Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia dimana yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Keberhasilan penyebaran Islam di Nusantara tidak dapat dipisahkan dari peranan wali
sanga. Ketika menyiarkan Islam para wali sanga menggunakan berbagai bentuk kesenian
tradisional masyarakat setempat dengan cara menyisipkan nilai-nilai islam ke dalam
kesenian tersebut. Upaya para wali sanga tersebut diterima baik oleh masyarakat, mereka
tidak merasa asing karena budaya asli mereka tidak dihapus. Lambat laun seni budaya
local tersebut berubah menjadi seni budaya local yang bernuansa Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah tentang Nyandran?
2. Bagaimanakah tentang Suroan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang Nyandran
2. Untuk mengetahui tentang Suroan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Nyandran
1. Pengertian Nyadran
Nyadran berasal dari bahasa Sansekerta, sraddha yang artinya keyakinan.
Nyadran adalah tradisi pembersihan makam oleh masyarakat Jawa, umumnya di
pedesaan. Dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artiya ruwah
syakban. Nyadran adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam
leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur.
Secara etimologi nyadran dapat diartikan sebagai satu bentuk tradisi layaknya
kenduri yang menggunakan sarana tertentu yang biasanya berwujud makanan
besekan. Sementara makanan yang biasanya harus ada saat nyadran adalah berujud
ketan, kolak, serta apem.
Upacara kenduri itu dimaksudkan untuk menghormati arwah para leluhur
keluarga tertentu. Dalam upacara itu, selain kenduri, biasanya juga dilakukan ziarah
kubur dengan membawa bunga-bungaan, terutama bunga telasih, sebagai lambang
masih adanya hu bungan yang akrab dan selalu segar antara si peziarah dan arwah
leluhur yang diziarahi.
Menurut catatan sejarah, tradisi nyadran memiliki kesamaan dengan tradisi
craddha yang ada pada zaman kerajaan Majapahit (1284). Kesamaannya terletak pada
kegiatan manusia berkaitan dengan leluhur yang sudah meninggal, seperti
pengorbanan, sesaji, dan ritual sesembahan yang hakikatnya adalah bentuk
penghormatan terhadap yang sudah meninggal.
Secara etimologis, kata craddha berasal dari bahasa Sansekerta “sraddha” yang
artinya keyakinan, percaya atau kepercayaan. Masyarakat Jawa kuno meyakini bahwa
leluhur yang sudah meninggal, sejatinya masih ada dan memengaruhi kehidupan anak
cucu atau keturunannya.
Oleh karena itu, mereka sangat memperhatikan saat atau waktu, hari dan
tanggal meninggalnya leluhur. Pada waktu-waktu (saat) itu, mereka yang masih hidup
diharuskan membuat sesaji berupa kue, minuman, atau kesukaan yang meninggal.
Selanjutnya, sesaji itu ditaruh di meja, ditata rapi, diberi bunga setaman, dan diberi
penerangan berupa lampu.
Ketika Islam datang ke pulau Jawa mulai abad ke-13, banyak tradisi Hindu-
Buddha yang terakulturasi dengan ajaran Islam. Akulturasi ini makin kuat ketika
Walisongo menjalankan dakwah Islam di Jawa mulai abad ke-15. Proses pengislaman
atau pribumisasi ajaran Islam, berlangsung sukses dan membuahkan sejumlah
perpaduan ritual, salah satunya adalah tradisi sraddha yang menjadi nyadran.
Karena pengaruh agama Islam pula makna nyadran mengalami pergeseran,
dari sekadar berdoa kepada Tuhan, menjadi ritual pelaporan dan wujud penghargaan
kepada bulan Sya’ban atau Nisfu Sya’ban. Ini dikaitkan dengan ajaran Islam bahwa
bulan Sya’ban yang datang menjelang Ramadhan, merupakan bulan pelaporan atas
amal perbuatan manusia.
Oleh karena itu, pelaksanaan ziarah juga dimaksudkan sebagai sarana
introspeksi atau perenungan terhadap segala daya dan upaya yang telah dilakukan
selama setahun. Saat itu, nyadran dimaknai sebagai sebuah ritual yang berupa
penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan doa keselamatan. Saat
agama Islam masuk ke Jawa pada sekitar abad ke-13, ritual semacam nyadran dalam
tradisi Hindu-Buda lambat laun terakulturasi dengan nilai-nilai Islam.
Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan dakwah ajaran Islam
di Jawa mulai abad ke-15. Pribumisasi ajaran Islam membuahkan sejumlah perpaduan
ritual, salah satunya budaya nyadran. Oleh karena itu, nyadran bisa jadi merupakan
“modifikasi’ para wali ketika memperkenalkan agama Islam di tanah Jawa.
Langkah itu ditempuh para wali, karena untuk melakukan persuasi yang
efektif terhadap orang Jawa, agar mau mengenali dan masuk Islam. Nyadran pun
menjadi media siar agama Islam. Selain ritual nyadran, salah satu kompromi atau
akulturasi budaya Jawa dalam islam berupa penempatan nisan di atas jenazah yang
dikuburkan.
Batu nisan tersebut sebagai penanda keberadaan si jenazah, agar kelak anak-
cucunya dan segenap keturunannya bisa mendatangi untuk ziarah, mendoakan sang
arwah, sewaktu-waktu. Bagi sebagian besar masyarakat pedesaan di Jawa, mudik
terdiri atas dua arus. Arus besar pertama terjadi dalam rangka menyongsong lebaran,
atau Idul Fitri.
Sedangkan arus kedua terjadi pada saat ruwahan menjelang bulan puasa.
Namun para perantau kerap memposisikan nyadran lebih tinggi dibanding Hari Raya
idul Fitri. Setidaknya, para akan lebih memilih mudik pada saat ruwahan, dibanding
pada lebaran.
Apalagi ketika kemudian tradisi mudik lebaran juga berarti masa perjuangan
penuh risiko, seperti transportasi yang semakin mahal, jalanan macet dan seterusnya.
Pada saat mudik nyadran, biasanya pula orang-orang Jawa di perantauan akan
berusaha mengalokasikan anggaran untuk perbaikan batu nisan atau kompleks makam
keluarga, makam para leluhur yang dihormati.
2. Pelaksanaan nyadran
Tempat-tempat yang digunakan dalam tradisi nyadran biasanya berupa makam
leluhur atau tokoh besar yang banyak berjasa bagi syiar agama. Lazimnya kegiatan
nyadran dilakukan dengan ziarah ke makam-makam leluhur atau orang besar (para
tokoh) yang berpengaruh dalam menyiarkan agama Islam pada masa lalu. Masyarakat
di satu daerah memiliki lokasi ziarah masing-masing.
Waktu pelaksanaan nyadran biasanya dipilih pada tanggal 15, 20, dan 23
Ruwah atau sya’ban. Pemilihan tanggal nyadran itu, di samping berdasar kesepakatan,
juga berdasar paham mudhunan dan munggahan, yaitu paham yang meyakini bulan
Ruwah sebagai saat turunnya arwah para leluhur untuk mengunjungi anak cucu di
dunia.
Prosesi ritual nyadran biasanya dimulai dengan membuat kue apem, ketan, dan
kolak. Adonan tiga jenis makanan dimasukkan ke dalam takir, yaitu tempat makanan
terbuat dari daun pisang, di kanan kiri ditusuki lidi (biting). Kue-kue tersebut selain
dipakai munjung/ater-ater (dibagi-bagikan) kepada sanak saudara yang lebih tua, juga
menjadi ubarampe (pelengkap) kenduri. Tetangga dekat juga mendapatkan bagian
dari kue-kue tadi. Hal itu dilakukan sebagai ungkapan solidaritas dan ungkapan
kesalehan sosial kepada sesama.
Selesai melakukan pembersihan makam, masyarakat kampung menggelar
kenduri yang berlokasi di sepanjang jalan menuju makam atau lahan kosong yang ada
di sekitar makam leluhur (keluarga). Kenduri dimulai setelah ada bunyi kentongan
yang ditabuh dengan kode dara muluk (berkepanjangan). Lalu seluruh keluarga dan
anak-anak kecil serta remaja hadir dalam acara kenduri itu.
Tiap keluarga biasanya akan membawa makanan sekadarnya, beragam jenis,
lalu duduk bersama dalam keadaan bersila. Kemudian, kebayan desa membuka acara,
isinya bermaksud untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada warga
yang sudah bersedia menyediakan makanan, ambengan, dan lain-lain termasuk
waktunya.
Setelah itu, Mbah Kaum (ulama lokal) yang sudah dipilih menjadi rois, maju
untuk memimpin doa yang isinya memohon maaf dan ampunan atau dosa para leluhur
atau pribadi mereka kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Doanya menggunakan tata cara agama Islam, warga dan anak-anak
mengamini. Suasana ceria anak-anak tergambar dengan semangat melafalkan amin
sambil berteriak. Selesai berdoa, semua yang hadir mencicipi makanan yang digelar.
Pada saat itu ada yang tukar-menukar kue, ada yang asyik ngobrol dengan kanan-kiri,
maklum beberapa warga pulang dari perantauan hadir dalam kenduri. Biasanya Mbah
Kaum diberi uang wajib dan makanan secukupnya, sedangkan yang tak hadir atau si
miskin diberi gandhulan, nasi, kue yang dikemas khusus kemudian diantar ke rumah
yang sudah disepakati diberi gandhulan.
Dari tata cara tersebut, jelas nyadran tidak sekadar ziarah ke makam leluhur,
tetapi juga ada nilai-nilai sosial budaya, seperti budaya gotongroyong, guyub,
pengorbanan, ekonomi. Bahkan, seusai nyadran ada warga yang mengajak saudara di
desa ikut merantau dan bekerja di kota-kota besar.
Makna simbolis dari ritual nyadran atau ruwahan itu sangat jelas, bahwa saat
memasuki bulan Ramadhan atau puasa, mereka harus benar-benar bersih, yang antara
lain diupayakan dengan cara harus berbuat baik terhadap sesama, juga lingkungan
sosialnya. Melalui rangkaian tradisi nyadran itulah orang Jawa merasa lengkap dan
siap untuk memasuki ramadhan, bulan suci yang penuh berkah itu. Sebab, bagi orang
Jawa, nyadran juga berarti sebuah upaya untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan,
memperbaiki hubungan baik dengan masyarakat dan lingkungan, serta menunjukkan
bakti kepada para leluhur mereka.
Menurut Fandi Hutari (2009), aneka makanan, kemenyan, dan bunga yang tersaji
dalam tradisi nyadran memiliki arti simbolis, antara lain:
a. Tumpeng, melambangkan sebuah pengharapan kepada Tuhan agar
permohonan terkabul.
b. Ingkung (ayam yang dimasak utuh) melambangkan manusia ketika masih
bayi belum mempunyai kesalahan.
c. Pisang raja, melambangkan suatu harapan supaya kelak hidup bahagia; jajan
pasar melambangkan harapan berkah dari Tuhan.
d. Ketan, kolak, dan apem, merupakan satu-kesatuan yang bermakna
permohonan ampun jika melakukan kesalahan.
e. Kemenyan merupakan sarana permohonan pada waktu berdoa.
f. Bunga, melambangkan keharuman doa yang keluar dari hati tulus.
Beraneka “bawaan” tersebut merupakan unsur sesaji sebagai dasar landasan
doa. Setelah berdoa, makanan-makanan tersebut menjadi rebutan para
peziarah yang hadir. Inilah arti kebersamaan dalam tradisi nyadran.
Selain makna-makna tersebut, nyadran juga memiliki makna sosial. Ketika
masyarakat melaksanakan nyadran, mereka harus bekerja bersama. Ada unsur gotong-
royong, kebersamaan, kasih sayang, dan pengorbanan di dalamnya. Nyadran juga
menjadi ajang silaturahmi antar anggota masyarakat. Karena itulah, tradisi nyadran
akrab dengan nilai kearifan lokal bangsa kita.
Di sini ada hubungan kekerabatan, kebersamaan, kasih sayang di antara warga
atau anggota trah. Di samping itu, semakin jelas adanya nilai transformasi budaya dan
tradisi dari yang tua kepada yang muda.

B. Suroan
Pada Orang Jawa banyak hal yang bisa dicermati dan dikaji terkait dengan bulan
Muharram atau wulan Suro. Orang Jawa memiliki tradisinya sendiri di dalam merayakan
bulan Muharram atau bulan Suro.
Berbeda dengan umat Islam pada umumnya yang merayakan bulan Muharram,
misalnya dengan Puasa, Baca doa, Baca Yasin atau Baca Surat Al Ikhlas, sampai
sedekah kepada fakir miskin dan anak yatim, maka Orang Jawa menyelenggarakan
upacara Suroan dengan tradisi yang lebih unik.
Memang, masih ada sekelopompok orang yang membedakan antara Islam dan
Jawa. Bagi mereka Jawa dan Islam merupakan dua entitas yang masing-masing berdiri
sendiri-sendiri. Islam adalah suatu hal tersendiri, demikian juga Jawa adalah sesuatu hal
yang lain. Sebagai entitas kebudayaan, maka Islam dan Jawa merupakan suatu hal yang
berbeda. Sementara itu juga ada sebagian masyarakat yang menyatakan bahwa Islam dan
Jawa merupakan dua entitas yang sudah menjadi satu. Keduanya telah lama membangun
dialog kebudayaan yang saling memberi dan menerima. Pandangan kedua inilah yang
kiranya menjadi arus utama akhir-akhir ini.
Dengan demikian, antara Islam dan Jawa sudah merupakan suatu entitas
kebudayaan yang menyatu, dan tidak terpisahkan. Ibaratnya mata uang koin, maka sisi
yang satu adalah Islam dan sisi lainnya adalah Jawa. Jadi tidak bisa dipisahkan. Dalam
pandangan seperti ini, maka Islam dapat berkolaborasi dengan tradisi Jawa, sehingga
Islam dan Jawa dapat membangun demokrasi dan kemoderenan. Keduanya saling
memberikan sumbangannya dalam satu kesatuan untuk membangun peradaban yang
agung dan mendunia.
Islam dan Jawa memang merupakan entitas budaya yang dapat memberikan warna
khusus Islam dibanding dengan Islam di tempat lain. Kekhususan itu terletak pada
berbagai upacara yang dalam banyak hal tidak dijumpai pada praktek Islam di tempat
lain, bahkan di pusat sumber orisinalitas Islam di Timur Tengah. Makanya, ada beberapa
hal yang kiranya dapat dipahami mengenai perilaku Orang Islam Jawa, terkait dengan
perayaan tanggal 1 Muharram atau 1 Suro.
1. Tradisi mencintai dan menghormati keris atau benda-benda pusaka lainnya. Keris
atau benda-benda pusaka lainnya tentu bukanlah tradisi genuine Islam. Hampir di
semua kerajaan Islam dijumpai benda-benda pusaka. Bahkan para Wali juga
memiliki benda-benda pusaka. Di dalam cerita, misalnya Kanjeng Sunan Giri
memiliki Kyai Kolomunyeng, kemudian Raja Mataram memiliki Kyai Sengkelat,
ada juga Kyai Nogososro Sabuk Inten dan sebagainya. Ini tentu melengkapi
kehebatan para empu (pembuat keris) seperti Empu Gandring dalam cerita Kerajaan
Tumapel, atau Empu Supo dalam cerita Walisongo dan sebagainya. Bahkan di setiap
wilayah juga menyimpan tradisi senjata-senjata sakti, seperti Rencong di Aceh,
Tombak dan Keris di Jawa, dan sebagainya.
2. Tradisi melakukan puasa-puasa khas. Misalnya pada bulan Suro penganut Islam
Jawa melakukan puasa patigeni, puasa mutih, puasa ngrowot, puasa ngebleng dan
sebagainya. Puasa patigeni dilakukan dengan cara tidak memakan makanan hasil
perapian, puasa mutih artinya hanya makan nasi putih dan air putih saja saat
berbuka, puasa ngrowot dilakukan dengan hanya memakan buah-buahan, puasa
ngebleng dilakukan dengan menanam dirinya di tanah dan sebagainya. Puasa-puasa
ini tentu saja dilakukan dengan tujuan untuk melatih kejiwaan dan kekuatan batin
agar dekat dengan Allah sing agawe urip (Tuhan yang mencipta kehidupan). Urip
iku urup artinya bahwa hidup itu adalah pengabdian kepada Tuhan untuk
kepentingan kemanusiaan. Bulan Suro di kalangan Orang Jawa dikenal sebagai
bulan tirakatan. Tirakat yang dilakukan oleh Orang Jawa tentu agak berbeda dengan
tarekat dalam pengertian organisasi kaum sufi. Tirakatan artinya adalah tindakan
untuk pendekatan khusus kepada Allah swt, melalui puasa, berdzikir atau eling
kepada Allah, melanggengkan ritual-ritual khusus yang dianggap sebagai cara atau
jalan agar bisa berdekatan dengan Tuhan.
3. Tradisi memandikan pusaka yang dianggap memiliki kesaktian. Mungkin ada di
antara kita yang tidak meyakini bahwa pusaka (keris, tombak, bahkan batu akik)
memiliki kekuatannya sendiri. Kekuatan khusus yang hanya dimiliki oleh benda-
benda tersebut. Kekuatan itu adalah anugerah Allah kepada alam. Ada keistimewaan
yang dimiliki oleh benda-benda tersebut karena sesungguhnya adalah representasi
dari kekuasaan Allah. Orang Jawa meyakini bahwa ada representasi kekuasaan
Allah pada benda-benda di alam ini.
4. Tradisi Ziarah kubur para Orang Suci. Ziarah kubur sekarang sudah merupakan
bagian dari tradisi Islam Indonesia. Tidak hanya Orang Jawa yang melakukan ritual
ziarah kubur para wali atau penyebar Islam. Akan tetapi makin banyak orang yang
melakukan ziarah Wali. Di Jawa dikenal ziarah Wali Songo ( Wali Sembilan).
Wisata ziarah ini dilakukan secara berjamaah. Meskipun dewasa ini ziarah Maqam
Wali tidak terbatas pada bulan-bulan tertentu, namun demikian khusus bulan
Muharram kuantitas peziarahnya semakin banyak. Ritual ziarah makam suci
dilakukan dengan harapan bahwa Allah akan memberikan keselamatan dan
keberkahan hidup selama setahun berlangsung. Mereka mempercayai bahwa para
Waliyullah adalah washilah yang baik agar doanya diterima oleh Allah. Mereka
bukan berdoa kepada arwah Waliyullah, akan tetapi menjadikan orang suci ini
sebagai perantara yang baik untuk doa yang dilantunkannya kepada Allah swt.
5. Tradisi sedekah juga mewarnai bulan Suro. Ada keyakinan bahwa bulan Muharram
adalah bulan yang sangat baik untuk sedekah. Orang yang banyak sedekah kepada
orang miskin dan anak yatim akan dihindarkan oleh Allah dari marabahaya. Mereka
meyakini bahwa melalui sedekah kepada anak yatim pada tanggal 10 Muharram,
maka Allah akan menurunkan keselamatan dan keberkahan kepada yang
melakukannya. Itulah sebabnya, banyak orang yang berlomba-lomba mengeluarkan
sedekah pada bulan Muharram ini.
Bulan Suro atau Bulan Muharram merupakan bulan yang dianggap sebagai bulan
keramat. Makanya, orang Jawa banyak melakukan ritual-ritual untuk memperoleh
keselamatan dan keberkahan. Kita tentu tidak bisa memvonis apakah pelaksanaan
upacara-upacara ini memiliki dalil naqli atau tidak, akan tetapi satu hal yang penting
adalah adanya keyakinan bahwa di bulan Suro ini segala keprihatinan dan tirakatan harus
dilakukan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Nyadran berasal dari bahasa Sansekerta, sraddha yang artinya keyakinan. Nyadran
adalah tradisi pembersihan makam oleh masyarakat Jawa, umumnya di pedesaan. Dalam
bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artiya ruwah syakban. Nyadran
adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga,
dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur. Secara etimologi nyadran
dapat diartikan sebagai satu bentuk tradisi layaknya kenduri yang menggunakan sarana
tertentu yang biasanya berwujud makanan besekan. Sementara makanan yang biasanya
harus ada saat nyadran adalah berujud ketan, kolak, serta apem.
Bulan Suro atau Bulan Muharram merupakan bulan yang dianggap sebagai bulan
keramat. Makanya, orang Jawa banyak melakukan ritual-ritual untuk memperoleh
keselamatan dan keberkahan. Kita tentu tidak bisa memvonis apakah pelaksanaan
upacara-upacara ini memiliki dalil naqli atau tidak, akan tetapi satu hal yang penting
adalah adanya keyakinan bahwa di bulan Suro ini segala keprihatinan dan tirakatan harus
dilakukan

B. Saran
Dari makalah yang telah kami buat, mungkin terdapat kesalahan dan kekurangan
baik itu dari penulisan atau dari kata-katanya, kami sangat mengharapkan saran dan
kritik dari para pembaca, agar dapat memberikan motivasi atau nasihat guna
memperbaiki makalah ini nantinya
DAFTAR PUSTAKA

http://riqbmift.blogspot.co.id/
https://rohissmpn14depok.wordpress.com/kbm-pai/tradisi-islam-di-nusantara/
http://worldofsifa.blogspot.co.id/2014/04/makalah-agama-tradisi-islam-di-indonesia.html
http://www.dhanhariz.esy.es/2016/03/makalah-sejarah-seni-budaya-tradisi.html
http://arifrahmadhidayat1.blogspot.co.id/2014/12/tradisi-malam-1-suro.html

Anda mungkin juga menyukai