Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah menganugerahkan nikmat iman serta
limpahan barakah kepada kami, sehingga kami berkesempatan untuk menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW,
Yakni suri tauladan ummat, hingga menjadi motivasi kami untuk berkarya melalui ilmu
bermanfaat. Tak lupa kami haturkan terima kasih kepada dosen pembimbing, yang telah
memberikan kami pemahaman akan beberapa disiplin ilmu sehingga kami mempunyai bekal
dalam menyelesaikan makalah kami, karena tanpa bimbingan dosen maka sulit bagi kami untuk
bisa menyelesaikan makalah ini yang membahas tentang informed consen t(persetujuan tindakan
medis).
Tiada lain tujuan kami menyusun makalah ini, kecuali hanya untuk menambah pengethuan
kita dalam bidang etika dan hukum kesehatan, maka kami sediakan makalah ini yang di dalamnya
telah kami bahas secara spesifik tentang informed consent mulai dari pengertian dasar serta
penerapannya.
kami berharap dengan hadirnya makalah ini maka akan menambah ilmu pengetahuan dan
harapan besar kami semoga makalah ini bisa bermamfaat untuk kami dan pembaca semuanya.
Februari, 2020
Penyusun
DAFTAR ISI
COVER…………………………………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN
1.3 . Tujuan…….........................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
3.1. Kesimpulan………………………………………………………………………….…….15
3.2. Saran………………………………………………………………………..…………...…16
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………...16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Informed consent merupakan suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif
antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang
tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah
sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan
yang ditawarkan pihak lain. Atau Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran
yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Tujuan
Informed Consent adalah memberikan perlindungan kepada pasien serta memberi perlindungan
hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif.
Secara aspek hukum informed consent dapat disimpulkan yaitu persetujuan yang diberikan
oleh pasien atau keluarga atas dasar informasi dan penjelasan mengenai tindakan yang akan
dilakukan terhadap pasien yang tertera dalam Permenkes No 290/MENKES/PER/III/2008 Pasal 1
Ayat (1). Tujuan Informed Consent adalah melindungi hak individu untuk menentukan nasibnya
sendiri (self-determination).
Peraturan Informed Consent apabila dijalankan dengan baik antara Dokter dan pasien akan
sama-sama terlindungi secara Hukum. Tetapi apabila terdapat perbuatan diluar peraturan yang
sudah dibuat tentu dianggap melanggar hukum. Dalam pelanggaran Informed Consent telah diatur
dalam pasal 19 Permenkes No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran,
dinyatakan terhadap dokter yang melakukan tindakan tanpa Informed Consent dapat dikenakan
sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik.
Untuk itu, sangat diperlukan bagi dokter, tenaga kesehatan serta masyarakat untuk
mengetahui tentang aspek hukum informed consent. Selain itu perlu pula mengetahui isi dari
informed consent serta format informed consent yang sah secara hukum.
PEMBAHASAN
Informed Consent adalah istilah yang telah diterjemahkan dan lebih sering disebut dengan
Persetujuan Tindakan Medik. Secara harfiah, Informed Consent terdiri dari dua kata, yaitu :
Informed dan Consent. Informed berarti telah mendapatinformasi/penjelasan/keterangan. Consent
berarti memberi persetujuan atau mengizinkan.
Pengertian yang lebih luas terkait informed consent yakni adalah memberi izin atau
wewenang kepada seseorang untuk melakukan suatu informed consent(IC),dengan demikian
berarti suatu pernyataan setuju atau izin oleh pasien atau secara sadar, bebas dan rasional setelah
memperoleh informasi yang dipahaminya, dari tenaga kesehatan/doker yang memahami tentang
penyakitnya. Kata dipahami harus digaris bawahi atau ditekankan, karena pemahaman suatu
informasi oleh tenaga kesehatan/dokter belum tentu dipahami juga oleh pasien. Harus diingat
bahwa yang terpenting adalah pemahaman oleh pasien (Hendrik, 2010,hal.57).
1. Memberikan perlindungan hukum kepada pasien sebagai pengguna jasa medis dari
segala tindakan dokter yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien dan melindungi
pasien dari malpraktek yang disebabkan karena adanya kesalahan yang dilakukan oleh
dokter dalam tindakan kedokteran yang mengakibatkan kerugian bagi pasien.
2. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter yang telah menjalankan tindakan
medis sesuai dengan standar pelayanan kedokteran apabila terjadi suatu kegagalan
medis. Hal tersebut dikarenakan pada setiap tindakan medis melekat suatu risiko. Tidak
mungkin dokter menjamin upaya pengobatan yang diberikan akan selalu berhasil sesuai
keinginan pasien/keluarga. Dokter hanya dapat memberikan upaya maksimal untuk
kesembuhan pasien (inspanningsverbintenis).
Informed Consent itu sendiri menurut jenis tindakan / tujuannya dibagi tiga, yaitu:
1. Yang bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi subyek penelitian)
2. Yang bertujuan untuk mencari diagnosis;
3. Yang bertujuan untuk terapi.
3 Expressed Consent
Persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau tulisan, bila yang akan dilakukan
lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang biasa. Dalam keadaan demikian
sebaiknya kepada pasien disampaikan terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukan
supaya tidak sampai terjadi salah pengertian.
Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3
(tiga) unsur sebagai berikut :
a. Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah
sakit.
b. Hak memperoleh pelayanan yang adil dan manusiawi
c. Hak memperoleh pelayanan keperawatan dan asuhan yang bermutu sesuai dengan
standar profesi keperawatan tanpa diskriminasi.
d. Hak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai
dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit
e. Hak meolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri
pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh
informasi yang jelas tentang penyakitnya.
f. Hak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis
g. Hak menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu
tidak mengganggu pasien lainnya
h. Hak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit
i. Hak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit terhadap dirinya
j. Hak menerima atau menolak bimbingan moral atau spiritual
k. Hak didampingi perawat atau keluarga pada saat diperiksa dokter.
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan
pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan
kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang
bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan
hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak
saja maupun oleh dua pihak.
Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis,
disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap
tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana
maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang
digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil
dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara
umum berlaku pada “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti
rugi”.Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolak ukur yang dipergunakan adalah
“kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu, adanya kesalahan kecil (ringan) pada
pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolak ukur untuk menjatuhkan
sanksi pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa
tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis
(pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan
persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan
digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena
pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya
pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu
tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan
pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa
tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah
melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa
“informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara
pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing
pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari
informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah
suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk
ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga
diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan
dengan informed consent ini.
Persetujuan dari pasien dari merupakan hal yang harus sangat diperhatikan, pasien
tepat tidak dibawah tekanan hubungan tenaga – pasien. Sebelum dan sesudahnya telah
mendapatkan informasi lengkap, dan pihak yang membuat persetujuan adalah mereka
pasien dewasa (lebih dari 21 tahun atau sudah menikah ) atau dapat diwakilkan pihak
Keluarga/ Wali/ induk semang.Syarat sahnya persetujuan tindakan medik yang dilakukan
oleh tenaga medis terhadap pasien, sejatinya pasien diberikan secara bebas, diberikan oleh
orang yang sanggup membuat perjanjian.Telah mendapatkan penjelasan dan
memahaminya, Mengenai susuatu hal yang khas dari persetujuan ini, tindakan dilakukan
pada situasi yang sama. Tetapi penolakan (informed refusal) bisa juga dilakukan oleh
pasien, karena merupakan hak pasien/ keluarga pasien dan tiada satupun tenaga kesehatan
yang bisa memaksa sekalipun berbahaya bagi pasien maka sebaiknya pihak rumah sakit/
dokter meminta pasien/ kel menandatangani surat penolakan terhadap anjuran tindakan
medik tersebut di lembaran khusus.
Seperti yang telah di atur dalam peraturan berikut:
Undang-Undang Republik Indonesia no.36 tahun 2009
Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI).
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1419/Men.Kes/Per/X/2005 tentang
Penyelanggaraan Praktik Kedokteran.
2.8 Sanksi Hukum Informed Consent
1. Sanksi Pidana
Apabila seorang tenaga kesehatan menorehkan benda tajam tanpa persetujuan
pasien dipersamakan dengan adanya penganiayaan yang dapat dijerat Pasal 351
KUHP
2. Sanksi Perdata
Tenaga kesehatan atau sarana kesehatan yang mengakibatkan kerugian dapat
digugat dengan 1365, 1367, 1370, 1371 KUHPer
3. Sanksi Administratif
Pasal 13 pertindik mengatur bahwa
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien atau
keluarganya dapat dikenakan sanksi administrative berupa pencabutan izin praktik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai dengan
munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent” melalui SK PB-
IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585
tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”. Serta dipertegas oleh
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004.
informed Consent yang diperoleh dengan tata cara yang tidak benar tidak dapat di anggap sebagai
penemu hak otonomi pasien, sehingga tindakan tersebut merupakan tindakan melanggar hukum
namun demikian pelaksanaan informed Consennt di indonesia hanya dilakukan dengan
mengindahkan nilai-nilai dalam budaya setempat yang sangat bervariasi.
3.2 Saran
Dalam Hal ini semoga dapat membatu pengetahuan dan menambah ilmu pengetahuan kita
dalam kesehatan , dan yang terpenting adalah dalam hal ini Pemerintah Bertanggung jawab
merencanakan , mengatur, menyelenggarakan dan membina Serta mengawasi penyelenggaraan
upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masayarakat. Juga sumber daya di bidang
kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya, terhadap Informed Consent agar kelak tidak terjadi perselisihan
DAFTAR PUSTAKA