Anda di halaman 1dari 15

Saat ini Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) - khususnya IAIN dan STAIN

telah dan sedang dihadapkan pada persoalan besar dan mendasar. Persoalan tersebut
adalah menyangkut tentang out put-nya yang hingga kini belum terakomodasi secara
memadahi ke dalam berbagai aspek kebutuhan kehidupan modern. Padahal tuntutan
perubahan terus bergulir seiring dengan perubahan zaman. Persoalan demikian
ternyata tidak hanya menimpa PTAI di Indonesia, namun juga telah menggejala
hampir di sebagian besar Perguruan Tinggi Agama Islam di belahan dunia. Hasil
penelitian Bassam Tibi menyatakan :
bahwa hampir seluruh universitas Islam di kawasan Timur Tengah dan Afrika
–dia tidak menyebut Indonesia—sangat menekankan kapasitas untuk
menghafal agar mahasiswa bisa lulus dalam studi mereka; tidak pada kapasitas
untuk berfikir kritis dan analitis. Mahasiswa dipersiapkan bukan untuk
menjawab tantangan perubahan, tetapi untuk stabilisasi dan gengsi. Alhasil,
setelah lulus dari studi, para mahasiswa lebih dibekali dengan ijazah, tetapi
tidak dengan kualifikasi yang dapat diterapkan secara bermanfaat dalam proses
pembangunan. Tamatan universitas pada umumnya dalam masyarakat, pertama
kali tidak ditanya tentang bidang keahlian dan kualifikasi mereka tetapi tentang
gelar akademis yang mereka sandang, dan dari universitas mana mereka
peroleh.1

Pendapat Tibi di atas sama dengan kondisi Perguruan Tinggi Islam yang ada di
Indonesia. Persoalan ini muncul sebagai konsekuensi logis permasalahan yang
dihadapi PTAI pada umumnya —mulai dari belum jelasnya landasan epistemologi
keilmuan yang dibangun, visi-misinya (sebagai lembaga dakwah, akademis atau
praktis-pragmatis) yang juga belum jelas, sampai kepada persoalan kurikulum, SDM
pengelolanya, minimnya anggaran dana yang tersedia, terbatasnya bangunan
kerjasama (stake holders), sarana-prasarana yang kurang memadahi, dan sebagainya.
Di lain sisi, barangkali tidak bisa dipungkiri peran dan kiprah para alumni PTAI
dalam perkembangan masyarakat Indonesia selama ini. Tidak sedikit alumninya
yang muncul sebagai sosok pemikir, wartawan, bahkan juga politisi di pentas
nasional.2
Itulah sebabnya ide untuk menkonversi lembaga pendidikan tinggi Islam,
seperti STAIN dan IAIN, menjadi universitas adalah sebuah kebutuhan bagi umat

1
Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accommodation of Social Change (Boulder: 1991), 110.
2
Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetiyo (ed.), “Menilik Dinamika IAIN”, dalam Problem dan
Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam (Ditpertais Depag. RI, 2000), xxvi.

1
Islam untuk mensejajarkan dirinya dengan perguruan tinggi umum yang bidang
garapan keilmuannya lebih luas dan marketabel di masyarakat. Hal ini menjadi nyata
setelah IAIN Jakarta bermetamorfosa menjadi UIN Jakarta melalui Keputusan
Presiden Nomor 031 tanggal 20 Mei Tahun 2002 tentang Perubahan IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.3
Memasuki era baru abad 21, tantang baru bagi IAIN menjadi Perguruan Tinggi
Islam yang mampu menangkap tantangan global. Di mana pada abad ini menghadapi
masyarakat yang semakin kompleks, perkembangan iptek yang semakin maju.
Sehingga menuntut IAIN kembali untuk menerjemahkan tantangan dan peluang era
abad 21 ini, ide itupun disuarakan yakni gagasan ingin mentrasformasi IAIN menjadi
Universitas. Di awal memang ini ide besar dan akan membutuhkan perjuangan yang
berat. Tentunya akan menghadapi pro kontra atas harapan IAIN menjadi UIN.

A. SEJARAH IAIN INDONESIA

Dalam sejarahnya yang panjang, kajian Islam (Islamic studies) di Indonesia


sebenarnya bukanlah tumbuh dan berkembang dari realitas historis yang kosong; ia
hadir secara kronologis dalam konteks ruang dan waktu yang jelas, sebagai respon
sejarah atas sejumlah persoalan keagamaan yang dialami umat Islam di negeri ini.
Secara substantif, kajian Islam sebenarnya sudah dimulai semenjak agama ini datang
ke Indonesia pada abad ke 13 dan mencapai momentum spiritualnya pada abad ke
17. Kajian keislaman di masa-masa ini diwarnai oleh proses transformasi nilai
keagamaan secara besar-besaran yang dilakukan oleh para pemimpin sufi dan
‘ulama’, terutama di lembaga-lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren.4
Setelah kemerdekaan RI seiring dengan berpindahnya ibukota akibat revolusi
dari Jakarta ke Yogyakarta, maka keberadaan Sekolah Tinggi Islam tersebut
mengikuti gerak para aktivis Republik. Pada tanggal 10 April 1946, sebuah
perguruan Islam berdiri di Yogyakarta dan kemudian beralih status menjadi
Universitas Islam Indonesia (UII) pada tanggal 10 Maret 1948 dengan empat

3
Lihat http://www.uinjkt.ac.id/index.php/tentang-uin.html, diakses tanggal 17 Desember 2014.
4
Atho Mudzhar, “In the Making of Islamic Studies in Indonesia (In Search for a Qiblah),” makalah
disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and Social
Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000

2
fakultas: Kajian Islam, Hukum, Ekonomi, dan Pendidikan. Sebagai penghargaan
pemerintah atas perjuangan umat Islam dalam memperoleh kemerdekaan RI, maka
pada tahun 1951 pemerintah meresmikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
(PTAIN) yang diambilkan dari fakultas Kajian Islam UII yang memiliki empat
fakultas: Fakultas Dakwah (belakangan menjadi Fakultas Dakwah dan Ushuluddin),
Fakultas Qad{a>’ (belakangan menjadi Fakultas Syari’ah), dan Fakultas Tarbiyah.
Kurang lebih delapan tahun kemudian Fakultas Adab ditambahkan melengkapi
keempat fakultas yang ada setelah ia diintegrasikan dengan ADIA (Akademi Dinas
Ilmu Agama) di Jakarta, sebuah akademi yang
didesain untuk mempersiapkan calon-calon tenaga kepegawaian di Departemen
Agama RI.5
Integrasi kedua lembaga pendidikan tinggi Islam di atas melahirkan sebuah
lembaga pengkajian Islam yang kemudian disebut sebagai Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Dalam peraturan pemerintah tersebut juga menjelasnya tetang tujuan
adanya IAIN adalah untuk memperbaiki dan memajukan pendidikan tenaga ahli
agama Islam guna keperluan pemerintah dan masyarakat. Secara formal IAIN
diresmikan tanggal 24 Agustus 1960 berdasarkan atas Penetapan Menteri Agama No.
35 tahun 1960, berkedudukan di Jogjakarta.6 Adapun IAIN memiliki lima fakultas:
Dakwah, Ushuluddin, Shari’ah, Tarbiyah, dan Adab. Sementara IAIN Yogyakarta
tetap berdiri secara independen, lembaga serupa di Jakarta juga berdiri sebagai
lembaga independen. Keduanya merupakan lembaga pendidikan tinggi Islam tertua
di Indonesia.
Belakangan ini, muncul ide di kalangan pembuat kebijakan pendidikan tinggi
Islam untuk mengembalikan semangat kajian Islam yang lebih komprehensif lagi;
disiplin keilmuan yang dicakup IAIN tidak melulu meliputi disiplin ilmu agama
semata, namun juga ilmu-ilmu umum yang bernuansa keislaman, seperti psikologi,
komunikasi, sosiologi, antropologi, dan lain sebagainya. Ke depan, IAIN akan

5
Azra, Azyumardi. “The Making of Islamic Studies in Indonesia”. Makalah disampaikan dalam
seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and Social Transformation. di Jakarta 23-
24 November 2000.
6
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), cet. 5,
h. 14-17

3
dikembangkan dalam bentuk Universitas Islam Negeri (UIN) yang membawahi
bidang kajian keislaman dan ilmu-ilmu sekuler.

B. LATAR BELAKANG TRANSFORMASI IAIN MENJADI UIN

Makna Institut dan Universitas merupakan hal penting untuk dikemukakan,


mengingat istilah-istilah teknis tersebut seringkali bersifat terbatas, yang pada
gilirannya berakibat pada “tidak leluasanya” untuk mencoba melakukan perubahan-
perubahan di dalamnya bila hal tersebut dirasa perlu dan penting. Di antara contoh
mutakhir yang dapat dikemukakan adalah adanya ungkapan bahwa sebuah Institut
Agama Islam (IAIN) tidak akan dapat melakukan transformasi atau konversi ilmu-
ilmu ke-Islam-annya dengan ilmu-ilmu umum selama tidak merubah institusinya
menjadi Universitas. Begitu juga Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) tidak akan
dapat mengembangkan paradigma kajian keilmuannya sebelum merubah diri
menjadi sebuah Institut, dan seterusnya. Padahal dalam realitas-praksisnya,
paradigma keilmuan yang dibangun dari kedua Perguruan Tinggi Islam tersebut
senafas dan sejalan. Demikian persoalan yang seringkali menjadi kendala bagi
komunitas Perguruan Tinggi Islam, khususnya bagi para pengelolanya.
Hal tersebut biasanya terkait dengan kendala-kendala administratif dan
birokratif. Oleh karena itu, ada dua istilah yang perlu dijelaskan yaitu: Institut dan
Universitas, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa Institut adalah sebuah lembaga
pendidikan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau pendidikan
vokasi6 dalam sekelompok disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni, dan
jika memenuhi syarat dapat menyelenggarakan pendidikan profesi. Sedangkan
Universitas adalah lembaga pendidikan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan
akademik dan/atau pendidikan vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi,
dan/atau seni, dan jika memenuhi syarat dapat menyelenggarakan pendidikan
profesi.7
Rencana besar transformasi IAIN menjadi UIN didasari oleh kesadaran
futuristik umat Islam terhadap urgensi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi

7
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

4
dalam menyesuaikan diri dengan akselerasi perubahan zaman yang begitu cepat.
Selain itu, transformasi itu muncul sebagai wujud kesadaran umat Islam yang tidak
mau mengikuti pola dualisme keilmuan, antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu
sekuler, sebagai dampak historis kebijakan kolonialisme Belanda.
Terlepas dari persoalan kontroversi transformasi IAIN menjadi UIN, hal
menarik yang perlu digarisbawahi di kalangan IAIN/PTAI adalah kecenderungan
kajian Islam yang berlangsung di dalamnya. Sejak berdirinya, lembaga pendidikan
tinggi Islam ini membawa dua tugas utama: sebagai lembaga keagamaan dan sebagai
lembaga keilmuan. Sebagai sentral kajian keagamaan, IAIN/PTAI membawa misi
religius untuk memberikan pencerahan masyarakat Muslim dalam memahami ajaran
Islam (lembaga dakwah). Sedangkan sebagai lembaga keilmuan, IAIN/ PTAI
diharapkan menjadi avant garde dalam mengkaji Islam sebagai sebuah disiplin
akademis, bukan sebagai doktrin agama.8 Kedua fungsi ini tidak selamanya berjalan,
sebagai sebuah lembaga akademis, IAIN/PTAI harus mengikuti roda kehidupan
akademis yang memperlakukan kajian terhadap agama dengan menggunakan
pendekatan-pendekatan ilmiah dan akademis yang hasilnya tidak jarang bertentangan
dengan aspek normatif Islam. Dan IAIN/ PTAI diharapkan berfungsi sebagai
lembaga keagamaan yang cenderung menafikan prinsip-prinsip akademis murni.
Awal munculnya ide tentang integrasi keilmuan dilatarbelakangi oleh adanya
dualisme atau dikhotomi keilmuan antara ilmu-ilmu umum di satu sisi dengan ilmu
ilmu agama di sisi lain. Dikhotomi ilmu yang salah satunya terlihat dalam dikhotomi
institusi pendidikan—antara pendidikan umum dan pendidikan agama—telah
berlangsung semenjak bangsa ini mengenal sistem pendidikan modern.9 Dikhotomi
keilmuan Islam tersebut berdampak luas terhadap aspek-aspek kependidikan di
lingkungan umat Islam, baik yang menyangkut cara pandang umat terhadap ilmu dan
pendidikan baik pada kurikulum pendidikan, maupun psikologi pendidikan.

8
Azyumardi Azra, “Studi-studi Agama di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri,” dalam
Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), 169-70.
9
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Pustaka Muhammadiyah, Jakarta, 1960,
hal. 237.

5
Beberapa alasan yang melatar belakangi timbulnya ide konversi adalah sebagai
berikut:10
1. Pola kehidupan era global yang bisa mendegradasi peran lulusan IAIN.
2. Dikotomi ilmu umum dan agama, yang mengakibatkan hidup sekuler yang
menempatkan agama sebagai urusan pribadi.
3. Sebagian besar orang tua termasuk dosen IAIN menyekolahkan anaknya
pada perguruan tinggi umum.
Konversi IAIN menuju UIN merupakan langkah maju yang perlu
diperjuangkan. Dengan institusi semacam universitas, IAIN dapat lebih
mengembangkan diri terutama dalam pembenahan kurikulum, kegiatan eksra
kurikuler, manajemen, jaringan dan modal fisik yang berdampak pada mutu lulusan
(high out-put quality). UIN dapat berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan
institusi pendidikan tinggi lainnya. Bahkan pada beberapa sisi, PTAI memiliki
spesifikasi yang tidak dimiliki oleh universitas lain di antaranya kompetensi yang
utuh dan tangguh dalam kajian keislaman maupun dalam proses islamisasi sains.11
Lembaga pendidikan tinggi Islam harus berbena diri dan melakukan
transformasi untuk menjawab tantangan zaman yang semakin kompetitif dan
kompleks. Perguruan tinggi Islam dianggap tidak marketable lagi dalam menghadapi
persaingan global. Boleh jadi, hal ini disebabkan oleh adanya ekspansi pendidikan
tinggi umum yang dari dulu lebih mendapat perhatian dari pemerintah dibandingkan
pendidikan tinggi agama.12
UIN adalah jawaban atas fenomena tersebut, walaupun tidak sedikit umat
Islam yang menentangnya karena dianggap akan melemahkan pendidikan Islam itu
sendiri. Adanya landasan naqli yang menegaskan bahwa baik ilmu umum maupun
ilmu agama berasal dari Tuhan Yang Satu, maka sudah waktunya lembaga pendi-

10
Minhaji, Akh. “Transformasi IAIN Menuju UIN, Sebuah Pengantar”, Menyatukan Kembali Ilmu-
Ilmu Agama dan Umum, Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum. Yogyakarta: Suka
Press IAIN Sunan Kalijaga, 2002. Hlm 143.
11
Amin, Kamaruddin dkk. Quo Vadis Islamic Studies in Indonesia? (Current Trends and Future
Challenges). Makassar: PPs UIN Alauddin, 2006. Hlm. 367-368.
12
Sudah tidak asing lagi terdengar di kalangan komunitas perguruan tinggi agama bahwa
anggaran yang disediakan oleh pemerintah untuk membiayai IAIN seluruh Indonesia masih lebih
sedikit dibandingkan dengan biaya yang disediakan oleh pemerintah untuk satu perguruan tinggi
umum, misalnya, Universitas Hasanuddin.

6
dikan Islam mendapatkan perhatian yang serius, bukan saja dari pemerintah,
melainkan juga dari umat Islam itu sendiri.

C. IMPLIKASI IAIN MENJADI UIN

Menjelang penghujung abad ke-20, muncul gagasan baru tentang


pengembangan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam
Indonesia (UIN). Gagasan ini dianggap positif karena alasan-alasan sebagai berikut:
Pertama, UIN diduga dapat menyelesaikan masalah dualisme pendidikan dan
dikotomi ilmu agama dan ilmu umum; Kedua, mengembangkan dan mengawinkan
ilmu-ilmu agama Islam dan sains modern; Ketiga, meningkatkan daya tampung
mahasiswa universitas negeri dengan biaya relatif murah.13
UIN sebagai lambang perubahan dalam sejarah yang sangat di pengaruhi oleh
budaya, agama, nilai dan struktur sosial (Historis), untuk menjadikan ilmu agama
sebagai media kritis untuk menpertanyakan hakikat “agama” dalam menjawab
tantangan zaman. Untuk itu kedunya tidak bisa di pisahkan agar menjadi agama yang
objektif dan terpandang. Menurut Amin Abdullah, Islam normatif dan Islam Historis
tidak bisa di pisahkan, tetapi bisa di bedakan, keduanya merupakan hasil dari
konteks, pola berpikir dan asumsi sejarah yang di bentuk oleh manusia pada jaman
tertentu, kita sebagai manusia harus memformulasikan secara baru agar membangun
sebuah paradigma baru untuk lebih maju.14
Sejarah panjang perguruan tinggi Islam di Indonesia, dari masa awal pendirian
Sekolah Tinggi Islam, Universitas Islam Indonesia, kemudian yang tadinya fakultas
agama di UII dinaikkan statusya menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam, diikuti
pendirian Akademi Dinas Ilmu Agama sampai pada penyatuan PTAIN dan ADIA
menjadi IAIN. Munculnya gagasan transformasi IAIN menjadi UIN adalah
berangkat dari beberapa alasan sebagai berikut:
1. dengan bentuk institut, ruang lingkup hanya sebatas keilmuan dan pengkajian
ke-Islaman saja.

13
Praja, Juhaya S. Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam. Jakarta: TERAJU, 2002. Hlm. 138.
14
Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet.
IV, 2004).

7
2. wawasan mahasiswa dan dosen IAIN terbatas, berbeda halnya dengan
universitas umum, pengkajian Islam seolah terputus dari persoalan
kontemporer yang aktual.
3. Transformasi lembaga tersebut menjadi harapan yang harus diwujudkan, agar
kedua alasan tersebut dapat diselesaikan. Gagasan tersebut bukan berarti
langsung terwujud, karena tetap saja harus melalui berbagai persyaratan,
kesiapan pemenuhan kebutuhan IAIN menjadi UIN dalam berbagai aspek,
misalnya kegiatan akademis akan lebih besar pengelolaannya, lahan yang
harus diperluas, kebutuhan tenaga dosen dan pegawai administrasi dan
berbagai persiapan lainnya. Sampai awal 1998, terdapat tiga IAIN yang
mengajukan proposal yakni IAIN Yogyakarta, Jakarta dan Bandung.15

Ada beberapa hal yang melatarbelakangi perlunya konversi IAIN menjadi


UIN:
1. Perubahan pada jenis pendidikan Madrasah Aliyah. Dulunya Madrasah adalah
sekolah agama, kini madrasah sudah menjadi bagian dari sekolah umum atau
sekolah yang berciri khas Islam. Di madrasah sudah terdapat mata pelajaran
umum yang dimuat dalam kurikulumnya. Misalnya eksakta, sosial, bahasa dan
fisika. Di samping itu konversi ini juga untuk menyambut tamatan sekolah
menengah umum dapat masuk IAIN apabila telah menjadi UIN, karena dapat
menyediakan jurusan dan fakultas umum. Perubahan ini juga merupakan misi
untuk pemberdayaan masyarakat/umat di masa depan.
2. Adanya dikotomi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Masalah dikotomi ini
solusinya adalah program integrasi ilmu pengetahuan antara ilmu agama dan ilmu
umum. Dengan anggapan bahwa kalau IAIN hanya menyelenggarakan ilmu-ilmu
agama, ini akan melestarikan dikotomi tersebut. Maka dengan ini IAIN harus
menjadi UIN untuk dapat mendirikan fakultas-fakultas umum.
3. Perubahan IAIN menjadi UIN merupakan peluang bagi para lulusan untuk
memasuki lapangan kerja yang lebih luas. Selama ini, arah lulusan IAIN adalah
lembaga pendidikan Islam, kegiatan kegiatan keagamaan, dakwah dan pada

15
Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: PT Grasindo, 2001), h. 246-247

8
tataran departemen agama. Maka dengan perubahan menjadi UIN akan lebih
meluas lingkup kerja dan eksistensi lulusan IAIN.16 Dengan perubahan menjadi
UIN juga sebagai upaya konvergensi ilmu umum dan agama, seperti yang
diungkapkan oleh Harun Nasution bahwa perubahan IAIN menjadi universitas
dirancang untuk menghilangkan dikotomi ilmu pengetahuan.17
4. Perubahan IAIN menjadi UIN adalah dalam rangka memberikan peluang bagi
lulusan IAIN untk melakukan mobilitas vertikal. Yakni kesempatan gerak dan
peran serta memasuki medan yang lebih luas. Lulusan IAIN akan memasuki
wilayah dan lingkungan yang lebih luas, bervariasi dan bergengsi. Perubahan ini
juga ingin kembali menaruh harapan umat Islam menjadi pelopor peradaban
manusia yang dulu pernah dicapai Islam zaman klasik.
5. Perubahan IAIN menjadi UIN juga merupakan tuntutan akan penyelenggaraan
pendidikan yang profesional, berkualitas tinggi dan menawarkan banyak pilihan.
Apalagi dengan arus globalisasi yang melahirkan lingkungan persaingan dan
kompetisi. Sehingga IAIN menjadi UIN merupakan bagian dari upaya
menghadapi tantangan dan menangkap peluang.18

Pengembangan IAIN menjadi UIN akan merambah empat wilayah yang harus
dijawab yaitu: Pertama, bidang keilmuan yang menuntut upaya serius para sarjana di
lingkungan IAIN untuk menghilangkan dikotomi ilmu agama dan ilmu umum.
Kedua, bidang kelembagaan yang mengharuskan IAIN untuk memikirkan kembali,
apakah lembaga ini menjadi otonom atau harus tetap “mengekor” pada Departemen
Agama. Ketiga, persoalan anggaran keuangan. Sejauh ini, IAIN masih bertahan
dengan biaya pendidikan dari Depag dan SPP mahasiswa. Tentu saja, biaya ini masih
kurang jika nantinya berubah menjadi UIN. Keempat, masalah lapangan pekerjaan.
Lulusan IAIN memang sudah mulai diperhitungkan. Namun demikian, hal tersebut

16
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), cet. 5,
h. 56-59
17
Kusmana dan Yudi Munadi , Proses Perubahan IAIN Menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
(Ciputat: Jakarta UIN Press, 2002), h. 28
18
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, Op. Cit., h. 60

9
dipicu oleh maraknya lulusan IAIN yang berani “loncat pagar” dari keimuan
mereka.19
Dalam rangka konversi ke UIN, lima fakultas yang ada diperkuat dengan
standar metodologi dan epistemologi baru yang selevel dengan pendidikan,
pengajaran dan penelitian di universitas pada umumnya dengan berbagai
penyesuaian sehingga mempunyai daya tawar keluar yang lebih bagus dan
kompetitif.20
Dengan demikian, pengembangan institusi dari IAIN ke UIN akan menjadikan
program Islamic studies memperoleh kesempatan untuk menjadi program studi yang
diutamakan karena ketersediaan dosen yang sudah mapan, penguatan program studi
diharapkan akan meningkatkan kualitas mahasiswa. Jadi. Hanya yang perlu dipahami
adalah jangan sampai perubahan itu justru menjadikan Islamic studies ke kelas dua.
Dan itu semua tergantung kepada akademisi universitas yang bertanggung jawab.

D. PIMPINAN UNIVERSITAS
Pemimpin Universitas adalah Rektor yang berperan sebagai pembantu Menteri
di bidang yang menjadi tugas kewajibannya. Rektor mempunyai tugas
menyelenggarakan koordinasi perumusan kebijakan dan memimpin
penyelenggaraan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat; membina
tenaga kependidikan, mahasiswa, tenaga administrasi dan hubungan dengan
lingkungannya. 21
Rektor dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh 4 (empat) orang Pembantu
Rektor yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Rektor. Pembantu
Rektor terdiri atas;

19
Ahmad, Kamaruzzaman Bustaman. Islam Historis; Dinamika Studi Islam di Indonesia.
Yogyakarta: Galang Press, 2002. Hlm. 6-9.
20
Abdullah, Amin dkk. Islamic Studies; Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi. Yogyakarta:
SUKA Press, 2007.hlm. 7-8.
21
http://old.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=9:pimpinan-
universitas-dan-blu&catid=2:struktur-organisasi&Itemid=145 12/12/2014

10
1. Pembantu Rektor Bidang Akademik mempunyai tugas membantu Rektor
dalam memimpin pelaksanaan pendidikan dan pengajaran, penelitian,
pengabdian kepada masyarakat.
2. Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum mempunyai tugas membantu
Rektor dalam memimpin pelaksanaan kegiatan bidang keuangan dan
administrasi umum.
3. Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan mempunyai tugas membantu
Rektor dalam memimpin pelaksanaan kegiatan di bidang pembinaan dan
pelayanan kesejahteraan mahasiswa.
4. Pembantu Rektor Bidang Kerjasama mempunyai tugas membantu Rektor
dalam memimpin pelaksanaan kegiatan di bidang kerjasama.
Rektor dan Pembantu Rektor bertindak sebagai Pemimpin BLU dan berfungsi
sebagai penanggung jawab umum operasional dan keuangan Universitas. Oleh
karena itu, di samping melaksanakan tugas sebagaimana disebutkan, juga memiliki
kewajiban sebagai berikut:
1. Menyiapkan Rencana Strategis Bisnis (RSB) Universitas.
2. Menyiapkan Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) tahunan.
3. Mengusulkan calon pejabat keuangan dan pejabat teknis sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
4. Menyampaikan pertanggungjawaban kinerja operasional dan keuangan
Universitas.

D. KURIKULUM UIN
Kurikulum Universitas mencakup komponen: (a) universitas, yang
mencerminkan pengejawantahan visi, misi, serta tradisi yang dijunjung tinggi dan
dikembangkan oleh universitas, yang mengikat seluruh komponen universitas; (b)
fakultas, yang mencerminkan bidang ilmu yang dikembangkan oleh fakultas; dan (c)
jurusan/program studi, yang mencerminkan spesifikasi bidang ilmu tertentu yang
dikembangkan oleh fakultas; dan (d) pendukung, yang mencakup berbagai kajian
ilmiah yang mendukung pengembangan atau pencapaian tujuan pendidikan.
Isi kurikulum adalah seperangkat matakuliah, atau seperangkat kajian ilmiah,
atau seperangkat pengalaman belajar tertentu, yang ditetapkan oleh setiap fakultas,

11
yang diorganisasikan sedemikian rupa sehingga menjamin tercapainya tujuan
Universitas, Fakultas, Jurusan/Program Studi/Konsentrasi, serta tujuan sosial lain
yang dipandang penting.
Seperangkat matakuliah yang ditetapkan untuk merealisasikan tujuan-tujuan
universitas dikelompokkan menjadi Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK),
Matakuliah Keilmuan dan Ketrampilan (MKK), Matakuliah Keahlian Berkarya
(MKB), Matakuliah Perilaku Berkarya (MPB), dan Matakuliah Berkehidupan
Bermasyarakat (MBB). Perubahan kurikulum ditetapkan oleh pejabat Universitas
berikut;22
1. Perubahan isi kurikulum kelompok MPK ditetapkan oleh Rektor.
2. Perubahan isi kurikulum kelompok MKK, MKB, MPB, dan MBB
ditetapkan oleh Dekan.
3. Perubahan kurikulum disesuaikan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta tuntutan masyarakat.
Jika ada mahasiswa yang tidak lulus suatu matakuliah pada kurikulum lama
akan diberlakukan sistem konversi atau akan diadakan kelas khusus jika jumlah
peserta minimal 10 orang. Jika dilihat kurikulum dari Universitas tidak jauh berbeda
dengan IAIN.

D. ANALISIS KRITIS

Berkenaan dengan cara pandang umat Islam terhadap ilmu dan pendidikan, di
kalangan masyarakat Islam berkembang suatu kepercayaan bahwa hanya ilmu-ilmu
agama Islam-lah yang pantas dan layak dikaji atau dipelajari oleh umat Islam,
terutama anak-anak dan generasi mudanya. Sementara ilmu-ilmu sekuler dipandang
sebagai sesuatu yang bukan bagian dari ilmu-ilmu yang layak dan patut dipelajari.
Cara pandang dengan menggunakan perspektif oposisi biner terhadap ilmu secara
ontologis ini, kemudian berimplikasi juga terhadap cara pandang sebagian umat
Islam terhadap pendidikan.

22
http://old.uin-
malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=17:kurikulum&catid=11:sistem-
akademik&Itemid=146

12
Realitas cara pandang umat Islam terhadap ilmu dan pendidikan itu, kemudian
berimplikasi kepada respon para pengambil kebijakan pendidikan (baca: Pemerintah)
yang menetapkan adanya dua versi lembaga pendidikan, yakni pendidikan umum dan
pendidikan agama, yang dalam implementasinya seringkali menimbulkan perlakukan
diskriminatif. Bukti dari perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap lembaga-
lembaga pendidikan umum di satu sisi dengan pendidikan keagamaan di sisi lain,
adalah pada kebijakan dua kementrian/departeman, di mana Departemen Pendidikan
Nasional mengurusi lembaga-lembaga pendidikan umum dengan berbagai fasilitas
dan dana yang relatif "melimpah", sementara Departemen Agama mengelola
lembaga-lembaga pendidikan keagamaan dengan fasilitas dan pendanaan yang "amat
terbatas".23 Keterbatasan dana, fasilitas, sarana dan prasarana yang dimiliki oleh
kebanyakan lembaga pendidikan di bawah Departemen Agama tersebut tentu
berpengaruh terhadap kinerja dan kualitas pendidikan di banyak Madrasah dan
lembaga pendidikan sejenisnya. Akibatnya, pengelolaan Madrasah tidak dapat
optimal dan seringkali menyebabkan mutu lulusan Madrasah kurang mampu
bersaing dengan lembaga-lembaga setingkat yang berada di bawah Departemen
Pendidikan Nasional.
Sejarah membuktikan, sarjana-sarjana muslim dimasa lampau mengusai ilmu-
ilmu agama dan sekaligus ilmu-ilmu umum, bahkan mengusai filsafat, contoh yang
jelas itu adalah Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd dan lain-lain, mereka mengusai
ilmu syari’ah tetapi sekaligus dokter, ekonom, filosof, dan ahli ilmu-ilmu eksakta.
Kalau mereka masa lampau mampu menghasilkan tokoh-tokoh seperti itu, kenapa
kita tidak mampu menghasilkannya.

23
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2004, Belanja Pemerintah
Pusat untuk Departemen Pendidikan Nasional RI sebesar Rp. 21.585,1 milyar, sedangkan
Departemen Agama RI hanya sebesar Rp. 6.690,5 milyar; berbanding 76,3% : 23,7%. Untuk Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2005, Belanja Pemerintah Pusat untuk Departemen
Pendidikan Nasional RI sebesar Rp. 26.991,8 milyar, sedangkan Departemen Agama RI hanya sebesar
Rp. 7.017,0 milyar; berbanding 79,4% : 20,6%. Dan untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) Tahun 2006, Belanja Pemerintah Pusat untuk Departemen Pendidikan Nasional RI sebesar
Rp. 36.755,9 milyar, sedangkan Departemen Agama RI hanya sebesar Rp. 9.720,9 milyar; berbanding
79,1% : 21,9%. Lihat, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Data Pokok APBN Tahun Anggaran
2006, Depkeu RI, Jakarta, 2006, hal. 8. Bila besaran anggaran dan prosentase tersebut dihubungkan
dengan cakupan kerja kedua departemen tersebut, maka cakupan kerja Departemen Agama jauh
lebih luas, dan tidak hanya mencakup bidang pendidikan, melainkan juga bidang-bidang agama yang
lebih luas.

13
Dengan Pendidikan tingkat tinggi Integratif, UIN bersama universitas Islam
lainnya akan berjuang mengembalikan tujuan pendidikan Islam sebenarnya menuju
manusia yang utuh lahir dan bathin. Sekarang sudah saatnya meluruskan pungsi
ilmu, tidak lagi ada dikotomi dalam umat Islam jika kita menginginkan kembalinya
kejayaan peradaban Islam masa lalu.
Ilmu pengetahuan sebenarnya berispat netral, demikian juga teknologi. Jadi
tergantung siapa penggunanya. Dalam konteks pendidikan Islam agar ilmu itu
menjadi mitra dalam membangun agama dan umatnya maka diperlukan pendidikan
yang mampu mengantisipasi dan mengakomidasi kebutuhan keduanya. Demikian
apa yang telah dilakukan oleh tokoh-tokoh besar ilmu pengetahuan dalam Islam,
Para sarjana muslim tersebut mampu mengubah ilmu pengetahuan sekuler menjadi
ilmu pengetahuan islami, ilmu pengetahuan yang sarat dengan nilai ketuhanan yang
tidak menyimpang dari nilai-nilai ketauhidan. Sehingga disini yang menjadi ukuran
dan pembentukan ilmu adalah faktor manusianya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. Amin dkk. 2007. Islamic Studies; Dalam Paradigma Integrasi-


Interkoneksi. Yogyakarta: SUKA Press.
Abuddin Nata. 2010. Manajemen Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media
Group.cet.5
Abudin Nata. 2001. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga
Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Grasindo
Ahmad. Kamaruzzaman Bustaman.2002. Islam Historis; Dinamika Studi Islam di
Indonesia. Yogyakarta: Galang Press.
Amin Abdullah. 2004. Studi Agama; Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. cet. IV
Amin. Kamaruddin dkk.2006. Quo Vadis Islamic Studies in Indonesia? (Current
Trends and Future Challenges). Makassar: PPs UIN Alauddin.
Atho Mudzhar. “In the Making of Islamic Studies in Indonesia (In Search for a
Qiblah).” makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in
Indonesia: Intellectualization and Social Transformation. di Jakarta 23-24
November 2000

14
Azra. Azyumardi. “The Making of Islamic Studies in Indonesia”. Makalah
disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia:
Intellectualization and Social Transformation. di Jakarta 23-24 November
2000.
Azra. Azyumardi. 1999. “Studi-studi Agama di Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri.” dalam Pendidikan Islam.Jakarta: Logos.
Bassam Tibi. 1991. Islam and the Cultural Accommodation of Social Change .
Boulder
Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetiyo (ed.).2000. “Menilik Dinamika IAIN”.
dalam Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam
(Ditpertais Depag. RI. 2000). xxvi.
Kusmana dan Yudi Munadi . 2002. Proses Perubahan IAIN Menjadi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Ciputat: Jakarta UIN Press.
Lihat http://www.uinjkt.ac.id/index.php/tentang-uin.html. diakses tanggal 17
Desember 2014.
Mahmud Yunus. 1960. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Pustaka
Muhammadiyah. Jakarta.
Minhaji. Akh. “Transformasi IAIN Menuju UIN. Sebuah Pengantar”.2002.
Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum. Upaya Mempertemukan
Epistemologi Islam dan Umum. Yogyakarta: Suka Press IAIN Sunan Kalijaga.
Praja. Juhaya S. 2002. Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam. Jakarta: TERAJU.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
http://old.uin-
malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=17:kurikulum
&catid=11:sistem-akademik&Itemid=146 12/12/2014
http://old.uin-
malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=9:pimpinan-
universitas-dan-blu&catid=2:struktur-organisasi&Itemid=145 12/12/2014

15

Anda mungkin juga menyukai