah untuk tinggal bersama kami. Kurasa aku hanya merasa
bersalah. Iya, aku membenci ayah terlalu dalam. Kutahu ayah tak berhak mendapatkannya.
Ibu. Ayah kecewa dengan ibu. Itu bukan alasan bagiku untuk membenci ayah.
Ibu, katakan bahwa aku sudah melakukan keputusan yang benar.
Setelah mengunjungi Kak Rina, aku mencoba berbicara dengan ayah. “Ayah
merindukanku?”
Ayah mengangguk. “Kau selalu kupikirkan sejak pergi dari Rumah… juga Rey”
Hening.
Ayah memegang bahuku. Matanya menatapku lekat. “Ada yang mau ayah katakan
pada Adit.”
Aku merasa tak nyaman dengan pembicaraan ini. Ayah telah lama pergi.
Dihadapanku seakan adalah orang asing yang tengah berbicara padaku. Aku belum
menerimanya sebagai ayahku. Kutahu beliau ayah sahku. Aku bisa melihat mataku di
matanya. Hidungku di hidungnya. Mulutku di mulutnya. Kami serupa. Namun aku masih
tetap belum menerimanya.
“Ayah hanya mau berkata …,” Ayah menyeka air mata yang mengalir di pipinya.
“Maafkan ayah”
Sebagian dalam diriku runtuh. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi. Aku … aku …
“Mengapa ayah begitu membenci bunda?” aku tahu jawabannya, hanya saja aku ingin
mendengarnya dari mulut ayah. Ayah menurunkan tangannya dari bahuku. Kembali diseka
air matanya. Kurasa beliau mulai bisa meredam emosi.
“Ibumu… ayah kecewa dengan ibumu” ayah menerawang jauh.
Aku menunduk.
Tapi mengapa ayah jadi benci aku dan Rey?
“Ayah …,” ayah melanjutkan. “Ayah tak mampu menyayangimu dan Rey kala itu”
“Mengapa?” aku bertanya. Mataku mulai memanas.
“Karena …,” ayah menjawab. “Setiap melihat kau, aku melihat diriku sendiri dan
membenci diriku yang tak sanggup menjaga ibumu dari pamanmu. Setiap aku melihat Rey,
yang kulihat adalah bayangan ibumu …, ibumu yang telah mengecawakanku …, ibumu yang

64
bermain api dibelakangku … kau tak tahu betapa ayah memendam semua itu … tapi sekarang
… sekarang …”
Aku kembali menunduk. Semua ini menjelaskan pertanyaan-pertanyaanku.
“Sekarang berbeda, setelah jauh darimu dan Rey … ayah mulai mengerti bahwa
sebenarnya ayah mencintai kalian. Ayah juga sudah memaafkan ibumu. Ayah …”
“Ingin tinggal bersama kami lagi?” aku berkata.
Ayah mengangguk. “Rey juga yang meminta ayah … ayah senang …”
Rey? Jadi Rey yang pertama kali meminta?
“Kau sudah tahu sebelumnya?,” ayah berkata padaku. “Jika ibumu selingkuh dengan
pamanmu?”
“Ya …,” aku mengangguk. “Aku membaca diary bunda …”
“Nah …, sekarang kau tahu permasalahannya,” ayah berkata. “Ibumu … jangan
salahkan dia …”
Aku menatap ayah. Mengapa ayah berpikir seperti itu? Padahal ibu sudah …
“Aku memang kecewa dengan ibumu,” Ayah melanjutkan. “Mungkin ibumu berbuat
sejauh itu karena aku tak sanggup membahagiakannya”
Ayah …
“Rey mana, Dit?” ayah bertanya padaku. “Ayah ingin berbicara dengannya.”
Kuceritakan peristiwa buruk yang menimpa Rey pada ayah.
Ayah termenung. “Ajak pacar Rey ke sini, ayah ingin bertemu dengannya.”
Aku menyanggupinya. Pembicaraan ini menggangguku sekaligus membuatku lega.
Aku tak terlalu membenci ayah lagi. Aku rasa begitu juga dengan ayah. Kurasa … kami
mulai berbaikan.

***

Aku kembali memikirkan pembicaraanku dengan ayah di kamar sampai seseorang


mengetuk pintuku.

“Masuk!” ujarku.

Rey muncul dengan membawa sesuatu di tangannya. “Taraaa … ice cream


strawberry!”

Aku menyeringai. “Malem banget lo baliknya! Kak Rina nggak lo apa-apain kan?”

Rey memukul kepalaku. “Kampret lo! Pacar gue sakit woi!”

65
“Kapan Kak Rina keluar rumah sakit?” aku bertanya sambil menyendokkan es krim
strawberry yang disodorkan Rey.

“Kurang lebih tiga hari lagi” Rey menjawab. “Ayah?”

“Kurasa beliau sudah tidur”

Rey mendendangkan sebuah lagu.

“Lo lagi sedih ya?” aku bertanya.

“Nggak”

“Lo nyanyi lagu itu kalo sedih,” aku berkata.

Rey mengabaikan perkataanku. “Tidur! Besok lo harus sekolah!”

“Ngerti! Ngerti!,” kuletakkan ice cream itu di meja lalu kembali berbaring. Rey
mematikan lampu kamarku sebelum dihidupkannya lampu tidurku.

“Rey …,” aku berkata.

“Hmm?”

“Lo … lo … pernah putus cinta nggak?”

Rey duduk di kasurku. “Pernah pas gue SD”

Aku bangkit duduk. “Sama siapa?”

Rey menyeringai. “Sama Britney Spears”

Kutendang perut Rey. Dia mengaduh kesakitan.

“Emang kenapa sih?” tanya Rey. “Siapa sih cewek yang didemenin adik gue?”

Aku diam tak menjawab.

“Cyntia?” Rey kembali menyeringai. “Ngaku lo! Hahaha … merah banget muka lo!”

Sialan.

Rey menggosok rambutku. “Cinta lo bakal kesampaian kok tenang aja!”

66
“Sama Cyntia?” aku bertanya.

Rey mengedikkan bahunya. “Sama orang yang tepat lah!”

Pasti dengan Cyntia. Aku tersenyum senang. Percaya diriku mulai meningkat.

Rey keluar dari kamarku. Aku memejamkan mata.

Semoga mimpiin Cyntia. Aku berdoa dalam hati.

***

Keesokan paginya aku bangun cepat. Rey ternyata telah menungguku di meja makan.
Kulihat ayah sedang memasak di dapur.

“Emang ayah bisa masak?” aku bertanya pada Rey.

Rey menggeleng, cengiran tersungging di bibirnya. “Entahlah.”

Ayah membawakan makanan untuk kami. “Tuh … cobain”

Rey mengambil sendok dan mencicipinya. “Enak!”

Aku merasa penasaran dan ikut mencicipinya. “Lumayan”

Ayah mengusap tangannya dengan bangga. “Rey …, Dit …, nanti pulang sekolah
bantu ayah memperbaiki motor ayah ya!”

Rey mengacungkan jempolnya. “Siap yah!”

Aku mengangguk.

Aku cukup senang suasana tidak kikuk pagi ini. Ayah memang telah berubah. Uban
mulai muncul di rambutnya. Namun, beliau tetap ayahku.

Aku rasa aku tak mau melihat beliau menangis lagi.

***

Sesampainya di sekolah, karena aku datang terlalu pagi, aku langsung mencari Cyntia.
Dari beberapa anak kelasnya, mereka berkata Cyntia sedang latihan di kolam renang. Aku
segera menuju ke sana.

67
Cyntia tampak seksi dengan baju renangnya. Aku segera menundukkan pandanganku
dengan malu. Namun, aku memang benar-benar ingin bertemu dengannya.

“Cyn!,” aku memanggil Cyntia. Cyntia segera menoleh.

“Adit?” Cyntia berlari mendekatiku. “Kemana aja lo kemarin? Kak Rina gimana?”

Aku menghela napas. Tentu saja berita itu telah menyebar.

“Nginep beberapa hari di rumah sakit,” aku menjawab. “Tapi, nggak parah kok”

“Syukurlah,” Cyntia tersenyum padaku. “Gue punya kejutan buat lo!”

“Apaan?”

Cyntia melonjak-lonjak kecil dihadapanku. “Gue udah punya pacar!”

Aku tak tahu harus berkata apa.

“Selamat ya,” akhirnya aku mengatakan kalimat itu.

Cyntia menggoyang-goyangkan lenganku. “Ih, kok dingin gitu! Sahabat kecil lo dah
bahagia gini juga! Urgh … pasti si Soni ngebocorin!”

Aku hanya mampu menyeringai.

Cyntia rupanya masih kesal. “Tuh kan!”

Seseorang memanggil Cyntia.

“Bentar!” Cyntia menyahuti orang itu. “Dit, entar ke rumahku ya!”

Tentu saja aku mau. Aku berjanji pada ayah untuk memperbaiki motornya, tapi kan
masih ada Rey. “Oke.”

Cyntia segera ngeloyor pergi. Kupandang kepergiannya dengan menghela napas


berat.

***

Sudah beberapa hari Sherry tak menghubungiku. Aku mulai curiga dia sudah lupa
kesepakatannya denganku. Tapi baguslah kalau itu terjadi. Setidaknya satu beban pikiran
hilang dari benakku. Lagipula Cyntia …

68
“Adit!” terdengar seseorang memanggilku.

Aku menoleh. Tampak seorang gadis berambut kuncir kuda dari depan gerbang
sekolah. Kutajamkan penglihatanku.

Sherry?

Sherry berjalan menghampiriku.

“Eh, ‘napa lo bisa tau sekolah gue?” aku bertanya padanya.

Sherry mengacungkan jempolnya ke dada. “Gue gitu loh!”

Aku tak menggubris perkataannya. “Gimana kok?!”

Sherry menghela napas. “Ya tanya ayah lo lah!”

Rey. Ya, pasti Rey sudah memberi tahu ayah sekolah kami.

“Napa lo ngikutin gue?” aku menatap Sherry dengan kesal. “Kangen lo sama gue?!”

Sherry, sebaliknya menatapku dengan jijik. “Ih amit-amit! Gue mau nagih janji lo!”

“Janji?,” kuperlihatkan wajah bego-ku.

Sherry menjewer telingaku. “Ih, lo kan udah janji mau ngomong gue pacar lo di depan
mantan gue!”

Sialan ni cewek. Kenapa gue terus-terusan harus berurusan dengannya?

“Sekarang lo ikut gue!” Sherry membentakku.

Aku menggeleng. “Gue ada perlu … gue mau ke rumah temen”

Sherry lonjak-lonjak kayak cacing kepanasan. “Nggak boleh! Lo harus ikut gue
sekarang juga!”

Aku menghela napas. “Iya, iya! Tapi gue udah janji duluan ‘ma dia!”

Sherry menggigit bibirnya. “Siapa sih?! Cyntia?”

Sial. Aku terpojok.

“Wah … muka lo merah!” Sherry berkata. “Bener berarti kata gue ….!”

69
Seseorang memanggil namaku. “Adit!”

Aku menoleh. Cyntia. Ia berjalan ke arahku.

Sherry melihat kami secara bergantian. Seringai muncul di wajahnya. “Nama lo


Cyntia ya?”

“Eh? Iya …” Cyntia menjawab bingung. “Lo siapanya Adit?”

Tiba-tiba Sherry menggaet lenganku. “Gue pacarnya!”

Cyntia terbelalak kaget. “Lo punya pacar, Dit?”

“Eh … buk …” Sherry mencubit lenganku sebelum aku menyelesaikan kalimat.


“Awww!”

“Ah … Adit masih malu! Tapi kita beneran pacaran kok!”

Cyntia tersenyum padaku. “Eh cie … Adit, selamat ya!”

Sherry melepaskan lenganku dan mengangguk-angguk puas. Sementara aku ….

“Lo seneng Cyn?” aku bertanya dengan nada datar. “Seneng gue pacaran?”

Cyntia tersenyum lebar. “Ya seneng lah! Lo laku kali! Hahaha ....”

Entah mengapa rasanya ada panah yang menancap di dadaku. Rasanya sakit sekali.

***

70
13. Pengakuan

Aku berjalan di koridor sekolah Sherry. Sherry berjalan bersamaku. Dia


menggandeng lenganku dengan eratnya. Berpasang-pasang mata memandang kami. Aku tak
suka perlakuan Sherry tapi hatiku remuk karena Cyntia. Tak ada lagi harapan untukku. Jika
Sherry ingin aku melakukan sesuatu untuknya, aku akan menurutinya. Aku sudah tak berpikir
apa-apa lagi.

"Lo yang mesra dikit ‘napa!” Sherry berbisik kepadaku. “Orang-orang udah ngeliatin
kita!”

Aku mendengus mendengar perkataannya. Jam pulang sekolah, semua anak memakai
ransel. Aku tak tahu apa yang dipikirkan Sherry. Aku seakan bertindak sebagai bonekanya.
Seakan aku menuruti semua omongannya. Tapi aku sudah tak peduli lagi. Hatiku telah mati.
Rasa cinta yang kupendam bertahun-tahun hilang sudah. Yang tersisa hanya kehampaan.

“Sher! Pacar baru lo? Lo kan …,” seorang gadis berponi berkata kepada Sherry. Dia
tersenyum malu-malu kepadaku. Kubalas ia dengan tatapan dingin. Segala hal yang terlibat
dengan Sherry aku tak peduli. Aku hanya ingin menjauh dari Cyntia.

Sherry berkata, “Yups, gue kenalin ya! Dit, ini Fasya!”

Tangan Fasya terulur ke arahku. Aku diam tak berkutik. Kedua tanganku tetap tak
kukeluarkan dari kantung celana. Tampaknya Fasya tak sakit hati. Gadis aneh. Ia menatapku
sambil tersenyum sendiri. Apa yang salah dengan cewek ini?

Fasya mendekatkan mulutnya ke telinga Sherry. “Ganteng banget Sher!”

Fasya terkikik sendiri. Sherry memutar bola matanya.

“Gue mau ketemu Devan, mana dia?” Sherry bertanya dengan nada lugas.

Fasya menggelengkan kepalanya. “Nggak tau tuh, paling udah pulang Sher.”

Sherry menggigit bibirnya. “Masak sih?”

“Iya, terakhir kulihat dia sama Rangga main badminton, tapi udah setengah jam lalu
sih, kelas kami pas nggak ada gurunya jadi ….”

71
Sherry memotong perkataan Fasya, “Ok thanks, gue cabut duluan ya.”

Fasya menggangguk. “Tapi Sher, kalo Devan sampai tahu … dia bakal ….”

Sherry mengajakku pergi sebelum Fasya menyelesaikan kalimatnya.

***

Sherry mengajakku ke ruang olahraga. Aku tak tahu apa Sherry populer disini atau
tidak, tapi hampir setiap orang di ruang olahraga menyapanya. Aku tak peduli. Yang
kupikirkan hanya sakit hatiku pada Cyntia. Cyntia, kalau saja kau menyimpan rasa cinta
kepadaku walau sedikit, aku …

“Siapa ‘tu Sher?” Seorang cowok datang kepada Sherry dan menanyakan diriku.
“Pacar baru lo? Lo kan ….”

“Rangga, mana Devan?” Sherry berkata sebelum cowok itu menyelesaikan


kalimatnya.

“Gue sama dia ke kantin tadi, tapi ternyata tutup … gue balik ke sini karena pengin
main lagi … trus kayaknya dia balik ke rumah.”

“Eh, masak?” Sherry menunjukkan wajah kesal.

“Sher …,” cowok bernama Rangga itu berkata. “Ini siapa?”

Aku merasa seperti orang bodoh karena dua orang itu berbicara tentangku tanpa
melibatkan diriku. “Gue emang pacarnya Sherry, gue mau ngomong sama Devan”

Cowok itu memandangku dengan tatapan tajam.

“Udah … udah …, di sini gue mau nge-floor-in kalo gue udah ngomong putus ke
Devan, gue nggak peduli si Devan nerima ato nggak, pokoknya gue ….”

Seseorang memanggil Sherry, “Lho Sher, lo disini?”

Kami bertiga menoleh ke sumber suara. Tampak seorang gadis berambut dikepang
mendekat ke arah kami. “Si Devan nyariin elo.”

Sherry menaikkan dagunya. “Mana dia?”

72
Gadis itu berkata, “Gue mau latihan badminton … pas kemari ketemu Devan di
koridor … dia nelepon lo, tapi nggak lo angkat.”

“Hp gue mati” Sherry berkata. “Mana Devan sekarang?”

“Katanya kalo ketemu lo … gue disuruh ngasih tau kalo dia nunggu lo di parkiran.”

Sherry tersenyum puas. “Thanks.”

Sherry mengajakku ke parkiran. Sepanjang jalan aku hanya memikirkan Cyntia.


Kenapa dia tidak merasakan apapun terhadapku? Kenapa selama ini aku menjadi seorang
pengecut dan terlambat mengatakan cinta padanya? Kenapa aku merasa diriku sendiri tak
berguna?

Sherry celingak-celinguk mencari Devan. Aku duduk di sebuah kursi di parkiran.


Biarlah Sherry sibuk dengan urusannya. Aku ….

“Sher …,” seseorang mendekat ke arah kami. Ia memegang bahu Sherry. Sherry
menoleh. “Please … dengerin gue … gue nggak mau putus sama lo.”

Sherry mengibaskan tangan cowok itu dengan kasar. “Devan, lo nangkep nggak sih?
Gue mau putus karena lo dah bikin Alex … Alex ….”

“Maafin gue Sher … gue … gue …,” Devan berusaha memeluk Sherry. Sherry
meronta.

“Lepasin!”

Aku sebenarnya tak mau terlibat dengan pertengkaran mereka. Tapi entah mengapa
aku ingin melampiaskan kekesalanku setelah putus cinta dengan Cyntia. Kupelintir tangan
Devan dan mendorongnya mundur.

“Siapa lo, hah?!” Devan berteriak padaku.

“Gue pacar barunya Sherry.” aku berkata dengan nada dingin.

Devan hendak mendorongku. Namun Sherry merentangkan tangannya di depanku.


“Iya, dia pacar baru gue!”

Devan menatap Sherry dengan sorot mata terluka. Dipegangnya bahu Sherry. “Sher
… gue masih cinta sama lo!”

73
Sherry mengibaskan tangan Devan. Didorongnya dada Devan lalu tangannya
menampar pipi Devan. “Lo … lo … kurang ajar!”

Devan menatap Sherry dengan pandangan terkesiap.

Aku memegang bahu Sherry. “Ayo Sher.”

Sherry berbalik. Kami berjalan meninggalkan Devan.

Tiba-tiba dari belakang, Devan menarik bahuku lalu menojok pipiku. Aku terbakar
emosi. Tanganku bergerak untuk memukul perutnya. Devan mengaduh kesakitan. Kujegal
kakinya sampai ia jatuh terduduk. Lalu aku membabi buta memukul wajahnya.

“Dit!”

Sherry memanggilku. Tak kugubris dia sama sekali. Tanganku tetap bergerak
memukul wajah Devan.

“Dit!”

Kembali suara Sherry mengudara.

“Dit, hentikan!” Sherry berteriak. “Dia bisa mati!”

Aku tersadar. Kulihat Devan telah pingsan dihadapanku. Aku sendiri telah terengah-
engah.

Kulihat Sherry mendekat ke arah Devan dan menepuk-nepuk pipi cowok itu. “Van!
Van!”

Devan belum sadarkan diri.

Beberapa anak mulai mendekat ke arah kami. Sherry segera meminta beberapa dari
mereka untuk membawa Devan ke rumah sakit. Salah seorang dari mereka akhirnya
menawarkan diri untuk membantu. Devan segera digotong ke dalam mobil dan mobil itu pun
melesat pergi.

“Lo gimana sih!” Sherry mendorong dadaku. “Gue minta lo buat dia sakit hati! Bukan
mati!”

74
Aku hanya menatap Sherry dengan tatapan kosong. Sebenarnya aku memukul Devan
dengan setengah sadar. Aku tak menyangka ia akan seburuk itu. Aku berkata pada Sherry,
“Sorry.”

Sherry menghela napas. Dituntunnya aku menuju tempat duduk. Dikeluarkannya


sebuah plester dari saku. Ditempelkannya plester itu ke pipiku. “Maaf, lo jadi luka begini.”

“Tak apa,” aku berkata dengan nada datar.

“Maafin gue juga yang udah lancang ngomong kalo gue pacar lo di hadapan Cyntia,”
Sherry menunduk. “Gue nggak tau harus gimana lagi buat bikin Devan sakit hati dan
ngelepasin gue.”

“Cyntia nggak punya perasaan apa-apa ke gue …,” aku berkata. “Lo nggak salah.”

“Gue anterin lo ke sekolah lo ya …,” Sherry berkata. “Motor lo kan masih di sana
….”

“Gue bisa pulang sendiri” aku berdiri dan pergi meninggalkan Sherry.

***

Aku sampai di rumah dengan hati remuk redam. Ingin rasanya membanting sesuatu.
Cyntia tak menganggapku ada. Kata-kata itu terus terngiang dalam pikiranku.

Aku naik ke atas kasur. Kunyalakan music rock dan mendengarnya lewat headset.
Aku berharap ini bisa menghilangkan rasa sakit hatiku. Ternyata musik ini sama sekali tak
membantu. Kubanting mp3-ku ke atas meja. Kucoba menutup mata untuk tidur.

Tiba-tiba seseorang mengetuk pintuku.

“Siapa?!” aku berteriak dengan gusar.

Kembali terdengar ketukan dari arah pintu.

Aku bangkit dengan kesal dan membuka pintu, “Apa?!”

Tampak Cyntia memandangku dengan raut wajah sedikit takut. “Em …, Dit … lo lagi
bad mood ya?”

Cyntia …

75
“Gue cuma mau ngomong …” Cyntia mencoba tersenyum. “Lo bisa denger curhatan
gue nggak?”

Rahangku mengeras. Cyntia … tidakkah kau tahu … aku …

“Sebenarnya ada alasan dibalik pacarannya gue sama Ari … gue …,” Cyntia
menghirup napas dalam-dalam, “Gue pengin bikin Soni cemburu, gue tau dia udah punya
cewek yang disuka tapi ….”

Soni?

Jadi selama ini Soni yang ada dipikiran Cyntia?!

“ … Gue ngerasa Soni masih dalam tahap pedekate ke Sania jadi …”

Kupejamkan mataku. “Cukup …”

Cyntia menatapku bingung. “Kenapa Dit?”

Haruskah aku mengungkapkan isi hatiku pada Cyntia? Haruskah aku membuang
egoku dan jujur padanya? Sekarangkah waktunya?

“Gue sayang sama lo,” kata-kata itu meluncur dari bibirku. “Dari dulu ….”

Cyntia membuka mulutnya. Kami saling menatap selama sejenak sampai akhirnya
Cyntia berkata, “Tapi Dit … lo udah gue anggap sebagai sahabat terbaik gue … kenapa lo
….”

“Cyn,” aku memotong kata-kata Cyntia, “Semua ini salah gue juga … gue nggak
bilang ke lo dari dulu.”

Cyntia menunduk. “Ma … maafin gue Dit, gue malah bilang … bilang … ini ke lo
…”

Cyntia …

Aku memaksakan senyum. Tak sanggup aku melihat Cyntia merasa bersalah seperti
ini. “Kita bodoh ya?”

Cyntia menaikkan kepalanya, kembali menatapku. “Bo … doh?”

76
“Semua ini nggak akan terjadi kalo lo jujur ke Soni dan gue jujur ke lo …,” Aku
menarik napas dalam-dalam. “Itu bodoh kan namanya?”

Cyntia menatapku dengan pandangan antara perasaan bersalah dan tak bisa berbuat
apa-apa, “Adit … maafin gue ….”

Aku mencoba memaksakan senyumku.

77
BAB 14

78

Anda mungkin juga menyukai