Rencana Dan Tata Ruang Lingkungan

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 18

RENCANA DAN TATA RUANG LINGKUNGAN

”Konflik dalam Penegasan Batas Wilayah Antara Kota Magelang dan


Kabupaten Magelang”

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 4

NUR ILMI D101181004

PUTRY NADIYA

FADLUL RAHMAT

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Isi Musyawarah Wilayah III Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia


(APEKSI) yang dihadiri 23 walikota maupun wakilnya di Kota Cirebon, 30 September
2004 bersepakat menyampaikan permasalahan batas wilayah daerah yang seringkali
menjadi pemicu konflik antar pemerintah daerah yang saling bertetangga ke Pemerintah
pusat. Pemerintah daerah yang bersitegang dalam pembahasan batas wilayah. Sejak
berlakunya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999, Indonesia sering disebut dalam
era otonomi daerah. Daerah otonom diberi kewenangan dengan prinsip luas, nyata dan
bertanggung jawab.

Berbagai implikasi kemudian muncul karena Implementasi UU yang baru tersebut,


satu diantaranya yaitu bahwa daerah menjadi memandang sangat penting perlunya
penegasan batas daerah. Salah satu sebabnya adalah karena daerah menjadi memiliki
kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayahnya. Daerah dituntu untuk berperan
aktif dalam mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumber daya di daerahnya. Kemampuan
daerah dalam mengoptimalkan sumber daya yang ada menjadi penentu bagi daerah dalam
menjalankan otonomi daerah. Oleh karena itu daerah – daerah menjadi terdorong untuk
mengetahui secara pasti sampai sejauh mana wilayah kewenangannya, terutama yang
memiliki potwnsi sumber daya yang mendukung Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Daerah melaksanakan kewenangan masing-masing dalam lingkup batas daerah yang


ditentukan, artinya kewenangan suatu daerah pada dasarnya tidak boleh melampaui batas
daerah yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Apabila batas daerah tidak
jelas akan menyebabkan dua kemungkinan akibat negatif. Pertama, suatu bagian wilayah
dapat diabaikan oleh masing-masing daerah karena merasa itu bukan daerahnya atau
dengan kata lain masing-masing daerah saling melempar tanggung jawab dalam
menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan masyarakat maupun pembangunan di bagian
wilayah tersebut. Kedua, daerah yang satu dapat dianggap melampaui batas kewenangan
daerah yang lain sehingga berpotensi timbulnya konflik antardaerah.
Kekaburan batas daerah mungkin juga dapat menimbulkan dampak negatif yang lebih
luas lagi dari sekedar potensi konflik antardaerah karena potensi strategis dan ekonomis
suatu bagian wilayah, seperti dampak pada kehidupan sosial dan penyelenggaraan
administrasi pemerintahan bahkan mungkin juga menimbulkan dampak politis khususnya
di daerah - daerah perbatasan. Oleh karena itu dalam penyelenggaraan administrasi
pemerintahan, penegasan batas daerah menjadi penting untuk dilaksanakan. Namun
demikian penetapan batas daerah secara fisik dan pasti di lapangan bukan merupakan
suatu hal yang mudah, meskipun penyelenggaraan administrasi pemerintahan daerah telah
berjalan dan berkembang sejak lahirnya NKRI dan batas-batas yuridis telah ditetapkan
dengan undangundang pembentukan masing-masing daerah. Pada kenyataannya
menentukan titik-titik batas fisik dengan mengacu pada undang-undang pembentukan
daerah itu sendiri sering menimbulkan permasalahan antara daerah-daerah yang
bersangkutan karena masing-masing pihak tidak dengan mudah untuk sepakat begitu saja
mengenai letak titik-titik batas fisik yang ditentukan.

Demikian juga mengenai batas daerah antara Kota Magelang dan Kabupaten
Magelang, secara fisik di lapangan masih terdapat titik-titik batas di lapangan yang belum
tegas, artinya belum sepakati antara kedua daerah bahkan terjadi semacam perdebatan
yang berkepanjangan. Hal ini dapat terlihat dari tidak kunjung selesainya persoalan batas
daerah hingga sekarang (Tahun Anggaran 2008). Meskipun kegiatan penataan batas
daerah telah dikoordinasikan dan diagendakan, khususnya oleh Pemerintah Kota
Magelang sejak Tahun 2001 (Masa efektif mulai berlakunya UU No. 22 Tahun 1999).

Salah satu masalah belum dicapainya kesepakatan mengenai titiktitik batas antara
kedua daerah ini terutama menyangkut bagian wilayah yang mungkin dianggap memiliki
nilai strategis oleh kedua belah pihak. Persoalan yang terjadi bukan sekedar persoalan
teknis mengaplikasikan batas yuridis dari undang-undang pembentukan daerah ke bentuk
fisik lapangan, namun tentunya lebih kompleks dari hal tersebut sehingga kesepakatan
antara kedua pihak belum dapat tercapai hingga sekarang. Dalam hal ini persoalan
penegasan batas daerah menjadi sebuah konflik kelembagaan yang berkepanjangan antara
Pemerintah Kota Magelang dengan Kabupaten Magelang.
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa penting adanya suatu penegasan batas wilayah ?
2. Apa faktor penyebab terjadinya konflik dalam penegasan batas wilayah antara
Kota Magelang dan Kabupaten Magelang ?
3. Bagaimana dampak yang dtimbulkan dari terjadinya konflik dalam penegasan
batas wilayah antara Kota Magelang dan Kabupaten Magelang ?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dalam studi ini yaitu, untuk :
1. Mengetahui pentingnya adanya suatu penegasan batas wilayah antara Kota
Magelag dan Kabupaten Magelang.
2. Mengetahui faktor penyebab terjadinya konflik dalam penegasan batas wilayah
antara Kota Magelang dan Kabupaten Magelang.
3. Mengetahui dampak yang ditimbulkan dari konflik penegasan batas wilayah
antara Kota Magelang dan Kabupaten Magelang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Telah disebutkan pada Bab sebelumnya bahwa fokus pembahasan ini adalah konflik
dalam penegasan batas daerah antara Kota Magelang dan Kabupaten Magelang. Berkaitan
dengan tema konflik mengenai batas daerah tersebut, dapat dikatakan bahwa kasus ini
merupakan salah satu kasus dari sejumlah kasus konflik mengenai batas daerah yang terjadi
di daerah-daerah lain. Hal tersebut ditunjukkan dengan banyaknya bahasan, kajian, atau pun
studi berkaitan dengan tema tersebut yang beberapa di antaranya digunakan dalam laporan
ini sebagai referensi.

Oleh karena itu, dalam bab ini diuraikan secara teoretis terjadinya konflik mengenai
batas daerah di era otonomi, memahami anatomi konflik yang terjadi dan bagaimana dimensi
konflik tersebut dikaji, pendekatan teoretis terhadap faktor-faktor penyebab konflik dan
dampaknya. Di samping itu perlu dikemukakan batasan-batasan terminologi yang digunakan
sebagaimana dirumuskan dalam definisi konsep dan operasional.

A. Konflik Mengenai Batas Daerah di Era Otonomi

Era otonomi yang dimaksud menunjuk pada suatu era yang dimulai sejak berlakunya UU
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Hal itu ditandai dengan pelaksanaan
asas desentralisasi yang dilaksanakan dengan pemberian otonomi yang luas, nyata dan
bertanggung jawab kepada daerah. Prinsip tersebut sangat berbeda dengan pelaksanaan asas
desentralisasi sebelumnya dengan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab saja (UU
Nomor 5 Tahun 1974), sehingga masih terkesan sentralistis. Kehendak untuk mewujudkan
otonomi daerah dilandasi oleh keprihatinan bangsa semasa Orde Baru (Orba) karena adanya
sentralisme kewenangan dan keuangan yang telah mengakibatkan ketimpangan anggaran
pembangunan antara pusat (wilayah ibukota Jakarta) dan daerah (wilayah lain)3. Oleh karena
itu otonomi yang hendak dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 yang
kemudian diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, adalah otonomi yang seluas-luasnya,
nyata dan bertanggung jawab. Adapun penekanan prinsip seluas-luasnya memiliki arti bahwa
daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar
yang menjadi urusan Pemerintah (politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter
dan fiskal, dan agama).
Dengan demikian dapat diketahui bahwa semenjak era otonomi, daerah mempunyai porsi
kewenangan yang sangat besar dibandingkan dengan era sebelumnya. Selanjutnya aspek
wilayah menjadi suatu yang sangat penting sebab wilayah suatu daerah mencerminkan sejauh
mana kewenangan daerah tersebut dapat dilaksanakan. Wilayah merupakan aspek yang dapat
menunjang kemampuan penyelenggaraaan otonomi daerah karena dari wilayah dapat
dihasilkan pajak dan retribusi daerah, dan juga bagi hasil sumber-sumber daya nasional.
Bahkan luas wilayah merupakan variabel dalam penentuan bobot yang mempengaruhi
besarnya dana alokasi umum yang diterima daerah. Oleh karena itu batas daerah memiliki arti
penting dan strategis apabila dibandingkan dengan era sebelumnya. Namun pada
kenyataannya, arti penting dan strategis dari batas daerah belum diimbangi dengan kejelasan
batas antar daerah sehingga akhirnya menimbulkan permasalahan-permasalahan yang dapat
mengakibatkan konflik antar daerah. Pada hakekatnya, konflik tercipta dari kompetisi
memperebutkan akses terhadap otoritas (kekuasaan) dan sumber ekonomi/kemakmuran dari
aktor-aktor yang berkepentingan. Pernyataaan ini selaras dengan sebuah kesimpulan yang
mengatakan bahwa daerah akan merasa terancam kepentingan politik dan ekonominya bila
gagal mempertahankan sumbersumber yang bisa meningkatkan pendapatan daerah.
Celakanya, perasaan terancam ini pula yang menyebabkan daerah rentan disulut konflik atau
kesalahpahaman terhadap daerah lain.

B. Anatomi Konflik Batas Wilayah Antara Kota Magelang dan Kabupaten


Magelang

Kata anatomi (berasal dari bahasa Yunani anatomia, yang berarti memotong) merupakan
cabang dari biologi yang berhubungan dengan struktur dan organisasi dari makhluk hidup10.
Namun dalam konteks ini anatomi digunakan dalam arti yang berkaitan dengan struktur atau
bentuk susunan dari konflik yang dimaksud. Anatomi konflik yang dimaksud meliputi : siapa
saja pihak-pihak yang berkonflik, wujud atau indikator konflik, substansi atau materi konflik,
dan waktu terjadinya konflik.

Konflik dalam penegasan batas daerah yang dimaksud merupakan konflik dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang melibatkan dua pihak lembaga pemerintahan
daerah, yaitu Kota Magelang di satu pihak dengan Kabupaten Magelang di pihak lainnya.
Jadi pada hakekatnya konflik tersebut merupakan konflik antar organisasi pemerintahan
daerah. Konflik antara kedua belah pihak mengenai batas daerah diindikasikan dengan belum
disepakatinya batas fisik di beberapa titik perbatasan meskipun upaya penetapan batas fisik
telah dilakukan dalam kurun waktu yang relatif lama. Konflik dapat dirasakan dalam proses
interaksi antara kedua belah pihak (aksi-reaksi) dalam upaya mencapai kesepakatan yang
diperlukan dalam menentukan beberapa titik batas yang selama ini sulit dicapai
kesepakatannya.

Intensitas konflik semakin meningkat dan jelas seiring dengan bergulirnya “era otonomi
daerah” ketika Pemerintah Kota Magelang mulai mengintensifkan kegiatan penataan batas
wilayah dan mendapatkan reaksi dari Pemerintah Kabupaten Magelang berupa disepakatinya
sejumlah titik batas daerah dan juga tidak disepakatinya beberapa titik batas lainnya hingga
sekarang. Setidaknya ada tiga bagian wilayah yang masih menjadi obyek konflik dan
kemungkinan yang terjadi kedua pihak memandang obyek tersebut memiliki “nilai” yang
patut dipertahankan. Wilayah tersebut yaitu perbatasan sebelah selatan (kompleks Kantor
Pemerintah Kota Magelang posisinya berada di atas wilayah batas antara Kota Magelang
dengan Kabupaten Magelang), sebelah utara (berupa kawasan Perumahan Jambewangi ke
arah persawahan Sidotopo (yang dikembangkan untuk kawasan simpul perekonomian Kota
Magelang), Batas di daerah Jalan Soka (kawasan industri karoseri dan pusat perkonomian
lainnnya) yang masih belum tegas. Dan yang menjadi fokus konflik adalah mengenai batas
sebelah selatan Kota Magelang.

C. Dimensi Konflik Antar Lembaga Pemerintah Daerah

Konflik juga mengandung pengertian “benturan”, seperti perbedaan pendapat, persaingan,


dan pertentangan antara pihak-pihak tertentu. Dalam kasus ini konflik ditandai dengan
adanya “benturan” kebijakan antara dua Pemerintah Daerah mengenai penentuan titik-titik
batas fisik antara dua daerah tersebut. Kebijakan institusi pemerintah sebagai lembaga
merupakan keputusan politik yang merefleksikan juga kepentingan lembaga tersebut,
sedangkan dalam proses pembuatan kebijakan sarat dengan muatan pengaruh. Untuk
mengetahui bagaimana institusi politik beroperasi, bagaimana keputusan penting dibuat maka
informan yang paling relevan adalah para elite politik. Elite didefinisikan sebagai “mereka
yang berhubungan dengan, atau memiliki, posisi penting”. Elite politik berkaitan dengan
seberapa kekuasaan seseorang berpengaruh pada pembuatan kebijakan pemerintah.

Adapun seberapa besar seseorang (aktor) berpengaruh pada pembuatan kebijakan


dipengaruhi beberapa faktor di antaranya: minat pada politik, pengetahuan dan pengalaman
politik, kecakapan dan sumber daya politik, partisipasi politik, kedudukan politik serta
kekuasaan politik. Menurut stratifikasi politik yang disusun oleh Robert D. Putnam maka elit
politik adalah mereka yang berada dekat dengan puncak piramida kekuasaan, yaitu mereka
yang menempati strata kelompok pembuat keputusan, kaum berpengaruh dan aktivis.
Relevansi stratifikasi politik di sini adalah untuk mengidentifikasi elit politik dalam
pembuatan kebijakan daerah. Berdasarkan uraian di atas, maka para elit yang dimaksud
adalah:

1. Kelompok pembuat keputusan, yaitu orang-orang yang umumnya menduduki jabatan


resmi utama yang secara langsung terlibat dalam pembuatan kebijakan. Yang termasuk dalam
kelompok ini adalah para pimpinan dan anggota DPRD sebagai pemegang kekuasaan
legislatif daerah serta Kepala Daerah dan Wakil sebagai pemegang kekuasaan eksekutif
daerah.

2. Kaum berpengaruh, yaitu individu yang memiliki pengaruh langsung atau implikasi kuat.
Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain: Sekretaris Daerah yang secara organisatoris
memegang fungsi perumusan kebijakan daerah, para staf ahli Kepala Daerah, Asisten Bidang
Administrasi Pemerintahan, Kepala Bagian Tata Pemerintahan, Kepala Bagian Hukum dan
konsultan resmi.

3. Aktivis, yaitu individu yang mengambil bagian dalam kehidupan pemerintahan. Yang
termasuk dalam kelompok ini antara lain: Kepala Sub Bagian Pemerintahan Umum oleh
karena bidang tugasnya, para staf pengolah data yang membidangi kegiatan penataan batas
wilayah tersebut

D. Definisi Konsep
a. Konflik
Pengertian konflik (conflict) tidak hanya dipahami dalam arti sempit yang berarti
perkelahian, peperangan atau perjuangan yang menggambarkan adanya bentuk
konfrontasi fisik antara beberapa pihak saja. Konflik berarti berbagai bentuk
pertentangan atau pertikaian. Konflik juga berarti persepsi mengenai perbedaan
kepentingan (perceived divergence of interest) atau suatu kepercayaan bahwa
aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Atau
konflik dalam hal ini dapat dipahami sebagai “benturan”, seperti perbedaan
pendapat, persaingan, dan pertentangan antara dua pihak.30 Oleh karena itu dalam
hal ini kadang digunakan juga istilah antagonisme ataupun perselisihan yang
sinonim dengan konflik.
b. Penegasan Batas Daerah
Mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 1 Tahun
2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah maka yang dimaksud dengan
batas daerah adalah pemisah wilayah penyelenggaraan kewenangan suatu daerah
dengan daerah lain. Adapun yang dimaksud dengan penegasan batas daerah
adalah kegiatan penentuan batas secara pasti di lapangan. Berdasarkan pengertian
tersebut maka konflik dua lembaga tersebut nampak pada alotnya proses
menentukan titiktitik tertentu sebagai batas daerah di lapangan, yang mana harus
membutuhkan kata sepakat kedua belah pihak. Persepsi masingmasing pihak yang
mencerminkan aspirasinya, salah satunya dapat diketahui dari interaksi formal
kelembagaan mengenai penentuan batas wilayah, baik melalui surat-surat,
kebijakan perencanaan daerah perbatasan, maupun rapat-rapat koordinasi
penetapan batas daerah.
BAB III
GAMBARAN UMUM

A. Kondisi Umum Kabupaten Magelang

Secara astronomi Kabupaten Magelang terletak pada 1100 61’ 51” - 1100 10’ 58”
Bujur Timur dan 70 42’ 13” – 70 42’ 16” Lintang Selatan. Luas wilayahnya 1.085,73
km2. Kabupaten Magelang terletak 200 m hingga 3.926 m di atas permukaan laut dengan
ketinggian rata-rata 200 m hingga 800 m di atas permukaan laut. Secara geografis,
Kabupaten Magelang dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: bagian dataran yang terletak
di bagian tengah dan merupakan lembah Sungai Progo dan Elo; bagian barat yang terletak
di lereng Gunung Sumbing dan Pegunungan Menoreh, dan bagian timur yang terletak di
sepanjang lereng-lereng Gunung Merapi, Merbabu, Telomoyo dan Gunung Andong.
Berdasarkan posisi strategisnya Kabupaten Magelang memiliki batas-batas :

Sebelah Utara : Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Semarang;

Sebelah Timur : Kabupaten Semarang dan Kabupaten Boyolali;

Sebelah Selatan : Kabupaten Purworejo, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Kulonprogo


(Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY));

Sebelah Barat : Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo; Di tengah-tengah :


terdapat wilayah Kota Magelang

Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi Jawa Tengah yang
membagi strategi pengembangan wilayah menjadi 10 wilayah pengembangan (WP),
Kabupaten Magelang termasuk dalam Wilayah Pengembangan VII (WP VII) yang
meliputi wilayah Kabupaten Magelang, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Temanggung,
Kabupaten Purworejo, dan Kota Magelang dengan pusat pengembangan wilayah di Kota
Magelang. Adapun potensi yang dikembangkan dalam WP VII adalah kegiatan
pariwisata, pertanian, perdagangan dan industri. Dalam rangka penataan dan penegasan
batas daerah, sampai dengan penelitian ini dilaksanakan Kabupaten Magelang telah
berhasil mencapai kesepakatan batas daerah dengan daerah-daerah yang berbatasan yaitu
dengan Kabupaten Semarang, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Temanggung hingga
untuk penegasan batasnya dalam proses pengusulan untuk memperoleh penetapan oleh
Menteri Dalam Negeri.
B. Kondisi Umum Kota Magelang

Secara astronomis Kota Magelang terletak pada 110°12'30" - 110°12'52" Bujur Timur
dan 7°26'28" - 7°30'9" Lintang Selatan. Luas wilayah Kota Magelang + 18,12 km2 (
hanya kurang lebih seperenampuluh luas wilayah Kabupaten Magelang), dengan
ketinggian antara 325 m hingga 500 m di atas permukaan laut. Adapun batas-batas
wilayah Kota Magelang adalah sebagai berikut:

Sebelah Utara : Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang

Sebelah Timur : Sungai Elo/ Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang

Sebelah Selatan : Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang

Sebelah Barat : Sungai Progo/ Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang

Sesuai batas-batas wilayah yang mengitarinya, dapat diketahui bahwa Kota Magelang
berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten Magelang. Secara administratif
pemerintahan, berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 6 & 7 Tahun 20005 Kota Magelang
terdiri atas 3 kecamatan dan 17 kelurahan. Sebelumnya Kota Magelang terdiri atas 2
kecamatan dan 14 kelurahan. Kota Magelang dijadikan pusat pengembangan WP VII
berdasarkan RTRW Propinsi Jawa Tengah. Dengan wilayahnya yang kecil dan potensi
sumber daya alam yang terbatas maka potensi yang kemudian menjadi titik berat
pengembangan adalah letaknya yang strategis, yaitu berada di persimpangan jalan dan
menjadi transit bagi wilayah di WP.VII.

Kota Magelang sebagai kota jasa wisata, karena letaknya pada jalur-jalur wisata yang
bertaraf internasional (Candi Borobudur dan Pegunungan Dieng) dan regional (antara
lain: Kopeng, Gunung MerapiMerbabu, dan Taman Kyai langgeng). Sedangkan Kota
Magelang sebagai Kota dengan skala pelayanan regional, khususnya wilayah eks
Karesidenan Kedu mempunyai potensi sebagai pusat perdagangan barang dan jasa,
pemerintahan, pendidikan, pelayanan kesehatan, jasa rekreasi dan olah raga, transportasi
dan pusat pergudangan dan bengkel.
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Pentingnya Adanya Suatu Penegasan Batas Wilayah Antara Kota Magelag dan
Kabupaten Magelang.

Batas daerah menjadi sangat penting karena sering kali terjadi ketidakjelasan batas
daerah. Misalnya tidak ada skala, tidak ada proyeksi peta dan system koordinat, tidak ada
datum geodetic, tidak jelasnya delinasi garis batas, tidak dicantumkannya sumber peta,
pembuat dan tahun pembuatannya. Untuk itu harus ada penetapan dan penegasan batas
wilayah.

Mengutip Stephen B Jones, ia mengatakan konsep dasar penetapan dan penegasan


batas wilayah dibagi menjadi empat yakni, alokasi, delimitasi, demarkasi dan
administrasi.

1. Alokasi : keputusan politik sebuah daerah atau perbatasan daerah


sebelah utara, timur, selatan dan barat dari sebuah wilayah.
2. Delimitasi : pemberian tanda atau pilar batas wilayah yang tertuang dalam
perjanjian.
3. Demarkasi : pemberian tanda atau pilar batas wilayah di lapangan.
4. Administrasi : tata kelola batas wilayah mulai dari dokumen terkait,
kesepakatan awal dan UU.

B. Faktor Penyebab Terjadinya Konflik dalam Penegasan Batas Wilayah Antara


Kota Magelang dan Kabupaten Magelang
1. Masalah Struktural
Yang dimaksud masalah struktural di sini adalah sebab-sebab konflik yang
berkaitan dengan kekuasaan, wewenang formal, kebijakan umum (baik dalam
bentuk peraturan perundangan maupun kebijakan formal lainnya), dan juga
persoalan geografis dan faktor sejarah. Aturan dan norma relevan dengan konflik
karena norma menetapkan hasil yang berhak diterima oleh pihak-pihak tertentu
sehingga juga menentukan aspirasi apa yang menjadi haknya. Ketika aspirasi
dianggap tidak kompatibel dengan tujuan pihak lain maka hasilnya dapat
menimbulkan konflik.
Faktor geografis dan sejarah merupakan dua aspek di antara aspek lainnya
yang sering menjadi alasan klaim suatu wilayah. Geografi (geography) merupakan
klaim klasik berdasarkan batas alam, sedangkan sejarah (history) merupakan
klaim berdasarkan penentuan sejarah (pemilikan pertama) atau durasi (lamanya
kepemilikan).
a. Implikasi dari pelaksanaan peraturan perundang-undangan
b. Implikasi kebijakan pemerintah
c. Faktor sejarah, klaim berdasarkan penentuan sejarah (pemilikan pertama) atau
durasi (lamanya kepemilikan).
d. Faktor geografis, bagaimana klaim wilayah berdasarkan batas alam.
2. Faktor Kepentingan
Masalah kepentingan menimbulkan konflik karena adanya persaingan
kepentingan yang dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian.
Konflik kepentingan ini terjadi ketika salah satu pihak atau lebih meyakini bahwa
untuk memuaskan kebutuhan/keinginannya, pihak lain harus berkorban.
a. Kepentingan eksistensi territorial daerah
b. Kepentingan politik elit
c. Kepentingan terhadap pengelolaan potensi social wilayah-wilayah.
3. Perbedaan Nilai
Yang dimaksud di sini adalah konflik disebabkan oleh system sistem
kepercayaan yang tidak bersesuaian entah itu dirasakan atau memang ada.
4. Konflik Hubungan Antar Manusia
Konflik hubungan antar manusia terjadi karena adanya emosi emosi negatif
yang kuat, salah persepsi atau stereotip, salah komunikasi, atau tingkah laku
negatif yang berulang.
5. Konflik Data
Konflik data terjadi ketika orang kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk
mengambil keputrusan yang bijaksana, mendapat informasi yang salah, tidak
sepakat mengenai apa saja data yang relevan, menterjemahkan informasi dengan
cara yang berbeda, atau memakai tata cara pengkajian yang berbeda.
Di samping itu, petunjuk atau gejala konflik juga dapat dibedakan kepada
indikator-indikator sebagai berikut:
a. Gejala yang bersifat struktural dan melembaga, atau sering dianggap
sebagai latar belakang atau kondisi politik.
b. Gejala pemicu, yaitu peristiwa tertentu yang menjadi katalis
meletusnya konflik.
c. Gejala akselelator, yaitu peristiwa atau perkembangan tertentu yang
dapat meningkatkan suasana tegang dan menonjolkan sisi paling
rawan dalam masyarakat.
Pembedaan petunjuk atau gejala konflik dalam tiga indikator di atas terlihat
lebih memperhatikan dimensi waktu, dalam arti gejala yang satu ada mendahului
gejala yang lain atau terjadi dalam waktu yang “relatif” tidak bersamaan.
Identifikasi dengan pendekatan ini tentunya akan berguna untuk membedakan
sebab-sebab mana yang menjadi sebab utama dan mana pula yang menjadi faktor
penyebab ikutan (yang berkembang kemudian).

C. Dampak Yang Ditimbulkan Dari Terjadinya Konflik dalam Penegasan Batas


Wilayah Antara Kota Magelang dan Kabupaten Magelang
Akibat terjadinya konflik dalam penegasan batas daerah adalah beberapa titik
batas fisik di lapangan masih kabur. Kekaburan titik batas daerah dapat berimplikasi
pada beberapa bidang kehidupan (khususnya politik, ekonomi, sosial), yang
selanjutnya disebut dampak dari konflik batas daerah tersebut.
Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, daerah otonom (daerah) adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Pengertian tersebut mengandung arti bahwa batas
wilayah menentukan kewenangan teritorial daerah tertentu. Jadi, tidak dibenarkan
menurut hukum kewenangan suatu daerah melampaui batas wilayahnya.
1. Dampak dalam bidang social
- Dalam pelaksanaan pelayanan administrasi pertanahan
Dampak yang ditemukan pada aspek pelayanan administrasi pertanahan yaitu
permasalahan data yuridis tanah pada proses pengurusan bukti kepemilikan
hak atas tanah (sertifikat) khususnya di tingkat desa yang batas wilayahnya
tidak tegas karena belum terselesaikannya penegasan batas
daerah. Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA/ UU Nomor 5
Tahun 1960), bukti kepemilikan hak atas tanah yang kuat adalah surat-surat
tanda bukti hak yang disebut sertifikat hak atas tanah. Sertifikat tersebut
diperoleh melalui pendaftaran tanah.
- Dalam pelaksanaan pelayanan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB)
Ijin Mendirikan Bangunan diperlukan untuk pengaturan bangunan agar sesuai
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. Namun dampak sosial yang tidak
begitu luas karena penegasan batas yang tidak kunjung selesai terjadi pada
pelayanan IMB, dan terjadi hanya pada kasus bangunan yang terbelah oleh
garis batas daerah. Hal lainnya yang perlu juga disampaikan disini yaitu pada
aspek pelayanan administrasi kependudukan, dapat dikatakan tidak terjadi
dampak sosial yang menimbulkan masalah. Hal tersebut disebabkan karena
berdasarkan klaim kewilayahan yang sesuai dengan Peta Administrasi Kota
Magelang sejak Tahun 1987 kemudian berlaku status kependudukan yang
terpisah berdasarkan batas riil tersebut.
Apabila dilihat dari aspek Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
kedua daerah, maka dapat dikatakan tidak terjadi dampak negatif yang
signifikan oleh karena ketidakpastian batas daerah, khususnya pada batas
wilayah sebelah selatan Kota Magelang . Hal tersebut dapat dilihat dari
RTRW masing –masing daerah tersebut Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kota Magelang yang terakhir berlaku adalah sebagaimana tertuang
dalam Peraturan Daerah Kotamadya Dati II Magelang Nomor 4 Tahun 1999.
Sebagian wilayah Kota Magelang yang masih dalam status konflik batas
daerah merupakan bagian dari Kelurahan Jurangombo dan Magersari yang
termasuk dalam Bagian Wilayah Kota III (BWK III) (merupakan pusat
kegiatan pariwisata, olah raga dan daerah ABRI), serta Kelurahan Tidar
(sekarang: Tidar Selatan) yang termasuk dalam BWK IV (merupakan pusat
kegiatan industri, jasa, perdagangan dan pusat transportasi).
Sedangkan berdasarkan RTRW Kabupaten Magelang 2001-2010,
Kawasan Campuran yang berkembang di sekitar Kota Magelang lebih
diarahkan ke perkantoran, jasa dan perdagangan. Dilihat dari rencana penataan
ruang sebagaimana tersebut di atas maka masih ada kesesuaian rencana tata
ruang di wilayah yang batasnya belum tegas tersebut antara Kota Magelang
dengan Kabupaten Magelang, yaitu merupakan kawasan campuran. Pada
aspek penataan ruang ini juga tidak dapat dikatakan terjadi tumpang tindih
yang diakibatkan ketidakjelasan batas, karena RTRW lebih cenderung
menggunakan pendekatan “kawasan” bukan titik-titik batas fisik yang pasti di
lapangan sebagaimana dalam penegasan batas daerah. Disamping itu, pada
aspek penataan ruang wilayah, pihak Kota Magelang telah menyusun Rencana
Tata Ruang Wilayah yang mengacu pada Peta Administrasi Kota Magelang
Tahun 1987 (yang masih berstatus batas sementara). Sedangkan pada pihak
Kabupaten Magelang akhirnya menyesuaikan dengan Peta Administrasi Kota
Magelang yang telah digunakan oleh Kota Magelang.
2. Dampak dalam bidang politik, dengan indikator: kondisi pelaksanakan hak pilih
(partisipasi politik) di wilayah yang masih dalam sengketa.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Faktor-faktor penyebab konflik dalam penegasan batas daerah antara Kota
Magelang dengan Kabupaten Magelang terdiri atas: faktor latar belakang, faktor
pemicu konflik dan faktor akselelator, yang masing-masing tidak berdiri sendiri
sebagai faktor penyebab.
2. Faktor latar belakang yang dimaksud berupa faktor struktural (UU Pembentukan
Daerah; kebijakan Mendagri dalam perluasan daerah Kota Magelang; faktor
sejarah yaitu klaim wialyah berdasarkan sejarah penguasaan secara de-facto tanpa
penegasan secara yuridis; Peraturan–peraturan yang berpengaruh pada eksistensi
daerah; serta faktor kepentingan (kepentingan pengelolaan potensi sosial wilayah).
3. Dampak yang dapat diidentifikasi terjadi pada aspek pelayanan administrasi
pertanahan yaitu terjadinya dualisme kewenangan pemberian data yuridis atas
tanah-tanah tertentu pada sebagian proses pengurusan bukti kepemilikan hak atas
tanah (sertifikat) khususnya di tingkat desa kelurahan yang batas wilayahnya tidak
tegas. Disamping itu adanya ketidakpastian kewenangan dalam pelayanan Ijin
mendirikan Bangunan (IMB).

B. Saran
Masing-masing pihak perlu melakukan evaluasi terhadap upaya mewujudkan
kesepakatan dalam penegasan batas daerah yang tengah dilaksanakan dan hingga kini
belum membuahkan hasil yang memuaskan. Evaluasi dimaksud adalah evaluasi
secara sungguh-sungguh dan menyeluruh terhadap pelaksanaan Kesepakatan Bersama
Nomor 2007///01 200711 IP ERJ Tahun tanggal 23 Januari 2007 tentang Pelaksanaan
Penegasan Batas Daerah Antara Pemerintah Kota Magelang dengan Pemerintah
Kabupaten Magelang.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai