Anda di halaman 1dari 9

TUGAS TEOLOGI KONTEKSTUAL II

“Bumi Tidak Tenang,Sebuah Studi Kasus tentang Gempa Bumi di Alor”

OLEH

KELOMPOK 2

Nama : 1. Marni Armada Manu

2. Mega Kristin Haba

3. Novilia Rosince Siki

4. Onisiforinita Inya Kadora

5. Virnanda Dwipurnama Kekado

Kelas/Semester : B/VII

Dosen Mata Kuliah : Pdt. Dr. Mery L. Y. Kolimon

Lucy H. Pulamau, S.Th

FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN ARTHA WACANA
KUPANG
2019

1
A. 12 November 2004: Bumi Berantakan

Tanggal 12 November 2004 Kepulauan Alor digoncang oleh gempa bumi tektonik
yang berkekuatan 7 skala Richter. Ini menjadi gempa terdahsyat yang pernah dialami
masyarakat Alor. Ribuan bangunan hancur dan tercatat 33 orang yang meninggal dan
ratusan yang terluka. Masyarakat Alor terluka dan bersama dengan tantangan yang
mereka alami, muncul tantangan iman “mengapa Tuhan menghukum kami? Apakah dosa
kami lebih besar daripada dosa orang lain, sehingga kami harus mendapat ganjaran yang
sedemikian berat? Kalau bencana dianggap sebagai pelajaran dari Tuhan supaya lebih
dekat pada-Nya, apa yang dipelajari oleh sebuah kampung yang musnah total? Apa yang
dipahami tentang Tuhan oleh seorang anak yatim piatu yang melihat orang tuanya
diambil oleh bencana? Atau orang tua yang anaknya dirampas dari tangannya? Apa
bedanya “Allah” yang begitu ganas dengan Iblis?

B. Orang Alor Bercerita


Pada awalnya, terdengar suara gemuruh dari laut, burung-burung mulai terbarang
ke arah gunung-gunung. Lalu beberapa orang mulai meramal bahwa akan terjadi sesuatu.
Pada tanggal 12 November 2004 pagi sekitar jam 06:00 bumi mulai bergoncang dan
rumah-rumah mulai bergoyang dan pelan-pelan mulai runtuh. Selain itu juga, pohon-
pohon mulai bertumbangan dan batu-batu besar terguling ke lereng bukit.Pada saat itu
orang-orang yang berada dalam rumah mulai keluar dan mencari tanah lapang untuk
duduk karena sangat sulit berdiri akibat gonjangan yang sangat kuat.Banyak orang yang
berteriak akibat tertindih bangunan, memanggil dan mencari anggota keluarga, dan
bahkan bertiak karena mereka ketakutan.
Ada beberapa tempat laut tiba-tiba menyurut sehingga banyak orang yang pergi
ke laut untuk menangkap ikan. Sedangkan di Maritain Alor Timur terjadi gelombang
stunai berskala kecil sehingga banyak orang yang melarikan diri ke bukit-bukit. Setelah
goncangan yang hebat itu, mereka mulai merawat yang terluka, mengeluarkan barang-
barang berharga yang masih bisa digunakan, dan mengeliling kampung untuk mencari
tahu keadaan saudara dan tetangga mereka.Banyak Orang yang berdoa di kintal gereja
sambil mereka meratapi gereja yang telah hancur dan banyak yang mengungsi ke Ibu
Kota Kabupaten Alor, Kalabahi.

2
Menurut orang-orang gempa susulan terjadi ratusan kali, tetapi bagi seismologi
gempa susulan terjadi ribuan kali.Beberapa minggu mereka tidak tidur dalam rumah
karena takut, dan mereka memilih untuk tidur di kintal atau di pinggir jalan, bahkan
rumah sakit umum pindah dan berubah menjadi rumah sakit tenda yang merawat 200
orang yang luka-luka.Akibat kejadian itu di daerah Bukapiting sendiri tidak ada
bangunan yang masih berdiri.
C. Mencari Penyebabnya
Akibat goncangan gempa, ribuan orang di Alor kehilangan banyak hal, kecuali
nyawa. Kehilangan rumah, sekolah, rumah ibadah, sawah, dsb. Siapa pun yang dilanda
bencana sebesar itu pasti akan menunjukkan reaksi dan ekspresi mereka. Ada yang tak
hentinya menangis, ada yang kebingungan, bahkan ada yang tidak bisa tidur karena
merasa bermimpi buruk setiap hari. Hal yang paling menyedihkan akibat bencana gempa
adalah rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan yang paling aman, berubah
menjadi tempat yang kapan saja bisa menjadi ancaman besar. Bencana seperti akan
memberi banyak rasa dukacita baik bagi diri sendiri dan juga bagi kelompok masyarakat.
Manusia secara alamiah akan mulai memunculkan pertanyaan-pertanyaan
berkaitan dengan bencana yang terjadi. Mengapa ini harus terjadi? Apa atau siapa
penyebabnya? Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, muncul beberapa teori dan teori
yang terakhir berbicara tentang pemahaman ilmiah tentang geologi. Teori pertama, ada
yang mencatat bahwa pusat gempa terjadi di tempat yang tidak jauh dari tempat
pengeboran oleh Dinas Pertambangan dalam rangka eksplorasi panas bumi sebagai
potensi energi. Dekat lokasi itu ada air belerang. Ini mengakibatkan masyarakat
berpendapat bahwa, pengeboran yang terjadi menyentuh suatu kandungan panas bumi
yang sangat besar yang menyebabkan ledakan bawah tanah yang dahsyat. Dari teori ini
masyarakat cenderung menyalahkan Dinas Pertambangan.
Teori kedua, teori ini bersifat mitologis. Ada cerita rakyat bahwa seorang nenek
yang mempraktekkan ilmu sihir (suanggi) pernah dikuburkan hidup-hidup di lokasi
pengeboran. Saat “kuburannya” diganggu oleh pengeboran, maka ia menggoyang bumi.
Mitologi lain yang berkembang dalam masyarakat Alor adalah pulau Alor ditopang oleh
seekor naga raksasa yang terbangun dari tidurnya karena pengeboran. Dua hal ini
membuat masyarakat menjadi marah kepada pihak Dinas Pertambangan dan tua-tua adat
karena tidak lebih dulu meminta ijin kepada “roh penguasa” sebelum melakukan

3
pengeboran. Teori ketiga, berbicara tentang reaksi tokoh-tokoh Gereja. Sejumlah tokoh
gereja berpendapat bahwa gempa yang terjadi adalah hukuman Tuhan terhadap dosa-dosa
orang Alor, atau bisa dibilang “teguran” untuk membawa umat manusia lebih dekat pada
Tuhan. Pandangan ini diangkat untuk mempertahankan kedaulatan Allah melawan kuasa-
kuasa yang lain, entah kuasa teknis yang diwakili Dinas Pertambangan atau kuasa dari
suanggi dan naga.
Teori-teori ini nyatanya menimbulkan banyak pertanyaan baru yang sulit untuk
dijawab. Apakah dosa orang Alor lebih besar dari dosa orang lain, sehingga orang Alor
harus “kena rotan” Tuhan dan orang lain tidak? Pertanyaan ini membuat orang Alor
mempersalahkan diri mereka sendiri. Selain itu, menurut orang Alor, jika bencana ini
datang untuk membuat orang Alor “ingat pada Tuhan”, maka ini bukan berarti bahwa
Tuhan sengaja menyebabkan bencana. Mereka sepakat menolak bahwa “ini bukan
hukuman Tuhan!”. Dari banyaknya kebingungan yang ada, muncul teori keempat yang
memberikan penjelasan berdasarkan ilmu bumi. Menurut ilmu bumi, Alor terletak tidak
jauh dari pertemuan lempengan bumi yang menghubungkan benua Australia dengan
lempengan Euro-Asia. Karena lempengan Australis perlahan-lahan bersesakan dengan
lempengan Euro-Asia, maka tekanan mulai menumpuk. Pada akhirnya, tekanan itu
melebihi daya tahan lempengan bumi, sehingga terjadi pergeseran atau patahan secara
tiba-tiba. Ini yang dirasakan sebagai gempa bumi. Alor yang berada di antara lempengan
Australia dan lempengan Euro-Asia yang mengakibatkan pulau Alor rentan terhadap
gempa bumi. Selain itu, karena titik goncangan terjadi puluhan kilometer di bawah
permukaan bumi, maka tidak mungkin pengeboran yang hanya mencapai beberapa ratur
kilometer bisa menyebabka gempa. Begitupula dengan tindakan moral masyarakat Alor,
tidak berpengaruhi terhadap pergerakan tektonik.
Penjelasan pada teori yang keempat ini pada umumnya diterima oleh masyarakat
Alor. Satu sisi mereka merasa puas karena sudah memahami penyebab penderitaan
mereka, tapi di sisi yang lain mereka masih belum puas. Penjelasan ilmiah belum
menyentuh kebutuhan mereka untuk memetik makna dari peristiwa ini untuk kehidupan
mereka selanjutnya, terutama paham tentang “campur tangan Tuhan” dalam bencana ini.
Jika memang gempa bumi terjadi karena pergerakan lempengan bumi, maka Allah yang
menciptakan bumi, pada akhirnya yang harus dilihat sebagai penyebab terjadinya

4
bencana. Lalu ada pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa Allah menciptakan bumi
yang tidak tenang?
D. Pertanggungjawaban Allah?
Ada cerita rakyat yang bertujuan menjelaskan hal-hal yang tidak diketahui.Ada
juga cerita rakyat yang bersifat menghibur dan mengajar anak-anak, serta memberi
keyakinan bahwa segala hal yang misterius ada penyebabnya asal ceritanya
diketahui.Zaman sekarang cerita-cerita rakyat dengan fungsi-fungsi ini sepertinya telah
tergantikan, oleh berbagai penjelasan ilmiah maupun rumusan-rumusan teologis
sistematis. Menurut, Bronislaw Malinowski, antropolog terkenal, sebuah keutuhan
paling dasar yang bersifat magis-mitologis telah berevolusi menjadi pembidangan
pengetahuan manusia menurut dua cabang utama yaitu ilmu dan agama. Ilmu
mengutamakan aspek teknis-operasional, sedangkan agama mengutamakan nilai-nilai dan
makna.Misalnya dalam konteks gempa bumi di Alor, cerita tentang suanggi dan naga
digeser oleh penjelasan ilmiah tentang gempa tektonik dan penjelasan teologis tentang
“teguran Tuhan”.
Perlu diupayakan untuk menemukan titik temu antara ilmu bumi dan penjelasan
teologis terkait gempa bumi di Alor.Langkah-langkah membangun kembali kehidupan
masyarakat pasca gempa ditentukan oleh pemahaman yang diterima masyarakat.Penulis
memberi penjelasan yang mempertemukan segi geologis dan segi teologis dari masalah
ini, tetapi tidak semua orang beriman dapat menerima implikasinya.Dari segi ilmu bumi,
tanah yang terekspos pada hujan dan angin mengalami erosi.Air hujan mengikis gunung
batu dan meratakan tanah perlahan-lahan. Sebaliknya, gerakan tektonik secara
berkelanjutan mengangkat tanah baru keluar dari laut, baik secara langsung ketika
lempengan yang satu naik di atas lempengan yang lain, atau secara tidak langsung ketika
lempengan bumi tertindis turun oleh lempengan yang lain sampai menemukan panas
bumi (magma) dan meletus kembali ke permukaan sebagai gunung api.Dengan demikian,
erosi yang mengikis tanah dan gerakan tektonik yang mengangkat tanah baru,
menunjukkan bahwa permukaan bumi senantiasa diperbarui meskipun secara perlahan-
lahan.Hal ini dibuktikan oleh titik tertinggi di bumi, yaitu puncak Gunung Everest, terdiri
dari batu karang yang berasal dari dasar laut.
Beralih pada perspektif teologis, maka seluruh proses yang telah digambarkan
dapat dipahami sebagai karya Allah sebagai Pencipta. Dalam tradisi teologis ada konsep

5
creatio continuo (penciptaan terus-menerus), yaitu bahwa karya Allah dalam penciptaan
tidak sekali jadi, dan setelah hari ketujuh dibiarkan.Tetapi pada hari kedelapan Allah terus
melanjutkan karya-Nya sampai sekarang. Dalam hal gerakan tektonik, ini adalah cara
Allah memperbarui permukaan bumi. Jika tidak ada gerakan yang mengangkat tanah
baru, maka tanah dan gunung telah terkikis lama oleh erosi sampai permukaan bumi
menjadi rata, dan tidak ada tanah kering yang dapat dihuni manusia.Gempa bumi dilihat
sebagai akibat sampingan dari karya Allah dalam mengangkat tanah yang baru adalah
konsekuensi dari perpsektif ini.Sederhananya, Allah sedang menumbuh-kembangkan
pulau Alor, dan gempa bumi merupakan tanda karya Allah tersebut sekaligus resiko yang
harus dihadapi manusia yang menghuni wilayah kerja Allah.
Pandangan di atas memang tidak dipastikan bahwa semua orang bisa
menerimanya.Penyebab gempa bumi yang dilihat bukan dari perspektif moral (hukuman
Tuhan), membuat orang berpikir bahwa semakin terbuka pada marabahaya.Jika gempa
adalah hukuman Tuhan maka masih ada langkah pencegahan yang dapat dilakukan yaitu
bertobat dan berdoa. Tetapi, jika gempa adalah bagian yang tak terpisahkan dari cara
kerja Tuhan dalam memelihara bumi, maka manusia tidak dapat melakukan apa-apa
untuk menghindarinya. Kedua pandangan yang berbeda ini terlihat dalam tradisi Alkitab,
mungkin yang lebih jelas dalam dialog Ayub dan Elifas.
Elifas yang melihat Ayub sedang menderita, pada awalnya mau menghibur
Ayub.Tetapi, setelah mendengar keluhan Ayub yang begitu pahit, maka Elifas terlihat
seperti merasa tersinggung, dan mungkin sedikit takut dan ngeri.Ia menantang Ayub
dengan pandangannya bahwa penderitaan yang besar dialami Ayub disebabkan karena
dosa besar yang dilakukan Ayub juga. Oleh karena itu, Ayub harus mengaku dosanya agar
Allah mengampuni dan memulihkannya.
Apa yang dikatakan Elifas pada dasarnya disetujui oleh Ayub, tetapi Ayub tidak
menemukan dosa apa yang dibuatnya yang setimpal dengan apa yang dialaminya dan dia
tidak mau berpura-pura dengan Tuhan. Kecemasan Elifas dimulai dari ketakutan terhadap
keadaan Ayub, dan ia juga tersinggung dengan ketegasan Ayub bahwa penderitaannya
tidak adil (dengan tidak membawa diri sebagaimana pendosa yang terkena hukuman
Tuhan). Penulis menduga bahwa Elifas takut, jangan-jangan Ayub benar, bahwa ternyata
kesalehan tidak dapat melindungi manusia dari malapetaka.

6
Kebanyakan orang Kristen sama dengan Elifas berpikiran demikian bahwa iman
tidak ampuh sebagai perisai terhadap marahabaya adalah ancaman yang menakutkan.
Mereka lebih memilih menafsirkan bahwa malapetaka adalah hukuman Tuhan, daripada
menerima kemungkinan bahwa orang fasik maupun orang beriman bisa mengalami hal
buruk yang sama.
Jika padangan Elifas ini terkait dengan dirinya sendiri, sebagai penghiburan dan
sandaran hidupnya, tidak menjadi masalah.Tetapi, yang menjadi persoalan adalah
pandangan ini menuntut untuk mencari orang yang melakukan dosa yang menyebabkan
malapetaka tersebut.Jika hanya terkait bencana yang dialami seseorang, biarlah dia yang
menanggungnya. Tetapi jika terkait masyarakat luas, maka ini akan berdampak pada
mencari kambing hitam. Dalam kejadian di Alor, petugas kecamatan diancam dan hampir
dipukul oleh masyarakat karena mengizinkan pengeboran dan staf pertambangan tidak
berani kembali ke lokasi.Karena kebiasaan mencari tumbal, maka penting untuk belajar
dari hikmat Ayub.Terhadap semua keluhan Ayub pada akhirnya Allah menjawab “Di
manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi?Ceritakanlah, kalau engkau
mempunyai pengertian!” (Ayub 38:4).
Untuk menggambarkan “wisata alam” yang menakjubkan, Allah tidak berbicara
tentang keadaan Ayub, tetapi Ia menunjukkan betapa luas, dalam dan kaya alam semesta
yang Tuhan ciptakan dan Ia tetap memeliharanya. Pada akhirnya Ayub tetap bertobatm
tetapi bukan karena dosanya seperti pandangan Elifas, tetapi karena Ayub memahami
bahwa manusia bukan tolok ukur untuk segala karya Allah.
Pelajaran ini menjadi tantangan dan sekaligus kesempatan dalam menghadapi
bencana, untuk memiliki pemahaman iman yang berani melepaskan sikap antroposentris
dan menempatkan diri sebagai makhluk ciptaan Tuhan di antara makhluk yang lain, yang
tidak bisa menuntut apa-apa dari Sang Pencipta, walaupun kita tetap boleh bersandar
pada anugerah-Nya.

E. Membangun Kembali

Dari peristiwa gempa bumi di Alor, pergumulan teologis dari para peserta dialog
yang meyakini bahwa semua yang terjadi, seperti gempa bumi di Alor, bukan karena
kehendak Tuhan. Sesuai dengan apa yang dikatakan dalam Yohanes 9:1-3 mengenai

7
orang yang buta sejak lahirnya bukan karena dosanya atau dosa orang tuanya melainkan
Allah mau menyatakan pekerjaan-pekerjaan-Nya melalui Dia. Sama halnya dengan para
pelayan yang ada di Alor, mereka tidak mencari kesalahan, siapa yang salah? Tidak
mempersalahkan diri sendiri atau orang lain, karena fokus mereka pada bagaimana cara
mereka untuk bisa membangun kembali. Dari peristiwa gempa bumi ini, seorang pelayan
mampu untuk mengabarkan Injil (kabar baik) atau bisa dikatakan dengan pendampingan
pastoral kepada para korban agar mereka bisa keluar dari shock dan dukacita yang
mereka rasakan. Dengan demikian penulis menawarkan satu pekerjaan pastoral dengan
mengadakan “lokakarya kilat” tentang bagaimana mendampingi para korban trauma,
dengan refleksi dari Yesaya 61:4-7 yang juga dibacakan dalam lokakarya itu.

F. Tanggapan dan Refleksi


- Mitos dalam suatu daerah perlu dihargai tetapi tidak boleh dijadikan sebagai patokan
untuk menanggapi bencana yang terjadi dalam suatu daerah, tetapi lebih melihat pada
maknanya secara ilmiah dan teologis.
- Dalam menghadapi bencana alam seperti yang terjadi di Alor kita sebagai gereja tidak
boleh menyalahkan jemaat ataupun mencari kesalahan, tetapi lebih baik berfokus
pada pendampingan terhadap korban untuk mampu menerima bahwa bencana alam
yang dialamiada dalam kedaulatan Tuhan. Satu catatan penting bahwa segala sesuatu
yang dilakukan oleh Tuhan adalah untuk kebaikan dan keutuhan alam ciptaan.
- Selain bantuan logistik yang diberikan, gereja juga perlu untuk menanamkan
kepercayaan pada masyarakat bahwa Tuhan tidak akan meninggalkan kesedihan yang
berlarut akibat bencana yang ada. Tuhan akan memulihkan keadaan yang dialami oleh
anak-anak-Nya.

Kelompok berefleksi dari peristiwa di Alor berdasarkan pada kisah Ayub. Ayub
adalah seorang yang takut akan Allah, tapi dia mengalami pencobaan yang membawa
penderitaan baginya. Dalam penderitaannya dia mempertanyakan keadilan Allah dan
mengapa hal ini bisa terjadi padanya. Namun, akhirnya dia yakin bahwa semua yang
terjadi adalah kedaulatan Allah dan dengan kepercayaannya dia mendapat pemulihan dari
Allah berkali-kali lipat. Dari hal ini, semua hal yang terjadi pada alam semesta ada dalam
kehendak Allah. Ayub mengalami penderitaan yang pada dirinya sendiri, tidak
didapatinya bahwa ia telah melakukan kesalahan yang sebanding dengan apa yang ia

8
alami. Demikian juga dengan apa yang terjadi di Alor, tidak ada apapun yang
membuktikan bahwa gempa tersebut diakibatkan oleh perbuatan orang-orang di
Alor.Dengan demikian, sebagaimana jawaban Allah pada Ayub dalam Ayub 38:4, tidak
ada satu manusia pun yang dapat menjelaskan apa yang telah Allah lakukan. Segala
sesuatu ada dalam kedaulatan-Nya.

Kelompok 1:

Sane: Allah terus membaharui, cara orang melihat Allah dalam situasi sepertinya.

Mina: Motos dihargai, bentuk penghargaan seperti apa sambil memperhatikan teologis dan
ilmiah?

Kelompok 3:

Noni: membangun kembali—cara mendampingi korban lokakarya kilat seperti apa?

Bencana adalah penghukuman Allah—kenaa gereja katakana itu

Kelompok 4

Metus:Upaya yang dilakukan untuk menemukan ilmu bumi dan teologis. Sulit terima itu
kehendak Allah?

Tasya: Mitos dihargai tapi jangan dijadikan patojkan. Ada hal2 spiritual di luar kemampuan.
Mitos tdk hanya hal2 mistis

Kelompok 5

Ningsih: di Kampung kalau percaya sudah sulit diubah. Cara menjelaskan bahwa yang mereka
hidupi tidak seperti itu: KENAAPA HARUS DIUBAH?

Anda mungkin juga menyukai