Anda di halaman 1dari 22

BAB II

PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN

Tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi


salmonella Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang
sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman
salmonella (Smeltzer & Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta:
EGC).

Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh
kuman salmonella Thypi (Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran,
Jakarta : Media Aesculapius.).

Demam typhoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram
negatif Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi
dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran
darah. (Darmowandowo, 2006)

2. ETIOLOGI

Etiologi demam thypoid adalah salmonella thypi (S.thypi) 90 % dan


salmonella parathypi (S. Parathypi Adan B serta C). Bakteri ini berbentuk batang,
gram negatif, mempunyai flagela, dapat hidup dalam air, sampah dan debu.
Namun bakteri ini dapat mati dengan pemanasan suhu 600selama 15-20 menit.
Akibat infeksi oleh salmonella thypi, pasien membuat antibodi atau aglutinin
yaitu :

 Aglutinin O (antigen somatik) yang dibuat karena rangsangan antigen O


(berasal dari tubuh kuman).
 Aglutinin H (antigen flagela) yang dibuat karena rangsangan antigen H
(berasal dari flagel kuman).
 Aglutinin Vi (envelope) terletak pada kapsul yang dibuat karena
rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan


titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar pasien menderita
tifoid. (Aru W. Sudoyo. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 2009. Ed V.Jilid III.
Jakarta: interna publishing)

3. MANISFESTASI KLINIS
Gejala yang timbul sangat bervariasi dimana timbul secara tiba-tiba atau
berangsur-angsur.adapun gejala awal ditandai dengan :
a. Malaise
b. Anorexia
c. Lidah kotor (tampak keputihan)
d. Sakit kepala
e. Rasa tak enak diperut
f. Nyeri seluruh tubuh (psykosomatis)

Gejala klinis :
Minggu I :
a. Demam tinggi bertahap
b. Nyeri kepala
c. Pusing
d. Nyeri otot
e. Anoreksia
f. Perasaan tidak enak diperut,batuk
g. Epistaksis
Minggu II :
a. Demam kontinyu
b. Apatis,lemah,delirium sampai dengan comatus
c. Bradikardia relative
d. Lidah yang khas (kotor di tengah, tepid an ujung merah dan
tremor)
e. Hepatomegal, spenomegali
Minggu III :
a. Disorientasi mental
b. Dimungkinkan bisa timbul perdarahan atau perforasi
Minggu IV :
a. Demam mulai menurun
b. Perbaikan keadaan umum
(Sjaifoellah Noer, 1997 hlm 438)
4. PATOFISIOLOGI

Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke


dalam tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam
(pH < 2) banyak bakteri yang mati. Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria,
gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor histamin H2, inhibitor pompa
proton atau antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis infeksi. Bakteri
yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada
sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus,
tepatnya di ileum dan jejunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s
patch, merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel
limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang
melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa.
Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di
dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe

(Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis. Jakarta: IDAI).
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang lamanya
ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka
Salmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk
ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ
manapun, akan tetapi tempat yang disukai oeh Salmonella typhi adalah hati,
limpa, sumsum tulang belakang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum
terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah
atau penyebaran retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di empedu dapat
menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja. Peran endotoksin
dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak
terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus.
Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati,
limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk
memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat
menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi
sumsum tulang belakang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem
imunologik (Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi &
Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI).
5. PATHWAY
6. PENATALAKSANAAN
A. Medis
1) Anti Biotik (Membunuh Kuman) :
a. Klorampenicol
b. Amoxicilin
c. Kotrimoxasol
d. Ceftriaxon
e. Cefixim

2) Antipiretik (Menurunkan panas) :


a. Paracetamol
B. Keperawatan
1. Observasi dan pengobatan
2. Pasien harus tirah baring absolute sampai 7 hari bebas demam
atau kurang lebih dari selam 14 hari. Maksud tirah baring
adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perforasi usus.
3. Mobilisasi bertahap bila tidak panas, sesuai dengan pulihnya
kekuatan pasien.
4. Pasien dengan kesadarannya yang menurun, posisi tubuhnya
harus diubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari
komplikasi pneumonia dan dekubitus.
5. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-
kadang terjadi konstipasi dan diare.
6. Diet
 Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein.
 Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
 Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari
lalu nasi tim
 Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas
dari demam selama 7 hari

(Smeltzer & Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC).

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan leukosit

Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat


leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah
sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada
sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat
leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.

b. Pemeriksaan SGOT Dan SGPT

SGOT Dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat
kembali normal setelah sembuhnya typhoid.

c. Biakan darah

Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila
biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid.
Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :

1. Teknik pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium


yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang
digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam
tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.

2. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit


Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada
minggu pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada
waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.

3. Vaksinasi di masa lampau

Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat


menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan
bakteremia sehingga biakan darah negatif.

4. Pengobatan dengan obat anti mikroba

Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti


mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil
biakan mungkin negatif.

d. Uji Widal

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam
serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan.
Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita tifoid

Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kuman


Salmonella typhi. Uji widal dikatakan bernilai bila terdapat kenaikan titer widal 4
kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, titer H >
1/60 (dalam sekali pemeriksaan) Gall kultur dengan media carr empedu
merupakan diagnosa pasti demam tifoid bila hasilnya positif, namun demikian,
bila hasil kultur negatif belum menyingkirkan kemungkinan tifoid, karena
beberapa alasan, yaitu pengaruh pemberian antibiotika, sampel yang tidak
mencukupi. Sesuai dengan kemampuan SDM dan tingkat perjalanan penyakit
demam tifoid, maka diagnosis klinis demam tifoid diklasifikasikan atas:Possible
Case dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala
demam,gangguan saluran cerna, gangguan pola buang air besar dan
hepato/splenomegali. Sindrom demam tifoid belum lengkap. Diagnosis ini hanya
dibuat pada pelayanan kesehatan dasar.

Probable Case telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap,
serta didukung oleh gambaran laboraorium yang menyokong demam tifoid (titer
widal O > 1/160 atau H > 1/160 satu kali pemeriksaan).

Definite Case Diagnosis pasti, ditemukan S. Thypi pada pemeriksaan


biakan atau positif S.Thypi pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan
titerWidal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O>
1/320, H > 1/640 (pada pemeriksaan sekali).

(Widodo, D. 2007. Buku Ajar Keperawatan Dalam. Jakarta: FKUI)

8. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian Esofagus dan abdomen kiri atas

1) Esofagus dan abdomen kiri atas

 Perawat menanyakan tentang napsu makan pasien; tetap sama,meningkat


atau menurun.
 Adakah ktidaknyamanan saat menelan, bila ada apakah terjadi hanya
karena pada makanan tertentu?
 Apakah berhubungan dengan nyeri?
 Apakah perubahan posisi mempengaruhi ketidaknyamanan?
 Pasien ditanyakan untuk menggambarkan pengalaman nyeri,
 adakah yang memperberat nyeri?
 Adakah gejala lain seperti rugurgitasi, regurgitasi noctural,
kembung(eruktasi), yeri ulu hati, tekanan subesternal, sensasi makanan
menyangkut ditenggorokan, perasaan penuh setelah makan dalam jumlah
sedikit, mual, muntah dan penuruna berat badan.
 Apakah gejala meningkat dengan emosi? Jika ada tanyakan waktu
kejadian, faktor penghilang atau pemberat seperti perubahan posisi,
kembung, antasida atau muntah.

b. Pengkajian lambung

Anamnese:

 Apakah pasien mengalami nyeri ulu hati, tidak dapat makan, mual atau
muntah
 Apakah gejala terjadi kapan saja? Sebelum atau sesudah makan?setelah
makan makanan pedas atau mencerna obat tertentu?
 Apakah gejala berhubungan dengan ansietas, stress alergi, makan atau
minum terlalu banyak, atau makan terlalu cepat?
 Bagaimana gejala hilang?
 Adakah riwayat penyakit lambung

Pemeriksaan fisik;

Palpasi ringan dari ujung kiri atas abdomen sampai sedikit melewati garis
kuadran kanan atas untuk mendeteksi adanya nyeri tekan.

c. Pengkajian abdomen kuadran kanan atas

1) Hati dan kandung empedu

Anamnese:

 Kaji adanya keluhan digestif; mual, muntah, muntah darah,anoreksia, diare


dan melena
 Kaji riwayat perubahan mental dan ganggguan motorik
 Tanyakan apakah pasien telah mengalami perubahan berat badan atau
intoleransi terhadap diet; mual, muntah, kejang dalam 24 jam terakhir
 Kaji adanya sendawa, kesulitan menelan, flatulensi, muntah berdarah
(hematemesis), feses kehitaman, jantung terasa terbakar, diare atau
konstipasi
 Tanyakan riwayat keluarga tentang adanya kanker, penyakit ginjal,
alkoholisme, hipertensi atau penyakit jantung.
 Periksa penggunaan alkohol yang biasa pasien lakukan
 Tanyakan apakan pasien menggunakan zat atau obat tertentu yang bersifat
hepatoksik

Pemeriksaan fisik;

Inspeksi:

 Warna kulit
 Sclera mata untuk menilai adanya ikterus
 Pembesaran abdomen akibat cairan (asites)

Perkusi :

untuk menilai luasnya asites dapat dilakukan perkusi abdomen, apabila


sudah terdapat cairan dalam kavum peritoneal maka daerah pinggang akan
menonjol ketika pasian dalam posisi supinasi. Selanjutnya dilakukan
pemeriksaan shifting dullness aau dengan mendeteksi gelombang cairan.

Palpasi:

Palpasi pada daerah kuadran kanan atas dibawah rongga iga untuk
mendapatkantepi bawah hati, untuk memeriksa pembesaran hati.

Letakan tangan kiri dibawah toraks posterior kanan pasien pada iga
kesebelas dan dua belas, kemudian memberi tekanan keatas. Dengan jari-
jari tangan kanan mengarah pada tepi kostal kanan, perawat meletakan
tangan di atas kuadran kanan atas tepat dibawah tepi hati.pada saat perawat
menekan keatas dan kebawah secara perlahan, pasien menarik napas dalam
melalui abdomen. Pada saat pasien berinhalasi, perawat mencoba
memalpasi tepi hati pada saat hati menurun.

Pada keadaan normal hati tidak mengalami nyeri tekan dan memiliki tepi
yang teratur dan tajam.

d. Pengkajian abdomen kuadran kiri dan kanan bawah

1) Kolon

Anamnese:

 Kaji adanya keluhan digestif; mual, muntah, muntah darah,anoreksia, diare


dan melena
 Bila pasien mengalami nyeri abdomen atau nyeri punggung bawah, kaji
karakter nyeri secara terperinci.
 Kaji adanya penggunaan laksatif
 Perhatikan gerakan dan posisi pasien. Posisi dan gerakan mengindikasikan
letak nyeri.
 Tanyakan apakah pasien mengalami penurunan berat badan selama 24 jam
terakhir
 Tentukan apakah pasien wanita sedang mengandung atau tidak.

Inspeksi:

 Inspeksi abdomen melihat kondisi abdomen pasien dikuadran bawah


tentang kontur dan simetrisitas dari abdomen dilihat dengan identifikasi
penonjolan lokal, distensi, atau gelombang peristalitik.

Auskultasi :

 Dilakukan terlebih dahulu seblum palpasi dan perkusi yang dapat


meningkatkan motilitas usus dan dengan demikian dapat mengubah bising
usus.
 Auskultasi abdomen untuk mendengarkan bising usus dari motilitas usus
dan mendeteksi bunyi vaskular. Pasien diminta untuk tidak berbicara.

Palpasi :

 Palpasi ringan dan palpasi dalam pada bagian bwah abdomen


 kaji ukuran, lokasi, bentuk, lokasi, bentuk, konsitensi, nyeri tekan, pulsasi,
dan mobilitasnya.

Perkusi :

 mengetahui letak oragn-organ yang berada dibawahnya, tulang dan massa,


serta untuk membantu mengungkapkan adanya udara didalam lambung
dan usus.
 Catat suara timpani atau pekak
e. Pengkajian feses

Bila feses mengandung darah yang menghasilkan warna hitam (melena),


dicurigai adanya pendarahan pada rektal bawah atau anal.

9. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang sering muncul dalam kasus demam thypoid
adalah sebagai berikut :
a. Hipertermi berhubungan dengan penyakit atau trauma
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen penyebab cidera biologis atau
infeksi
c. Ketidakseimbangangan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan intake makanan yang tidak adekuat
d. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan, istirahat total
dan pembatasan karena pengobatan

10. RENCANA KEPERAWATAN


NO DIAGNOSA TUJUAN/HASIL RENCANA TINDAKAN RASIONAL
. KEPERAWA YANG
TAN DIHARAPKAN
1. Hypertermi Termoregulasi 1. Pantau suhu tubuh Meyakinkan
Tanda-tanda pasien setiap 4 jam perbandingan data yang
b/d proses
Vital akurat.
infeksi 2. Kolaborasi pemberian Menurunkan demam.
Setelah dilakukan antipiretik sesuai
tindakan anjuran
keperawatan
selama….x 24 3. Turunkan panas dengan Meningkatkan
jam pasien melepaskan selimut kenyaman, menurunkan
menujukan atau menanggalkan temperatur suhu tubuh
temperatur dalan pakian yang terlalu
batas normal tebal, beri kompres
dengan kriteria: dingin pada aksila dan
· Bebas dari liatan paha.
kedinginan
· Suhu tubuh 4. Pantau dan catat denyut Peningkatan denyut nadi,
stabil 36-37 C dan irama nadi, penurunan tekan vena
· Tanda-tanda vekanan vena sentral, sentral, dan penurunan
vital dalam tekanan darah, tekanan darah dapat
rentang normal frekuensi napas, tingkat mengindikasikan
responsitas, dan suhu hipovolemia yang
kulit minimal 4 jam mengarah pada perfusi
jaringan. Kulit yang
dingin, pucat dan burik
dapat juga
mengindikasikan
peunurunan perfsi
jaringan. Peningkatan
frekuensi pernapasan
berkompensasi pada
hipoksia jaringan.

5. Observasi adanya Perubahan tingkat


konfusi disorientasi kesadaran dapat
merupakan akibat dari
hipoksia jaringan

6. Berikan cairan IV Menghindari kehilangan


sesuai yang dianjurkan air natrium klorida dan
kalium yang berlebihan.
2. Nyeri akut Tingkat Manajemen nyeri :
kenyamanan 1. Lakukan pegkajian 1. Respon nyeri sangat
Control nyeri nyeri secara komprehensif individual sehingga
termasuk lokasi, penangananya pun
Setelah dilakukan karakteristik, durasi, berbeda untuk masing-
askep selama ..... frekuensi, kualitas dan masing individu.
x 24 jam pasien faktor presipitasi.
menunjukan ting
kat 2. Observasi reaksi 2. Menngetahui tingkat
kenyamananmen nonverbal dari kenyamanan
ingkat, dan ketidaknyamanan.
dibuktikan 3. Gunakan teknik 3. Komunikasi yang
dengan: komunikasi terapeutik terapetik mampu
· level nyeri pada untuk mengetahui meningkatkan rasa
scala 2-3 pengalaman nyeri klien percaya klien terhadap
· Pasien dapat sebelumnya. perawat sehingga dapat
melaporkan nyeri lebih kooperatif dalam
pada petugas, program manajemen
· Frekuensi nyeri nyeri.
· Ekspresi wajah 4. Kontrol faktor 4. Lingkungan yang
· Menyatakan lingkungan yang nyaman dapat membantu
kenyamanan fisik mempengaruhi nyeri klien untuk mereduksi
dan psikologis, seperti suhu ruangan, nyeri.
· TD 120/80 pencahayaan, kebisingan.
mmHg, N: 60-100
x/mnt, RR: 16- 5. Kurangi faktor 5.Meningkatkan
20x/mnt presipitasi nyeri. kenyamanan
6. Pilih dan lakukan 6.Pengalihan nyeri
Control nyeri penanganan nyeri dengan relaksasi dan
pada level 3 (farmakologis/non distraksi dapat
dibuktikan farmakologis). mengurangi nyeri yang
dengan: sedang timbul.
· Pasien
melaporkan gejala 7. Ajarkan teknik non 7. Meningkatkan
nyeri dan control farmakologis (relaksasi, kenyamanan
nyeri. distraksi dll) untuk
mengetasi nyeri.

8. Berikan analgetik 8. Pemberian analgetik


untuk mengurangi nyeri. yang tepat dapat
membantu klien untuk
beradaptasi dan
mengatasi nyeri.

9. Evaluasi tindakan 9. Tindakan evaluatif


pengurang nyeri/kontrol terhadap penanganan
nyeri. nyeri dapat dijadikan
rujukan untuk
penanganan nyeri yang
mungkin muncul
berikutnya atau yang
sedang berlangsung.
10. Kolaborasi 10. Kolaborasi yang
dengan dokter bila ada tepat membantu pasien
komplain tentang mempercepat tindakan
pemberian analgetik tidak keperawatan
berhasil. 11. Sebagai rujukan
11. Monitor penanganan nyeri
penerimaan klien tentang
manajemen nyeri.

Administrasi analgetik :.
1. Cek program
pemberian analogetik;
jenis, dosis, dan frekuensi.
2. Cek riwayat alergi..
3. Tentukan analgetik
pilihan, rute pemberian
dan dosis optimal.
4. Monitor TTV sebelum
dan sesudah pemberian
analgetik.
5. Berikan analgetik
tepat waktu terutama saat
nyeri muncul.
6. Evaluasi efektifitas
analgetik, tanda dan gejala
efek samping.
Ketidakseimb Status gizi : Manajemen Nutrisi Manajemen nutrisi dan
asupan gizi 1. kaji pola makan klien
angan nutrisi monitor nutrisi yang
2. Kaji adanya alergi
kurang dari Setelah dilakukan makanan. adekuat dapat membantu
askep selama 3. Kaji makanan yang
kebutuhan klien mendapatkan
....x24 jam pasien disukai oleh klien.
tubuh menunjukan: 4. Kolaborasi dg ahli nutrisi sesuai dengan
status nutrisi gizi untuk penyediaan
kebutuha tubuhnya.
adekuat dibuktik nutrisi terpilih sesuai
an dengan BB dengan kebutuhan klien.
stabil tidak terjadi 5. Anjurkan klien untuk
mal nutrisi, meningkatkan asupan
tingkat energi nutrisinya.
adekuat, masukan 6. Yakinkan diet yang
nutrisi adekuat dikonsumsi mengandung
cukup serat untuk
mencegah konstipasi.
7. Berikan informasi
tentang kebutuhan nutrisi
dan pentingnya bagi tubuh
klien.
Monitor Nutrisi
1. Monitor BB setiap
hari jika memungkinkan.
2. Monitor respon klien
terhadap situasi yang
mengharuskan klien
makan.
3. Monitor lingkungan
selama makan.
4. Jadwalkan
pengobatan dan tindakan
tidak bersamaan dengan
waktu klien makan.
5. Monitor adanya mual
muntah.
6. Monitor adanya
gangguan dalam proses
mastikasi/input makanan
misalnya perdarahan,
bengkak dsb.
7. Monitor intake
nutrisi dan kalori.
Defisit Perawatan diri : Bantuan perawatan diri Bantuan perawatan diri
aktivitas 1. Monitor kemampuan
perawatan dapat membantu klien
kehidupan pasien terhadap perawatan
diri sehari-hari diri dalam beraktivitas dan
2. Monitor kebutuhan
melatih pasien untuk
Setelah dilakukan akan personal hygiene,
asuhan berpakaian, toileting dan beraktivitas kembali.
keperawatan makan
....x24 jam klien 3. Beri bantuan sampai
mampu klien mempunyai
melakukan kemapuan untuk merawat
Perawatan diri
diri/Self care : 4. Bantu klien dalam
Activity Daly memenuhi kebutuhannya.
Living (ADL) 5. Anjurkan klien untuk
dengan skala 1-2 melakukan aktivitas
dengan indicator : sehari-hari sesuai
· Pasien dapat kemampuannya
melakukan 6. Pertahankan aktivitas
aktivitas sehari- perawatan diri secara rutin
hari (makan, 7. Evaluasi kemampuan
berpakaian, klien dalam memenuhi
kebersihan, kebutuhan sehari-hari.
toileting, 8. Berikan
ambulasi) reinforcement atas usaha
· Kebersihan yang dilakukan dalam
diri pasien melakukan perawatan diri
terpenuhi sehari hari.
Self-care assistant.
1. Kaji kemampuan
klien self-care mandiri
2. Kaji kebutuhan klien
untuk personal hygiene,
berpakaian, mandi, cuci
rambut, toilething, makan.
3. sediakan kebutuhan
yang diperlukan untuk
ADL
4. Bantu ADL sampai
mampu mandiri.
5. Anjurkan keluarga
untuk membantu
6. Ukur tanda vital
setiap tindakan
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Lingkungan yang bersih adalah lingkungan yanhg sehat.
Apabila lingkungan sehat maka bakteri dan virus akan lebih sedikit
berkembang biak disana. Begitupun dengan bakterisalmonella
typhi penyebab demam tifod akan lebih banyak terdapat pada
lingkungan yang kotor dan tingkat perilaku hidup bersih sehat
sangat kurang sehingga kuman tersebut akan banyak terdapat
disana. Kurangnya menjaga kebersihan lingkungan dan rendahnya
kesadaran mastarakat dalam berperilaku hidup bersih sehat akan
menjadi bimerang bagi masyarakat itu sendiri, khususnya
lingkungan mereka akan lebih rentan terkena penyakit.
Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang
disebabkan oleh kuman salmonella Thypi.Kuman Salmonella Typi
masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang
tercemar. Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui
berbagai cara, yang dikenal dengan 5F yaitu food (makanan),
fingers (jari tangan/kuku), fomitus (muntah), fly (lalat), dan
melalui feses. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan
kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang
tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat
melalui mulut. Kemudian kuman masuk kedalam lambung,
sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan
sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai
jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman
berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel
retikuloendotelial.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari Thypoid?
2. Bagaimana etiologi dari Thypoid?
3. Bagaimana manisfestasi klinik dari Thypoid?
4. Bagaimana Patofisiologi dari Typoid?
5. Bagaimana Pathway dari T
6. Bagaimana penatalaksanaan medis dari Thypoid?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang dari Thypoid?
8. Bagaimana pengkajian keperawatan dari Thypoid?
9. Apa saja diagnosa keperawatan dari Thypoid?
10. Bagaimana rencana keperawatan dari Thypoid?
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Typhoid adalah suatu penyakit infeksi akut yang biasanya
mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan
pada saluran cerna dan gangguan kesadaran. Penyakit pada usus yang
menimbulkan gejala-gejala sistemik yang disebabkan oleh salmonella
typhi, salmonella type A.B.C penularan terjadi secara pecal, oral melalui
makanan dan minuman yang terkontaminasi.

B. SARAN
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
maka dengan adanya makalah ini, diharapkan pembaca dapat memahami
tentang penyakit typoid dengan baik
DAFTAR PUSTAKA

Aru W. Sudoyo.(2009) Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed V.Jilid III.


Jakarta: Interna Publishing

Departemen Kesehatan RI. (2009). Profil Kesehatan Indonesia Tahun


2008. Depkes RI, Jakarta

Nugroho, Susilo, (2011). Pengobatan Demam Tifoid. Yogyakarta: Nuha


Medika

Mansjoer, Arif. (2009). Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : Media


Aesculapius.

Simanjuntak, C. H, (2009). Demam Tifoid, Epidemiologi dan


Perkembangan Penelitian. Cermin Dunia Kedokteran No. 83.)

Sjamsuhidayat. (1998). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. EGC. Jakarta.

Smeltzer & Bare. (2002). Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC

Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk. (2012). Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis. Jakarta: IDAI)

Widodo, D. (2007). Buku Ajar Keperawatan Dalam. Jakarta: FKUI

Anda mungkin juga menyukai