Anda di halaman 1dari 220

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI REFORMED INDONESIA

KONSEP PERANG DALAM ALKITAB:

SEBUAH PENDEKATAN KONTINUITAS DAN DISKONTINUITAS

SKRIPSI INI DIAJUKAN KEPADA

SENAT STT REFORMED INDONESIA

UNTUK MEMENUHI PERSYARATAN MENCAPAI GELAR

SARJANA TEOLOGI

OLEH

DOULA ALEP RUSTIANTO

JAKARTA

DESEMBER 2015
UCAPAN TERIMA KASIH

Sebuah karya tercipta bukan tanpa beban atau tujuan. Karya tangan manusia

terlahir dari perjuangan serta ketekunan. Dan syukur pada Allah Tritunggal yang telah

meletakkan beban serta mengaruniakan ketekunan pada penulis untuk dapat mengawali

pergumulan ini hingga paripurnanya. Dalam hari dan bulan yang dilalui, serta tiap jatuh

bangun proses yang dihadapi, Ia terus menyertai dan memberi ketertarikan serta

kerinduan untuk terus menggali dan mencari tahu misteri agung ini. Hingga akhirnya

karya ini menjadi sebagaimana adanya, semua hanya karena anugerah-Nya.

Ungkapan terimakasih juga tak lupa penulis sampaikan kepada beberapa figur

penting yang ada bagi penulis dalam melalui proses kepenulisan tugas akhir ini.

1. Terimakasih kepada kedua orangtua penulis yang tak pernah lelah memberi

kesempatan serta dukungan untuk penulis memulai kembali dari setiap kegagalan dan

terus memberikan semangat dalam doa dan perhatian yang tak mungkin tergantikan.

2. Terimakasih untuk Pdt. Yakub B. Susabda, Ph.D sebagai Rektor STTRI yang

memberikan penulis kepercayaan, teladan, dan juga didikan hingga penulis boleh

mendapat kesempatan untuk kembali menapaki jalan panggilan Tuhan.

3. Terimakasih untuk Ev. Inawaty Teddy, B.Com., M.Th dan Ev. Simeon Theojaya,

M.T.S, yang dengan penuh kasih, menolong, membimbing, mengoreksi, serta menjadi

rekan diskusi penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

4. Terimakasih untuk Ev. Ina Hidayat, Th.M. yang telah menjadi dosen penguji

sekaligus editor bagi penyelesaian tulisan ini hingga layak cetak dan menjadi bagian dari

karya skripsi STTRI.


5. Terimakasih untuk Bapak dan Ibu dosen STTRI: Esther Susabda, Ph.D., Yuzo

Adhinata, Ph.D., Emil Salim, S.E., M.Div., Ph.D., Lanny Pranata, B.A., M.Th., Ir.

Asriningrum, M.Th., Andreas H. Simeon, M.Th., Samuel B. Prasetya, M.Si., Ir. Siska A.

Tampenawas, M.Th., Pdt. Agus Santoso, Dr. Theol., Yason Budiprasetya, M.Div.,

Yuliwaty Rukiah, S.Th., M.Ed., dlsb., yang telah membimbing serta mengajarkan

berbagai hal yang penulis perlukan untuk memperlengkapi penulis, bukan hanya sebagai

hamba Tuhan namun juga sebagai manusia yang seutuhnya.

6. Terimakasih untuk Pdt. Joas Adiprasetya, D.Th., Nindyo Sasongko, S.Th., M.A.,

Hans Abdiel Harmakaputra, S.Th., M.A., Toar Banua Hutagalung, S.Th., M.A., Daniel

Sihombing, M.Th., dan Yohanes Krismantyo, M.Th., yang telah menjadi guru, kakak,

rekan diskusi, juga kawan yang dikagumi oleh penulis.

7. Terimakasih juga untuk kakak dan rekan seperjuangan di STTRI: Freddy

Gunawan, Fanny Puspita, Mesrawati Ziliwu, Septiana Iskandar, Nina Hutagalung, Dede

K. Sanjaya, Jessica Lin, dan Lisa Yulianti.

8. Terimakasih untuk kedua adik penulis, Evangelista Elfania dan Tri Agatha Iolana,

yang terus menjadi semangat dan sumber kegembiraan bagi penulis.

9. Terakhir, namun bukan yang paling akhir, penulis sampaikan terimakasih

untukmu, sang Cinta, yang menjadi alasan semua upaya penyelesaian skripsi ini.

Terimakasih bahwa engkau sudah dan aku harap akan kembali mewarnai kehidupanku.

Terimakasih telah mengajarkanku arti bertahan, setia, kehilangan, dan cinta.

Kiranya Tuhan sajalah yang membalas setiap kebaikan Bapak, Ibu, Saudara

sekalian yang telah menjadi warna, cerita, dan juga pesona dalam kehidupan ini. Amin.
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN iii


UCAPAN TERIMA KASIH iv
DAFTAR ISI vi
ABSTRAK viii
BAB
I. PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perang Secara Umum 1
Pemahaman Keliru tentang Perang 3
Pemahaman Kristen tentang Perang 5
Ragam Pendekatan 7
Pernyataan Tesis 13
Pembatasan Masalah 13
Metode Penelitian 13
Tujuan dan Manfaat Penulisan 14

II. TEORI RELASI ANTAR PERJANJIAN 15


Tipologi 15
Definisi 15
Karakteristik Tipologi 16
Landasan Teologis 22
Penggunaan Tipologi dalam Memahami Konsep Perang 24
Janji dan Pemenuhan 28
Definisi 28
Karakteristik Janji dan Pemenuhan 30
Landasan Teologis 37
Penggunaan Janji dan Pemenuhan 39
dalam Memahami Konsep Perang
Kontinuitas dan Diskontinuitas 41
Definisi 41
Karakteristik Kontinuitas dan Diskontinuitas 42
Alasan Memilih Kontinuitas dan Diskontinuitas 50

III. PEMILIHAN DAN EKSPOSISI TEKS-TEKS PERANG 53


Teks-Teks Perjanjian Lama 53
Pentateukh 54
Eksposisi Keluaran 15:1-21 58
Eksposisi Ulangan 20 65
Kitab Sejarah Pra-Kerajaan 69
Eksposisi Yosua 5:13-6:27 73
Eksposisi Hakim-Hakim 4-5 83
Kitab Sejarah Masa Kerajaan dan Pembuangan 89
Eksposisi 1 Samuel 4-6 92
Eksposisi 1 Raja-Raja 22:1-40 101
Eksposisi Ester 8-9 106
Kitab Nabi-Nabi 110
Eksposisi Yesaya 42:10-43:7 (Kepenulisan Tunggal) 115
Eksposisi Yesaya 42:10-43:7 (Versi Deutero-Yesaya) 118
Eksposisi Zakharia 14 127
Kitab Sastra 132
Eksposisi Mazmur 46 134
Teks-Teks Perjanjian Baru 139
Kitab Injil 139
Eksposisi Matius 24:3-14 141
Surat Paulus 146
Eksposisi Efesus 6:10-20 148
Kitab Apokaliptik 154
Eksposisi Wahyu 16 156
Eksposisi Wahyu 20 160

IV. KONTINUITAS DAN DISKONTINUITAS PEMAHAMAN PERANG 163


Kontinuitas Perang 167
Diskontinuitas Perang 168
Sintesis Biblikal-Teologis tentang Perang dalam Alkitab 171
Perang sebagai Bentuk Ibadah 172
Perang sebagai Jalan Pembebasan 175
Perang sebagai Bentuk Penghukuman 178
Perang sebagai Masalah Iman 181
Perang sebagai Bagian dari Misi Allah 183
Perang sebagai Penyataan Kehadiran Kerajaan Allah 187

V. PENUTUP 193
Kesimpulan dan Relevansi 193
Saran-Saran 199

DAFTAR PUSTAKA 200


ABSTRAK

KONSEP PERANG DALAM ALKITAB:


SUATU PENDEKATAN KONTINUITAS DAN DISKONTINUITAS

Realitas perang merupakan realita yang tak terhindarkan dalam sejarah kehidupan

manusia. Realitas ini muncul dengan berbagai alasan, mulai dari alasan politik hingga

religius. Perdebatan etis mengenai perang juga hadir secara ragam, mulai dari

pemahaman perang adil (just war) hingga pemahaman cinta damai (pacifism). Dalam

kenyataan ini, pemahaman teologis mengenai perang mengambil tempat penting dalam

pengambilan keputusan etis. Lebih lanjut, pembentukan pemahaman teologis mengenai

perang dipengaruhi oleh pendekatan yang digunakan terhadap teks Alkitab, mulai dari

pendekatan tipologi, janji dan pemenuhan, atau kontinuitas dan diskontinuitas. Dengan

mempertimbangkan hadirnya teks perang yang tersebar di berbagai masa yang berbeda

dalam Alkitab, maka dipilihlah pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas sebagai metode

untuk membentuk pemahaman mengenai perang.

Uraian akan difokuskan pada beberapa teks perang dalam Perjanjian Lama dan

Perjanjian Baru, dengan mempertimbangkan waktu kesejarahan yang berbeda dari setiap

teks serta genre sastra yang digunakan. Dari uraian ini akan terlihat kontinuitas dan

diskontinuitas dalam pemahaman mengenai perang di Alkitab. Kontinuitas perang ini

akan menjadi sintesis biblikal-teologis tentang pemahaman perang dalam Alkitab,

sedangkan aspek diskontinuitas dari pemahaman perang akan menunjukkan perubahan

yang terjadi dari perang fisik menuju spiritual.


BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perang Secara Umum

Perang adalah salah satu fenomena sosio-politik yang terjadi dalam sejarah

kehidupan manusia. The Cambridge Dictionary of Sociology mendefinisikan perang

sebagai “a type of violent social conflict between two or more armed powerful

organizations, in which each aims to prevail by destroying the other’s power, primarily

through the deliberate use of armed force.”1 Kenyataan adanya konflik sosial antar dua

kelompok atau lebih dapat dipicu oleh berbagai alasan. The Palgrave Macmillan

Dictionary of Political Thought menyatakan bahwa perang dapat dipicu oleh perebutan

daerah teritori, konflik politik bahkan perbedaan ideologi.2 Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa perang didefinisikan sebagai sebuah bentuk konflik sosial yang

mengandung kekerasan yang muncul dalam relasi dua atau lebih kelompok yang dapat

timbul akibat adanya kepentingan politik, teritorial, ataupun ideologi.

Meresponi adanya fenomena perang, beberapa kelompok memandang perang

dalam berbagai sisi yang cukup berbeda. Kalangan besar seperti Lutheran, Reformed, dan

Anglikan melihat perang sebagai sesuatu yang diperbolehkan, sebab melalui perang yang

adil (Just War) maka kejahatan di dalam dunia dapat ditahan kuasanya dan peperangan

1
The Cambridge Dictionary of Sociology, s.v. “War”.

2
The Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thought, s.v. “War”.
diperbolehkan hanya demi tujuan kemanusiaan dan iman.3 Di sisi lain, Duane Cody

memahami perang sebagai tindakan arogan dimana penindasan didasarkan pada persepsi

bahwa sebagian kelompok merasa lebih layak secara moral dan lebih unggul sehingga

diperbolehkan menerima hak istimewa untuk berperang dan sebagian yang lain dianggap

lebih bodoh, pasif, dan bahkan kurang bermoral sehingga layak untuk menerima serangan

atau diperangi.4

Baik untuk sebuah alasan ideologis maupun kekuasaan, kenyataan adanya perang

sebagai sebuah konflik yang mengandung kekerasan memberikan sebuah dampak yang

nyata bagi masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya, bahkan bagi pihak lain yang

ada di sekitarnya. Leo Tolstoy menggambarkan perang dengan ungkapan, “What a

terrible thing war is, what a terrible thing! Quel terrible chose que la guerre!”5 Perang

adalah sesuatu yang sangat mengerikan. Kengerian dari perang tergambarkan melalui

kematian, kehilangan, rasa sakit, bahkan kebencian yang ditimbulkan akibat perang.

Steven Mintz dalam artikel online di The Gilder Lehrman Institute mengungkapkan data

bahwa selama masa perang dunia pertama ada sekitar sembilan juta tentara, pelaut, dan

penerbang, serta 5 juta penduduk sipil meninggal dunia. Selain itu secara ekonomi,

Perang Dunia Pertama juga membawa kerugian langsung sebesar 186 milliar dolar

3
Roland H. Bainton, Christian Attitudes toward War and Peace: A Historical Survey and Critical
Re-evaluation (Nashville, Tennessee: Abingdon, 1990), 14-15.

4
Deane Curtin, “Berdamai dengan Bumi: Pertanian Pribumi dan Revolusi Hijau”, dalam Etika
Terapan 1: Sebuah Pendekatan Multikultural, ed. Larry May (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), 299-
300.

5
Leo Tolstoy, War and Peace, terj. Richard Pevear dan Larissa Volokhonsky (London: Vintage
Classics, 2009), 198.
Amerika dan kerugian tak langsung 151 milliar dolar Amerika.6 Lebih lanjut, anggapan

bahwa kemenangan dalam perang dapat menghasilkan kedamaian tidak selamanya

menjadi kenyataan. Immanuel Kant dalam Perpetual Peace menulis,

[F]or this would mean calling down on themselves all the miseries of war, such as doing
the fighting themselves, supplying the costs of the war from their own resources,
painfully making good the ensuing devastation, and, as the crowning evil, having to take
upon themselves a burden of debt which will embitter peace itself and which can never be
paid off on account of the constant threat of new wars.7

Dengan demikian, ada kemungkinan munculnya perang yang baru akibat adanya dendam

dan luka yang ditimbulkan akibat perang sebelumnya.

Pemahaman yang Keliru tentang Perang dalam Alkitab

Fenomena perang bukan hanya hadir dalam sejarah dunia secara umum, tetapi

secara khusus, Alkitab juga mencatat tentang kisah-kisah peperangan yang pernah

maupun yang akan terjadi dalam sejarah kehidupan umat Allah. Kisah-kisah seperti

keluarnya bangsa Israel dari tanah Mesir, peperangan Israel melawan Yerikho,

peperangan Israel merebut Kanaan, perang antar Israel dan Yehuda, hingga peperangan

antara Anak Domba Allah dan si Ular Tua menjadi beberapa kisah peperangan yang

tercatat di Alkitab.

Sebagaimana adanya pandangan yang berbeda terhadap perang dunia, perang di

dalam Alkitab juga coba dipahami dari berbagai macam sisi. Salah satu pandangan yang

menjadi problem yang cukup serius dipermasalahkan adalah adanya pandangan bahwa

6
Steven Mintz, “The Global Effect of World War I”, The Gilder Lehrman Institute of American
History, http://www.gilderlehrman.org/history-by-era/world-war-i/resources/global-effect-world-war-i
(diakses 20 Januari 2015).

7
Immanuel Kant, “Perpetual Peace: A Philosophical Sketch”, dalam Political Writings, ed. Hans
Reiss (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 100.
kisah-kisah perang di dalam Perjanjian Lama, khususnya dalam Ulangan 20 atau dalam

beberapa bagian di dalam kitab Yosua, memberikan gambaran bahwa Allah Perjanjian

Lama adalah Allah yang kejam dan diskriminatif.8 Pandangan bahwa Allah Perjanjian

Lama adalah Allah yang kejam dianggap oleh beberapa orang sebagai sebuah

permasalahan akan konsistensi gambaran Allah dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian

Baru.

Marcion salah seorang tokoh kekristenan abad mula-mula yang dianggap bidat

mempercayai bahwa perbedaan antara tindakan Allah dalam Perjanjian Lama terhadap

Israel dan penebusan yang Yesus kerjakan di dalam Perjanjian Baru dilakukan bukan

oleh satu agen yang sama.9 Dalam hal ini, Marcion membedakan antara Allah Perjanjian

Lama dan Allah Perjanjian baru sebagai dua Allah yang berbeda. Selain Marcion, Tatian

salah seorang murid Justin Martyr, menolak Perjanjian Lama sebab Perjanjian Lama

menghadirkan Allah yang berbeda. Sebagaimana dikutip oleh Hunt, Clement dari

Aleksandria menyatakan tentang Tatian:

Tatian makes a distinction between the old humanity and the new, but it is not ours. We
agree with him in that we too say that the old humanity is the Law, the new is the gospel.
But we do not agree with his desire to abolish the Law as being the work of a different
god.10

Sebagai konsekuensi bahwa Allah Perjanjian Lama dan Allah Perjanjian Baru

bukanlah satu agen yang sama, menurut John Barton perlu ada penghapusan atau

8
Stanley N. Gundry, “Introduction”, dalam Show Them No Mercy, ed. Stanley N. Gundry (Grand
Rapids, Michigan: Zondervan, 2003), 7.

9
Mark Edwards, Catholicity and Heresy in the Early Church (Hampshire, England: Ashgate, 2009),
29.

10
Emily J. Hunt, Christianity in the Second Century: The Case of Tatian (London: Routledge, 2003),
179.
perubahan agar terjadi konsistensi dalam pemahaman iman Kristen mengenai Allah yang

Esa.11 Dalam hal ini, baik Marcion maupun Tatian, memilih untuk menghapuskan

anggapan bahwa Perjanjian Lama adalah bagian yang sama dan konsisten dengan Kanon

Kristen, sehingga mereka tidak kehilangan gambaran Allah yang dinyatakan melalui

Yesus.12 Dalam upaya ini, muncul problem lain yaitu penghapusan Perjanjian Lama

sebagai satu bagian dari kanon Alkitab bertentangan dengan pemahaman tentang doktrin

Alkitab yang dipercaya oleh kekristenan.13 Meresponi hal ini, Tremper Longman

berpendapat bahwa problem di atas muncul akibat dari adanya kesalahan memahami

teks-teks perang di dalam Alkitab.14 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa adanya

kesalahan memahami teks-teks perang dapat memberikan dampak yang serius bagi

pemahaman teologi Kristen.

Pemahaman Kristen tentang Perang dalam Alkitab

Dalam upaya untuk membahas permasalahan ini, para ahli menggunakan

beberapa pendekatan untuk mencoba menjelaskan mengenai teks-teks perang di dalam

Alkitab. Von Rad menyatakan bahwa,

Everything that follows is really intended simply to carry this familiar procedure a stage
further by trying to understand that the way in which the Old Testament is absorbed in the

11
John Barton, The Old Testament: Canon, Literature, and Theology (Hampshire, England:
Ashgate, 2007), 55.

12
Barton, The Old Testament, 56. Bdk. Hunt, Christianity in the Second Century, 57. The ‘truth’
that Tatian discovers is contained within some ‘barbarian writings’, and these ‘barbarian writings’ are in
fact the Hebrew Scriptures.

13
Bdk. Westminster Confession of Faith, I. ii. Pengakuan iman Westminster menyatakan bahwa
“Under the name of Holy Scripture, or the Word of God written, are now contained all the books of the
Old and New Testament.”

14
Tremper Longman III, Memahami Perjanjian Lama (Malang: Literatur SAAT, 2001), 64.
New is the logical end of a process initiated by the Old Testament itself, and that its
“laws” are to come extent repeated in this final reinterpretation. Initially therefore our
method does not begin from the New Testament and its manifold references to the Old
Testament. This is a method which has often been adopted, and it is a right and proper
one . It has also, of course led all too often to contrasting the one with the other with a
sharpness which does not do justice to the great hermeneutic flexibility of the relationship
between the two testaments. The method will be an attempt to show one characteristic
way in which the Old Testament leads forward to the New.15

Melalui pendekatan ini, Gerhard Von Rad kemudian mengasumsikan perang dalam relasi

antara iman dan status sebagai umat Allah yang secara historis bergerak dari Perjanjian

Lama hingga Perjanjian Baru dalam sebuah kontinuitas sejarah.16 Sedangkan bagi

Eichrodt, relasi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dipahami sebagai berikut:

That which binds together indivisibly the two realms of the Old and New Testaments –
different in externals though they may be – is the irruption of the Kingship of God into
his world and its establishment here. This is the unitive fact because it rests on the action
of one and the same God in each case. In addition to this historical movement from the
Old Testament to the New, there is a current of life flowing in the reverse direction from
the New Testament to the Old.17

Eichrodt berargumen bahwa pergerakan sejarah memang terjadi dari Perjanjian Lama

menuju Perjanjian Baru, namun untuk memahami makna teologis maka diperlukan juga

pembalikan arah dari Perjanjian Baru kepada Perjanjian Lama. Dalam hal ini, Eichrodt

berpendapat bahwa perang harus dilihat dalam sebuah kerangka perang Kudus Allah

dimana konsep kekudusan dan pengorbanan dalam konteks Perjanjian Allah yang kekal

dan penuh kasih karunia menjadi bingkai dalam memahami kenyataan perang dalam

Perjanjian Lama, serta sebagai gambaran figuratif dari peperangan Kristus terhadap dosa

di atas kayu Salib.18

15
Gerhard Von Rad, Old Testament Theology, jilid 2 (New York: Harper and Row, 1965), 321-22.

16
James L. Crenshaw, Gerhard Von Rad (Waco, Texas: Word Books, 1978), 46.

17
Walter Eichrodt, Theology of the Old Testament, jilid 1 (London: SCM, 1961), 26.

18
Eichrodt, Theology of the Old Testament, 139-41.
Di pihak yang lain, Brevard Childs yang mencoba melihat Perjanjian Lama dan

Perjanjian Baru dalam sebuah pendekatan kanonikal, mencoba membaca Perjanjian Lama

dan Baru dalam keunikan masing-masing tanpa mengunggulkan salah satunya. Childs

berargumen bahwa Perjanjian Lama bukan hanya memiliki dimensi horisontal, namun

juga dimensi vertikal, di mana Perjanjian Lama juga membawa kesaksian yang unik bagi

iman Kristen untuk melihat Perjanjian Lama sebagai janji dan Perjanjian Baru sebagai

penggenapan atas janji tersebut. Oleh karena itu, keunikan tiap Perjanjian tidak bisa

hanya dilihat dari satu sisi ataupun dihilangkan, namun harus terjadi timbal-balik

pemaknaan untuk memahami keterkaitan dan keunikan masing-masing pesan.19 Dalam

hal ini, Child berargumen bahwa perang dalam Perjanjian Lama, khususnya dalam Yosua

harus dilihat sebagai bagian dari penggenapan janji Allah kepada Israel untuk

memberikan tanah Perjanjian menjadi hak milik pusaka Israel.20

Ragam Pendekatan

Selain bentuk-bentuk pendekatan di atas, harus diakui masih banyak sekali

pendekatan-pendekatan lain yang digunakan oleh para penafsir untuk memahami perang

dalam konsep kesatuan Perjanjian Lama dan Baru. Dalam upaya ini, secara umum ada

tiga pendekatan utama dalam memahami permasalahan perang dalam keseluruhan kanon

Alkitab:21

19
Brevard Childs, Biblical Theology of Old and New Testamants (Minneapolis, Minnesota:
Fortress, 1993), 77-78.

20
Childs, Biblical Theology, 146.

21
David L. Baker, Two Testaments, One Bible (Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 1991), 179-
252.
a. Pendekatan Tipologi

b. Pendekatan Janji dan Penggenapan

c. Pendekatan Kontinuitas dan Diskontinuitas

Pendekatan tipologi dapat dipahami sebagai relates “the past to the present in

terms of a historical correspondence and escalation in which the divinely ordered

prefigurement finds a complement in the subsequent and greater event”22 Dimana sebuah

kejadian, tempat, bahkan tokoh di masa lalu memiliki berkorespondensi dan menjadi

gambaran bagi sesuatu yang akan datang. Sebagai contoh, Peter Craigie melihat bahwa

bahasa perang yang terdapat dalam Perjanjian Baru lebih sering memberikan nuansa

figuratif dibandingkan dalam Perjanjian Lama yang cenderung bersifat faktual. Meskipun

demikian, Craigie berpendapat bahwa perang dalam Perjanjian Lama tidak hanya

dipahami hanya sebagai gambaran perlawanan terhadap musuh yang bersifat duniawi

namun dapat menjadi tipologi bagi perang dalam Perjanjian Baru yang menggambarkan

perlawanan pada musuh yang bersifat spiritual.23

Pendekatan kedua adalah pendekatan Janji dan Penggenapan. Pendekatan ini

memiliki berasumsi bahwa Perjanjian Lama bukanlah sesuatu yang bersifat akhir, ia

merupakan sebuah proses, bukan sesuatu yang sudah bersifat genap dan selalu diresapi

dengan perasaan belum lengkap.24 Oleh karena itu, pendekatan Janji dan Penggenapan

adalah suatu rumusan alkitabiah yang mengungkapkan rencana Allah bagi umat-Nya

sebagaimana terwujud dalam sejarah melalui sebuah proses historis hingga mencapai

22
Dictionary of Theological Interpretation, s.v. “Typology”.

23
Peter C. Craigie, The Book of Deuteronomy (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1976), 274.

24
Baker, Two Testaments, One Bible, 226.
penggenapannya.25 Sebagai contoh, Tigay dalam The JPS Torah Commentary

menjelaskan bahwa hukum perang dalam Perjanjian Lama harus dilihat dalam konteks

perang Israel. Dalam hal ini, perang berhubungan dengan penaklukan tanah sebagai

bagian dari Perjanjian Allah dan Israel, dimana janji ini telah digenapi ketika Israel

memasuki Kanaan dan akan dipenuhi ketika Mesias hadir untuk menegakan Kerajaan

Daud dan membawa damai (shalom) bagi dunia.26

Pendekatan ketiga adalah pendekatan Kontinuitas dan Diskontinuitas. Pendekatan

ini adalah sebuah pendekatan yang memahami bahwa keseluruhan isi Alkitab adalah

sejarah penebusan yang Allah kerjakan bagi manusia, dimana ada sebuah kesinambungan

antara Perjanjian Lama dan Baru sebagai satu tindakan Allah yang tunggal dalam sejarah

penebusan, namun juga mengakui adanya ketidaksinambungan, perkembangan, bahkan

penghilangan beberapa aspek tertentu sebagai konsekuensi dari adanya progressive

revelation yang Allah kerjakan dalam penyataan dirinya kepada setiap penulis Alkitab

dalam tiap zaman dan kondisi yang berbeda.27 Dalam hal ini, pendekatan kontinuitas dan

diskontinuitas akan mencoba melihat perang dan menganalisa perang sebagai satu bagian

dari progressive revelation untuk melihat adanya perkembangan pemahaman mengenai

Perang dalam Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru.

Adanya keragaman pendekatan relasi antar Perjanjian memberikan dampak pada

perbedaan pemahaman mengenai perang. Oleh karena itu, muncul beberapa pandangan

25
Baker, Two Testaments, One Bible, 233.

26
Jeffrey H. Tigay, Deuteronomy (Philadelphia, Pennsylvania: The Jewish Publication Society,
1996), 185.

27
Baker, Two Testament, One Bible, 234.
mengenai perang yang coba diusulkan oleh beberapa ahli, antara lain pandangan dari

Richard Hess yang menyatakan bahwa perang dalam Perjanjian Lama memiliki dua

makna yaitu untuk mempertahankan diri (defensive) serta sebagai sebuah bentuk

demonstrasi ketaatan kepada Allah.28 Bentuk demonstrasi ketaatan kepada Allah juga

ditunjukkan sebagai klimaks dari kehidupan Kristus sendiri. Dalam Filipi 2:8 dikatakan

“Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai

mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” Dengan demikian, korelasi kematian Kristus

dan perang adalah satu bagian yang sama dari ketaatan kepada Allah yang satu.

Jika Hess melihat bahwa perang adalah sebuah bentuk mempertahankan diri,

Miller mengakui bahwa ada aspek perang di dalam Perjanjian Lama, khususnya dalam

perang terhadap Kanaan, sebagai bentuk perang yang menyerang (offensive).29

Pandangan yang lain juga dinyatakan oleh Susan Nidicth yang menekankan bahwa

perang merupakan bentuk penyelamatan yang Allah kerjakan bagi umat-Nya, sehingga

tidak ada partisipasi aktif manusia di dalam perang.30 Sedangkan bagi Longman, perang

di dalam Alkitab adalah bagian dari ibadah kepada Allah.31 Meski ada beragam

pandangan mengenai perang di dalam Alkitab, namun baik Hess, Niditch, maupun

Longman dan Reid memahami Allah dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

28
Richard S. Hess, “War in the Hebrew Bible: An Overview”, dalam War in the Bible and Terrorism
in the Twenty-First Century, ed. Richard S. Hess dan Elmer A. Martens (Warsaw, Indiana: Eisenbrauns,
2008), 30.

29
Patrick D. Miller, The Divine Warrior in Early Israel (Atlanta, Georgia: Society of Biblical
Literature, 2006), 157.

30
Susan Niditch, War in the Hebrew Bible: A Study in the Ethics of Violence (Oxford: Oxford
University Press, 1993), 154.

31
Tremper Longman III, “The Case for Spiritual Continuity”, dalam Show Them No Mercy, ed.
Stanley S. Gundry (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2003), 164.
bukanlah Allah yang berbeda.32 Dengan memahami banyaknya pandangan serta

pendekatan terhadap konsep perang di dalam Alkitab, maka penulis memilih untuk

membatasi penelitian ini pada pembahasan mengenai teks-teks perang di dalam Alkitab

melalui pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas.

Penulis menyadari bahwa upaya memahami perang dalam pendekatan kontinuitas

dan diskontinuitas sudah banyak dikerjakan oleh beberapa ahli sebelumnya. Dalam

penelitian yang terdahulu, Longman meneliti perang melalui pendekatan kontinuitas dan

diskontinuitas dengan lebih banyak memfokuskan penelitian teks pada kitab Yosua dan

Wahyu, serta melewatkan pembahasan dalam kitab Ulangan maupun kitab-kitab

sejarah.33 Dalam disertasinya, Bethancourt juga menggunakan pendekatan kontinuitas

dan diskontinuitas dalam membaca teks-teks perang. Akan tetapi, ia lebih banyak

membahas mengenai tema Kristus sebagai prajurit perang, sedangkan pembahasan

tentang teks-teks perang hanya menjadi jembatan untuk memahami gambaran tentang

Kristus dan bukan mengarah kepada perang itu sendiri.34 Selain itu ada pula nama-nama

seperti Gregory A. Boyd dan Susan Niditch yang juga mencoba menjelaskan mengenai

perang di dalam Alkitab melalui pendekatan yang sama. Dimana Boyd lebih banyak

32
Dalam God is Warrior, Longman dan Reid menjelaskan bahwa Allah dalam Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru digambarkan sebagai Pahlawan Perang Ilahi yang membawa keselamatan bagi Israel
maupun bagi umat Allah dalam Perjanjian Baru. Gambaran Allah sebagai prajurit perang merupakan
penghubung antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Tremper Longman III dan Daniel G. Reid, God Is
a Warrior (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2010), 16-17. Bdk. Hess, “War in the Hebrew Bible: An
Overview”, 24.

33
C. S. Cowles, “A Response to Tremper Longman III”, dalam Show Them No Mercy, (Grand
Rapids, Michigan: Zondervan, 2003), 191-92. Bdk. Longman, “The Case for Spiritual Continuity”, 163-87.

34
Bdk. Phillip Ross Bethancourt, “Christ the Warrior King: A Biblical, Historical, and Theological
Analysis of the Divine Warrior Theme in Christology.” (Ph.D. diss., The Southern Baptist Theological
Seminary, 2011).
menekankan perang secara spiritual35, sedangkan Niditch lebih melihat perang dalam

hubungannya dengan keadilan dan etika non-partisipasi.36 Sekalipun telah banyak tokoh

mencoba memaparkan perihal perang, namun belum ada pembahasan mengenai teks-teks

perang di dalam Alkitab melalui pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas yang

memberikan penjelasan mengenai pergerakan konsep perang dari Perjanjian Lama

menuju Perjanjian Baru secara lebih terinci, dengan mengambil teks-teks perang yang

cukup beragam dari beberapa genre dan rentang kesejarahan yang berbeda.

Oleh karena itu studi ini disasarkan untuk memaparkan pergerakan konsep perang

di dalam Alkitab dengan menggunakan pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas.

Mengapa teks-teks perang? Sebab teks-teks perang dalam Alkitab, terkhusus dalam

Perjanjian Lama, merupakan salah satu bagian yang sering kali disalahtafsirkan sebagai

pengajaran tentang kekerasan yang tidak konsisten dengan pengajaran tentang kasih yang

kental di bahas dalam Alkitab. Oleh karena itu, skripsi ini akan berusaha untuk

memahami apa yang menjadi konsep teologis dari teks-teks perang di dalam Alkitab dan

melihat apakah ada pengembangan pemahaman mengenai perang yang terjadi sepanjang

Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dengan pemahaman ini diharapkan agar kesalahan

konsep mengenai makna perang di dalam Alkitab serta konsep-konsep lain yang terkait

dengan hal ini dapat diperkecil.37

35
Lih. Gregory A. Boyd, God at War: the Bible and Spiritual Conflict (Downers Grove, Illinois:
InterVarsity, 1997).

36
Lih. Niditch, War in the Hebrew Bible, 151-55.

37
Kesalahan dalam memahami konsep perang di dalam Alkitab dapat mempengaruhi
pemahaman mengenai Allah, kanonisasi Alkitab, bahkan masalah iman pada Allah yang satu. Akan tetapi,
skripsi ini tidak akan membahas masalah-masalah ini secara langsung.
Pernyataan Tesis

Konsep perang di dalam Alkitab mengalami pergerakan pemahaman, baik secara

teologis maupun praktis, dari Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru, di mana ada

aspek-aspek yang tetap berlanjut (kontinu) dan ada aspek-aspek tertentu yang berhenti

(diskontinu).

Pembatasan Masalah

Penelitian dibatasi pada teks-teks perang dalam Alkitab dari beberapa genre dan

waktu kesejarahan yang berbeda dan tidak akan membahas perdebatan mengenai

perbedaan pemahaman tentang Allah dalam Perjanjian Lama dan Baru serta masalah

kanonisasi Alkitab.

Metode Penelitian

Penulis akan melakukan penelitian literatur dengan membandingkan terlebih

dahulu pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas dengan dua pendekatan yang lain, yaitu

pendekatan tipologi dan pendekatan janji dan penggenapan, untuk melihat keunikan yang

ditekankan masing-masing pendekatan dan menunjukkan alasan atau keunggulan dari

pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas. Setelah itu, penulis akan menggunakan

pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas untuk memberikan analisis biblikal-teologis

guna memahami makna perang serta pergerakan pemahaman mengenai perang dalam

Perjanjian Lama dan Baru.


Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan serta

menelusuri pergerakan pemahaman mengenai perang dalam Perjanjian Lama hingga

Perjanjian Baru dengan memperhatikan perubahan yang terjadi dari sisi politik, sosial,

fisikal, hingga perang secara spiritual yang ditemukan dalam keunikan masing-masing

teks perang yang telah dipilih.

Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan tiga manfaat:

Pertama, secara akademis penelitian ini akan memberikan sumbangsih dalam

pemahaman mengenai perang dalam Alkitab melalui perspektif yang lebih rinci dan

perbandingan terhadao studi mengenai perang yang telah dikerjakan oleh para ahli

terdahulu.

Kedua, secara praktis melalui penelitian ini dapat menjadi salah satu sarana untuk

menyaring pandangan-pandangan yang keliru mengenai gambaran Allah yang berbeda

dari masing-masing Perjanjian sebagai akibat dari kesalahan memahami teks-teks perang

dalam Alkitab dan pola pergerakan konsep perang dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian

Baru.

Ketiga, dengan memahami adanya kontinuitas maupun diskontinuitas konsep

perang dalam Alkitab, pembaca dapat menyaksikan bahwa konsep perang merupakan

bagian dari progressive revelation yang Allah berikan sesuai dengan konteks masing-

masing penulis yang unik.


BAB II

TEORI RELASI ANTAR PERJANJIAN

Pemahaman mengenai relasi antar Perjanjian dapat memberikan pengaruh dalam

pembentukan sebuah teologi Alkitabiah. Reventlow menyatakan bahwa hubungan

relasional antara Perjanjian Lama dan Baru adalah urusan yang sangat penting dan

menjadi salah satu kunci dari permasalahan teologis abad 20.38 Ridderbos juga

menegaskan bahwa hubungan antar Perjanjian bukan hanya sekedar menyangkut

keseluruhan cerita namun juga berisi keseluruhan teologi.39 Melihat pentingnya

pemahaman mengenai relasi Perjanjian dan kaitannya dengan teologi, maka penulis akan

mencoba membahas dan membandingkan tiga pendekatan antar Perjanjian — yaitu

tipologi, janji dan pemenuhan, serta kontinuitas dan diskontinuitas — guna memahami

keunggulan dan kelemahan tiap pendekatan bagi pembentukan teologi.

Tipologi

Definisi

Tipologi berasal dari kata Yunani typos (τύπος) atau dalam bahasa Inggris disebut

type.40 Menurut Greek Dictionary of the New Testament kata typos bisa berarti tanda,

38
Henning Graf Reventlow, Problems of Biblical Theology in the Twentieth Century (Minneapolis,
Minnesota: Fortress, 1986), 11.

39
Reventlow, Problems of Biblical Theology in the Twentieth Century, 11.

40
Baker, Two Testaments, One Bible, 185.
bentuk, corak mode atau gaya bahasa, kemiripan, contoh juga model.41 Sedangkan

Oxford Advanced Learning Encyclopedic Dictionary memahami type sebagai pribadi,

benda, atau kejadian yang diperhitungkan sebagai sebuah representatif atau contoh dari

kelas atau grup tertentu.42 Dalam hal ini pemaknaan typos (τύπος) didefinisikan sebagai

prinsip kesamaan sedangkan type lebih merujuk pada sebuah penerapan akan prinsip

kesamaan yang dapat dilihat dalam pribadi, benda, maupun kejadian. Oleh karena itu,

tidak berlebihan jika C. T. Fritsch mendefinisikan tipologi sebagai “an institution,

historical event or person, ordained by God, which effectively prefigures some truth

connected with Christianity”.43 Melengkapi bagian ini, penulis mengutip Dictionary of

Theological Interpretation yang mendefinisikan tipologi sebagai sebuah korespondensi

kesejarahan dari masa lalu ke masa sekarang, yang tak jarang mengalami penambahan

makna di mana penggambaran yang terdahulu diambil sebagai pelengkap untuk

memahami peristiwa selanjutnya yang lebih besar.44 Dalam definisi ini, relasi tipe dan

antitipe dipahami bukan sebagai bentuk relasi identik, akan tetapi antitipe dilihat

mengandung pemaknaan yang lebih luas atau lebih mendalam.

41
Greek Dictionary of the New Testament, s.v. “τύπος”.

42
Oxford Advanced Learning Encyclopedic Dictionary, s.v. “Type”.

43
Charles T. Fritsch, "Biblical Typology," Bibliotheca Sacra, vol. 104 (1947): 87-100.

44
Dictionary of Theological Interpretation, s.v. “Typology”.
Karakteristik Tipologi

Pemahaman mengenai tipologi sebagai sebuah pendekatan dalam memahami teks-

teks Alkitab tampaknya sudah sangat umum dipakai sejak abad pertama kekristenan.

Goppelt menyatakan bahwa,

Typology and the typological method have been part of the church’s exegesis and
hermeneutics from the very beginning. Obviously this is due to the influence of the NT
and it is attested by the writings of the Apostolic Fathers.45

Meski umum digunakan namun pemahaman mengenai tipologi seringkali menjadi rancu

dengan pendekatan alegoris maupun simbolisme. Baker menyatakan bahwa, “However

the fact that the term ‘typology’ has been confused with allegorical and symbolic

exegesis, and applied to trivial correspondence, does not invalidate it as a principle if

properly used.”46 Dengan demikian, perlu adanya sebuah pemahaman yang tepat

mengenai karakteristik dari tipologi agar tidak terjadi kerancuan dalam memahami dan

menerapkan pendekatan ini terhadap teks. Dalam hal ini, karakteristik-karakteristik yang

nampak dari pendekatan tipologi antara lain adalah:

Korespondensi Kesejarahan

Baker menyatakan bahwa,

First, typology is historical. Its concern is not with words but with historical facts: events,
people, institutions. It is not a method of philological or textual study, but a way of
understanding history.47

45
Leonhard Goppelt, Typos: The Typological Interpretation of the Old Testament in the New (Grand
Rapids, Michigan: Eerdmans, 1982), 4.

46
Baker, Two Testaments, One Bible, 193. Bdk. John J. O’Keefe dan R. R. Reno, Sanctified Vision: An
Introduction to Early Christian Interpretation of the Bible (Baltimore, Maryland: Johns Hopkins University
Press, 2005 ), 90. Seringkali alegori dan tipologi dipandang serupa sebab sama-sama berfokus pada kode
atau figur tertentu yang menyatukan Perjanjian Lama dengan Baru.

47
Baker, Two Testaments, One Bible, 195.
Fokus tipologi kepada fakta-fakta sejarah menjadi salah satu ciri penting yang berbeda

dengan penafsiran alegoris maupun simbolis. Menurut O’Keefe dan Reno,

Allegories are basically interpretations that claim that the plain or obvious sense of a
given text is not the true meaning, or at least not the full meaning. The words, event, and
characters, so the allegorist claims, stand for something else; they speak for another
reality, another realm of meaning.48

Dalam hal ini, bagi penafsiran alegoris yang terpenting bukan fakta sejarah, kata atau

tokoh dalam cerita, namun realitas dan makna lain yang tersembunyi dibalik teks. Oleh

karena itu, dapat dikatakan bahwa penafsiran alegoris mengandung asumsi negatif

terhadap sejarah teks maupun peristiwa, hal ini berbeda dengan pendekatan tipologi.

Pendekatan tipologi justru berusaha mencari pola berulang yang terjadi dalam sejarah

Alkitab, terkhusus dalam relasi Allah beserta umat-Nya.49

Pencarian pola berulang tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, melalui

korespondensi atau analogi. Dalam poin ini, korespondensi dalam pendekatan tipologi

dipahami dalam bentuk relasi antar ide dari peristiwa kesejarahan. Gopplet berpendapat

bahwa korespondensi yang terjadi dalam pendekatan tipologi terjadi dalam tataran ide

kesejarahan yang membentuk pola cyclical dari peristiwa-peristiwa kesejarahan.50 Lampe

menambahkan, bahwa sebuah peristiwa seringkali hadir dengan ‘berbaju’ Perjanjian

Lama sebagai penggambaran Alkitabiah yang menghadirkan kekayaan makna dan

signifikansi terhadap kisah sejarah bangsa Ibrani, nubuatan bahkan liturgi keagamaan

48
O’Keefe dan Reno, Sanctified Vision, 89.

49
G. W. H. Lampe dan K. J. Wo Ollcombe, Essays on Typology (London: SCM, 1917), 26.

50
Goppelt, Typos, 226-27. Pola cyclical adalah sebuah pola peristiwa yang terjadi lagi dan lagi
dalam tatanan yang sama.
sebagai bagian proklamasi Injil.51 Oleh sebab itu, korespondensi yang ada dalam

pendekatan tipologi hadir melalui kedekatan naratif sebagai bukti keterkaitan sejarah

antara teks Perjanjian Baru dan Lama.

Aspek Literal

Selain korespondensi kesejarahan dalam bentuk ide dan narasi, McCarthy dan

Prince juga melihat kemungkinan adanya korespondensi antar teks melalui kedekatan

gramatikal.52 Hal serupa juga dinyatakan oleh Lampe, bahwa ada bentuk tipologi lain

yang berdasarkan pada relasi makna literal, sebagai jembatan menuju realitas spiritual.53

Kedekatan gramatikal yang dimaksud dalam bagian ini lebih mengarah pada penggunaan

kata tertentu atau terminologi tertentu yang menjadi pengait antar teks untuk memahami

konsep yang hendak disampaikan secara lebih utuh.

Dalam aspek ini, unsur literal merupakan bagian yang penting karena didalamnya

terkandung kaitan antara yang tertulis (gramatikal) dan yang terjadi dalam sejarah

(Historikal) sebagai alat pengungkap fakta yang memuat dan merekam peristiwa, tokoh,

maupun lembaga tertentu.54 Hal ini membedakan dengan pendekatan alegoris yang

melihat teks sebagai lambang atau simbol yang menyimpan doktrin tertentu yang

51
Lampe dan Ollcombe, Essays on Typology, 19.

52
John. J. McCarthy dan Alan S. Prince, Faithfulness and Identity in Prosodic Morphology (Amherst,
Massachusetts: Graduate Linguistic Student Association University of Massachusetts, 1995),
https://rucore.libraries.rutgers.edu/rutgers-lib/41852/PDF/1/ (diakses tanggal 8 Maret 2015). Kedekatan
gramatikal yang dimaksud adalah kedekatan tata bahasa dan terminologi yang memberikan keterkaitan
antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain dalam pemaknaan yang lebih kaya.

53
Lampe dan Ollcombe, Essays on Typology, 30.

54
Stanley N. Gundry, “Typology as a Means of Interpretation: Past and Present,” Journal of the
Evangelical Theological Society 12, no. 4 (1969): 234-40.
tersembunyi di balik teks harafiah.55 Kaitan gramatikal dan kesejarahan dalam unsur

literal inilah yang menjadi jembatan antara beberapa pemahaman dalam Perjanjian Lama

dan Baru, contoh kata “sunat”.56

Keterpusatan pada Perjanjian Baru

Dalam sebuah relasi, hubungan dari dua pihak atau lebih tidak selalu berjalan

dalam kondisi yang sejajar, demikian pula dalam pendekatan tipologi. Relasi antara

Perjanjian Lama dan Baru dalam pendekatan ini cenderung dilihat lebih mengunggulkan

Perjanjian Baru. Fakta ini didasarkan pada asumsi bahwa Perjanjian Lama bersifat

incomplete. Foulkes menyatakan bahwa kita harus menerima kenyataan bahwa Perjanjian

Lama adalah satu bagian utuh yang berdiri sendiri dalam sejarahnya dan sistemnya,

namun juga harus menerima bahwa Perjanjian Lama adalah satu bagian yang belum

lengkap dan perlu dilihat melalui terang Kristus dalam Perjanjian Baru.57 Dalam hal ini,

muncul sebuah pengindikasian bahwa ada sebuah kebergantungan tidak langsung antara

Perjanjian Lama kepada Perjanjian Baru.

Dalam ketergantungan Perjanjian lama kepada Perjanjian Baru, maka Baker

melihat relasi tipologis antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam sebuah bentuk

retrospective. Ia menyatakan bahwa,

55
Baker, Two Testaments, One Bible, 190.

56
Penggunaan konsep sunat dalam Perjanjian Lama sebagai bentuk inisiasi menjadi umat Allah
secara fisik diperluas dalam Perjanjian Baru dengan konsep sunat hati sebagai tanda spiritual.

57
Francis Foulkes, The Acts of God: A Study of the Basis of Typology in Old Testament (London:
Tyndale, 1958), 39.
The Bible gives no exhaustive list of types and implies no developed method for their
interpretation. On the contrary, there is a great freedom and variety in the outworking of
the basic principle that the Old Testament is a model for the New.58

Dengan demikian, Baker melihat bahwa relasi tipologis antara Perjanjian Lama dan Baru

tidak secara prospective dimana pemaknaan Perjanjian Lama harus ditarik menuju

Perjanjian Baru, namun justru dilihat bahwa Perjanjian Baru sebagai lensa untuk

membaca model-model atau tipe-tipe yang tersebar dalam Perjanjian Lama. Dalam hal

ini, interpretasi terhadap teks justru bergerak dari Perjanjian Baru menuju Perjanjian

Lama. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa pendekatan tipologi menempatkan Perjanjian

Baru sebagai pusat dari interpretasi, baik sebagai sesuatu yang dianggap lebih lengkap

maupun sebagai lensa untuk membaca sejarah sebelumnya.

Hubungan Analogis

Dalam hubungan antara teks Perjanjian Lama dan Baru, baik secara prospektive

maupun retrospektive, dipahami bahwa ada sebuah keterhubungan rahasia yang terletak

di dalam setiap kisah yang ditulis oleh tiap penulis di setiap jamannya. Archbishop

Trench pernah menyatakan,

The parable or other analogy to spiritual truth appropriated from the world of nature or
man, is not merely ilustration, but also in some sort proof. It is not merely that these
analogies assist to make the truth intelligible… Their power lies deeper than this, in the
harmony unconciously felt by men, which all deeper minds have delighted to trace,
between the natural and the spiritual worlds, so that analogies from the first are felt to be
more something more than illustrations, happily but yet arbitrarily chosen… They belong
to one another, the type and the thing typified, by an inward necessity; they were linked
together long before by the law of a secret affinity.59

58
Baker, Two Testaments, One Bible, 191.

59
Baker, Two Testaments, One Bible, 187. Ada kemungkinan penggunaan frasa “…yet arbitrarily
chosen” ingin menunjukkan bahwa relasi tipologi yang terjadi antara tipe dan yang di-tipe-kan tak jarang
masih mengandung unsur pemaksaan makna.
Sekalipun Trench tidak menyatakan bahwa perumpamaan dan sistim analogi dalam

tipologi sebagai dua hal yang sama, namun ia melihat bahwa kedua hal ini dapat

menunjukkan adanya pertalian antara satu kisah dengan kisah lain sebagai tipe dan yang

ditipekan.

Keterhubungan ini, baik disadari maupun tidak oleh penulis kitab, merupakan

bagian dari sebuah karya Allah yang mengatur sejarah. Foulkes menyatakan bahwa karya

Allah dalam mewahyukan diri-Nya melalui Alkitab dapat terlihat dalam tindakan Allah

yang tidak terprediksi dan dapat berulang untuk menunjukkan konsistensi prinsip-prinsip-

Nya.60 Keberulangan tindakan Allah ini dapat bersifat repetisi total, seperti kisah Israel

menyeberang laut merah dengan kisah Israel menyeberang sungai Yordan. Atau sebuah

keberulangan yang bersifat analogis, contoh kisah Abraham mempersembahkan Ishak

dengan kematian Kristus. Dalam hal ini, hubungan analogis lebih menekankan kepada

persamaan prinsip yang ada dari satu kisah sejarah dalam Perjanjian Lama yang

digunakan sebagai penggambaran atau kiasan bagi satu peristiwa dalam Perjanjian Baru.

Landasan Teologis

Dengan memahami keunikan dari karakteristik yang ada, tak bisa dihindarkan,

perlu juga adanya pengakuan akan landasan teologis tertentu yang menjadi presuposisi

awal yang membentuk pemahaman dan karakteristik dari tipologi. Dalam hal ini,

minimal ada tiga landasan teologis yang membentuk pendekatan tipologis. Landasan

teologis yang pertama adalah sejarah keselamatan. Oscar Cullmann menyatakan bahwa

60
Foulkes, The Acts of God, 9-10.
“typology presupposes a wider salvation-historical framework and connects two points

on this background.”61 Dalam hal ini, Cullmann mengakui bahwa dalam melihat

korespondensi kesejarahan dari dua titik yang berbeda perlu dilandasi oleh satu bentuk

pemahaman yang sama akan makna dari sejarah itu sendiri. Dan dalam hal ini pendekatan

tipologi melihat bahwa sejarah yang tercatat di dalam Alkitab merupakan sebuah sejarah

keselamatan yang Allah kerjakan.

Dalam hal ini, perlu dipahami bahwa pengertian sejarah keselamatan berbeda

dengan pemahaman sejarah secara umum. Sejarah secara umum dipahami sebagai

“systematic description of past events,”62 atau sebagai “a chronological record of

significant events often including an explanation of their cause.”63 Dalam pemahaman di

atas sejarah hanya dilihat sebagai bagian dari objective events yang terjadi di masa

lampau, yang sering disebut dengan historie, atau sebagai catatan dari peristiwa-peristiwa

penting semata, yang sering disebut dengan geschichte. Namun berbeda dari dua

pandangan umum di atas, sejarah keselamatan di dalam Alkitab dipahami sebagai,

A term used by some biblical scholars to mark the history of Israel and the subsequent
Christian church as God's "salvation history" being worked out as God's plan in the midst
of human history as a whole.64

Dalam hal ini muncul sebuah asumsi teologis bahwa sejarah tidak lepas dari campur

tangan dan kinerja Allah yang menjalankan rencana dan kehendak-Nya di dalam sejarah

hidup manusia. Oleh karena itu, pendekatan tipologi melihat bahwa setiap peristiwa yang

61
Oscar Cullmann, Salvation in History (New York: Harper and Row, 1967), 132.

62
Oxford Advanced Learner’s Encyclopedic Dictionary, s.v. “History”.

63
Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary, Ed. ke-10, s.v. ”History”.

64
Westminster Dictionary of Theological Terms, s.v. ”Heilsgeschichte”.
terjadi di dalam Alkitab adalah bagian dari rencana, kehendak, dan cara Allah

mengejawantahkan diriNya untuk dikenali oleh manusia. Landasan teologis mengenai

sejarah keselamatan ini berhubungan erat dengan pemahaman yang lain bahwa Allah

adalah penulis Alkitab yang sesungguhnya.

Allah sebagai penulis Alkitab yang sesungguhnya juga menyatakan konsistensi

rencana keselamatan-Nya melalui bentuk-bentuk yang unik dalam Alkitab, yang dikenali

di dalam tipologi melalui korespondensi sejarah. Melalui korespondesi sejarah yang

terjadi dari satu peristiwa kepada peristiwa lain menjadi sebuah tanda dari adanya sebuah

pola dari tindakan Allah yang konsisten dalam sejarah hidup manusia. Baker menyatakan

bahwa “the basis of typology is God’s consistent activity in the history of his chosen

people.”65 Aktivitas Allah yang konsisten dalam sejarah hidup umat pilihan-Nya menjadi

sebuah pemahaman yang berlawanan dengan konsep deisme. Dalam deisme, allah sang

pencipta adalah allah yang membuat dunia dan kemudian meninggalkannya untuk

bergerak sendiri namun teologi Kristen memahami bahwa Allah sang Pencipta atau

Theos justru masuk dan aktif dalam sejarah manusia untuk membawa manusia pada jalan

dan rencana-Nya. Roma 8:28 menyatakan “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja

dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia,

yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” Dalam konsep seperti

inilah tipologi bergerak dan memahami korespondensi kesejarahan yang terjadi antara

Perjanjian Lama dan Baru.

65
Baker, Two Testaments, One Bible, 195.
Penggunaan Tipologi dalam Memahami Konsep Perang

Dengan memahami penekanan teologis dan karakteristik dari pendekatan ini,

Peter C. Craigie, salah seorang penafsir Perjanjian Lama mencoba menggunakan

pendekatan tipologi untuk menyelesaikan problem perang di Perjanjian Lama. Meskipun

tidak secara langsung menyatakan bahwa ia menggunakan pendekatan tipologi, namun

dalam salah satu komentari yang ditulisnya kita dapat menemukan bagaimana Craigie

menggunakan pemahaman perang dalam Perjanjian Lama sebagai gambaran figuratif

tentang Yesus dan penebusan-Nya di Perjanjian Baru.

Mengawali argumennya, Carigie menyatakan bahwa

The essence of the covenant, it must be stressed, lies in the relationship between God and
man, and though God is the first and free mover in establishing that relationship,
nevertheless a relationship requires response from man. The operative principle within
the relationship is that of love; God moved first toward his people in love and they must
respond to him in love. The law of the covenant expresses the love of God and indicates
the means by which a man must live to reflect love for God.66

Dengan menekankan konsep Perjanjian, ia memahami perang di Alkitab, terkhusus dalam

nuansa Perjanjian Lama sebagai bagian dari sejarah keagamaan Timur Dekat Kuno.

Dalam konteks sejarah Timur Dekat Kuno pemahaman bahwa tiap negara memiliki dewa

yang disembah dan melindungi serta berperang bagi negara tersebut menjadi sesuatu

yang umum dipahami. Oleh karena itu, Craigie menyatakan

Thus the Song of the Sea marks the inception of the idea of the Lord as the Warrior, and
of an ideology of war on an international level, which was dominant in early Israelite
religious thought. Closely related to the conception of God as Warrior is the expression of
the kingship of Yahweh.67

66
Peter C. Craigie, The Book of Deuteronomy (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1976), 37.

67
Craigie, The Book of Deuteronomy, 64.
Nyanyian kemenangan Israel setelah melewati laut Teberau dipahami sebagai titik

permulaan akan kesadaran Israel memahami Allah sebagai pahlawan Perang Israel,

sekaligus sebagai bagian dari ekspresi Perjanjian dan kepemimpinan Yahweh atas Israel.

Lebih lanjut, Craigie menyatakan bahwa bentuk perlindungan Allah dan peperangan yang

Allah lakukan untuk Israel merupakan penggambaran akan cinta Allah, sebuah tipologi

atas kasih perlindungan dari Bapa Surgawi.68 Menambahkan hal ini, Craigie berpendapat

bahwa

To call God a warrior, then, is to use human terms to describe a transcendent being. It is
the language of immanence. It is anthropomorphic language, and like all human language
it is limited, but from a theological perspective it “points to a truth about God which is
greater than the language itself.”69

Dalam hal ini pembahasaan Allah sebagai pahlawan perang merupakan gaya bahasa yang

bersifat antropomorfis. Oleh karenanya, memahami perintah Allah untuk berperang

menjadi sesuatu yang perlu dikaji. Tidak hanya secara literal bahwa Allah setuju akan

perang namun harus dilihat dalam prinsip teologis yang hendak disampaikan melalui

pesan perang ini. Hal senada juga dinyatakan oleh Holbert dalam reviewnya terhadap

Craigie, ia menyimpulkan bahwa “The language of God as warrior is metaphor only, and

from that language we learn two truths: God participates in history, and He participates in

war for both judgment and redemption.”70

68
Craigie, The Book of Deuteronomy, 103.

69
Peter C. Craigie, The Problem of War in the Old Testament (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans,
1978), 39–40.

70
Tinjauan John C. Holbert terhadap Peter C. Craigie, The Problem of War in the Old Testament,
Perkins Journal 33, no. 2 (1980): 46-47.
Dalam konsep penghakiman dan penebusan, Craigie melihat bahwa perang dalam

Perjanjian Lama merupakan bentuk figurative dari pengejawantahan konsep kerajaan

Allah. Craigie berargumen bahwa, “The Kingship of Yahweh finds its fullest expression

in the nature of God the Warrior: As a victorious Warrior, God rules over his people, and

his conquering power is exerted against their enemies.”71 Oleh karena itu dapat dilihat

bahwa perang di dalam sejarah Israel adalah bagian dari penggambaran tipologis akan

kekuasaan Allah untuk menebus umat pilihannya dan menghukum para musuh. Lebih

lanjut, Craigie melihat bahwa konsep perang dalam Perjanjian lama yang berhubungan

dengan pengalaman kehidupan Israel bersama Allah sebagai pahlawan perang yang

menolong dan membebaskan mereka dari bangsa-bangsa lain merupakan bahasa tipologis

bagi pesan Perjanjian Baru dimana pengalaman Kristus dalam karyanya di kayu salib

berperang melawan musuh-musuh spiritual dan membebaskan umat-Nya dari belenggu

dosa. Penggambaran ini menjadikan Kristus sebagai God of Warrior bagi umat Perjanjian

Baru.72

Kekuatan dari pendekatan tipologi yang digunakan Craigie untuk menjelaskan

mengenai perang dalam Perjanjian Lama membawa kepada penemuan makna spiritual

dari perang dalam Perjanjian Baru sebagai gambaran dari salib Kristus dan realitas

peperangan rohani. Meskipun demikian, John Willis mengkritik bahwa pendekatan

tipologis dari Craigie tak dapat menjawab tentang realita perang dalam diri Perjanjian

71
Craigie, The Book of Deuteronomy, 64-65.

72
Craigie, The Book of Deuteronomy, 271-72.
Lama namun lebih banyak menekankan makna spiritual dari Perjanjian Baru.73 Leo

Perdue juga mengkritik pendekatan Craigie yang mencoba menghindari permasalahan

teodisi tentang perang dan cenderung men-transenden-kan kekerasan sebagai bagian dari

permasalahan kejahatan yang tersistem yang hanya bisa direkonstruksi ulang oleh

tindakan yang Ilahi dan bukan upaya manusia.74 Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa

pendekatan tipologi akan lebih menolong untuk memahami makna spiritual dari perang,

namun sengaja menutup mata akan kontribusi kemanusiaan dan alasan egois manusiawi

dalam terjadinya perang.

Janji dan Pemenuhan

Definisi

Pendekatan kedua disebut pendekatan janji dan pemenuhan (Promise and

Fulfillment). Di dalam Alkitab, konsep janji dan pemenuhan dapat dikatakan memenuhi

dan menjalin tiap bagiannya. McComiskey menyatakan bahwa, “The theme of promise is

interwoven throughout the Old and New Testament.”75 Tema ini merupakan pengikat

yang menjalin dua bagian Alkitab menjadi satu kesatuan.

Definisi janji sendiri cukup menarik untuk dipahami. Secara umum janji dipahami

sebagai:

73
Tinjauan John T. Willis terhadap tulisan Peter C. Craigie, The Problem of War in the Old
Testament, Restoration Quarterly 24, no. 2 (1981), 111-12.

74
Tinjauan Leo G. Perdue terhadap tulisan Peter C. Craigie, The Problem of War in the Old
Testament, Journal of Biblical Literature 99, no. 3 (1980), 446-48.

75
Thomas Edward McComiskey, The Covenants of Promise (Grand Rapids, Michigan: Baker Books,
1985), 15.
a. A declaration that one will do or refrain from doing something specified.

b. A legally binding declaration that gives the person to whom it is made a right to

except or to claim the performance or forbearance of a specified act.

c. Reason to except something or ground for expectation of success improvement or

excellence.76

d. Indication that something may be expected to come or occur; likelihood or hope

of something.

e. Indication of future success or good result.77

Pemahaman ini begitu ragam, namun dapat kita simpulkan secara umum bahwa janji

berhubungan dengan beberapa hal: tindakan, waktu, dan pengharapan. Dalam hal

tindakan, janji dapat merupakan sebuah ikatan yang mengharuskan seseorang untuk

melakukan atau tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu. Dalam hal waktu, janji

berhubungan dengan sesuatu yang dibuat di masa lalu atau masa kini, yang mengikat kita

untuk melakukan sesuatu hingga mencapai hasil tertentu di masa depan. Dan dengan

sebuah tujuan untuk sebuah hasil tertentu di masa depan, maka janji bisa dikatakan

sebagai landasan dari pengharapan itu sendiri.

Konsep janji memiliki perbedaan dengan konsep prediksi ataupun nubuatan.

Menurut James Barr, prediksi berbicara mengenai sesuatu yang akan terjadi di masa

depan secara spesifik.78 Sedangkan menurut Baker, nubuat bersifat lebih luas daripada

76
Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary, ed. ke-10, s.v. “Promise”.

77
Oxford Advanced Learner’s Encyclopedic Dictionary, s.v. “Promise”.

78
James Barr, Old and New in Interpretation: A Study of the Two Testaments (London: SCM, 1966),
118-26.
prediksi. Nubuat merupakan suatu pesan yang diterima dari Allah dan disampaikan

kepada komunitas atau bangsa untuk mengingatkan mereka akan masa lalu dan

menantang mereka akan masa kini serta mempersiapkan mereka untuk masa akan

datang.79

Lebih spesifik, Hasan Sutanto melihat nubuat sebagai sesuatu yang bersifat

progresif dimana ada bagian yang mungkin berulang, bertambah, dan bersifat

melanjutkan nubuatan sebelumnya dengan tetap menyimpan sisi misteri tertentu dimana

nubuatan dapat terjadi secara literal namun juga dapat dipahami secara simbolik untuk

menggambarkan realita yang akan datang.80 Sedangkan konsep janji di dalam Alkitab,

menurut Moltmann, adalah sebuah deklarasi tentang sesuatu yang realita yang belum

terjadi, bersifat mengikat, dan menciptakan jarak antara realitas janji dan realisasi atau

pemenuhan dari janji tersebut, serta bergantung penuh kepada Allah sebagai pihak yang

menginisiasi janji tersebut.81 Dalam hal ini, janji dapat dilihat sebagai sesuatu yang

bersifat lebih luas daripada prediksi maupun nubuatan, sebab janji memiliki ikatan antar

dua pihak, dalam hal ini Allah dan manusia, dimana memungkinkan prediksi dan

nubuatan menjadi satu bagian untuk menjelaskan mengenai penggenapan yang akan

terjadi atas janji yang ada.

79
Baker, Two Testaments, One Bible, 212.

80
Hasan Sutanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab (Malang: Literatur SAAT,
2007), 399-407.

81
Jürgen Moltmann, Theology of Hope: On the Ground and the Implications of a Christian
Eschatology (Minneapolis, Minnesota: Fortress, 1993), 102-06.
Selain itu, dalam konsep janji dan penggenapan ditemukan sifat conditional dan

unconditional. Baker menjelaskan bahwa dasar dari pendekatan ini adalah Perjanjian

Allah dengan Israel, Ia menetapkan hukum dan ketentuan yang harus ditaati supaya janji

Allah dipenuhi bagi Israel.82 Dalam kondisi taat inilah pemenuhan akan janji Allah

dinyatakan, sebaliknya dalam pemberontakan Israel, janji Allah tidak terpenuhi.

Pemahaman ini menunjukkan bahwa adanya kondisi-kondisi tertentu yang menjadi syarat

terpenuhinya janji, conditional promise, contoh konsep berkat kutuk dalam Perjanjian

Lama. Sekalipun demikian, ada juga janji Allah yang tidak terpengaruh oleh hadirnya

kondisi tertentu, seperti janji keselamatan. Dalam janji keselamatan, Allah bekerja secara

total untuk menghadirkan keselamatan melalui Yesus tanpa mengharapkan terlebih

dahulu adanya kondisi ketaatan Israel. Oleh karena itu, sifatnya lebih unconditional.

Karakteristik Janji dan Pemenuhan

Pendekatan janji dan pemenuhan, sebagai bagian dari cara memahami relasi

Perjanjian Lama dan Baru, memiliki karakteristik dan penekanan yang unik dalam

melihat keterkaitan antar Perjanjian. Tiga karakteristik penting dalam pendekatan janji

dan pemenuhan adalah pemahaman kesejarahan yang dilihat dalam frame janji Allah dan

pemenuhannya, progresifitas dari janji Allah yang terus berkembang dan ketentuan serta

jaminan dari janji dan pemenuhan yang terjadi.

82
Baker, Two Testaments, One Bible, 217.
Pemahaman Kesejarahan

Memahami konsep janji dan pemenuhan tidak terlepas dari bagaimana pembaca

Alkitab melihat sejarah yang tercatat di dalam Alkitab. Bagi pandangan ini, sejarah

Alkitab hendaknya dipahami dalam keunikannya masing-masing. Berbeda dengan

tipologi yang memahami sebuah peristiwa dimasa lampau sebagai bayang-bayang akan

sebuah realitas yang baru, pendekatan janji dan pemenuhan melihat dua realitas dari masa

lampau dan masa kini sebagai sesuatu yang berdiri sendiri pada dirinya. “The old

revelation had a reality and a validity in its own right. The new, too, had a validity and a

reality in its own right.”83 Dalam hal ini tidak ada sebuah keberulangan sejarah yang

bersifat sama, yang ada hanyalah sebuah realitas baru yang berada satu level lebih tinggi

dibandingkan yang lama.

Dalam tampilnya realitas-realitas sejarah yang ada dalam Alkitab, realitas ini

tidak tampil dalam kehampaan namun ada sebuah ruang sejarah yang menjadi wadah

pembingkai. Dalam hal ini realitas sejarah coba dibingkai dalam ruang janji atau

pemenuhan. Realitas janji dan pemenuhan ini juga tidak bersifat total, namun tampil

secara bertahap dan progresif. Baker menyatakan “What God promises he fulfils, and,

because the fulfilment is only partial, it contains within it an unfulfilled promise that

points forward to a new fulfilment.”84 Dalam bentuk yang bertahap inilah maka

keterkaitan antar satu peristiwa dengan peristiwa lain, dalam bingkai janji dan

pemenuhan, bersifat progresif. Satu janji dalam bagian tertentu dapat dipenuhi lebih dari

83
H. H. Rowley, The Unity of the Bible (London, England: Lutterworth, 1968), 94.

84
Baker, Two Testaments, One Bible, 211.
dua peristiwa di masa yang akan datang dan dalam level yang berbeda. Hal ini selaras

dengan pendapat Zimmerli bahwa

Even though it is precisely in these important passages that the ceremonious formula of
promise appears, nevertheless the formula does not remain fixed, but evinces a turbulent
history of extension and re-interpretation on a deeper level.85

Tidak ada sebuah formula yang pasti dari sebuah janji dan pemenuhan, yang ada

hanyalah sebuah pergolakan sejarah yang semakin luas dan terus ditafsirkan kembali ke

level yang lebih dalam. Dengan demikian, ada sebuah kemungkinan untuk menafsirkan

sebuah janji di masa yang lalu dari lebih dari satu peristiwa pemenuhan di masa

selanjutnya dengan melihat korelasi-korelasi tertentu dari masing-masing sisi yang

berbeda. Sebagai contoh, janji Allah memberikan Abraham keturunan dipenuhi ketika

Ishak lahir, namun lebih luas lagi janji itu dipenuhi kembali oleh Israel, dan kemudian

Paulus menunjukkan bahwa janji Allah pada Abraham kembali tergenapi di dalam

Kristus (Galatia 3:16). Dalam hal ini keterkaitan Ishak, Israel, dan Yesus tidak bisa

dipandang secara tipologis, akan tetapi, baik Ishak, Israel, dan Yesus berdiri sendiri

dalam keunikan peristiwa mereka dan menjadi bingkai untuk menafsirkan janji Allah

pada Abraham mengenai keturunan, sehingga kemungkinan adanya dua bahkan tiga lapis

pemenuhan dari sebuah janji bergantung pada cara menafsirkan kembali peristiwa sejarah

yang terjadi di Alkitab. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemahaman sejarah

dalam konteks janji dan pemenuhan dapat dilihat sebagai sesuatu yang bersifat progresif,

unik dalam setiap peristiwa, dan memungkinkan untuk memiliki beberapa lapisan

pemenuhan dari janji tersebut dalam sejarah Alkitab.

85
Walther Zimmerli, “The Interpretation of Old Testament: The Promise and Fulfillment”,
Interpretation 15, no. 3. (1961): 312.
Progresivitas Janji dan Pemenuhan

Progresivitas janji dan pemenuhan bukan hanya bekerja secara kronologis namun

juga hadir dalam isi dari janji dan pemenuhan tersebut. Progresivitas ini ditunjukkan

dengan adanya beberapa pengulangan, penambahan, pengurangan, bahkan pemenuhan

yang terjadi berkaitan dengan isi dari janji tersebut. Baker menyatakan bahwa “the basic

divine promise to the patriarchs is given, repeated, almost retracted, renewed, and

partially fulfilled.”86 Dalam hal ini, pengulangan yang terjadi tidak bersifat sirkular

namun spiral, dimana ada sebuah perkembangan pemikiran dan makna dalam relasi janji

dan pemenuhan. Menambahkan hal ini B.F. Westcott menyatakan bahwa setiap janji

yang dipenuhi membawa pengertian kepada sebuah janji yang lebih besar.87

Perkembangan pemikiran dan makna yang terjadi berhubungan dengan konsep

partikularitas dari pemenuhan itu sendiri. Reuther menyatakan bahwa

On the other hand, the New Testament witness to fulfillment is rooted precisely in the
eschatological vision and in the belief that the future of the Lord, albeit in a hidden and
fragmentary way, is present in our midst in the form of signs, first fruits, foretaste and so
on.88

Kenyataan tentang pemenuhan akan janji Allah berakar pada sebuah keyakinan

eskatologis dimana janji itu dipenuhi melalui cara yang tidak sepenuhnya komplit dan

hadir dalam bentuk tanda-tanda sebagai sebuah kecapan awal akan konsumasi janji Allah.

Dalam hal ini, kecapan awal dari janji Allah tetap dipandang sebagai sebuah pemenuhan

dari janji itu sendiri. Dengan demikian, pemahaman ini memberikan ruang besar bagi

86
Baker, Two Testaments, One Bible, 218.

87
B.F. Westcott, The Epistle to the Hebrew (Eugene, Oregon: Wipf and Stock, 1889), 482.

88
Isaac C. Rottenberg, “Fulfillment Theology and the Future of Christian-Jewish Relations”,
Christian Century 97, no. 3 (1960): 68.
pemahaman eskatologi dalam menanggapi realitas dunia saat ini dan akan datang. Di sisi

yang lain, partikularitas dari pemenuhan janji Allah membawa pada sebuah pengukuhan

akan pemahaman already but not yet sebagai bingkai dari Kerajaan Allah.89 Dengan

memahami perkembangan yang ada dari janji dan pemenuhan sebagai satu kesatuan dari

kisah yang Allah berikan, maka tidak berlebihan jika ada ungkapan yang menyatakan

“There is only one God, and the key to God’s revelation is the story of promise and

fulfillment.”90

Ketentuan dan Jaminan dari Janji dan Pemenuhan

Karakteristik yang ketiga dari pendekatan ini berbicara mengenai ketentuan dan

jaminan dari janji dan pemenuhan. Sebagai sebuah cara untuk melihat kesatuan

Perjanjian Lama dan Baru, pendekatan ini memberikan kesadaran tentang adanya

ketentuan dan jaminan yang berlaku diantaranya. Ini merupakan sebuah realitas yang tak

terhindarkan dari konsep janji itu sendiri. Westermann memahami janji sebagai jaminan

dari keselamatan (Assurance of salvation), maklumat keselamatan (Announcement of

salvation), dan sebagai gambaran dari keselamatan (Portrayal of Salvation).91

Sebagai jaminan, konsep janji dihubungkan secara erat dengan kesetiaan Allah.

“Sebab itu haruslah kauketahui, bahwa TUHAN, Allahmu, Dialah Allah, Allah yang

setia, yang memegang perjanjian dan kasih setia-Nya terhadap orang yang kasih kepada-

89
Bdk. Johannes Weiss, Jesus’ Proclamation of the Kingdom of God (San Fransisco, California:
Scholars, 1985), 67-74.

90
Dictionary of Theological Interpretation, s.v. “Patristic Biblical Interpretation”.

91
Baker, Two Testaments, One Bible, 210.
Nya dan berpegang pada perintah-Nya, sampai kepada beribu-ribu keturunan”

(Ulangan 7:9). Dalam kesetiaan-Nya inilah janji itu dikerjakan Allah di dalam dan

melalui sejarah hidup manusia untuk menghadirkan kehendak-Nya. Bahkan lebih lagi,

Zimmerli menyatakan bahwa “the category promise/fulfillment serves to secure the

irrevocable validity of the gift bestowed by God.”92 Dalam jaminan akan kesetiaan Allah,

anugerah itu dinyatakan oleh-Nya secara pribadi melalui penggenapan yang Ia kerjakan

dalam sejarah hidup manusia. Hal ini nampak dari peran Tuhan mengarahkan dan terus

menuntut umat manusia untuk mengenal Dia dan masuk dalam rencana Allah lewat

sejarah, baik lewat kondisi damai maupun perang. Hingga puncaknya, janji Allah itu

digenapi secara nyata di dalam dan melalui Kristus Yesus.

Sebagai pemberitahuan, janji juga mengandung peraturan dan ketentuan yang

perlu ditaati. Oleh sebab itu, janji Allah bukan sekedar berbicara masalah anugerah

namun juga menuntut respon kesetiaan dari umat-Nya (Keluaran 19:5-6). Hal ini tentu

berbeda dengan konsep prediksi atau nubuatan yang seringkali hadir tanpa sebuah

peraturan ataupun tuntutan akan respon manusia.93

Salah satu contoh akan pentingnya respon ketaatan pada janji Allah nampak pada

kisah Yosua. Dalam Yosua 6, Allah memerintahkan Yosua untuk melakukan segala hal

yang difirmankan-Nya agar janji akan tanah Perjanjian menjadi nyata bagi Israel. Dan

menarik sekali, bagaimana Allah dalam bagian ini menunjukkan penggenapan janji-Nya

untuk memberikan Israel tanah Perjanjian dengan merobohkan tembok Yerikho. Akan

92
Zimmerli, “The Promise and Fulfillment”: 315.

93
Samuel H. Kellogg, The Jews or Prediction and Fulfillment: An Argument for the Times (Scottdale,
Pennsylvania: The Evangelical Fellowship, 1956), 25.
tetapi, janji kemenangan Israel dalam perang tidak selamanya berjalan dengan baik.

Dalam bagian selanjutnya, diceritakan bagiamana Akhan melanggar peraturan Allah dan

menyebabkan Israel mengalami kekalahan dalam perang (Yosua 7). Hal ini menunjukkan

bahwa janji kemenangan dalam perang, yang Allah berikan, dapat tidak tergenapi apabila

Israel tidak berespon dengan tepat pada perintah Allah. Hal ini menunjukkan kembali

adanya sifat kondisional dari janji Allah.

Sebagai gambaran, Rottenberg menyatakan janji dan pemenuhan yang diberikan

merupakan bagian dari cicipan awal yang saat ini belum mencapai puncak kepenuhannya

yang maksimal.94 Pemenuhan yang sempurna akan terjadi ketika nanti Kristus datang kali

kedua untuk memerintah sebagai raja dalam kekekalan. Oleh sebab itu, sifat penggenapan

dari janji Allah, baik dalam Perjanjian Lama maupun Baru, masih berupa lapisan-lapisan

yang akan terus berproses mencapai kesempurnaannya. Meski masih sebagai gambaran

akan kesempurnaan yang akan datang, namun hal ini dapat memberikan jaminan bagi

iman kita untuk terus berpegang pada-Nya dan melihat proses itu berjalan dalam sejarah

hidup manusia.

Landasan Teologis

Dengan memahami karakteristik yang ada, pendekatan Janji dan Pemenuhan

meletakan pemahaman teologisnya pada konsep perjanjian Allah dengan Abraham. Baker

menyatakan bahwa kunci dalam memahami perjanjian Allah dalam Perjanjian Lama

terletak pada panggilan Allah kepada Abraham yang di dalamnya terkandung tiga unsur

94
Rottenberg, “Fulfillment Theology”, 66.
utama yaitu tanah, keturunan, dan relasi dengan Allah.95 Konsep perjanjian Allah yang

terkandung di dalam panggilan Allah pada Abraham ini dipenuhi di dalam beberapa

tahapan kesejarahan. David A. Hubbard menunjukkan bagaimana janji Allah terhadap

Abraham digenapi secara bertahap melalui perjalanan Israel menuju Kanaan hingga masa

pasca pembuangan secara bertahap dan berkembang ke arah yang lebih besar sesuai

dengan kondisi yang baru.96 Oleh karenanya, tepat jika Sanderson menyimpulkan

pemahaman Paulus bahwa

If Abraham's seed is to be as numerous as the dust of the earth, then surely "the land" will
not be sufficient to contain such a large population. And since Paul is on the threshold of
a new age when the fullness of the Gentiles will be brought in, he legitimately extends the
promise to deal with the new situation.97

Dalam hal ini, Sanderson melihat Paulus memahami penggenapan janji Allah tentang

tanah kepada Abraham dalam bentuk yang lebih luas. Dengan demikian, Janji Allah

kepada Abraham tetap menjadi pengikat baik antara Israel di Perjanjian Lama dan Israel

Baru di Perjanjian Baru.

Pendekatan janji dan pemenuhan juga menekankan tentang sentralitas Kristus.

Baker menyatakan bahwa setiap perkataan yang memiliki signifikansi dalam sejarah

keselamatan dan juga kesaksian-kesaksian digenapi di dalam Kristus, bahkan bisa

dikatakan keseluruhan janji yang ada di dalam perjanjian yang lama telah dipenuhi di

dalam Kristus.98 Dengan menekankan Kristus sebagai pemenuhan dari segala janji, maka

95
Baker, Two Testaments, One Bible, 215-16.

96
David A. Hubbard, “Hope in the Old Testament,” Tyndale Bulletin 34 (1983): 33-59. Dalam bagian
ini Hubbard juga menunjukkan bagaimana janji Allah pada Abraham tentang tanah, keturunan, dan relasi
dengan Tuhan digenapi secara terus menerus dan berkembang kearah yang lebih global.

97
John W. Sanderson, “Some Thoughts on the Reading of the Old Testament”, Presbyterion 6, no. 2
(1980): 85-95.
perlu sebuah kesadaran akan adanya perubahan pemahaman yang mungkin terjadi dari

konteks Perjanjian Lama pada Perjanjian Baru. Moltmann memahami pergerakan relasi

janji dan pemenuhan di dalam Kristus sebagai sebuah proses transformasi. Moltman

menyatakan

Thus we find promise and history in a process of transformation, in which the


traditional accounts of the promises took place in the mastering of the new
experiences of history, while the new experiences of history were understood as
transformations and expositions of the promises.99

Memahami transformasi ini, maka bisa dikatakan bahwa kehadiran Kristus sebagai

pengalaman baru dalam sejarah mentransformasi dan juga memberikan penjelasan yang

lebih luas akan janji-janji yang sebelumnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

sentralitas Kristus menjadi tema teologis yang kuat bagi pendekatan janji dan

pemenuhan.

Penggunaan Janji dan Pemenuhan dalam Memahami Konsep Perang

Perang dalam Alkitab merupakan bagian dari sejarah keselamatan, dimana Allah

terus bekerja di dalam dan melaluinya untuk memenuhi janji-Nya. Duane L. Christensen

dalam bukunya Prophecy and War in Ancient Israel mencoba menggunakan pendekatan

janji dan pemenuhan sebagai sebuah metodologi dalam mendekati teks-teks nubuatan

melawan bangsa-bangsa lain.100 Dalam buku ini, Christensen melihat bahwa teks-teks

98
Baker, Two Testaments, One Bible, 227.

99
Moltmann, Theology of Hope, 111.

100
Duane L. Christensen, Prophecy and War in Ancient Israel (Berkeley, California: BIBAL, 1975), 9-
14.
nubuatan yang ada di dalam Alkitab menjadi sebuah janji yang Allah ucapkan bagi Israel

dan dipenuhi oleh Allah sebagai bagian dari relasi Perjanjian antara Allah dan Israel.

Bentuk relasi yang dimaksud di sini adalah sebuah relasi kerajaan. Wright menyatakan

bahwa peran kenabian dalam literatur kerajaan menunjukkan kepedulian politik Allah

terhadap relasi politik kerajaan Israel dimana melaluinya Allah menyatakan

keistimewaan Perjanjian Allah dengan Israel sebagai kerajaan yang dinaungi dalam

perjanjian khusus dengan Allah, sebagaimana terjadi dalam konsep treatise Timur Dekat

Kuno.101

Melalui pendekatan janji dan pemenuhan, Christensen menekankan bahwa perang

merupakan sebuah instrumen dari politik luar negeri di masa Timur Dekat Kuno yang

berkaitan erat dengan kekuatan keagamaan dan perkembangan gerakan kenabian.102

Keterkaitan erat antara perang dengan agama dan nabi nampak pada beberapa kisah

seperti kisah Saul ketika memanggil roh Samuel (1Samuel 28:3-25). Dalam kisah ini,

kehadiran Samuel sebagai nabi Allah dalam perang nampaknya menjadi sesuatu yang

penting untuk diperhitungkan, sebab para nabi seringkali memberikan nubuatan atau

pesan langsung dari Allah kepada umatnya mengenai perang yang akan terjadi. Perkataan

atau pesan Allah yang disampaikan oleh para nabi sering dilihat sebagai sebuah janji dan

bukan sekedar prediksi. McKenzie menegaskan hal yang sama dengan menyatakan

bahwa tujuan utama dari nubuatan atau ramalan para nabi lebih utama sebagai sebuah

101
Christensen, Prophecy and War, 13-14.

102
Christensen, Prophecy and War, 18.
pemberitahuan akan apa yang terjadi selanjutnya (forthtelling) dan bukan sekedar

prediksi ke depan (foretelling).103

Dengan memahami hal ini, peran dari sebuah perkataan atau janji Allah menjadi

sesuatu yang penting dalam konsep perang. Dalam Perjanjian Lama, ketika Israel

dijanjikan oleh Allah akan menerima tanah Perjanjian melalui janji Allah kepada

Abraham, janji ini juga diteruskan Allah melalui Yosua (Yosua 1:6). Yang menarik,

bahwa kegenapan janji Allah untuk membawa Israel memasuki tanah Kanaan

dilambangkan dengan kehadiran Allah sebagai Panglima Perang (Yosua 5:13-15).

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perang merupakan bagian dari instrumen Ilahi

yang Allah sengaja pakai masa itu untuk menggenapi janjinya kepada Abraham.

Christensen juga menyimpulkan hal yang serupa bahwa motif dari beberapa nyanyian

perang Israel kuno menunjukkan adanya konsep bahwa Pahlawan perang Ilahi akan

memimpin umatnya dalam pertempuran sebagai bagian dari kewajiban Perjanjian.104 Hal

ini akan mengalami progresivitas hingga pada akhirnya Allah hadir sebagai Pahlawan

perang secara ilahi untuk memimpin dan membebaskan dunia dari belenggu musuh yang

lebih subtle, yaitu si Ular Tua (Wahyu 20).

Melalui pendekatan ini, pemahaman perang dikaitkan secara khusus dalam

konteks Perjanjian dengan berfokus pada penggenapan janji Allah pada Abraham dan

keturunannya. Dalam pendekatan ini, titik berat pada penggenapan progresif dari janji

menjadi bagian yang menonjol untuk diperhitungkan. Dengan demikian, lewat perspektif

103
Steven L. McKenzie, How to Read the Bible (Oxford, New York: Oxford University Press, 2005),
68.

104
Christensen, Prophecy and War, 281-82.
ini pendekatan terhadap perang dilihat secara pertahap berdasarkan bentuk pemenuhan

dari janji yang mendasari perang yang terjadi. Di sisi lain, fokus terhadap konsep janji

juga membawa pada pemahaman kondisional dan non-kondisional dari janji Allah. Hal

ini dipengaruhi oleh sikap taat dari umat Israel pada Allah. Sehingga, bentuk pemenuhan

dari janji Allah dalam realitas perang memasuki kotak sempit yang dibatasi oleh unsur-

unsur lain diluar kenyataan perang yang ada, seperti masalah kekudusan dan perjanjian

Allah. Sekalipun demikian, pendekatan ini secara menarik mampu memberikan

perspektif lain berkaitan dengan nubuatan dan janji Allah dalam konteks Perjanjian.

Kontinuitas dan Diskontinuitas

Definisi

Kontinuitas dan diskontinuitas adalah salah satu dari pendekatan yang digunakan

untuk menunjukkan relasi antara Perjanjian Lama dan Baru. Kata kontinuitas berasal dari

kata contynuen yang muncul pertengahan abad 14 M. Dalam bahasa Prancis lama

menggunakan kata continuar yang berasal dari bahasa Latin continuare yang berarti "join

together, connect, make or be continuous," atau kata continuus "uninterrupted," yang

berasal dari kata continere (intransitive) "to be uninterrupted," secara literal juga dapat

diterjemahkan sebagai "to hang together".105 Dalam pemahaman ini, maka kontinuitas

dilihat memiliki sifat saling terkait dan berkelanjutan tanpa ada gangguan. Sedangkan,

kata diskontinuitas berasal dari bahasa Prancis Lama discontinuer, kata ini memiliki

keterkaitan dengan kata discontinuare dari bahasa Latin abad pertengahan yang berarti

105
Online Etymology Dictionary, s.v. “continue”. Dikutip dari
http://www.etymonline.com/index.php?term=continue&allowed_in_frame=0 (diakses 2 September
2015).
tidak berlanjut, terhenti.106 Dengan menambahkan frasa “dan” yang menekankan relasi

yang “setara” atau “sama,” maka pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas dapat

dimaknai sebagai sebuah pendekatan terhadap relasi antar perjanjian yang melihat adanya

keberlanjutan dan ketidakberlanjutan dari dua perjanjian ini.

Karakteristik Kontinuitas dan Diskontinuitas

Berbeda dengan dua pendekatan sebelumnya, pendekatan kontinuitas dan

diskontinuitas mencoba melihat relasi antara dua perjanjian dalam ketegangan antara

aspek yang berlanjut dan yang terhenti, terus menerus atau berganti, kontinu dan

diskontinu. Ketegangan tersebut diterima sebagai sebuah realitas yang tak terelakan

dalam relasi antar perjanjian, baik dalam aspek sejarah maupun teologis.

Kontinuitas dan Diskontinuitas dalam Aspek Kesejarahan

C. H Dodd menyatakan bahwa “the unity of the Bible is based on the common

origin of every part of the Bible in a ‘community conscious of a continuous history.’”107

Kesadaran akan keberlanjutan sejarah antara Perjanjian Lama dan Baru ditunjukkan

melalui keberkaitan latar belakang Perjanjian Baru yang hanya dapat dipahami melalui

Perjanjian Lama, begitu juga sebaliknya adanya beberapa hal dalam Perjanjian Lama

yang hanya mungkin digenapi dalam Perjanjian Baru. Keberlanjutan ini ditunjukkan

melalui pemahaman mengenai konsep perjanjian.

106
Online Etymology Dictionary, s.v. “discontinue”. Dikutip dari
http://www.etymonline.com/index.php?allowed_in_frame=0&search=discontinue&searchmode=none
(diakses 2 September 2015).

107
Baker, Two Testaments, One Bible, 235.
Dalam surat Korintus, Galatia, atau Roma, Paulus beberapa kali menggambarkan

ada dua perjanjian, yaitu “perjanjian lama” dan “perjanjian baru.” Kedua perjanjian ini

seolah menjadi pemisah antara Kekristenan dengan Yudaisme, dimana Yudaisme

diwakili oleh Perjanjian Lama dan Kekristenan berpegang pada Perjanjian Baru. Oleh

sebab pemahaman seperti ini maka muncul tokoh-tokoh seperti Marcion yang mencoba

membuang Perjanjian Lama atau Bultmann yang melihat Perjanjian lama bukan sebagai

bagian dari Alkitab Kristen.108 Meski demikian, nampaknya pemaknaan ini kurang tepat,

sebab konsep “perjanjian baru” dalam bagian ini lebih merujuk kepada Yeremia 31:31-

34. Dalam Yeremia 31:31-34, pemaknaan “perjanjian baru” lebih mengarah pada makna

pembaharuan dan bukan penggantian. Campbell menyatakan bahwa,

Paul does not think so much in terms of static abrogation—of the replacement of one
covenant by another—but rather, in terms of dynamic transformation. Thus Christ is the
telos, or goal, of the law rather than its termination (Rm. 10:4).109

Oleh karena itu, penggunaan kata “perjanjian baru” dalam pemahaman surat Paulus

bukan menunjukkan diskontinuitas, namun justru merujuk pada kontinuitas kesejarahan

yang dibangun sejak zaman Abraham.

Selain itu, fakta bahwa penggunaan kata “perjanjian baru” dan “perjanjian lama”

dalam surat Paulus lebih sering bertujuan untuk mengkontraskan antara pemahaman iman

Kristen dengan pemahaman gnostik-Kristen maupun gnostik-Yudaisme yang sedang

dilawan oleh Paulus, menunjukkan bahwa secara konsisten Paulus tidak sedang berusaha

membuat pemisahan antara Perjanjian Lama dan Baru. Lebih lanjut, jika merujuk pada

108
Bdk. Baker, Two Testaments, One Bible, 244.

109
W. S. Campbell, “Christianity and Judaism: Continuity and Discontinuity,” International Bulletin
of Missionary Research 8, no. 2 (April, 1984): 54-58.
beberapa bagian surat Paulus yang lain, nampak Paulus mencoba menarik garis

penghubung antara iman kekristenan dengan iman Perjanjian yang Abraham miliki, hal

ini nampak dalam Roma 4: 3; 9:7-8, dan Galatia 3:7-29. Dengan demikian, tidak

berlebihan jika Campbell menyatakan bahwa “Paul should not be regarded as confusing

Judaism and Christianity. On the contrary, this study has been emphasize that there is real

continuity between Judaism and Christianity.”110

Sekalipun Perjanjian Lama dan Baru memiliki keterkaitan sejarah, namun bukan

berarti tidak ada diskontinuitas kesejarahan yang terjadi antara kedua perjanjian tersebut.

Charles Ryrie mengkritik penekanan teologi Perjanjian dengan menyatakan bahwa

“Covenant theology can only emphasize the unity, and in so doing overemphasizes it

until it becomes the sole governing category of interpretation.”111 Dalam hal ini, Ryrie

bermaksud untuk menunjukkan juga adanya perbedaan yang tidak dapat ditutup sebelah

mata. Oleh sebab itu, C.H. Dodd dan Bernhard W. Anderson menyatakan bahwa ada

diskontinuitas kesejarahan yang terjadi dalam relasi antar perjanjian terdapat pada figur

Yesus Kristus.112 Menambahkan hal ini, Kasemann juga menyatakan bahwa Paulus "has

to decide between the old and the new covenants, instead of seeing both as a historical

continuity in the light of the concept of the renewed covenant."113 Ia memaksudkan

110
Campbell, “Christianity and Judaism”: 56.

111
Charles C. Ryrie, Dispensationalism Today (Chicago, Illinois: Moody, 1965), 35.

112
Baker, Two Testaments, One Bible, 238-39.

113
Ernst Käsemann, "The Spirit and the Letter," dalam Perspectives on Paul, ed. Ernst Käsemann
(London: SCM, 1971), 146.
bahwa ada pembaharuan yang sebenarnya hadir melampaui terkaan dari Perjanjian Lama

yang dihadirkan dalam Perjanjian Baru.

Menjelaskan konsep di atas, Perjanjian Baru menunjukkan bahwa kehadiran

Kristus bukan hanya menggenapi janji Allah dalam Perjanjian Lama, namun melampaui

dan menggantikan beberapa pemahaman yang ada. Perubahan atau pergantian yang

terjadi dalam relasi antar perjanjian ini antara lain terdapat pada konsep Israel sebagai

umat Allah. Dalam Perjanjian Lama, digambarkan bagaimana Allah berfokus pada

perjanjian-Nya dengan Israel secara nasionalis. Kisah Keluaran menunjukkan secara jelas

bagaimana Israel sebagai bangsa dipanggil menjadi anak Allah (Keluaran 4:21). Hal ini

berkaitan dengan perjanjian Allah dengan Abraham dan keturunannya. Namun dalam

Perjanjian Baru, umat Allah tidak lagi berfokus pada keturunan Abraham secara fisik,

tetapi lebih mengarah pada keturunan Abraham secara spiritual (Galatia 3:7). Bahkan

secara keras Paulus mengatakan dalam Roma 9:7 bahwa “tidak semua yang terhitung

keturunan Abraham adalah anak Abraham.” Perubahan ini terjadi akibat pemahaman

mengenai iman kepada Kristus. Dalam Galatia 3:29 dikatakan “jikalau kamu adalah milik

Kristus, maka kamu juga adalah keturunan Abraham dan berhak menerima janji Allah.”

Hal ini menunjukkan ada sebuah perubahan dalam konsep Israel sebagai umat Allah

dalam Perjanjian Baru, dimana penentu ke-“Israel”-an seseorang tidak terletak pada

permasalahan genetik atau nasionalis, namun karena iman pada Kristus.

Selain itu, sekalipun Baker menyatakan bahwa adanya jarak 400 tahun dalam

masa inter-testamental secara fundamental tidak mengganggu keterkaitan sejarah antara

Perjanjian Lama dan Baru secara cukup serius,114 namun tidak dapat dihindarkan bahwa

114
Baker, Two Testaments, One Bible, 236.
jarak 400 tahun dari Perjanjian Lama dan Baru juga memberikan gap secara sosial,

politik, dan juga budaya. Dalam kitab Maleakhi, kondisi terakhir yang dihadirkan adalah

kondisi Israel pasca pembuangan di bawah pemerintahan raja Persia, dimana mereka

diperbolehkan kembali ke daerah asal mereka untuk membangun kembali kota mereka.115

Sedangkan dalam kitab awal Perjanjian Baru, secara politik pemerintahan sudah

dipegang oleh kerajaan Roma. Bruce Satterfield menunjukkan bahwa selama 400 tahun

terjadi dua peralihan kerajaan dimana pada tahun 334 sM kerajaan Yunani di bawah

kepemimpinan Aleksander Agung berhasil meraih kekuasaan dari tangan Persia, namun

pada tahun 128 sM, di bawah kepemimpinan Hasmonean bangsa Yahudi berhasil lepas

dari kekuasaan Yunani. Meski demikian kemerdekaan ini tidak berlangsung lama, sebab

pada tahun 63 sM pemerintahan Romawi berhasil menaklukan bangsa Yahudi dan

memerintah sepanjang masa Perjanjian Baru.116 Pergerakan sosial-politik yang demikian

cepat ini, mau tidak mau memberikan gap baik dalam konteks kesejarahan maupun dalam

pemahaman sosial, politik, dan teologi. Oleh sebab itu, perbedaan antara Perjanjian Lama

dan Baru tidak bisa serta merta diabaikan demi menjaga argumen kesatuan teologis dari

Perjanjian Lama dan Baru. Justru menurut John Bright cara terbaik untuk melihat relasi

antar perjanjian adalah dengan menerima kompleksitas kontinuitas-diskontinuitas yang

ada di dalamnya.117

115
W. S. Lasor, D. A. Hubbard, dan F. W. Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2: Sastra dan Nubuat
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 455.

116
Bruce Satterfield, “The Inter-Testamental Period,” http://emp.byui.edu/SATTERFIELDB/Papers/
IntertestamentalPeriod.htm (diakses 2 September 2015).

117
Baker, Two Testaments, One Bible, 244.
Kontinuitas dan Diskontinuitas dalam Aspek Teologis

Selain dari aspek sejarah, kontinuitas dan diskontinuitas juga terjadi dalam ranah

teologis. C. Vriezen mengakui adanya kesamaan perspektif yang dimiliki antara dua

perjanjian ini dalam hal pemahaman tentang nubuatan, persekutuan, dan konsep

Kerajaan.118 Pemahaman mengenai nubuatan Mesianis dan pemenuhannya di dalam

Yesus menjadi salah satu contoh keterkaitan teologis antara Perjanjian Lama dan Baru.

Dalam surat Matius digambarkan dengan begitu masif mengenai Yesus sebagai

pemenuhan dari nubuatan mesianik Perjanjian Lama. Hal ini nampak pada penggunaan

julukan yang diberikan kepada Yesus, seperti Mesias (16:16), Anak Daud (1:18, 22:41-

46), Anak Allah (3:17, 4:1), Anak Manusia (9:6, 12:1-8), atau Raja Israel (21:5). Oleh

sebab itu, tidak berlebihan jika Brevard Childs mengatakan “Scripture indeed bears

witness to Christ, but it is an Old Testament which receives its true content from the

person and work of Jesus.”119 Hal ini menunjukkan bagaimana kesatuan antara Perjanjian

Lama dan Baru di dalam dan melalui figur Kristus.

Di sisi yang lain, figur Kristus bukan hanya membawa keberlanjutan Perjanjian

Lama dan Baru, namun juga melampaui apa yang Perjanjian Lama pikirkan. Hal ini

nampak dari adanya diskontinuitas dari kedua perjanjian ini. Bultmann, melalui

pendekatan kesejarahan, menilai bahwa sejarah Perjanjian Lama tidak berbicara secara

langsung mengenai Yesus, akan tetapi pemahaman mengenai Yesus tetap dapat

ditangkap melalui bentuk penafsiran yang lebih lanjut akan teks sejarah Perjanjian

118
Baker, Two Testaments, One Bible, 240.

119
Childs, Biblical Theology, 458.
Lama.120 Sekalipun secara lugas ia menyatakan adanya diskontinuitas, namun Bultmann

juga tetap membuka adanya ruang kontinuitas dalam bentuk yang melampaui makna

kesejarahan yang Perjanjian Lama coba bentuk. Lebih lanjut, Childs juga mengatakan

bahwa “Jesus Christ is the end of the law (Roma 10:4) which cuts off absolutely all of

Jewish striving for righteousness based on works (Roma 9:31).”121 Hal ini menunjukkan

bagaimana Yesus bukan sekedar hadir menyatakan adanya diskontinuitas dari Perjanjian

Lama, namun juga menghadirkan pemahaman kebenaran yang melampaui keyakinan

teologis Perjanjian Lama.

Sebagai contoh, dalam Perjanjian Lama, konsep umat Allah dipahami dengan

makna “menjadi Israel/Yahudi”. Hal ini ditandai dengan konsep sunat dalam Perjanjian

Lama. Kejadian 17:10-11 mencatat,

Inilah perjanjian-Ku, yang harus kamu pegang, perjanjian antara Aku dan kamu serta
keturunanmu, yaitu setiap laki-laki di antara kamu harus disunat; haruslah dikerat kulit
khatanmu dan itulah akan menjadi tanda perjanjian antara Aku dan kamu.

Bandingkan dengan Keluaran 12:48,

Tetapi apabila seorang asing telah menetap padamu dan mau merayakan Paskah bagi
TUHAN, maka setiap laki-laki yang bersama-sama dengan dia, wajiblah disunat; barulah
ia boleh mendekat untuk merayakannya; ia akan dianggap sebagai orang asli. Tetapi tidak
seorangpun yang tidak bersunat boleh memakannya.

Dua bagian ini menunjukkan bahwa sunat bukan hanya menjadi tanda Perjanjian, namun

juga menjadi tanda seseorang masuk dalam umat Allah, dianggap sebagai orang asli.

Oleh karena itu, dalam Perjanjian Lama, konsep umat Allah tidak dapat dilepaskan dari

sunat sebagai tanda menjadi bagian dari umat Israel/Yahudi.

120
John S. Feinberg, “System of Discontinuity,” dalam Continuity and Discontinuity: Perspectives on
the Relationship Between the Old and New Testaments, ed. John S. Feinberg dan S. Lewis Johnson
(Westchester, Illinois: Crossway Books, 1988), 64.

121
Childs, Biblical Theology, 457.
Sunat yang semestinya menjadi cara untuk bangsa asing datang dan mengenal

Allah, serta menjadi satu dengan umat-Nya. Dalam Perjanjian Baru, justru menjadi

sebuah pemisah antara orang Yahudi dan non-Yahudi. Hal ini jelas dapat kita temukan

pada Kisah Para Rasul atau surat-surat Paulus, dimana perbedaan antara Yahudi dan non-

Yahudi menjadi salah satu permasalahan penting yang dihadapi komunitas Kristen mula-

mula (Lih, 6:1). Karena itu, Paulus mengajarkan bahwa di dalam dan melalui iman pada

Kristus, tembok pemisah itu sudah dihancurkan.

Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang
telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, sebab dengan mati-Nya sebagai
manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya,
untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan
itu mengadakan damai sejahtera (Efesus 2:14-15).

Dalam hal ini, menjadi umat Allah tidak lagi harus ditandai oleh sunat secara fisik.

Namun lebih daripada itu, di dalam dan melalui Kristus kita disatukan menjadi umat

Allah lewat sunat hati. Paulus mengatakan “Tetapi orang Yahudi sejati ialah dia yang

tidak nampak keyahudiannya dan sunat ialah sunat di dalam hati, secara rohani, bukan

secara hurufiah. Maka pujian baginya datang bukan dari manusia, melainkan dari Allah”

(Roma 2:29). Dalam sunat hati inilah umat Allah yang sejati dipersatukan jauh

melampaui batasan budaya atau suku bangsa. Disinilah terjadi diskontinuitas sekaligus

kontinuitas dalam konsep umat Allah.

Alasan Memilih Kontinuitas dan Diskontinuitas

Setelah membahas karakteristik dari setiap pendekatan, penulis menyadari bahwa

setiap pendekatan memiliki keunikan tersendiri dalam melihat relasi Alkitab dan

penggunaannya dalam teks perang. Meski demikian, untuk tujuan tertentu dari skripsi ini
penulis perlu untuk memilih salah satu dari tiga pendekatan yang ada. Dan dalam skripsi

ini, penulis memilih untuk menggunakan pendekatan Kontinuitas dan diskontinuitas

dalam memahami konsep perang dalam Alkitab. Mengapa kontinuitas dan

diskontinuitas? Apa yang membedakan pendekatan ini dengan dua pendekatan yang lain?

Pendekatan yang pertama, tipologi, merupakan pendekatan yang menekankan

kesamaan pola dan korespondensi antar tiap teks dalam Perjanjian Lama maupun Baru.

Pendekatan ini memiliki kekuatan dalam menunjukkan keterkaitan dan kesatuan dari

relasi antar perjanjian. Sedangkan, pendekatan yang kedua yaitu pendekatan janji dan

pemenuhan secara unik juga menunjukkan konsep kesatuan Perjanjian Lama dan Baru.

Yang menarik, kesatuan dan keberlanjutan dari pemahaman Perjanjian Lama menuju

Perjanjian Baru dilihat bukan dalam kesamaan pola atau korespondensi yang ada, namun

pada progresivitas dari pemenuhan janji. Kedua hal ini memiliki kesamaan dalam

menekanan pada aspek keberlanjutan dari Perjanjian Lama menuju Perjanjian Baru,

namun tidak terlalu memberikan penekanan pada perbedaan yang terjadi antara

Perjanjian Lama dan Baru. Hal ini juga yang dinyatakan oleh Eugene Roop, “Throughout

church history, the relationship between the Testaments has been understood in three

main ways, the allegorical and typological, the doctrinal, and the historical. The first two

emphasize continuity and the third discontinuity.”122 Sekalipun Roop tidak

mengasosiasikan secara langsung bahwa pendekatan doktrinal sebagai pendekatan janji

dan pemenuhan, namun dalam penjelasan mengenai pendekatan doktrinal ini ia

menggunakan konsep Perjanjian sebagai dasar dari kesatuan doktrin antara Perjanjian

122
Feinberg, “System of Discontinuity”, 64.
Lama dan Baru.123 Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hanya pendekatan kontinuitas

dan diskontinuitas saja yang mencoba memberikan keseimbangan dengan menyatakan

secara lugas adanya diskontinuitas yang terjadi antara Perjanjian Lama dan Baru. Inilah

alasan pertama mengapa penulis memilih pendekatan ketiga sebagai bingkai kerja dalam

memahami konsep perang.

Alasan kedua, Pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas secara tepat berhasil

menggambarkan keunikan dari bagian Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Baru. Jika

dalam pendekatan Janji-Pemenuhan, relasi antar perjanjian ditekankan pada bentuk

mutual dependence, dimana masing-masing Perjanjian saling bergantung dan tidak dapat

berdiri sendiri.124 Maka, dalam pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas, relasi antar

perjanjian digambarkan lebih objektif dan berimbang. Bright menjelaskan bahwa

The continuity lies in the obvious fact that Christianity is historically a development out
of Judaism; the discontinuity in the equally obvious fact that Christianity is not a
continuation, or even a radical reform, of Judaism, but an entirely separate religion….In a
word, the two Testaments are continuous within the unity of God’s redemptive purpose;
but their discontinuity is the discontinuity of two aeons.125

Sekalipun secara kesejarahan, kekristenan merupakan hasil dari perkembangan

Yudaisme, namun jelas ada sebuah pemisahan pemahaman antara kekristenan dengan

Yudaisme. Sehingga, secara tak langsung, pendekatan ini mengakui bahwa kedua bagian

Alkitab memang memiliki keterkaitan satu dengan yang lain, namun juga dapat berdiri

sendiri dalam keunikan masing-masing. Karenanya, ketegangan antara dependency dan

123
Feinberg, “System of Discontinuity”, 65.

124
Baker, Two Testaments, One Bible, 231-32.

125
Baker, Two Testaments, One Bible, 244-45.
independency justru harus dipelihara sebagai upaya memahami keutuhan dan keunikan

dari kedua perjanjian ini.

Cara pandang ini seringkali dianggap membingungkan, namun sesungguhnya

hanya melalui perspektif ini kita dimungkinkan untuk melihat keunikan dari kehadiran

Kristus Yesus sebagai Mesias dan alasan mengapa umat Yahudi sulit untuk menerima

kemesiasan-Nya. Selain itu, melalui bingkai ini juga, kita dapat menilai bagaimana

keunikan Israel sebagai umat Allah dan Gereja sebagai umat Allah dalam keterkaitan

maupun perbedaan yang ada. Sehingga penafsir dapat meminimalisir bias yang ada, yang

tanpa sadar menjadikan Perjanjian Lama seolah Perjanjian Baru ataupun sebaliknya,

seperti yang tanpa sadar dilakukan oleh pendekatan tipologi. Dengan demikian, keunikan

masing-masing Perjanjian dapat tetap terjaga, namun juga kaitan antar kedua bagian ini

dapat tetap dijembatani.

Dengan melihat dua keunggulan ini, maka penulis memilih pendekatan

kontinuitas dan diskontinuitas sebagai bingkai berpikir dalam meneliti dan melihat

konsep perang dalam keunikan masing-masing Perjanjian dan kaitan yang dihadirkan

dalam relasi kedua bagian Alkitab tersebut dalam memahami realitas perang.
BAB III

PEMILIHAN DAN EKSPOSISI TEKS-TEKS PERANG

Teks-Teks Perjanjian Lama

Kisah perang di dalam Alkitab mewarnai hampir keseluruhan cerita yang ada,

mulai dari perang yang dilakukan oleh para patriarkh, perang Israel melawan bangsa lain,

hingga peperangan yang besar antara Allah dan si Ular Tua. Jika ditelusuri lebih jauh,

kata perang di dalam Alkitab muncul kurang lebih 89 kali dalam Perjanjian Lama dengan

menggunakan kata milkhamah (‫) ְָ֗ מ לָ לְִמ‬, 92 kali muncul dengan kata tzaba’ (‫) לאבלצ‬, dan 10

kali dalam Perjanjian baru dengan menggunakan kata polemos(πόλεμος), serta 5 kali

menggunakan kata strateuometha (στρατευόμεθα) atau antistrateuomenon

(ἀντιστρατευόμενον).

Dengan banyaknya data yang dimiliki mengenai perang di Alkitab, maka

diperlukan sebuah pengelompokan data sehingga pemahaman terhadap perang dapat

dimengerti dan dianalisa dengan lebih akurat. Pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas

memberikan dua kategori untuk memahami pengelompokan ini, antara lain jangka waktu

kesejarahan126 dan diferensiasi genre dari masing-masing teks. Oleh karena itu, dalam

bagian ini penulis akan mencoba mengkategorikan teks-teks yang dipilih dalam jangka

waktu kesejarahan dan genre dari masing-masing kitab.

126
Jangka waktu kesejarahan dalam hal ini merujuk kepada waktu kepenulisan teks perang yang
diambil sebagai referensi.
Pentateukh

Pentateukh secara umum dipahami sebagai satu karangan besar yang terdiri dari

lima bagian atau kitab yang pertama dari Alkitab.127 Kitab Pentateukh juga disebut

sebagai Taurat atau yang dalam bahasa Ibrani berarti “petunjuk” atau “hukum”.128 Hal ini

berhubungan erat dengan struktur kelima kitab ini yang sebagian besar berbentuk narasi

dan hukum. Kitab-kitab Pentateukh merupakan kelompok kitab yang penting bagi umat

Yahudi maupun Kristen. Hal ini cukup beralasan sebab kitab-kitab Pentateukh

memberikan data bukan hanya mengenai awal mula Perjanjian Israel dengan Allah

namun juga awal mula dunia tercipta, kejatuhan manusia pertama, hingga relasi awal

Allah pencipta dengan para patriarkh menjadi narasi yang penting untuk memahami

dunia dan realitas yang ada di awal kehidupan manusia.

Kitab Pentateukh diyakini mayoritas orang Kristen ditulis oleh Musa.129

Pandangan tradisional seperti ini, meskipun mayoritas diyakini oleh orang Kristen,

namun di sisi yang lain juga mengundang perdebatan dari beberapa pandangan yang

mencoba melihat kepenulisan Musa dari sudut lain. Keberatan yang menolak pandangan

bahwa Musa adalah penulis dari seluruh kitab-kitab Pentateukh dimulai dengan argumen

yang menyatakan bahwa adanya keanekaragaman teks dan penyebaran serta

pertumbuhan bukti tentang sumber-sumber yang mendukung konsep bahwa Taurat

merupakan karya gabungan yang mengalami penurunan maupun pertumbuhan dan proses

127
W. S. Lasor, D. A. Hubbard, dan F. W. Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1 (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2006), 93.
128
John J. McDermott, Reading the Pentateuch (New York: Paulist Press, 2002), 1.
129
Tremper Longman III dan Raymond B. Dillard, An Introduction to the Old Testament (Grand
Rapids, Michigan: Zondervan, 2006), 41-42.
yang panjang untuk mencapai bentuknya saat ini yang diperkirakan berakhir di abad

kelima sebelum Masehi, di masa nabi Ezra.130 Argumentasi ini didasarkan kepada adanya

perbedaan dalam beberapa bagian teks Pentateukh dalam penyebutan kata Allah dimana

sebagian menggunakan kata Elohim dan sebagian lagi menggunakan kata Yahweh. Jean

Astruc berpendapat bahwa hal ini membuktikan penyusunan kitab Pentateukh berasal

dari dua sumber tertulis yang berbeda dan beberapa bahan-bahan lain yang mengambil

porsi minor di dalamnya.131 Melanjutkan penelitian mengenai kritik sumber, muncul

hipotesa adanya empat sumber yang berbeda dari penyusunan kitab-kitab Pentateukh.

Keempat sumber yang menyusun kitab-kitab Pentateukh adalah

1. Sumber Yahwis (J) yang diperkirakan berasal dari Yehuda dan muncul sekitar

tahun 950-850 sM. Terdapat dalam kitab Kejadian hingga Bilangan.

2. Sumber Elohis (E) yang diperkirakan berasal dari kerajaan utara yang muncul

kira-kira tahun 850-750 sM terdapat dalam kitab Kejadian hingga Bilangan.

3. Sumber Deuteronomis (D) yang secara garis besar mencakup Kitab ulangan dan

beberapa kerangka sejarah dari kitab Yosua hingga II Raja-raja. Diperkirakan

sumber ini berkembang dan mencapai bentuk akhir di dalam pemerintahan raja

Yosia sekitar tahun 621 sM.

4. Sumber Imamat (P) seringkali dilihat muncul sekitar masa pembuangan hingga

pasca pembuangan sekitar abad ke-6 hingga 5 sM. Sumber P kebanyakan

130
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 104.
131
Barry L. Bandstra, Reading the Old Testament: Introduction to the Hebrew Bible (Belmont,
California: Wadsworth, 2009), 20.
diperkirakan terdapat pada bagian-bagian kitab Pentateukh yang memuat

mengenai hukum-hukum.132

Selain permasalahan penggunaan nama Allah dalam kitab Pentateukh. Hal lain yang

menguatkan adanya peredaksian dari kitab-kitab Pentateukh dan kemungkinan adanya

kepenulisan lain selain Musa adalah adanya beberapa bentuk cerita yang diulang namun

dengan beberapa detail yang berbeda dan kadang berlawanan, adanya penggunaan nama

tempat atau orang yang berbeda namun merujuk kepada satu hal yang sama, dan adanya

perbedaan teologi dari kitab-kitab Pentateukh.133 Hal-hal ini menjadi alasan kuat

beberapa ahli untuk menolak kepenulisan Musa.

Sekalipun argumentasi yang menolak kepenulisan Musa cukup besar, namun

kesaksian Alkitab, tradisi, kerangka besar kitab Pentateukh, serta kemampuan seorang

penulis kuno untuk menulis dalam berbagai macam genre masih memberikan peluang

besar bahwa Musa mengambil peranan mayor dalam kepenulisan kitab-kitab

Pentateukh.134 Menambahkan hal ini, meski kitab Pentateukh mengalami peredaksian

atau perkembangan dari masa Musa namun kerangka besar kitab Pentateukh tetap

diyakini dibuat oleh Musa. Oleh karena itu, penulis lebih setuju dengan pandangan dari

Herbert Wolf yang menyatakan bahwa

In conclusion we can see that the possible post-Mosaic materials in the Pentateuch are
relatively minor. The bulk of the five books could indeed have been written by Moses or
under his supervision. If there were in fact editors who added to or modified the work of
Moses, their activity was superintended by the same Holy Spirit who inspired all
Scripture. Any changes made by Joshua, Samuel, Ezra, or anyone else were prompted by
the Spirit of God and conveyed exactly what He intended.135

132
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 106.
133
Longman dan Dillard, An Introduction to the Old Testament, 43.
134
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 102.
Dalam hal ini, sebagaimana yang dikatakan Wolf, penulis menerima bahwa mungkin ada

peredaksian namun sifatnya tidaklah terlalu besar dan mengubah arah dari kerangka awal

kepenulisan Musa. Di sisi lain, peranan Roh Kudus juga menjadi dasar lain bagi

pertimbangan teologi untuk melihat bahwa penulis sebenarnya dari Alkitab adalah Allah

sendiri.

Dengan tetap mengakui kepenulisan dan peranan besar Musa dalam kerangka

pemikiran Pentateukh maka kita dapat memperkirakan bahwa kitab Pentateukh ditulis

sebagian besar dalam masa hidup Musa. Musa sendiri hidup diperkirakan dari tahun

1527-1407 sM dengan alasan bahwa perhitungan Bible Archeology yang menempatkan

kisah keluaran Israel dari Mesir pada tahun 1447 sM.136 Sedangkan Bakker melihat

bahwa kisah Keluaran kemungkinan besar terjadi di tahun 1445 sM, di masa

pemerintahan Amenofis II yang berlangsung dari tahun 1447-1421 sM. Hal ini

didasarkan pada argumen bahwa pada masa pemerintahan Amenofis II hanya tercatat

dalam arca di lima tahun pertama masa pemerintahannya dan Amenofis II juga tidak

digantikan oleh anak sulungnya. Hal ini dikaitkan oleh Bakker dengan kemungkinan

adanya hukuman besar dari Allah terhadap Mesir di masa itu sehingga Amenofis II harus

kehilangan putra sulungnya dan kekurangan tenaga untuk membangun arca karena

kehancuran Mesir akibat tulah.137 Dengan memberi penanggalan akan waktu hidup Musa

dan peristiwa keluarnya Israel dari Mesir maka kemungkinan besar penulisan kitab

135
Herbert Wolf, An Introduction to the Old Testament Pentateuch (Chicago, Illinois: Moody,
1991), 60.
136
Alfred Hoerth dan John McRay, Bible Archeology (Grand Rapids, Michigan: Baker Books,
2005), 82.
137
F. L. Bakker, Sejarah Kerajaan Allah, jilid 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), 252.
Pentateukh oleh Musa berlangsung sekitar tahun 1447-1407 sM. Dengan demikian,

meskipun teori sumber menyatakan adanya perubahan atau pembentukan dari sumber-

sumber yang lebih muda penanggalannya dari zaman hidup Musa, namun penulis tetap

akan menggunakan penanggalan dari masa hidup Musa sebagai latar belakang

kesejarahan dari Kitab Pentateukh.

Penetapan masa hidup Musa sebagai standar penanggalan awal dari kepenulisan

kitab Pentateukh memberikan indikasi bahwa teks perang dalam kitab Pentateukh

merupakan teks perang paling awal yang tercatat dalam Alkitab. Sebagai catatan perang

paling awal, kitab-kitab Pentateukh memberikan beberapa teks yang menceritakan

mengenai peperangan, seperti peperangan Abraham, peperangan Israel dan Amalek,

peperangan Israel dan Midian, serta beberapa teks lain yang menyangkut hukum-hukum

perang. Dengan menyadari banyaknya ragam teks perang dalam kitab Pentateukh, maka

penulis akan memilih hanya dua teks mengenai perang, yaitu Keluaran 15:1-21 dan

Ulangan 20.

Eksposisi Keluaran 15:1-21

Keluaran 15:1-21 dipahami sebagai puisi atau nyanyian termegah yang pertama

tercatat dalam Alkitab. Origen menyatakan “The Song of Moses is the first great song in

Scripture. The song prefigures the song that the bride sings to Christ her husband.” Hal

ini muncul disebabkan oleh pemahaman Origen dalam menafsirkan Keluaran 14-15 yang

memahami figur Divine Warrior sebagai penggambaran dari Yesus yang hadir
menyelamatkan umat manusia dari perbudakan dosa.138 Selain dari penggambaran Allah

sebagai panglima perang, keindahan dari nyanyian ini muncul dalam cara penulis

menggabungkan beberapa himne, balada, dan soloist menjadi satu kesatuan.139

Lebih lanjut, Keluaran 15 dipahami juga sebagai salah satu proklamasi pertama

dari tindakan Allah bagi pembebasan umat-Nya. Ashby menegaskan bahwa

This is what the poem proclaims. It shouts out loudly that the God who has acted in
liberating his people from oppression must be honored and worshipped. The biblical
theme of holy war begins here.140

Tindakan Allah dalam menyelamatkan umat Israel dari Mesir juga memulai tema dari

perang kudus di dalam Alkitab. Oleh karena itu, bagian ini sangat penting dibahas

sebagai tonggak awal dari problematika perang di dalam Alkitab.

Sebagai tonggak awal perkenalan bangsa Israel dengan Allah Perjanjian sebagai

Panglima Perang, Keluaran 15:1-21 memiliki bentuk yang unik sebagai sebuah puisi

Ibrani. Durham menyebut bentuk puisi dalam Keluaran 15 sebagai sebuah puisi ibrani

dengan ritme “semantic-syntactic-accentual” yang menekankan pada sebuah perasaan

kegembiraan yang sangat dalam.141 Perasaan kegembiraan ini jelas berhubungan dengan

kondisi pengalaman Israel yang baru saja terlepas dari kejaran bangsa Mesir melalui

sebuah peristiwa mukjizat yang sangat luar biasa.

138
Joseph. T. Lienhard dan Ronnie. J. Rombs, Exodus, Leviticus, Numbers, Deuteronomy
(Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 2001), 78.
139
John. I. Durham, Exodus. (Waco, Texas: Word Books, 1998), 202.
140
Godfrey. W. Ashby, Go Out and Meet God: A Commentary on the Book of Exodus (Grand
Rapids, Michigan: Eerdmans, 1997), 67.
141
Durham, Exodus, 205.
Beberapa penafsir melihat bahwa Keluaran 15:1-12 tidak memberikan runutan

peristiwa yang teratur sehingga keabsahan historisnya perlu dipertanyakan, namun Childs

melihat bahwa ada sebuah pararel dari prosa yang dimiliki tiap baris dalam puisi ini.

Keterkaitan prosa di dalam puisi ini jauh lebih penting dibandingkan runutan peristiwa

sejarah yang terjadi,142 sebab puisi tidak mengutamakan kerunutan sejarah namun makna

yang hendak diangkat dari masing-masing baris. Dalam puisi ini ungkapan syukur dan

pujian yang mendalam inilah yang Israel coba gambarkan atas tindakan Allah sebagai

panglima Perang.

Secara struktur, Sarna membagi Keluaran 15:1-18 ke dalam 4 bait besar:

1. Ayat 1-10 berbicara mengenai sukacita karena kebesaran Allah yang

mengalahkan pasukan Mesir

2. Ayat 11-13 menyatakan mengenai sifat dan tindakan Allah yang tidak tertandingi

3. Ayat 14-16 menjelaskan mengenai dampak dari peristiwa yang luar biasa ini atas

bangsa lain

4. Ayat 17-18 merupakan gambaran dan pengharapan akan apa yang terjadi di masa

depan.143

Dari struktur ini dapat dilihat bahwa penekanan utama dari bagian ini adalah mengenai

Allah Yahweh. Segala tindakan dan pekerjaan keselamatan yang dari Allah bagi umat

pilihanNya menjadi tema utama dari bagian ini. Childs juga menambahkan bahwa

142
Brevard S. Childs, The Book of Exodus (Philadelphia, Pennsylvania: Westminster Press, 1974),
251.
143
Nahum M. Sarna, Exodus (Philadelphia, Pennsylvania: The Jewish Publication Society, 1991),
76.
tindakan Allah yang tergambar dalam puisi ini merupakan sebuah intervensi penebusan

ilahi yang kemudian memberikan dasar bagi penafsiran eskatologis para nabi tentang

makna kerajaan Allah dan penebusan ciptaan.144

Konsep mengenai tindakan penyelamatan Allah terlukis jelas dalam Keluaran

15:3, dimana untuk pertama kalinya Allah Yahweh disebut sebagai Pahlawan Perang.

Durham menyatakan bahwa frasa “man of battle” yang dikenakan kepada Allah ini

merupakan sebuah bentuk pengakuan iman.145

Sedangkan bagi Fretheim, penebusan yang dikerjakan Allah dalam sejarah

merupakan sebuah pengalaman baru bagi Israel. Kehadiran Allah dalam medan perang

untuk membawa Israel keluar dari Mesir, bukan sekedar menunjukkan bahwa Allah

adalah “man of battle” tetapi juga “liberator”. Ia menyatakan bahwa

The songs themselves are the product of a new experience, an experience of both God
and people as liberator and liberated.... And so, just as God out of God’s own experience
of suffering has responded to Israel’s experience of oppression, so Israel from the midst
of its own experience of freedom responds to God’s experience as liberator.146

Pengalaman sebagai Allah sang pembebas diungkapkan secara lugas dalam tema besar

mengenai Allah sebagai Pahlawan perang Israel. Bruckner juga menyatakan hal yang

sama, ia berargumen bahwa Allah harusnya dilihat sebagai pahlawan perang yang

berhasil mengalahkan pasukan yang tangguh, sebab hal ini sejajar dengan penjelasan

mengenai kereta perang dan tentara-tentaranya yang ditenggelamkan oleh Allah.147

144
Childs, The Book of Exodus, 252-53.
145
Durham, Exodus, 206.
146
Terence E. Fretheim, Exodus (Louisville, Kentucky: John Knox, 1991), 163.
147
James K. Bruckner, Exodus (Peabody, Massachussetts: Hendrickson, 2008), 138.
Pengakuan yang mendasar tentang Allah sebagai pahlawan perang yang

menyelamatkan Israel juga menunjukkan konsep yang berbeda dari konsep perang Mesir

kuno. Dalam pemahaman Mesir kuno, raja adalah titisan dewa Ra sejak ia masih ada

dalam kandungan, sehingga perintah raja bersifat absolut. Dalam peperangan, Raja Mesir

bukan hanya dilihat sebagai pemimpin namun ia sendiri adalah pasukan perang dan

lambang dari keseluruhan kekuatan Mesir dan para dewa.148 Dalam hal ini peran

Firaun149 sebagai pemimpin perang juga menyatakan kepemimpinan Ra dalam perang

Mesir. Sebagai panglima tertinggi dari Mesir, Firaun juga berperan membentuk konsep

mengenai Ra sebagai Panglima Perang Mesir. Dalam catatan perang Megiddo yang

memperlihatkan strategi dan perintah Firaun Thutmose III dalam menguasai tanah

Kanaan,150 digambarkan juga nyanyian kemenangan dan pujian yang diberikan bagi

keagungan Firaun Thutmose atas kemenangannya menguasai Kanaan. Hal ini memiliki

pararel dengan Keluaran 13-15 dimana Allah juga memberikan perintah dan strategi

kepada Israel untuk dapat keluar dari tanah Mesir, selain itu bagian ini juga ditutup

dengan pujian Israel akan kepahlawanan Allah sebagai panglima Perang yang

menyelamatkan Israel dari tangan Firaun.

148
G. Herbert Livingston, The Pentateuch in its Cultural Environment, ed. ke-2 (Grand Rapids,
Michigan: Baker Books, 1987), 123.
149
Lih. Theological Wordbook of the Old Testament, s.v. ”‫” פ ְַר ֹ֔עה‬. ‫ ( פ ְַר ֹ֔עה‬par’oh), Firaun. Dalam
bahasa aslinya kata Firaun memiliki arti “the Great House.”, rumah yang besar. Pada mulanya orang Mesir
menggunakan kata ini tidak untuk merujuk pada raja Mesir namun lebih kepada tempat raja tinggal, Istana
raja. Namun perubahan terjadi pada pertengahan dinasti ke-16, sekitar tahun 1575–1308 sM, dimana kata
ini berubah ekspresi menjadi sebutan bagi jabatan raja Mesir. Sebagai sebutan yang digunakan bagi raja
tertentu, penggunaan kata Firaun juga menjadi analogi untuk masa atau pemerintahan dari raja tertentu.
Sekalipun demikian, tidak ada indikasi bahwa teks-teks Mesir pernah menggunakan kata “Firaun” sebagai
bagian dari jabatan resmi bagi Raja.
150
Cyrus H. Gordon dan Gary A. Rendsburg, The Bible and the Ancient Near East (New York: W.
W. Norton and Company, 1997), 64-65.
Meskipun ada kesamaan dalam beberapa aspek dengan konsep perang Mesir kuno

namun dalam pemahaman perang suci yang paling awal ini, ditunjukkan secara tidak

langsung tentang peranan pasif Israel dalam perang. Perang Israel bukanlah sebuah

bentuk perang secara aktif dan inisiatif, namun lebih sebagai suatu upaya pertahanan diri.

Sarna menyatakan “In the biblical view, the enemies of Israel are the enemies of God, so

that Israel’s wars for survival are portrayed as “the battles of the Lord.”151 Dalam hal ini,

kita dapat melihat bahwa Perang di dalam Keluaran 15:1-21 dipahami lebih sebagai

perang yang bersifat pasif, dimana Israel tidak melakukan upaya apapun dan Allah yang

secara pribadi berperang untuk Israel. Perang ini juga bertujuan bukan untuk

menghancurkan namun sebagai sebuah upaya untuk bertahan hidup, dimana Allah

Yahweh sebagai Allah Perjanjian bertanggungjawab untuk melindungi Umat Perjanjian-

Nya dari bahaya.

Perbedaan lain yang muncul dalam bagian ini adalah bentuk pujian yang

diberikan Israel kepada Allah. Meskipun Mesir menganggap Firaun sebagai perwakilan

dari dewa Ra, namun bangsa Mesir lebih melihat bahwa tindakan Firaun dalam perang

dan kemenangan perang merupakan bagian dari sebuah strategi dan kekuatan dari

ketentaraan Mesir. Dalam inkripsi dari akhir millenium ketiga yang ditemukan di Siut

dan Mo‛alla dijelaskan bagaimana kekuatan militer dan kepemimpinan para panglima

perang menjadi tumpuan harapan bangsa Mesir akan kemenangan perang.152 Hal ini

berhubungan dengan pola pikir Mesir. Meskipun orang Mesir mengakui akan adanya

151
Sarna, Exodus, 77-78.
152
Juan Carlos Moreno García, “War in Old Kingdom Egypt”, dalam Studies on War in the
Ancient Near East, ed. Jordi Vidal (Mǖnster: Ugarit-Verlag, 2010), 5-6.
realita dari dewa-dewi serta unsur spiritual dan supranatural, namun mereka tetap lebih

mempercayai hal-hal material serta mengandalkan kemampuan ilmu pengetahuan dan

teknologi Mesir yang lebih maju dibandingkan negara lain masa itu.153 Oleh karena itu,

tidak mengherankan jika dalam inkripsi mengenai peperangan bangsa Mesir kuno,

kemenangan perang dihubungkan dengan kekuatan persenjataan, tentara-tentara yang

terlatih, serta kepemimpinan panglima perang yang tangguh.

Berbeda dengan Inkripsi Mesir kuno, Keluaran 15:1-21 mencatat bagaimana

kemenangan Israel diraih bukan melalui kekuatan pasukan perang atau persenjataan,

namun justru melalui alam. Keluaran 15:7-8 menyatakan “Dengan keluhuran-Mu yang

besar Engkau meruntuhkan siapa yang bangkit menentang Engkau; Engkau melepascan

api murka-Mu, yang memakan mereka sebagai tunggul gandum. Karena nafas hidung-

Mu segala air naik bertimbun-timbun; segala aliran berdiri tegak seperti bendungan; air

bah membeku di tengah-tengah laut.” (Kel. 15:7-8 ITB). Durham menjelaskan bahwa

“nafas hidung-Mu” dalam Keluaran 15:8 dihubungkan dengan kata “laut” untuk

memberikan gambaran bagaimana kekuasaan Allah YHWH mampu menangani bukan

hanya prajurit Mesir namun juga air purba yang merupakan lambang dari kekacauan.154

Lebih luas, Fretheim melihat bahwa kaitan antara Keluaran 15 dan kisah

mengenai tulah-tulah yang menimpa Mesir dengan kepercayaan Mesir tentang dewa-

dewa yang menguasai alam memberi implikasi teologis tersendiri. Dalam keyakinan

Mesir kuno, kekuatan dari alam semesta merupakan perlambang dari kekuatan para

153
Gordon dan Rendsburg, The Bible and the Ancient Near East, 56.
154
Durham, Exodus, 207.
dewa. Matahari, bulan, bintang, angin, cahaya, api, air, hingga sungai Nil merupakan

unsur-unsur yang membentuk dunia kosmik dan dalam setiap unsur itulah kekuatan para

dewa bermanifestasi.155 Oleh sebab itu, Fretheim menegaskan bahwa gambaran Allah

yang secara aktif menunjukkan kuasanya melalui alam, terkhusus dalam kisah mengenai

tulah, secara mendasar menjadi antitesis dari pemahaman praktis Mesir mengenai kisah-

kisah penciptaan dari dewa-dewi Mesir.156 Sehingga tidak berlebihan jika Keluaran 15

dilihat bukan hanya sebagai kemenangan Allah atas tentara Mesir namun juga sebuah

kemenangan kosmik. Kemenangan kosmik ini berujung kepada sebuah kesimpulan

dimana Israel akan dibawa ke tanah Perjanjian dan Tuhan Allah Israel akan memerintah

kekal selama-lamanya (Keluaran 15:17-18 ITB).

Eksposisi Ulangan 20

Selain dalam Keluaran 15:1-21, konsep perang juga secara jelas dinyatakan dalam

Ulangan 20. Di dalam konteks pembaharuan perjanjian Israel dengan Allah, kitab

Ulangan merupakan bagian pengajaran Musa kepada generasi kedua bangsa Israel

sebelum mereka masuk ke dalam tanah perjanjian. Longman menyatakan “Moses led the

people in a covenant renewal before they undertook the wars of conquest for the land

promised to the fathers; he prepared the people for his imminent death.”157 Perang dalam

Ulangan 20 diletakkan dalam runutan cerita ketika Israel dipersiapkan masuk untuk

155
Jan Assmann, Of God and Gods: Egypt, Israel, and the Rise of Monotheism (Wisconsin,
London: University of Wisconsin Press, 2008), 10.
156
Fretheim, Exodus, 167.
157
Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 102.
menaklukkan tanah Kanaan. Dalam dinamika politik masa itu, satu-satunya cara untuk

membawa penduduk Kanaan keluar dari tanah kediaman mereka adalah melalui perang.

Eugene H. Merrill berargumen bahwa perintah pembantaian yang terdapat dalam

Ulangan 20 maupun dalam kitab Yosua menunjukkan bagaimana Israel melakukan

pemusnahan bukan dalam landasan kesenangan atau kepentingan Israel namun karena

tujuan Allah.158 Selain itu, Longman menambahkan bahwa pemusnahan total harusnya

dilihat dari aspek kekudusan Allah dimana pencemaran terhadap kekudusan Allah perlu

ditanggapi secara serius. Oleh karena itu, nilai kekudusan Allah perlu dipandang jauh

lebih tinggi.159 Hal ini berbeda dengan praktik moralitas bangsa-bangsa di luar Israel,

dimana pembunuhan dapat dilatarbelakangi oleh dendam, kebencian, bahkan kesenangan

pribadi.

Lebih lanjut, jika merujuk pada janji Allah pada Abraham dalam Kejadian 15:13-

16, dimana Allah sengaja membawa umat Israel keluar dari Mesir ketika kedurjanaan

orang Amori sudah genap (ayat 16). Hal ini menunjukkan adanya nuansa penghakiman

dan penghukuman yang Allah sengaja bawa bagi orang Kanaan melalui kehadiran Israel.

Sehingga perintah Allah kepada orang Israel untuk membunuh habis bangsa Kanaan

dapat dilihat sebagai bagian dari hukuman Allah bagi bangsa Kanaan, dimana Israel

digunakan Allah sebagai instrumen penghakiman. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa

tidak ada satupun alasan dari hukum perang yang diberikan untuk melanggengkan dan

158
Eugene H. Merrill, “The Case for Radical Discontinuity”, dalam Show Them No Mercy, ed.
Stanley N. Gundry (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2003), 84-85.
159
Tremper Longman III, “The Case for Spiritual Continuity”, 173-74.
melegalkan kesenangan untuk membunuh dan menghancurkan, justru sebaliknya hukum

ini diberikan dalam kerangka keadilan Allah dan tatanan moral yang lebih tinggi.

Di sisi yang lain, Ulangan 20 bukan hanya berbicara mengenai tatanan moral

dalam perang namun juga masalah iman. Von Rad menyatakan

From this time forward the alternative of trust either in Yahweh or in war chariots
(‘horses and chariots’) had become central concern of the religion of Yahweh. For the
prophets, too, all trust in chariots is plainly a symptom of lack of faith.160
Ayat 1-9 bukan hanya sekedar strategi untuk memilih dan mengatur tentara Israel, namun

juga menunjukkan sebuah konsep dimana peperangan tidak bergantung pada jumlah

tentara, namun pada Allah yang memberikan kemenangan. Hal ini dinyatakan secara

eksplisit dalam Ulangan 20:1-4 lewat seruan “jangan takut”. Dalam bagian ini kata takut

dilihat sebagai sebuah indikasi kurangnya iman pada Allah. Von Rad menambahkan

bahwa keprihatinan utama kitab Ulangan tentang rasa takut dan kecil hati sebagai

permasalahan iman bukan hanya problem personal namun mempengaruhi keseluruhan

pasukan.161 Oleh karena itu, untuk membangkitkan kepercayaan Israel, pada ayat 2 Allah

memerintahkan salah seorang imam maju di hadapan umat untuk menyampaikan Firman

Allah sebelum menghadapi perang.

Kehadiran imam dalam peperangan ini memiliki persamaan dengan konsep dalam

dunia kuno. Dalam penelitiannya mengenai literatur perang Mari yang muncul abad 17

sM, Hamblin menyatakan

To insure that a king, general, or army were operating in accordance with the will of the
gods, Mesopotamian rulers employed diviners and prophets who would interpret the will

160
Gerhard Von Rad, Deuteronomy: A Commentary (Philadelphia, Pennsylvania: The
Westminster, 1966), 131.
161
Von Rad, Deuteronomy, 132.
of the gods. A wide range of methods were used to accomplish this. Few kings dared go
to war without the explicit approval of the gods.162

Dalam hal ini, baik Israel maupun bangsa-bangsa kuno lainnya meyakini bahwa

keberhasilan perang ditentukan oleh sabda Allah, sehingga sedikit raja yang berani untuk

maju berperang tanpa ada persetujuan eksplisit dari para dewa.

Selain itu, kehadiran imam dalam konteks perang merupakan bagian dari cara

Allah membimbing umat-Nya dalam melakukan peperangan. Sebagaimana pemahaman

Timur Dekat Kuno bahwa pembimbingan Allah serta persetujuan Allah dalam

peperangan menentukan hasil dari peperangan tersebut. Maka, beberapa kali frasa “sebab

TUHAN, Allahmu,” (Ulangan 20:1, 4 ITB) menjadi penekanan utama dalam bagian ini.

Hal ini menunjukkan bahwa hukum perang umat Israel dalam Ulangan 20 bukan sekedar

masalah strategi militer namun lebih pada masalah iman dan spiritualitas umat pilihan

Allah.

Hukum perang dalam Ulangan 20 bukan hanya diberikan untuk menjaga

moralitas dan spiritualitas umat Israel namun juga untuk mempersiapkan Israel memasuki

tanah Perjanjian. Sebagai umat pilihan Allah yang harus hidup dalam standar moral dan

kekudusan Allah, maka penghapusan bangsa-bangsa Kanaan juga ditujukan untuk

maksud mempersiapkan dan menjaga bangsa Israel. Hal ini didukung dengan penyataan

eksplisit Allah melalui Musa dalam ayat 18, “supaya mereka jangan mengajar kamu

berbuat sesuai dengan segala kekejian, yang dilakukan mereka bagi allah mereka,

sehingga kamu berbuat dosa kepada TUHAN, Allahmu.” (Ulangan 20:18 ITB).

162
William J. Hamblin, Warfare in the Ancient Near East (London: Routledge, 2006), 186.
Dalam bagian ini, Tigay menjelaskan upaya “genosida”163 yang dilakukan Israel

adalah cara Allah untuk memproteksi Israel dari pengaruh kebudayaan kafir. Ia

menyatakan bahwa dasar dari keputusan Allah memusnahkan bangsa-bangsa Kanaan

bukan disebabkan masalah etnik namun cara hidup, sehingga apabila kehidupan Israel

justru mengikuti cara hidup bangsa kafir maka Allah tidak segan untuk melakukan cara

yang sama pada Israel.164 Di sisi yang lain, Craigie juga menyatakan bahwa upaya yang

dilakukan Israel bukanlah sebuah tindakan amoral, namun merujuk pada pemahaman

bahwa Israel adalah instrumen penghakiman Allah bagi orang-orang Kanaan.165 Hal ini

menggenapi firman Allah pada Abraham dalam Kejadian 15:16, dimana kedatangan

Israel ke tanah Kanaan menunggu kegenapan kejahatan orang-orang Kanaan dan waktu

penghakiman yang Allah tetapkan bagi orang-orang Kanaan. Oleh karena itu, bisa

dikatakan bahwa Ulangan 20 memahami perang bukan sebagai bagian dari kebrutalan

namun justru perang harus dilihat sebagai bagian dari perintah Allah untuk melindungi

Israel dan sebagai alat Allah untuk menghukum bangsa Kanaan.

Kitab Sejarah Pra-Kerajaan

Kitab Yosua

Pembahasan mengenai perang di dalam Alkitab tidak dapat dilepascan dari kisah-

kisah perang yang luar biasa yang tercatat di dalam kitab Yosua, seperti kisah runtuhnya

163
Lih. Kamus Besar Bahasa Indonesia, s.v. “genosida”. Kata ini dimaknai sebagai pembunuhan
besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras.
164
Jeffrey H. Tigay, Deuteronomy (Philadelphia, Pennsylvania: The Jewish Publication Society,
1996), 189.
165
Peter C. Craigie, The Book of Deuteronomy (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1976), 276.
tembok Yerikho, kekalahan Israel atas Ai, hingga kemenangan Israel merebut tanah

Kanaan. Kisah-kisah ini semakin menarik ketika di kitab Hakim-Hakim, peperangan

suku-suku Israel melawan kerajaan-kerajaan yang tersisa di sekitar tanah Kanaan

dibingkai dalam perspektif kesetiaan Allah dan ketidaktaatan Israel. Dalam hal ini,

penulis akan mengambil beberapa bagian sebagai bingkai pemahaman perang di dalam

kitab Yosua dan Hakim-Hakim.

Kitab Yosua sendiri dipahami sebagai kelanjutan dari karya keselamatan yang

Allah kerjakan dalam Perjanjian Lama. Longman menjabarkan bahwa,

The greatest act of salvation history in the Old Testament was not the exodus
alone. The exodus was just half of a great redemptive complex. God had not
promised his people only that he would redeem them from bondage but also that
he would give them the land he promised to the fathers as their inheritance (Kejadian
12:2–3; 15:18–21).166

Sebagai kelanjutan dari karya keselamatan Allah dalam sejarah umat-Nya, kitab Yosua

dan Hakim-Hakim menjadi bagian yang menceritakan bagaimana Allah membawa Israel

merebut tanah Kanaan dan bagaimana Israel mempertahankan tanah Perjanjian tersebut

dari bangsa-bangsa yang tinggal di sekitar Kanaan.

Kitab Yosua secara umum masih diperdebatkan kapan dan siapa yang menulis

kitab ini. Menurut Talmud kitab Yosua sebagian besar ditulis oleh Yosua sendiri,

terkecuali mengenai bagian kematian Yosua.167 Berlawanan dengan ini, menurut Martin

Noth, kitab Yosua memiliki kedekatan lebih banyak kepada kitab Ulangan, Hakim-

Hakim dan Raja-Raja, sehingga kemungkinan kitab ini merupakan satu bagian dari

166
Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 120.
167
Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 122.
sejarah Deuteronomis168 yang kemungkinan ditulis oleh sejarawan Deuteronomik sekitar

masa pembuangan atau abad ke-7 SM.169 Rowlett juga menekankan hal yang sama,

Although it purports to relate 'historical' events which (allegedly) took place sometime
between 1400 and 1200 BCE, most scholars agree that the Book of Joshua forms part of
the Deuteronomistic History (henceforth called the DH),170

Meskipun argumen kelompok kritik sumber ini nampak meyakinkan, namun melalui

penggalian arkeologi yang ada, ditemukan adanya peristiwa penghancuran yang terjadi di

beberapa daerah seperti di Beitin (Betel), Tel el-Duweir (Lakhis), Tel el-Hesi (Eglon?),

Tel Beit Mirsim (Ansyan?), dan Tel el-Qedah (Hazor) yang melalui hasil penggalian

arkeologis dan penelitian susunan debu reruntuhan yang ditemukan memberikan

perkiraan adanya pertempuran dahsyat sekitar abad ke-13 sM.171 Hal ini sesuai dengan

data yang ada dalam kitab Yosua. Di sisi lain, adanya pandangan mengenai penyerbuan

dua kali, dalam abad 15 dan 13 sM, oleh bangsa Israel sebagaimana yang dicetuskan

dalam teori Rowley melalui penelitian surat-surat Amarna nampaknya juga tidak terlalu

didukung dengan argumen yang kuat, sebab secara sepihak Rowley mencoba

mengidentikkan orang-orang Habiru dalam surat-surat Amarna dengan bangsa Israel.172

Keberatan ini muncul karena menyatakan adanya dua kali penyerbuan dan keberangkatan

168
Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 124.
169
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 286. Bdk. Werner H. Schmidt, Old
Testament Introduction (New York: Crossroad, 1984), 136-140. Schmidt menyatakan bahwa penanggalan
dari masa pembuangan kemungkinan besar lebih mendekati di abad ke 6 dan 5 SM atau sekitar tahun 560
SM.
170
Lori L. Rowlett, Joshua and the Rhetoric of Violence: A New Historicist Analysis (Sheffield,
South Yorkshire: Sheffield Academic, 1996), 11.
171
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 285.
172
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 286-87.
yang mungkin dilakukan bangsa Israel dari Mesir. Hal ini bertentangan dengan kesaksian

Alkitab yang hanya mencatat satu peristiwa keluaran di tahun 1446 sM. Oleh karena itu,

dapat disimpulkan bahwa kemungkinan besar kitab Yosua ditulis sekitar akhir abad 15

sM, sebagai penanggalan awal penyerbuan Kanaan dan bukan abad ke 13 sM.

Dengan menetapkan bahwa kepenulisan kitab Yosua terjadi tidak jauh dari

peristiwa yang tertulis, maka sangat memungkinkan bahwa kebudayaan dan konsep

berpikir yang ada dalam kitab ini juga mencerminkan pandangan kehidupan dunia

sekitarnya. Dalam hal ini Brueggemann menegaskan bahwa

There is, moreover, no part of the textual tradition that is more permeated with violence
than the conquest traditions of Joshua. While the land is promised in the ancestral
traditions of Genesis, that same land in the implementation of the promise is taken by
means of brutal military attack that is characteristic of any military operation and is
perhaps especially characteristic of the ancient practices of the Near East.173

Selain itu, Kitab Yosua merupakan satu-satunya kitab dalam Perjanjian Lama

yang mencatat kisah penaklukan tanah Perjanjian secara utuh dari upaya awal Israel

masuk tanah Kanaan (Yosua 1-6), penaklukan sebagian besar tanah Kanaan dan

pembagian tanah (Yosua 11-19), hingga gambaran awal kehidupan Israel di Kanaan dan

pembaharuan perjanjian (Yosua 20-24). Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa ada sebuah

perubahan paradigma dari Israel sebagai budak menjadi Israel sebagai penakluk, dari

sebuah bangsa pengembara menjadi bangsa yang tinggal tetap.

Lebih lanjut, Brueggeman berkomentar bahwa kitab Yosua memuat perubahan

kondisi sosial politik yang sangat penting dalam mempengaruhi afirmasi teologis yang

terbentuk berkaitan dengan pemahaman umat Israel dalam relasi dengan Allah

173
Walter Brueggemann, An Introduction of the Old Testament: The Canon and Christian
Imagination (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox, 2003), 116-17.
Perjanjian.174 Afirmasi teologis yang dimaksud berkaitan dengan pemahaman akan

identitas Israel sebagai umat pilihan dimana janji Allah untuk membawa Israel masuk

pada tanah perjanjian segera dipenuhi melalui peperangan yang tak terhindarkan

melawan Kanaan. Pernyataan ini semakin menguatkan pentingnya keberadaan kitab

Yosua dalam memahami konsep teologi mengenai perang yang dipandang sebagai isu

yang cukup problematik di dalam Alkitab. Oleh karena itu, Penulis memilih untuk

mempelajari Yosua 5:13-6:27 dengan pertimbangan bahwa ini merupakan teks awal yang

mencatat perang Israel ketika merebut kota Yerikho, kota terluar Kanaan. Selain itu,

kehadiran Panglima Balatentara TUHAN juga menjadi sebuah bagian penting dalam

menggambarkan peranan Allah dalam memahami perang Israel.

Eksposisi Yosua 5:13-6:27

Perang dalam Yosua 5:13-6:27 terbagi dalam dua bagian besar 5:13-15

merupakan bagian persiapan perang sebelum masuk tanah Yerikho, sedangkan 6:1-27

memuat kisah perang penaklukan Yerikho. Yosua 5:13-14 diawali dengan kehadiran

Panglima Balatentara TUHAN. Daniel Hawk menyatakan bahwa kehadiran Divine being

sebelum perang merupakan elemen yang wajar dalam literatur perang dari beberapa

budaya Timur Dekat Kuno.175 Dalam catatan perang dinasti awal Mesopotamia, Raja

Umma sebelum berperang mengharapkan kehadiran dari dewa dengan memanggil

seorang peramal untuk menghadirkan sang dewa dan memohon sabda dari dewa tersebut.

174
Brueggemann, An Introduction of the Old Testament, 119.
175
L. Daniel Hawk, Joshua (Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 2000), 83.
Dalam catatan ini dikatakan Eanatum, sang peramal, dalam prosesi ini tertidur dan dewa

perang Ningirsu akan mendekati kepalanya dan membisikkan kata-kata kepada Eanatum

tentang apa yang akan terjadi dalam peperangan raja Umma.176 Meskipun kehadiran

Divine Being tidak tampak secara fisik, namun melalui perantaraan peramal, para raja

mencoba menghadirkan sosok ilahi sebelum peperangan dimulai demi memperoleh

kepastian dari tindakan yang harus mereka kerjakan.

Dalam kebudayaan Sumeria, kehadiran Divine Being dalam peperangan

dihadirkan melalui kereta perang yang membawa simbol dewa atau raja dengan sebuah

upacara khusus sebagai bukti hadirnya kepemimpinan ilahi.177 Tidak mengherankan jika

Albrektson menyatakan bahwa “Their sphere of activity extended into other areas of life,

including battles, just as Yahweh's did. Divine participation in 'history', including

warfare, is therefore not unique, but is part of the 'common heritage of ancient Near

Eastern religions'.178

Meskipun kehadiran Divine Being dalam perang, baik secara simbolik atau

melalui perantara, adalah hal yang wajar di dalam budaya Timur Dekat Kuno, akan tetapi

kehadiran sosok Panglima Balatentara TUHAN secara teofani baru dituliskan secara

eksplisit dalam bagian ini. Jika dihubungkan dengan kondisi Yosua dan bangsa Israel

pasca kematian Musa sebagai pemimpin, kehadiran Panglima Balatentara TUHAN bukan

sekedar menunjukkan bahwa Allah yang memimpin perang Israel, namun juga

176
Hamblin, Warfare in the Ancient Near East, 52-53.
177
Hamblin, Warfare in the Ancient Near East, 136.
178
Rowlett, Joshua and the Rhetoric of Violence, 50.
mengesahkan kepemimpinan Yosua atas seluruh umat Israel.179 Kalimat "Tanggalkanlah

kasutmu dari kakimu, sebab tempat engkau berdiri itu kudus, " dalam Yosua 5:15

mengingatkan kita akan perkataan Allah terhadap Musa ketika Musa melihat semak

terbakar dalam Keluaran 3. Seperti halnya kehadiran Allah melalui semak yang terbakar

mengesahkan panggilan Allah atas Musa dan menguatkan hati Musa untuk menerima

tugas Ilahi memimpin Israel keluar dari tanah Mesir, demikian pula dalam bagian ini

Allah ingin menguatkan hati Yosua dan memberikan bukti penyertaan-Nya sebagaimana

juga dahulu menyertai Musa.

Selain sebagai sebuah bentuk pengesahan kepemimpinan Yosua pasca Musa,

kehadiran Panglima Balatentara TUHAN juga memberikan sebuah penekanan bahwa

tentara Israel dapat dilihat menjadi bagian dari tentara surgawi.180 Kehadiran Divine

Being dalam peperangan Israel menunjukkan adanya kesadaran bahwa peperangan antara

Israel dan Kanaan adalah sebuah pertempuran kosmik antara Allah dan dewa-dewa

Kanaan. Selain itu, perintah Allah untuk melepaskan kasut Yosua menunjuk pada simbol

martabat, kekuatan, dan kepemilikan dari Allah atas seluruh tanah Kanaan.181

Pada bagian kedua, Yosua 6:1-27 menunjukkan bagaimana Allah menuntun dan

memimpin Israel dalam perebutan tanah Kanaan dengan menaklukan Yerikho.

Penaklukan Yerikho secara khusus dibuktikan melalui penggalian arkeologi. Menurut

Bible Background Commentary, Yerikho merupakan salah satu dari beberapa kota tua

179
Hawk, Joshua, 83.
180
Gordon Mitchel, Together in the Land: A Reading of the Book of Joshua (Sheffield, South
Yorkshire: Sheffield Academic, 1993), 49.
181
Mitchel, A Reading of the Book of Joshua, 49.
yang dibangun sebelum tahun 1550 sM dan mengalami kehancuran antara tahun 1550 -

1200 sM berdasarkan penemuan arkeologi mengenai sisa-sisa tembikar yang berhasil

ditemukan dalam penggalian yang dilakukan oleh Kenyon pada tahun 1950.182 Catatan

arkeologi ini menguatkan kesaksian Alkitab mengenai penanggalan masa hidup Yosua

dan kemungkinan terjadinya penyerbuan ke Yerikho.

Penyerbuaan Israel dalam Yosua 6:1-27 dibagi menjadi beberapa bagian. Yosua

6:1-7 berbicara mengenai persiapan dari prosesi. Dalam Yosua 6:2-5 Allah secara unik

memerintahkan Israel untuk membawa Tabut Perjanjian dan mengelilingi tembok

Yerikho tanpa bersuara sedikitpun selama enam hari berturut-turut, baru pada hari ke

tujuh mereka mengelilingi tembok itu selama tujuh kali dan bersorak dengan nyaring.

Dalam bagian ini nampak secara eksplisit adanya urutan dimana Allah sebagai panglima

perang, yang disimbolkan dengan kehadiran tabut Perjanjian yang berada di depan Israel,

memimpin umat untuk berjalan mengelilingi tembok Yerikho. Gambaran dari

keseluruhan episode ini merupakan bentuk penyembahan secara terbuka yang disertai

dengan ritual yang rumit dan diakhiri dengan penampakan Allah.183 Hal serupa juga

dinyatakan oleh Hawk, ia melihat bahwa prosesi yang dilakukan oleh Israel merupakan

sebuah korespondensi antara konteks ritual dan militer yang mengekspresikan karakter

militer dari tindakan agung Allah dalam perang.184

182
John H. Walton, Victor H. Matthews, dan Mark W. Chavalas, The IVP Bible Background
Commentary: Old Testament (Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 2000), 217.
183
Mitchel, A Reading of the Book of Joshua, 51.
184
Hawk, Joshua, 93.
Kisah ini memiliki kemiripan dengan epik Ugarit dari Keret dimana tentara Keret

tiba di kota Udm dan di perintahkan oleh dewa El untuk mereka tinggal diam selama

enam hari tanpa menembakkan senjata apapun dan dewa El menjanjikan pada hari yang

ke tujuh maka orang dari kota Udm akan mengirimkan seseorang untuk menyampaikan

upeti agar pasukan Keret keluar meninggalkan kota Udm.185 Dan ada kemungkinan orang

Yerikho cukup mengenal kisah ini, sehingga dapat dikatakan bahwa Yosua 6:1-27 adalah

subversi kisah epik Ugarit. Ia membandingkan perintah Allah dengan perintah dewa El

sebagai dewa tertinggi Mesopotamia kuno, dengan menyatakan perbedaan bahwa Allah

tidak sekedar membuat warga kota Yerikho memberikan upeti, tetapi bahkan

memberikan kota tersebut bagi Israel.

Perang penaklukan Yerikho berbeda dengan perang ketika Allah melepaskan

Israel dari tanah Mesir. Jika dalam Keluaran 14-15 perang digambarkan menggunakan

kekuatan alam sebagai senjata yang menghancurkan tentara Mesir, dalam Yosua 6

penaklukan Yerikho bukan menggunakan kekuatan alam namun menggunakan partisipasi

Israel. Hal ini berhubungan dengan kondisi Israel yang mengalami perubahan dari masa

Musa hingga Yosua. Salah satu perubahan yang mencolok adalah adanya pembentukkan

tentara perang Israel yang mulai muncul dan tercatat dalam Keluaran 17:9. Sejak perang

melawan Amalek, Israel mulai membentuk kekuatan militer untuk melindungi Israel dan

mempersiapkan Israel menjadi sebuah bangsa. Lebih lanjut, jika dikaitkan dengan seruan

Musa dalam Keluaran 17:15-16, maka Musa memahami kekuatan militer Israel bukan

sebagai bagian yang terpisah dari kekuatan Allah, justru sebaliknya dikatakan oleh Musa

185
Walton, Matthews, dan Chavalas, The IVP Bible Background Commentary, 217.
“Allah turun berperang”. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan militer Israel adalah

bagian dari kekuatan Allah, dimana Allah dilihat sebagai pemimpin perang yang

sesungguhnya. Dalam pemahaman ini, maka kekuatan militer Israel berkewajiban untuk

mentaati perintah Allah sebagai pemimpin dan komandan tertinggi mereka. Oleh karena

itu, pada masa Yosua, peperangan merebut Yerikho tidak lagi hanya dilakukan oleh

Allah, namun juga meminta partisipasi Israel sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah

sebagai pemimpin perang Israel. Mitchell menyatakan bahwa “Obedience, and not

military ability,is all that is important.”186 Dalam konsep ketaatan inilah Yosua 6:17

diberikan Allah bagi Israel.

Bagian ini cukup menarik sebab secara eksplisit kata ‫( ֶָרֵ֛ח‬herem) yang berarti

“dikhususkan bagi TUHAN untuk dimusnahkan” pada Yosua 6:17 memiliki beberapa

pemaknaan. Dalam bagian lain di Alkitab, kata ini digunakan dalam pemahaman sebagai

berikut:

1. Sebagai sebuah hadiah atau persembahan bagi Allah (Bilangan 18:14; Yehezkiel

44:29; Imamat 27:21, 28,29; Mikha 4:13)

2. Sebagai sebuah keputusan hukum. Bentuk Hophal kata ini muncul dalam

Keluaran 22:19 sebagai sebuah hukuman terhadap penyembahan berhala.

Sedangkan dalam Imamat 27:29, kata ini merujuk kepada seseorang yang dikutuk,

dan dalam Ezra 10:8, kata ini juga bisa berarti sebuah bentuk pengasingan

seseorang dari komunitas.

186
Mitchel, A Reading of the Book of Joshua, 51.
3. Sebagai tindakan perang dan penghancuran. Digunakan dalam seluruh kitab

Ulangan hingga 2 Raja-Raja, juga dalam Bilangan 21:2, 3; Yesaya 11:15; 34:2,5;

37:11; 43:28; Yeremia 25:9; 50:21, 26; 51:3; Mikha 4:13; Zakharia 14:11;

Maleakhi 3:24; Daniel 11:44; 1 Tawarikh 2:7; 4:41; 2 Tawarikh 20:23; 32:14.187

Dalam bagian ini, kata herem dapat dilihat dalam nuansa pertama sebagai sesuatu yang

diberikan pada Allah sebagai persembahan sulung. Hal ini berhubungan dengan konsep

herem sebagai bagian dari ibadah. Sedangkan dalam nuansa kedua dan ketiga, tanah

Kanaan ditetapkan Allah untuk dihancurkan demi memisahkan Israel dari segala

pengaruh Kanaan, sebab tanah Kanaan harus menjadi tanah yang Kudus di mana umat

Allah yang Kudus akan diam bersama-sama dengan Allah di sana. Karena itu, unsur

ketidak-kudusan seharusnya dibuang atau diasingkan dari tanah itu melalui pemusnahan

total bagi seluruh makhluk yang hidup di dalamnya.188 Dalam bagian ini, maka

penghancuran total yang dilakukan dilihat sebagai sebuah tuntutan kesetiaan dan ketaatan

Israel pada Allah untuk menjaga kekudusan. Hal serupa didukung dengan penafsiran

Rachel M. Billings yang menyatakan bahwa panggilan untuk melakukan penaklukan total

atas tanah Israel harusnya dilihat sebagai satu bagian dari kesetiaan Israel dan pemenuhan

janji Allah.189

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa perang di dalam kitab Yosua

memiliki kesamaan dengan beberapa budaya Timur Dekat Kuno yang melihat perang

187
Mitchel, A Reading of the Book of Joshua, 55.
188
Hawk, Joshua, 98-103.
189
Rachel M. Billings, Israel Served the Lord: The Book of Joshua as Paradoxical Portrait of
Faithful Israel (Notre Dame, Indiana: University of Notre Dame Press, 2013), 14.
sebagai sesuatu yang tidak terpisah dari penyembahan kepada Allah. Kehadiran Allah di

dalam perang untuk memimpin umat-Nya menunjukkan intervensi langsung Allah bagi

kemenangan Israel. Kehadiran Allah sebagai pemimpin perang Israel juga menuntut

adanya sebuah kesetiaan dan juga ketaatan dari Israel kepada Allah, sehingga perang

dalam kitab Yosua berbeda dengan peristiwa peperangan kosmik dalam Keluaran 14-15,

sebab dalam bagian ini partisipasi Israel dalam perang menjadi satu bagian penting dalam

bukti kesetiaan dan ketaatan Israel kepada Allah sang pemimpin perang.

Aspek lain yang kembali muncul dalam bagian ini adalah aspek perang sebagai

bagian dari bentuk penghukuman Allah bagi orang Kanaan. Dalam hal ini, Israel sebagai

umat Perjanjian berperan sebagai instrumen penghakiman Allah bagi Kanaan, sehingga

pemusnahan total Kanaan bukan hanya untuk menjaga Israel agar tidak tercemari oleh

pengaruh dan gaya hidup bangsa Kanaan namun juga sebagai sebuah bentuk keputusan

hukum yang Allah sudah tetapkan atas Kanaan.

Kitab Hakim-Hakim

Selain kitab Yosua yang mengisahkan mengenai perang dalam masa awal bangsa

Israel masuk ke tanah Kanaan, kitab Hakim-hakim juga memuat beberapa bentuk

peperangan dalam konteks yang berbeda dan lebih berkembang. Dalam bagian ini, perlu

sekali memahami bahwa kitab Hakim-Hakim memiliki penekanan yang berbeda

dibandingkan kitab Yosua. Dalam Yosua, peperangan yang terjadi adalah sebuah bentuk

perebutan wilayah, sedangkan di dalam kitab Hakim-Hakim lebih dipahami sebagai

upaya mempertahankan wilayah yang sudah direbut.


Nuansa mempertahankan wilayah berhubungan erat dengan kondisi Israel di

Hakim-Hakim 1, dimana Israel gagal menghalau penduduk asli sesuai perintah Allah.

Ketidaktaatan Israel ini membawa konsekuensi dimana bangsa-bangsa tersebut dapat

menjadi musuh dan jerat bagi Israel (Hakim-Hakim 2:3). Dalam kondisi seperti ini, Gunn

menyatakan bahwa dalam ketidaktaatan Israel, Allah membawa bangsa-bangsa asing

untuk menjajah Israel dan kemudian Israel akan berteriak minta tolong, dan Allah

kemudian akan membangkitkan pembebas yang akan mengalahkan bangsa-bangsa

tersebut dan membawa umat Israel menikmati “damai”. Inilah pola reward and

punishment yang secara dominan muncul dalam kitab ini.190

Pola “reward and punishment” memang ada dalam kitab Yosua, khususnya pada

cerita Akhan dan kekalahan dari Ai, namun dalam kitab Hakim-Hakim tema ini justru

menjadi bingkai utama dalam melihat konsep perang. Di sisi lain, kondisi Israel sebagai

bangsa yang tinggal dan diam di tanah Kanaan, jelas memberikan paradigma yang

berbeda dengan di masa Yosua. Dengan demikian perbedaan kondisi ini juga

menunjukkan bahwa adanya pergerakan pemahaman mengenai perang di dalam konteks

Hakim-Hakim.

Pergerakan ini semakin nyata jika kita melihat karakteristik dari kondisi Israel di

masa Hakim-Hakim. Dalam periode ini, setiap daerah memiliki otonomi dan kekuasaan

yang independen, hal ini juga terjadi di antara kota-kota Kanaan masa itu. Tidak ada satu

agama atau pusat politik yang menyatukan dan saling berafiliasi di antara suku-suku yang

ada, sehingga kebebasan setiap suku untuk mengatur dirinya menjadi karakteristik dari

190
David M. Gunn, Judges (Oxford: Blackwell, 2005), 17-18.
masa ini.191 Hal ini menunjukkan kondisi politik dan bentuk pemerintahan cukup berbeda

dibanding pada masa Yosua dan Musa. Selain itu, tiap daerah yang ditempati oleh setiap

suku memiliki otonomi masing-masing sehingga lebih banyak upaya mempertahankan

wilayah melalui perang dilakukan secara lokal, berbeda jika dibandingkan dengan Yosua

atau kitab-kitab Musa yang menunjukkan bahwa perang yang terjadi adalah antara

keseluruhan Israel melawan bangsa lain.

Dari sekian banyak kisah perang yang terjadi dalam kitab Hakim-Hakim, penulis

memilih untuk lebih banyak menyoroti kisah peperangan bangsa Israel melawan Yabin,

Raja Kanaan, dan Sisera panglima perangnya dalam Hakim-Hakim 4-5. Dalam Hakim-

Hakim 4:1-2 dikatakan “Setelah Ehud mati, orang Israel melakukan pula apa yang jahat

di mata TUHAN. Lalu TUHAN menyerahkan mereka ke dalam tangan Yabin, raja

Kanaan, yang memerintah di Hazor. Panglima tentaranya ialah Sisera yang diam di

Haroset-Hagoyim” (Hakim-Hakim 4:1-2 ITB). Jika kita melihat dari segi kesejarahan

yang tercatat, nampaknya kisah ini merupakan peristiwa-peristiwa awal yang terjadi di

masa Israel tinggal di Kanaan. Mengutip George F. Moore dan Lawrence Stegar, Brettler

memperkirakan bahwa kisah Debora ini terjadi lebih dari 100 tahun setelah masa Yosua

atau sekitar akhir abad 13 sM hingga awal abad 12 sM, dengan argumentasi bahwa teks

nyanyian Debora merupakan bagian teks yang paling kuno dari keseluruhan teks Hakim-

Hakim, sehingga tidak dapat dihindarkan bahwa kemungkinan besar teks ini sudah ada

jauh sebelum abad ke 11 sM.192

191
Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 137.
192
Marc Zvi Brettler, The Book of Judges (London, England: Routledge, 2002), 62-63.
Selain menjadi salah satu kisah awal peperangan pasca Israel mendiami Kanaan,

Hakim-Hakim 4-5 juga memiliki keunikan tersendiri dalam bentuk sastranya. Hakim-

Hakim 4-5 tidak hanya berbentuk narasi, namun juga memiliki bagian puisi di dalamnya.

Sebab itu, Brettler menyatakan bahwa “Judges 4 and 5 are complex in a different way –

they include ‘alternate’ tellings in different genres of the ‘same’ story.”193

Hakim-Hakim 4-5 juga memberikan penekanan yang berbeda dalam hal gender.

Webb menyatakan,

The initial focus up on a woman is quite surprising in view of the complete absence of
women from the Othniel and Ehud episodes. The fact that she holds a position of
authority and takes the initiative in relation to the prospective male hero is the first
intimation of a thematic development that will give this particular episode its unique
character.194

Kehadiran sosok Debora menjadi kejutan tersendiri dalam dominasi laki-laki dalam teks

Hakim-Hakim. Hal ini menunjukkan adanya perkembangan tema yang unik yang hendak

ditampilkan dalam karakter Debora. Selain itu, Gunn melihat adanya kemiripan antara

kisah Debora dan Barak dengan kisah Israel melewati laut Teberau, terutama dalam

kemiripan pujian yang terdapat dalam Hakim-Hakim 5 dan Keluaran 15, keduanya

menekankan tema Allah sebagai pahlawan Perang yang menyelamatkan Israel. 195

193
Brettler, The Book of Judges, 22.
194
Barry G. Webb, Book of the Judges (Sheffield, South Yorkshire: Sheffield Academic, 1987),
134.
195
David M. Gunn, Judges, 55.
Eksposisi Hakim-Hakim 4-5

Hakim-hakim 4-5 dimulai dengan bagian formula yang sama dengan sebelum

(Hakim-Hakim 3:7, 12) dan sesudahnya (Hakim-Hakim 6:1, 13:1, dst.). Dikatakan dalam

Hakim-Hakim 4:1 bahwa “orang Israel melakukan pula apa yang jahat di mata TUHAN.”

Kejahatan Israel mendapatkan hukuman dari Allah dengan kehadiran Yabin dan Sisera.

Dan dalam Hakim-hakim 4:2-3 penulis menggambarkan kekuatan raja Yabin dan Sisera

dan lamanya masa penindasan yang dialami oleh Israel.

Nama raja Yabin dari Hazor muncul dalam tiga kitab yang berbeda, yaitu dalam

Yosua, Hakim-Hakim, dan Mazmur. Dalam Yosua 11, dicatat bahwa raja Yabin adalah

pemimpin tertinggi di Kanaan yang berhasil mempersatukan kerajaan-kerajaan di utara

Kanaan untuk melawan Israel, namun pada masa Yosua koalisi kerajaan-kerajaan di utara

Kanaan berhasil dihancurkan dan raja Yabin dibunuh oleh Yosua ketika Israel merebut

kota Hazor. Dalam Hakim-Hakim, raja Yabin dari Hazor diperkirakan adalah keturunan

raja Yabin dalam kitab Yosua, sebab nama Yabin adalah nama dinasti sehingga

kesamaan nama dalam kitab Yosua dan Hakim-Hakim tidak memberikan indikasi bahwa

teks tersebut merujuk pada satu orang yang sama.196 Selain kesamaan nama, raja Yabin

dalam kitab Hakim-Hakim juga memiliki kemampuan untuk mengumpulkan cukup

banyak sekutu untuk melawan Israel.197

196
Arnold G. Fruchtenbaum, Judges and Ruth (San Antonio, Texas: Ariel Ministries, 2007), 61.
197
Lih. Arthur E. Cundall dan Leon Morris, Judges and Ruth (Downers Grove, Illinois:
InterVarsity,1968), 82. Cundall menyatakan bahwa kemungkinan Sisera adalah seorang raja yang lebih
rendah dibandingkan Yabin yang di dalam koalisi kerajaan-kerajaan Kanaan dia terpilih sebagai pemimpin
militer Kanaan. Bdk. Walton, Matthews, dan Chavalas, The IVP Bible Background Commentary, 250. Hal
ini dikuatkan dengan penelitian Walton dimana jumlah kereta tempur berbahan besi yang berjumlah 900
buah merupakan sesuatu yang hampir mustahil terjadi pada masa tersebut. Bdk. Nigel Stillman dan Nigel
Tallis, Armies of the Ancient Near East 3,000 BC to 539 BC (Cambridge, England: Wargames Research
Group, 1984), 35. Menurut data dari Nigel Stillman dan Nigel Tallis, satu kerajaan kota di Kanaan secara
Yang menarik, Hakim-Hakim 4 justru mengangkat sosok seorang wanita bernama

Debora di dalam sebuah kondisi yang genting seperti ini. Dalam Hak. 4:4, fokus

mengenai kekuasaan Yabin dan kekuatan militer Sisera serta merta diganti pada satu

sosok wanita bernama Debora. Meskipun dalam budaya Israel dan Timur Dekat Kuno

peran wanita sangatlah minim dalam masyarakat akan tetapi penulis secara sengaja justru

mencatat nama Debora dengan menekankan lebih kepada peranan Debora sebagai

hakim.198

Niditch melihat bahwa pribadi Debora dalam kisah ini bukan hanya dilihat

sebagai nabiah dan hakim, namun juga sebagai seorang kesatria perempuan.199

Permintaan Barak agar Debora hadir dalam peperangan bukan disebabkan oleh ketakutan

Barak, namun oleh karisma Debora sebagai nabiah pilihan Allah dan kesatria perang bagi

Israel. Menambahkan hal ini, Niditch menyatakan,

Barak’s declaration that he will go to battle only if accompanied by Deborah is not to be


interpreted as cowardice; rather, within the context of the worldview of the literature, he
is wise to know that victory comes with the presence of God’s favorite.200

umum hanya memiliki 10 hingga 50 kereta tempur dengan jumlah pasukan maksimal 2000 orang. Lih.
Susan Niditch, Judges (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox, 2008), 62. Hal kedua yang
mendukung teori koalisi ini adalah penggunaan kata ‫( ִֽמ י ָֹ֗ו ַח‬Haggoyim) dalam Hak. 4:2 yang memiliki arti
literal “of the nations”. Bdk. Walton, Matthews, dan Chavalas, The IVP Bible Background Commentary,
250. Kata haroset-haggoyim kemungkinan besar merujuk kepada beberapa kerajaan kota di daerah Galilea
hingga Fililstin menurut penelusuran surat El Amarna. Dengan demikian, sangat memungkinkan jika 900
kereta tempur diperoleh berdasarkan gabungan atau koalisi dari beberapa kerajaan di daerah Kanaan. Dan
dengan kekuatan militer yang sangat besar inilah Raja Yabin, Sisera, dan beberapa koalisinya mencoba
untuk menguasai Israel.
198
Tammi J. Schneider, Judges (Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 2000), 63-66.
199
Niditch, Judges, 65. Gambaran pahlawan perang wanita dalam literatur Timur Dekat Kuno
sering kali merujuk kepada figur dewi-dewi. Lih. Ensiklopedia Alkitab Masa Kini: A-L, s.v. “Asytoret”.
Dalam tradisi Kanaan figur Asytoret diyakini bukan hanya sebagai dewi kesuburan dan asmara, namun
juga sebagai dewi perang. Kemungkinan gambaran yang sama juga dikenakan dalam pemahaman terhadap
Debora.
200
Niditch, Judges, 65.
Dalam hal ini, kehadiran figur yang diperkenan Allah sangat penting dalam peperangan. I

ni mengingatkan pada kehadiran Musa dalam peperangan yang dipimpin Yosua ketika

melawan Amalek dalam Keluaran 17. Schneider menyatakan “Deborah’s job is unique in

that she was one of only two people to whom people went for judgement, the other was

Moses when the Israelites were in the desert.”201 Allah menggunakan orang-orang yang

tidak terduga, termasuk para wanita, untuk menunjukkan bahwa Allah sendiri yang

berperang bagi Israel.

Setelah pasukan Sisera dipukul kalah oleh Barak dan Debora, Sisera

meninggalkan pasukannya. Dalam pelarian itu, Sisera memilih untuk bersembunyi dalam

kemah Yael. Hal ini dilakukan sebab kemungkinan perkemahan ini dekat dengan kota

Hazor, tujuan akhir Sisera untuk berlindung, dan juga sebab sangat sedikit kemungkinan

tentara Israel akan mencoba menggeledah kemah seorang wanita untuk mencari pria

asing sebab ini bertentangan dengan etika setempat.202 Tetapi perhitungan Sisera justru

berbalik 180 derajat, sebab “Yael, isteri Heber, mengambil patok kemah, diambilnya pula

palu, mendekatinya diam-diam, lalu dilantaknyalah patok itu masuk ke dalam pelipisnya

sampai tembus ke tanah sebab ia telah tidur nyenyak karena lelahnya maka matilah orang

itu” (Hakim-Hakim 4:21 ITB). Seorang panglima perang yang gagah berani dan penindas

Israel justru dipermalukan lewat kekalahan dan kematian di tangan wanita (Debora dan

Yael).203 Tidak berlebihan jika Niditch berkomentar bahwa “So Israel, lacking chariotry

and relying on a war plan of tricksterism, gains the upper hand, and with God’s help turns

201
Schneider, Judges, 68.
202
Cundall dan Morris, Judges and Ruth, 88.
203
Cundall dan Morris, Judges and Ruth, 89.
out to be stronger than the enemy.”204 Dalam kisah ini kemenangan perang juga tidak

dilihat dari kekuatan militer, namun justru didasarkan pada pertolongan Allah yang

menggunakan cara yang tidak biasa.

Dalam bagian selanjutnya, penulis kitab Hakim-Hakim memberikan penekanan

terhadap peristiwa perang dalam Hakim-Hakim 4-5 dengan membandingkannya terhadap

perang dalam Keluaran 15. Dalam Hakim-Hakim 5 dicatat bentuk nyanyian kuno yang

memiliki kesamaan tema sebagaimana dalam Keluaran 15. Nyanyian Debora

menggemakan kembali tema Allah sebagai satria perang dalam Keluaran 15.

Meskipun demikian, Niditch melihat ada perbedaan antara nyanyian Perang

dalam Keluaran 15 dan Hakim-Hakim 5. Jika di dalam Keluaran 15 Allah secara khusus

digambarkan menggunakan air, angin, dan lautan untuk meluluh lantakan pasukan Mesir,

dalam bagian ini pahlawan-pahlawan Israel menjadi bagian penting bagi instrumen Allah

dalam memenangkan peperangan. Dalam nyanyian Debora peran manusia mengambil

bagian yang cukup penting dalam kolaborasi antara intervensi Allah dan inisiatif

pahlawan-pahlawan Israel untuk merebut kemenangan.205

Nyanyian Hakim-Hakim juga menggambarkan bagaimana Allah menggunakan

pribadi-pribadi yang tidak diduga. Debora ditampilkan mencolok bukan hanya sebagai

nabi, namun juga sebagai ibu (Hakim-Hakim 5:7). Predikat ini sengaja dicantumkan

untuk membandingkan Debora dengan ibu dari Sisera.206 Debora dilukiskan sebagai

seseorang yang bangkit dan maju berperang, bukan sebagai seorang ibu yang menanti

204
Niditch, Judges, 67.
205
Niditch, Judges, 76. Hal ini nampak dalam beberapa bagian di Hak. 5:2,6,7,8,12,13,14,15, dst.
206
Schneider, Judges, 89.
anak laki-lakinya pulang berperang.207 Selain itu, penggunaan kata perintah aktif juga

lebih sering dikenakan pada Debora, sebaliknya, Barak digambarkan lebih banyak

menerima perintah baik dari Allah maupun Debora. Hal ini menunjukkan bagaimana

peranan utama justru dipegang oleh Debora, seorang wanita, daripada Barak.208

Dalam Hakim-Hakim 5:6, penulis juga mengangkat nama Samgar dan Yael

sebagai orang-orang non-Israel yang Allah pakai untuk menyelamatkan Israel.209

Kehadiran pribadi-pribadi tak terduga ini disandingkan dengan tindakan Allah yang

Maha Kuasa melalui alam ciptaan-Nya. Dalam Hak. 5:4-5 dikatakan “TUHAN, ketika

Engkau bergerak dari Seir, ketika Engkau melangkah maju dari daerah Edom,

bergoncanglah bumi, tirislah juga langit, juga awan tiris airnya; gunung-gunung yakni

Sinai bergoyang di hadapan TUHAN, di hadapan TUHAN, Allah Israel.” Ini kembali

menggambarkan Allah sebagai dewa petir yang juga terdapat dalam gambaran-gambaran

Timur Dekat Kuno mengenai Marduk ataupun dewa-dewa dari beberapa bangsa lain.210

Hal yang sama juga dijabarkan Hakim-Hakim 5:20-21, yaitu bagaimana Allah

berperang melalui bintang-bintang dan sungai. Dikatakan bahwa “Dari langit berperang

bintang-bintang, dari peredarannya mereka memerangi Sisera. Sungai Kison

menghanyutkan musuh, Kison, sungai yang terkenal dari dahulu kala itu. Majulah sekuat

tenaga, hai jiwaku!” (Hakim-Hakim 5:20-21). Nama sungai Kison sengaja dicatat bukan

untuk merujuk pada letak geografis namun pada sejarah penciptaan, dimana Allah yang

207
Bdk. Antara Hak. 5:12-15 dengan Hak. 5:28-30.
208
Schneider, Judges, 90. Bdk. Niditch, Judges, 78. Niditch menambahkan bahwa “Debora is the
savior in the difficult times.... These are marginal times in which a woman can lead the men.”.
209
Schneider, Judges, 88.
210
Niditch, Judges, 78-79.
mencipta juga adalah Allah yang berperang bagi Israel. Jadi perang dalam bagian ini juga

mengusung pemahaman mengenai perang dalam dimensi kosmik,211 di mana unsur

manusia (human) dan unsur-unsur yang melampaui manusia (metahuman), seperti

bintang dan sungai, bekerjasama di dalam perang kosmik ini.

Sekalipun memiliki kesamaan dalam beberapa bagian mengenai peranan unsur

yang tidak terduga dalam perang kosmik di Keluaran 15 dan Hakim-Hakim 5, Hakim-

Hakim 5:8a memuat konsep perjanjian serta berkat dan kutuk seperti yang terdapat dalam

Yosua 24:19-20 sebagai alasan perang terjadi. Peperangan dalam Hakim-Hakim 4-5 tidak

hanya bernuansa politik namun juga teologis, dimana perang terjadi akibat ketidaksetiaan

Israel terhadap perjanjian dengan Allah. Perang yang demikian memiliki dua buah aspek,

yaitu aspek pembebasan dan aspek hukuman.212 Aspek pembebasan berkaitan dengan

tindakan Allah dalam kesetiaanNya terhadap umat pilihan-Nya, sedangkan aspek

hukuman berkaitan dengan dosa Israel sebagai alasan munculnya serangan dari Raja

Yabin dan Sisera.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsep perang dalam Hakim-Hakim

4-5 memiliki nuansa kosmik dimana peperangan bukan hanya memakai instrumen

manusia (human) namun juga unsur-unsur alam (metahuman). Selain itu, ada juga unsur-

unsur yang tidak terduga, seperti kepemimpinan seorang wanita dan bantuan dari pihak-

pihak non-Israel, menjadi bagian yang unik yang ditampilkan oleh Hakim-Hakim 4-5

sebagai sebuah presentasi kekuasaan dan cara Allah yang unik untuk menyelamatkan

umat-Nya. Berbeda dengan perang-perang sebelumnya dalam kitab Keluaran atau

211
Niditch, Judges, 80.
212
Cundall dan Morris, Judges and Ruth, 95.
Ulangan, perang dalam Hakim-Hakim 4-5 memuat unsur lain selain pembebasan, yaitu

unsur hukuman (judgement) yang ditujukan bukan bagi bangsa lain namun justru bagi

Israel. Dalam bagian ini ketidaksetiaan Israel terhadap perjanjian menjadi alasan

munculnya perang dalam Hakim-Hakim 4-5 sebagai hukuman Allah bagi Israel.213

Kitab Sejarah Masa Kerajaan dan Pembuangan

Masuknya Israel ke tanah Kanaan tidak serta merta menjadikan Israel memiliki

kesadaran sebagai satu bangsa. Schmidt menjelaskan bahwa pada masa Hakim-Hakim,

setelah pembagian tanah Kanaan, tiap suku nampaknya saling tidak terhubung dan

membangun kehidupannya secara lokal, mereka saling melayani hanya dalam kaitan

dengan ibadah dan persembahan di bukit-bukit pengorbanan.214 Dalam kondisi ini, tidak

mengherankan jika perang yang dilakukan oleh para Hakim seringkali bersifat lokal dan

bertujuan untuk menyelamatkan penduduk lokal atau kelompok suku tertentu. Kondisi

yang terjadi di masa Hakim-Hakim berubah cukup drastis karena beberapa pengaruh

sosio-politik. Lasor mencatat bahwa pada masa setelah Hakim-Hakim, Israel yang saat

itu menjadi kekuatan adikuasa di daerah Kanaan mendapatkan ancaman dengan

bangkitnya kerajaan Filistin dengan persenjataan dan teknologi perang yang terbuat dari

besi.215 Selain bangkitnya Filistin, tekanan politik, baik lewat perang maupun kemajuan

kekuatan militer penduduk sekitar Kanaan, pada sekitar tahun 1000 sM, memimpin pada

213
Lih. Yos. 7. Unsur ini sebenarnya sudah muncul dalam kisah kekalahan Israel melawan Ai,
dimana ketidaktaatan Akhan terhadap perintah Allah menjadi penyebab kekalahan Israel.
214
Werner H. Schmidt, Old Testament Introduction (New York: Crossroad, 1990), 16-19.
215
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 333.
berdirinya kerajaan dan bentuk pemerintahan yang lebih baku.216 Perubahan yang terjadi

dari masa Hakim-Hakim hingga terbentuknya kerajaan Israel menyebabkan pergerakan

pemikiran dan pemahaman mengenai perang. Dalam bagian ini, penulis merasa perlu

menangkap dan mengungkapkan pergerakan pemahaman mengenai perang, dalam kitab 1

Samuel, 1 Raja-Raja, hingga Esther.

Kitab 1 Samuel

Kitab Samuel adalah salah satu kitab penting yang mencatat perubahan bentuk

pemerintahan Israel dari zaman Hakim-Hakim menuju pemerintahan monarki.

Brueggemann menyebut perubahan yang terjadi pada masa Samuel sebagai bentuk

perubahan sosial yang radikal dan drastis dalam pembentukan kembali suatu kekuatan

sosial.217 Dengan memahami bahwa kitab Samuel ditulis pada masa hidup Samuel maka

tak bisa dipungkiri bahwa kitab Samuel juga memuat kondisi perubahan dari masa pre-

monarki hingga masa kejayaan kerajaan Israel.218

216
Schmidt, Old Testament Introduction, 20.
217
Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville, Kentucky: The Westminster John
Knox, 1990), 1.
218
Lih. Tony W. Cartledge, 1 and 2 Samuel (Macon, Georgia: Symth and Helwys, 2001), 4.
Perdebatan kepenulisan kitab Samuel cukup rumit. Beberapa tradisi kuno mencoba mendukung
kepenulisan dari Samuel sebagai penulis utama kitab ini, sedangkan beberapa informasi seperti kematian
Samuel nampaknya ditambahkan selanjutnya oleh nabi Natan dan Gad. Bdk. Longman dan Dillard,
Introduction to the Old Testament, 153, 156-157. Berbeda dengan pandangan tradisional, beberapa
pandangan yang mendukung pendekatan kritik sumber menyatakan “Since Samuel is part of the
Deuteronomic History, most scholars view the final stages of its composition as the work of editors-authors
during the period of the exile”. Hal ini berhubungan dengan ada indikasi terhadap beberapa unsur teologis,
seperti unsur anti-monarkial dan pesimisme pasca pembuangan, yang nampak pada literatur-literatur
pembuangan. Meskipun demikian, pandangan ini juga memiliki kelemahan sebab, menurut Longman,
asumsi anti-monarki sebenarnya juga dapat merujuk kepada kondisi transisi pra-monarki. Lih. Cartledge, 1
and 2 Samuel, 5. Oleh karena itu, penulis lebih setuju dengan pandangan Cartledge yang menyatakan
bahwa sumber-sumber kepenulisan kitab Samuel nampaknya sudah terbentuk sejak zaman Samuel baik
secara tertulis maupun oral. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa kepenulisan kitab Samuel sangat
1 Samuel juga memberikan keterangan mengenai bagaimana peranan Allah dalam

membentuk monarki Israel dan bahkan melindungi Israel. Salah satu bentuk kekuasaan

Allah dan tindakan nyata Allah nampak pada 1 Samuel 4-6 yang seringkali dikenal

sebagai narasi Tabut Perjanjian.219 Kisah ini merupakan salah satu bagian penting dalam

awal masa pemerintahan Samuel sebagai hakim atas Israel. Kisah ini juga merupakan

salah satu bagian yang menarik dari sekian banyak kisah perang Israel sebab perang ini

justru dilakukan dan dikerjakan oleh Allah secara pribadi melalui Tabut Perjanjian yang

direbut oleh bangsa Filistin dari tangan Israel. Brueggemann menyatakan bahwa bagian

ini sangat penting dipahami sebab kisah ini merupakan penggambaran dari tindakan

Allah yang tak terlihat dan penuh kuasa, dimana hanya Tabut Perjanjian saja yang

menjadi satu-satunya karakter yang bertindak dalam kisah peperangan ini. Oleh

karenanya, Brueggemann menyebut bagian ini sebagai tindakan-tindakan Allah yang

secara teologis bersifat “primitip”.220 Cartledge juga menyatakan bahwa 1 Samuel 4-6

merupakan salah satu bagian kisah yang penting sebagai demonstrasi kemahakuasaan

Allah Israel dibandingkan dengan dewa-dewa bangsa lain.221

mungkin dimulai sejak masa hidup Samuel, sekitar tahun 1050 sM, kemudian dilanjutkan melalui
peredaksian hingga dalam bentuknya yang sekarang.
219
Bdk. Brueggemann, First and Second Samuel, 28-48; Robert P. Gordon, 1 and 2 Samuel
(Sheffield, South Yorkshire: Sheffield Academic, 1993), 33-37; Cartledge, 1 and 2 Samuel, 69-70.
220
Brueggemann, First and Second Samuel, 28-29. Theologically “primitive” of Yahweh acts
merupakan sebuah pemahaman teologis kuno dimana Allah secara langsung bertindak melalui caranya
yang ajaib tanpa perantara agen atau pihak kedua untuk melakukan tindakan hukuman ataupun
pembebasan. Hal ini sebagaimana dipahami dalam konsep agama kuno bahwa para ilah atau dewa dapat
bertindak melalui alam atau kekuatan supranatural lainnya, seperti Baal dengan kekuatan petir, Ra dengan
kekuatan matahari, dan osiris dengan kekuatan air.
221
Cartledge, 1 and 2 Samuel, 69.
Eksposisi 1 Samuel 4-6.

1 Samuel 4-6 dibuka dengan berita kekalahan Israel dalam perang melawan

Filistin. Sekalipun hasil dari peperangan ini dicatat dengan jelas, namun penulis kisah ini

tidak memberikan indikasi mengenai penyebab terjadinya perang antara Filistin dan

Israel. Bible Background Commentary menyatakan bahwa kemungkinan besar bangsa

Filistin terbentuk pasca invasi militer Mesir sekitar tahun 1200 sM, dimana sebagian

penduduk Kreta, Yunani, dan Anatolia yang bermarkas di Siprus menyingkir menuju

daerah selatan Palestina dan membentuk sebuah komunitas baru.222 Dengan menguasai

lima kota besar di sebelah selatan Palestina, Filistin pada masa itu merupakan salah satu

kerajaan yang cukup diperhitungkan di daerah Timur Tengah.

Sejarah permusuhan yang panjang antara Israel dan Filistin sudah di mulai pada

masa Yosua dan Hakim-Hakim.223 Letak geografis Israel yang strategis menjadikannya

salah satu jalur perdagangan yang cukup ramai dilalui jika ingin menuju Mesir dari

Mesopotamia, demikian pula sebaliknya.224 Peperangan yang kerap terjadi antara Israel,

Filistin, dan bangsa-bangsa sekitarnya, tidak terlepas dari kepentingan politik untuk

menguasai jalur perdagangan ini. Ditambah lagi janji Allah yang menyatakan bahwa

“Aku akan menentukan batas daerahmu dari Laut Teberau sampai Laut Filistin dan dari

padang gurun sampai sungai Efrat, sebab Aku akan menyerahkan penduduk negeri itu ke

dalam tanganmu, sehingga engkau menghalau mereka dari depanmu” (Keluaran 23:31).

222
Walton, Matthews, dan Chavalas, The IVP Bible Background Commentary, 285.
223
Brueggemann, First and Second Samuel, 29.
224
Philip J. King dan Lawrence E. Stager, Kehidupan orang Israel Alkitabiah, terj. Robert Setio
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 255.
Penulis tidak memberi alasan atau penyebab perang dalam 1 Samuel 4-6 karena ia

ingin memfokuskan pada Tabut Allah dalam peristiwa ini.225 Hal ini dibuktikan dari

kehadiran Tabut Allah memenuhi keseluruhan pasal 4 hingga 6 dari kitab 1 Samuel.

Dalam 1 Samuel 4:1b-3 dikisahkan bagaimana Israel kalah dalam peperangan melawan

Filistin. Kekalahan ini membangkitkan pemikiran para tua-tua bangsa Israel untuk

mengikutsertakan Allah dalam peperangan.

Di sini tampak sebuah kesadaran bahwa kekalahan bangsa Israel atas Filistin

disebabkan oleh ketidakhadiran Allah dan bukan karena kekuatan militer Filistin. Dalam

pemahaman Israel kuno, kehadiran Allah seringkali dihubungkan dengan kehadiran tabut

Perjanjian. Brueggemann menyatakan bahwa “The ark is trusted by Israel as an emblem

and embodiment of divine power, which will surely turn the battle in their favor.”226

Korelasi antara tabut Perjanjian dan kehadiran Allah nampaknya juga dipahami

bangsa-bangsa non-Israel. Hal ini dibuktikan dengan penyataan dalam 1 Samuel 4:6b-7a,

“Ketika diketahui mereka, bahwa tabut TUHAN telah sampai ke perkemahan itu,

ketakutanlah orang Filistin, sebab kata mereka: ‘Allah mereka telah datang ke

perkemahan itu,’” Hal ini tidak mengherankan sebab Walton menyatakan

In the divine warrior motif the deity is fighting the battles and defeating the deities of the
enemy. In Assyria Nergal is the king of battle, and Ishtar is viewed as a war goddess. The
Canaanite Baal and the Babylonian Marduk are divine warriors.... In most situation
prayers would be made and omens asked to assure the god’s presence. Standards or
statues of the deity were ussually carried to symbolize their presence.227

225
Hans Wilhelm Hertzberg, 1 and 2 Samuel (Philadelphia, Pennsylvania: The Westminster Press,
1964), 47.
226
Brueggemann, First and Second Samuel, 30.
227
Walton, Matthews, dan Chavalas, The IVP Bible Background Commentary: Old Testament,
286.
Sekalipun tabut Perjanjian hadir di tengah Israel dan membawa kegentaran bagi

bangsa Filistin (ayat 7), ironisnya penulis justru mengisahkan bahwa kekalahan Israel

jauh besar saat Tabut Perjanjian hadir di tengah mereka (ayat10). Kekalahan ini

memunculkan sebuah permasalahan teologis tersendiri bagi umat Israel, sebab dalam

pemahaman Israel masa itu, kehadiran Allah menjadi jaminan dari kemenangan. Akan

tetapi, dalam bagian ini kehadiran Allah melalui tabut Perjanjian tidak merubah hasil

perang, sehingga kekalahan dalam perang tidak dapat selamanya dipahami sebagai

korelasi dari ketidak-hadiran Allah. Dalam hal ini kemenangan atau kekalahan dalam

perang, agaknya, dipahami lebih sebagai bagian dari kehendak Allah.228

Penulis menggambarkan kondisi ini berbeda dengan kisah perang yang terjadi

sebelumnya, dimana Allah selalu memberikan kemenangan dan menyatakan kehadiran

serta pimpinan-Nya lewat representasi tabut Perjanjian di depan umat Israel. Keluarnya

Israel dari tanah Mesir, pertempuran melawan Amalek, juga runtuhnya tembok Yerikho

menjadi bukti nyata kehadiran Allah dalam representasi tabut Perjanjian. Sedangkan

dalam bagian ini, kehadiran Tabut Perjanjian bukan hanya tidak mengubah kondisi

apapun namun justru memberikan kekalahan yang lebih besar bagi pihak Israel.

Ekspresi kekalahan ini diwakili secara unik oleh perkataan dari seorang wanita

yang tak bernama, istri Pinehas, dimana ia memberikan nama anaknya Ikabod yang

berarti "Telah lenyap kemuliaan dari Israel". Hal ini terkait dengan peristiwa

dirampasnya Tabut Perjanjian bagi Israel juga berarti hilangnya kemuliaan Allah di

228
Brueggemann, First and Second Samuel, 32.
tengah-tengah Israel. Israel memahami Tabut Perjanjian bukan hanya melambangkan

kehadiran Allah namun juga manifestasi kemuliaan Allah.229

Melalui kisah ini, Allah ingin mengajarkan bahwa keberadaan-Nya tidak terikat

oleh sesuatu yang bersifat jasmani. Allah adalah pribadi yang independen, yang dapat

berkehendak dan bertindak terlepas dari semua ikatan pemahaman manusia. “Israel must

recognize that the Lord is present even when the place of his self-revelation has

vanished.230” Poin ini menjadi sebuah perkembangan dari pemahaman Alkitab mengenai

kehadiran Allah dalam perang.

Dalam 1 Samuel 5:1-2 dapat dikatakan bahwa bangsa Filistin memaknai

kemenangan perang atas Israel sebagai kemenangan perang Dagon atas Yahweh.

Brueggemann menambahkan bahwa “placing the ark next to Dagon shows a dramatic

submission of Yahweh to Dagon.”231 Akan tetapi di bagian selanjutnya, penulis secara

unik justru membalikkan gambaran ini dengan menjelaskan bagaimana Allah sendiri

yang berperang melawan Dagon dan bangsa Filistin secara luar biasa. Dalam 1 Samuel 5

ada 3 bagian dimana secara eksplisit penulis menggambarkan cara Allah memerangi

bangsa Filistin. Pertama dalam 1 Samuel 5:3 dikatakan “Ketika orang-orang Asdod

bangun pagi-pagi pada keesokan harinya, tampaklah Dagon terjatuh dengan mukanya ke

tanah di hadapan tabut TUHAN; lalu mereka mengambil Dagon dan mengembalikannya

ke tempatnya” (1Samuel 5:3 ITB). Bagian ini ingin membalikkan konsep Allah Yahweh

229
Hertzberg, 1 and 2 Samuel, 50.
230
Hertzberg, 1 and 2 Samuel, 51.
231
Brueggemann, First and Second Samuel, 35.
sebagai Allah yang ditaklukkan oleh Dagon. Hertzberg menyatakan “The statue of Dagon

is found the next morning lying on its face, in the attitude of a slave before his master, a

vassal before his king, or a worshipper before his god.”232

Keith Bodner menghubungkan bagian ini dengan perintah Allah dalam Keluaran

20:3, “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku” sebagai sebuah tanda bahwa

hancurnya patung Dagon adalah bukti tidak adanya Allah lain yang sanggup

disandingkan bersama dengan Yahweh.233 Kondisi patung Dagon yang kepala dan

tangannya terpenggal memberikan gambaran akan ketidakberdayaan dari Dagon.

Gambaran serupa juga ditemukan dalam teks Ugarit, dimana dewi Anat membawa kepala

dan tangan yang terpenggal dari musuh-musuhnya sebagai bukti kekuasaan Anat dalam

perang.234 Hal ini seperti membalikkan kebanggaan Filistin terhadap kemenangan perang

mereka atas Israel, serta menunjukkan kepada mereka ketidakberdayaan Dagon

dihadapan Allah Yahweh.

Dalam 1Samuel 5:6, Allah bukan hanya berhadapan dengan Dagon, namun secara

khusus Allah Yahweh menyatakan kuasanya atas orang Filistin melalui tulah yang

mengingatkan pada peristiwa tulah di Mesir. Frasa “tangan TUHAN” dalam bagian ini

setara dengan frasa “tangan Allah” dalam Keluaran 8:19 ketika Allah memberikan tulah

atas Mesir. Selain itu, frasa “tangan TUHAN” juga menyatakan ironi dimana Allah

Yahweh yang tabut-Nya direbut dari Israel adalah Allah yang berkuasa memberikan

232
Hertzberg, 1 and 2 Samuel, 54.
233
Keith Bodner, 1 Samuel (Sheffield, South Yorkshire: The Sheffield Phoenix, 2009), 52.
234
Walton, Matthews, dan Chavalas, The IVP Bible Background Commentary, 287.
hukuman bagi Filistin, sedangkan dari Dagon yang sebelumnya diagungkan dalam

kemenangan perang adalah allah yang tak mampu menolong Filistin; allah yang “tanpa

tangan”.235 Tiga kali kekalahan Dagon di Asdod, Gath, dan Ekron menunjukkan bahwa

Allah Yahweh adalah pemenang sesungguhnya.236 Hal ini juda dibuktikan melalui

pengembalian Tabut Perjanjian dalam 1Samuel 6:2 sebagai pengakuan Filistin akan

ketidakmampuan mereka, termasuk di dalamnya pengakuan akan kekalahan.237

Lebih lanjut, penulis menjelaskan bahwa kekalahan yang dialami oleh bangsa

Filistin sesungguhnya jauh lebih besar dibandingkan kekalahan yang dialami oleh Israel.

Dalam 1Samuel 6:4-5 penulis menyatakan bahwa kekalahan Filistin bukan hanya

dirasakan oleh orang-orang Filistin namun juga oleh alam.238 Hal ini juga

mengungkapkan kembali pola keluarnya Israel dari tanah Mesir dimana saat itu Mesir

juga mengalami kekalahan secara holistik, baik dialami oleh orang Mesir maupun alam di

Mesir.

Pola keluaran ini semakin dikuatkan dengan pernyataan dalam 1Samuel 6:6 yang

secara eksplisit menyinggung langsung kejadian di Mesir. Penyataan para peramal

Filistin untuk jangan mengeraskan hati lagi menunjukkan sebuah sebuah penghormatan

dan ketaatan yang seharusnya diberikan oleh orang Filistin kepada Allah Perjanjian.

Penyataan hormat yang diberikan secara langsung oleh orang-orang Filistin pada Allah

235
Brueggemann, First and Second Samuel, 38.
236
Hertzberg, 1 and 2 Samuel, 55.
237
Hertzberg, 1 and 2 Samuel, 57.
238
Hertzberg, 1 and 2 Samuel, 58.
Yahweh menjadi sebuah ironi terhadap sikap umat Israel sebagai umat Perjanjian justru

tidak memprioritaskan dan menghargai Allah.239

Selain pola Keluaran, Brueggemann secara khusus juga melihat bahwa perang

dalam 1Samuel 4-6 juga menunjukkan pola baru yang muncul dalam perkembangan

pemahaman perang, yaitu pola pembuangan. Keluarnya Tabut Perjanjian dari Filistin

dengan menggunakan kereta yang ditarik oleh sepasang lembu dan membawa banyak

persembahan dari bangsa Filistin bukan hanya menunjukkan sebuah bentuk penyambutan

atas pahlawan yang memenangkan peperangan, namun juga membawa motif

pembuangan dimana tabut Perjanjian selama 7 bulan ada dalam masa pembuangan di

tanah Filistin dan kini pulang dengan kemenangan Ilahi.240 Hal ini menunjukkan bahwa

Allah sesungguhnya tidak pernah diam. Kekalahan Israel merupakan bagian dari

kehendak Allah untuk mendidik umat Israel serta menentang pola berpikir bangsa

Filistin. Selain itu, bagian ini juga menjadi gambaran tentang apa yang akan terjadi atas

Israel dalam ketidaktaatan mereka dan pengharapan bagi Israel karena Allah tidak akan

selamanya membiarkan mereka dalam pembuangan, namun akan membawa umat-Nya

kembali dari pembuangan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa konsep perang dalam bagian

1Samuel 4-6 berhubungan erat dengan independensi Allah. Bahwasannya Allah adalah

pribadi yang tidak terikat oleh ruang, waktu, atau benda apapun. Ia adalah pribadi yang

berkehendak dan aktif; Ia bukan Allah yang diam atau tidak memiliki kuasa (“tidak

bertangan”). Melalui pola “keluaran” dan “pembuangan”, penulis secara sengaja

239
Bodner, 1 Samuel, 57.
240
Brueggemann, First and Second Samuel, 42-43.
menunjukkan bagaimana peperangan yang sesungguhnya dilakukan oleh Allah secara

pribadi. Inisiatif dan strategi perang bukanlah diambil oleh manusia (1Samuel 4:2-3),

namun oleh Allah sebagai pemimpin perang dan pemenang yang sejati.

Kitab 1 Raja-Raja

Kejayaan Israel mencapai puncaknya di masa pemerintahan Salomo, dimana Bait

Allah dibangun dan kekuasaan Israel semakin meluas hingga ke Mesir. Meskipun masa

kejayaan Salomo begitu indah, namun benih perpecahan muncul pada akhir masa

pemerintahannya dan berujung pada terpecahnya kerajaan menjadi dua, yaitu Israel Utara

dan Selatan. Perpecahan Israel sebagai ujung perubahan kondisi politik dari masa

kejayaan Salomo hingga pemberontakan Yerobeam inilah yang dilukiskan dalam kitab

Raja-Raja.

Menurut Schmidt, kondisi yang tak akur antara Israel bagian Utara dan Selatan

memang sudah lama ada, namun hal ini dapat diredam pada masa pemerintahan Daud

dan masa kejayaan Salomo.241 Pergolakan ini muncul di masa akhir pemerintahan

Salomo, di mana beberapa suku Utara tidak dapat menerima kebijakan Salomo yang

membuat mereka bekerja keras membangun kubu-kubu pertahanan. Hal ini diperburuk

oleh kecerobohan dan ambisi Rehabeam yang membuat mereka memberontak di bawah

pimpinan Yerobeam.242 Pemberontakan inilah yang kemudian menjadikan Israel terpecah

menjadi kerajaan Utara dan Selatan.

241
Schmidt, Old Testament Introduction, 21-22.
242
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 366-67.
Ada beberapa pandangan mengenai proses pembentukan dan waktu kepenulisan

kitab 1 dan 2 Raja-Raja. Menurut pandangan Yahudi dikatakan bahwa kitab Raja-Raja

ditulis oleh Yeremia di masa-masa kehancuran Yerusalem hingga masa pembuangan.

Tradisi Yahudi mengidentifikasi Yeremia sebagai penulis kitab Raja-Raja. Dalam

Talmud (Baba’ Bathra 15a) melaporkan bahwa Yeremia mulai aktif menulis kitab Raja-

Raja dan Ratapan dalam masa kehancuran Yerusalem.243 Masa kepenulisan ini juga

diperkuat oleh analisa Nelson bahwa kemungkinan besar kitab ini ditulis di pembuangan,

pada masa pemerintahan Nabonidus (555-539 B.C).244 Menurut Longman, kitab ini

mengalami redaksi ganda, pertama pada masa Yosia dan kemudian pada masa

pembuangan.245 Melihat beberapa argumen di atas, dapat dikatakan bahwa kitab Raja-

Raja ditulis paling lambat di masa pembuangan di Babilonia, walaupun para ahli tidak

dapat memastikan siapa yang menulisnya.

Kitab 1Raja-Raja mengisahkan jatuh bangunnya kerajaan Israel, baik Utara

maupun Selatan, untuk menyampaikan makna teologis tertentu. Menurut Laffey, salah

satu tema kuat yang hendak disampaikan dari kitab 1Raja-Raja adalah bahwa kesetiaan

atau ketidaksetiaan kepada Yahweh membawa konsekuensi bagi naik turunnya kondisi

Kerajaan Israel,246 yang juga berhubungan dengan konsep perang dalam kitab ini.

243
Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 168.
244
Richard Nelson, First and Second Kings (Louisville, Kentucky: John Knox, 1987), 4.
245
Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 172-173.
246
Alice L. Laffey, First and Second Kings (Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 1944),
8.
Salah satu bagian yang memberikan petunjuk kuat mengenai konsep perang di

dalam kitab 1Raja-Raja adalah kisah kekalahan Ahab dalam pasal 22 22:1-40 sebagai

“the highly complex narrative and enriched variety of prophetic genres about the holy

war.”247 Keunikan perang dalam narasi ini adalah perlawanan Mikha terhadap nabi-nabi

palsu Ahab tentang apa yang akan terjadi dalam peperangan melawan Aram. Peranan

Mikha sebagai nabi yang menyampaikan suara dan perintah Allah dalam perang menjadi

salah satu aspek penting untuk memahami konsep perang di dalam Alkitab.248 Oleh

karena beberapa alasan kesejarahan dan teologis inilah maka penulis memilih teks ini

untuk menunjukkan pergerakan konsep yang terjadi mengenai perang di dalam Alkitab.

Eksposisi 1Raja-Raja 22:1-40

1Raja-Raja 22:1-40 adalah bagian dari kisah kehidupan Ahab sebagai raja Yehuda

(1Raja-Raja 20-22), yang secara khusus mencatat mengenai kematian Ahab. Kisah

kematian Ahab ditulis secara menarik dalam pola simetris berikut:249

A Persiapan Ahab di Samaria ayat 1-4


Ramalan Penghakiman ayat 5-28
B Strategi Ahab ayat 29-31
C Peperangan ayat 32-34
B’ Kematian Ahab ayat 35-36
A’ Acara Penguburan Ahab di Samaria ayat 37-38

Tampak bahwa perang sebagai penggenapan nubuat menjadi fokus pada dari teks ini.

247
Nelson, First and Second King, 145.
248
Robert Alter, Ancient Israel: The Former Prophets: Joshua, Judges, Samuel, and Kings (New
York: W. W. Norton, 2014), 578.
249
Jerome T. Walsh, 1 Kings (Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 1996), 342. Poin
Ramalan penghakiman menjadi bagian interupsi dari bentuk kiastik teks 1 Raj. 22. Walsh menempatkan
bagian ini sebagai penekanan utama dari teks 1 Raj. 22, sedangkan bagian C dilihat sebagai penggenapan
dari poin interupsi.
Dalam bagian awal dari teks ini dikatakan bagaimana kondisi saat itu antara Israel

dan Aram sesungguhnya dalam kondisi yang aman dan damai (1Raja-Raja. 22:1).

Kondisi ini berhubungan dengan perjanjian yang dibentuk oleh Ahab dan raja Aram

dalam 1Raja-Raja 20:34. Akan tetapi, setelah masa tiga tahun itu, Ahab justru berupaya

untuk mengingkari perjanjian tersebut dan mengambil alih Ramoth-Gilead dari tangan

Aram. Simon J. DeVries melihat motif Ahab untuk merebut tanah tersebut sebagai

masalah politik murni sebab, secara geografis, Ramoth-Gilead adalah benteng pertahanan

terbesar di sebelah timur laut.250 Dengan menguasai Ramoth-Gilead, Ahab akan dapat

memperluas wilayahnya dan memperkuat kerajaan Israel. Perang ini juga

menguntungkan bagi Yosafat, raja Yehuda, untuk mempersatukan kekuatan militer Israel

dan Yehuda, serta menumbuhkan kerjasama dengan Israel sebagai kerajaan yang lebih

kuat di masa itu dibandingkan Yehuda.251 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa

baik Israel maupun Yehuda sama-sama bermotif politik dalam perang ini.

Berawal dari rencana peperangan inisiatif Ahab, kisah ini tiba-tiba beralih

menjadi sebuah narasi tentang nubuat hukuman bagi Ahab. Perubahan ini diawali dengan

sebuah permintaan dari raja Yosafat sebelum menyerang ke Aram, “Baiklah tanyakan

dahulu firman TUHAN” (1Raja-Raja 22:5). Menjawab permintaan ini, Ahab

mendatangkan 400 nabi-nabi Asherah sebab 400 nabi Baalnya telah dibunuh oleh Elia

(1Raja-Raja 18).252 Hal ini bertentangan dengan permintaan Yosafat yang meminta

250
Simon J. DeVries, 1 Kings (Waco, Texas: Word Books, 1985), 266.
251
Walter Brueggemann, 1 and 2 Kings (Macon, Georgia: Smyth and Helwys, 2000), 267.
252
Walsh, 1 Kings, 345.
petunjuk dari YHWH. Oleh sebab itu, dalam bagian selanjutnya Yosafat

mempertanyakan kepada Ahab adakah nabi YHWH di Israel, dan dipanggillah Mikha

atas desakan dari Yosafat.

Di antara desakan Yosafat untuk memanggil Mikha dan kehadiran nabi Mikha di

hadapan raja Ahab dan Yosafat, disisipkan sebuah cerita mengenai Zedekia, salah

seorang nabi Ahab yang “membuat tanduk-tanduk besi, lalu berkata: ‘Beginilah firman

TUHAN: Dengan ini engkau akan menanduk Aram sampai engkau menghabiskan

mereka’” (1Raja-Raja 22:11). Tindakan simbolik Zedekia merupakan salah satu tradisi

profetik Israel kuno untuk menjamin bahwa ramalan mereka adalah inspirasi Ilahi.253

Keberanian Zedekia memberi simbolisasi profetik ini merupakan bagian upaya nabi-nabi

Ahab untuk menguatkan niat Ahab dan Yosafat menyerang Aram.

Dengan sengaja, narator mengasosiasikan tindakan simbolik Zedekia dengan

nubuatan dari para nabi Ahab yang ia wakili, dan membandingkannya dengan kehadiran

dari Mikha sebagai perwakilan nabi TUHAN. Frasa "Demi TUHAN yang hidup” (1Raja-

Raja 22:14) memberi penekanan bahwa, secara otentik, Mikha hanya menyampaikan apa

yang TUHAN katakan padanya,254 dan, dengan demikian, membedakan Mikha dari nabi-

nabi Ahab yang lain, termasuk Zedekia. Sekalipun nubuatan Mikha pada ayat 15 tampak

mendukung nubuatan dari para nabi Ahab, ayat 15-16 justru menunjukkan ironi Ahab

yang sesungguhnya mengerti bahwa nubuat para nabinya adalah nubuat palsu.255 Oleh

253
Walsh, 1 Kings, 347.
254
Marvin A. Sweeney, 1 and 2 Kings (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox, 2007),
260.
255
Terence E. Fretheim, First and Second Kings (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox,
1999), 124.
sebab itu, ketika Mikha kemudian menyampaikan apa yang sesungguhnya Allah

kehendaki, ia jelas bertentangan dengan posisi Ahab dan para nabinya. Hal ini tampak

dari pernyataan Ahab tentang nubuatan Mikha, “Bukankah telah kukatakan kepadamu:

Tidak pernah ia menubuatkan yang baik tentang aku, melainkan hanya malapetaka?”

(1Raja-Raja 22:18).

Ironi lain tersaji pada kisah kematian Ahab. Dalam 1Raja-Raja 22:30 terlihat

bahwa, meski Ahab tidak menyukai nubuat Mikha tentang kematiannya, namun ia sendiri

memandang nubuat itu dengan serius. Jadilah Ahab secara khusus menyamar agar ia

tidak menjadi target pasukan musuh. Ironi ini dipertegas oleh kematian Ahab yang

disebabkan oleh panah nyasar yang ditembakkan sembarangan oleh pasukan Aram.

Tragedi Ahab masih berlanjut setelah kematiannya. Pada ayat 38 dikatakan bahwa

darah Ahab dijilati oleh anjing, sedangkan perempuan-perempuan sundal mandi di sana.

Ironi-ironi ini menunjukkan bagaimana Allah berintervensi untuk mengakhiri

kepemimpinan Ahab atas Israel.256 Allah sengaja menjadikan pertempuran yang

berintensi untuk mendapatkan kuasa justru mengakhiri kekuasaan Ahab (1 Raja-Raja

22:20-23), bahkan nyawanya dalam peperangan. Tidak berlebihan jika Brueggemann

melihat bahwa kisah pertempuran ini sebagai perang intensi antara Ahab dan Allah.257

Walsh melihat bagian ini bukan sebagai catatan tragedi kematian seorang Raja Israel,

namun sebagai cara Allah untuk menghancurkan Ahab.258

256
Sweeney, 1 and 2 Kings, 260-61.
257
Brueggemann, 1 and 2 Kings, 275-76.
258
Walsh, 1 Kings, 359.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peperangan dalam 1 Raja-Raja 22:1-

40 adalah peperangan Allah melawan Ahab, dan bukan peperangan Israel melawan

Aram. Di sini kita dapat melihat bahwa peperangan Allah bukan hanya ditujukan untuk

melawan bangsa-bangsa di luar Israel, namun juga berperang melawan umat-Nya sendiri.

Peperangan sedemikian terjadi dalam konteks penghakiman dan penghukuman.

Kitab Ester

Kehancuran Kerajaan Israel pada masa pemerintahan Hosea, kejatuhan Yehuda

pada masa Zedekia, dan berakhirnya kerajaan Yehuda di tangan Yoyakhin menjadi akhir

kejayaan Israel dalam kancah politik Timur Dekat Kuno. Pembuangan ke Babel

menandai hukuman berat atas ketidaksetiaan Israel kepada Allah Yahweh. Meski

demikian, perjanjian Allah dengan umat manusia tidak berakhir. Kitab Ester menjadi

saksi bagaimana Allah tetap menjaga umatNya di tanah pengasingan.

Kitab Ester secara umum mengambil konteks sejarah abad kelima sebelum

Masehi di Babilonia pada masa pemerintahan Raja Ahasyweros (486–465 sM).259 Kitab

ini mendapat tempat yang spesial, dalam kanon Yahudi sedemikian sehingga

Maimonides menyatakan bahwa “when all the rest of the Old Testament Canon would

pass away in the days of the coming of the Messiah, Esther and the Pentateuch would

still remain.”260

259
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 451.
260
Archibald Henry Sayce, Introduction to the Books of Ezra, Nehemia, and Esther (London,
England: The Religious Tract Society, 1889), 100.
Menurut tradisi, kemungkinan besar buku ini ditulis pada masa yang sama dengan

waktu terjadinya peristiwa yang diceritakannya. Hal ini dikuatkan oleh catatan sejarah

dan muatan teologis yang dekat dengan kondisi pada masa pembuangan. Lasor mencatat

bahwa, meskipun beberapa pandangan mencoba menolak historisitas dari kisah Ester,

tidak bisa disangkali bahwa catatan mengenai kondisi kerajaan Persia yang termuat

dalam kitab ini sangat akurat.261

Selain akurasi data yang digambarkan dalam kitab Ester, kitab ini juga memuat

asal usul dari salah satu festival penting dalam keagamaan Yahudi, yaitu festival Purim.

Timothy K. Beal menyatakan bahwa tanpa memahami kitab Ester, maka makna festival

Purim terasa aneh dan dibuat-buat.262 Jika ditilik lebih jauh, festival Purim memiliki

makna teologis yang mendalam sebagai perayaan atas perlindungan Allah terhadap

gerakan anti Yahudi yang dimulai oleh Haman. Dalam kisah inilah, Israel berperang

untuk mempertahankan diri melawan orang-orang yang hendak membunuh dan

melenyapkan mereka (pasal 8-9). Oleh alasan ini, penting bagi kita untuk melihat konsep

perang dalam kedua pasal ini sebagai bagian dari catatan peperangan dalam Alkitab.

Eksposisi Ester 8-9

Satu-satunya peristiwa yang mungkin dapat dikategorikan sebagai perang dalam

kitab Ester terdapat pada pasal 8-9. Pasal-pasal ini juga merupakan titik balik kejahatan

261
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 452-53.
262
Tod Linafelt dan Timothy K. Beal, Ruth and Esther (Collegeville, Minnesota: The Liturgical
Press, 1999), ix-x.
Haman terhadap bangsa Yahudi. Secara garis besar kitab Ester memiliki struktur cerita

sebagai berikut:263

Ester 1-2 Pembuka cerita (Ester menjadi Ratu)


Ester 3 Perintah Haman untuk menghancurkan bangsa Yahudi
Ester 3:15c-4:3 Reaksi atas surat perintah Haman
Ester 4:4-17 Permintaan Mordekhai kepada Ester
Ester 5:1-8 Perjamuan Ester yang pertama, Haman
meninggikan diri
Ester 5:9-14 Rencana Haman membunuh Mordekhai
Ester 6:1-13 Mordekhai mendapat hormat Raja
Ester 6:14-7:10 Kejatuhan Haman
Ester 8:1-15a Perintah Ester untuk bangsa Yahudi mempertahankan diri
Ester 8:15b-17 Reaksi atas surat perintah Ester
Ester 9:1-19 Berakhirnya kebencian terhadap orang Yahudi
Ester 9:20-10:3 Hari Raya Purim

Dalam struktur ini, nampak jelas bahwa perikop Ester 8 dan 9 berhubungan erat dengan

Ester 1-4 yang merupakan bagian awal permasalahan. Dalam hal ini, Ester 8-9 adalah

bagian solusi dari permasalahandi atas.

Masalah utama yang dalam kitab Ester adalah ancaman genosida oleh Haman,

salah seorang pejabat tinggi kerajaan Persia. Ester 3:6 menyatakan “tetapi ia menganggap

dirinya terlalu hina untuk membunuh hanya Mordekhai saja, karena orang telah

memberitahukan kepadanya kebangsaan Mordekhai itu. Jadi Haman mencari ikhtiar

memunahkan semua orang Yahudi, yakni bangsa Mordekhai itu, di seluruh kerajaan

Ahasyweros” (Ester 3:6). Masalah ini awalnya dipicu oleh problem personal antara

Haman dan Mordekhai, yang kemudian menguak dendam bersejarah antara Amalek dan

Israel. Marvin Breneman melihat penolakan Mordekhai untuk memberi hormat pada

Haman sebagai bentuk ketaatan terhadap Taurat, sedangkan kebencian Haman berakar

263
bdk. Agus Santoso, Tafsir Kitab Ester: Akan Ada Pertolongan dan Kelepasan (Bandung: Bina
Media Informasi, 2011), 17.
kepada pencarian kekuasaan.264 Keinginan Haman untuk mendapatkan penghormatan

tertinggi bukan hanya berujung pada dendamnya terhadap Mordekhai, namun juga pada

seluruh bangsa Yahudi. Dalam bagian selanjutnya, pada pasal 3 dikisahkan bagaimana

Haman dan sekutunya membuat surat perintah untuk memusnahkan seluruh umat Yahudi

di seluruh daerah kerajaan Persia.

Masa kekuasaan Haman mulai mengalami kejatuhan pada pasal 6, di mana

keinginan Haman untuk menggantung Mordekhai justru berbalik ketika Ahasyweros,

tanpa disangka memberi penghormatan kepada Mordekhai atas jasanya menyelamatkan

raja (Ester 6:1-13). Kejatuhan Haman sebelumnya sudah diperingatkan oleh istrinya

Zeresh (Ester 6:13) dan mencapai klimaks pada pasal 7, di mana Haman kemudian

dihukum oleh raja dan disulakan di tiang yang ia siapkan untuk Mordekhai (Ester 7:9).

Meski demikian, karena kematian Haman tidak menghentikan surat perintah untuk

menghapuskan bangsa Yahudi dari seluruh daerah Persia, maka pasal 8-9 menghadirkan

solusi bagi permasalahan yang belum selesai ini.

Ester 8 diawali dengan pengangkatan Mordekhai oleh Ester. Kewenangan

Mordekhai atas seluruh harta Haman serta tambahan frasa “musuh orang Yahudi” bukan

hanya menandai kemenangan Mordekhai atas Haman, namun juga kemenangan umat

Yahudi atas Amalek.265 Dalam bagian ini, kekuasaan tidak lagi berada ditangan Haman

namun berpindah pada Mordekhai. Dan sebagai penguasa baru, Ester dan Mordekhai

sadar bahwa surat perintah yang dikeluarkan Haman bersifat mengikat, oleh sebab itu

264
Mervin Breneman, Ezra, Nehemia, and Esther (Nashville, Tennessee: Broadman and Holman,
1993), 328.
265
Santoso, Tafsir Kitab Ester, 123.
Ester dan Haman juga memberikan perintah baru yang untuk melawan surat perintah

Haman.

Surat perintah Mordekhai memiliki nuansa yang mirip dengan surat perintah

Haman (Ester 8:11-12). Dalam surat perintah ini, Mordekhai mengijinkan bangsa Yahudi

untuk memusnahkan dan membinasakan, baik tentara maupun anak-anak yang

menyerang mereka. Perbedaannya, jika surat Haman lebih bersifat menyerang, surat

Mordekhai lebih bersifat bertahan.

Hak untuk mempertahankan diri adalah sesuatu yang signifikan yang tidak hanya

berkaitan dengan respon atas surat Haman namun lebih mengakar pada konsep keadilan

retributif dalam tradisi Hikmat Yahudi.266 Keadilan retributif yang dimaksud di sini

adalah sebuah bentuk keadilan dimana bangsa Yahudi diperbolehkan untuk melakukan

upaya yang sama dengan bangsa-bangsa yang hendak menyerang mereka sebagai bentuk

pertahanan diri. Karena itu, syarat pada perintah Mordekhai membatasi respon pada

mereka yang hendak menyerang atau merampas harta umat Yahudi (Ester 8:11).

Keadilan retributif tidak seharusnya dilihat dari sudut pandang pembalasan

dendam, melainkan dalam isu keunggulan politik. 267 Keunggulan politik umat Yahudi

atas Haman dan sekutunya nampak bukan hanya pada pengangkatan Mordekhai, namun

juga pada respon bangsa-bangsa lain yang memutuskan untuk menjadi Yahudi dan

pembesar-pembesar kota yang berbalik mendukung Mordekhai dan bangsa Yahudi (Est

er 9:3). Keunggulan politik Mordekhai bukan sekedar membawa dampak teologis namun

266
Carey A. Moore, Esther (New York: Doubleday, 1971), 81.
267
Linafelt dan Beal, Ruth and Esther, 111.
juga misiologis, dimana banyak orang yang bukan umat Allah kini berubah menjadi umat

Allah.

Menurut Dr. Agus Santoso, semua ini terjadi karena ketakutan Mordekhai telah

menimpa mereka. Kata pakhad pada pasal 8:17 , berarti suatu ketakutan yang timbul

akibat kekuatan dari pihak lain, yakni dari Mordekhai.268 Kata yang sama juga digunakan

dalam 2Tawarikh 20:29 untuk menegaskan deklarasi misiologis pada konsep perang.

dimana perang bukan saja menjadi bagian dari deklarasi kekuatan Allah namun juga

menjadi bagian misiologis untuk memperkenalkan kekuatan Allah pada bangsa lain yang

belum percaya pada Allah.

Ester, seorang wanita yang pada masa itu dianggap lemah justru menyelamatkan

umat Yahudi dari pemusnahan. Hal ini mengingatkan pada cara kerja Allah yang unik

melalui Debora dan Yael. Allah sengaja memilih orang-orang yang lemah untuk

menunjukkan bahwa kemenangan diperoleh karena kuat kuasa Allah dan bukan karena

manusia.

Selain itu, yang menarik adalah bahwa orang Yahudi tidak mengambil sedikitpun

rampasan perang yang mereka harusnya dapat dari bangsa-bangsa yang telah dikalahkan.

Mordekhai dan Ester dengan taat menumpas tanpa mengambil jarahan untuk menekankan

bahwa perang ini tidak mengusung ekonomis.269 Hal ini secara sengaja dicantumkan

untuk menyatakan kontras antara Saul dan Mordekhai. Dalam 1Samuel 15, Saul secara

sengaja membiarkan Agag, raja Amalek, hidup dan mengambil seluruh rampasannya

sehingga ia ditolak oleh Tuhan.

268
Santoso, Tafsir Kitab Ester, 135.
269
Santoso, Tafsir Kitab Ester, 138.
Motif non-ekonomis dan defensif mendapat penekanan tersendiri dari bagian ini.

Berbeda dengan agresi dalam penguasaan Kanaan dan kisah perang Ahab, perang dalam

kitab Ester menghubungkan dendam pribadi dan dendam sejarah antara Israel dan

Amalek, dan menggenapi perintah Tuhan untuk menghabisi orang Amalek yang gagal

dipenuhi oleh Saul. Dari keterangan ini, tidak berlebihan jika Eugene F. Roop melihat

perang dalam kitab Ester sebagai perang kudus Allah melawan Amalek.270

Kitab Nabi-Nabi

Selain kitab Ester, ada beberapa kitab yang ditulis dalam konteks pembuangan,

yakni kitab nabi-nabi besar (Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, dan Daniel), dan nabi-nabi

kecil (seperti Hagai, Zakharia, dan Maleakhi) yang ditulis pada konteks sesudah

pembuangan.271 Para nabi memegang peranan penting dalam perjalanan umat Allah. Kata

“nabi” berasal dari kata ‫ נָבִיא‬yang berarti “memanggil” atau “seseorang yang

dipanggil”.272 Sedangkan, bahasa Yunani προφήτης berarti “berbicara atas nama,

mengumumkan, meramalkan, atau mengatakan sesuatu sebelumnya.”273 Jadi seorang

nabi adalah seseorang yang dipilih secara khusus, memiliki relasi yang dekat dengan

Tuhan dan dapat mendengar atau melihat apa yang Tuhan kehendaki untuk kemudian di

sampaikan kepada orang atau bangsa tertentu sebagai sebuah peringatan atau petunjuk

270
Eugene F. Roop, Ruth, Jonah, Esther (Scottdale, Pennsylvania: Herald Press, 2002), 246.
271
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2, 190-91.
272
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2, 183.
273
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2, 184.
kehidupan untuk apa yang akan terjadi saat ini maupun yang akan datang.274 Tugas

istimewa para nabi membawa dua lensa utama dalam menilik peristiwa, yaitu lensa masa

kini dan masa depan.

Kitab Yesaya

Kitab Yesaya seringkali menjadi rujukan bagi beberapa bagian penting dalam

Perjanjian Baru.275 Meskipun otoritas Yesaya tidak diragukan oleh para nabi setelah

Yesaya maupun penulis-penulis Perjanjian Baru, namun kepenulisan kitab Yesaya

menjadi salah satu problem yang cukup besar diperbincangkan beberapa kalangan.

Perbedaan pandangan mengenai siapa penulis kitab Yesaya berdampak pada penanggalan

kepenulisan dan pemaknaan teks perang dalam Yesaya 42:10-43:7. 276

274
Dictionary of Biblical Imagery, s.v. “Prophet, Prophetess”.
275
Bdk. Steve Moyise, Maarten J.J. Menken, Isaiah in the New Testament (New York: T. and T.
Clark International, 2005), 1. Moyise menyatakan bahwa “It is surely no coincidence that the books most
frequently quoted in the Dead Sea Scrolls, namely Psalms, Isaiah and Deuteronomy, are also the books
most frequently quoted in the New Testament.”
276
Lih. J. Alec Motyer, The Prophecy of Isaiah (Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 1993), 25-
26. J. Alec Motyer memilih untuk mempertahankan kepenulisan tunggal dari Yesaya dengan argumen
bahwa “the prevailing spirit of scholarship was disposed to fragmentation rather than to holism.”
Kecenderungan para penafsir modern untuk melihat fragmentasi dari kitab Yesaya telah membuat para
penafsir mengalami bias dalam kepenulisan Yesaya. Hal ini didukung dengan argumen bahwa pembagian
kepenulisan kitab Yesaya menjadi tiga bagian tidak memiliki bukti eksternal yang kuat untuk merujuk
kepada kepenulisan di luar Yesaya, selain itu kepenulisan Yesaya 56-66 dapat dilihat sebagai bagian dari
kepenulisan masa pra-pembuangan dengan memperhitungkan penekanan pada isu penyelewengan agama.
Bdk. Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 303. Di sisi yang lain, penelitian Döderlein
(1789) dan Eichhorn (1783) pada akhir abad 18 yang mencoba membagi kitab Yesaya menjadi dua bagian,
dimana Yesaya 1-39 ditulis oleh Yesaya bin Amos sedangkan Yesaya 40-66 seringkali dilihat sebagai
Deutero-Yesaya yang ditulis kemudian hari oleh penulis lain. Argumentasi ini didasarkan oleh penekanan
teologi yang berbeda, latar belakang atau konteks kesejarahan, serta bahasa dan gaya kepenulisan yang
dinilai cukup berbeda dari dua bagian di kitab Yesaya ini. Bdk. John N. Oswalt, Isaiah (Grand Rapids,
Michigan: Zondervan, 2003), 34. Beberapa ahli tafsir modern, seperti Herman Gunkel dan J. Wellhausen,
juga mengakui bahwa ada kemungkinan kitab Yesaya terdiri dari tiga, bahkan lima bagian yang berbeda.
Mencoba menengahi perbedaan pandangan ini, Von Rad, Allis, dan beberapa penafsir lain mencoba
melihat bahwa adanya kemungkinan Allah juga menggunakan penulis-penulis lain selain Yesaya untuk
menyatakan kehendaknya, sehingga keseluruhan maupun tidaknya Yesaya menulis kitab ini seharusnya
tidak dijadikan ujian ortodoksinya. Lih. Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2, 263-65.
Gordon D. Fee dan Douglas Stuart menyatakan bahwa peran nabi di dalam

Perjanjian Lama berhubungan erat dengan kondisi politik dan sosial kerajaan Israel.

Perubahan kondisi dari perpecahan kerajaan hingga pembuangan di Babel membawa

perkembangan pesan teologis277 dari tema hukuman atas Yehuda menjadi janji

keselamatan yang akan diwujudkan oleh Mesias.278

Jika Yesaya hanya ditulis oleh satu orang, yaitu Yesaya anak Amos pada abad ke-

8 sM, maka Allah yang hadir sebagai pahlawan perang dalam Yesaya 42:10-43:7 dilihat

sebagai bagian dari nubuat tentang pembuangan dan pembebasan Israel.279 Dengan ini,

Allah mendidik Israel untuk bertobat dari kesalahan mereka. Oswalt menyatakan “The

only way of hope for these people is through the fires of judgement... it is the way of

hope and not the way of destruction, as they feared.”280 Jadi, nubuat tentang pembuangan

bukan berita malapetaka semata, namun justru juga berita pengharapan.

Yehuda dan Israel mengalami perubahan besar pada tahun 745-680 sM . Pada

masa ini, kerajaan Asyur tengah berjaya dan bahkan menguasai Siria Utara dan beberapa

kota Aram.281 Kedigdayaan Asyur terus berkembang dan memperluas kekuasaannya

hingga bagian-bagian kerajaan Israel dan Yehuda. Dalam kondisi ini, beberapa kerajaan

kecil bergabung untuk menentang dominasi Asyur dalam perang Siro-Efraim, termasuk

277
Gordon D. Fee dan Douglas Stuart, How to Read the Bible for All Its Worth, ed. ke-2 (Grand
Rapids, Michigan: Zondervan, 1993), 186-87.
278
Schmidt, Old Testament Introduction, 212-19.
279
Oswalt, Isaiah, 481.
280
Oswalt, Isaiah, 480.
281
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2, 256-57.
di dalamnya adalah kerajaan Israel. Upaya pemberontakan ini berakhir dengan kekalahan

dan kehancuran dari beberapa kerajaan, termasuk Israel. Kekalahan Israel membawa

dampak bagi perkembangan kerajaan Yehuda. Eric H. Cline mencatat bahwa,

King Ahaz of Judah had already started cooperating with the Neo-Assyrians, but the most
dramatic changes came after the collapse of Israel. Wealth began to accumulate in Judah,
especially in Jerusalem, where the kingdom’s diplomatic and economic policies were
determined. Jerusalem became the administrative and religious capital of a powerful
kingdom.282

Kerjasama antara Raja Ahaz dengan Kerajaan Asyur pada masa ini membawa dampak

positif bagi kehidupan Yehuda. Kemajuan ini juga disusul dengan pertumbahan

penduduk dan membangkitkan kondisi Yehuda sebagai salah satu kekuatan politik.283

Oleh sebab itu pada awal hingga pertengahan masa pelayanan Yesaya, khususnya

sebelum pemerintahan Hizkia, kerajaan Yehuda mengalami masa keemasan.

Perubahan ini bukan hanya membawa dampak sosial-politik, namun juga dampak

religius. Perkembangan Yerusalem sebagai pusat transaksi dan perdagangan membawa

arus hilir mudik dan pertemuan dengan kebudayaan lain bertambah. Grabbe

menunjukkan bahwa penemuan kuil-kuil penyembahan yang beraneka ragam di daerah

Yehuda berarti adanya kemungkinan keragaman kultus penyembahan yang mengarah

pada politeisme.284 Hal ini diperkuat oleh kesaksian Yesaya, “Orang-orang yang percaya

kepada patung pahatan akan berpaling ke belakang dan mendapat malu, yaitu orang-

282
Eric H. Cline, A History of Ancient Israel: From the Patriarchs Through the Romans
(Washington, DC: The George Washington University Press, 2006), 51.
283
Bdk. Cline, A History of Ancient Israel, 50. Pertumbuhan penduduk ini terjadi akibat adanya
perpindahan penduduk yang mengungsi dari kerajaan Utara menuju Yehuda. Lih. Lester L. Grabbe,
Ancient Israel: What Do We Know and How Do We Know It (London: T. and T. Clark, 2007), 169. Bukti
perkembangan sosial-politik Yehuda nampak dalam penggalian arkeologi kota Yerusalem yang
menunjukkan bahwa bangunan dalam kota Yerusalem dipenuhi dengan pusat perdagangan dan pertokoan.
284
Grabbe, Ancient Israel, 159-61.
orang yang berkata kepada patung tuangan: "Kamulah allah kami!" (Yesaya 42:17). Jadi,

sekalipun kerajaan Yehuda mengalami peningkatan sosial, politik, dan ekonomi di bawah

kekaisaran Asyur, namun terjadi penurunan dalam kesetiaan iman pada YHWH dan

meningkatnya politeisme.

Memahami peningkatan kondisi sosial, politik dan ekonomi ini, nubuat tentang

hadirnya sang Pahlawan Perang yang akan membawa hukuman dan penebusan menjadi

sesuatu yang nampak “asing” bagi umat Yehuda masa itu. Kesadaran ini juga dinyatakan

oleh sang nabi dalam Yesaya 42:25 : “Maka Ia telah menumpahkan kepadanya

kepanasan amarah-Nya dan peperangan yang hebat, yang menghanguskan dia dari

sekeliling, tetapi ia tidak menginsafinya, dan yang membakar dia, tetapi ia tidak

memperhatikannya.” Ini menunjukkan bahwa kebebalan Yehuda akan terus berlanjut.

Sekalipun hukuman dari Tuhan dihadirkan, Yehuda tetap tidak akan memahami dan

berubah.285 Tidak mengherankan jika Ivan D. Friesen melihat sikap umat Allah ini

sebagai gambaran tragedi manusia yang tidak belajar dari masa lalu.286

Eksposisi Yesaya 42:10-43:7 (Versi Kepenulisan Tunggal Yesaya)

Secara struktur, Yesaya 42:10-43:7 meletakkan tema Allah sebagai pahlawan

perang di antara gambaran Allah sebagai pencipta semesta.

A. Yesaya 42:10-12 Penghormatan dari semesta kepada TUHAN


B. Yesaya 42:13-14 TUHAN sebagai Pahlawan yang siap berperang
B1.Yesaya 42: 15-17 Tindakan luar biasa dari TUHAN
sebagai pahlawan perang
B2. Yesaya 42: 18-20 Kebebalan dan pemberontakan Israel
B3. Yesaya 42:21 Janji keselamatan

285
John D. W. Watts, Isaiah 34-66 (Waco, Texas: Word Books, 1987), 132.
286
Ivan D. Friesen, Isaiah (Scottdale, Pennsylvania: Herald Press, 2009), 252.
B4. Yesaya 42:21-25 Jalan penghukuman yang harus dilalui Israel
C. Yesaya 43:1-7 Janji keselamatan akan digenapi bagi Umat Perjanjian
yang TUHAN ciptakan.

Dalam bagian ini terlihat gambaran Allah sebagai pahlawan perang secara unik dikaitkan

dengan dua tema yang nampak berkontradiksi, yaitu penghukuman dan janji keselamatan.

Pertemuan dua tema besar antara Allah sebagai sang penghancur dan sang penolong

dalam bagian ini tidak berarti terjadi konflik dalam atribut maupun tindakan Allah,

namun harus dilihat sebagai bentuk keadilan dan kasih setia Allah yang murka atas

ketidakbenaran namun menyelamatkan karena kasih setia-Nya yang besar.287

Melalui struktur dan latar belakang situasi yang ada, Yesaya 42:10-43:7

membangun pemahaman mengenai perang dalam konteks nubuat tentang kehadiran

Allah sang pahlawan perang. Yesaya 42:10-12 diawali dengan sebuah ajakan

“Nyanyikanlah nyanyian baru bagi TUHAN dan pujilah Dia dari ujung bumi!”

(Yesaya 42:10a). Ajakan ini adalah bagian respon pujian akan janji Allah dalam bagian

sebelumnya. Dalam bagian ini penekanan akan Allah yang mencipta dan menguasai

semesta mendapat penekanan tersendiri. Frasa “ujung bumi”, undangan pada laut, pulau-

pulau, dan seluruh isinya untuk menyembah adalah sebuah bentuk pengakuan akan Allah

yang mencipta dan menguasai semesta. Pengakuan akan Allah semesta ini menjadi

landasan dasar terhadap pengharapan dalam pembuangan. Oswalt menyatakan bahwa,

He is the God of the world, and what he is going to do for Judah from has joyous
implications for the whole world. If he can deliver Judah from all its captivities, then
there is no one whose distress and difficulty is beyond his care and his delivering
power.288

287
Motyer, The Prophecy of Isaiah, 324.
288
Oswalt, Isaiah, 479.
Pengharapan akan kemahakuasaan Allah yang akan sanggup melepaskan Yehuda dari

pembuangan menjadi bagian penting dari nubuatan ini.Gambaran Allah sebagai pemilik

semesta mengkerucut menjadi Allah sebagai pahlawan perang. Dalam Yesaya 42:13

dikatakan “TUHAN keluar berperang seperti pahlawan, seperti orang perang Ia

membangkitkan semangat-Nya untuk bertempur; Ia bertempik sorak, ya, Ia memekik,

terhadap musuh-musuh-Nya Ia membuktikan kepahlawanan-Nya.” Yang menarik dalam

bagian ini adalah gambaran Allah sebagai pahlawan perang membawa dua sisi yang

berbeda dan seolah berkontradiksi. Yesaya 42:14 memberikan gambaran bagaimana

Allah sengaja berdiam dan membiarkan umat-Nya mengalami pembuangan, bahkan

melakukan tindakan yang destruktif dalam ayat 15 sebagai penghukuman atas kebebalan

Yehuda dan penyembahan berhala yang mereka lakukan (Yesaya 39, 41).

Gambaran Allah sebagai pahlawan perang ini berbeda dengan gambaran Allah

yang berperang dalam kisah Keluaran. Sekalipun Motyer mengakui adanya pola

Keluaran dalam bagian ini, namun penggambaran Allah yang mengarahkan pedang pada

umat-Nya289 merefleksikan pembuangan dan peperangan sebagai ungkapan murka Allah

atas kesalahan umat-Nya (Yesaya 42:22-25). Dalam hal ini, perang sebagai hukuman

Allah tidak hanya berlaku kepada bangsa lain, namun juga berlaku pada umat perjanjian-

Nya. Hukuman Allah bukan hanya dirasakan secara fisik, namun juga secara spiritual.

Frasa “membisu” (‫ )חׁשה‬serta ungkapan “tidak ada yang berkata: ‘Kembalikanlah’!”

dalam ayat 14 dan 22 memberikan nuansa yang sama dengan lagu-lagu ratapan atau

keluhan yang mengesankan adanya keterpisahan rohani dengan Allah.290

289
Motyer, The Prophecy of Isaiah, 323.
Hukuman ini bukan tanpa tujuan. Penggunaan kata ‫ ַאח ִ ֲִ֖ריׁש‬dalam ayat 14 memiliki

makna lain, yaitu “menyusun rencana,”291 dan berhubungan erat dengan karya Allah

dalam bagian-bagian selanjutnya. Rencana ini tidak berhenti pada penghukuman yang

akan datang, namun juga pada pembebasan atau penebusan. Motyer melihat bahwa

bagian ini bertujuan untuk menggambarkan tindakan penebusan Allah baik secara

nasional (Yesaya 42:18-43:21) maupun secara spiritual (Yesaya 43:22-44:23).292 Oswalt

menyatakan bahwa sosok Allah sebagai pahlawan perang merupakan bagian dari janji

kedatangan Allah untuk membela umatnya. Sekalipun dalam waktu tertentu sang

Pahlawan tersebut secara sengaja membiarkan umat-Nya mengalami pembuangan,

namun inilah yang mengontraskan Allah dari ilah-ilah lain.293 Karena itulah kehadiran

Allah sebagai penghancur dan penyelamat tidak dipisahkan dalam bagian ini, namun

justru menjadi sebuah kesatuan utuh dalam upaya Allah menyatakan diriNya dalam relasi

Perjanjian.

290
John D. W. Watts, Isaiah 34-66, 131. Bandingkan dengan Mazmur 22:1-2 “Untuk pemimpin
biduan. Menurut lagu: Rusa di kala fajar. Mazmur Daud. Allahku, Allahku, mengapa Engkau
meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku. Allahku, aku berseru-
seru pada waktu siang, tetapi Engkau tidak menjawab, dan pada waktu malam.” Seruan yang sama juga
diserukan Yesus dalam Mat. 27:46 yang sering dipahami sebagai ekspresi keterpisahan secara spiritual
dengan Allah Bapa yang merupakan bagian dari hukuman dosa yang harus diterima Yesus.
291
Penggunaan kata ini dalam bentuk Hiphil imperfect dapat diartikan menjadi diam, berdiam diri
atau juga merencanakan, menyusun (to contrive).
292
Motyer, The Prophecy of Isaiah, 326.
293
Oswalt, Isaiah, 479.
Eksposisi Yesaya 42:10-43:7 (Versi Deutero-Yesaya)

Apabila Yesaya 42:10-43:7 dilihat sebagai bagian dari Deutero-Yesaya, yang

ditulis setelah masa hidup Yesaya, maka teks ini menggambarkan kondisi pada masa

pembuangan Babel pada tahun 530 sM.294 Jadi, bagian ini justru memberikan penekanan

pada pengharapan dalam Allah saat menjalani pembuangan.295 Tidak ada lagi penekanan

pada nubuatan hukuman, karena hukuman itu sudah dan sedang dijalani. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa janji keselamatan menjadi tema pengajaran yang

utama dari bagian ini.

Kebangkitan kerajaan Asyur memang memberi dampak positif bagi kerajaan

Yehuda sebagai salah satu provinsi Asyur, namun kemunduran Asyur juga menyeret

Yehuda pada kondisi krisis. Cline menyebutkan bahwa,setelah kematian Yosia pada

tahun 609 sM, kekalahan Asyur dalam perang melawan Kerajaan Babel membuat Babel

menjadi kekuatan utama di daerah Timur Tengah.296 Kekalahan ini juga membawa

dampak penaklukan Yehuda oleh Babel beberapa tahun kemudian yang mengakibatkan

kehancuran besar di Yerusalem dan pengangkutan paksa bangsa Yehuda ke pembuangan

Babel.

Kehancuran Yehuda membawa dampak psikologis dan tekanan tertentu bagi umat

Allah dalam sikap mereka terhadap kehidupan. Bernard Reich berpendapat bahwa

pembuangan tidak hanya membuat rasa kehilangan dan depresi, namun juga menguatkan

294
John Goldingay dan David Payne, Isaiah 40-55, jilid 1 (New York: T. and T. Clark, 2006), 26-
27. Bdk. John L. McKenzie, Second Isaiah (New York: Doubleday, 1968), xxiv. Yesaya 40-55 mulai
disusun ketika kejatuhan Yerusalem hingga pemerintahan Nebukadnezar di Babilonia pada tahun 587 sM.
295
McKenzie, Second Isaiah, 44.
296
Cline, A History of Ancient Israel, 55.
ikatan identitas keyahudian serta sentralitas Yerusalem.297 Dalam kondisi yang tengah

terpuruk, serta adanya upaya mempertahankan eksistensi dan identitas bangsa, janji

penyelamatan menjadi sebuah suara pengharapan yang dirindukan di dalam pengasingan.

Dalam Yesaya 42:10-43:7, suara pengharapan dibawa melalui kehadiran Allah sebagai

pahlawan perang. Cyril dari Aleksandria melihat bahwa nyanyian baru dalam Yesaya

42:10-25 ini menjadi sebuah pengingat akan tindakan Allah sebagai pahlawan perang

yang membebaskan Israel dari Mesir.298 Tindakan pembebasan Allah dari Mesir di masa

lampau menjadi jaminan bagi pembebasan Israel dari pembuangan di Babel.

Wastermann menegaskan bahwa bagian ini banyak menekankan motif

peperangan dari Allah Yahweh.299 Motif perang dalam bagian ini lebih merujuk pada

tema pembebasan dibandingkan hukuman, sebab dalam pemahaman deutero-Yesaya,

penghukuman Allah telah mereka terima dan sedang mereka jalani. Oleh sebab itu,

kegairahan serta tema perang yang diangkat oleh Yesaya 42:10-25. Dan juga menyadari

adanya konteks sejarah di masa pembuangan serta keunikan genre kitab nabi menjadi

sebuah pertimbangan utama untuk memasukan bagian ini dalam penelitian mengenai

pergerakan konsep perang di dalam Alkitab.

Walter Brueggemann memahami panggilan dalam Yesaya 42:10-12 memiliki

kemiripan dengan Mazmur 96 yang bertujuan untuk merayakan berdirinya pemerintahan

297
Bernard Reich, A Brief History of Israel. Ed. ke-2 (Washington, DC: George Washington
University Press, 2008), 6.
298
Robert Louis Wilken, Isaiah (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 2007), 300.
299
Claus Westermann, Isaiah 40-66 (Philadelphia, Pennsylvania: The Westminster Press, 1969),
104.
baru ALLAH atas seluruh ciptaan.300 Pemerintahan baru inilah yang akan mengeliminasi

pemerintahan Babel atas Israel. Dalam konteks pengharapan akan hadirnya pemerintahan

baru ALLAH inilah konsep Allah sebagai pahlawan perang hadir.

Gambaran Allah sebagai pahlawan perang menunjukkan kemampuan Allah yang

dahsyat dan penuh kuasa sebagai dasar dari kehidupan dan pengharapan Israel dalam

dunia.301 Pengharapan ini seringkali dikaitkan dengan kehidupan politik dan sosial Israel

untuk menegakkan kembali kerajaan Daud (Amsal 9:11-12). Namun Hanson melihat

bahwa ekspresi sastra dan konteks pembuangan lebih merujuk pada nuansa spiritual

dibanding politik.302 Hal ini terlihat dari nubuat mesianik tentang hamba Allahyang

menegakkan Taurat dalam bagian sebelumnya dengan penekanan pada Yesaya 42:17.

Konsep perang secara spiritual juga berhubungan dengan isi nyanyian tentang Allah sang

Pahlawan perang yang maha-kuasa untuk mengatasi kekacauan dan ketidakberaturan

kosmik (Yesaya 42:14-16).303 Sebab itu, konsep perang dalam bagian ini lebih dilihat

sebagai sebuah bentuk perang spiritual dibandingkan masalah politik.

Gambaran kekacauan dalam dunia Israel kuno memiliki keterkaitan dengan

kekuatan jahat. Dalam narasi penciptaan dari Mesopotamia kuno, kekacauan seringkali

digambarkan sebagai ekspresi kehadiran Tiamat sang dewa air.304 Hal ini dapat dilihat

300
Walter Brueggemann, Isaiah 40-55 (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox, 1998), 45-
46.
301
Brueggemann, Isaiah 40-55, 46.
302
Paul Hanson, Isaiah 40-66 (Louisville, Kentucky: John Knox, 1995), 48.
303
Joseph Blenkinsopp, Isaiah 40-5 (New York: Doubleday, 2002), 214-215.
304
Longman, Panorama Kejadian, 93.
juga pada bentuk subversif dari konsep penciptaan dalam Kejadian 1:2, di mana Allah

sang pencipta hadir mengatasi kekacauan dan melayang-layang di atas permukaan air.

Hal ini menunjukkan bahwa Allah sang pencipta semesta adalah Allah yang juga hadir

sebagai pahlawan perang. Konsep penaklukan atas kekacauan dan ketidakberaturan ini

memperkuat nuansa spiritual pada kehadiran Allah sang pahlawan perang.

Yesaya 42:18-25 juga menekankan kembali problem spiritualitas dalam konteks

hukuman yang sedang dijalani. Dalam masa pembuangan ini, kondisi secara politik dan

sosial justru tidak terlalu diperhatikan oleh penulis Yesaya. Penulis justru secara khusus

mengangkat gambaran hamba yang buta dan tuli untuk menunjukkan problem spiritual

Israel sebagai hamba Allah yang seharusnya menjadi penerima suara Allah dan saksi dari

keajaiban Allah, namun justru ada dalam kondisi terbuang, terhilang dan terpenjara.305

Sekalipun hukuman Israel bersifat sosial dan politik, namun penulis Yesaya memahami

bahwa permasalahan ini berakar pada problem spiritual. Sebab itu, problem spiritual

perlu dibenahi terlebih dahulu.

Kehadiran Allah sebagai pahlawan perang bukan hanya menyadarkan akan titik

awal permasalahan yang dihadapi, namun juga membawa kepada janji akan solusi

spiritual. Dalam Yesaya 43:1-7 janji ini dinyatakan secara tegas lewatfrasa “Tetapi

sekarang,...” sebagai penekanan atas perubahan kondisi atau kontras yang akan hadir.

Wastermann bahkan menjelaskan bahwa frasa ini merupakan bentuk deklarasi langsung

atas keselamatan yang sudah dimulai pada masa ini dan akan digenapi dalam

305
Hanson, Isaiah 40-66, 54.
kepenuhannya di masa akan datang.306 Jadi ini bukan sekedar janji, namun sebuah

realisasi bertahap yang terus digarap Allah hingga pada kesempurnaannya nanti.

Deklarasi karya keselamatan Allah bukan hanya merujuk pada hal yang akan

datang, namun juga pada kisah keluaran dari Mesir (Yesaya 43:3). Hal ini memberikan

nuansa bahwa penebusan yang Allah lakukan bukanlah hal yang asing bagi Allah dalam

perjanjianNya dengan Israel. Westermann melihat bahwa rujukan pada peristiwa keluaran

adalah sebuah cara penulis untuk menunjukkan relasi intrinsik antara Yahweh dan Israel

dalam relasi perjanjian yang khusus.307 Dalam relasi perjanjian inilah kehadiran Allah

sebagai pahlawan perang dapat melindungi Israel. Sebaliknya, diamnya sang Pahlawan

perang dalam ayat 14 menunjukkan rusaknya relasi personal yang ada antara Yahweh dan

Israel. Dengan demikian maka dapat dilihat bahwa kaitan antara pasal 42:10-25 dengan

pasal 43:1-7 diikat dalam konteks Allah sebagai pahlawan perang.

Keterkaitan antara pasal 42:10-25 dengan pasal 43:1-7 bukan hanya terdapat pada

pribadi Allah sebagai pahlawan perang namun juga hadir dalam solusi yang Allah

berikan. Yesaya 43:4a menyatakan kontras dengan Yesaya 42:18, di mana Israel

dipanggil dengan sebutan tuli dan buta. Dalam bagian ini, ketidaklayakan Israel

diperhadapkan secara unik dengan cara pandang Allah dalam kasih-Nya yang besar pada

Israel. Gambaran ini merupakan prinsip mendasar dari konsep pilihan dan keselamatan di

dalam Alkitab.308 Pemilihan Allah atas Israel jelas bukan disebabkan oleh kualitas atau

306
Westermann, Isaiah 40-66, 115.
307
Westermann, Isaiah 40-66, 117.
308
McKenzie, Second Isaiah, 50. Bdk. Westermann, Isaiah 40-66, 118. Westermann memberikan
penegasan dengan melihat frasa “berharga dimata-Ku” sebagai sebuah bentuk pemilihan Allah yang
otoritatif dalam kasih karunia-Nya bagi Israel.
perbuatan Israel. Frasa “tuli” dan “buta” menggambarkan banyak ketidakmampuan dan

keputusasaan dalam pembuangan. Oleh sebab itu, Hanson melihat bahwa keterkaitan

antara kedahsyatan Allah sebagai pahlawan perang dan kasih Allah yang besar kepada

umat yang tidak layak merupakan bentuk pemulihan spiritual yang tepat bagi umat yang

putus asa dalam pembuangan.309

Selain itu, hancurnya kerajaan Israel dan Yahudi juga membentuk konsep

perjanjian yang lebih bersifat universal.310 Yesaya 42:10-12 dan Yesaya 43:1-7

menyatakan Allah sebagai penguasa semesta yang berkuasa atas alam dan atas kerajaan-

kerajaan dan membuktikan bangkitnya pemerintahan baru yang bersifat lebih universal.

Oleh sebab itu, batasan politik tidak dapat lagi dijadikan acuan atas keselamatan dan

penegakan kekuasaan yang Allah janjikan. Sebaliknya, perang dalam Yesaya 42:10-43:7

justru lebih menekankan pada peperangan spiritual.

Kitab Zakharia

Perjalanan kehidupan Israel ternyata tidak hanya pada masa pembuangan. Pada

masa Ezra dikatakan,

Pada tahun pertama zaman Koresh, raja negeri Persia, TUHAN menggerakkan hati
Koresh, raja Persia itu untuk menggenapkan firman yang diucapkan oleh Yeremia,...
Maka berkemaslah kepala-kepala kaum keluarga orang Yehuda dan orang Benyamin,
serta para imam dan orang-orang Lewi, yakni setiap orang yang hatinya digerakkan Allah
untuk berangkat pulang dan mendirikan rumah TUHAN yang ada di Yerusalem.
(Ezra 1:1-5)

309
Hanson, Isaiah 40-66, 63-65.
310
Blenkinsopp, Isaiah 40-55, 116-17.
Hal ini menunjukkan bahwa kisah hidup umat Allah bergerak dari masa pembuangan

menuju masa paska pembuangan di zaman Ezra dan dilanjutkan pada masa Nehemia.

Menurut catatan sejarah, peristiwa ini terjadi akhir abad kelima sebelum Masehi.311 Jika

demikian maka bisa dikatakan bahwa peristiwa ini terjadi dalam jeda satu generasi

dengan kepenulisan Deutero-Yesaya. Meski hanya berkisar satu generasi, namun

perubahan yang terjadi akibat peraturan dari Raja Koresy membuat beberapa perubahan

dalam kehidupan sosial masyarakat Israel masa itu.

Perubahan yang terjadi dalam masa ini antara lain adalah masalah penandaan diri.

Grabbe dalam penelitiannya mengenai teks-teks kuno di luar Alkitab yang ditulis sekitar

abad 4 sM hingga abad 1 M menemukan bahwa hampir tidak ada rujukan atas nama

Israel ataupun Yehuda, meskipun demikian beberapa teks ditemukan menggunakan kata

Yahudi untuk menandai orang-orang yang tersisa ini. Sedangkan secara khusus

penggunaan nama Israel pada tulisan para nabi masa paska pembuangan seperti Ezra,

Nehemia, Zakharia, dan yang lain memberi pemaknaan baru atas nama Israel yang lebih

merujuk pada orang-orang Yehuda yang bertahan dalam masa pembuangan dan kembali

ke Yerusalem.312 Dengan melihat kenyataan ini, maka nampak ada upaya dari umat Allah

yang tersisa ini untuk menandai diri mereka terlepas dari pengakuan bangsa-bangsa lain.

Penggunaan nama Israel juga bukan hanya memberikan sinyal akan upaya

penandaan diri, namun juga membentuk identitas baru dalam kaitannya dengan

311
Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 202.
312
Lester L. Grabbe, “Israel’s Historical Reality After the Exile”, dalam The Crisis of Israelite
Religion: Transformation of Religious Tradition in Exilic and Post-Exilic Times, ed. Marjo.C. A. Korpel
dan Bob Becking (Leiden: Brill, 1999), 12-13.
Perjanjian Allah. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan kata Israel dalam narasi kitab 1

Makabe yang menekankan identitas kaum yang tersisa ini sebagai umat perjanjian

Allah.313 Pembentukan identitas sebagai umat perjanjian adalah sesuatu yang penting

dalam kondisi sosial bangsa Israel. Kehancuran kerajaan Daud dan pengalaman

pembuangan Babel membuat Israel beralih identitas dari “milik Allah” menjadi

“terbuang”, dari “penduduk Tanah Perjanjian” menjadi “orang asing di pembuangan”.314

Menambahkan hal ini, Bob Becking mencatat,

The ruination of the temple in Jerusalem, that functioned as the central sanctuary for the
Yahwistic religion, and the collapse of the Davidic dynasty, that functioned as a symbol
of divine presence and protection, should be seen as a fundamental breach in the
Yahwistic symbol system.315

Kehancuran yang terjadi bukan hanya mengubah identitas nasional namun juga identitas

keagamaan. Oleh sebab itulah, penegasan akan identitas baru sebagai umat Israel menjadi

penting karena mencangkup dua aspek, yaitu nasional dan agama.

Pergumulan akan identitas dalam relasi keagamaan dan nasional membawa

pengharapan tertentu dalam benak Israel. Pengharapan ini dimunculkan dalam ungkapan

nubuat eskatologis tentang keselamatan, pemulihan dan perang. Ralph L. Smith

menyatakan bahwa refleksi pemikiran masa paska pembuangan lebih bersifat visioner

dimana keputusasaan yang muncul karena kondisi yang jahat saat ini akan berganti

313
Grabbe, “Israel’s Historical Reality After the Exile”, 13.
314
Yehezkiel 19:12 menggunakan kata “tercabut” untuk menggambarkan identitas Israel yang
baru. Dan dalam Yeremia 42-44 digunakan frasa “orang asing” untuk menggambarkan kondisi Israel di
pembuangan.
315
Bob Becking, “Continuity and Discontinuity after the Exile: Some Introductory Remarks”,
dalam The Crisis of Israelite Religion: Transformation of Religious Tradition in Exilic and Post-Exilic
Times, ed. Marjo. C. A. Korpel dan Bob Becking (Leiden: Brill, 1999), 4.
dengan pengudusan dan penegakan kembali kerajaan Allah.316 Salah satu bagian yang

mencerminkan pemahaman ini terdapat dalam Zakharia 14, dimana teks mengenai perang

dimuat dalam nubuatan akan pengharapan hadirnya pemerintahan Allah.

Kitab Zakharia menurut Jerome disebut sebagai the most obscure book of the

Hebrew Bible.317 Hal ini berhubungan dengan kepenulisan kitab Zakharia yang dipahami

memiliki keperbedaan periode antara kepenulisan Zakharia 1-8 dengan Zakharia 9-14.

Untuk kepenulisan Zakharia 1-8 Longman dan Dillard melihat bahwa kitab ini

mengambil latar belakang kesejarahan pada masa Zakharia dan Hagai hidup, yaitu pada

masa kembalinya Israel ke tanah Kanaan, sekitar tahun kedua pemerintahan raja Darius

(520-519 sM), untuk membangun kembali bait Allah yang telah hancur.318 Sedangkan

untuk bagian Zakharia 9-14, Neil mengatakan

Tidaklah mungkin menentukan secara pasti apakah ada satu, dua, tiga atau lebih banyak
pengarang yang menulis Zakharia 9-14, namun berdasarkan bahasanya, maupun teologi
dan latar belakang sejarahnya, secara umum disetujui bahwa pengarang pasal-pasal ini
bukanlah Nabi Zakharia.319

Beberapa penafsir seperti Bernard Stade, Rubikam, dan Robert Pfeiffer memperkirakan

bahwa Zakharia 9-14 ditulis pada abad 3 sM hingga akhir abad 1 sM, hal ini didasarkan

pada adanya unsur apokaliptik pada bagian kedua dari kitab Zakharia ini.320

316
Ralph L. Smith, Micah – Malachi (Waco, Texas: Word, 1984), 285.
317
Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 484.
318
Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 486.
319
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2, 441.
320
Merril F. Unger, Zechariah: Prophet of Messiah’s Glory (Grand Rapids, Michigan: Zondervan,
1979), 12-13.
Perbedaan waktu kepenulisan memunculkan penekanan yang berbeda dari dua

bagian ini. Penekanan pada Zakharia 1-8 banyak berhubungan dengan masalah

pembentukan kembali bait Allah dan komunitas yang kembali dari pembuangan Babel,

sedangkan Zakharia 9-14 justru dilihat lebih banyak menekankan pada penglihatan dan

nubuatan.321 Smith menambahkan bahwa ada perubahan yang tiba-tiba dari Zakharia 1-8

ke Zakharia 9-14 dimana penekanan mengenai perang menjadi salah satu tema utama di

dalamnya.322 Dengan sebuah pertimbangan latar belakang kesejarahan paska

pembuangan dan adanya tema perang yang coba diangkat dalam bagian ini menjadi

alasan untuk memilih Zakharia 14 menjadi bagian penelitian untuk memahami konsep

perang, khususnya dalam konteks paska pembuangan.

Eksposisi Zakharia 14

Pesan dari kitab Zakharia secara khusus ditujukan kepada umat Allah yang tersisa

di Yerusalem atau yang sering disebut “remnant”.323 Kelompok ini secara khusus

membangun kohesi antar anggotanya dengan membangun sistem sosial dan keagamaan

tersendiri. Hal ini nampak dari penggunaan bahasa keagamaan dan tema perang serta

pengharapan mesianik yang muncul dalam literatur sezaman. Menguatkan argumen ini,

Smith mencatat bahwa “The language mainly cultic from the Royal-Zion festival

321
Bdk. Ralph L. Smith, Micah – Malachi, 242. Di sisi lain, Lazor melihat bahwa bagian Zakharia
9 nampaknyamencoba kembali kepada gagasan tentang Allah yang berperang. Lasor, Hubbard, dan Bush,
Pengantar Perjanjian Lama 2, 449.Sedangkan Unger melihat bahwa bagian Zakharia 9-14 lebih mencoba
menekankan mengenai janji Mesianik dan penegakan kembali Kerajaan Allah di dunia. Merrill F. Unger,
Zechariah, 151.
322
Smith, Micah - Malach, 242-249.
323
Edgar W. Conrad, Zechariah (Sheffield, South Yorkshire: Sheffield Academic, 1999), 192.
reflecting the battle of Yahweh with his enemies, the theophany, victory and the

celebration by a processional.”324 Selain itu, penggunaan bahasa-bahasa perang

tergambar dalam Zakharia 14, seperti “jarahan” (‫ׁשלָל‬


ָ ), “perang” (‫) ִמ ְל ָחמָה‬, “ditangkap”

(‫) ָלכַד‬, “dilenyapkan, dipotong” (‫)כ ַָרת‬, atau “pembuangan, dibuang” (‫ )ּגֹולָה‬memberikan

kaitan erat antara Zakharia 14 dengan pemahaman perang dalam bagian Alkitab yang

lain.

Pemahaman perang dalam Zakharia 14 dilihat sebagai bagian dari nubuatan

eskatologis.325 Hal ini ditandai dengan seruan “lihatlah! Akan datang hari (yang

ditetapkan) Tuhan." (‫ֽיהוָ֑ה‬


ָ ַ‫ֹֽום־בא ל‬
ִ֖ ָ ‫)הִנֵּ֥ה י‬. Frasa ini menurut Boda berkaitan dengan konsep

hari Tuhan dalam Yoe1:15 dan 2:1 yang merujuk kepada kehancuran atau malapetaka

besar.326 Kehancuran ini terjadi bukan dari sisi bangsa-bangsa di luar Israel, namun justru

terjadi di Israel. Zakharia 14:2 menunjukkan bagaimana Yerusalem akan direbut,

diperangi, dihancurkan, dan dirampas oleh bangsa-bangsa lain. Hal ini menurut Boda

merujuk kepada peristiwa yang telah lalu tentang Yerusalem dan Babilonia, dengan

memberikan penekanan tentang adanya orang-orang yang akan masuk dalam

pembuangan dan orang-orang “sisa” (remnant) yang akan tetap tinggal di Yerusalem.327

Bagian ini menurut Unger memberikan ringkasan penjelasan akan kondisi latar

324
Smith, Micah - Malach, 285.
325
Penggunaan kata eskatologis dalam bagian ini memiliki makna “berkaitan dengan hari, masa,
atau peristiwa yang akan datang.” dan tidak selalu berhubungan dengan konsep akhir zaman.
326
Mark J. Boda, Haggai, Zechariah (Grand Rapids, Michigan: Zondervan 2004), 522.
327
Boda, Haggai, Zechariah, 523.
kesejarahan yang terjadi di masa lalu hingga masa kini dari pembaca kitab Zakharia

14.328

Dengan mengidentifikasikan nubuatan ini dengan kondisi pembaca Zakharia 14,

penulis bagian ini hendak memberikan penekanan psikologis akan kedekatan berita yang

hendak disampaikan dengan kehidupan nyata dari pembaca kitab ini. Kondisi yang terjadi

dalam Zakharia 14:1-2 bergerak menuju pengharapan pada Zakharia 14:3. Dalam ayat 3

muncul jaminan akan tindakan Allah di masa yang akan datang tentang bagaimana Allah

hadir dan maju berperang untuk melawan bangsa-bangsa yang memerangi umat-Nya.

Kehadiran Allah ini digambarkan menggunakan bahasa antropomorfis dalam ayat 4

“kaki-Nya akan berjejak” (Zakharia 14:4) yang menunjukkan kehadiran yang nyata dari

Allah bagi umatNya.329 Conrad menggambarkan kehadiran Allah dalam bagian ini

dengan merujuk pada epic Yunani tentang Colossus of Rhodes, pantung Dewa Matahari

yang berdiri di depan kota Rhodes sebagai pelindung kota Rhodes.330 Demikian juga

Allah akan berdiri di depan kota Yerusalem dan menjadikan Yerusalem sebagai kota

perlindungan yang teguh (Zakharia 14:5).

Teofani Allah dalam Zakharia 14:1-5 bergerak menuju gambaran mengenai

perubahan waktu, musim, dan kondisi geologis (Zakharia 14:6-11). Smith mengkaitkan

bagian ini dengan janji Allah dengan Nuh (Kejadian 8:22) janji ini berhubungan dengan

jaminan akan regulasi natural dari kemanusiaan. Regulasi ini dibutuhkan untuk memberi

328
Unger, Zechariah, 239.
329
Unger, Zechariah, 246.
330
Conrad, Zechariah, 192.
jaminan dari kehancuran besar dan kematian yang disebabkan oleh dosa manusia. Dan

saat hari Tuhan tiba, regulasi itu tidak dibutuhkan lagi sebab kutuk dosa sudah

dilenyapkan dan diganti dengan hari-hari terang (Wahyu 21:22-25).331 Hal ini merujuk

pada bentuk pemerintahan Allah yang baru yang akan ditegakkan atas seluruh ciptaan

(Zakharia 14:9).

Gambaran Allah yang berperang kembali muncul pada ayat 12-15. Dalam bagian

ini, kata “tulah” (‫ ) ַמּגפָה‬yang digunakan mengingatkan pembaca kepada peristiwa dalam

Keluaran 7-12 tentang bagaimana Allah berperang bagi Israel melalui hukumannya

kepada Mesir untuk membawa pembebasan bagi umat Israel. Dalam pola yang sama,

Allah menggunakan tulah ini untuk membuat tiap bangsa yang menyerang Yerusalem

akan saling berperang dan menghancurkan.332 Sekali lagi, dalam bagian ini perang

digunakan sebagai gambaran untuk menyatakan hukuman Allah. Pemahaman mengenai

hukuman Allah dalam bagian ini, nampaknya bukan hanya bersifat politik atau

nasionalisme namun lebih bersifat hukuman kosmik. Hal ini berkaitan dengan ayat 15

dimana binatang-binatang juga mengalami tulah yang sama yang harus diderita oleh

bangsa-bangsa yang menyerang Yerusalem. Dengan demikian maka dapat disimpulkan

331
Smith, Micah - Malach, 288. Gambaran hari-hari terang merupakan gambaran eskatologis
mengenai kehadiran kerajaan Allah yang baru dimana Allah memerintah dalam kemuliaanNya. Tidak ada
lagi pergantian siang dan malam, ataupun musim menuai dan menabur, sebab pada hari Tuhan segalanya
telah menjadi sempurna.
332
Smith, Micah - Malach, 291. Sedangkan untuk ayat 14, frasa “Yehuda akan berperang
melawan Yerusalem” dalam bahasa aslinya dapat diartikan dalam dua makna against atau in. Beberapa
penafsir seperti Smith melihat ayat ini lebih cocok ditafsirkan bahwa Yehuda akan berperang di Yerusalem
melawan bangsa-bangsa lain. Bdk. Boda, Haggai, Zechariah, 528. Pemahaman yang sama juga dimengerti
oleh Boda, dimana Yehuda akan berperang mendukung Yerusalem melawan bangsa-bangsa lain.
bahwa peperangan dalam bagian ini bukan hanya berhubungan dengan hukuman bagi

bangsa-bangsa, namun sebuah bentuk penghukuman kosmik atas dosa dunia.

Kemenangan Allah dan penghukuman atas dunia membawa peralihan pada tema

misi. Dalam bagian ini, kemenangan Allah dalam perang mengundang semua bangsa-

bangsa untuk datang dan sujud menyembah Allah di Yerusalem (Zakharia 14:16).

Bangsa-bangsa ini bukan hanya sekedar datang, mereka juga mengambil bagian dalam

umat Allah, menjadi umat Allah. Penulis Zakharia menggunakan kalimat “merayakan

hari raya Pondok Daun” (Zakharia 14:16) untuk menunjukkan bagaimana kehadiran

bangsa-bangsa lain bukan hanya untuk menyerahkan upeti namun juga untuk masuk

dalam penyembahan kepada Allah yang benar. Smith melihat bagian terakhir dari pasal

14 ini sebagai gambaran dunia setelah Armageddon dimana Allah kemudian akan

memisahkan bangsa-bangsa yang menyembahNya dan yang tidak menyembahNya. Allah

akan memanggil bangsa-bangsa yang menyembahNya untuk berbagian sebagai umat

Allah dan menghukum bangsa-bangsa yang tidak menyembahNya.333

Dan dalam bagian selanjutnya di ayat 20 digambarkan Allah hadir mengendarai

kuda, yang merupakan simbol kehadiran Pahlawan perang. Gambaran ini juga muncul

dalam literatur apokaliptik, seperti dalam Wahyu 19, yang merujuk pada konsep Allah

sebagai Pahlawan perang. Kepulangan Pahlawan perang ini menunjukkan sebuah bentuk

pemerintahan yang baru. Smith mengkaitkan bentuk pemerintahan yang baru ini dengan

ayat 21 yang menunjukkan bagaimana pemerintahan Allah kini tidak lagi berbasis kepada

nasionalisme tertentu, namun lebih bersifat Universal.334 Conrad menambahkan, kalimat

333
Smith, Micah - Maleach, 292.
334
Smith, Micah - Maleach, 293.
“Maka segala kuali di Yerusalem dan di Yehuda akan menjadi kudus bagi TUHAN

semesta alam; semua orang yang mempersembahkan korban akan datang mengambilnya

dan memasak di dalamnya” (Zakharia 14:21). menunjukkan pemerintahan Universal ini

bukan hanya menegakkan pemerintahan Allah atas semesta, namun juga membawa

semesta untuk menerima dan menikmati berkat Allah.335 Hal ini akan menggenapi Janji

Allah kepada Abraham dan keturunannya untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa.

Dengan demikian, gambaran Allah sebagai Pahlawan perang dalam bagian ini justru

membawa dampak universal dan men-subversif batas-batas nasionalisme Yudaisme kuno

tentang umat Allah.

Kitab Sastra

Kitab Mazmur

Pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas bukan hanya mencakup pergerakan

sejarah namun perbedaan konsep perang dari genre-genre yang berbeda untuk melihat

keragaman teologi yang berkembang. Dengan memahami bahwa keragaman genre tulisan

dalam Alkitab juga memberikan penekanan makna teologis tertentu, maka bagian ini

penulis akan mencoba menelusuri juga konsep perang dalam genre sastra. Kitab-kitab

sastra dalam Perjanjian Lama seringkali dipahami berisi kitab Ayub, Mazmur, Amsal

Pengkotbah, dan Kidung Agung. Salah satu yang terbesar dari kelima kitab ini adalah

kitab Mazmur. Longmann menyatakan bahwa Mazmur adalah “the heart of the Old

Testament”.336 Hal ini tidak berlebihan sebab di dalam kitab Mazmur termuat bukan

335
Conrad, Zechariah, 197.
336
Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 237.
hanya doa-doa dan pujian-pujian yang indah, namun juga konsep teologis yang

mendalam mengenai Allah, ciptaan, dan segala tindakan Allah dalam dunia ini. Oleh

karena itulah, penulis merasa penting untuk mengikutsertakan kitab Mazmur sebagai

bagian dalam penelitian tentang konsep perang dalam Perjanjian Lama.

Secara umum kitab Mazmur dipahami memiliki beberapa jenis nyanyian, yaitu

Nyanyian pujian, Keluhan Umat, Keluhan Pribadi, Nyanyian Syukur, Mazmur Kerajaan,

dan Mazmur Hikmat.337 Osborne menambahkan dengan beberapa Mazmur perayaan dan

Mazmur yang bersifat mengutuk.338 Setiap Mazmur ini memiliki ciri khas dan penekanan

yang berbeda-beda. Salah satu ciri khas kuat dari Mazmur yang menekankan kepada

tema perang adalah Mazmur-Mazmur Kerajaan.339 Meskipun demikian nampaknya tema

perang juga muncul dalam beberapa bentuk mazmur pujian maupun mazmur ratapan,

berhubungan dengan kemenangan atas perang maupun penindasan yang di alami akibat

musuh-musuh.

Melihat banyaknya kemungkinan akan munculnya tema perang dalam kitab

Mazmur maka penulis hendak memilih salah satu bagian saja yang terdapat dalam

Mazmur 46. Mazmur 46 ini merupakan salah satu mazmur yang populer dan sudah

dikenal oleh jemaat Kristen cukup lama. Gillingham menyatakan bahwa “Psalm 46 was

popular, especially in its form in the Scottish Metrical Psalter, produced by John Knox

shortly after the founding of the Church of Scotland in 1560.”340 Selain itu, Weiser juga

337
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2, 44-58.
338
Grant R. Osborne, Hermeneutika Spiral (Surabaya: Momentum, 2012), 274-75.
339
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2, 56-57.
340
Susan Gillingham, Psalms Through the Centuries, jilid 1 (Oxford: Blackwell, 2008), 156.
menyatakan bahwa Mazmur 46 merupakan inspirasi Luther sehingga ia menciptakan lagu

‘A safe stronghold our God is still’.341 Selain terkenal dan memberikan inspirasi bagi

tokoh besar gereja, Mazmur 46 merupakan mazmur yang unik dan rumit. John Eaton

melihat Mazmur ini sebagai refleksi dari drama sakramental dari festival musim gugur,

dimana kekuatan jahat atau kekacauan bertemu dengan kehadiran Allah sebagai bagian

dari pengalaman eskatologis yang melahirkan pujian dan ucapan keyakinan.342 Dalam

bagian ini, secara unik penulis menyusun Mazmur ini dalam tiga lapis yang berbeda dan

di dalam setiap lapis ini gambaran penaklukan dan peperangan muncul di masing-masing

tema dengan cara yang unik dan penggunaan bahasa metaforikal yang menarik.

Eksposisi Mazmur 46

Mazmur 46 menggunakan struktur tersendiri untuk membentuk pesan teologis.

Arthur Weiser mengusulkan pembagian umum yang melihat mazmur ini dalam 3 bagian

besar.

Bait 1. Kekacauan Alam (Mazmur 46:1-4)

Bait 2. Bangsa-bangsa mengamuk (Mazmur 46:5-8)

Bait 3. Kehadiran Kerajaan Damai (Mazmur 46:9-12).343

Pembagian ini mengikuti “sela” yang biasa muncul dalam puisi Ibrani untuk memberikan

tanda berakhirnya satu bait. Struktur ini memberikan penekanan pada bait ketiga sebagai

341
Arthur Weiser, The Psalms (Philadelphia, Pennsylvania: The Westminster Press, 1962), 366.
342
John Eaton, The Psalms (London: T. and T. Clark International, 2003), 190.
343
Arthur Weiser, The Psalms (Philadelphia, Pennsylvania: The Westminster Press, 1962), 367-
73.
pesan utama dari Mazmur 46. Sedangkan, Samuel Terrein melihat bahwa bait satu dan

dua dari puisi ini merupakan bagian yang bersifat khiastik sehingga Terrin membagi

Mazmur ini hanya dalam dua bagian.344

Bait Pertama (Mazmur 46:2-8)


a.Tempat perlindungan dan kekuatan ayat 2a.
b. Pertolongan Tuhan ayat 2b
c.Bumi bergoncang ayat 3a
d.Laut bergelora ayat 4a
e. Kota Allah ayat 5a
e’.Pertolongan yang tepat ayat 6b
pada waktunya
d’.bangsa-bangsa bergoncang dan bergelora ayat 7a
c’. Dunia hancur ayat 7b
b’.Tuhan semesta alam bersama kita ayat 8a
a’.Benteng perlindungan dan kekuatan ayat 8b

Bait Kedua (Mazmur 46: 9-12)


a. Penghancuran dan kedamaian dari Allah ayat 9-10
b.Pemerintahan Allah dan Pengagungan ayat 11-12

Dalam bagian ini, Terrin melihat bahwa penekanan Mazmur ini terletak pada tema kota

Allah sebagai simbol pertolongan dan perlindungan.

Mazmur 46 diawali dengan keterangan “Dari bani Korah. Dengan lagu: Alamot.”

(Mazmur 46:1 ITB). Keterangan ini memberikan indikasi latar kesejarahan. Abraham Ibn

Ezra menyatakan bahwa lagu ini diciptakan oleh anak-anak Korah yang hidup sejaman

dengan raja Hizkia hingga masa Sanherib. Puisi ini berbicara mengenai kondisi

Yerusalem dalam masa-masa perang.345 Pada masa Hizkia, kerajaan Yehuda dikepung

oleh beberapa kerajaan besar seperti Asyur dan Mesir. Meskipun demikian, Yehuda

memiliki kubu-kubu pertahanan yang kuat mengelilingi kota Yerusalem. Kubu-kubu ini

344
Samuel Terrien, The Psalms: Strophic Structure and Theological Commentary (Grand Rapids,
Michigan: Eerdmans, 2003), 373-74.
345
Abraham Ibn Ezra, Commentary On The Second Book of Psalms: Chapter 42-72, terj. H.
Norman Strickman (Boston, Massachusetts: Academic Studies, 2009), 28.
dibangun abad 9-8 sM dan mengalami perkembangan hingga masa Hizkia.346 Gambaran

kota dan geologis penulis inilah yang nampaknya digunakan untuk menyampaikan berita

teologis dalam nyanyian ini.

Mazmur 46 diawali dengan seruan pengakuan akan keyakinan pada Allah.

Pengakuan ini menyatakan bahwa Allah adalah tempat perlindungan dan kekuatan (ayat

2a). Penggunaan kata ‫ ַמ ְחסֶּה‬yang memiliki makna “aman/kuat, tempat yang tidak dapat

diakses” merujuk kepada metafora suaka atau tempat perlindungan.347 Metafora ini

mengarah pada kondisi geografis Zion yang dikelilingi barisan perbukitan dan gunung

dengan dialiri oleh beberapa aliran sungai membuat Zion menjadi tempat yang cukup

subur dan juga tepat sebagai benteng pertahanan. Kraus menambahkan bahwa kondisi

geografis gunung Zion di sebelah utara memberikan gambaran sebagai lokasi

bertahktanya Allah yang Maha Tinggi yang dari sana kegembiraan dan berkat

mengalir.348

Selain itu, frasa “penolong dalam kesesakan sangat terbukti” (Mazmur 46:1b)

memberikan indikasi akan adanya pengalaman di masa lalu yang menjadi alasan dari

pengakuan keyakinan Israel pada Yahweh. Peter C. Craigie mengkaitkan frasa ini dengan

kondisi kekacauan yang digambarkan melalui gejolak alam (ayat 3-4) sebagai gambaran

dari bahasa perang Allah yang juga muncul dalam Kejadian 1:1-2 dan Keluaran 15 ketika

Allah menciptakan langit bumi dan mengatasi kekuatan Primodial water sebagai

346
Mario Liverani, Israel’s History and the History of Israel (London: Equinox, 2003), 136.
347
Hans Joachim Kraus, Psalms 1-59 (Minneapolis: Fortress, 1993), 461.
348
Kraus, Psalms 1-59, 462.
lambang kekacauan, juga ketika Allah membebaskan dan membawa Israel keluar dari

Mesir.349 Pengalaman ini menghadirkan dua gambaran Allah di masa lalu, yaitu Allah

sebagai pencipta semesta dan pahlawan perang Israel.

Gambaran Allah sebagai pencipta dan pahlawan perang ini dipertajam dengan

gambaran ketiga mengenai Allah sebagai Raja. Konsep Allah sebagai Raja diwakili oleh

frasa “Kota Allah, kediaman Yang Mahatinggi” (Mazmur 46:5). Richard J. Clifford

membandingkan bagian ini dengan literatur tentang dewa El yang menunjukkan

bagaimana El juga memerintah sebagai raja di atas bukit dengan dialiri oleh dua sungai

besar.350 Perbandingan ini memberikan pemahaman bahwa Allah Yahweh adalah Raja

bagi Israel. Ia memerintah dari Zion, kota suci Allah, pusat dari dunia.

Kehadiran pemerintahan Allah bukan tanpa cobaan dan masalah. Dalam ayat ke-7

digambarkan adanya ketidakstabilan politik. Frasa “Bangsa-bangsa ribut, kerajaan-

kerajaan goncang” (Mazmur 46:7) dikaitkan dengan kekacauan alam yang ada dalam

bagian sebelumnya (ayat 3-4) untuk menunjukkan perlawanan atas pemerintahan Allah

bukan hanya bersifat kekacauan alam namun juga perlawanan dari bangsa-bangsa.351

Perlawanan ini ditanggapi dengan serius oleh Allah. Penulis mazmur ini menggunakan

kata Yahweh Sebaoth ( ‫ְהוָ֣ה ְצב ָָ֣אֹות‬


ָ ‫ )י‬yang memiliki makna Allah yang berperang. Frasa ini

bukan hanya menunjukkan kehadiran Allah namun juga tindakan aktif Allah dalam

membawa pembebasan.352 Weiser menambahkan bahwa penggunaan kata Yahweh

349
Peter C. Craigie, Psalms 1-50 (Waco, Texas: Word Books, 1983), 344.
350
Richard J. Clifford, Psalms 1-72 (Nashville, Tennessee: Abingdon, 2002), 228.
351
Craigie, Psalms 1-50, 345.
352
John Goldingay, Psalms, jilid 2 (Grand Rapids, Michigan: Baker Academic, 2007), 70.
Sebaoth menggemakan kembali nada peperangan kuno dimana Allah dari tabut

Perjanjian itu hadir dan bertarung dalam pertempuran bagi Israel.353 Hal ini menunjukkan

bahwa kondisi dalam Mazmur 46:1-8 bukan sekedar masalah perlindungan dari bahaya,

namun gambaran dari kondisi perang Allah melawan segala hal yang hendak

menghancurkan umat PerjanjianNya, Israel.

Gambaran pertempuran Allah bagi Israel ini ditutup dengan kemenangan yang

Allah capai dan kehadiran kerajaan damai dari Allah (ayat 9-11). Kemenangan ini diraih

melalui penaklukan total yang Allah kerjakan terhadap musuh-musuh Israel. Penaklukan

ini menjadi tanda hadirnya kedamaian yang kekal. Clifford menyatakan bahwa

penggunaan gambaran “mematahkan busur panah, menumpulkan tombak, membakar

kereta-kereta perang dengan api!” (Mazmur 46:9) merujuk kepada kedamaian yang Allah

peroleh melalui jalan perang.354 Konsep ini berhubungan dengan kondisi politik antar

negara yang terjadi dalam dunia kuno dimana kedamaian yang dihasilkan atas dasar

kerelaan untuk bekerjasama dan tidak saling menyerang hampir tidak ditemukan. Jika

merujuk kepada dokumen-dokumen perjanjian masa itu, seperti yang umum dibaca

dalam dokumen Hittite, maka kondisi damai tetap hadir berdasarkan penaklukan dari

kelompok yang menang terhadap kerajaan-kerajaan yang sudah ditaklukan. Atas

kemenangan inilah maka hanya Allah Yahweh saja yang layak menerima hormat dan

ditinggikan di antara segala bangsa.

Dari penjelasan di atas maka dapat dilihat bagaimana konsep perang digunakan

dalam mazmur keyakinan iman untuk menggambarkan pemahaman Israel mengenai

353
Weiser, The Psalms, 372.
354
Clifford, Psalms 1-72, 229.
perlindungan Allah. Mazmur ini menggemakan lagi pemahaman akan Allah sebagai

pahlawan perang Israel yang hadir dalam sejarah kehidupan Israel. Mulai dari

membebaskan Israel dari Mesir, membawa Israel melalui padang gurun, hingga menjaga

Israel di tanah Perjanjian menjadi bukti nyata dan alasan kuat dari kepercayaan Iman

Israel. Selain itu, yang unik dari mazmur ini adalah bagaimana perang dipahami sebagai

jalan mencapai pendamaian. Karena itu perang Allah adalah sesuatu yang sifatnya tidak

terhindarkan dan hanya melaluinya kerajaan Allah yang damai itu dihadirkan.

Teks-Teks Perjanjian Baru

Kisah perang di dalam Alkitab bukan hanya terdapat dalam naskah-naskah

Perjanjian Lama, namun juga terdapat dalam beberapa bagian di Perjanjian Baru. Kisah-

kisah perang Gog Magog, Harmageddon, serta konsep mengenai peperangan rohani

menjadi bagian dari pemahaman perang dalam Perjanjian Baru. Dengan memahami

bahwa konsep perang juga terdapat dalam Perjanjian Baru, maka penulis juga

memasukkan beberapa bagian dalam teks Perjanjian Baru untuk diteliti lebih lanjut.

Teks-teks seperti Matius 24:3-14, Efesus 6:10-20, Wahyu 16 dan Wahyu 20 menjadi

teks-teks yang dipilih penulis untuk memahami konsep perang dalam Perjanjian Baru.

Kitab Injil

Injil Matius

Perjanjian Baru merupakan kumpulan kitab yang memiliki beberapa genre tulisan

yang berbeda-beda, salah satu jenis tulisan dalam Perjanjian Baru adalah Injil. Gordon
Fee menjelaskan bahwa Injil merupakan salah satu jenis sastra yang unik, dimana Injil

merupakan gabungan dari biografi, narasi, dan khotbah yang mencoba menyatakan

kebenaran sejarah serta pemahaman teologis tertentu yang hendak disampaikan penulis

Injil tersebut.355 Dalam hal ini, pemahaman akan konteks kehidupan Yesus serta konteks

kehidupan penulis menjadi sesuatu yang penting untuk dipahami agar dapat menafsirkan

berita Injil secara tepat.

Dengan memahami keunikan Injil sebagai biografi-teologis, penulis memilih

Matius 24:3-14 sebagai salah satu dari tiga Injil sinoptik yang memuat konsep perang.

Guthrie menyatakan, “berdasarkan kutipan yang terdapat dalam tulisan bapa-bapa gereja

mula-mula, Injil Matius terbukti lebih banyak dipakai dibandingkan semua Injil lain. 356

Beberapa Bapa Gereja seperti Papias, Eusebius, Origen meyakini bahwa Injil ini

ditulis oleh Matius dengan dialek Ibrani Aram dan gaya penulisan Ibrani yang kental.357

Beberapa pandangan menyangsikan kepenulisan Matius dengan argumen bahwa frasa

“” baru ditambahkan beberapa tahun kemudian oleh gereja mula-mula.

Akan tetapi, argumen ini kurang kuat untuk dapat menggugurkan kepenulisan Matius

355
Fee dan Stuart, How to Read the Bible for All Its Worth, 124-27. Bdk. Donald Guthrie,
Pengantar Perjanjian Baru, jilid 1 (Surabaya: Momentum, 2008), 3. Guthrie menjelaskan bahwa ada
kemungkinan Injil juga merupakan jenis tulisan aretologi, yaitu kisah perbuatan ajaib yang dilakukan oleh
para ilah atau pahlawan. Adapun usulan lebih lanjut juga coba diberikan oleh Goulder, Guilding, dan
Carington yang menyamakan Injil dengan bentuk leksionari Yahudi dalam pembacaan di ibadah Kristen
mula-mula. Dari beberapa pandangan ini, penulis lebih setuju untuk melihat Injil sebagai sebuah catatan
biografi yang memiliki muatan teologis tertentu. Dengan alasan bahwa penekanan akan kehidupan,
pengajaran, serta karya keselamatan yang Yesus kerjakan jauh lebih kuat dibandingkan kisah-kisah
keajaiban yang Yesus perbuat.
356
Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru, jilid 1, 13.
357
Leon Morris, The Gospel According to Matthew (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1992),
12.
yang diterima secara luas dalam tradisi.358 Sebab frasa “” bukan

menunjukkan bahwa kitab ini merupakan kitab pseudonymous namun lebih kepada

menambahkan keterangan dari kitab anonymous.359 Oleh karena itu, penulis lebih setuju

dengan pandangan tradisional yang menyatakan bahwa Injil Matius ditulis oleh rasul

Matius yang merupakan murid Yesus.

Dengan menerima kepenulisan Matius, dapat diperkirakan bahwa Injil ini ditulis

sekitar tahun 80-100 M berdasar dugaan bahwa kepenulisan Injil Markus sekitar tahun

55-70 M.360 Jika menerima pandangan ini, artinya Injil Matius ditulis pada masa setelah

kehancuran tembok Yerusalem. Dalam kurun waktu ini, baik orang Kristen maupun

orang Yahudi di Yerusalem menyebar luas ke beberapa daerah di kerajaan Roma, dan

sebagai kelompok diaspora, nampaknya mereka kerap berkumpul dan saling

mempengaruhi. Dengan latar belakang ini, Keener menyatakan bahwa Injil Matius

diberikan sebagai sebuah buku pegangan mengenai pengajaran dan kehidupan Yesus

kepada orang Kristen Yahudi di beberapa gereja yang Matius kenal, juga sebagai sebuah

berita yang relevan bagi misi penginjilan kepada orang non-Yahudi, serta menjawab

polemik yang terjadi antara pengajaran Yahudi dan Kristen.361

358
Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru. jilid 1, 35-37. Argumentasi yang lain atas keberatan
kepenulisan rasul Matius didasarkan pada pandangan bahwa pengutipan Injil Matius terhadap Injil Markus
dirasa beberapa pihak mengurangi otoritas kerasulan Matius.
359
D. A. Carson dan Douglas J. Moo, An Introduction to the New Testament. ed. ke-2 (Grand
Rapids, Michigan: Zondervan, 2005), 141.
360
Carson dan Moo, An Introduction to the New Testament, 152.
361
Craig S. Keener, A Commentary on the Gospel of Matthew (Grand Rapids, Michigan:
Eerdmans, 1999), 45-51.
Eksposisi Matius 24:3-14

Matius 24:3-14 merupakan bagian dari pengajaran Yesus yang terakhir sebelum

Yesus ditangkap dan disalibkan. Stanley Hauerwas melihat bagian ini sebagai bagian

pengajaran apokaliptik Yesus, dimana peperangan antar bangsa mendominasi pesan

apokaliptis pada akhir zaman,362 sedangkan Morris melihat bahwa perang ini berkaitan

dengan penghakiman Allah di akhir zaman.363 Keterkaitan antara akhir zaman,

penghakiman, dan perang adalah sesuatu yang menarik untuk dibahas lebih mendalam.

Matius 24:3-14 dimulai dengan pertanyaan akan tanda kedatangan Yesus dan

tanda dari akhir zaman (ayat 3). Pertanyaan pertama mengenai kapan hal itu terjadi

merujuk kepada perkataan Yesus sebelumnya dalam Matius 23:36, di mana Yesus

menubuatkan penghakiman bagi ahli Taurat dan orang Farisi pada generasi tersebut.

Bagian ini dikaitkan dengan penekanan para murid terhadap perihal waktu dan peristiwa

kehancuran Bait Suci yang kemungkinan besar merujuk pada konsep mengenai

kedatangan hari Tuhan.364 Komunitas Qumran meyakini bahwa kedatangan Mesias akan

terjadi dua kali, yang pertama ia akan datang seperti nabi Harun dan yang kedua seperti

raja Daud.365 Kedatangan Mesias ini yang kemudian menandai akhir dari penantian akan

pembebasan Israel dan pembalasan Allah pada musuh-musuh Israel. Pengharapan ini

362
Stanley Hauerwas, Matthew (Grand Rapids, Michigan: Brazos, 2006), 201.
363
Morris, The Gospel According to Matthew, 594.
364
Grant R. Osborne, Matthew, ed. Clinton E. Arnold. (Grand Rapids, Michigan: Zondervan
2010), 868-69.
365
Donald A. Hagner, The New Testament: A Historical and Theological Introduction (Grand
Rapids, Michigan: Baker Academic, 2012), 36.
berakar dari janji melalui nabi Yoel tentang kedatangan hari Tuhan (Yoel 1:15, Yoel

3:14-21).

Selain berita kehancuran, Osborne menambahkan bahwa pemahaman mengenai

kedatangan Yesus dan kehancuran yang terjadi menunjukkan harapan akan kehadiran

Mesias yang menaklukkan musuh umat Allah dan membawa pemerintahan yang baru.366

Pengharapan ini lebih dipahami secara politis oleh murid-murid pada masa itu, sehingga

pemahaman mengenai Mesias yang menaklukkan disematkan kepada Yesus terkait

dengan berita penghukuman yang Yesus sampaikan di bagian sebelumnya.

Menanggapi pertanyaan para murid mengenai akhir zaman dan kedatangan Yesus

yang kedua, Yesus menjawab pertanyaan ini dengan dua tanda, yaitu penyesatan dan

penderitaan. Untuk memperjelas bagian ini, Osborne membagi struktur ayat 4-14 menjadi

dua bagian besar:367

I. Penipuan besar dan penderitaan besar (Matius 24:4-8)

A. Mesias palsu menipu banyak orang (ayat 4-5)


1. Nasehat untuk berwaspada (ayat 4)
2. Penipuan Besar (ayat 5)
B. Penderitaan besar yang mendekat (ayat 6-8)
1. Perang-perang tidak menandai hari akhir (ayat 6)
2. Perang, kelaparan, dan gempa bumi hanyalah awal (ayat 7-8)
II. Kemurtadan besar dan misi besar (Mat. 24:9-14)
A. Kesusahan besar (ayat 9)
B. Kemurtadan besar (10-12)
1. Kemurtadan, penghianatan, dan kebencian (ayat 10)
2. Nabi-nabi palsu datang untuk menyesatkan (ayat 11)
3. Hilangnya kasih (ayat 12)
C. Yang bertahan mendapat selamat (ayat 13)
D. Misi besar pada dunia (ayat 14)

366
Osborne, Matthew, 869.
367
Osborne, Matthew, 873.
Dari bagian ini, kita dapat melihat bagaimana perang yang terjadi dipahami sebagai awal

dari tanda-tanda kehadiran hari Tuhan.

Tanda-tanda kehadiran hari Tuhan sering dilihat sebagai bagian dari tema teks-

teks apokaliptik yang berkembang dari abad ke-2 sM hingga abad 2 M. Hagner

menjelaskan bahwa

The essence of the apocalyptic perspective is its temporal dualism of two ages: the
present age and the age to come. This is accompanied by a metaphysical or cosmological
dualism of light and darkness, God and Satan (or evil), engaged in a cosmic struggle.
According to the apocalyptic perspective, this age will end, and the new age will begin
only by the direct action of God.368

Konsep ini jika dikaitkan dengan nubuatan perang pada teks Matius 24, maka dapat

ditafsirkan dalam dua bentuk waktu yaitu masa kini dan masa akan datang.

Perang dalam pemahaman masa kini, menurut Osborne dan Keneer dipahami oleh

pembaca Matius sebagai pemberontakan Yehuda atas Roma yang terjadi sekitar tahun

66-70 M.369 Hal ini menjadi tanda bagi jemaat mula-mula bahwa kedatangan Yesus kali

kedua sudah sangat dekat dan sudah dimulai. Sedangkan Ulrich Luz lebih melihat bahwa

dimensi apokaliptik Yahudi yang cenderung dapat melihat dalam rentang waktu yang

tidak terperkirakan, membuat perang dalam bagian ini tidak menunjuk pada satu perang

saja, namun juga dapat mengarah pada rentang waktu yang lebih jauh (kemungkinan

perang Phyrgia 53 M, Asia 61 M, Lembah Likus 61 M, atau Yahudi tahun 66-73 M).370

368
Hagner, The New Testament, 39.
369
Osborne, Matthew,874. Bdk. Keener, A Commentary on the Gospel of Matthew, 569.
370
Ulrich Luz, Matthew 21-28, ed. Helmut Koester. terj. James E. Crouch (Minneapolis,
Mississippi: Fortress, 2005), 192-93.
Sekalipun waktu perang tidak bisa ditentukan secara pasti, namun bagian ini

memberikan peringatan akan bahaya dan penderitaan yang akan datang. Menambahkan

hal ini, Keneer melihat nubuatan Yesus mengenai perang, juga kelaparan dan gempa,

sebagai gema tradisi Yahudi mengenai akhir zaman dan kemahakuasaan Allah yang

melampaui sejarah.371

Berita mengenai perang jelas menjadi bagian yang cukup penting baik bagi

murid-murid Yesus maupun pembaca awal kitab Matius. Bagi murid Yesus yang

mengharapkan kehadiran Yesus sebagai Mesias yang menaklukan, berita perang menjadi

pengharapan terwujudnya pemerintahan baru , dimana para murid akan memerintah

bersama Yesus dalam pemerintahan ini (Matius 20:21). Sedangkan bagi pembaca awal

kitab Matius, berita mengenai perang menjadi pertanda bahwa apa yang Yesus sampaikan

telah menjadi kenyataan dan bahwa hari Tuhan akan membawa jemaat keluar dari

penderitaan akibat penganiayaan dari pihak Yahudi maupun Romawi. Berita perang yang

dikaitkan dengan ayat 13 juga berarti bahwa sekalipun kondisi akan semakin sulit dan

membahayakan, namun Tuhan tetap memegang kendali atas segala yang terjadi,372

sehingga usaha untuk bertahan dalam iman kepada Yesus menjadi tidak sia-sia.

Sekalipun para penafsir melihat nubuatan ini sebagai perang dalam pengertian

fisik, namun perang dalam Matius 24:3-14 hanyalah sebuah tanda awal akan dimulainya

akhir zaman dan kedatangan hari Tuhan. Baik Yesus maupun penulis Matius, tidak

371
Keener, A Commentary on the Gospel of Matthew, 568. Nubuatan mengenai peristiwa-
peristiwa ajaib dan supranatural juga terdapat dalam teks-teks Arrian, Hesiod, dan tradisi keagamaan Roma
tentang hadirnya binatang aneh, kelaparan, gempa bumi dan bermacam hal lainnya.
372
Morris, The Gospel According to Matthew, 598.
memberikan sebuah aturan jelas apakah orang Kristen harus ikut serta dalam perang atau

tidak. Yang Yesus tekankan hanya bahwa perang ini harus terjadi untuk menggenapi

kedatangan hari Tuhan (Matius 24:6). Frasa “harus” inilah yang menjadi bukti Allah

memegang kendali atas sejarah kehidupan manusia hingga pada akhirnya,373 sehingga

terjadinya perang tetap ada dalam rencana dan jalan Allah untuk kebaikan manusia dan

tujuan mulia Allah (Yesaya 29:11).

Surat Paulus

Mayoritas Perjanjian Baru berisi surat; kurang lebih ada 21 surat dari Roma

hingga Yudas. Genre ini pada umumnya tidak berbeda dengan bentuk surat pada masa

kini. Namun, yang terpenting dalam menafsir dan membaca surat-surat Perjanjian Baru

adalah menyadari bahwa surat-surat itu merupakan occasional documents.374 Dalam hal

ini, penekanan terhadap konteks pembaca masa itu sangat penting untuk mengetahui tema

utama dan permasalahan penting yang hendak disasar oleh surat tersebut. Dengan

memahami ini, setiap surat memiliki keunikan tersendiri karena ditujukan untuk

komunitas yang berbeda dan permasalahan yang berbeda.

Surat Efesus

Salah satu dari sedemikian banyak surat dalam Perjanjian Baru yang hendak

dibahas oleh penulis dalam bagian ini adalah surat kepada jemaat di Efesus. Meski secara

373
Osborne, Matthew, 874.
374
Fee dan Stuart, How to Read the Bible for All Its Worth, 52.
umum diterima sebagai tulisan Paulus, baik dalam kalangan orthodoks hingga Marcion,,

beberapa kalangan modern, seperti H. J. Cadbury, meragukan kepenulisan Efesus yang

dirasa memiliki perbedaan gaya bahasa dengan tulisan Paulus pada umumnya.375 Guthrie

mengatakan, “Bagi banyak orang, Surat Efesus adalah surat Paulus yang paling

mengharukan, tetapi bagi sebagian lain, surat ini tidak lebih dari karya seorang yang

menulis ulang tema-tema Paulus.”376

Ernest Best melihat bahwa surat Efesus ditulis oleh Paulus atau minimal

seseorang yang memahami benar tradisi pengajaran Paulus, sebab keterkaitan surat

Efesus dan Kolose yang begitu dekat membuat sangat sulit untuk menolak bahwa kedua

surat ini ditulis oleh dua orang yang berbeda.377 Serupa dengan Best, Talbert378 dan

Hoehner379 juga menyatakan bahwa sangat sulit untuk menyangkali kepenulisan Paulus

dalam tulisan Efesus.

Kepenulisan Paulus dalam surat Efesus sangat penting untuk melihat tujuannya.

Secara umum dipahami bahwa surat Efesus merupakan surat edaran yang ditulis oleh

Paulus untuk jemaat-jemaat di Asia Kecil sebelum tahun 95 M, dan bukan hanya untuk

jemaat Efesus saja.380 Dengan memahami bahwa surat Efesus merupakan surat edaran,

tema surat ini bersifat lebih umum dibandingkan surat-surat Paulus lainnya. Karena

375
Carson dan Moo, Introduction to the New Testament, 480.
376
Donald Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru, jilid 2 (Surabaya: Momentum, 2009), 87.
377
Ernest Best, Ephesians, ed. C. E. B. Cranfield. (Edinburg: T. and T. Clark, 1998), 36.
378
Charles H. Talbert, Ephesians and Colossians, ed. Mikeal Parsons dan Charles Talbert (Grand
Rapids, Michigan: Baker Academic, 2007), 11.
379
Harold W. Hoehner, Ephesians (Grand Rapids, Michigan: Baker Academic, 2002), 60-61.
380
Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru. jilid 2, 89, 124.
sifatnya yang umum, surat Efesus menjadi salah satu surat penting dalam gereja mula-

mulayang tidak hanya menjadi sapaan pastoral, namun juga menjadi pegangan doktrinal.

Senada dengan ini, Kitchen menyatakan bahwa sebagai surat edaran, surat Efesus

menunjukkan adanya fenomena sejarah dari katolisitas paling sederhana yang ditulis oleh

Paulus bagi jemaat Kristen mula-mula.381 Katolisitas paling awal ini dapat dilihat melalui

kesamaan pemahaman doktrinal yang dimuat dalam surat Efesus dengan beberapa bagian

lain dari surat-surat Paulus, terutama kesamaan surat Efesus dan Galatia. Dalam

pemahaman katolisitas awal inilah, konsep peperangan rohani menjadi salah satu pokok

bahasan yang penting.

Konsep perang di dalam Efesus 6:10-20 lebih mengarah pada peperangan

spiritual. Talbert menyatakan bahwa peperangan rohani berkaitan langsung dengan

keseluruhan surat ini, dan dianggap penting oleh jemaat-jemaat yang di beberapa daerah

di Asia kecil yang secara langsung berhadapan dengan kuasa-kuasa kegelapan.382 Tema

ini berhubungan erat dengan konsep Divine Warrior dalam beberapa bagian Perjanjian

Lama yang kini diadaptasi untuk menekankan komunitas orang percaya sebagai

pengejawantahan tubuh Kristus sebagai Divine Warrior yang menaklukan kekuatan

kosmik.383

381
Canon M. Kitchen, Ephesians (London: Routledge, 1994), 10.
382
Talbert, Ephesians and Colossians, 158.
383
Hoehner, Ephesians, 818.
Eksposisi Efesus 6:10-20

Secara struktur retoris, bagian ini memiliki kemiripan dengan sejumlah sastra

Mediterania kuno tentang persiapan menghadapi konflik yang berbahaya.384 Retorika ini

biasanya diucapkan atau dituliskan oleh seorang komandan kepada batalion atau tentara

bawahannya untuk mempersiapkan diri dengan sungguh dan waspada untuk menghadapi

pertempuran yang akan terjadi. Sikap serupa juga dijumpai dalam paham Stoik Roma

dalam melihat kehidupan sebagai pertempuran terus menerus antara keinginan dan

rasio.385 Dalam hal ini, peperangan tidak hanya dilihat dari segi militer atau politik,

namun menjadi bagian reflektif kesadaran diri manusia akan adanya tarik menarik antara

kekuatan baik dan jahat, rasio dan keinginan, kehidupan dengan kematian.

Dalam pemahaman inilah, Paulus juga melihat bahwa kehidupan umat percaya

juga ada dalam peperangan yaitu peperangan rohani. Peperangan yang dihadapi orang

percaya bukan sekedar peristiwa sesekali, namun sebuah intense struggle yang

digambarkan sebagai pertandingan gulat (πάλη) dimana musuh hadir begitu dekat dan

selalu berusaha menyerang dan menjatuhkan.386 Dalam kondisi peperangan yang terus

menerus inilah orang percaya diminta untuk dapat bertahan dan tetap berdiri teguh dalam

iman pada Kristus. Dalam bagian ini, peperangan yang dilakukan tidak bersifat

menaklukan, namun mempertahankan. Hal ini berhubungan dengan kenyataan bahwa

384
Talbert, Ephesians and Colossians, 159.
385
Talbert, Ephesians and Colossians, 160.
386
Frank Thielman, Ephesians, ed. Robert Yarbrough dan Robert Stein (Grand Rapids, Michigan:
Baker Academic, 2010), 420.
Yesus sudah menang atas kuasa Iblis dan dosa, sehingga orang Kristen tidak dipanggil

untuk menaklukan namun untuk bertahan dalam Kristus.387

Bertahan tentu bukanlah hal yang mudah terutama sebab musuh yang dihadapi

bukanlah musuh secara darah dan daging, namun musuh-musuh spiritual. Pemahaman

Yahudi kuno berspekulasi bahwa asal usul kejahatan dapat dilihat dalam tiga aspek:

eksistensial (kejahatan hadir dari keberadaan oknum iblis sebagai sumber kejahatan),

kesejarahan (kejahatan diturunkan dalam sejarah melalui kesalahan Adam dan Hawa),

dan metafisika (Kejahatan atau setan bekerja dan bergulat dalam hati setiap orang untuk

menjatuhkan manusia dalam dosa).388 Dalam bagian ini, nampaknya Paulus

menggunakan pemahaman Yahudi kuno untuk merujuk kata “musuh-musuh” ini secara

eksistensial dan metafisika. Paulus menyatakan karena perjuangan kita bukanlah

melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah (ἀρχή), melawan

penguasa-penguasa(ἐξουσία), melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap

(κοσμοκράτορας τοῦ σκότους) ini, melawan roh-roh jahat (τὰ πνευματικὰ τῆς πονηρίας)

di udara (Efesus 6:12). Kata pemerintah-pemerintah, penguasa-penguasa, dan seterusnya

merujuk kepada realitas yang eksistensial. Sedangkan jika kita merujuk pada kata

“mengenakan/kenakan” dan kata “intense struggle” maka peperangan ini dapat dimaknai

juga secara metafisika, dimana eksistensi dari musuh-musuh ini hadir dalam hati setiap

orang percaya untuk menyerang dan menjatuhkan.389

387
Thielman, Ephesians, 419.
388
Talbert, Ephesians and Colossians, 163-164.
389
Bdk. Thielman, Ephesians , 418. Frasa “mengenakan” yang digunakan dalam bagian ini
memiliki kesamaan dengan Ef. 4: 22-24 yang menunjuk pada kualitas etis yang harus dimiliki. Sehingga
permasalahan yang terjadi tidak serta merta dari luar diri, namun justru hadir di dalam diri.
Dengan menyadari kenyataan dari peperangan yang terjadi, maka Paulus

memberikan sebuah strategi untuk umat percaya dapat tetap bertahan dalam iman pada

Kristus. Dalam bagian ini, penulis melihat bahwa strategi yang Paulus berikan dibagi

menjadi dua bagian besar. Bagian pertama berbicara mengenai berdiri teguh dan

mengenakan perlengkapan rohani (ayat 14-17) sebagai senjata rohani, dan pada bagian

yang kedua, ia berbicara tentang berjaga-jaga dalam doa (ayat 18-20) agar umat percaya

tetap dapat berdiri teguh dalam melalui peperangan kehidupan ini.390

Bagian yang pertama merupakan persiapan, dimana secara mendetail Paulus

menjelaskan mengenai perlengkapan-perlengkapan rohani yang harus dikenakan dalam

menghadapi perang. Pada bagian ini ada lima peralatan rohani yang harus digunakan

dalam menghadapi peperangan.

1. Berikatpinggangkan kebenaran

Kata ikat pinggang disini menggunakan kata “girded their waist with truth

(περιζωσάμενοι τὴν ὀσφὺν...ἐν ἀληθείᾳ)” atau secara literal berarti mengikatkan

pinggangnya dengan kebenaran. Menurut Thielman, frasa ini menggunakan gambaran

dari baju tentara Romawi dan Yahudi masa itu, dimana ikat pinggang biasanya digunakan

untuk melindungi dan juga membawa sebagai tempat untuk menggantungkan pedang.391

Dengan demikian dapat diartikan bahwa berikatpinggangkan kebenaran memiliki arti

sebagai perlindungan dan pertahanan diri atas kejahatan.

2. Berbaju-zirahkan keadilan

390
Peter T. O’Brien, The Letter of Ephesians (Leicester: Apollos, 1999), 472.
391
Thielman, Ephesians, 424.
Baju zirah adalah sebuah lempengan besi baja yang menutupi dada untuk melindungi dari

serangan dan panah musuh.392 Gambaran ini dikaitkan dengan kata kebenaran atau

keadilan (δικαιοσύνη). Hal ini mengingatkan pada Yesaya 59:17 yang menyatakan

kehadiran Allah sebagai pahlawan perang yang berbaju-zirahkan kebenaran dan ketopong

keselamatan. Hal ini menunjukkan kesediaan Allah untuk melakukan serangan aktif,

sedangkan dalam bagian ini Allah mengijinkan umatNya untuk mengenakan baju perang-

Nya untuk menunjukkan perlindungan Allah pada umatNya.393

3. Berkasutkan kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera

Selain baju zirah, tentara Romawi juga sering menggunakan caliga, semacam sepatu

yang digunakan dalam parade panjang.394 Thielman menambahkan bahwa sepatu

semacam ini biasanya dilengkapi dengan lempengan logam di bagian depan yang dapat

digunakan bertahan maupun untuk melakukan serangan. Keunikan logam ini dikaitkan

dengan pemberitaan Injil damai sejahtera yang sekaligus adalah kekuatan Allah (Roma

1:16). Kekuatan Injil inilah yang dapat menghadirkan damai sejahtera antara Allah dan

manusia berdosa, karena melalui Injil manusia menerima keselamatan dari Allah dan

berdamai dengan Allah, menjadi satu dengan umat percaya.395

4. Perisai iman

Peralatan keempat yang Paulus sebutkan adalah perisai iman. Perisai merupakan

peralatan khusus yang berfungsi untuk melindungi diri dari serangan musuh, baik untuk

392
O’Brien, The Letter of Ephesians, 474.
393
Thielman, Ephesians, 425.
394
O’Brien, The Letter of Ephesians, 475.
395
Best, Ephesians, 600.
serangan jarak dekat maupun jarak jauh. Dalam bagian ini perisai iman dibutuhkan untuk

memadamkan panah api dari si jahat (ayat 16). Ini berarti iman merupakan bagian yang

penting dan mendasar dalam pemahaman dan keyakinan bahwa Kristus akan melindungi

dari setiap pencobaan Iblis, dan membuat umat percaya dapat tetap berdiri teguh dalam

Dia.396

5. Ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah

Bagian yang terakhir dari perlengkapan rohani adalah ketopong keselamatan dan pedang

Roh. Best melihat kaitan bagian ini dengan nuansa eskatologis tentang pengharapan yang

pasti bagi orang percaya dalam Yesaya 59:17.397 Sedangkan pedang Roh digambarkan

sebagai μάχαιραν, yakni sejenis pisau yang biasa digunakan untuk memotong buah

namun cukup besar untuk digunakan dalam pertarungan jarak dekat.398 Gambaran pisau

dengan dua kegunaan ini memiliki kemiripan dengan gambaran Ibrani 4:12 tentang

firman Allahyang berguna untuk melawan kekuatan jahat dan membawa keselamatan

bagi orang yang percaya.

Bagian pertama ini dikaitkan dengan bagian kedua tentang masalah berdoa dan

berjaga-jaga. Menurut O’Brien, doa bagi Paulus adalah “foundational for the deployment

of all the other weapons”.399 Dengan memahami bahwa peperangan ini bukan melawan

musuh jasmaniah yang terlihat dan mudah dilawan, namun melawan musuh spiritual

yang begitu gigih untuk menyerang dan menjatuhkan, maka mengenakan perlengkapan

396
Thielman, Ephesians, 427.
397
Best, Ephesians, 602.
398
Thielman, Ephesians, 428.
399
O’Brien, The Letter of Ephesians, 484.
rohani tidaklah cukup tanpa terus bergantung pada kuasa Allah melalui doa. Frasa

“berdoa” dan “berjaga-jaga” juga menggemakan kembali perkataan Yesus kepada tiga

muridNya dalam Matius 26:40-41 untuk berjaga-jaga terhadap pencobaan dari si jahat.

Frasa awal, “dalam segala doa dan permohonan” (Efesus 6:18) merujuk pada

keadaan hidup yang berdoa. Kondisi hidup yang berdoa ini bukan sekedar melibatkan

sikap tubuh namun arah dari Roh dan keseluruhan kehidupan internal kita. Oleh sebab

itu, Paulus menggunakan kata “dalam Roh (ἐν πνεύματι)” dan “dengan sungguh-sungguh

(προσκαρτερήσει)” sebagai bentuk devosi internal dari kehidupan doa.400 Devosi internal

inilah yang memberikan kekuatan bagi orang percaya untuk dapat menggunakan

kekuatan Allah dan seluruh persenjataan rohani untuk melawan kekuatan si Jahat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kehidupan orang percaya adalah

lahan peperangan yang intens antara iman pada Kristus dengan kuasa kegelapan.

Peperangan dalam bagian ini dipahami sebagai peperangan secara spiritual, baik dalam

aspek eksistensial maupun metafisika. Oleh sebab itu, Paulus menyarankan kepada umat

percaya untuk mengenakan perlengkapan rohani dan terus berjaga-jaga dalam doa dan

bergantung penuh kepada Allah dalam setiap kehidupan yang berdoa, karena inilah cara

yang paling baik untuk dapat bertahan dari gempuran si jahat dan tetap berdiri teguh

dalam iman pada Kristus hingga kesudahannya.

400
Thielman, Ephesians, 434.
Kitab Apokaliptik

Kitab Wahyu

Satu-satunya kitab dalam Perjanjian Baru yang menggunakan genre Apokalitik

adalah kitab Wahyu. Menurut Fee dan Stuart, genre apokaliptik mulai muncul dan

berkembang sekitar tahun 200 sM hingga 200 M di kalangan Yahudi dan Kristen401 untuk

menyampaikan konsep teologis serta kritik sosial dengan bahasa simbolis yang dipahami

oleh kelompok-kelompok minoritas masa tersebut. John J. Collins mendefinisikan genre

ini sebagai

a genre of revelatory literature with a narrative framework, in which a revelation is


mediated by an otherworldly being to a human recipient, disclosing a transcendent reality
which is both temporal, insofar as it envisages eschatological salvation, and spatial
insofar as it involves another, supernatural world.”402

Sebagai sebuah penyingkapan, kitab Wahyu memuat makna eskatologis yang

menjembatani antara dunia saat ini dan akan datang, serta dunia yang jasmani dan realitas

dunia spiritual. Menjelaskan lebih lanjut, Osborne menyatakan bahwa

Apokalipsis mencakup komunikasi wahyu tentang rahasia-rahasia sorgawi oleh makhluk


dunia lain kepada seorang pelihat yang memaparkan penglihatan-penglihatan itu di dalam
kerangka kerja narasi; penglihatan-penglihatan itu menuntun para pembaca ke dalam
suatu realitas transenden yang harus didahulukan atas situasi-situasi yang sedang
berlangsung dan mendorong para pembaca untuk bertahan di tengah penderitaan mereka.
Penglihatan-penglihatan itu membalikkan pengalaman normal dengan membuat misteri-
misteri sorgawi itu menjadi dunia nyata dan melukiskan krisis masa kini sebagai yang
sementara, situasi yang tidak nyata. Ini diperoleh melalui Allah mengubah dunia ini bagi
orang-orang yang setia.403

401
Fee dan Stuart, How to Read the Bible for All Its Worth, 256.
402
Brian K. Blount, Revelation (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox, 2009), 14.
403
Osborne, Hermeneutika Spiral, 328.
Kitab Wahyu ditulis pada masa pemerintahan kaisar Domitian, kurang lebih

sekitar tahun 90-95 M.404 Domitian memperlakukan orang Yahudi dan Kristen secara

kejam, serta memaksa rakyat untuk menyembah dia sebagai Tuhan.405 Dalam kondisi

seperti inilah sastra apokaliptik muncul sebagai suara pengharapan yang memberikan

motivasi untuk setiap pembacanya dapat bertahan di dalam kondisi krisis.406

Mengingat bahwa kitab Wahyu juga merupakan kitab yang paling akhir ditulis

dari seluruh kitab Perjanjian Baru,, dapat disimpulkan bahwa kitab ini adalah pembawa

warisan terakhir dari para rasul Kristus.

Dalam kitab Wahyu terdapat dua teks peperangan yang cukup terkenal dalam

Alkitab, yaitu perang Harmagedon (Wahyu 16) dan perang Gog-Magog (Wahyu 20).

Sebagai kitab yang sarat gambaran-gambaran peperangan, penulis mencoba memilih dua

bagian teks ini dengan beberapa pertimbangan berikut:

1. Teks perang Harmagedon merupakan sebuah persiapan akan puncak dari perang

Anak Domba Allah melawan si Ular Tua dan pasukan-pasukannya.407

2. Perang Harmagedon merupakan titik awal dari peperangan kosmik di dalam kitab

Wahyu yang ditandai dengan dikumpulkannya seluruh pasukan si Ular Tua dan

Binatang-binatang yang bermunculan sebelumnya.408

404
Carson dan Moo, An Introduction to the New Testament, 712
405
Blount, Revelation, 8-9.
406
Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru. jilid 3 (Surabaya: Momentum, 2004), 271-272.
407
Grant R. Osborne, Revelation (Grand Rapids, Michigan: Baker Academic, 2002), 589. Hal
yang sama juga dinyatakan oleh Blount mengenai perang Harmagedon sebagai “Envisioning the Final
Battle”. Blount, Revelation, 302-303.
408
Blount, Revelation, 308.
3. Teks Perang Gog-Magog merupakan puncak dari eskalasi perang di dalam Kitab

Wahyu dimana keseluruhan bangsa yang melawan Allah bersatu padu untuk

mengadakan peperangan terakhir.409

4. Perang Gog Magog juga merupakan bagian akhir dari hancurnya kuasa Iblis serta

penghakiman yang Allah atas seluruh ciptaan. Teks ini juga merupakan titik

peralihan untuk menyambut kemuliaan Kristus dalam langit dan Bumi yang

baru.410

Eksposisi Wahyu 16

Wahyu 16 merupakan kelanjutan dan penggenapan dari berita tentang murka

Allah dalam Wahyu 15. Wahyu 15:1 menyatakan “Dan aku melihat suatu tanda lain di

langit, besar dan ajaib: tujuh malaikat dengan tujuh malapetaka terakhir, karena dengan

itu berakhirlah murka Allah.” Penglihatan ini merujuk pada apa yang terjadi dalam

Wahyu 16. Tujuh malaikat dengan tujuh cawan malapetaka menjadi penggenapan bagi

murka Allah yang tertumpah atas dosa manusia. Dalam Wahyu 16 malaikat turun dan

menumpahkan cawan malapetaka pada tujuh tempat yang berbeda. Sehingga, Wahyu 16

dapat kita susun dalam struktur seperti di bawah ini: 411

1. Perintah Ilahi Wahyu 16:1


2. Cawan pertama atas bumi Wahyu 16:2
3. Cawan kedua atas laut Wahyu 16:3
4. Cawan ketiga atas sungai-sungai dan mata-mata air Wahyu 16:4-7
5. Cawan keempat atas matahari Wahyu 16:8-9

409
Osborne, Revelation, 712.
410
Blount, Revelation, 359.
411
Mitchell G. Reddish, Revelation, ed. Mark K. McElroy (Georgia, Atlanta: Smyth and Helwys,
2001), 303.
6. Cawan kelima atas takhta binatang Wahyu 16:10-11
7. Cawan keenam atas sungai Efrat - Persiapan perang Wahyu 16:12-16
8. Cawan ketujuh ditumpahkan ke angkasa - Perang Wahyu 16:17-21

Dalam struktur ini, Wilfrid J. Harrington melihat bahwa malapetaka yang pertama hingga

keempat berhubungan erat dengan alam ciptaan, tulah kelima berhubungan dengan

kerajaan dunia, sedangkan tulah keenam dan ketujuh berbicara mengenai perang

eskatologis antara Allah dan kekuatan kosmik yang jahat.412 Dan letak perang

Harmageddon berhubungan erat dengan kehadiran cawan keenam dan ketujuh.

Kehadiran cawan keenam ditandai dengan mengeringnya sungai Efrat. Pada

masa itu, sungai Efrat menandai batas timur dimana tanah Perjanjian diberikan pada

Abraham dan keturunannya, serta juga menjadi pembatas antara daerah kekuasaan Roma

dan daerah kekuasaan Persia yang menguasai dari sungai Indus hingga Efrat.413 Dua

kerajaan ini merupakan lambang kekuatan dari dua daerah besar di barat dan timur. Jika

dihubungkan dengan ayat 16 , hal ini menunjukkan bahwa dua lambang kekuasaan

kerajaan-kerajaan dunia bersatu untuk melawan Allah. Kehadiran tiga roh-roh jahat yang

mengirimkan tiga roh najis pada bagian ini merujuk pada nubuat Yehezkiel 38-39,

Zakharia 14, dan 1 Henokh 56, 90 yang menubuatkan bahwa pada hari-hari akhir semua

musuh Israel akan bersekutu untuk melawan Israel namun Allah akan berintervensi dan

menyelamatkan umat-Nya.414 Hal ini jelas merujuk pada perang akhir yang bersifat

412
Wilfrid J. Harrington, Revelation, ed. Daniel J. Harrington (Collegeville, Minnesota: The
Liturgical, 1993), 164-69.
413
Robert H. Mounce, The Book of Revelation, ed. Ned B. Stonehouse, F. F. Bruce, dan Gordon
D. Fee (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1977), 298.
414
Ben Witherington III, Revelation (Cambridge, England: Cambridge University Press, 2003),
210.
eskatologis antara kekuatan si jahat yang bermanifestasi melalui kerajaan-kerajaan dunia

melawan kekuatan Allah.

Perang eskatologis ini dinubuatkan terjadi di Harmagedon (ayat 16). Kata

Harmagedon berasal dari kata Αρμαγεδών yang oleh beberapa penafsir diartikan sebagai

Har-Magedo atau gunung Megiddo.415 Megiddo merupakan kota kuno yang terletak 70

kaki di atas permukaan air laut di sebelah utara Palestina di antara lembah Yasril atau

Esdraelon.416 Daerah ini kemungkinan besar merupakan lokasi dari beberapa perang kuno

yang signifikan, antara lain perang Thutmose III melawan koalisi kerajaan-kerajaan

Kanaan pada tahun 1468 sM. Perang antara Debora dan Barak melawan koalisi Kanaan

dan juga beberapa perang penting lainnya.

Pandangan berbeda disampaikan oleh Fiorenza yang menyatakan bahwa “The

multivalence of the author’s mythological-symbolic language cannot be reduced to a

single one-dimensional definition! Such multivalence expresses the author’s interest in

giving prophetic interpretation rather than geographic-eschatological information.”417

Harmagedon juga dapat dipahami secara simbolik merujuk pada Gunung Zion atau kota

Yerusalem sebagai lambang dari kehadiran kerajaan Allah yang akan menaklukan semua

musuhnya dalam perang terakhir.418

415
Mounce, The Book of Revelation, 301. Bdk. Jurgen Roloff, Revelation, terj. John E. Alsup dan
James S. Currie (Minneapolis, Minnesota: Fortress, 1993), 191.
416
Osborne, Revelation, 594.
417
Witherington III, Revelation, 211.
418
Osborne, Revelation, 595.
Peperangan di Harmagedon ini berkaitan dengan pemberitaan mengenai cawan

ketujuh. Lohmeyer menyatakan bahwa cawan keenam bukanlah benar-benar tulah tapi

sebuah persiapan untuk yang berikutnya.419 Hal ini memberikan kaitan antara

berkumpulnya para raja dari timur dan barat (ayat 16) dengan kehancuran dahsyat yang

terjadi (ayat 18-21). Penggunaan gambaran akan terjadinya kilat, gempa, dan runtuhnya

beberapa kota-kota bahkan hilangnya pulau-pulau merupakan bagian dari penggambaran

perang ilahi secara kosmik. Aune membandingkan bagian ini dengan catatan dalam

Sibylline Oracles 3.689-92 yang menyatakan bahwa Allah akan menghakimi semua

manusia dengan perang dan pedang, dengan api dan hujan yang amat deras dan berbagai

macam fenomena alam yang mengerikan sebagai bentuk penghukuman dan murka

Allah.420 Selain itu, rujukan pada turunnya hujan es yang dahsyat menggemakan kembali

peristiwa di Mesir dimana Allah berperang bagi Israel melalui tulah-tulah untuk

membawa Israel bebas dari perbudakan.421 Hal ini menunjukkan adanya dua sisi utama

dari perang yang kembali digemakan dalam bagian ini, yakni penghakiman dan

pembebasan. Yang berbeda, perang sebagai penghakiman dan pembebasan dalam bagian

ini merupakan gambaran simbolis dari tindakan Allah secara spiritual.

419
Osborne, Revelation, 596.
420
David E. Aune, Revelation 6-16, ed. Ralph P. Martin. (Nashville, Tennessee: Thomas Nelson,
1998), 900.
421
Osborne, Revelation, 600.
Eksposisi Wahyu 20

Wahyu 20 merupakan catatan paling akhir yang terdapat dalam Alkitab mengenai

perang. Bagian ini menjadi pembuka bagi hadirnya langit dan bumi yang baru,

Yerusalem yang baru. Secara struktur, teks Wahyu 20 dapat disusun dalam empat

bagian;422

A. Iblis di penjara sementara ayat 1-3


B. Kebangkitan yang pertama ayat 4-6
C. Perang Eskatologis ayat 7-10
1. Iblis dilepaskan ayat 7
2. Misi dari Iblis ayat 8
3. Serangan besar-besaran dari tentara Iblis ayat 9a
4. Kehancuran tentara dari Iblis ayat 9b
5. Penghukuman akhir bagi Iblis ayat 10
D. Penghakiman Terakhir ayat 11-15

Dalam struktur seperti ini, perang Gog-Magog hadir sebagai pembuka bagi rentetan

penghakiman terakhir yang Allah akan berikan bagi Iblis, tentara-tentara Iblis, dan orang-

orang mati.

Kisah perang Gog-Magog diawali dengan ditangkapnya si Iblis (ayat 1-3) dan

hadirnya Kerajaan Seribu Tahun (ayat 4-6). Dalam Wahyu 20:2-3 dikatakan bahwa Iblis

akan dibelenggu dan dimasukkan ke dalam jurang ditutup dengan meterai. Bagian ini

dimaknai oleh Mounce bukan sebagai hukuman, namun sebuah pencegahan atas kuasa

jahat yang berupaya menyesatkan bangsa-bangsa.423 Osborne menambahkan bahwa

bagian ini juga membuktikan bahwa Allah berkuasan untuk mengontrol segala kekuatan

422
David E. Aune, Revelation 17-22, ed. Ralph P. Martin (Nashville, Tennessee: Thomas Nelson,
1998), 1079-1081.
423
Mounce, The Book of Revelation, 353.
jahat.424 Upaya untuk membatasi dan mengontrol ini dilakukan dengan tujuan untuk

mempersiapkan kehadiran Kerajaan Seribu tahun.

Selain dalam kitab Wahyu, ide tentang Kerajaan Seribu Tahun hanya ditemukan

dalam dua kitab apokaliptik Yahudi, yaitu 4 Ezra dan kitab Apokaliptik Barukh.425

Meskipun ketiganya ini memiliki kesamaan ide mengenai Kerajaan yang akan bertahan

dalam waktu lama dan peperangan dengan kekuatan jahat, namun catatan mengenai

kebangkitan yang pertama hanya dijumpai dalam kitab Wahyu. Selain itu, kehadiran

sosok Raja penyelamat yang dipenuhi dalam pemikiran apokaliptik Wahyu, namun

nampaknya hal ini tidak bersumber pada tradisi pengharapan Mesianik Yahudi dalam

teks intertestamental, akan tetapi pada Yehezkiel 37-48.426 Munculnya nama Gog-Magog

dalam Wahyu 20:8 mengingatkan pada pembalasan murka Allah dan janji restorasi Israel

(Yehezkiel 39:21-29).

Kehadiran kondisi damai selama seribu tahun ini mengalami perubahan ketika

Allah sengaja melepaskan si Ular Tua untuk menyesatkan bangsa-bangsa dari empat

penjuru, yaitu Gog dan Magog. Kata “Gog” dalam bagian ini mengingatkan pada nama

dari raja Mesekh dan Tubal (Yehezkiel 38:2-3), sedangkan kata “Magog” kemungkinan

besar adalah nama dari leluhur orang Mesekh dan Tubal (1Tawarikh 1:5) yang

merupakan simbol dari bangsa-bangsa asing yang memerangi Allah dan umat-Nya.427

424
Osborne, Revelation, 699.
425
Roloff, Revelation, 224. Kedua kitab ini mencatat bahwa Mesias akan datang dan mendirikan
sebuah Kerajaan yang akan bertahan dalam waktu yang lama, namun tidak kekal. Ia akan berperang dan
mengalahkan dua monster jahat, memerintah, mati bersama dengan seluruh manusia, lalu memulai kembali
segala perhitungan waktu.
426
Roloff, Revelation, 224-225.
427
Aune, Revelation 17-22, 1094.
Merujuk pada makna simbolik ini, maka dapat diartikan bahwa pada masa itu Iblis

mencari orang-orang yang tidak percaya dan mengumpulkan mereka untuk melawan dan

mencobai orang-orang percaya. Hal ini merujuk pada kondisi penderitaan yang dialami

pembaca mula-mula kitab Wahyu di bawah pemerintahan kaisar Domitian, namun juga

dapat bersifat nubuatan akan penderitaan lain yang terjadi di masa selanjutnya.

Kehadiran bangsa-bangsa dari empat penjuru untuk memusuhi umat Allah dan

mengepung perkemahan orang-orang Kudus (ayat 8b-9a) merupakan gambaran dari

strategi penaklukan dalam perang-perang kuno. Gambaran ini merupakan kiasan dari

nubuatan Yesus dalam Lukas 21:20 tentang datangnya penghancuran besar. Jika dalam

Lukas 21:20 Yesus menubuatkan kehancuran Yerusalem yang terjadi pada tahun 70 M,

akan tetapi dalam Wahyu 20 kehancuran besar ini merujuk pada penghakiman terakhir

kepada kekuatan Iblis dan kerajaan-kerajaan dunia yang melawan Allah dan umat-Nya.

Menambahkan bagian ini, Osborne menyatakan bahwa penggunaan frasa “siang dan

malam” memiliki arti kekal.428 Selain itu, kehadiran Allah sebagai Hakim dan Raja

membawa kitab kehidupan (ayat 12) menggambarkan kemenangan penghakiman Allah

terhadap Iblis dan para pengikutnya yang bersifat kekal.

Dengan melihat runtutan kisah ini, maka dapat disimpulkan bahwa perang yang

terjadi dalam Wahyu 20 memiliki aspek spiritual dan kosmik. Aspek spiritual dari perang

Gog-Magog hadir melalui kehadiran figur Iblis yang berusaha menyesatkan bangsa-

bangsa untuk melawan Allah. Sedangkan aspek kosmik dari perang Gog-Magog hadir

melalui keikutsertaan bangsa-bangsa untuk melawan Allah dan umat-Nya.

428
Osborne , Revelation, 716.
BAB IV

KONTINUITAS DAN DISKONTINUITAS PEMAHAMAN PERANG

Berdasarkan hasil dari bab tiga, pemahaman perang dalam Perjanjian Lama dan

Baru mengalami pergerakan pemahaman. Dalam pergerakan ini ada beberapa aspek dari

pemahaman perang yang tetap bertahan (continue) dan juga berganti (discontinue).

Pergerakan pemahaman tentang perang dalam beberapa teks yang diambil oleh penulis

dapat diringkaskan sebagai berikut

Alamat Genre Waktu Bentuk Peran Tema Utama Aspek-aspek lain


Israel
Keluaran Puisi, 1447-1407 Fisik Pasif Pembebasan 1. Penghukuman
15:1-21 Himne sM bagi bangsa non-
Israel (Mesir)
2. Bersifat
mempertahankan
diri (defensif)
3. Perang secara
kosmik
Ulangan Hukum 1447-1407 Fisik Sinergis Penggenapan 1. Perebutan
20 sM janji Allah wilayah
2. Penghukuman
3. Iman dan
ketaatan pada
Allah
4. Kekudusan Allah
5. Nuansa
pengorbanan
(herem)
Yosua Narasi Akhir abad Fisik Sinergis Pemenuhan 1. Masalah
5:13-6:27 15 sM – janji Allah dan perebutan
awal abad 14 penghukuman wilayah
sM. 2. Israel sebagai
Instrumen
Penghukuman
3. Penyertaan Allah
4. Perang kosmik
5. Perang sebagai
ibadah
6. Ketaatan
Hakim- Narasi Akhir abad Fisik Sinergis Penghukuman 1. Masalah
Hakim 4- 13 sM – bagi Israel mempertahankan
5 awal abad 12 wilayah
sM 2. Pola berkat dan
kutuk
3. Pertobatan yang
membawa
pembebasan
4. Problem gender
(Kepemimpinan
wanita)
5. Perang memiliki
nuans a kosmik
1 Samuel Narasi Sekitar Fisik Aktif- Independensi 1. Perang
4-6 tahun 1050 Inisiatif Allah dan berhubungan
sM penghukuman dengan masalah
bagi Israel dan politik
Filistin 2. Allah sebagai
pahlawan Perang
3. Perang spiritual
antara Allah dan
Dagon
4. Pola “keluaran”
dan
“pembuangan”.
Mazmur Mazmur Abad 9 sM - Kosmik, Pasif Allah sebagai 1. Yahweh Sebaoth
46 Keyakinan, 8 sM kemungkinan pertolongan (Allah yang
Mazmur dilatar- dan berperang)
Kerajaan belakangi perlindungan 2. Pembebasan
perang fisik. 3. Allah sebagai
Raja
4. Kerajaan Damai
hadir melalui
perang Allah
Yesaya Narasi 745-680 sM Fisik dan Pasif Penghakiman 1. Perang
42:10-43: Nubuat (Kepenulisan Spiritual dan berhubungan
7 tunggal pembebasan dengan masalah
Yesaya) Perjanjian Allah
2. Israel berperan
sebagai objek
perang Allah
1 Raja- Narasi 555-539 sM Fisik Aktif- Penghukuman 1. Perang
Raja Inisiatif Allah bagi berhubungan
22:1-40 Israel dengan masalah
politik
2. Peran nabi dalam
perang
Yesaya Narasi 587-530 sM Spiritual Pasif Janji 1. Pembebasan
42:10-43: Nubuatan (Kepenulisan keselamatan 2. Pemerintahan
7 Deutero- Allah
Yesaya) 3. Perjanjian
Universal
Ester 8-9 Narasi 486–465 sM Fisik Sinergis Perlindungan 1. Perang
Allah berhubungan
dengan masalah
dendam dan
politik internal
2. Aspek misi
Zakharia Narasi Abad 3 sM - Spiritual dan Pasif Hari Tuhan 1. Hukuman Allah
14 Pengharapan akhir 1 sM Eskatologis atas dunia
Mesianik 2. Aspek Misi
3. Hadirnya
kerajaan Allah
yang universal
4. Konsep umat
Allah yang
universal
Matius Narasi Injil 80-100 M Eskatologis Pasif Hari Tuhan 1. Berita penyesatan
24:3-14 dan penderitaan
2. Bertahan dalam
iman
3. Allah memegang
kendali atas
semua
4. Perang sebagai
bagian dari misi
Allah
Efesus Narasi Sebelum Spiritual Sinergis Peperangan 1. Perlengkapan
6:10-20 tahun 95 M rohani rohani
2. Doa
3. Bertahan dalam
iman
Wahyu Apokaliptik Sekitar tahun Spiritual dan Pasif Penghakiman
16 90-95 M Eskatologis dan
pembebasan
Wahyu Apokaliptik Sekitar tahun Spiritual dan Pasif Kerajaan 1. Restorasi
20 90-95 M Eskatologis Seribu Tahun kerajaan
2. Penghakiman
terakhir
3. Allah sebagai
hakim dan raja
4. Bersifat spiritual
dan kosmik
Dari tabel di atas, penulis menemukan beberapa pola pergerakan yang terjadi,

antara lain;

1. Perang dalam Alkitab, terkhusus dalam rentan masa abad 14 sM hingga abad 5

sM masih banyak bersifat fisik, sekalipun unsur spiritual juga muncul dalam 1

Samuel 4-6 begitu juga unsur kosmik dalam Keluaran 15 dan Hakim-Hakim 4-5,

namun belum terlalu mendapatkan penekanan.

2. Penekanan perang secara spiritual dan eskatologis mulai nampak jelas dalam kitab

Yesaya, terkhusus Yesaya versi Deutero-Yesaya. Selanjutnya, perang dari zaman

Yesaya hingga wahyu dipenuhi dengan pemahaman perang secara spiritual dan

eskatologis.

3. Hal lain yang menarik adalah setiap kali Israel berperan aktif-inisiatif dan dengan

tujuan politik maka Israel selalu mengalami kekalahan dalam perang (1Samuel 4-

6 dan 1 Raja-Raja 22:1-40), tetapi jika perang dimulai dari Allah dan Israel

berpartisipasi di dalamnya maka Israel mendapatkan kemenangan. Hal ini

menunjukkan bahwa persetujuan boleh tidaknya kita berperang bergantung pada

inisiatif Allah dan bukan inisiatif kita. Dengan demikian, orang Kristen jika

memperbolehkan sebuah perang terjadi harus memiliki dasar argumentasi dan

bukti yang solid bahwa Allah yang berinisiatif dalam perang dan bukan manusia.

4. Dalam Perjanjian Baru, perang lebih banyak secara eskatologis dan spiritual.

Hanya satu bagian perang dalam Perjanjian Baru yang mana umat Allah dipanggil

untuk aktif berperang dalamnya, yaitu perang secara spiritual dalam Efesus 6:10-

20. Selain itu, Allah secara independen berperang dengan bala tentaraNya dan

umat cenderung pasif dalam peperangan fisik maupun kosmik.


Berdasarkan hasil dari data yang dihimpun, maka ditemukan beberapa hal yang terus

berlangsung (continue) dan beberapa hal yang tidak berlangsung (discontinue).

Kontinuitas Perang

Dari hasil analisa bab tiga, penulis menemukan bahwa tema perang dalam Alkitab

tidak terlepas dari pemahaman Israel sebagai umat Perjanjian Allah. Dalam pemahamann

Perjanjian ini, tema perang berkaitan erat dengan pembebasan dan penghukuman Allah.

Dalam Keluaran hingga Yosua, Allah menggunakan perang bukan hanya untuk

membawa Israel keluar dari tanah Mesir menuju Kanaan namun juga memberikan

penghukuman bagi bangsa-bangsa yang melawan Israel. Hal ini berkaitan dengan

perjanjian Allah dengan Abraham, “Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati

engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau,” (Keluaran 12:3). Oleh

sebab itu, peperangan Israel tidak terlepas dari tema pembebasan dan penghukuman.

Pola pembebasan dan penghukuman juga menjadi pola yang selaras dengan

berkat dan kutuk. Dalam akhir Ulangan 11:26-29, pemahaman berkat dan kutuk dikaitkan

dengan kesetiaan Israel pada perjanjian dengan Allah. Sehingga dalam kitab Hakim-

hakim kita dapat melihat bagaimana ketidaksetiaan Israel pada Allah menghadirkan

perang sebagai hukuman, dan pertobatan Israel juga menghadirkan perang sebagai

pembebasan. Tema perang sebagai penghukuman dan pembebasan dari Allah juga terus

berlanjut dalam kitab-kitab sejarah hingga nabi-nabi. Dalam 1Raja-Raja 22:1-40 Allah

menggunakan perang sebagai hukuman bagi Ahab, sedangkan dalam Ester Allah

menggunakan perang untuk melindungi dan membebaskan Israel dari ancaman

pemusnahan oleh Haman.


Pemahaman perang sebagai pembebasan juga nampak dalam kitab Yesaya

dimana perang disatu sisi menjadi hukuman bagi ketidaksetiaan Israel, namun juga disisi

lain perang menjadi pengharapan akan pembebasan Israel dari pembuangan. Pemahaman

perang sebagai pembebasan bukan sekedar terjadi secara fisik, namun juga secara

spiritual dan eskatologis. Dalam Zakharia 14 diperlihatkan bagaimana Allah

menggunakan perang untuk menghukum dunia dan menghadirkan kerajaan Allah di

dunia. Lebih lanjut, dalam kitab Wahyu tema perang sebagai penghukuman dan

pembebasan juga terus disampaikan. Secara eskatologis, perang digambarkan sebagai

cara Allah untuk menjatuhkan hukuman, memusnahkan kuasa jahat, dan menghadirkan

pembebasan bagi orang-orang yang percaya kepada Allah.

Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa pemahaman perang dalam Alkitab

secara berlanjut memperlihatkan tema penghukuman dan pembebasan. Bagi umat Allah

yang beriman pada Allah dan taat pada perjanjian Allah, perang akan menjadi sebuah

bentuk pembebasan, baik secara politik maupun secara spiritual. Sedangkan bagi orang

tidak percaya, perang menjadi bagian dari cara Allah menghukum mereka dan

menyatakan kerajaan dan kuasa-Nya. Selain itu, dalam tema penghakiman dan

penghukuman inilah pemahaman mengenai Iman, ibadah, dan Kerajaan Allah saling

terkait satu dengan yang lain.429

429
Sekalipun pemahaman mengenai tema kerajaan Allah yang dikaitkan dengan perang lebih
sering muncul dalam literatur masa pembuangan, namun konsep bahwa kerajaan Israel adalah kerajaan
milik Allah sudah muncul bersama dengan kesadaran bahwa Israel adalah umat pilihan Allah.
Diskontinuitas Perang

Perang dalam Alkitab bukan hanya memberikan keberlangsungan tema dari

Perjanjian Baru menuju Perjanjian Lama, namun juga menunjukkan beberapa aspek yang

tidak berlanjut. Aspek yang pertama adalah Aspek perebutan wilayah dan

mempertahankan wilayah. Tema perebutan wilayah dalam perang hanya muncul dalam

situasi dimana Israel mau masuk menuju tanah Kanaan, sedangkan setelah masuk ke

tanah Kanaan aspek perebutan wilayah tidak nampak lagi. Lebih banyak tema

mempertahankan wilayah muncul setelah Israel masuk ke tanah Kanaan, terutama dalam

kitab Hakim-hakim. Hal ini berhubungan dengan kondisi sosial dan politik Israel, dimana

terjadi perubahan status dari bangsa yang baru bebas menuju bangsa yang menetap.

Perubahan status ini mempengaruhi perubahan aspek perang dari tema perebutan wilayah

menuju tema mempertahankan wilayah.

Aspek kedua yang tidak berlanjut adalah aspek politik. Dalam peperangan Israel,

aspek politik lebih banyak muncul dalam masa kerajaan dimana relasi Israel dan bangsa-

bangsa lain memungkinkan muncul perang-perang dengan alasan politik, seperti yang

dilakukan oleh Ahab dalam 1Raja-Raja 22. Sekalipun demikian, kehancuran kerajaan

Israel pada masa pembuangan dan munculnya perubahan dari umat Allah secara nasional

menuju umat Allah secara spiritual, menjadikan tema politik berhentim dari relasi dengan

perang. Sekalipun pengharapan Mesianik orang-orang masa intertestamental bahkan

hingga Perjanjian Baru memberikan gambaran tentang pengharapan Mesianik secara

politik, namun Alkitab dengan pasti menunjukkan bagaimana Mesias hadir untuk

menyelesaikan konflik spiritual dan menghadirkan kerajaan Allah secara spiritual, bukan
politik. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa aspek politik dalam perang mengalami

ketidakberlanjutan (discontinuity).

Aspek ketiga adalah aspek fisik. Dalam Perjanjian Lama, khususnya dalam masa

Musa hingga masa kerajaan, peperangan terjadi secara fisik. Peperangan Israel melawan

Moab, Filistin, Amalek, dan bangsa-bangsa Kanaan terjadi dengan pertumpahan darah.

Meskipun dalam peperangan fisik beberapa bangsa memahami adanya unsur spiritual,

yaitu peperangan antara Allah Israel melawan ilah bangsa lain, namun unsur spiritual ini

tidak menjadi bagian yang dominan. Akan tetapi, peperangan Israel secara fisik mulai

berganti di masa pembuangan, dimana Israel tidak lagi memiliki raja dan pasukan.

Kehancuran kerajaan Israel dan munculnya kembali pemahaman mengenai kerajaan

Allah yang universal dan spiritual membuat pemahaman perang juga berganti dari perang

antara Israel dan bangsa-bangsa lain secara fisik, menuju perang Allah yang sifatnya

spiritual. Hal ini nampak dalam nubuatan nabi-nabi masa pasca pembuangan, seperti

Yesaya dan Zakharia yang melihat bahwa dalam peperangan eskatologis, Allah tidak

berperang sekedar melawan bangsa-bangsa yang berdosa, namun melawan kekuatan

jahat. Oleh karena itu, peperangan ini tidak bisa dikatakan sebagai perang fisik, namun

lebih mengarah pada perang spiritual dan eskatologikal.

Selain itu, pemahaman mengenai umat Allah juga mengalami perubahan di masa

pembuangan. Kehancuran kerajaan Israel mengakibatkan konsep umat Allah lebih

bersifat spiritual. Dimana umat Allah atau kaum remnant tidak lagi sekedar dilihat

berdasarkan asal usul bangsa, namun lebih dilihat berdasar kesetiaan pada Allah. Hal ini

makin jelas dengan dalam Perjanjian Baru, terutama melalui pelayanan Paulus. Dimana

umat Allah, keturunan Abraham bukan lagi berbicara masalah genetik, namun lebih pada
masalah spiritual. Oleh karena itu, Paulus mengatakan mereka yang hidup dari iman,

mereka itulah anak-anak Abraham (Galatia 3:7). Dengan berubahnya pemahaman umat

Allah secara nasionalis menuju spiritual, maka pemahaman mengenai perang fisik juga

berhenti. Sebab tidak ada satupun bangsa yang dapat membenarkan perang dengan

landasan bahwa mereka umat pilihan Allah, sebab umat pilihan bukan masalah politik

atau nasionalisme tertentu, namun masalah iman dan relasi spiritual dengan Allah yang

hidup. Dengan demikian, landasan untuk berperang secara fisik dalam Alkitab

mengalami diskontinuitas, sekalipun peperangan seca4ra spiritual tetap berlangsung

hingga akhir zaman.

Sintesis Biblikal-Teologis tentang Perang dalam Alkitab

Dengan melihat adanya sisi-sisi yang berlanjut dan adanya bagian-bagian yang

tidak berlanjut dalam perang. Ditambah dengan adanya data-data mengenai perang yang

didapat dari penelusuran dalam bab tiga. Maka perlu adanyan sebuah sintesa Biblikal-

Teologis mengenai perang dalam Alkitab. Dalam bagian ini, penulis akan

membandingkan hasil yang diperoleh dengan pemahaman dari dua tokoh yang terlebih

dahulu membahas mengenai perang, yaitu Susan Niditch dan Tramper Longman.

Secara umum, perang dalam Alkitab dapat dibagi menjadi dua kelompok besar,

yaitu perang secara fisik atau spiritual. Perang secara fisik dalam Alkitab terjadi lebih

banyak dalam relasi antara Israel dengan bangsa-bangsa lain, sebagai contoh perang

antara Israel dan Mesir (Keluaran 15), Israel dan Yerikho (Yosua 5:13-6:27), Israel dan

Kanaan (Hakim-Hakim 4-5), dan lain sebagainya. Sedangkan, perang spiritual lebih

banyak muncul dalam Perjanjian Baru, dimana perang spiritual berkaitan erat dengan
kekuatan dewa-dewa, penguasa-penguasa di udara, dan musuh-musuh supranatural. Dari

dua bentuk perang yang terjadi dalam Alkitab, muncul beberapa pemahaman mengenai

perang, antara lain;

Perang sebagai Bentuk Ibadah

Kehidupan Israel kuno tidak pernah lepas dari kehidupan ibadah. Longman dan

Reid menyatakan bahwa “In ancient Israel, all of life was religious, all of life was related

to God.”430 Hal ini juga termasuk permasalahan mengenai perang. Dalam pemahaman

Israel kuno, perang dipahami sebagai bagian dari ibadah. Hal ini ditunjukkan melalui

penggunaan kata herem dalam beberapa teks perang, salah satunya dalam Ulangan 20:17.

Penggunaan kata herem dalam Alkitab menunjukkan dua makna, yaitu makna

dikhususkan atau ditentukan untuk dihancurkan. Dalam Imamat 27:28 kata herem

digunakan dalam konteks persembahan nazar memiliki makna dikhususkan. Hal ini

seperti yang terjadi dalam kisah Hana yang mempersembahkan Samuel atau kisah

Simson yang dikhususkan bagi Allah. Penggunaan kata herem ini berbeda dengan

pemahaman dalam Ulangan 20, dimana dalam konteks perang, kata herem digunakan

dalam makna ditentukan untuk dihancurkan, hal ini merujuk pada Ulangan 7:26.

Pemahaman ini nampaknya sejalan dengan konsep Timur Dekat Kuno yang tercatat

dalam inskripsi Mesha yang berisi;

So I went by night and fought against it from the break of dawn until noon, taking it and
slaying all, seven thousand men, boys, women, girls, and maid-servants for I had devoted
them to destruction for (the god) Ashtar-Chemosh, (ANET, 321, trans. W.F. Albright).431
430
Tremper Longman III dan Daniel G. Reid, God is a Warrior (Grand Rapids, Michigan:
Zondervan, 1995), 32.
431
Susan Niditch, War in Hebrew Bible: A Study in the Ethic of Violence (Oxford: Oxford
University Press, 1993), 31.
Pemahaman herem yang merujuk kepada tindakan penghancuran ini nampaknya

memiliki kemiripan dengan pemahaman herem mengenai makna dikhususkan untuk

dihancurkan. Sekalipun demikian, Niditch melihat ada perbedaan besar antara

pemahaman Israel dengan kebudayaan Timur Dekat Kuno dimana penghancuran yang

dilakukan oleh Israel bukan semata-mata untuk kehancuran namun lebih dilihat sebagai

tindakan ketaatan dan pengabdian (devotion).432

Tindakan pengabdian merupakan bagian dari ibadah kepada Allah. Hal ini juga

ditemukan oleh Longman dalam penelitiannya mengenai perang dalam Ul. 7, 23, Yos. 5,

dan 1 Sam 13 yang menunjukkan bagaimana Israel harus melakukan beberapa hal dalam

persiapan sebelum perang. Longman dan Reid menyatakan,

Many of the acts that preceded a war in the Hebrew Bible indicate the religious nature of
the conflict. Sacrifice, circumcision, vows, oracular inquiries, ritual cleanness-each of
these elements announced Israel’s understanding that God was present with them in
battle.433

Tindakan pengorbanan, penyunatan, hingga ritual pembersihan adalah bagian dari ibadah

Israel yang secara umum juga dilakukan di luar konteks perang. Tindakan ibadah ini

dilakukan dalam perang sebagai bagian dari pemahaman Israel akan kesadaran kehadiran

Allah dalam pertempuran. Kehadiran Allah yang Kudus, yang kepadanya Israel diundang

untuk menjadi bagian dari tentara Allah yang Kudus, menjadikan Israel wajib juga

menguduskan diri mereka dalam ibadah-ibadah sebelum mereka maju dalam perang.

Perang sebagai tindakan ibadah juga dilihat oleh Niditch dalam penelitiannya

mengenai teks-teks perang dalam kitab-kitab Ulangan dan Yosua. Berbeda dengan

432
Niditch, War in Hebrew Bible, 32.
433
Longman dan Reid, God is a Warrior, 37.
Longman, Niditch lebih menekankan pemahaman herem sebagai bentuk ibadah

pengorbanan. Niditch menyatakan bahwa

The ban-as-sacrifice is the ideology behind many of the brief comments on the conquest
of cities in Joshua 8 and 10. Humans but not animals or inanimate booty are always
devoted under the ban in this context for they are the most valuable offerings.434
Dalam pemahaman ini, kehancuran total dari bangsa Kanaan dilihat sebagai bentuk

ibadah pengorbanan. Ibadah pengorbanan ini memungkinan merujuk pada korban

penebusan dosa dalam Keluaran 30:10. Hal ini dikuatkan dengan fakta bahwa objek yang

ditentukan untuk dihancurkan (herem) adalah objek yang berdosa dimana mereka pantas

dan layak membayar hasil dari tindakan mereka, yaitu kematian. Hal ini selaras dengan

penyataan Paulus dalam Roma 6:23a “Sebab upah dosa ialah maut”. Niditch juga

menambahkan bahwa kematian dan perang sebagai bentuk pengorbanan merupakan salah

satu cara memuaskan murka Allah atas dosa.435 Hal ini bukan hanya terjadi bagi umat

non-Israel, namun juga terjadi bagi umat Israel yang melakukan dosa, seperti dalam kisah

Akhan (Yosua 7).

Pemahaman mengenai korban penghapusan dosa dan pendamaian yang dikenakan

pada konsep herem nampak dalam Perjanjian Baru melalui kematian Kristus di kayu salib

untuk menggenapi nubuatan Yesaya 53. Dalam Yesaya 53 digambarkan bagaimana

hamba yang menderita harus dihina, menderita, dan mati untuk menanggung dosa

manusia. Hal ini sejalan dengan penyataan Rasul Yohanes, “Dan Ia adalah pendamaian

untuk segala dosa kita, dan bukan untuk dosa kita saja, tetapi juga untuk dosa seluruh

dunia.” (1Yohanes 2:2) Dalam bagian ini, kematian Kristus di kayu salib untuk

434
Niditch, War in Hebrew Bible, 37.
435
Niditch, War in Hebrew Bible, 40.
menanggung dosa manusia menggenapkan konsep herem sebagai pemuasan murka Allah

atas dosa.

Lebih lanjut, penggunaan kata “rampasan” pada Yesaya 53:12 memberikan

indikasi adanya nuansa perang dalam bagian ini. Selain itu, penggunaan kata “rampasan”

menunjukkan bahwa kematian Hamba yang menderita dalam Yesaya 53 bukanlah bentuk

kekalahan namun justru adalah kemenangan. Oleh sebab itu, kematian Kristus di kayu

salib juga merujuk kepada kemenangan total atas dosa. Paulus dalam 1Korintus 15:54c

menyatakan “Maut telah ditelan dalam kemenangan.” Hal menggambarkan kematian dan

kebangkitan Kristus sebagai kemenangan atas kuasa dosa. Dengan demikian, tidak

berlebihan jika dalam konsep penebusan dosa yang Kristus lakukan, umat Kristiani abad

pertama menggambarkan kemenangan Kristus dengan gambaran penyambutan seorang

pahlawan Perang yang pulang dengan membawa kemenangan (Filipi 2:8-11).

Perang sebagai Jalan Pembebasan

Perang bukan hanya dipahami oleh bangsa Israel sebagai bagian dari ibadah pada

Allah, namun juga sebagai sebuah pembebasan. Dalam sejarah kehidupan Israel, Allah

berulang kali menggunakan perang untuk membawa Israel terbebas dari ancaman musuh.

Dimulai dengan perang Allah melawan Mesir hingga pada perang melawan Filistin,

Amalek, dan bangsa-bangsa di sekitar Kanaan. Konsep perang sebagai jalan Pembebasan

tidak terlalu nampak dalam pembahasan Niditch, sebab penekanan utama dari

pembahasan Niditch lebih pada keadilan Allah dan penghukuman Allah. Sedangkan

dalam Longman, perang sebagai jalan pembebasan dibahas secara singkat dalam

pemahaman Allah sebagai pahlawan perang yang berperang bagi umatNya yang setia.
Pemahaman perang sebagai jalan pembebasan digambarkan secara jelas dalam

kisah keluarnya Israel dari Mesir (Keluaran 14-15). Peristiwa Keluaran menjadi pola

bagaimana Allah menggunakan perang untuk membebaskan umatNya dari penindasan.

Peristiwa Allah yang menyelamatkan umat yang tak berpengharapan dari perbudakan

tirani menjadi berita yang tertanam kuat dalam hati Israel.436 Keyakinan Israel atas Allah

yang membebaskan juga terus muncul dalam masa-masa sulit Israel, terkhusus dalam

berita pengharapan dan nubuatan masa pembuangan. Oleh karena itu, tidak

mengherankan jika gambaran Mesias sebagai pahlawan yang membawa pembebasan bagi

umat-Nya sangat kental dalam literatur masa pembuangan, seperti pada Yesaya 42:10-

43:7, bahkan hingga abad pertama Masehi (1 Henokh 52, Barukh 4-5, Mazmur Salomo

17-18).

Gambaran Mesias yang membawa pembebasan bagi umat-Nya, merupakan

perkembangan dari pemahaman mengenai Mesias sebagai anak Daud. Loren T.

Stuckenbruck menyatakan bahwa figur Mesias yang berkembang dalam masa

pembuangan hingga abad pertama masehi dalam pemikiran umat Yahudi berakar kuat

pada figur Daud dan Allah sebagai Pahlawan Perang.437 Gambaran ini muncul berkaitan

dengan kondisi sosial-politik masa pembuangan dan pasca pembuangan, sebagaimana

yang ditemukan juga dalam kitab Yesaya dan Zakharia.

436
Niditch, War in Hebrew Bible, 143.
437
Loren T. Stuckenbruck, “Messianic Ideas in the Apocalyptic and Related Literature of Early
Judaism”, dalam The Messiah in the Old and New Testaments, ed. Stanley E. Porter (Grand Rapids,
Michigan: Eerdmans, 2007), 112.
Selain itu, S. Talmon menyatakan bahwa penekanan antara pengalaman historis

dan utopianisme mistis juga mewarnai pemahaman dari konsep Mesias dalam masa

pembuangan dan pasca pembuangan.438 Dalam pemahaman inilah nuansa spiritual dalam

konsep Mesias berkembang dan mempengaruhi munculnya pemahaman mesianik dalam

Perjanjian Baru. Tema-tema seperti hari Tuhan, Kerajaan Allah, dosa, dan penebusan

dalam Perjanjian Baru banyak mengandung nuansa spiritual, seperti yang terdapat dalam

Matius 24;3-14, Efesus 6:10-20, Wahyu 16, 20. Dalam nuansa spiritual dan eskatologis,

pembebasan dikaitkan dengan dosa. Paulus dalam Roma 6:15-23 menjelaskan kuatnya

ikatan dosa dengan gambaran perbudakan, dimana orang berdosa diikat dan diperbudak

oleh dosa. Dalam perbudakan dosa inilah, Allah menghadirkan Kristus sebagai

pembebas. Longman menyatakan bahwa Paulus menggambarkan penebusan Kristus

sebagai tipologi dari Keluaran yang baru dimana umat Allah dibebaskan dari ikatan

perbudakan dosa melalui kematian dan kebangkitan Kristus.439 Peristiwa kematian dan

kebangkitan Kristus menjadi gambaran peperangan dengan Iblis, dimana kekuatan Iblis

dikalahkan dan sengat maut dipatahkan (1Korintus 15:55-57). Oleh sebab itu, perang

sebagai jalan pembebasan mengalami pergerakan penekanan, mulai dari pemahaman

sosial-politik menuju pembebasan dari perbudakan dosa dan kuasa maut.

438
Shemaryahu Talmon, “The Concept of Messiah and Messianism in Early Judaism”, dalam The
Messiah: Developments in Earliest Judaism and Christianity, ed. James H. Charlesworth (Minneapolis,
Minnesota; Fortress, 1992), 85.
439
Longman dan Reid, God is a Warrior, 161-162.
Perang sebagai Bentuk Penghukuman

Perang bukan hanya membebaskan, namun juga dapat digunakan oleh Allah

sebagai bentuk penghukuman. Niditch mengatakan bahwa perang bukan menjadi alat

untuk memuaskan Allah melalui pengorbanan manusia, namun lebih sebagai

penghukuman yang adil terhadap keberdosaan manusia.440 Kisah perang Kanaan menjadi

salah satu contoh bagaimana Allah menghukum bangsa Kanaan atas dosa mereka melalui

umat-Nya Israel. Lebih lanjut, hukuman yang diberikan Allah bukan hanya kepada

orang-orang di luar Israel, namun juga bagi kaum Israel. Kisah tentang kekalahan Israel

terhadap Ai (Yosua 7), kekalahan Israel dengan Filistin, (1Samuel 4-6), bahkan hingga

kisah pembuangan ke Babel menjadi cara Allah menghukum Israel melalui perang.

Secara unik Longman menggambarkan bahwa dalam keluaran, Allah dilihat

sebagai Pahlawan Israel, namun dalam pembuangan, Allah adalah musuh Israel yang

hadir dengan penghakimanNya.441 Kehadiran Allah sebagai hakim yang membawa

penghukuman bagi Israel berkaitan dengan pemahaman Perjanjian. Dalam Perjanjian

dengan Allah, Israel dituntut untuk setia dan taat. Tindakan kesetiaan dan ketaatan pada

Allah adalah bentuk pengabdian Israel pada Allah, sebaliknya pelanggaran Israel

terhadap Perjanjian menjadikan Israel sebagai sasaran hukuman Allah.442 Pemahaman ini

digambarkan melalui dua makna dari kata herem, yaitu dipisahkan untuk Allah atau

ditentukan untuk dibuang, dihancurkan.

440
Niditch, War in the Hebrew Bible, 57.
441
Longman dan Reid, God is a Warrior, 52.
442
Niditch, War in the Hebrew Bible, 59.
Pemahaman perang sebagai bentuk hukuman atas dosa manusia juga terus

berkembang hingga masa pembuangan. Dalam masa ini, pembuangan dilihat sebagai

hukuman terberat bagi Israel, sebab Israel bukan hanya mengalami perang dan kalah,

namun juga terbuang dari tanah Perjanjian. Keterbuangan Israel dari tanah Perjanjian

menjadi hukuman terberat. Terbuang atau terpisah dari Allah dilihat setara dengan

kematian. Dalam Mazmur 46 gambaran Allah sebagai kota benteng yang teguh dimana

Israel tinggal di dalamnya menunjukkan kehidupan, sedangkan frasa “dibuang”,

“ditinggalkan”, “miskin”, atau “ditolak” menjadi gambaran dari kematian dan hukuman.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika di kayu salib Yesus meneriakkan “"Eli, Eli,

lama sabakhtani?” (Matius 27:46) sebagai gambaran dari hukuman terberat yang harus

ditanggung-Nya karena dosa kita.

Dalam pemahaman ini, Niditch mengkaitkan perang dengan keadilan Allah.

Dalam keadilan Allah inilah perang digunakan untuk memisahkan antara yang kudus dan

tidak kudus, yang layak untuk diselamatkan dan yang dikhususkan untuk dihancurkan.443

Sedangkan Longman lebih banyak mengkaitkan tema ini dengan konsep Perjanjian.

Dimana tindakan Allah dalam dan melalui perang dilihat sebagai bagian ekspresi dari

kondisi Perjanjian.444

Sedangkan, secara pribadi, penulis melihat bahwa konsep perang sebagai bentuk

hukuman dari Allah justru mengalami pergerakan dimana pada masa-masa pembuangan

hukuman Allah tidak dipahami lewat perang namun melalui keterpisahan dengan Allah.

443
Longman dan Reid, God is a Warrior, 77.
444
Longman dan Reid, God is a Warrior, 48.
Gambaran keterpisahan dengan Allah sebagai hukuman Allah semakin dikuatkan dalam

Perjanjian Baru, terutama melalui seruan Kristus di kayu salib. Gambaran perang kembali

menjadi bentuk penghukuman Allah bagi yang berdosa baru muncul lagi dalam kitab

Wahyu sebagai gambaran penghukuman terakhir (Wahyu 16, 20). Hal ini menunjukkan

bahwa sekalipun konsep perang sebagai bentuk hukuman Allah sempat tertutupi dengan

konsep pembuangan, namun dalam teks-teks eskatologis, perang kembali dimunculkan

sebagai bentuk penghukuman terakhir yang sifatnya universal dan spiritual. Selain itu,

pemahaman mengenai Israel sebagai Instrumen penghukuman Allah (Yosua 5-6)

nampaknya tidak lagi berlaku dalam Perjanjian Baru, sebab dalam perang eskatologis,

Allah bertindak secara pribadi dalam menghadirkan penghukuman. Dengan demikian,

penulis setuju dengan konsep non-participation yang diajukan oleh Niditch dengan

argumen bahwa ada diskontinuitas dalam pemahaman Israel sebagai instrumen

penghukuman Allah.445 Oleh sebab itu, teori just war tidak dapat menggunakan status

Israel sebagai instrumen penghukuman Allah untuk melegalkan keikutsertaan orang

Kristen dalam perang.

Perang sebagai Masalah Iman

Kehadiran perang sebagai bentuk ibadah, maupun sebagai bentuk pembebasan

atau penghukuman dari Allah, berkaitan erat dengan permasalahan iman. Niditch juga

melihat hal yang sama, dimana perang dapat hadir dalam konteks hukuman Allah

maupun perihal bertahan dalam iman.446 Dalam Ulangan 20 penggunaan frasa “jangan

445
Niditch, War in the Hebrew Bible, 143.
446
Niditch, War in the Hebrew Bible, 64.
takut, sebab Tuhan Allah-mu...” menunjuk pada iman kepercayaan pada Allah. Selain itu,

dalam kisah Yosua, ketika Yosua dan Israel harus kehilangan Musa, Allah datang dan

menguatkan iman Yosua melalui kehadiran Allah sebagai panglima perang Israel.

Bahkan yang menarik, dalam kisah ini, ketaatan dan iman percaya pada Allah jauh lebih

penting dibandingkan jumlah tentara ataupun persenjataan perang (Hakim-Hakim 7).

Kepercayaan kepada Allah bukan hanya ditunjukkan dalam hal jumlah tentara

atau teknologi perang yang dimiliki, namun juga berhubungan dengan relasi pribadi.

Relasi pribadi dengan Tuhan menunjukkan bagaimana seseorang memahami posisi

dirinya dihadapan Allah di dalam peperangan. Hal ini nampak jelas dalam contoh

kehidupan Saul dan Daud. Dalam 1Samuel 13, Saul secara sengaja melanggar kekudusan

Allah melalui mengorbankan korban bakaran sebelum berperang. Dalam bagian ini

nampak Saul memposisikan Allah sebagai ilah yang akan memenuhi perintah dan

permintaan Saul jika Saul memberikan korban bakaran. Sebaliknya, Daud mengerti benar

bahwa Allah adalah Raja yang sesungguhnya, sehingga dalam perang Daud selalu

mengutamakan Allah. Hal ini nampak dalam 1Samuel 17:45, dimana Daud berseru pada

Goliat, "Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku

mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel yang

kautantang itu.” (1Samuel 17:45) Dalam bagian ini Daud sadar bahwa kehadirannya

dalam perang bukan sebagai yang utama, namun Allah yang utama. Oleh karena itu, ia

mengatakan “aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam.”

Kesadaran akan posisi Israel dalam relasi dengan Tuhan akan mempengaruhi cara

Israel melihat dan menjalani perang. 1Samuel 4-6 menunjukkan secara jelas bagaimana

Allah bukan seperti ilah lain yang dapat dipergunakan sebagai jimat untuk memperoleh
kemenangan. Umat perlu hadir dalam kekudusan dan ketaatan akan suara Allah dan

kehendak-Nya. Pemahaman mengenai posisi kita dalam relasi dengan Allah juga

menunjukkan seberapa dalam iman kita pada Allah. Pengenalan akan Allah yang penuh

kuasa bukan hanya menghadirkan rasa hormat namun juga keyakinan akan pertolongan

Tuhan dalam kondisi perang. Mazmur 46 menggambarkan bagaimana keyakinan pada

Tuhan memberikan kedamaian yang sejati. Pemazmur mengatakan bahwa sekalipun

bumi berubah, sekalipun gunung-gunung goncang di dalam laut, (Mazmur 46:2) Bangsa-

bangsa ribut, kerajaan-kerajaan goncang, dan bumipun hancur. (Mazmur 46:6) Namun

Pemazmur tetap dapat berkata bahwa ia tidak takut, sebab Allah adalah kota benteng

yang teguh.

Dalam bagian ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa perang dalam pemikiran

Alkitab bukan sekedar masalah sosial politik namun juga masalah iman. Dalam bagian

ini diperlihatkan bahwa kehadiran Allah sebagai pahlawan perang justru lebih untuk

menyelesaikan permasalahan spiritual. Selain itu, jika merujuk pada kitab-kitab pasca

pembuangan maka pemahaman akan janji keselamatan bagi umat lebih mengarah pada

pemulihan relasi spiritual. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika dalam Perjanjian

Baru kehadiran Kristus sebagai Mesias bertujuan bukan sebagai restorasi politik, namun

restorasi spiritual. Yesus menyatakan bahwa kehadiranNya bukan untuk membentuk

kerajaan politik, namun Ia hadir untuk menyelamatkan yang terhilang (Matius 18:11).

Kristus mengembalikan relasi manusia dengan Allah yang terputus karena dosa, melalui

pengorbanan-Nya di kayu salib. Inilah kemenangan perang yang sesungguhnya.


Perang sebagai Bagian dari Misi Allah

Perang sebagai bagian dari misi Allah, frasa ini nampaknya mengundang banyak

perdebatan. Bagaimana Allah yang adalah kasih menggunakan kekerasan sebagai upaya

untuk membuat manusia percaya padaNya? Bagaimana Allah yang Kudus dan maha

Kuasa adalah juga Allah yang digambarkan penuh dengan darah? Oleh sebab itu, baik

Longman maupun Niditch tidak menunjukkan adanya pemahaman misi dalam perang.

Sekalipun demikian, mengutip pernyataan Walter C. Kaiser, bahwa rencana agung Allah

untuk membawa keselamatan bagi dunia mendominasi keseluruhan pemahaman teologi

dan kisah-kisah di Alkitab.447 Di tambah hasil dari penelitian sejarah mengenai

pemahaman Timur Dekat Kuno tentang kemenangan perang, konsep tentang Allah/dewa,

serta hasil penafsiran yang muncul dalam bab tiga, membuat penulis melihat bahwa tema

ini cukup beralasan untuk diungkapkan.

Pemahaman perang sebagai bagian dari misi Allah berhubungan erat dengan

konsep perang dalam pemikiran Timur Dekat Kuno. Dalam mitos Timur Dekat Kuno,

perang dilihat sebagai konflik spiritual dan kosmik antara Allah dan kekuatan jahat,

dimana pemenang dari perang ini akan menjadi raja dan kepada segala hormat dan pujian

diberikan.448 Dalam hal ini, tidak jarang bahwa kemenangan sebuah bangsa dalam perang

terhadap bangsa lain juga membawa pertobatan bagi pribadi-pribadi tertentu dari bangsa

yang ditaklukkan. Hal ini nampak pada Keluaran 12:48 dimana frasa “seorang asing telah

menetap padamu” kemungkinan besar berkaitan dengan orang-orang non-Israel yang ikut

447
Walter C. Kaiser, Mission in the Old Testament (Grand Rapids, Michigan: Baker Books, 2000),
13.
448
Longman dan Reid, God is a Warrior, 83-85.
keluar dari Mesir. Pada bagian ini juga dikatakan bahwa orang asing ini juga ingin

merayakan Paskah dan oleh karenanya mereka harus disunat agar mereka masuk menjadi

satu dengan umat Perjanjian. Dari kesaksian Alkitab, hal ini jelas bukan sekedar merujuk

masalah politik namun lebih kepada pengakuan spiritual akan keilahian Allah Israel.

Selain itu, dalam peperangan Timur Dekat Kuno, pihak yang kalah biasanya akan

dibunuh atau dijadikan budak oleh pihak yang menang.449 Hal ini juga nampak dalam

kemenangan Musa melawan Midian, dimana budak tawanan merupakan bagian dari

barang rampasan perang (Bilangan 31:11). Kehadiran konsep budak masa itu, bukan

sekedar menuruti perintah tuan, namun tidak jarang juga budak-budak ini akan mengikuti

kepercayaan dari sang tuan. Tradisi ini nampak jelas dalam kisah pembuangan Babel,

dimana Nebukadnezar memerintahkan semua orang termasuk budak dan orang-orang

tawanan untuk menyembah patung yang ia dirikan (Daniel 3). Pemaksaan kepercayaan

ini adalah bagian yang wajar dalam budaya Timur Dekat Kuno dimana perubahan

kepercayaan bisa menjadi bagian dari klausul damai antara pihak yang menang

(Suzerain) dan yang kalah (Vassal).450

Konsep ini digunakan Paulus dalam Perjanjian Baru untuk menggambarkan

bagaimana Yesus telah menang dalam peperangan melawan Iblis dan ia mengambil kita

serta memerdekakan kita dari hamba dosa menjadi hamba Allah (Roma 6:17-18). Selain

itu, penggunaan frasa “ditangkap” (κατελήμφθην) dalam Filipi 3:12 juga memiliki makna

dimenangkan atau direbut dengan keras. Hal ini merujuk pada kemenangan Kristus di

atas kayu Salib dalam Filipi 2:5-11, serta sebagai penggambaran dari kesaksian

449
Niditch, War in the Hebrew Bible, 67.
450
Niditch, War in the Hebrew Bible, 67.
pertobatan Paulus dalam Filipi 3:7-11. Oleh sebab itu, Paulus melihat bahwa konsep

perang dan hamba merupakan bagian yang dapat digunakan untuk menggambarkan misi

Allah.

Pemahaman perang sebagai bagian dari misi Allah juga dapat dilihat dari kisah

1Samuel 4-6 dan Ester 8-9. Dalam bagian ini misi Allah melalui perang dapat dilihat

lewat pengakuan dan penghormatan yang diberikan bangsa Filistin kepada Tabut Allah.

Sekalipun bangsa Filistin tidak menjadi bagian dari umat Allah, namun dalam kisah ini

Filistin sebagai bangsa asing justru memberikan penghormatan dan pengakuan kepada

Allah Israel sebagai Allah yang sejati, pemenang perang yang sesungguhnya, hal ini

nampak dari pemberian Filistin ketika mereka mengembalikan tabut TUHAN. Selain itu,

penggunaan frasa “tabut TUHAN” pada 1Samuel 6:2 menunjukkan adanya perubahan

pemahaman bangsa Filistin tentang siapa Allah Israel. Perubahan ini nampak jika

dibandingkan dengan 1Samuel 4:7 dimana orang Filistin menggunakan kata elohim untuk

menunjuk pada Allah Israel (‫ֱֹלהים‬


ִ֖ ִ ‫)א‬, frasa ini lebih bersifat umum, sedangkan kata

TUHAN dalam 1Samuel 6:2 menggunakan kata Yahweh (‫ְהוָ֑ה‬


ָ ‫ )י‬yang lebih memberikan

nuansa Allah sebagai Allah Perjanjian. Perubahan ini menunjukkan bahwa adanya

pengenalan yang lebih mendalam tentang siapa Allah Israel dalam kehidupan bangsa

Filistin.

Dalam kitab Ester, misi Allah dapat dilihat melalui ketakutan yang dihadirkan

oleh Mordekhai dan orang Yahudi, sehingga dikatakan banyak pembesar, wakil-wakil

pemerintah, bupati, dan orang-orang berpengaruh saat itu memilih untuk mendukung

orang Yahudi. Ketakutan yang dialami oleh orang-orang non-Yahudi menjadi gambaran

dari hadirnya kuasa Allah. Pemahaman mengenai kuasa Allah yang membawa ketakutan
juga sering digunakan oleh penulis Mazmur. Hal yang menarik dinyatakan dalam

Mazmur 2:11-12 dimana rasa takut atau gemetar terhadap kuasa Allah justru dikaitkan

dengan perintah untuk beribadah. Rasa takut yang sama juga nampak dalam seruan

Gideon ketika berhadapan muka dengan Malaikat TUHAN (Hakim-Hakim 6:22). Rasa

takut ini muncul atas kesadaran betapa dahsyatnya Allah. Kesadaran akan kuasa Allah

juga merupakan bagian dari cara Allah memperkenalkan diriNya pada umat-Nya, seperti

yang dialami oleh Petrus ketika bertemu Yesus di danau Galilea (Lukas 5:8).

Dalam bagian ini, kehadiran misi Allah dalam perang juga mengalami pergerakan

dari kehadiran yang bersifat politik, melalui tradisi perbudakan, hingga menuju pada

kehadiran misi Allah secara spiritual melalui pemahaman dan pengenalan tentang kuasa

dan pribadi Allah.

Perang sebagai Penyataan Kehadiran Kerajaan Allah

Sebagai bangsa, pemahaman mengenai perang tidak dapat lepas dari konstruksi

politik dan sosial yang ada. Pergerakan pemahaman perang Israel dari Mesir menuju

Kanaan juga mengalami sebuah perkembangan pemahaman dari perang untuk merebut

wilayah menuju perang sebagai upaya mempertahankan wilayah. Pemahaman perang ini

berhubungan dengan pergerakan sosial-politik yang terjadi dalam kehidupan Israel, dari

bangsa yang dibebaskan menuju kerajaan yang menetap (stable). Selain itu, munculnya

identitas sebagai bangsa pilihan serta kenangan akan keagungan kerajaan Daud

menyebabkan munculnya pemahaman tentang kerajaan impian, yaitu Kerajaan Allah.

Sekalipun demikian, tema Kerajaan Allah justru lebih banyak muncul di masa
pembuangan, seperti dalam kitab Yesaya dan Zakharia. Tema ini berhubungan dengan

beberapa konsep antara lain tentang hari Tuhan dan pengharapan Mesianik.

Dalam kaitan dengan konsep hari Tuhan, penyataan Kerajaan Allah hadir sebagai

pengharapan akan pembebasan dari perbudakan dan kemenangan dalam perang. Hal ini

berhubungan dengan keadaan sosial-politik dari Israel, dimana kehancuran Yerusalem

dan pembuangan ke Babel menandai era kerajaan. Kondisi Israel yang tanpa raja dan

tentara perang membangkitkan ingatan Israel akan sejarah keluarnya Israel dari Mesir,

dimana muncul pengharapan akan hadirnya seorang pahlawan yang akan membebaskan

Israel dan menegakkan kembali kerajaan Daud.451 Hal ini diyakini akan terjadi pada hari

Tuhan, hari dimana Tuhan melawat umatNya dan membawa pembebasan bagi umat

PerjanjianNya.

Kehadiran hari TUHAN digambarkan dengan kondisi yang penuh kekacauan.

Dalam Yesaya 13:9a dikatakan “Sungguh, hari TUHAN datang dengan kebengisan,

dengan gemas dan dengan murka yang menyala-nyala” Bagian ini selaras dengan

gambaran Yeremia 46:10

Hari itu ialah hari Tuhan ALLAH semesta alam, hari pembalasan untuk melakukan
pembalasan kepada para lawan-Nya. Pedang akan makan sampai kenyang, dan akan puas
minum darah mereka. Sebab Tuhan ALLAH semesta alam mengadakan korban
penyembelihan di tanah utara, dekat sungai Efrat. (Yeremia 46:10)

Gambaran kehancuran dan perang yang hadir pada hari TUHAN juga muncul pada

bagian Yesaya 42:10-43:7 dan Zakharia 14 dimana kehancuran dan pembalasan yang

Tuhan kerjakan pada hari TUHAN bukan hanya melalui perang, namun juga melalui

451
Longman dan Reid, God is a Warrior, 61-62.
malapetaka dan bencana alam. Hal ini menunjukkan bahwa konsep hari TUHAN bersifat

eskatologis dan merujuk pada sebuah konflik yang terjadi secara kosmik.

Perang yang terjadi di hari TUHAN merupakan peperangan besar, dimana Allah

hadir dengan penghukuman dan pembebasan. Berkaitan dengan ini Von Rad menyatakan

bahwa “Day of Yahweh encompasses a pure event of war.”452 Perang yang terjadi pada

hari TUHAN merupakan bentuk tradisi awal dari perng kudus Allah dalam pemikiran

Israel kuno. Dalam peperangan ini, Israel tidak mengambil peran apapun dan hanya Allah

yang berperang untuk Israel. Longman menyatakan hal yang sama, dimana peperangan

yang terjadi dalam kaitannya dengan hari TUHAN menonjolkan peran dari pahlawan

perang Ilahi dalam nuansa kosmik.453 Kehadiran dari figur pahlawan perang Ilahi serta

ingatan akan kebesaran kerajaan Israel masa Daud membentuk pengharapan mesianik

tentang pemerintahan Allah.

Yesaya 9:6 menggambarkan kehadiran Mesias sebagai Penasihat Ajaib, Allah

yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai (Yesaya 9:6). Niditch menyatakan bahwa

pengharapan Mesias yang seperti ini merujuk kepada gambaran Daud sebagai raja dan

panglima perang.454 Gambaran Daud yang dikaitkan dengan figur Mesias, secara politik

memperlihatkan adanya pengharapan pembebasan dan berdirinya kembali kerajaan Israel

yang telah hancur. Pengharapan akan pembebasan dan berdirinya kembali kerajaan Israel

dinyatakan oleh Yesaya, Daniel dan beberapa nabi lain. Dalam Yesaya 44 dikatakan

Akulah yang menguatkan perkataan hamba-hamba-Ku dan melaksanakan keputusan-


keputusan yang diberitakan utusan-utusan-Ku; yang berkata tentang Yerusalem: Baiklah

452
Gerhard Von Rad, ”The Origin of the Concept of then Day of Yahweh,” Journal Semitic
Studies 4 (1959): 97-108.
453
Longman dan Reid, God is a Warrior, 70.
454
Niditch, War in the Hebrew Bible, 133.
ia didiami! dan tentang kota-kota Yehuda: Baiklah ia dibangun, Aku mau mendirikan
kembali reruntuhannya! (Yesaya 44:26)

Jelas bahwa ada janji Allah tentang berdirinya kembali kerajaan Israel yang telah hancur.

Bahkan Daniel menggambarkan bahwa kerajaan yang dibangun oleh Allah pada hari

TUHAN adalah kerajaan yang kekal.

Tetapi pada zaman raja-raja, Allah semesta langit akan mendirikan suatu kerajaan yang
tidak akan binasa sampai selama-lamanya, dan kekuasaan tidak akan beralih lagi kepada
bangsa lain: kerajaan itu akan meremukkan segala kerajaan dan menghabisinya, tetapi
kerajaan itu sendiri akan tetap untuk selama-lamanya, (Daniel 2:44)

Hal ini menunjukkan adanya pengharapan tentang hadirnya kerajaan Allah yang

mengatasi segala kerajaan dan memerintah secara kekal.

Dalam perjanjian Baru, pengharapan Mesianik ini dipenuhi melalui figur Kristus.

Dalam Matius 1:1 ditekankan bahwa Yesus adalah keturunan Daud. Hal ini berkaitan

dengan pemahaman Mesias sebagai keturunan Daud (Yeremia 33:17), yang juga

dinyatakan kembali dalam Lukas 1:68-70 lewat nubuatan Zakharia. Kehadiran Yesus

sebagai Mesias anak Daud juga menggenapi janji Allah pada Daud dalam 2Samuel 7:9-

16, dimana melalui keturunan Daud kerajaan Israel akan kokoh untuk selama-lamanya.

Dalam hal ini, kehadiran Yesus sebagai Mesias anak Daud memiliki tujuan untuk

mengokohkan kembali kerajaan Israel.

Sekalipun Yesus menyadari bahwa kehadiranNya dalam dunia adalah untuk

meneguhkan kembali kerajaan Israel, namun pemahaman kerajaan Israel dalam hal ini

bukanlah secara politik namun lebih secara spiritual. Oleh sebab itu, Yesus menyatakan

bahwa Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini (Yohanes 18:36a). Mengutip Longman, “Berita

Injil adalah berita kemenangan Allah atas kekuatan jahat yang memerintah dunia.”455

455
Longman dan Reid, God is a Warrior, 98.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa perlawanan yang dihadapi pemerintahan Yesus

bukanlah perlawanan dari kekuatan politik, namun lebih kepada kekuatan jahat yang

bersifat supranatural yang memerintah dunia. Oleh karena itu, tidaklah salah jika Paulus

mengatakan bahwa karena “perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi

melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-

penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara.” (Efesus 6:12) Sebab

pemerintahan Yesus bukan bersifat politik, namun lebih bersifat spiritual dan peperangan

yang terjadi adalah peperangan spiritual.

Peperangan melawan kuasa-kuasa supranatural ini terus berlanjut hingga pada

pemahaman perang secara eskatologis. Perang antara kerajaan Allah melawan kerajaan si

jahat yang digambarkan dalam kitab Wahyu sebagai peperangan terakhir. Dalam bagian

ini, kehadiran figur-figur seperti Anak Domba yang disembelih atau Pengendara kuda

putih menjadi simbol dari Kristus sebagai pahlawan perang Ilahi. Kehadiran figur

pahlawan perang Ilahi dalam kitab Wahyu menunjuk pada penghakiman terakhir bagi

musuh-musuh Israel dan kuasa jahat yang mencoba melawan kerajaan Allah.

Menambahkan hal ini, Longman melihat bahwa kehadiran pahlawan perang Ilahi juga

menunjukkan kemahakuasaan dan otoritas kerajaan yang Ilahi.456 Oleh karena itu,

meskipun kuasa binatang dalam kitab Wahyu mampu untuk menundukkan kerajaan-

kerajaan dunia untuk melawan kerajaan Allah, namun kitab Wahyu tetap menunjukkan

bahwa otoritas kerajaan Allah selalu lebih tinggi dan lebih berkuasa.

456
Longman dan Reid, God is a Warrior, 186.
Perseteruan antara otoritas kerajaan Allah dengan kerajaan Iblis adalah realitas

yang tidak dapat dihindari. Justru melalui perseteruan inilah kuasa Allah ditunjukkan dan

kerajaan Allah menjadi nyata pada akhirnya. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika

Longman mengatakan salah satu fungsi perang adalah untuk menyatakan kekuasaan dan

memelihara keberlangsungan kekuasaan.457 Hal ini juga terlihat dalam pemahaman

Yohanes, bahwa perang eskatologi harus terjadi mendahului kehadiran kerajaan Allah,

Yerusalem yang baru. Oleh sebab itu, dalam Wahyu 20 Allah sengaja melepaskan Iblis

untuk mengumpulkan semua musuh Allah dan menyelesaikan perseteruan melalui

peperangan terakhir (Wahyu 20:7-8). Dan setelah perang terakhir inilah kerajaan Allah

yang damai itu dihadirkan (Wahyu 21). Kehadiran kerajaan damai yang dinyatakan

setelah peperangan besar juga menjadi pola dalam Mazmur 46 dimana dalam

kekuasaanNya Allah mengakhiri perang dan menghadirkan kerajaan damai dengan

mematahkan busur panah, menumpulkan tombak, membakar kereta-kereta perang

(Mazmur 46:10). Kehadiran kerajaan damai ini menggenapi pengharapan Israel tentang

gambaran pemerintahan Allah (Yesaya 2:3-4), dimana setiap suku bangsa akan datang

bersujud dihadapan Allah, menyembah dan belajar padaNya. Gambaran ini dipenuhi

dalam Wahyu 21:1-4, bahwa setelah masa perang besar maka kerajaan Allah akan hadir

sebagai kerajaan Damai dimana setiap suku bangsa akan menjadi bagian dari umat Allah

dan saat itu tidak ada lagi perang ataupun air mata, tidak ada perkabungan dan ratapan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa realita perang merupakan bagian yang tidak

terhindarkan untuk menghadirkan kerajaan Allah di muka bumi. Meskipun demikian,

457
Longman dan Reid, God is a Warrior, 181.
perlu untuk kembali diingat bahwa perang dalam kitab Wahyu lebih bersifat spiritual dan

eskatologis, dibanding politis.

Sebagai kesimpulan teologis, maka penulis melihat perang dalam Alkitab

memiliki enam makna yang dapat saling terkait, yaitu:

1. Perang sebagai bentuk ibadah

2. Perang sebagai jalan pembebasan

3. Perang sebagai bentuk penghukuman

4. Perang sebagai bagian dari misi Allah

5. Perang sebagai masalah iman

6. Perang sebagai penyataan kehadiran kerajaan Allah

Keenam hal ini menunjukkan kontinuitas dari pemahaman perang yang bersifat fisik

menuju perang secara spiritual dan eskatologis. Dengan adanya enam makna perang ini,

menurut penulis, hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi pemahaman etika Kristen

mengenai perang.
BAB V

PENUTUP

Kesimpulan dan Relevansi

Setelah menganalisis teks-teks perang dalam Alkitab melalui pendekatan

kontinuitas dan diskontinuitas, penulis menyimpulkan bahwa terjadi pergerakan

pemahaman mengenai perang di dalam Alkitab. Pergerakan ini menunjukkan adanya

bagian-bagian dari pemahaman perang yang terus berlanjut dari Perjanjian Lama menuju

Perjanjian Baru, namun juga ada bagian yang terputus atau ditambahkan. Pergerakan ini

menunjukkan adanya proses perubahan pemahaman perang di dalam Alkitab. Proses ini

mencakup beberapa aspek yang terus berlanjut, seperti aspek spiritual dalam perang.

Sedangkan untuk aspek-aspek yang bersifat fisik dan berhubungan dengan persoalan

politik justru mengalami ketidak-berlanjutan.

Aspek fisik dan politik mengalami diskontinuitas dikarenakan adanya perubahan

kondisi sosial-politik pada masa kehancuran kerajaan Israel dan juga hadirnya perubahan

penekanan dari umat Allah secara nasionalis menuju pemahaman umat Allah yang

universal. Perubahan ini mempengaruhi penekanan bentuk perang dalam Alkitab dari

perang fisik menuju perang spiritual. Perubahan pemahaman umat Allah yang bersifat

nasional menuju universal memberikan makna penting bagaimana Alkitab secara etis

tidak menyetujui perang dengan landasan politik. Kehadiran konsep umat Allah yang

universal juga membatasi adanya sebuah chauvinisme nasional yang sempit, dimana

perang tidak dapat dilandaskan pada klaim bahwa suatu bangsa tertentu adalah umat

Allah yang berhak untuk melenyapkan bangsa lain, selayaknya yang dilakukan Israel
pada Kanaan. Hal ini juga memberikan jawaban apologetis bahwa peristiwa Israel

melawan Kanaan bukanlah sebuah standar etis umat Kristen untuk melegalkan perang,

namun sebuah peristiwa khusus yang sesuai dengan masa dan kondisi tertentu yang Allah

gunakan untuk memenuhi tujuan Allah yang lebih mulia.

Selain itu, perubahan menuju konsep umat Allah yang universal juga mengakhiri

pemahaman akan ekskulivitas Yudaisme. Hal ini bukan hanya membuka ruang

keselamatan bagi seluruh manusia, namun juga meruntuhkan segala tembok pemisah

yang dibangun oleh perbedaan gender, politik, sosial, budaya, suku, bangsa, dan bahasa.

“Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang

telah merubuhkan tembok pemisah (Efesus 2:14). Sebab dalam satu Roh kita semua, baik

orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis

menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh. (1Korintus 12:13).”

Dalam keperbedaan inilah justru tubuh Kristus dipersatukan, di dalam dan melalui umat

Allah yang universal.

Jika demikian, apakah umat Kristiani tidak diperbolehkan untuk berperang?

Untuk alasan apakah perang dapat dikatakan benar atau salah? Untuk menjawab dua

pertanyaan ini, penulis yakin bahwa pendekatan yang dihadirkan dalam studi ini tidak

dapat memberikan jawaban yang cukup memuaskan. Meskipun demikian, jika harus

merujuk pada hasil studi biblikal yang ada dalam skripsi ini maka penulis melihat bahwa

umat Kristiani tetap ada dalam kondisi perang dan tetap diperbolehkan berperang,

terutama perang-perang yang bersifat spiritual. Hal ini berhubungan dengan adanya

keberlanjutan pemahaman mengenai perang di dalam Alkitab yang memberikan kepada

kita enam konsep utama yang tetap bertahan mengenai perang.


Keenam hal ini antara lain adalah

1. Perang sebagai bagian dari ibadah

2. Perang sebagai jalan pembebasan

3. Perang sebagai bentuk penghukuman

4. Perang sebagai masalah iman

5. Perang sebagai bagian misi Allah

6. Perang sebagai penyataan kehadiran Kerajaan Allah.

Ke-enam hal ini menjadi sintesis atas pemahaman tentang perang dalam Alkitab.

Perang sebagai bagian dari ibadah dalam hal ini memiliki perbedaan pemahaman

dengan konsep jihad dalam konteks muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan

bahwa

Jihad adalah mengerahkan segala upaya demi mencapai kebenaran yang diinginkan.
Hakikat jihad adalah upaya yang sungguh-sungguh untuk mencapai hal-hal yang diridhai
oleh Allah seperti iman dan amal saleh, sekaligus untuk menolak hal-hal yang dibenci-
Nya seperti kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan.458

Untuk menggapai iman dan amal saleh inilah umat diharuskan berjihad melalui

perkataan bahkan hingga tindakan, termasuk di dalamnya adalah perang. Menambahkan

hal ini, Prof. Ahmed Tayyeb menjelaskan bahwa jihad adalah, “Perang di jalan Allah

baik itu ikut secara langsung di barisan militer, bantuan materi, pendapat dan strategi,

perawatan medis, maupun pengorbanan apapun yang bertujuan untuk membela

keyakinan dan tanah air.”459 Dalam bagian ini, konsep perang dalam pemahaman jihad

458
Ahmed Tayyeb, Pengertian Jihad dalam Islam-1, http://www.waag-azhar.org/id/Makalat1.
aspx?id=312#sthash.UK0I11CN.dpuf (diakses 25 September 2015).

459
Ahmed Tayyeb, Pengertian Jihad dalam Islam-1, http://www.waag-azhar.org/id/Makalat1.
aspx?id=312#sthash.UK0I11CN.dpuf (diakses 25 September 2015).
muslim nampaknya menggabungkan pemahaman antara agama dan politik dimana

perang dibolehkan dengan tujuan keyakinan ataupun membela tanah air. Sedangkan

dalam pemahaman Alkitab, konsep perang lebih ditekankan pada bentuk pengurbanan

dan pendamaian yang merujuk pada pemenuhannya dalam Kristus. Dalam pemahaman

ini perang bukan semata merujuk pada konflik secara fisik, namun lebih secara spiritual.

Oleh sebab itu, dalam Perjanjian Baru penekanan terhadap musuh spiritual mendominasi

konsep perang dalam Alkitab dan bukan pemahaman politik atau fisik.

Selain itu, berkaitan dengan konteks Perjanjian, perang juga memiliki nuansa

pembebasan dan penghukuman. Pemahaman ini dilihat dari sudut pandang Allah sebagai

aktor utama yang mengijinkan dan bertindak dalam perang. Kisah-kisah seperti peristiwa

keluarnya Israel dari Mesir, perang dalam kitab Hakim-hakim, hingga peristiwa

pembuangan menjadi tanda bahwa Allah sebagai aktor utama dalam perang. Kehadiran

Allah sebagai aktor utama dalam perang menunjukkan bahwa peperangan dalam Alkitab

tidak dimulai dari intensi manusia, namun dari Allah. Hampir sama dengan pemahaman

jihad bahwa perang di jalan Allah adalah berperang bersama Allah atau untuk Allah,

dalam beberapa bagian Perjanjian Lama, perang sebagai penghukuman juga

menunjukkan bagaimana Israel menjadi bagian dari instrumen penghukuman Allah.

Meskipun demikian, di sisi lain kita juga melihat bagaimana Allah melalui Kristus hadir

sebagai hakim bagi dunia. Oleh sebab itu, perang sebagai bagian penghukuman dan

pembebasan bukanlah bagian dari tanggungjawab manusia namun secara pribadi menjadi

hak dari Allah.

Pemahaman perang sebagai tanggungjawab dan hak Allah juga nampak dalam

konsep perang sebagai bagian dari misi Allah dan penyataan kehadiran Kerajaan Allah.
Meski demikian, bukan berarti manusia tidak memiliki andil dalam peperangan di dunia

ini. Konsep perang sebagai masalah iman, menunjukkan bagaimana Allah juga

memanggil umatnya untuk masuk dalam peperangan spiritual dan untuk terus menjaga

iman mereka pada Kristus. Dalam hal ini gereja perlu memahami bahwa kehidupan iman

Kristen bukanlah kehidupan tanpa perang, kita tetap ada dalam lahan peperangan, namun

peperangan kita bukan bersifat fisik tapi spiritual. Oleh sebab itu, pembinaan iman dan

kehidupan spiritual umat Allah perlu terus diasah dan ditumbuhkan untuk menghadapi

tantangan zaman yang tidak mudah ini.

Selain itu, penggunaan metode kontinuitas dan diskontinuitas bukan hanya

berhasil memperlihatkan pergerakan pemahaman mengenai perang dalam tiap masa di

Alkitab, namun juga menjadi filter resistan terhadap unsur-unsur politik dan fisik.

Pendekatan ini juga berhasil menunjukkan pengaruh antara konteks dari teks terhadap

pemahaman yang dihasilkan. Dengan demikian, kehadiran pemahaman perang yang

ditampilkan oleh pendekatan ini bukan hanya aktual sesuai masanya, namun juga realistis

dan teologis. Dengan memahami bahwa teks perang berkaitan dengan konteks zamannya,

maka dalam penafsiran terhadap teks perang dalam Perjanjian Lama perlu sekali umat

Kristen tidak mengambilnya secara mentah namun perlu dianalisa dan

dikontekstualisasikan kembali. Penggunaan teks-teks perang sebagai alat untuk

melegalkan perang juga perlu dianalisa kembali dalam bentuk penafsiran yang lebih

bertanggungjawab dengan memperhatikan konteks masa itu, pergerakan pemahaman

dalam Alkitab, dan konteks masa kini. Sehingga dapat meminimalkan upaya politisasi

teks-teks Alkitab dan dapat memberikan pertanggungjawaban Alkitabiah terhadap

tindakan etis yang diambil.


Terakhir, melalui studi ini penulis bukan hanya menemukan adanya perubahan

dari perang fisik menuju spiritual, namun juga dapat memberikan penjelasan mengenai

perang secara fisik dalam Perjanjian Lama. Dengan menggunakan menggali konteks

teologis dan sejarah yang ada, penulis menemukan landasan argumentatif-apologetis

yang mumpuni untuk menjawab penilaian modern dengan mengetengahkan realita

perang dalam keterkaitan pemahaman spiritual dan sosial kehidupan Israel.

Keterkaitan perang dengan pemahaman spiritual dan sosial yang ada jelas sudah

bergerak jauh dalam tatanan moral modern. Standar moral modern tentu adalah hasil dari

pembelajaran dan perubahan kondisi sosial, teologis, dan moral. Dan jelas bahwa standar

penilaian ini sudah bergerak bersama dengan perubahan-perubahan yang

mempengaruhinya. Sehingga penilaian akan standar modern tentang perang dalam

Perjanjian Lama perlu dengan “legowo” mengakui bahwa adanya ketidakadilan dalam

menilai perang Perjanjian Lama yang terikat dengan konteks teologis dan sejarah masa

itu. Jika standar modern memaksakan diri untuk menilai teks Perjanjian Lama dengan

tatanan sistem nilai modern, maka tanpa sadar kita telah mencoba melepaskan keterkaitan

konteks teologis dan sejarah dari teks. Memperkuat argumen ini, Mark Woods

mengatakan bahwa perang tidak beroperasi dan terjadi dalam isolasi, perang

membutuhkan dan didahului dengan adanya sistem-sistem tertentu yang memungkinkan

dapat terjadinya perang.460 Sistem ini dapat berupa konsep teologis, tatanan moral, dan

kondisi kesejarahan yang dapat menjelaskan mengapa perang terjadi dan untuk alasan

apa perang diterima. Oleh sebab itu, terjadinya perang dalam Perjanjian Lama tidak bisa

460
Mark Woods, “The Nature of War and Peace”, dalam Rethinking the Just War Tradition,
ed.Michael W. Brough, John W. Lango, dan Harry van der Linden (New York: State University of New York,
2007), 19-20.
menjadi legitimasi etis akan adanya perang dalam masa ini, namun juga standar moral

modern juga harus merendahkan hati dan adil untuk menerima kenyataan adanya perang

dalam Perjanjian Lama sebagai bagian dari sistem kehidupan masa itu.

Saran-Saran

Kebenaran tidak tampil secara utuh, namun ditemukan dalam fragmen-fragmen

acak yang tak berurut. Kebenaran yang ter-fragmen inilah yang sesungguhnya penulis

yakini dipaparkan dalam studi ini. Sekalipun penelusuran akan realita perang mencakupi

beberapa masa dari sejarah kehidupan umat Allah dalam Alkitab, namun penulis sadar

pendekatan ini hanyalah satu dari sekian banyak pendekatan yang ada, sedangkan

eksposisi yang diberikan juga masih jauh dari kata lengkap untuk menggambarkan realita

perang dalam Alkitab.

Dengan kesadaran ini, sesungguhnya masih banyak hal yang mungkin masih bisa

ditemukan dalam studi-studi yang lebih lanjut dan mendalam mengenai perang. Sebagai

usul saran bagi studi yang lebih luas mungkin dapat mulai untuk menggali (1) kaitan

antara misi Allah dan perang dalam sejarah manusia, (2) kekerasan dan ibadah dalam

alkitab, (3) pembentukan etika perang melalui ke enam makna perang dalam Alkitab, (4)

analisa konsep umat Allah universal dalam pemahaman teori perang adil. Usulan ini

hanya segelintir kecil dari banyaknya kemungkinan akan studi yang berkelanjutan dari

pemahaman perang secara kontinuitas dan diskontinuitas.


DAFTAR PUSTAKA

Alter, Robert. Ancient Israel. New York: W. W. Norton, 2014.

Ashby, Godfrey W. Go Out and Meet God: A Commentary on the Book of Exodus. Grand
Rapids, Michigan: Eerdmans, 1997.

Assmann, Jan. Of God and Gods: Egypt, Israel, and the Rise of Monotheism. Wisconsin,
London: University of Wisconsin Press, 2008.

Aune, David E. Revelation 6-16. Diedit oleh Ralph P. Martin. Nashville, Tennessee:
Thomas Nelson, 1998.

———. Revelation 17-22. Diedit oleh Ralph P. Martin. Nashville, Tennessee: Thomas
Nelson, 1998.

Bainton, Roland H. Christian Attitudes toward War and Peace: A Historical Survey and
Critical Re-evaluation. Nashville, Tennessee: Abingdon, 1990.

Baker, David L. Two Testaments, One Bible. Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 1991.

Bakker, F. L. Sejarah Kerajaan Allah. Jilid 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990.

Bandstra, Barry L. Reading the Old Testament: Introduction to the Hebrew Bible.
Belmont, California: Wadsworth, 2009.

Barr, James. Old and New in Interpretation: A Study of the Two Testaments. London:
SCM, 1966.

Barton, John. The Old Testament: Canon, Literature, and Theology. Hampshire, England:
Ashgate, 2007.

Becking, Bob. “Continuity and Discontinuity after the Exile: Some Introductory
Remarks”. Dalam The Crisis of Israelite Religion: Transformation of Religious
Tradition in Exilic and Post-Exilic Times. Diedit oleh Bob Becking dan Marjo C.
A. Korpel, 1-8. Leiden: Brill, 1999.

Best, Ernest. Ephesians. Diedit oleh C. E. B. Cranfield. Edinburgh: T. and T. Clark,


1998.

Bethancourt, Phillip Ross. “Christ the Warrior King: A Biblical, Historical, and
Theological Analysis of the Divine Warrior Theme in Christology”. Ph.D. diss.,
The Southern Baptist Theological Seminary, 2011.
Billings, Rachel M. Israel Served the Lord: The Book of Joshua as Paradoxical Portrait
of Faithful Israel. Notre Dame, Indiana: University of Notre Dame Press, 2013.

Blenkinsopp, Joseph. Isaiah 40-55. New York: Doubleday, 2002.

Blount, Brian K. Revelation. Louisville, Kentucky: Westminster John Knox, 2009.

Boda, Mark J. Haggai, Zechariah. Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2004.

Bodner, Keith. 1 Samuel: A Narrative Commentary. Sheffield: The Sheffield Phoenix,


2009.

Boyd, Gregory A. God at War: The Bible and Spiritual Conflict. Downers Grove:
InterVarsity, 1997.

Breneman, Mervin. Ezra, Nehemia, and Esther. Nashville, Tennessee: Broadman and
Holman, 1993.

Brettler, Marc Zvi. The Book of Judges. London: Routledge, 2002.

Bruckner, James K. Exodus. Peabody, Massachussetts: Hendrickson, 2008.

Brueggemann, Walter. First and Second Samuel. Louisville, Kentucky: John Knox, 1990.

———. Isaiah 40-55. Louisville, Kentucky: Westminster John Knox, 1998.

———. 1 and 2 Kings. Macon, Georgia: Smyth and Helwys, 2000.

———. An Introduction of the Old Testament: The Canon and Christian Imagination.
Louisville, Kentucky: Westminster John Knox, 2003.

Campbell, W. S. “Christianity and Judaism: Continuity and Discontinuity.” International


Bulletin of Missionary Research 8, no. 2 (April 1984): 54-58.

Carson, D. A. dan Douglas J. Moo. An Introduction to the New Testament. Ed. ke-2..
Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2005.

Cartledge, Tony W. 1 and 2 Samuel. Macon, Georgia: Smyth and Helwys, 2001.

Childs, Brevard S. The Book of Exodus. Philadelphia, Pennsylvania: Westminster Press,


1974.

———. Biblical Theology of the Old and New Testaments. Minneapolis, Minnesota:
Fortress, 1992.
Christensen, Duane L. Prophecy and War in Ancient Israel. Berkeley, California:
BIBAL, 1975.

Clifford, Richard J. Psalms 1-72. Nashville, Tennessee: Abingdon, 2002.

Cline, Eric H. A History of Ancient Israel: From the Patriarchs through the Romans.
Washington, District of Colombia: The George Washington University Press,
2006.

Conrad, Edgar W. Zechariah. Sheffield: Sheffield Academic, 1999.

Craigie, Peter C. The Book of Deuteronomy. Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1976.

———. The Problem of War in the Old Testament. Grand Rapids, Michigan: Eerdmans,
1978.

———. Psalms 1-50. Waco, Texas: Word Books, 1983.

Crenshaw, James L. Gerhard Von Rad. Waco, Texas: Word Books, 1978.

Cundall, Arthur E. dan Leon Morris. Judges and Ruth. Downers Grove, Illinois:
InterVarsity, 1968.

Curtin, Deane. “Berdamai dengan Bumi: Pertanian Pribumi dan Revolusi Hijau”. Dalam
Etika Terapan 1: Sebuah Pendekatan Multikultural. Diedit oleh Larry May, 289-
300. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001.

DeVries, Simon J. 1 Kings. Waco, Texas: Word Books, 1985.

Durham, John. I. Exodus. Waco, Texas: Word Books, 1998.

Eaton, John. The Psalms. London: T. and T. Clark International, 2003.

Edwards, Mark. Catholicity and Heresy in the Early Church. Hampshire, England:
Ashgate, 2009.

Eichrodt, Walter. Theology of the Old Testament. Jilid 1. London: SCM, 1961.

Ezra, Abraham Ibn. Commentary on the Second Book of Psalms: Chapter 42-72.
Diterjemahkan oleh H. Norman Strickman. Boston, Massachusetts: Academic
Studies, 2009.

Fee, Gordon D. dan Douglas Stuart. How to Read the Bible for All Its Worth. Ed. ke-2..
Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1993.
Fretheim, Terence E. Exodus. Louisville, Kentucky: John Knox, 1991.

———. First and Second Kings. Louisville, Kentucky: Westminster John Knox, 1999.

Friesen, Ivan D. Isaiah. Scottdale, Pennsylvania: Herald Press, 2009.

Fritsch, Charles T. “Biblical Typology.” Bibliotheca Sacra 104. (1947): 88-100.

Fruchtenbaum, Arnold G. Judges and Ruth. San Antonio, Texas: Ariel Ministries, 2007.

García, Juan Carlos Moreno. “War in Old Kingdom Egypt.” Dalam Studies on War in the
Ancient Near East. Diedit oleh Jordi Vidal, 5-42. Munster: Ugarit-Verlag, 2010.

Gillingham, Susan. Psalms Through the Centuries. Jilid 1. Oxford: Blackwell, 2008.

Goldingay, John dan David Payne. Isaiah 40-55, Jilid 1. New York: T. and T. Clark,
2006.

Goldingay, John. Psalms 42-89. Grand Rapids, Michigan: Baker Academic, 2007.

Goppelt, Leonhard. Typos: The Typological Interpretation of the Old Testament in the
New. Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1982.

Gordon, Cyrus H. dan Gary A. Rendsburg. The Bible and the Ancient Near East. New
York: W. W. Norton and Company, 1997.

Gordon, Robert P. 1 and 2 Samuel. Sheffield: Sheffield Academic, 1993.

Grabbe, Lester L. “Israel’s Historical Reality After the Exile”. Dalam The Crisis of
Israelite Religion: Transformation of Religious Tradition in Exilic and Post-Exilic
Times. Diedit oleh Bob Becking dan Marjo C. A. Korpel, 9-32. Leiden: Brill,
1999.

———. Ancient Israel: What Do We Know and How Do We Know It. London: T. and T.
Clark, 2007.

Gundry, Stanley N. “Introduction”. Dalam Show Them No Mercy. Diedit oleh Stanley N.
Gundry, 7-8. Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2003.

———. “Typology as a Means of Interpretation: Past and Present”. Journal of the


Evangelical Theological Society 12, no. 4 (1969): 234-240.

Gunn, David M. Judges. Oxford: Blackwell, 2005.


Guthrie, Donald. Pengantar Perjanjian Baru. Jilid 1. Surabaya: Momentum, 2008.

———. Pengantar Perjanjian Baru. Jilid 2. Surabaya: Momentum, 2009.

———. Pengantar Perjanjian Baru. Jilid 3. Surabaya: Momentum, 2004.

Hagner, Donald A. The New Testament: A Historical and Theological Introduction.


Grand Rapids, Michigan: Baker Academic, 2012.

Hamblin, William J. Warfare in the Ancient Near East. London: Routledge, 2006.

Harrington, Wilfrid J. Revelation. Diedit oleh Daniel J. Harrington. Collegeville,


Minnesota: Liturgical Press, 1993.

Harris, R. Laird, Gleason L. Archer Jr., dan Bruce K. Waltke. Theological Wordbook of
the Old Testament. Chicago, Illinois: Moody, 2003.

Hauerwas, Stanley. Matthew. Grand Rapids, Michigan: Brazos, 2006.

Hawk, L. Daniel. Joshua. Collegeville, Minnesota: Liturgical Press, 2000.

Hertzberg, Hans Wilhelm. 1 and 2 Samuel. Philadelphia: Westminster Press, 1964.

Hess, Richard S. “War in the Hebrew Bible: An Overview”. Dalam War in the Bible and
Terrorism in the Twenty-First Century. Diedit oleh Richard S. Hess dan Elmer A.
Martens, 19-32. Warsaw, Indiana: Eisenbrauns, 2008.

Hoehner, Harold W. Ephesians: An Exegetical Commentary. Grand Rapids, Michigan:


Baker Academic, 2002.

Hoerth, Alfred dan John McRay. Bible Archeology. Grand Rapids, Michigan: Baker
Books, 2005.

Holbert, John C. “The Problem of War in the Old Testament.” Perkins Journal 33 no 2
(1980): 46-47.

Hubbard, David A. “Hope in the Old Testament.” Tyndale Bulletin 34 (1983): 33-59.

Hunt, Emily J. Christianity in the Second Century: The Case of Tatian. London:
Routledge, 2003.

Kaiser, Walter C. Mission in the Old Testament. Grand Rapids, Michigan: Baker Books,
2000.
Kant, Immanuel. “Perpetual Peace: A Philosophical Sketch”. Dalam Political Writings.
Diedit oleh Hans Reiss, 93-130. Cambridge: Cambridge University Press, 1991.

Käsemann, Ernst. “The Spirit and the Letter”. Dalam Perspectives on Paul. Diedit oleh
Ernst Kasemann, 138-66. London: SCM, 1971.

Keener, Craig S. A Commentary on the Gospel of Matthew. Grand Rapids, Michigan:


Eerdmans, 1999.

King, Philip J. dan Lawrence E. Stager. Kehidupan Orang Israel Alkitabiah.


Diterjemahkan oleh Robert Setio. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.

Kitchen, Canon M. Ephesians. London: Routledge, 1994.

Kraus, Hans Joachim. Psalms 1-59. Minneapolis, Minnesota: Fortress, 1993.

Laffey, Alice L. First and Second Kings. Collegeville, Minnesota: Liturgical Press, 1944.

Lampe, G. W. H. dan K. J. Wo Ollcombe. Essays on Typology. London: SCM, 1917.

Lasor, W. S., D. A. Hubbard, dan F. W. Bush. Pengantar Perjanjian Lama 1: Taurat dan
Sejarah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.

———. Pengantar Perjanjian Lama 2: Sastra dan Nubuat. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2007.

Lienhard, Joseph. T. dan Ronnie. J. Rombs. Exodus, Leviticus, Numbers, Deuteronomy.


Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 2001.

Linafelt, Tod dan Timothy K. Beal. Ruth and Esther. Collegeville, Minnesota: Liturgical
Press, 1999.

Liverani, Mario. Israel’s History and the History of Israel. London: Equinox, 2003.

Livingston, G. Herbert. The Pentateuch in its Cultural Environment. Ed. ke-2. Grand
Rapids, Michigan: Baker Book House, 1987.

Longman III, Tremper dan Daniel G. Reid. God is a Warrior. Grand Rapids, Michigan:
Zondervan, 1995.

Longman III, Tremper dan Raymond B. Dillard. An Introduction to the Old Testament.
Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2006.
Longman III, Tremper. “The Case for Spiritual Continuity”. Dalam Show Them No
Mercy. Diedit oleh Stanley N. Gundry, 159-90. Grand Rapids, Michigan:
Zondervan, 2003.

———. Memahami Perjanjian Lama. Malang: Literatur SAAT, 2001.

Luz, Ulrich. Matthew 21-2: A Commentary. Diedit oleh Helmut Koester. Diterjemahkan
oleh James E. Crouch. Minneapolis, Minnesota: Fortress, 2005.

McCarthy, John J. dan Alan S. Prince. Faithfulness and Identity in Prosodic Morphology.
Massachusetts: Graduate Linguistic Student Association University of
Massachusetts, 1995. Diakses 8 Maret 2015. https://rucore.libraries.rutgers.edu/
rutgers-lib/41852/PDF/ 1/

McComiskey, Thomas Edward. The Covenants of Promise. Grand Rapids, Michigan:


Baker Books, 1985.

McDermott, John J. Reading the Pentateuch. New York: Paulist Press, 2002.

McKenzie, John L. Second Isaiah. New York: Doubleday, 1968.

McKenzie, Steven L. How to Read the Bible. Oxford: Oxford University Press, 2005.

McKim, Donald K. Westminster Dictionary of Theological Terms. Grand Rapids,


Michigan: Westminster John Knox, 1996.

Merrill, Eugene H. “The Case for Radical Discontinuity”. Dalam Show Them No Mercy.
Diedit oleh Stanley N. Gundry, 11-46. Grand Rapids, Michigan: Zondervan,
2003.

Miller, Patrick D. The Divine Warrior in Early Israel. Atlanta, Georgia: Society of
Biblical Literature, 2006.

Mintz, Steven. “The Global Effect of World War I”, The Gilder Lehrman Institute of
American History. Diakses 20 Januari 2015. http://www.gilderlehrman.org/
history-by-era/world-war-i/resources/global-effect-world-war-i.

Mitchel, Gordon. Together in the Land: A Reading of the Book of Joshua. Sheffield:
Sheffield Academic, 1993.

Moltmann, Jürgen. Theology of Hope: On the Ground and the Implications of a Christian
Eschatology. Minneapolis, Minnesota: Fortress, 1993.

Moore, Carey A. Esther. New York: Doubleday, 1971.


Morris, Leon. The Gospel According to Matthew. Grand Rapids, Michigan: Willam B.
Eerdman, 1992.

Motyer, J. Alec. The Prophecy of Isaiah. Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 1993.

Mounce, Robert H. The Book of Revelation. Diedit oleh Ned B. Stonehouse, F. F. Bruce,
dan Gordon D. Fee. Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1977.

Moyise, Steve dan Maarten J.J. Menken. Isaiah in the New Testament. New York: T. and
T. Clark International, 2005.

Nelson, Richard. First and Second Kings. Louisville, Kentucky: John Knox, 1987.

Niditch, Susan. Judges. Louisville, Kentucky: Westminster John Knox, 2008.

———. War in Hebrew Bible: A Study in the Ethic of Violence. Oxford, New York:
Oxford University Press, 1993.

O’Brien, Peter T. The Letter of Ephesians. Leicester: Apollos, 1999.

O’Keefe, John J. dan R.R. Reno. Sanctified Vision: An Introduction to Early Christian
Interpretation of the Bible. Baltimore, Maryland: Johns Hopkins University Press,
2005.

Osborne, Grant R. Revelation. Grand Rapids, Michigan: Baker Academic, 2002.

———. Matthew. Diedit oleh Clinton E. Arnold. Grand Rapids, Michigan: Zondervan
2010.

———. Hermeneutika Spiral. Diterjemahkan oleh Elifas Gani. Surabaya: Momentum,


2012.

Oswalt, John N. Isaiah. Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2003.

Reddish, Mitchell G. Revelation. Diedit oleh Mark K. McElroy. Atlanta, Georgia: Smyth
and Helwys, 2001.

Reich, Bernard. A Brief History of Israel. Ed. ke-2. Washington, District of Colombia:
George Washington University Press, 2008.

Reventlow, Henning Graf. Problems of Biblical Theology in the Twentieth Century.


Minneapolis, Minnesota: Fortress, 1986.

Roloff, Jurgen. Revelation. Diterjemahkan oleh John E. Alsup dan James S. Currie.
Minneapolis, Minnesota: Fortress, 1993.
Roop, Eugene F. Ruth, Jonah, Esther. Scottdale, Pennsylvania: Herald Press, 2002.

Rottenberg, Isaac C. “Fulfillment Theology and the Future of Christian-Jewish


Relations.” Christian Century 97, no. 3 (1960): 66-69.

Rowlett, Lori L. Joshua and the Rhetoric of Violence: A New Historicist Analysis.
Sheffield: Sheffield Academic, 1996.

Ryrie, Charles C. Dispensationalism Today. Chicago, Illinois: Moody Publishers, 1965.

Sanderson, John W. “Some Thoughts on the Reading of the Old Testament.”


Presbyterion 6, no. 2 (1980): 85-95.

Santoso, Agus. Tafsir Kitab Ester: Akan Ada Pertolongan dan Kelepasan. Bandung: Bina
Media Informasi, 2011.

Sarna, Nahum M. Exodus. Philadelphia, Pennsylvania: The Jewish Publication Society,


1991.

Satterfield, Bruce. “The Inter-Testamental Period.” diakses 2 September 2015.


http://emp.byui.edu/SATTERFIELDB/Papers/IntertestamentalPeriod.htm.

Sayce, Archibald Henry. Introduction to the Books of Ezra, Nehemia, and Esther.
London: The Religious Tract Society, 1889.

Schmidt, Werner H. Old Testament Introduction. New York: Crossroad, 1990.

Schneider, Tammi J. Judges. Collegeville, Minnesota: Liturgical Press, 2000.

Scruton, Roger. The Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thought. Basingstoke,


England: Palgrave Macmillan, 2007.

Smith, Ralph L. Micah – Malachi. Waco, Texas: Word Books, 1984.

Stillman, Nigel dan Nigel Tallis. Armies of the Ancient Near East 3.000 BC to 539 BC.
Cambridge: Wargames Research Group, 1984.

Strong, James. Greek Dictionary of New Testament, Albany, Oregon: AGES, 1997.

Stuckenbruck, Loren T. “Messianic Ideas in the Apocalyptic and Related Literature of


Early Judaism”. Dalam The Messiah in the Old and New Testaments. Diedit oleh
Stanley E. Porter, 90-116. Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 2007.
Sutanto, Hasan. Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab. Malang: Literatur
SAAT, 2007.

Sweeney, Marvin A. 1 and 2 Kings. Louisville: Westminster John Knox, 2007.

Talbert, Charles H. Ephesians and Colossians. Diedit oleh Mikeal Parsons and Charles
Talbert. Grand Rapids, Michigan: Baker Academic, 2007.

Talmon, S. “The Concept of Messiah and Messianism in Early Judaism”. Dalam The
Messiah: Developments in Earliest Judaism and Christianity. Diedit oleh James
H. Charlesworth, 79-115. Minneapolis, Minnesota; Fortress, 1992.

Terrein, Samuel. The Psalms. Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 2003.

Thielman, Frank. Ephesians. Diedit oleh Robert Yarbrough dan Robert Stein. Grand
Rapids, Michigan: Baker Academic, 2010.

Tigay, Jeffrey H. Deuteronomy. Philadelphia, Pennsylvania: The Jewish Publication


Society, 1996.

Tolstoy, Leo. War and Peace. Diterjemahkan oleh Richard Pevear dan Larissa
Volokhonsky. London: Vintage Classics, 2009.

Turner, Bryan S. The Cambridge Dictionary of Sociology. Cambridge: Cambridge


University Press, 2006.

Unger, Merril F. Zechariah: Prophet of Messiah’s Glory. Grand Rapids, Michigan:


Zondervan, 1979.

Vanhoozer, Kevin. J., Gen. Ed. Dictionary of Theological Interpretation. Grand Rapids,
Michigan: Baker Academic, 2005.

Von Rad, Gerhard. ”The Origin of the Concept of then Day of Yahweh.” Journal Semitic
Studies 4 (1959): 97-108.

———. Old Testament Theology. Jilid II. New York: Harper and Row, 1965.

———. Deuteronomy: A Commentary. Philadelphia, Pennsylvania: Westminster Press,


1966.

Walsh, Jerome T. 1 Kings. Collegeville, Minnesota: Liturgical Press, 1996.

Walton, John H., Victor H. Matthews, dan Mark W. Chavalas. The IVP Bible
Background Commentary: Old Testament. Downers Grove, Illinois: InterVarsity,
2000.
Watts, John D. W. Isaiah 34-66. Waco, Texas: Word Books, 1987.

Webb, Barry G. Book of the Judges. Sheffield: Sheffield Academic, 1987.

Weiser, Arthur. The Psalms. Philadelphia, Pennsylvania: Westminster Press, 1962.

Weiss, Johannes. Jesus’ Proclamation of the Kingdom of God. California: Scholars Press,
1985.

Westcott, B. F. The Epistle to the Hebrew: The Greek Text with Notes and Essays.
Eugene, Oregon: Wipf and Stock, 1889.

Westermann, Claus. Isaiah 40-66. Philadelphia, Pennsylvania: The Westminster, 1969.

Wilken, Robert Louis. Isaiah: Interpreted by Early Christian and Medieval


Commentators. Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 2007.

Witherington III, Ben. Revelation. Cambridge: Cambridge University Press, 2003.

Wolf, Herbert. An Introduction to the Old Testament Pentateuch. Chicago: Moody, 1991.

Zimmerli, Walther. “The Interpretation of Old Testament: The Promise and Fulfillment.”
Interpretation 15, no. 3 (1961): 310-38.

Anda mungkin juga menyukai