SARJANA TEOLOGI
OLEH
JAKARTA
DESEMBER 2015
UCAPAN TERIMA KASIH
Sebuah karya tercipta bukan tanpa beban atau tujuan. Karya tangan manusia
terlahir dari perjuangan serta ketekunan. Dan syukur pada Allah Tritunggal yang telah
meletakkan beban serta mengaruniakan ketekunan pada penulis untuk dapat mengawali
pergumulan ini hingga paripurnanya. Dalam hari dan bulan yang dilalui, serta tiap jatuh
bangun proses yang dihadapi, Ia terus menyertai dan memberi ketertarikan serta
kerinduan untuk terus menggali dan mencari tahu misteri agung ini. Hingga akhirnya
Ungkapan terimakasih juga tak lupa penulis sampaikan kepada beberapa figur
penting yang ada bagi penulis dalam melalui proses kepenulisan tugas akhir ini.
1. Terimakasih kepada kedua orangtua penulis yang tak pernah lelah memberi
kesempatan serta dukungan untuk penulis memulai kembali dari setiap kegagalan dan
terus memberikan semangat dalam doa dan perhatian yang tak mungkin tergantikan.
2. Terimakasih untuk Pdt. Yakub B. Susabda, Ph.D sebagai Rektor STTRI yang
memberikan penulis kepercayaan, teladan, dan juga didikan hingga penulis boleh
3. Terimakasih untuk Ev. Inawaty Teddy, B.Com., M.Th dan Ev. Simeon Theojaya,
M.T.S, yang dengan penuh kasih, menolong, membimbing, mengoreksi, serta menjadi
4. Terimakasih untuk Ev. Ina Hidayat, Th.M. yang telah menjadi dosen penguji
sekaligus editor bagi penyelesaian tulisan ini hingga layak cetak dan menjadi bagian dari
Adhinata, Ph.D., Emil Salim, S.E., M.Div., Ph.D., Lanny Pranata, B.A., M.Th., Ir.
Asriningrum, M.Th., Andreas H. Simeon, M.Th., Samuel B. Prasetya, M.Si., Ir. Siska A.
Tampenawas, M.Th., Pdt. Agus Santoso, Dr. Theol., Yason Budiprasetya, M.Div.,
Yuliwaty Rukiah, S.Th., M.Ed., dlsb., yang telah membimbing serta mengajarkan
berbagai hal yang penulis perlukan untuk memperlengkapi penulis, bukan hanya sebagai
6. Terimakasih untuk Pdt. Joas Adiprasetya, D.Th., Nindyo Sasongko, S.Th., M.A.,
Hans Abdiel Harmakaputra, S.Th., M.A., Toar Banua Hutagalung, S.Th., M.A., Daniel
Sihombing, M.Th., dan Yohanes Krismantyo, M.Th., yang telah menjadi guru, kakak,
Gunawan, Fanny Puspita, Mesrawati Ziliwu, Septiana Iskandar, Nina Hutagalung, Dede
8. Terimakasih untuk kedua adik penulis, Evangelista Elfania dan Tri Agatha Iolana,
untukmu, sang Cinta, yang menjadi alasan semua upaya penyelesaian skripsi ini.
Terimakasih bahwa engkau sudah dan aku harap akan kembali mewarnai kehidupanku.
Kiranya Tuhan sajalah yang membalas setiap kebaikan Bapak, Ibu, Saudara
sekalian yang telah menjadi warna, cerita, dan juga pesona dalam kehidupan ini. Amin.
DAFTAR ISI
V. PENUTUP 193
Kesimpulan dan Relevansi 193
Saran-Saran 199
Realitas perang merupakan realita yang tak terhindarkan dalam sejarah kehidupan
manusia. Realitas ini muncul dengan berbagai alasan, mulai dari alasan politik hingga
religius. Perdebatan etis mengenai perang juga hadir secara ragam, mulai dari
pemahaman perang adil (just war) hingga pemahaman cinta damai (pacifism). Dalam
kenyataan ini, pemahaman teologis mengenai perang mengambil tempat penting dalam
perang dipengaruhi oleh pendekatan yang digunakan terhadap teks Alkitab, mulai dari
pendekatan tipologi, janji dan pemenuhan, atau kontinuitas dan diskontinuitas. Dengan
mempertimbangkan hadirnya teks perang yang tersebar di berbagai masa yang berbeda
dalam Alkitab, maka dipilihlah pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas sebagai metode
Uraian akan difokuskan pada beberapa teks perang dalam Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru, dengan mempertimbangkan waktu kesejarahan yang berbeda dari setiap
teks serta genre sastra yang digunakan. Dari uraian ini akan terlihat kontinuitas dan
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perang adalah salah satu fenomena sosio-politik yang terjadi dalam sejarah
sebagai “a type of violent social conflict between two or more armed powerful
organizations, in which each aims to prevail by destroying the other’s power, primarily
through the deliberate use of armed force.”1 Kenyataan adanya konflik sosial antar dua
kelompok atau lebih dapat dipicu oleh berbagai alasan. The Palgrave Macmillan
Dictionary of Political Thought menyatakan bahwa perang dapat dipicu oleh perebutan
daerah teritori, konflik politik bahkan perbedaan ideologi.2 Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa perang didefinisikan sebagai sebuah bentuk konflik sosial yang
mengandung kekerasan yang muncul dalam relasi dua atau lebih kelompok yang dapat
dalam berbagai sisi yang cukup berbeda. Kalangan besar seperti Lutheran, Reformed, dan
Anglikan melihat perang sebagai sesuatu yang diperbolehkan, sebab melalui perang yang
adil (Just War) maka kejahatan di dalam dunia dapat ditahan kuasanya dan peperangan
1
The Cambridge Dictionary of Sociology, s.v. “War”.
2
The Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thought, s.v. “War”.
diperbolehkan hanya demi tujuan kemanusiaan dan iman.3 Di sisi lain, Duane Cody
memahami perang sebagai tindakan arogan dimana penindasan didasarkan pada persepsi
bahwa sebagian kelompok merasa lebih layak secara moral dan lebih unggul sehingga
diperbolehkan menerima hak istimewa untuk berperang dan sebagian yang lain dianggap
lebih bodoh, pasif, dan bahkan kurang bermoral sehingga layak untuk menerima serangan
atau diperangi.4
Baik untuk sebuah alasan ideologis maupun kekuasaan, kenyataan adanya perang
sebagai sebuah konflik yang mengandung kekerasan memberikan sebuah dampak yang
nyata bagi masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya, bahkan bagi pihak lain yang
terrible thing war is, what a terrible thing! Quel terrible chose que la guerre!”5 Perang
adalah sesuatu yang sangat mengerikan. Kengerian dari perang tergambarkan melalui
kematian, kehilangan, rasa sakit, bahkan kebencian yang ditimbulkan akibat perang.
Steven Mintz dalam artikel online di The Gilder Lehrman Institute mengungkapkan data
bahwa selama masa perang dunia pertama ada sekitar sembilan juta tentara, pelaut, dan
penerbang, serta 5 juta penduduk sipil meninggal dunia. Selain itu secara ekonomi,
Perang Dunia Pertama juga membawa kerugian langsung sebesar 186 milliar dolar
3
Roland H. Bainton, Christian Attitudes toward War and Peace: A Historical Survey and Critical
Re-evaluation (Nashville, Tennessee: Abingdon, 1990), 14-15.
4
Deane Curtin, “Berdamai dengan Bumi: Pertanian Pribumi dan Revolusi Hijau”, dalam Etika
Terapan 1: Sebuah Pendekatan Multikultural, ed. Larry May (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), 299-
300.
5
Leo Tolstoy, War and Peace, terj. Richard Pevear dan Larissa Volokhonsky (London: Vintage
Classics, 2009), 198.
Amerika dan kerugian tak langsung 151 milliar dolar Amerika.6 Lebih lanjut, anggapan
[F]or this would mean calling down on themselves all the miseries of war, such as doing
the fighting themselves, supplying the costs of the war from their own resources,
painfully making good the ensuing devastation, and, as the crowning evil, having to take
upon themselves a burden of debt which will embitter peace itself and which can never be
paid off on account of the constant threat of new wars.7
Dengan demikian, ada kemungkinan munculnya perang yang baru akibat adanya dendam
Fenomena perang bukan hanya hadir dalam sejarah dunia secara umum, tetapi
secara khusus, Alkitab juga mencatat tentang kisah-kisah peperangan yang pernah
maupun yang akan terjadi dalam sejarah kehidupan umat Allah. Kisah-kisah seperti
keluarnya bangsa Israel dari tanah Mesir, peperangan Israel melawan Yerikho,
peperangan Israel merebut Kanaan, perang antar Israel dan Yehuda, hingga peperangan
antara Anak Domba Allah dan si Ular Tua menjadi beberapa kisah peperangan yang
tercatat di Alkitab.
dalam Alkitab juga coba dipahami dari berbagai macam sisi. Salah satu pandangan yang
menjadi problem yang cukup serius dipermasalahkan adalah adanya pandangan bahwa
6
Steven Mintz, “The Global Effect of World War I”, The Gilder Lehrman Institute of American
History, http://www.gilderlehrman.org/history-by-era/world-war-i/resources/global-effect-world-war-i
(diakses 20 Januari 2015).
7
Immanuel Kant, “Perpetual Peace: A Philosophical Sketch”, dalam Political Writings, ed. Hans
Reiss (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 100.
kisah-kisah perang di dalam Perjanjian Lama, khususnya dalam Ulangan 20 atau dalam
beberapa bagian di dalam kitab Yosua, memberikan gambaran bahwa Allah Perjanjian
Lama adalah Allah yang kejam dan diskriminatif.8 Pandangan bahwa Allah Perjanjian
Lama adalah Allah yang kejam dianggap oleh beberapa orang sebagai sebuah
permasalahan akan konsistensi gambaran Allah dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru.
Marcion salah seorang tokoh kekristenan abad mula-mula yang dianggap bidat
mempercayai bahwa perbedaan antara tindakan Allah dalam Perjanjian Lama terhadap
Israel dan penebusan yang Yesus kerjakan di dalam Perjanjian Baru dilakukan bukan
oleh satu agen yang sama.9 Dalam hal ini, Marcion membedakan antara Allah Perjanjian
Lama dan Allah Perjanjian baru sebagai dua Allah yang berbeda. Selain Marcion, Tatian
salah seorang murid Justin Martyr, menolak Perjanjian Lama sebab Perjanjian Lama
menghadirkan Allah yang berbeda. Sebagaimana dikutip oleh Hunt, Clement dari
Tatian makes a distinction between the old humanity and the new, but it is not ours. We
agree with him in that we too say that the old humanity is the Law, the new is the gospel.
But we do not agree with his desire to abolish the Law as being the work of a different
god.10
Sebagai konsekuensi bahwa Allah Perjanjian Lama dan Allah Perjanjian Baru
bukanlah satu agen yang sama, menurut John Barton perlu ada penghapusan atau
8
Stanley N. Gundry, “Introduction”, dalam Show Them No Mercy, ed. Stanley N. Gundry (Grand
Rapids, Michigan: Zondervan, 2003), 7.
9
Mark Edwards, Catholicity and Heresy in the Early Church (Hampshire, England: Ashgate, 2009),
29.
10
Emily J. Hunt, Christianity in the Second Century: The Case of Tatian (London: Routledge, 2003),
179.
perubahan agar terjadi konsistensi dalam pemahaman iman Kristen mengenai Allah yang
Esa.11 Dalam hal ini, baik Marcion maupun Tatian, memilih untuk menghapuskan
anggapan bahwa Perjanjian Lama adalah bagian yang sama dan konsisten dengan Kanon
Kristen, sehingga mereka tidak kehilangan gambaran Allah yang dinyatakan melalui
Yesus.12 Dalam upaya ini, muncul problem lain yaitu penghapusan Perjanjian Lama
sebagai satu bagian dari kanon Alkitab bertentangan dengan pemahaman tentang doktrin
Alkitab yang dipercaya oleh kekristenan.13 Meresponi hal ini, Tremper Longman
berpendapat bahwa problem di atas muncul akibat dari adanya kesalahan memahami
teks-teks perang di dalam Alkitab.14 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa adanya
kesalahan memahami teks-teks perang dapat memberikan dampak yang serius bagi
Everything that follows is really intended simply to carry this familiar procedure a stage
further by trying to understand that the way in which the Old Testament is absorbed in the
11
John Barton, The Old Testament: Canon, Literature, and Theology (Hampshire, England:
Ashgate, 2007), 55.
12
Barton, The Old Testament, 56. Bdk. Hunt, Christianity in the Second Century, 57. The ‘truth’
that Tatian discovers is contained within some ‘barbarian writings’, and these ‘barbarian writings’ are in
fact the Hebrew Scriptures.
13
Bdk. Westminster Confession of Faith, I. ii. Pengakuan iman Westminster menyatakan bahwa
“Under the name of Holy Scripture, or the Word of God written, are now contained all the books of the
Old and New Testament.”
14
Tremper Longman III, Memahami Perjanjian Lama (Malang: Literatur SAAT, 2001), 64.
New is the logical end of a process initiated by the Old Testament itself, and that its
“laws” are to come extent repeated in this final reinterpretation. Initially therefore our
method does not begin from the New Testament and its manifold references to the Old
Testament. This is a method which has often been adopted, and it is a right and proper
one . It has also, of course led all too often to contrasting the one with the other with a
sharpness which does not do justice to the great hermeneutic flexibility of the relationship
between the two testaments. The method will be an attempt to show one characteristic
way in which the Old Testament leads forward to the New.15
Melalui pendekatan ini, Gerhard Von Rad kemudian mengasumsikan perang dalam relasi
antara iman dan status sebagai umat Allah yang secara historis bergerak dari Perjanjian
Lama hingga Perjanjian Baru dalam sebuah kontinuitas sejarah.16 Sedangkan bagi
Eichrodt, relasi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dipahami sebagai berikut:
That which binds together indivisibly the two realms of the Old and New Testaments –
different in externals though they may be – is the irruption of the Kingship of God into
his world and its establishment here. This is the unitive fact because it rests on the action
of one and the same God in each case. In addition to this historical movement from the
Old Testament to the New, there is a current of life flowing in the reverse direction from
the New Testament to the Old.17
Eichrodt berargumen bahwa pergerakan sejarah memang terjadi dari Perjanjian Lama
menuju Perjanjian Baru, namun untuk memahami makna teologis maka diperlukan juga
pembalikan arah dari Perjanjian Baru kepada Perjanjian Lama. Dalam hal ini, Eichrodt
berpendapat bahwa perang harus dilihat dalam sebuah kerangka perang Kudus Allah
dimana konsep kekudusan dan pengorbanan dalam konteks Perjanjian Allah yang kekal
dan penuh kasih karunia menjadi bingkai dalam memahami kenyataan perang dalam
Perjanjian Lama, serta sebagai gambaran figuratif dari peperangan Kristus terhadap dosa
15
Gerhard Von Rad, Old Testament Theology, jilid 2 (New York: Harper and Row, 1965), 321-22.
16
James L. Crenshaw, Gerhard Von Rad (Waco, Texas: Word Books, 1978), 46.
17
Walter Eichrodt, Theology of the Old Testament, jilid 1 (London: SCM, 1961), 26.
18
Eichrodt, Theology of the Old Testament, 139-41.
Di pihak yang lain, Brevard Childs yang mencoba melihat Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru dalam sebuah pendekatan kanonikal, mencoba membaca Perjanjian Lama
dan Baru dalam keunikan masing-masing tanpa mengunggulkan salah satunya. Childs
berargumen bahwa Perjanjian Lama bukan hanya memiliki dimensi horisontal, namun
juga dimensi vertikal, di mana Perjanjian Lama juga membawa kesaksian yang unik bagi
iman Kristen untuk melihat Perjanjian Lama sebagai janji dan Perjanjian Baru sebagai
penggenapan atas janji tersebut. Oleh karena itu, keunikan tiap Perjanjian tidak bisa
hanya dilihat dari satu sisi ataupun dihilangkan, namun harus terjadi timbal-balik
hal ini, Child berargumen bahwa perang dalam Perjanjian Lama, khususnya dalam Yosua
harus dilihat sebagai bagian dari penggenapan janji Allah kepada Israel untuk
Ragam Pendekatan
pendekatan-pendekatan lain yang digunakan oleh para penafsir untuk memahami perang
dalam konsep kesatuan Perjanjian Lama dan Baru. Dalam upaya ini, secara umum ada
tiga pendekatan utama dalam memahami permasalahan perang dalam keseluruhan kanon
Alkitab:21
19
Brevard Childs, Biblical Theology of Old and New Testamants (Minneapolis, Minnesota:
Fortress, 1993), 77-78.
20
Childs, Biblical Theology, 146.
21
David L. Baker, Two Testaments, One Bible (Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 1991), 179-
252.
a. Pendekatan Tipologi
Pendekatan tipologi dapat dipahami sebagai relates “the past to the present in
prefigurement finds a complement in the subsequent and greater event”22 Dimana sebuah
kejadian, tempat, bahkan tokoh di masa lalu memiliki berkorespondensi dan menjadi
gambaran bagi sesuatu yang akan datang. Sebagai contoh, Peter Craigie melihat bahwa
bahasa perang yang terdapat dalam Perjanjian Baru lebih sering memberikan nuansa
figuratif dibandingkan dalam Perjanjian Lama yang cenderung bersifat faktual. Meskipun
demikian, Craigie berpendapat bahwa perang dalam Perjanjian Lama tidak hanya
dipahami hanya sebagai gambaran perlawanan terhadap musuh yang bersifat duniawi
namun dapat menjadi tipologi bagi perang dalam Perjanjian Baru yang menggambarkan
memiliki berasumsi bahwa Perjanjian Lama bukanlah sesuatu yang bersifat akhir, ia
merupakan sebuah proses, bukan sesuatu yang sudah bersifat genap dan selalu diresapi
dengan perasaan belum lengkap.24 Oleh karena itu, pendekatan Janji dan Penggenapan
adalah suatu rumusan alkitabiah yang mengungkapkan rencana Allah bagi umat-Nya
sebagaimana terwujud dalam sejarah melalui sebuah proses historis hingga mencapai
22
Dictionary of Theological Interpretation, s.v. “Typology”.
23
Peter C. Craigie, The Book of Deuteronomy (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1976), 274.
24
Baker, Two Testaments, One Bible, 226.
penggenapannya.25 Sebagai contoh, Tigay dalam The JPS Torah Commentary
menjelaskan bahwa hukum perang dalam Perjanjian Lama harus dilihat dalam konteks
perang Israel. Dalam hal ini, perang berhubungan dengan penaklukan tanah sebagai
bagian dari Perjanjian Allah dan Israel, dimana janji ini telah digenapi ketika Israel
memasuki Kanaan dan akan dipenuhi ketika Mesias hadir untuk menegakan Kerajaan
ini adalah sebuah pendekatan yang memahami bahwa keseluruhan isi Alkitab adalah
sejarah penebusan yang Allah kerjakan bagi manusia, dimana ada sebuah kesinambungan
antara Perjanjian Lama dan Baru sebagai satu tindakan Allah yang tunggal dalam sejarah
revelation yang Allah kerjakan dalam penyataan dirinya kepada setiap penulis Alkitab
dalam tiap zaman dan kondisi yang berbeda.27 Dalam hal ini, pendekatan kontinuitas dan
diskontinuitas akan mencoba melihat perang dan menganalisa perang sebagai satu bagian
perbedaan pemahaman mengenai perang. Oleh karena itu, muncul beberapa pandangan
25
Baker, Two Testaments, One Bible, 233.
26
Jeffrey H. Tigay, Deuteronomy (Philadelphia, Pennsylvania: The Jewish Publication Society,
1996), 185.
27
Baker, Two Testament, One Bible, 234.
mengenai perang yang coba diusulkan oleh beberapa ahli, antara lain pandangan dari
Richard Hess yang menyatakan bahwa perang dalam Perjanjian Lama memiliki dua
makna yaitu untuk mempertahankan diri (defensive) serta sebagai sebuah bentuk
demonstrasi ketaatan kepada Allah.28 Bentuk demonstrasi ketaatan kepada Allah juga
ditunjukkan sebagai klimaks dari kehidupan Kristus sendiri. Dalam Filipi 2:8 dikatakan
“Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai
mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” Dengan demikian, korelasi kematian Kristus
dan perang adalah satu bagian yang sama dari ketaatan kepada Allah yang satu.
Jika Hess melihat bahwa perang adalah sebuah bentuk mempertahankan diri,
Miller mengakui bahwa ada aspek perang di dalam Perjanjian Lama, khususnya dalam
Pandangan yang lain juga dinyatakan oleh Susan Nidicth yang menekankan bahwa
perang merupakan bentuk penyelamatan yang Allah kerjakan bagi umat-Nya, sehingga
tidak ada partisipasi aktif manusia di dalam perang.30 Sedangkan bagi Longman, perang
di dalam Alkitab adalah bagian dari ibadah kepada Allah.31 Meski ada beragam
pandangan mengenai perang di dalam Alkitab, namun baik Hess, Niditch, maupun
Longman dan Reid memahami Allah dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
28
Richard S. Hess, “War in the Hebrew Bible: An Overview”, dalam War in the Bible and Terrorism
in the Twenty-First Century, ed. Richard S. Hess dan Elmer A. Martens (Warsaw, Indiana: Eisenbrauns,
2008), 30.
29
Patrick D. Miller, The Divine Warrior in Early Israel (Atlanta, Georgia: Society of Biblical
Literature, 2006), 157.
30
Susan Niditch, War in the Hebrew Bible: A Study in the Ethics of Violence (Oxford: Oxford
University Press, 1993), 154.
31
Tremper Longman III, “The Case for Spiritual Continuity”, dalam Show Them No Mercy, ed.
Stanley S. Gundry (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2003), 164.
bukanlah Allah yang berbeda.32 Dengan memahami banyaknya pandangan serta
pendekatan terhadap konsep perang di dalam Alkitab, maka penulis memilih untuk
membatasi penelitian ini pada pembahasan mengenai teks-teks perang di dalam Alkitab
dan diskontinuitas sudah banyak dikerjakan oleh beberapa ahli sebelumnya. Dalam
penelitian yang terdahulu, Longman meneliti perang melalui pendekatan kontinuitas dan
diskontinuitas dengan lebih banyak memfokuskan penelitian teks pada kitab Yosua dan
dan diskontinuitas dalam membaca teks-teks perang. Akan tetapi, ia lebih banyak
tentang teks-teks perang hanya menjadi jembatan untuk memahami gambaran tentang
Kristus dan bukan mengarah kepada perang itu sendiri.34 Selain itu ada pula nama-nama
seperti Gregory A. Boyd dan Susan Niditch yang juga mencoba menjelaskan mengenai
perang di dalam Alkitab melalui pendekatan yang sama. Dimana Boyd lebih banyak
32
Dalam God is Warrior, Longman dan Reid menjelaskan bahwa Allah dalam Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru digambarkan sebagai Pahlawan Perang Ilahi yang membawa keselamatan bagi Israel
maupun bagi umat Allah dalam Perjanjian Baru. Gambaran Allah sebagai prajurit perang merupakan
penghubung antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Tremper Longman III dan Daniel G. Reid, God Is
a Warrior (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2010), 16-17. Bdk. Hess, “War in the Hebrew Bible: An
Overview”, 24.
33
C. S. Cowles, “A Response to Tremper Longman III”, dalam Show Them No Mercy, (Grand
Rapids, Michigan: Zondervan, 2003), 191-92. Bdk. Longman, “The Case for Spiritual Continuity”, 163-87.
34
Bdk. Phillip Ross Bethancourt, “Christ the Warrior King: A Biblical, Historical, and Theological
Analysis of the Divine Warrior Theme in Christology.” (Ph.D. diss., The Southern Baptist Theological
Seminary, 2011).
menekankan perang secara spiritual35, sedangkan Niditch lebih melihat perang dalam
hubungannya dengan keadilan dan etika non-partisipasi.36 Sekalipun telah banyak tokoh
mencoba memaparkan perihal perang, namun belum ada pembahasan mengenai teks-teks
menuju Perjanjian Baru secara lebih terinci, dengan mengambil teks-teks perang yang
cukup beragam dari beberapa genre dan rentang kesejarahan yang berbeda.
Oleh karena itu studi ini disasarkan untuk memaparkan pergerakan konsep perang
Mengapa teks-teks perang? Sebab teks-teks perang dalam Alkitab, terkhusus dalam
Perjanjian Lama, merupakan salah satu bagian yang sering kali disalahtafsirkan sebagai
pengajaran tentang kekerasan yang tidak konsisten dengan pengajaran tentang kasih yang
kental di bahas dalam Alkitab. Oleh karena itu, skripsi ini akan berusaha untuk
memahami apa yang menjadi konsep teologis dari teks-teks perang di dalam Alkitab dan
melihat apakah ada pengembangan pemahaman mengenai perang yang terjadi sepanjang
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dengan pemahaman ini diharapkan agar kesalahan
konsep mengenai makna perang di dalam Alkitab serta konsep-konsep lain yang terkait
35
Lih. Gregory A. Boyd, God at War: the Bible and Spiritual Conflict (Downers Grove, Illinois:
InterVarsity, 1997).
36
Lih. Niditch, War in the Hebrew Bible, 151-55.
37
Kesalahan dalam memahami konsep perang di dalam Alkitab dapat mempengaruhi
pemahaman mengenai Allah, kanonisasi Alkitab, bahkan masalah iman pada Allah yang satu. Akan tetapi,
skripsi ini tidak akan membahas masalah-masalah ini secara langsung.
Pernyataan Tesis
teologis maupun praktis, dari Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru, di mana ada
aspek-aspek yang tetap berlanjut (kontinu) dan ada aspek-aspek tertentu yang berhenti
(diskontinu).
Pembatasan Masalah
Penelitian dibatasi pada teks-teks perang dalam Alkitab dari beberapa genre dan
waktu kesejarahan yang berbeda dan tidak akan membahas perdebatan mengenai
perbedaan pemahaman tentang Allah dalam Perjanjian Lama dan Baru serta masalah
kanonisasi Alkitab.
Metode Penelitian
dahulu pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas dengan dua pendekatan yang lain, yaitu
pendekatan tipologi dan pendekatan janji dan penggenapan, untuk melihat keunikan yang
guna memahami makna perang serta pergerakan pemahaman mengenai perang dalam
Perjanjian Baru dengan memperhatikan perubahan yang terjadi dari sisi politik, sosial,
fisikal, hingga perang secara spiritual yang ditemukan dalam keunikan masing-masing
pemahaman mengenai perang dalam Alkitab melalui perspektif yang lebih rinci dan
perbandingan terhadao studi mengenai perang yang telah dikerjakan oleh para ahli
terdahulu.
Kedua, secara praktis melalui penelitian ini dapat menjadi salah satu sarana untuk
dari masing-masing Perjanjian sebagai akibat dari kesalahan memahami teks-teks perang
dalam Alkitab dan pola pergerakan konsep perang dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru.
perang dalam Alkitab, pembaca dapat menyaksikan bahwa konsep perang merupakan
bagian dari progressive revelation yang Allah berikan sesuai dengan konteks masing-
relasional antara Perjanjian Lama dan Baru adalah urusan yang sangat penting dan
menjadi salah satu kunci dari permasalahan teologis abad 20.38 Ridderbos juga
pemahaman mengenai relasi Perjanjian dan kaitannya dengan teologi, maka penulis akan
tipologi, janji dan pemenuhan, serta kontinuitas dan diskontinuitas — guna memahami
Tipologi
Definisi
Tipologi berasal dari kata Yunani typos (τύπος) atau dalam bahasa Inggris disebut
type.40 Menurut Greek Dictionary of the New Testament kata typos bisa berarti tanda,
38
Henning Graf Reventlow, Problems of Biblical Theology in the Twentieth Century (Minneapolis,
Minnesota: Fortress, 1986), 11.
39
Reventlow, Problems of Biblical Theology in the Twentieth Century, 11.
40
Baker, Two Testaments, One Bible, 185.
bentuk, corak mode atau gaya bahasa, kemiripan, contoh juga model.41 Sedangkan
benda, atau kejadian yang diperhitungkan sebagai sebuah representatif atau contoh dari
kelas atau grup tertentu.42 Dalam hal ini pemaknaan typos (τύπος) didefinisikan sebagai
prinsip kesamaan sedangkan type lebih merujuk pada sebuah penerapan akan prinsip
kesamaan yang dapat dilihat dalam pribadi, benda, maupun kejadian. Oleh karena itu,
historical event or person, ordained by God, which effectively prefigures some truth
kesejarahan dari masa lalu ke masa sekarang, yang tak jarang mengalami penambahan
memahami peristiwa selanjutnya yang lebih besar.44 Dalam definisi ini, relasi tipe dan
antitipe dipahami bukan sebagai bentuk relasi identik, akan tetapi antitipe dilihat
41
Greek Dictionary of the New Testament, s.v. “τύπος”.
42
Oxford Advanced Learning Encyclopedic Dictionary, s.v. “Type”.
43
Charles T. Fritsch, "Biblical Typology," Bibliotheca Sacra, vol. 104 (1947): 87-100.
44
Dictionary of Theological Interpretation, s.v. “Typology”.
Karakteristik Tipologi
teks Alkitab tampaknya sudah sangat umum dipakai sejak abad pertama kekristenan.
Typology and the typological method have been part of the church’s exegesis and
hermeneutics from the very beginning. Obviously this is due to the influence of the NT
and it is attested by the writings of the Apostolic Fathers.45
Meski umum digunakan namun pemahaman mengenai tipologi seringkali menjadi rancu
the fact that the term ‘typology’ has been confused with allegorical and symbolic
properly used.”46 Dengan demikian, perlu adanya sebuah pemahaman yang tepat
mengenai karakteristik dari tipologi agar tidak terjadi kerancuan dalam memahami dan
menerapkan pendekatan ini terhadap teks. Dalam hal ini, karakteristik-karakteristik yang
Korespondensi Kesejarahan
First, typology is historical. Its concern is not with words but with historical facts: events,
people, institutions. It is not a method of philological or textual study, but a way of
understanding history.47
45
Leonhard Goppelt, Typos: The Typological Interpretation of the Old Testament in the New (Grand
Rapids, Michigan: Eerdmans, 1982), 4.
46
Baker, Two Testaments, One Bible, 193. Bdk. John J. O’Keefe dan R. R. Reno, Sanctified Vision: An
Introduction to Early Christian Interpretation of the Bible (Baltimore, Maryland: Johns Hopkins University
Press, 2005 ), 90. Seringkali alegori dan tipologi dipandang serupa sebab sama-sama berfokus pada kode
atau figur tertentu yang menyatukan Perjanjian Lama dengan Baru.
47
Baker, Two Testaments, One Bible, 195.
Fokus tipologi kepada fakta-fakta sejarah menjadi salah satu ciri penting yang berbeda
Allegories are basically interpretations that claim that the plain or obvious sense of a
given text is not the true meaning, or at least not the full meaning. The words, event, and
characters, so the allegorist claims, stand for something else; they speak for another
reality, another realm of meaning.48
Dalam hal ini, bagi penafsiran alegoris yang terpenting bukan fakta sejarah, kata atau
tokoh dalam cerita, namun realitas dan makna lain yang tersembunyi dibalik teks. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa penafsiran alegoris mengandung asumsi negatif
terhadap sejarah teks maupun peristiwa, hal ini berbeda dengan pendekatan tipologi.
Pendekatan tipologi justru berusaha mencari pola berulang yang terjadi dalam sejarah
Pencarian pola berulang tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, melalui
korespondensi atau analogi. Dalam poin ini, korespondensi dalam pendekatan tipologi
dipahami dalam bentuk relasi antar ide dari peristiwa kesejarahan. Gopplet berpendapat
bahwa korespondensi yang terjadi dalam pendekatan tipologi terjadi dalam tataran ide
signifikansi terhadap kisah sejarah bangsa Ibrani, nubuatan bahkan liturgi keagamaan
48
O’Keefe dan Reno, Sanctified Vision, 89.
49
G. W. H. Lampe dan K. J. Wo Ollcombe, Essays on Typology (London: SCM, 1917), 26.
50
Goppelt, Typos, 226-27. Pola cyclical adalah sebuah pola peristiwa yang terjadi lagi dan lagi
dalam tatanan yang sama.
sebagai bagian proklamasi Injil.51 Oleh sebab itu, korespondensi yang ada dalam
pendekatan tipologi hadir melalui kedekatan naratif sebagai bukti keterkaitan sejarah
Aspek Literal
Selain korespondensi kesejarahan dalam bentuk ide dan narasi, McCarthy dan
Prince juga melihat kemungkinan adanya korespondensi antar teks melalui kedekatan
gramatikal.52 Hal serupa juga dinyatakan oleh Lampe, bahwa ada bentuk tipologi lain
yang berdasarkan pada relasi makna literal, sebagai jembatan menuju realitas spiritual.53
Kedekatan gramatikal yang dimaksud dalam bagian ini lebih mengarah pada penggunaan
kata tertentu atau terminologi tertentu yang menjadi pengait antar teks untuk memahami
Dalam aspek ini, unsur literal merupakan bagian yang penting karena didalamnya
terkandung kaitan antara yang tertulis (gramatikal) dan yang terjadi dalam sejarah
(Historikal) sebagai alat pengungkap fakta yang memuat dan merekam peristiwa, tokoh,
maupun lembaga tertentu.54 Hal ini membedakan dengan pendekatan alegoris yang
melihat teks sebagai lambang atau simbol yang menyimpan doktrin tertentu yang
51
Lampe dan Ollcombe, Essays on Typology, 19.
52
John. J. McCarthy dan Alan S. Prince, Faithfulness and Identity in Prosodic Morphology (Amherst,
Massachusetts: Graduate Linguistic Student Association University of Massachusetts, 1995),
https://rucore.libraries.rutgers.edu/rutgers-lib/41852/PDF/1/ (diakses tanggal 8 Maret 2015). Kedekatan
gramatikal yang dimaksud adalah kedekatan tata bahasa dan terminologi yang memberikan keterkaitan
antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain dalam pemaknaan yang lebih kaya.
53
Lampe dan Ollcombe, Essays on Typology, 30.
54
Stanley N. Gundry, “Typology as a Means of Interpretation: Past and Present,” Journal of the
Evangelical Theological Society 12, no. 4 (1969): 234-40.
tersembunyi di balik teks harafiah.55 Kaitan gramatikal dan kesejarahan dalam unsur
literal inilah yang menjadi jembatan antara beberapa pemahaman dalam Perjanjian Lama
Dalam sebuah relasi, hubungan dari dua pihak atau lebih tidak selalu berjalan
dalam kondisi yang sejajar, demikian pula dalam pendekatan tipologi. Relasi antara
Perjanjian Lama dan Baru dalam pendekatan ini cenderung dilihat lebih mengunggulkan
Perjanjian Baru. Fakta ini didasarkan pada asumsi bahwa Perjanjian Lama bersifat
incomplete. Foulkes menyatakan bahwa kita harus menerima kenyataan bahwa Perjanjian
Lama adalah satu bagian utuh yang berdiri sendiri dalam sejarahnya dan sistemnya,
namun juga harus menerima bahwa Perjanjian Lama adalah satu bagian yang belum
lengkap dan perlu dilihat melalui terang Kristus dalam Perjanjian Baru.57 Dalam hal ini,
muncul sebuah pengindikasian bahwa ada sebuah kebergantungan tidak langsung antara
melihat relasi tipologis antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam sebuah bentuk
55
Baker, Two Testaments, One Bible, 190.
56
Penggunaan konsep sunat dalam Perjanjian Lama sebagai bentuk inisiasi menjadi umat Allah
secara fisik diperluas dalam Perjanjian Baru dengan konsep sunat hati sebagai tanda spiritual.
57
Francis Foulkes, The Acts of God: A Study of the Basis of Typology in Old Testament (London:
Tyndale, 1958), 39.
The Bible gives no exhaustive list of types and implies no developed method for their
interpretation. On the contrary, there is a great freedom and variety in the outworking of
the basic principle that the Old Testament is a model for the New.58
Dengan demikian, Baker melihat bahwa relasi tipologis antara Perjanjian Lama dan Baru
tidak secara prospective dimana pemaknaan Perjanjian Lama harus ditarik menuju
Perjanjian Baru, namun justru dilihat bahwa Perjanjian Baru sebagai lensa untuk
membaca model-model atau tipe-tipe yang tersebar dalam Perjanjian Lama. Dalam hal
ini, interpretasi terhadap teks justru bergerak dari Perjanjian Baru menuju Perjanjian
Lama. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa pendekatan tipologi menempatkan Perjanjian
Baru sebagai pusat dari interpretasi, baik sebagai sesuatu yang dianggap lebih lengkap
Hubungan Analogis
Dalam hubungan antara teks Perjanjian Lama dan Baru, baik secara prospektive
maupun retrospektive, dipahami bahwa ada sebuah keterhubungan rahasia yang terletak
di dalam setiap kisah yang ditulis oleh tiap penulis di setiap jamannya. Archbishop
The parable or other analogy to spiritual truth appropriated from the world of nature or
man, is not merely ilustration, but also in some sort proof. It is not merely that these
analogies assist to make the truth intelligible… Their power lies deeper than this, in the
harmony unconciously felt by men, which all deeper minds have delighted to trace,
between the natural and the spiritual worlds, so that analogies from the first are felt to be
more something more than illustrations, happily but yet arbitrarily chosen… They belong
to one another, the type and the thing typified, by an inward necessity; they were linked
together long before by the law of a secret affinity.59
58
Baker, Two Testaments, One Bible, 191.
59
Baker, Two Testaments, One Bible, 187. Ada kemungkinan penggunaan frasa “…yet arbitrarily
chosen” ingin menunjukkan bahwa relasi tipologi yang terjadi antara tipe dan yang di-tipe-kan tak jarang
masih mengandung unsur pemaksaan makna.
Sekalipun Trench tidak menyatakan bahwa perumpamaan dan sistim analogi dalam
tipologi sebagai dua hal yang sama, namun ia melihat bahwa kedua hal ini dapat
menunjukkan adanya pertalian antara satu kisah dengan kisah lain sebagai tipe dan yang
ditipekan.
Keterhubungan ini, baik disadari maupun tidak oleh penulis kitab, merupakan
bagian dari sebuah karya Allah yang mengatur sejarah. Foulkes menyatakan bahwa karya
Allah dalam mewahyukan diri-Nya melalui Alkitab dapat terlihat dalam tindakan Allah
yang tidak terprediksi dan dapat berulang untuk menunjukkan konsistensi prinsip-prinsip-
Nya.60 Keberulangan tindakan Allah ini dapat bersifat repetisi total, seperti kisah Israel
menyeberang laut merah dengan kisah Israel menyeberang sungai Yordan. Atau sebuah
dengan kematian Kristus. Dalam hal ini, hubungan analogis lebih menekankan kepada
persamaan prinsip yang ada dari satu kisah sejarah dalam Perjanjian Lama yang
digunakan sebagai penggambaran atau kiasan bagi satu peristiwa dalam Perjanjian Baru.
Landasan Teologis
Dengan memahami keunikan dari karakteristik yang ada, tak bisa dihindarkan,
perlu juga adanya pengakuan akan landasan teologis tertentu yang menjadi presuposisi
awal yang membentuk pemahaman dan karakteristik dari tipologi. Dalam hal ini,
minimal ada tiga landasan teologis yang membentuk pendekatan tipologis. Landasan
teologis yang pertama adalah sejarah keselamatan. Oscar Cullmann menyatakan bahwa
60
Foulkes, The Acts of God, 9-10.
“typology presupposes a wider salvation-historical framework and connects two points
on this background.”61 Dalam hal ini, Cullmann mengakui bahwa dalam melihat
korespondensi kesejarahan dari dua titik yang berbeda perlu dilandasi oleh satu bentuk
pemahaman yang sama akan makna dari sejarah itu sendiri. Dan dalam hal ini pendekatan
tipologi melihat bahwa sejarah yang tercatat di dalam Alkitab merupakan sebuah sejarah
Dalam hal ini, perlu dipahami bahwa pengertian sejarah keselamatan berbeda
dengan pemahaman sejarah secara umum. Sejarah secara umum dipahami sebagai
atas sejarah hanya dilihat sebagai bagian dari objective events yang terjadi di masa
lampau, yang sering disebut dengan historie, atau sebagai catatan dari peristiwa-peristiwa
penting semata, yang sering disebut dengan geschichte. Namun berbeda dari dua
A term used by some biblical scholars to mark the history of Israel and the subsequent
Christian church as God's "salvation history" being worked out as God's plan in the midst
of human history as a whole.64
Dalam hal ini muncul sebuah asumsi teologis bahwa sejarah tidak lepas dari campur
tangan dan kinerja Allah yang menjalankan rencana dan kehendak-Nya di dalam sejarah
hidup manusia. Oleh karena itu, pendekatan tipologi melihat bahwa setiap peristiwa yang
61
Oscar Cullmann, Salvation in History (New York: Harper and Row, 1967), 132.
62
Oxford Advanced Learner’s Encyclopedic Dictionary, s.v. “History”.
63
Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary, Ed. ke-10, s.v. ”History”.
64
Westminster Dictionary of Theological Terms, s.v. ”Heilsgeschichte”.
terjadi di dalam Alkitab adalah bagian dari rencana, kehendak, dan cara Allah
sejarah keselamatan ini berhubungan erat dengan pemahaman yang lain bahwa Allah
rencana keselamatan-Nya melalui bentuk-bentuk yang unik dalam Alkitab, yang dikenali
terjadi dari satu peristiwa kepada peristiwa lain menjadi sebuah tanda dari adanya sebuah
pola dari tindakan Allah yang konsisten dalam sejarah hidup manusia. Baker menyatakan
bahwa “the basis of typology is God’s consistent activity in the history of his chosen
people.”65 Aktivitas Allah yang konsisten dalam sejarah hidup umat pilihan-Nya menjadi
sebuah pemahaman yang berlawanan dengan konsep deisme. Dalam deisme, allah sang
pencipta adalah allah yang membuat dunia dan kemudian meninggalkannya untuk
bergerak sendiri namun teologi Kristen memahami bahwa Allah sang Pencipta atau
Theos justru masuk dan aktif dalam sejarah manusia untuk membawa manusia pada jalan
dan rencana-Nya. Roma 8:28 menyatakan “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja
dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia,
yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” Dalam konsep seperti
inilah tipologi bergerak dan memahami korespondensi kesejarahan yang terjadi antara
65
Baker, Two Testaments, One Bible, 195.
Penggunaan Tipologi dalam Memahami Konsep Perang
dalam salah satu komentari yang ditulisnya kita dapat menemukan bagaimana Craigie
The essence of the covenant, it must be stressed, lies in the relationship between God and
man, and though God is the first and free mover in establishing that relationship,
nevertheless a relationship requires response from man. The operative principle within
the relationship is that of love; God moved first toward his people in love and they must
respond to him in love. The law of the covenant expresses the love of God and indicates
the means by which a man must live to reflect love for God.66
nuansa Perjanjian Lama sebagai bagian dari sejarah keagamaan Timur Dekat Kuno.
Dalam konteks sejarah Timur Dekat Kuno pemahaman bahwa tiap negara memiliki dewa
yang disembah dan melindungi serta berperang bagi negara tersebut menjadi sesuatu
Thus the Song of the Sea marks the inception of the idea of the Lord as the Warrior, and
of an ideology of war on an international level, which was dominant in early Israelite
religious thought. Closely related to the conception of God as Warrior is the expression of
the kingship of Yahweh.67
66
Peter C. Craigie, The Book of Deuteronomy (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1976), 37.
67
Craigie, The Book of Deuteronomy, 64.
Nyanyian kemenangan Israel setelah melewati laut Teberau dipahami sebagai titik
permulaan akan kesadaran Israel memahami Allah sebagai pahlawan Perang Israel,
sekaligus sebagai bagian dari ekspresi Perjanjian dan kepemimpinan Yahweh atas Israel.
Lebih lanjut, Craigie menyatakan bahwa bentuk perlindungan Allah dan peperangan yang
Allah lakukan untuk Israel merupakan penggambaran akan cinta Allah, sebuah tipologi
atas kasih perlindungan dari Bapa Surgawi.68 Menambahkan hal ini, Craigie berpendapat
bahwa
To call God a warrior, then, is to use human terms to describe a transcendent being. It is
the language of immanence. It is anthropomorphic language, and like all human language
it is limited, but from a theological perspective it “points to a truth about God which is
greater than the language itself.”69
Dalam hal ini pembahasaan Allah sebagai pahlawan perang merupakan gaya bahasa yang
menjadi sesuatu yang perlu dikaji. Tidak hanya secara literal bahwa Allah setuju akan
perang namun harus dilihat dalam prinsip teologis yang hendak disampaikan melalui
pesan perang ini. Hal senada juga dinyatakan oleh Holbert dalam reviewnya terhadap
Craigie, ia menyimpulkan bahwa “The language of God as warrior is metaphor only, and
from that language we learn two truths: God participates in history, and He participates in
68
Craigie, The Book of Deuteronomy, 103.
69
Peter C. Craigie, The Problem of War in the Old Testament (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans,
1978), 39–40.
70
Tinjauan John C. Holbert terhadap Peter C. Craigie, The Problem of War in the Old Testament,
Perkins Journal 33, no. 2 (1980): 46-47.
Dalam konsep penghakiman dan penebusan, Craigie melihat bahwa perang dalam
Allah. Craigie berargumen bahwa, “The Kingship of Yahweh finds its fullest expression
in the nature of God the Warrior: As a victorious Warrior, God rules over his people, and
his conquering power is exerted against their enemies.”71 Oleh karena itu dapat dilihat
bahwa perang di dalam sejarah Israel adalah bagian dari penggambaran tipologis akan
kekuasaan Allah untuk menebus umat pilihannya dan menghukum para musuh. Lebih
lanjut, Craigie melihat bahwa konsep perang dalam Perjanjian lama yang berhubungan
dengan pengalaman kehidupan Israel bersama Allah sebagai pahlawan perang yang
menolong dan membebaskan mereka dari bangsa-bangsa lain merupakan bahasa tipologis
bagi pesan Perjanjian Baru dimana pengalaman Kristus dalam karyanya di kayu salib
dosa. Penggambaran ini menjadikan Kristus sebagai God of Warrior bagi umat Perjanjian
Baru.72
mengenai perang dalam Perjanjian Lama membawa kepada penemuan makna spiritual
dari perang dalam Perjanjian Baru sebagai gambaran dari salib Kristus dan realitas
tipologis dari Craigie tak dapat menjawab tentang realita perang dalam diri Perjanjian
71
Craigie, The Book of Deuteronomy, 64-65.
72
Craigie, The Book of Deuteronomy, 271-72.
Lama namun lebih banyak menekankan makna spiritual dari Perjanjian Baru.73 Leo
teodisi tentang perang dan cenderung men-transenden-kan kekerasan sebagai bagian dari
permasalahan kejahatan yang tersistem yang hanya bisa direkonstruksi ulang oleh
tindakan yang Ilahi dan bukan upaya manusia.74 Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
pendekatan tipologi akan lebih menolong untuk memahami makna spiritual dari perang,
namun sengaja menutup mata akan kontribusi kemanusiaan dan alasan egois manusiawi
Definisi
Fulfillment). Di dalam Alkitab, konsep janji dan pemenuhan dapat dikatakan memenuhi
dan menjalin tiap bagiannya. McComiskey menyatakan bahwa, “The theme of promise is
interwoven throughout the Old and New Testament.”75 Tema ini merupakan pengikat
Definisi janji sendiri cukup menarik untuk dipahami. Secara umum janji dipahami
sebagai:
73
Tinjauan John T. Willis terhadap tulisan Peter C. Craigie, The Problem of War in the Old
Testament, Restoration Quarterly 24, no. 2 (1981), 111-12.
74
Tinjauan Leo G. Perdue terhadap tulisan Peter C. Craigie, The Problem of War in the Old
Testament, Journal of Biblical Literature 99, no. 3 (1980), 446-48.
75
Thomas Edward McComiskey, The Covenants of Promise (Grand Rapids, Michigan: Baker Books,
1985), 15.
a. A declaration that one will do or refrain from doing something specified.
b. A legally binding declaration that gives the person to whom it is made a right to
excellence.76
of something.
Pemahaman ini begitu ragam, namun dapat kita simpulkan secara umum bahwa janji
berhubungan dengan beberapa hal: tindakan, waktu, dan pengharapan. Dalam hal
tindakan, janji dapat merupakan sebuah ikatan yang mengharuskan seseorang untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu. Dalam hal waktu, janji
berhubungan dengan sesuatu yang dibuat di masa lalu atau masa kini, yang mengikat kita
untuk melakukan sesuatu hingga mencapai hasil tertentu di masa depan. Dan dengan
sebuah tujuan untuk sebuah hasil tertentu di masa depan, maka janji bisa dikatakan
Menurut James Barr, prediksi berbicara mengenai sesuatu yang akan terjadi di masa
depan secara spesifik.78 Sedangkan menurut Baker, nubuat bersifat lebih luas daripada
76
Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary, ed. ke-10, s.v. “Promise”.
77
Oxford Advanced Learner’s Encyclopedic Dictionary, s.v. “Promise”.
78
James Barr, Old and New in Interpretation: A Study of the Two Testaments (London: SCM, 1966),
118-26.
prediksi. Nubuat merupakan suatu pesan yang diterima dari Allah dan disampaikan
kepada komunitas atau bangsa untuk mengingatkan mereka akan masa lalu dan
menantang mereka akan masa kini serta mempersiapkan mereka untuk masa akan
datang.79
Lebih spesifik, Hasan Sutanto melihat nubuat sebagai sesuatu yang bersifat
progresif dimana ada bagian yang mungkin berulang, bertambah, dan bersifat
melanjutkan nubuatan sebelumnya dengan tetap menyimpan sisi misteri tertentu dimana
nubuatan dapat terjadi secara literal namun juga dapat dipahami secara simbolik untuk
menggambarkan realita yang akan datang.80 Sedangkan konsep janji di dalam Alkitab,
menurut Moltmann, adalah sebuah deklarasi tentang sesuatu yang realita yang belum
terjadi, bersifat mengikat, dan menciptakan jarak antara realitas janji dan realisasi atau
pemenuhan dari janji tersebut, serta bergantung penuh kepada Allah sebagai pihak yang
menginisiasi janji tersebut.81 Dalam hal ini, janji dapat dilihat sebagai sesuatu yang
bersifat lebih luas daripada prediksi maupun nubuatan, sebab janji memiliki ikatan antar
dua pihak, dalam hal ini Allah dan manusia, dimana memungkinkan prediksi dan
nubuatan menjadi satu bagian untuk menjelaskan mengenai penggenapan yang akan
79
Baker, Two Testaments, One Bible, 212.
80
Hasan Sutanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab (Malang: Literatur SAAT,
2007), 399-407.
81
Jürgen Moltmann, Theology of Hope: On the Ground and the Implications of a Christian
Eschatology (Minneapolis, Minnesota: Fortress, 1993), 102-06.
Selain itu, dalam konsep janji dan penggenapan ditemukan sifat conditional dan
unconditional. Baker menjelaskan bahwa dasar dari pendekatan ini adalah Perjanjian
Allah dengan Israel, Ia menetapkan hukum dan ketentuan yang harus ditaati supaya janji
Allah dipenuhi bagi Israel.82 Dalam kondisi taat inilah pemenuhan akan janji Allah
Pemahaman ini menunjukkan bahwa adanya kondisi-kondisi tertentu yang menjadi syarat
terpenuhinya janji, conditional promise, contoh konsep berkat kutuk dalam Perjanjian
Lama. Sekalipun demikian, ada juga janji Allah yang tidak terpengaruh oleh hadirnya
kondisi tertentu, seperti janji keselamatan. Dalam janji keselamatan, Allah bekerja secara
dahulu adanya kondisi ketaatan Israel. Oleh karena itu, sifatnya lebih unconditional.
Pendekatan janji dan pemenuhan, sebagai bagian dari cara memahami relasi
Perjanjian Lama dan Baru, memiliki karakteristik dan penekanan yang unik dalam
melihat keterkaitan antar Perjanjian. Tiga karakteristik penting dalam pendekatan janji
dan pemenuhan adalah pemahaman kesejarahan yang dilihat dalam frame janji Allah dan
pemenuhannya, progresifitas dari janji Allah yang terus berkembang dan ketentuan serta
82
Baker, Two Testaments, One Bible, 217.
Pemahaman Kesejarahan
Memahami konsep janji dan pemenuhan tidak terlepas dari bagaimana pembaca
Alkitab melihat sejarah yang tercatat di dalam Alkitab. Bagi pandangan ini, sejarah
tipologi yang memahami sebuah peristiwa dimasa lampau sebagai bayang-bayang akan
sebuah realitas yang baru, pendekatan janji dan pemenuhan melihat dua realitas dari masa
lampau dan masa kini sebagai sesuatu yang berdiri sendiri pada dirinya. “The old
revelation had a reality and a validity in its own right. The new, too, had a validity and a
reality in its own right.”83 Dalam hal ini tidak ada sebuah keberulangan sejarah yang
bersifat sama, yang ada hanyalah sebuah realitas baru yang berada satu level lebih tinggi
Dalam tampilnya realitas-realitas sejarah yang ada dalam Alkitab, realitas ini
tidak tampil dalam kehampaan namun ada sebuah ruang sejarah yang menjadi wadah
pembingkai. Dalam hal ini realitas sejarah coba dibingkai dalam ruang janji atau
pemenuhan. Realitas janji dan pemenuhan ini juga tidak bersifat total, namun tampil
secara bertahap dan progresif. Baker menyatakan “What God promises he fulfils, and,
because the fulfilment is only partial, it contains within it an unfulfilled promise that
points forward to a new fulfilment.”84 Dalam bentuk yang bertahap inilah maka
keterkaitan antar satu peristiwa dengan peristiwa lain, dalam bingkai janji dan
pemenuhan, bersifat progresif. Satu janji dalam bagian tertentu dapat dipenuhi lebih dari
83
H. H. Rowley, The Unity of the Bible (London, England: Lutterworth, 1968), 94.
84
Baker, Two Testaments, One Bible, 211.
dua peristiwa di masa yang akan datang dan dalam level yang berbeda. Hal ini selaras
Even though it is precisely in these important passages that the ceremonious formula of
promise appears, nevertheless the formula does not remain fixed, but evinces a turbulent
history of extension and re-interpretation on a deeper level.85
Tidak ada sebuah formula yang pasti dari sebuah janji dan pemenuhan, yang ada
hanyalah sebuah pergolakan sejarah yang semakin luas dan terus ditafsirkan kembali ke
level yang lebih dalam. Dengan demikian, ada sebuah kemungkinan untuk menafsirkan
sebuah janji di masa yang lalu dari lebih dari satu peristiwa pemenuhan di masa
berbeda. Sebagai contoh, janji Allah memberikan Abraham keturunan dipenuhi ketika
Ishak lahir, namun lebih luas lagi janji itu dipenuhi kembali oleh Israel, dan kemudian
Paulus menunjukkan bahwa janji Allah pada Abraham kembali tergenapi di dalam
Kristus (Galatia 3:16). Dalam hal ini keterkaitan Ishak, Israel, dan Yesus tidak bisa
dipandang secara tipologis, akan tetapi, baik Ishak, Israel, dan Yesus berdiri sendiri
dalam keunikan peristiwa mereka dan menjadi bingkai untuk menafsirkan janji Allah
pada Abraham mengenai keturunan, sehingga kemungkinan adanya dua bahkan tiga lapis
pemenuhan dari sebuah janji bergantung pada cara menafsirkan kembali peristiwa sejarah
yang terjadi di Alkitab. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemahaman sejarah
dalam konteks janji dan pemenuhan dapat dilihat sebagai sesuatu yang bersifat progresif,
unik dalam setiap peristiwa, dan memungkinkan untuk memiliki beberapa lapisan
85
Walther Zimmerli, “The Interpretation of Old Testament: The Promise and Fulfillment”,
Interpretation 15, no. 3. (1961): 312.
Progresivitas Janji dan Pemenuhan
Progresivitas janji dan pemenuhan bukan hanya bekerja secara kronologis namun
juga hadir dalam isi dari janji dan pemenuhan tersebut. Progresivitas ini ditunjukkan
yang terjadi berkaitan dengan isi dari janji tersebut. Baker menyatakan bahwa “the basic
divine promise to the patriarchs is given, repeated, almost retracted, renewed, and
partially fulfilled.”86 Dalam hal ini, pengulangan yang terjadi tidak bersifat sirkular
namun spiral, dimana ada sebuah perkembangan pemikiran dan makna dalam relasi janji
dan pemenuhan. Menambahkan hal ini B.F. Westcott menyatakan bahwa setiap janji
yang dipenuhi membawa pengertian kepada sebuah janji yang lebih besar.87
On the other hand, the New Testament witness to fulfillment is rooted precisely in the
eschatological vision and in the belief that the future of the Lord, albeit in a hidden and
fragmentary way, is present in our midst in the form of signs, first fruits, foretaste and so
on.88
Kenyataan tentang pemenuhan akan janji Allah berakar pada sebuah keyakinan
eskatologis dimana janji itu dipenuhi melalui cara yang tidak sepenuhnya komplit dan
hadir dalam bentuk tanda-tanda sebagai sebuah kecapan awal akan konsumasi janji Allah.
Dalam hal ini, kecapan awal dari janji Allah tetap dipandang sebagai sebuah pemenuhan
dari janji itu sendiri. Dengan demikian, pemahaman ini memberikan ruang besar bagi
86
Baker, Two Testaments, One Bible, 218.
87
B.F. Westcott, The Epistle to the Hebrew (Eugene, Oregon: Wipf and Stock, 1889), 482.
88
Isaac C. Rottenberg, “Fulfillment Theology and the Future of Christian-Jewish Relations”,
Christian Century 97, no. 3 (1960): 68.
pemahaman eskatologi dalam menanggapi realitas dunia saat ini dan akan datang. Di sisi
yang lain, partikularitas dari pemenuhan janji Allah membawa pada sebuah pengukuhan
akan pemahaman already but not yet sebagai bingkai dari Kerajaan Allah.89 Dengan
memahami perkembangan yang ada dari janji dan pemenuhan sebagai satu kesatuan dari
kisah yang Allah berikan, maka tidak berlebihan jika ada ungkapan yang menyatakan
“There is only one God, and the key to God’s revelation is the story of promise and
fulfillment.”90
Karakteristik yang ketiga dari pendekatan ini berbicara mengenai ketentuan dan
jaminan dari janji dan pemenuhan. Sebagai sebuah cara untuk melihat kesatuan
Perjanjian Lama dan Baru, pendekatan ini memberikan kesadaran tentang adanya
ketentuan dan jaminan yang berlaku diantaranya. Ini merupakan sebuah realitas yang tak
terhindarkan dari konsep janji itu sendiri. Westermann memahami janji sebagai jaminan
Sebagai jaminan, konsep janji dihubungkan secara erat dengan kesetiaan Allah.
“Sebab itu haruslah kauketahui, bahwa TUHAN, Allahmu, Dialah Allah, Allah yang
setia, yang memegang perjanjian dan kasih setia-Nya terhadap orang yang kasih kepada-
89
Bdk. Johannes Weiss, Jesus’ Proclamation of the Kingdom of God (San Fransisco, California:
Scholars, 1985), 67-74.
90
Dictionary of Theological Interpretation, s.v. “Patristic Biblical Interpretation”.
91
Baker, Two Testaments, One Bible, 210.
Nya dan berpegang pada perintah-Nya, sampai kepada beribu-ribu keturunan”
(Ulangan 7:9). Dalam kesetiaan-Nya inilah janji itu dikerjakan Allah di dalam dan
melalui sejarah hidup manusia untuk menghadirkan kehendak-Nya. Bahkan lebih lagi,
irrevocable validity of the gift bestowed by God.”92 Dalam jaminan akan kesetiaan Allah,
anugerah itu dinyatakan oleh-Nya secara pribadi melalui penggenapan yang Ia kerjakan
dalam sejarah hidup manusia. Hal ini nampak dari peran Tuhan mengarahkan dan terus
menuntut umat manusia untuk mengenal Dia dan masuk dalam rencana Allah lewat
sejarah, baik lewat kondisi damai maupun perang. Hingga puncaknya, janji Allah itu
perlu ditaati. Oleh sebab itu, janji Allah bukan sekedar berbicara masalah anugerah
namun juga menuntut respon kesetiaan dari umat-Nya (Keluaran 19:5-6). Hal ini tentu
berbeda dengan konsep prediksi atau nubuatan yang seringkali hadir tanpa sebuah
Salah satu contoh akan pentingnya respon ketaatan pada janji Allah nampak pada
kisah Yosua. Dalam Yosua 6, Allah memerintahkan Yosua untuk melakukan segala hal
yang difirmankan-Nya agar janji akan tanah Perjanjian menjadi nyata bagi Israel. Dan
menarik sekali, bagaimana Allah dalam bagian ini menunjukkan penggenapan janji-Nya
untuk memberikan Israel tanah Perjanjian dengan merobohkan tembok Yerikho. Akan
92
Zimmerli, “The Promise and Fulfillment”: 315.
93
Samuel H. Kellogg, The Jews or Prediction and Fulfillment: An Argument for the Times (Scottdale,
Pennsylvania: The Evangelical Fellowship, 1956), 25.
tetapi, janji kemenangan Israel dalam perang tidak selamanya berjalan dengan baik.
Dalam bagian selanjutnya, diceritakan bagiamana Akhan melanggar peraturan Allah dan
menyebabkan Israel mengalami kekalahan dalam perang (Yosua 7). Hal ini menunjukkan
bahwa janji kemenangan dalam perang, yang Allah berikan, dapat tidak tergenapi apabila
Israel tidak berespon dengan tepat pada perintah Allah. Hal ini menunjukkan kembali
merupakan bagian dari cicipan awal yang saat ini belum mencapai puncak kepenuhannya
yang maksimal.94 Pemenuhan yang sempurna akan terjadi ketika nanti Kristus datang kali
kedua untuk memerintah sebagai raja dalam kekekalan. Oleh sebab itu, sifat penggenapan
dari janji Allah, baik dalam Perjanjian Lama maupun Baru, masih berupa lapisan-lapisan
yang akan terus berproses mencapai kesempurnaannya. Meski masih sebagai gambaran
akan kesempurnaan yang akan datang, namun hal ini dapat memberikan jaminan bagi
iman kita untuk terus berpegang pada-Nya dan melihat proses itu berjalan dalam sejarah
hidup manusia.
Landasan Teologis
meletakan pemahaman teologisnya pada konsep perjanjian Allah dengan Abraham. Baker
menyatakan bahwa kunci dalam memahami perjanjian Allah dalam Perjanjian Lama
terletak pada panggilan Allah kepada Abraham yang di dalamnya terkandung tiga unsur
94
Rottenberg, “Fulfillment Theology”, 66.
utama yaitu tanah, keturunan, dan relasi dengan Allah.95 Konsep perjanjian Allah yang
terkandung di dalam panggilan Allah pada Abraham ini dipenuhi di dalam beberapa
Abraham digenapi secara bertahap melalui perjalanan Israel menuju Kanaan hingga masa
pasca pembuangan secara bertahap dan berkembang ke arah yang lebih besar sesuai
dengan kondisi yang baru.96 Oleh karenanya, tepat jika Sanderson menyimpulkan
If Abraham's seed is to be as numerous as the dust of the earth, then surely "the land" will
not be sufficient to contain such a large population. And since Paul is on the threshold of
a new age when the fullness of the Gentiles will be brought in, he legitimately extends the
promise to deal with the new situation.97
Dalam hal ini, Sanderson melihat Paulus memahami penggenapan janji Allah tentang
tanah kepada Abraham dalam bentuk yang lebih luas. Dengan demikian, Janji Allah
kepada Abraham tetap menjadi pengikat baik antara Israel di Perjanjian Lama dan Israel
Baker menyatakan bahwa setiap perkataan yang memiliki signifikansi dalam sejarah
dikatakan keseluruhan janji yang ada di dalam perjanjian yang lama telah dipenuhi di
dalam Kristus.98 Dengan menekankan Kristus sebagai pemenuhan dari segala janji, maka
95
Baker, Two Testaments, One Bible, 215-16.
96
David A. Hubbard, “Hope in the Old Testament,” Tyndale Bulletin 34 (1983): 33-59. Dalam bagian
ini Hubbard juga menunjukkan bagaimana janji Allah pada Abraham tentang tanah, keturunan, dan relasi
dengan Tuhan digenapi secara terus menerus dan berkembang kearah yang lebih global.
97
John W. Sanderson, “Some Thoughts on the Reading of the Old Testament”, Presbyterion 6, no. 2
(1980): 85-95.
perlu sebuah kesadaran akan adanya perubahan pemahaman yang mungkin terjadi dari
konteks Perjanjian Lama pada Perjanjian Baru. Moltmann memahami pergerakan relasi
janji dan pemenuhan di dalam Kristus sebagai sebuah proses transformasi. Moltman
menyatakan
Memahami transformasi ini, maka bisa dikatakan bahwa kehadiran Kristus sebagai
pengalaman baru dalam sejarah mentransformasi dan juga memberikan penjelasan yang
lebih luas akan janji-janji yang sebelumnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
sentralitas Kristus menjadi tema teologis yang kuat bagi pendekatan janji dan
pemenuhan.
Perang dalam Alkitab merupakan bagian dari sejarah keselamatan, dimana Allah
terus bekerja di dalam dan melaluinya untuk memenuhi janji-Nya. Duane L. Christensen
dalam bukunya Prophecy and War in Ancient Israel mencoba menggunakan pendekatan
janji dan pemenuhan sebagai sebuah metodologi dalam mendekati teks-teks nubuatan
melawan bangsa-bangsa lain.100 Dalam buku ini, Christensen melihat bahwa teks-teks
98
Baker, Two Testaments, One Bible, 227.
99
Moltmann, Theology of Hope, 111.
100
Duane L. Christensen, Prophecy and War in Ancient Israel (Berkeley, California: BIBAL, 1975), 9-
14.
nubuatan yang ada di dalam Alkitab menjadi sebuah janji yang Allah ucapkan bagi Israel
dan dipenuhi oleh Allah sebagai bagian dari relasi Perjanjian antara Allah dan Israel.
Bentuk relasi yang dimaksud di sini adalah sebuah relasi kerajaan. Wright menyatakan
bahwa peran kenabian dalam literatur kerajaan menunjukkan kepedulian politik Allah
keistimewaan Perjanjian Allah dengan Israel sebagai kerajaan yang dinaungi dalam
perjanjian khusus dengan Allah, sebagaimana terjadi dalam konsep treatise Timur Dekat
Kuno.101
merupakan sebuah instrumen dari politik luar negeri di masa Timur Dekat Kuno yang
Keterkaitan erat antara perang dengan agama dan nabi nampak pada beberapa kisah
seperti kisah Saul ketika memanggil roh Samuel (1Samuel 28:3-25). Dalam kisah ini,
kehadiran Samuel sebagai nabi Allah dalam perang nampaknya menjadi sesuatu yang
penting untuk diperhitungkan, sebab para nabi seringkali memberikan nubuatan atau
pesan langsung dari Allah kepada umatnya mengenai perang yang akan terjadi. Perkataan
atau pesan Allah yang disampaikan oleh para nabi sering dilihat sebagai sebuah janji dan
bukan sekedar prediksi. McKenzie menegaskan hal yang sama dengan menyatakan
bahwa tujuan utama dari nubuatan atau ramalan para nabi lebih utama sebagai sebuah
101
Christensen, Prophecy and War, 13-14.
102
Christensen, Prophecy and War, 18.
pemberitahuan akan apa yang terjadi selanjutnya (forthtelling) dan bukan sekedar
Dengan memahami hal ini, peran dari sebuah perkataan atau janji Allah menjadi
sesuatu yang penting dalam konsep perang. Dalam Perjanjian Lama, ketika Israel
dijanjikan oleh Allah akan menerima tanah Perjanjian melalui janji Allah kepada
Abraham, janji ini juga diteruskan Allah melalui Yosua (Yosua 1:6). Yang menarik,
bahwa kegenapan janji Allah untuk membawa Israel memasuki tanah Kanaan
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perang merupakan bagian dari instrumen Ilahi
yang Allah sengaja pakai masa itu untuk menggenapi janjinya kepada Abraham.
Christensen juga menyimpulkan hal yang serupa bahwa motif dari beberapa nyanyian
perang Israel kuno menunjukkan adanya konsep bahwa Pahlawan perang Ilahi akan
memimpin umatnya dalam pertempuran sebagai bagian dari kewajiban Perjanjian.104 Hal
ini akan mengalami progresivitas hingga pada akhirnya Allah hadir sebagai Pahlawan
perang secara ilahi untuk memimpin dan membebaskan dunia dari belenggu musuh yang
konteks Perjanjian dengan berfokus pada penggenapan janji Allah pada Abraham dan
keturunannya. Dalam pendekatan ini, titik berat pada penggenapan progresif dari janji
menjadi bagian yang menonjol untuk diperhitungkan. Dengan demikian, lewat perspektif
103
Steven L. McKenzie, How to Read the Bible (Oxford, New York: Oxford University Press, 2005),
68.
104
Christensen, Prophecy and War, 281-82.
ini pendekatan terhadap perang dilihat secara pertahap berdasarkan bentuk pemenuhan
dari janji yang mendasari perang yang terjadi. Di sisi lain, fokus terhadap konsep janji
juga membawa pada pemahaman kondisional dan non-kondisional dari janji Allah. Hal
ini dipengaruhi oleh sikap taat dari umat Israel pada Allah. Sehingga, bentuk pemenuhan
dari janji Allah dalam realitas perang memasuki kotak sempit yang dibatasi oleh unsur-
unsur lain diluar kenyataan perang yang ada, seperti masalah kekudusan dan perjanjian
perspektif lain berkaitan dengan nubuatan dan janji Allah dalam konteks Perjanjian.
Definisi
Kontinuitas dan diskontinuitas adalah salah satu dari pendekatan yang digunakan
untuk menunjukkan relasi antara Perjanjian Lama dan Baru. Kata kontinuitas berasal dari
kata contynuen yang muncul pertengahan abad 14 M. Dalam bahasa Prancis lama
menggunakan kata continuar yang berasal dari bahasa Latin continuare yang berarti "join
berasal dari kata continere (intransitive) "to be uninterrupted," secara literal juga dapat
diterjemahkan sebagai "to hang together".105 Dalam pemahaman ini, maka kontinuitas
dilihat memiliki sifat saling terkait dan berkelanjutan tanpa ada gangguan. Sedangkan,
kata diskontinuitas berasal dari bahasa Prancis Lama discontinuer, kata ini memiliki
keterkaitan dengan kata discontinuare dari bahasa Latin abad pertengahan yang berarti
105
Online Etymology Dictionary, s.v. “continue”. Dikutip dari
http://www.etymonline.com/index.php?term=continue&allowed_in_frame=0 (diakses 2 September
2015).
tidak berlanjut, terhenti.106 Dengan menambahkan frasa “dan” yang menekankan relasi
yang “setara” atau “sama,” maka pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas dapat
dimaknai sebagai sebuah pendekatan terhadap relasi antar perjanjian yang melihat adanya
diskontinuitas mencoba melihat relasi antara dua perjanjian dalam ketegangan antara
aspek yang berlanjut dan yang terhenti, terus menerus atau berganti, kontinu dan
diskontinu. Ketegangan tersebut diterima sebagai sebuah realitas yang tak terelakan
dalam relasi antar perjanjian, baik dalam aspek sejarah maupun teologis.
C. H Dodd menyatakan bahwa “the unity of the Bible is based on the common
Kesadaran akan keberlanjutan sejarah antara Perjanjian Lama dan Baru ditunjukkan
melalui keberkaitan latar belakang Perjanjian Baru yang hanya dapat dipahami melalui
Perjanjian Lama, begitu juga sebaliknya adanya beberapa hal dalam Perjanjian Lama
yang hanya mungkin digenapi dalam Perjanjian Baru. Keberlanjutan ini ditunjukkan
106
Online Etymology Dictionary, s.v. “discontinue”. Dikutip dari
http://www.etymonline.com/index.php?allowed_in_frame=0&search=discontinue&searchmode=none
(diakses 2 September 2015).
107
Baker, Two Testaments, One Bible, 235.
Dalam surat Korintus, Galatia, atau Roma, Paulus beberapa kali menggambarkan
ada dua perjanjian, yaitu “perjanjian lama” dan “perjanjian baru.” Kedua perjanjian ini
diwakili oleh Perjanjian Lama dan Kekristenan berpegang pada Perjanjian Baru. Oleh
sebab pemahaman seperti ini maka muncul tokoh-tokoh seperti Marcion yang mencoba
membuang Perjanjian Lama atau Bultmann yang melihat Perjanjian lama bukan sebagai
bagian dari Alkitab Kristen.108 Meski demikian, nampaknya pemaknaan ini kurang tepat,
sebab konsep “perjanjian baru” dalam bagian ini lebih merujuk kepada Yeremia 31:31-
34. Dalam Yeremia 31:31-34, pemaknaan “perjanjian baru” lebih mengarah pada makna
Paul does not think so much in terms of static abrogation—of the replacement of one
covenant by another—but rather, in terms of dynamic transformation. Thus Christ is the
telos, or goal, of the law rather than its termination (Rm. 10:4).109
Oleh karena itu, penggunaan kata “perjanjian baru” dalam pemahaman surat Paulus
Selain itu, fakta bahwa penggunaan kata “perjanjian baru” dan “perjanjian lama”
dalam surat Paulus lebih sering bertujuan untuk mengkontraskan antara pemahaman iman
dilawan oleh Paulus, menunjukkan bahwa secara konsisten Paulus tidak sedang berusaha
membuat pemisahan antara Perjanjian Lama dan Baru. Lebih lanjut, jika merujuk pada
108
Bdk. Baker, Two Testaments, One Bible, 244.
109
W. S. Campbell, “Christianity and Judaism: Continuity and Discontinuity,” International Bulletin
of Missionary Research 8, no. 2 (April, 1984): 54-58.
beberapa bagian surat Paulus yang lain, nampak Paulus mencoba menarik garis
penghubung antara iman kekristenan dengan iman Perjanjian yang Abraham miliki, hal
ini nampak dalam Roma 4: 3; 9:7-8, dan Galatia 3:7-29. Dengan demikian, tidak
berlebihan jika Campbell menyatakan bahwa “Paul should not be regarded as confusing
Judaism and Christianity. On the contrary, this study has been emphasize that there is real
Sekalipun Perjanjian Lama dan Baru memiliki keterkaitan sejarah, namun bukan
berarti tidak ada diskontinuitas kesejarahan yang terjadi antara kedua perjanjian tersebut.
“Covenant theology can only emphasize the unity, and in so doing overemphasizes it
until it becomes the sole governing category of interpretation.”111 Dalam hal ini, Ryrie
bermaksud untuk menunjukkan juga adanya perbedaan yang tidak dapat ditutup sebelah
mata. Oleh sebab itu, C.H. Dodd dan Bernhard W. Anderson menyatakan bahwa ada
diskontinuitas kesejarahan yang terjadi dalam relasi antar perjanjian terdapat pada figur
Yesus Kristus.112 Menambahkan hal ini, Kasemann juga menyatakan bahwa Paulus "has
to decide between the old and the new covenants, instead of seeing both as a historical
110
Campbell, “Christianity and Judaism”: 56.
111
Charles C. Ryrie, Dispensationalism Today (Chicago, Illinois: Moody, 1965), 35.
112
Baker, Two Testaments, One Bible, 238-39.
113
Ernst Käsemann, "The Spirit and the Letter," dalam Perspectives on Paul, ed. Ernst Käsemann
(London: SCM, 1971), 146.
bahwa ada pembaharuan yang sebenarnya hadir melampaui terkaan dari Perjanjian Lama
Kristus bukan hanya menggenapi janji Allah dalam Perjanjian Lama, namun melampaui
dan menggantikan beberapa pemahaman yang ada. Perubahan atau pergantian yang
terjadi dalam relasi antar perjanjian ini antara lain terdapat pada konsep Israel sebagai
umat Allah. Dalam Perjanjian Lama, digambarkan bagaimana Allah berfokus pada
perjanjian-Nya dengan Israel secara nasionalis. Kisah Keluaran menunjukkan secara jelas
bagaimana Israel sebagai bangsa dipanggil menjadi anak Allah (Keluaran 4:21). Hal ini
berkaitan dengan perjanjian Allah dengan Abraham dan keturunannya. Namun dalam
Perjanjian Baru, umat Allah tidak lagi berfokus pada keturunan Abraham secara fisik,
tetapi lebih mengarah pada keturunan Abraham secara spiritual (Galatia 3:7). Bahkan
secara keras Paulus mengatakan dalam Roma 9:7 bahwa “tidak semua yang terhitung
keturunan Abraham adalah anak Abraham.” Perubahan ini terjadi akibat pemahaman
mengenai iman kepada Kristus. Dalam Galatia 3:29 dikatakan “jikalau kamu adalah milik
Kristus, maka kamu juga adalah keturunan Abraham dan berhak menerima janji Allah.”
Hal ini menunjukkan ada sebuah perubahan dalam konsep Israel sebagai umat Allah
dalam Perjanjian Baru, dimana penentu ke-“Israel”-an seseorang tidak terletak pada
Selain itu, sekalipun Baker menyatakan bahwa adanya jarak 400 tahun dalam
Perjanjian Lama dan Baru secara cukup serius,114 namun tidak dapat dihindarkan bahwa
114
Baker, Two Testaments, One Bible, 236.
jarak 400 tahun dari Perjanjian Lama dan Baru juga memberikan gap secara sosial,
politik, dan juga budaya. Dalam kitab Maleakhi, kondisi terakhir yang dihadirkan adalah
kondisi Israel pasca pembuangan di bawah pemerintahan raja Persia, dimana mereka
diperbolehkan kembali ke daerah asal mereka untuk membangun kembali kota mereka.115
Sedangkan dalam kitab awal Perjanjian Baru, secara politik pemerintahan sudah
dipegang oleh kerajaan Roma. Bruce Satterfield menunjukkan bahwa selama 400 tahun
terjadi dua peralihan kerajaan dimana pada tahun 334 sM kerajaan Yunani di bawah
kepemimpinan Aleksander Agung berhasil meraih kekuasaan dari tangan Persia, namun
pada tahun 128 sM, di bawah kepemimpinan Hasmonean bangsa Yahudi berhasil lepas
dari kekuasaan Yunani. Meski demikian kemerdekaan ini tidak berlangsung lama, sebab
cepat ini, mau tidak mau memberikan gap baik dalam konteks kesejarahan maupun dalam
pemahaman sosial, politik, dan teologi. Oleh sebab itu, perbedaan antara Perjanjian Lama
dan Baru tidak bisa serta merta diabaikan demi menjaga argumen kesatuan teologis dari
Perjanjian Lama dan Baru. Justru menurut John Bright cara terbaik untuk melihat relasi
ada di dalamnya.117
115
W. S. Lasor, D. A. Hubbard, dan F. W. Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2: Sastra dan Nubuat
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 455.
116
Bruce Satterfield, “The Inter-Testamental Period,” http://emp.byui.edu/SATTERFIELDB/Papers/
IntertestamentalPeriod.htm (diakses 2 September 2015).
117
Baker, Two Testaments, One Bible, 244.
Kontinuitas dan Diskontinuitas dalam Aspek Teologis
Selain dari aspek sejarah, kontinuitas dan diskontinuitas juga terjadi dalam ranah
teologis. C. Vriezen mengakui adanya kesamaan perspektif yang dimiliki antara dua
perjanjian ini dalam hal pemahaman tentang nubuatan, persekutuan, dan konsep
Yesus menjadi salah satu contoh keterkaitan teologis antara Perjanjian Lama dan Baru.
Dalam surat Matius digambarkan dengan begitu masif mengenai Yesus sebagai
pemenuhan dari nubuatan mesianik Perjanjian Lama. Hal ini nampak pada penggunaan
julukan yang diberikan kepada Yesus, seperti Mesias (16:16), Anak Daud (1:18, 22:41-
46), Anak Allah (3:17, 4:1), Anak Manusia (9:6, 12:1-8), atau Raja Israel (21:5). Oleh
sebab itu, tidak berlebihan jika Brevard Childs mengatakan “Scripture indeed bears
witness to Christ, but it is an Old Testament which receives its true content from the
person and work of Jesus.”119 Hal ini menunjukkan bagaimana kesatuan antara Perjanjian
Di sisi yang lain, figur Kristus bukan hanya membawa keberlanjutan Perjanjian
Lama dan Baru, namun juga melampaui apa yang Perjanjian Lama pikirkan. Hal ini
nampak dari adanya diskontinuitas dari kedua perjanjian ini. Bultmann, melalui
pendekatan kesejarahan, menilai bahwa sejarah Perjanjian Lama tidak berbicara secara
langsung mengenai Yesus, akan tetapi pemahaman mengenai Yesus tetap dapat
ditangkap melalui bentuk penafsiran yang lebih lanjut akan teks sejarah Perjanjian
118
Baker, Two Testaments, One Bible, 240.
119
Childs, Biblical Theology, 458.
Lama.120 Sekalipun secara lugas ia menyatakan adanya diskontinuitas, namun Bultmann
juga tetap membuka adanya ruang kontinuitas dalam bentuk yang melampaui makna
kesejarahan yang Perjanjian Lama coba bentuk. Lebih lanjut, Childs juga mengatakan
bahwa “Jesus Christ is the end of the law (Roma 10:4) which cuts off absolutely all of
Jewish striving for righteousness based on works (Roma 9:31).”121 Hal ini menunjukkan
bagaimana Yesus bukan sekedar hadir menyatakan adanya diskontinuitas dari Perjanjian
Sebagai contoh, dalam Perjanjian Lama, konsep umat Allah dipahami dengan
makna “menjadi Israel/Yahudi”. Hal ini ditandai dengan konsep sunat dalam Perjanjian
Inilah perjanjian-Ku, yang harus kamu pegang, perjanjian antara Aku dan kamu serta
keturunanmu, yaitu setiap laki-laki di antara kamu harus disunat; haruslah dikerat kulit
khatanmu dan itulah akan menjadi tanda perjanjian antara Aku dan kamu.
Tetapi apabila seorang asing telah menetap padamu dan mau merayakan Paskah bagi
TUHAN, maka setiap laki-laki yang bersama-sama dengan dia, wajiblah disunat; barulah
ia boleh mendekat untuk merayakannya; ia akan dianggap sebagai orang asli. Tetapi tidak
seorangpun yang tidak bersunat boleh memakannya.
Dua bagian ini menunjukkan bahwa sunat bukan hanya menjadi tanda Perjanjian, namun
juga menjadi tanda seseorang masuk dalam umat Allah, dianggap sebagai orang asli.
Oleh karena itu, dalam Perjanjian Lama, konsep umat Allah tidak dapat dilepaskan dari
120
John S. Feinberg, “System of Discontinuity,” dalam Continuity and Discontinuity: Perspectives on
the Relationship Between the Old and New Testaments, ed. John S. Feinberg dan S. Lewis Johnson
(Westchester, Illinois: Crossway Books, 1988), 64.
121
Childs, Biblical Theology, 457.
Sunat yang semestinya menjadi cara untuk bangsa asing datang dan mengenal
Allah, serta menjadi satu dengan umat-Nya. Dalam Perjanjian Baru, justru menjadi
sebuah pemisah antara orang Yahudi dan non-Yahudi. Hal ini jelas dapat kita temukan
pada Kisah Para Rasul atau surat-surat Paulus, dimana perbedaan antara Yahudi dan non-
Yahudi menjadi salah satu permasalahan penting yang dihadapi komunitas Kristen mula-
mula (Lih, 6:1). Karena itu, Paulus mengajarkan bahwa di dalam dan melalui iman pada
Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang
telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, sebab dengan mati-Nya sebagai
manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya,
untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan
itu mengadakan damai sejahtera (Efesus 2:14-15).
Dalam hal ini, menjadi umat Allah tidak lagi harus ditandai oleh sunat secara fisik.
Namun lebih daripada itu, di dalam dan melalui Kristus kita disatukan menjadi umat
Allah lewat sunat hati. Paulus mengatakan “Tetapi orang Yahudi sejati ialah dia yang
tidak nampak keyahudiannya dan sunat ialah sunat di dalam hati, secara rohani, bukan
secara hurufiah. Maka pujian baginya datang bukan dari manusia, melainkan dari Allah”
(Roma 2:29). Dalam sunat hati inilah umat Allah yang sejati dipersatukan jauh
melampaui batasan budaya atau suku bangsa. Disinilah terjadi diskontinuitas sekaligus
setiap pendekatan memiliki keunikan tersendiri dalam melihat relasi Alkitab dan
penggunaannya dalam teks perang. Meski demikian, untuk tujuan tertentu dari skripsi ini
penulis perlu untuk memilih salah satu dari tiga pendekatan yang ada. Dan dalam skripsi
diskontinuitas? Apa yang membedakan pendekatan ini dengan dua pendekatan yang lain?
kesamaan pola dan korespondensi antar tiap teks dalam Perjanjian Lama maupun Baru.
Pendekatan ini memiliki kekuatan dalam menunjukkan keterkaitan dan kesatuan dari
relasi antar perjanjian. Sedangkan, pendekatan yang kedua yaitu pendekatan janji dan
pemenuhan secara unik juga menunjukkan konsep kesatuan Perjanjian Lama dan Baru.
Yang menarik, kesatuan dan keberlanjutan dari pemahaman Perjanjian Lama menuju
Perjanjian Baru dilihat bukan dalam kesamaan pola atau korespondensi yang ada, namun
pada progresivitas dari pemenuhan janji. Kedua hal ini memiliki kesamaan dalam
menekanan pada aspek keberlanjutan dari Perjanjian Lama menuju Perjanjian Baru,
namun tidak terlalu memberikan penekanan pada perbedaan yang terjadi antara
Perjanjian Lama dan Baru. Hal ini juga yang dinyatakan oleh Eugene Roop, “Throughout
church history, the relationship between the Testaments has been understood in three
main ways, the allegorical and typological, the doctrinal, and the historical. The first two
menggunakan konsep Perjanjian sebagai dasar dari kesatuan doktrin antara Perjanjian
122
Feinberg, “System of Discontinuity”, 64.
Lama dan Baru.123 Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hanya pendekatan kontinuitas
secara lugas adanya diskontinuitas yang terjadi antara Perjanjian Lama dan Baru. Inilah
alasan pertama mengapa penulis memilih pendekatan ketiga sebagai bingkai kerja dalam
menggambarkan keunikan dari bagian Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Baru. Jika
mutual dependence, dimana masing-masing Perjanjian saling bergantung dan tidak dapat
berdiri sendiri.124 Maka, dalam pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas, relasi antar
The continuity lies in the obvious fact that Christianity is historically a development out
of Judaism; the discontinuity in the equally obvious fact that Christianity is not a
continuation, or even a radical reform, of Judaism, but an entirely separate religion….In a
word, the two Testaments are continuous within the unity of God’s redemptive purpose;
but their discontinuity is the discontinuity of two aeons.125
Yudaisme, namun jelas ada sebuah pemisahan pemahaman antara kekristenan dengan
Yudaisme. Sehingga, secara tak langsung, pendekatan ini mengakui bahwa kedua bagian
Alkitab memang memiliki keterkaitan satu dengan yang lain, namun juga dapat berdiri
123
Feinberg, “System of Discontinuity”, 65.
124
Baker, Two Testaments, One Bible, 231-32.
125
Baker, Two Testaments, One Bible, 244-45.
independency justru harus dipelihara sebagai upaya memahami keutuhan dan keunikan
hanya melalui perspektif ini kita dimungkinkan untuk melihat keunikan dari kehadiran
Kristus Yesus sebagai Mesias dan alasan mengapa umat Yahudi sulit untuk menerima
kemesiasan-Nya. Selain itu, melalui bingkai ini juga, kita dapat menilai bagaimana
keunikan Israel sebagai umat Allah dan Gereja sebagai umat Allah dalam keterkaitan
maupun perbedaan yang ada. Sehingga penafsir dapat meminimalisir bias yang ada, yang
tanpa sadar menjadikan Perjanjian Lama seolah Perjanjian Baru ataupun sebaliknya,
seperti yang tanpa sadar dilakukan oleh pendekatan tipologi. Dengan demikian, keunikan
masing-masing Perjanjian dapat tetap terjaga, namun juga kaitan antar kedua bagian ini
kontinuitas dan diskontinuitas sebagai bingkai berpikir dalam meneliti dan melihat
konsep perang dalam keunikan masing-masing Perjanjian dan kaitan yang dihadirkan
dalam relasi kedua bagian Alkitab tersebut dalam memahami realitas perang.
BAB III
Kisah perang di dalam Alkitab mewarnai hampir keseluruhan cerita yang ada,
mulai dari perang yang dilakukan oleh para patriarkh, perang Israel melawan bangsa lain,
hingga peperangan yang besar antara Allah dan si Ular Tua. Jika ditelusuri lebih jauh,
kata perang di dalam Alkitab muncul kurang lebih 89 kali dalam Perjanjian Lama dengan
menggunakan kata milkhamah () ְָ֗ מ לָ לְִמ, 92 kali muncul dengan kata tzaba’ () לאבלצ, dan 10
kali dalam Perjanjian baru dengan menggunakan kata polemos(πόλεμος), serta 5 kali
(ἀντιστρατευόμενον).
dimengerti dan dianalisa dengan lebih akurat. Pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas
memberikan dua kategori untuk memahami pengelompokan ini, antara lain jangka waktu
kesejarahan126 dan diferensiasi genre dari masing-masing teks. Oleh karena itu, dalam
bagian ini penulis akan mencoba mengkategorikan teks-teks yang dipilih dalam jangka
126
Jangka waktu kesejarahan dalam hal ini merujuk kepada waktu kepenulisan teks perang yang
diambil sebagai referensi.
Pentateukh
Pentateukh secara umum dipahami sebagai satu karangan besar yang terdiri dari
lima bagian atau kitab yang pertama dari Alkitab.127 Kitab Pentateukh juga disebut
sebagai Taurat atau yang dalam bahasa Ibrani berarti “petunjuk” atau “hukum”.128 Hal ini
berhubungan erat dengan struktur kelima kitab ini yang sebagian besar berbentuk narasi
dan hukum. Kitab-kitab Pentateukh merupakan kelompok kitab yang penting bagi umat
Yahudi maupun Kristen. Hal ini cukup beralasan sebab kitab-kitab Pentateukh
memberikan data bukan hanya mengenai awal mula Perjanjian Israel dengan Allah
namun juga awal mula dunia tercipta, kejatuhan manusia pertama, hingga relasi awal
Allah pencipta dengan para patriarkh menjadi narasi yang penting untuk memahami
Pandangan tradisional seperti ini, meskipun mayoritas diyakini oleh orang Kristen,
namun di sisi yang lain juga mengundang perdebatan dari beberapa pandangan yang
mencoba melihat kepenulisan Musa dari sudut lain. Keberatan yang menolak pandangan
bahwa Musa adalah penulis dari seluruh kitab-kitab Pentateukh dimulai dengan argumen
merupakan karya gabungan yang mengalami penurunan maupun pertumbuhan dan proses
127
W. S. Lasor, D. A. Hubbard, dan F. W. Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1 (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2006), 93.
128
John J. McDermott, Reading the Pentateuch (New York: Paulist Press, 2002), 1.
129
Tremper Longman III dan Raymond B. Dillard, An Introduction to the Old Testament (Grand
Rapids, Michigan: Zondervan, 2006), 41-42.
yang panjang untuk mencapai bentuknya saat ini yang diperkirakan berakhir di abad
kelima sebelum Masehi, di masa nabi Ezra.130 Argumentasi ini didasarkan kepada adanya
perbedaan dalam beberapa bagian teks Pentateukh dalam penyebutan kata Allah dimana
sebagian menggunakan kata Elohim dan sebagian lagi menggunakan kata Yahweh. Jean
Astruc berpendapat bahwa hal ini membuktikan penyusunan kitab Pentateukh berasal
dari dua sumber tertulis yang berbeda dan beberapa bahan-bahan lain yang mengambil
hipotesa adanya empat sumber yang berbeda dari penyusunan kitab-kitab Pentateukh.
1. Sumber Yahwis (J) yang diperkirakan berasal dari Yehuda dan muncul sekitar
2. Sumber Elohis (E) yang diperkirakan berasal dari kerajaan utara yang muncul
3. Sumber Deuteronomis (D) yang secara garis besar mencakup Kitab ulangan dan
sumber ini berkembang dan mencapai bentuk akhir di dalam pemerintahan raja
4. Sumber Imamat (P) seringkali dilihat muncul sekitar masa pembuangan hingga
130
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 104.
131
Barry L. Bandstra, Reading the Old Testament: Introduction to the Hebrew Bible (Belmont,
California: Wadsworth, 2009), 20.
diperkirakan terdapat pada bagian-bagian kitab Pentateukh yang memuat
mengenai hukum-hukum.132
Selain permasalahan penggunaan nama Allah dalam kitab Pentateukh. Hal lain yang
kepenulisan lain selain Musa adalah adanya beberapa bentuk cerita yang diulang namun
dengan beberapa detail yang berbeda dan kadang berlawanan, adanya penggunaan nama
tempat atau orang yang berbeda namun merujuk kepada satu hal yang sama, dan adanya
perbedaan teologi dari kitab-kitab Pentateukh.133 Hal-hal ini menjadi alasan kuat
kesaksian Alkitab, tradisi, kerangka besar kitab Pentateukh, serta kemampuan seorang
penulis kuno untuk menulis dalam berbagai macam genre masih memberikan peluang
atau perkembangan dari masa Musa namun kerangka besar kitab Pentateukh tetap
diyakini dibuat oleh Musa. Oleh karena itu, penulis lebih setuju dengan pandangan dari
In conclusion we can see that the possible post-Mosaic materials in the Pentateuch are
relatively minor. The bulk of the five books could indeed have been written by Moses or
under his supervision. If there were in fact editors who added to or modified the work of
Moses, their activity was superintended by the same Holy Spirit who inspired all
Scripture. Any changes made by Joshua, Samuel, Ezra, or anyone else were prompted by
the Spirit of God and conveyed exactly what He intended.135
132
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 106.
133
Longman dan Dillard, An Introduction to the Old Testament, 43.
134
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 102.
Dalam hal ini, sebagaimana yang dikatakan Wolf, penulis menerima bahwa mungkin ada
peredaksian namun sifatnya tidaklah terlalu besar dan mengubah arah dari kerangka awal
kepenulisan Musa. Di sisi lain, peranan Roh Kudus juga menjadi dasar lain bagi
pertimbangan teologi untuk melihat bahwa penulis sebenarnya dari Alkitab adalah Allah
sendiri.
Dengan tetap mengakui kepenulisan dan peranan besar Musa dalam kerangka
pemikiran Pentateukh maka kita dapat memperkirakan bahwa kitab Pentateukh ditulis
sebagian besar dalam masa hidup Musa. Musa sendiri hidup diperkirakan dari tahun
kisah keluaran Israel dari Mesir pada tahun 1447 sM.136 Sedangkan Bakker melihat
bahwa kisah Keluaran kemungkinan besar terjadi di tahun 1445 sM, di masa
pemerintahan Amenofis II yang berlangsung dari tahun 1447-1421 sM. Hal ini
didasarkan pada argumen bahwa pada masa pemerintahan Amenofis II hanya tercatat
dalam arca di lima tahun pertama masa pemerintahannya dan Amenofis II juga tidak
digantikan oleh anak sulungnya. Hal ini dikaitkan oleh Bakker dengan kemungkinan
adanya hukuman besar dari Allah terhadap Mesir di masa itu sehingga Amenofis II harus
kehilangan putra sulungnya dan kekurangan tenaga untuk membangun arca karena
kehancuran Mesir akibat tulah.137 Dengan memberi penanggalan akan waktu hidup Musa
dan peristiwa keluarnya Israel dari Mesir maka kemungkinan besar penulisan kitab
135
Herbert Wolf, An Introduction to the Old Testament Pentateuch (Chicago, Illinois: Moody,
1991), 60.
136
Alfred Hoerth dan John McRay, Bible Archeology (Grand Rapids, Michigan: Baker Books,
2005), 82.
137
F. L. Bakker, Sejarah Kerajaan Allah, jilid 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), 252.
Pentateukh oleh Musa berlangsung sekitar tahun 1447-1407 sM. Dengan demikian,
meskipun teori sumber menyatakan adanya perubahan atau pembentukan dari sumber-
sumber yang lebih muda penanggalannya dari zaman hidup Musa, namun penulis tetap
akan menggunakan penanggalan dari masa hidup Musa sebagai latar belakang
Penetapan masa hidup Musa sebagai standar penanggalan awal dari kepenulisan
kitab Pentateukh memberikan indikasi bahwa teks perang dalam kitab Pentateukh
merupakan teks perang paling awal yang tercatat dalam Alkitab. Sebagai catatan perang
peperangan Israel dan Midian, serta beberapa teks lain yang menyangkut hukum-hukum
perang. Dengan menyadari banyaknya ragam teks perang dalam kitab Pentateukh, maka
penulis akan memilih hanya dua teks mengenai perang, yaitu Keluaran 15:1-21 dan
Ulangan 20.
Keluaran 15:1-21 dipahami sebagai puisi atau nyanyian termegah yang pertama
tercatat dalam Alkitab. Origen menyatakan “The Song of Moses is the first great song in
Scripture. The song prefigures the song that the bride sings to Christ her husband.” Hal
ini muncul disebabkan oleh pemahaman Origen dalam menafsirkan Keluaran 14-15 yang
memahami figur Divine Warrior sebagai penggambaran dari Yesus yang hadir
menyelamatkan umat manusia dari perbudakan dosa.138 Selain dari penggambaran Allah
sebagai panglima perang, keindahan dari nyanyian ini muncul dalam cara penulis
Lebih lanjut, Keluaran 15 dipahami juga sebagai salah satu proklamasi pertama
This is what the poem proclaims. It shouts out loudly that the God who has acted in
liberating his people from oppression must be honored and worshipped. The biblical
theme of holy war begins here.140
Tindakan Allah dalam menyelamatkan umat Israel dari Mesir juga memulai tema dari
perang kudus di dalam Alkitab. Oleh karena itu, bagian ini sangat penting dibahas
Sebagai tonggak awal perkenalan bangsa Israel dengan Allah Perjanjian sebagai
Panglima Perang, Keluaran 15:1-21 memiliki bentuk yang unik sebagai sebuah puisi
Ibrani. Durham menyebut bentuk puisi dalam Keluaran 15 sebagai sebuah puisi ibrani
kegembiraan yang sangat dalam.141 Perasaan kegembiraan ini jelas berhubungan dengan
kondisi pengalaman Israel yang baru saja terlepas dari kejaran bangsa Mesir melalui
138
Joseph. T. Lienhard dan Ronnie. J. Rombs, Exodus, Leviticus, Numbers, Deuteronomy
(Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 2001), 78.
139
John. I. Durham, Exodus. (Waco, Texas: Word Books, 1998), 202.
140
Godfrey. W. Ashby, Go Out and Meet God: A Commentary on the Book of Exodus (Grand
Rapids, Michigan: Eerdmans, 1997), 67.
141
Durham, Exodus, 205.
Beberapa penafsir melihat bahwa Keluaran 15:1-12 tidak memberikan runutan
peristiwa yang teratur sehingga keabsahan historisnya perlu dipertanyakan, namun Childs
melihat bahwa ada sebuah pararel dari prosa yang dimiliki tiap baris dalam puisi ini.
Keterkaitan prosa di dalam puisi ini jauh lebih penting dibandingkan runutan peristiwa
sejarah yang terjadi,142 sebab puisi tidak mengutamakan kerunutan sejarah namun makna
yang hendak diangkat dari masing-masing baris. Dalam puisi ini ungkapan syukur dan
pujian yang mendalam inilah yang Israel coba gambarkan atas tindakan Allah sebagai
panglima Perang.
2. Ayat 11-13 menyatakan mengenai sifat dan tindakan Allah yang tidak tertandingi
3. Ayat 14-16 menjelaskan mengenai dampak dari peristiwa yang luar biasa ini atas
bangsa lain
4. Ayat 17-18 merupakan gambaran dan pengharapan akan apa yang terjadi di masa
depan.143
Dari struktur ini dapat dilihat bahwa penekanan utama dari bagian ini adalah mengenai
Allah Yahweh. Segala tindakan dan pekerjaan keselamatan yang dari Allah bagi umat
pilihanNya menjadi tema utama dari bagian ini. Childs juga menambahkan bahwa
142
Brevard S. Childs, The Book of Exodus (Philadelphia, Pennsylvania: Westminster Press, 1974),
251.
143
Nahum M. Sarna, Exodus (Philadelphia, Pennsylvania: The Jewish Publication Society, 1991),
76.
tindakan Allah yang tergambar dalam puisi ini merupakan sebuah intervensi penebusan
ilahi yang kemudian memberikan dasar bagi penafsiran eskatologis para nabi tentang
15:3, dimana untuk pertama kalinya Allah Yahweh disebut sebagai Pahlawan Perang.
Durham menyatakan bahwa frasa “man of battle” yang dikenakan kepada Allah ini
merupakan sebuah pengalaman baru bagi Israel. Kehadiran Allah dalam medan perang
untuk membawa Israel keluar dari Mesir, bukan sekedar menunjukkan bahwa Allah
The songs themselves are the product of a new experience, an experience of both God
and people as liberator and liberated.... And so, just as God out of God’s own experience
of suffering has responded to Israel’s experience of oppression, so Israel from the midst
of its own experience of freedom responds to God’s experience as liberator.146
Pengalaman sebagai Allah sang pembebas diungkapkan secara lugas dalam tema besar
mengenai Allah sebagai Pahlawan perang Israel. Bruckner juga menyatakan hal yang
sama, ia berargumen bahwa Allah harusnya dilihat sebagai pahlawan perang yang
berhasil mengalahkan pasukan yang tangguh, sebab hal ini sejajar dengan penjelasan
144
Childs, The Book of Exodus, 252-53.
145
Durham, Exodus, 206.
146
Terence E. Fretheim, Exodus (Louisville, Kentucky: John Knox, 1991), 163.
147
James K. Bruckner, Exodus (Peabody, Massachussetts: Hendrickson, 2008), 138.
Pengakuan yang mendasar tentang Allah sebagai pahlawan perang yang
menyelamatkan Israel juga menunjukkan konsep yang berbeda dari konsep perang Mesir
kuno. Dalam pemahaman Mesir kuno, raja adalah titisan dewa Ra sejak ia masih ada
dalam kandungan, sehingga perintah raja bersifat absolut. Dalam peperangan, Raja Mesir
bukan hanya dilihat sebagai pemimpin namun ia sendiri adalah pasukan perang dan
lambang dari keseluruhan kekuatan Mesir dan para dewa.148 Dalam hal ini peran
Mesir. Sebagai panglima tertinggi dari Mesir, Firaun juga berperan membentuk konsep
mengenai Ra sebagai Panglima Perang Mesir. Dalam catatan perang Megiddo yang
memperlihatkan strategi dan perintah Firaun Thutmose III dalam menguasai tanah
Kanaan,150 digambarkan juga nyanyian kemenangan dan pujian yang diberikan bagi
keagungan Firaun Thutmose atas kemenangannya menguasai Kanaan. Hal ini memiliki
pararel dengan Keluaran 13-15 dimana Allah juga memberikan perintah dan strategi
kepada Israel untuk dapat keluar dari tanah Mesir, selain itu bagian ini juga ditutup
dengan pujian Israel akan kepahlawanan Allah sebagai panglima Perang yang
148
G. Herbert Livingston, The Pentateuch in its Cultural Environment, ed. ke-2 (Grand Rapids,
Michigan: Baker Books, 1987), 123.
149
Lih. Theological Wordbook of the Old Testament, s.v. ”” פ ְַר ֹ֔עה. ( פ ְַר ֹ֔עהpar’oh), Firaun. Dalam
bahasa aslinya kata Firaun memiliki arti “the Great House.”, rumah yang besar. Pada mulanya orang Mesir
menggunakan kata ini tidak untuk merujuk pada raja Mesir namun lebih kepada tempat raja tinggal, Istana
raja. Namun perubahan terjadi pada pertengahan dinasti ke-16, sekitar tahun 1575–1308 sM, dimana kata
ini berubah ekspresi menjadi sebutan bagi jabatan raja Mesir. Sebagai sebutan yang digunakan bagi raja
tertentu, penggunaan kata Firaun juga menjadi analogi untuk masa atau pemerintahan dari raja tertentu.
Sekalipun demikian, tidak ada indikasi bahwa teks-teks Mesir pernah menggunakan kata “Firaun” sebagai
bagian dari jabatan resmi bagi Raja.
150
Cyrus H. Gordon dan Gary A. Rendsburg, The Bible and the Ancient Near East (New York: W.
W. Norton and Company, 1997), 64-65.
Meskipun ada kesamaan dalam beberapa aspek dengan konsep perang Mesir kuno
namun dalam pemahaman perang suci yang paling awal ini, ditunjukkan secara tidak
langsung tentang peranan pasif Israel dalam perang. Perang Israel bukanlah sebuah
bentuk perang secara aktif dan inisiatif, namun lebih sebagai suatu upaya pertahanan diri.
Sarna menyatakan “In the biblical view, the enemies of Israel are the enemies of God, so
that Israel’s wars for survival are portrayed as “the battles of the Lord.”151 Dalam hal ini,
kita dapat melihat bahwa Perang di dalam Keluaran 15:1-21 dipahami lebih sebagai
perang yang bersifat pasif, dimana Israel tidak melakukan upaya apapun dan Allah yang
secara pribadi berperang untuk Israel. Perang ini juga bertujuan bukan untuk
menghancurkan namun sebagai sebuah upaya untuk bertahan hidup, dimana Allah
Perbedaan lain yang muncul dalam bagian ini adalah bentuk pujian yang
diberikan Israel kepada Allah. Meskipun Mesir menganggap Firaun sebagai perwakilan
dari dewa Ra, namun bangsa Mesir lebih melihat bahwa tindakan Firaun dalam perang
dan kemenangan perang merupakan bagian dari sebuah strategi dan kekuatan dari
ketentaraan Mesir. Dalam inkripsi dari akhir millenium ketiga yang ditemukan di Siut
dan Mo‛alla dijelaskan bagaimana kekuatan militer dan kepemimpinan para panglima
perang menjadi tumpuan harapan bangsa Mesir akan kemenangan perang.152 Hal ini
berhubungan dengan pola pikir Mesir. Meskipun orang Mesir mengakui akan adanya
151
Sarna, Exodus, 77-78.
152
Juan Carlos Moreno García, “War in Old Kingdom Egypt”, dalam Studies on War in the
Ancient Near East, ed. Jordi Vidal (Mǖnster: Ugarit-Verlag, 2010), 5-6.
realita dari dewa-dewi serta unsur spiritual dan supranatural, namun mereka tetap lebih
teknologi Mesir yang lebih maju dibandingkan negara lain masa itu.153 Oleh karena itu,
tidak mengherankan jika dalam inkripsi mengenai peperangan bangsa Mesir kuno,
kemenangan Israel diraih bukan melalui kekuatan pasukan perang atau persenjataan,
namun justru melalui alam. Keluaran 15:7-8 menyatakan “Dengan keluhuran-Mu yang
besar Engkau meruntuhkan siapa yang bangkit menentang Engkau; Engkau melepascan
api murka-Mu, yang memakan mereka sebagai tunggul gandum. Karena nafas hidung-
Mu segala air naik bertimbun-timbun; segala aliran berdiri tegak seperti bendungan; air
bah membeku di tengah-tengah laut.” (Kel. 15:7-8 ITB). Durham menjelaskan bahwa
“nafas hidung-Mu” dalam Keluaran 15:8 dihubungkan dengan kata “laut” untuk
hanya prajurit Mesir namun juga air purba yang merupakan lambang dari kekacauan.154
Lebih luas, Fretheim melihat bahwa kaitan antara Keluaran 15 dan kisah
mengenai tulah-tulah yang menimpa Mesir dengan kepercayaan Mesir tentang dewa-
dewa yang menguasai alam memberi implikasi teologis tersendiri. Dalam keyakinan
Mesir kuno, kekuatan dari alam semesta merupakan perlambang dari kekuatan para
153
Gordon dan Rendsburg, The Bible and the Ancient Near East, 56.
154
Durham, Exodus, 207.
dewa. Matahari, bulan, bintang, angin, cahaya, api, air, hingga sungai Nil merupakan
unsur-unsur yang membentuk dunia kosmik dan dalam setiap unsur itulah kekuatan para
dewa bermanifestasi.155 Oleh sebab itu, Fretheim menegaskan bahwa gambaran Allah
yang secara aktif menunjukkan kuasanya melalui alam, terkhusus dalam kisah mengenai
tulah, secara mendasar menjadi antitesis dari pemahaman praktis Mesir mengenai kisah-
kisah penciptaan dari dewa-dewi Mesir.156 Sehingga tidak berlebihan jika Keluaran 15
dilihat bukan hanya sebagai kemenangan Allah atas tentara Mesir namun juga sebuah
dimana Israel akan dibawa ke tanah Perjanjian dan Tuhan Allah Israel akan memerintah
Eksposisi Ulangan 20
Selain dalam Keluaran 15:1-21, konsep perang juga secara jelas dinyatakan dalam
Ulangan 20. Di dalam konteks pembaharuan perjanjian Israel dengan Allah, kitab
Ulangan merupakan bagian pengajaran Musa kepada generasi kedua bangsa Israel
sebelum mereka masuk ke dalam tanah perjanjian. Longman menyatakan “Moses led the
people in a covenant renewal before they undertook the wars of conquest for the land
promised to the fathers; he prepared the people for his imminent death.”157 Perang dalam
Ulangan 20 diletakkan dalam runutan cerita ketika Israel dipersiapkan masuk untuk
155
Jan Assmann, Of God and Gods: Egypt, Israel, and the Rise of Monotheism (Wisconsin,
London: University of Wisconsin Press, 2008), 10.
156
Fretheim, Exodus, 167.
157
Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 102.
menaklukkan tanah Kanaan. Dalam dinamika politik masa itu, satu-satunya cara untuk
membawa penduduk Kanaan keluar dari tanah kediaman mereka adalah melalui perang.
pemusnahan bukan dalam landasan kesenangan atau kepentingan Israel namun karena
tujuan Allah.158 Selain itu, Longman menambahkan bahwa pemusnahan total harusnya
dilihat dari aspek kekudusan Allah dimana pencemaran terhadap kekudusan Allah perlu
ditanggapi secara serius. Oleh karena itu, nilai kekudusan Allah perlu dipandang jauh
lebih tinggi.159 Hal ini berbeda dengan praktik moralitas bangsa-bangsa di luar Israel,
pribadi.
Lebih lanjut, jika merujuk pada janji Allah pada Abraham dalam Kejadian 15:13-
16, dimana Allah sengaja membawa umat Israel keluar dari Mesir ketika kedurjanaan
orang Amori sudah genap (ayat 16). Hal ini menunjukkan adanya nuansa penghakiman
dan penghukuman yang Allah sengaja bawa bagi orang Kanaan melalui kehadiran Israel.
Sehingga perintah Allah kepada orang Israel untuk membunuh habis bangsa Kanaan
dapat dilihat sebagai bagian dari hukuman Allah bagi bangsa Kanaan, dimana Israel
digunakan Allah sebagai instrumen penghakiman. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa
tidak ada satupun alasan dari hukum perang yang diberikan untuk melanggengkan dan
158
Eugene H. Merrill, “The Case for Radical Discontinuity”, dalam Show Them No Mercy, ed.
Stanley N. Gundry (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2003), 84-85.
159
Tremper Longman III, “The Case for Spiritual Continuity”, 173-74.
melegalkan kesenangan untuk membunuh dan menghancurkan, justru sebaliknya hukum
ini diberikan dalam kerangka keadilan Allah dan tatanan moral yang lebih tinggi.
Di sisi yang lain, Ulangan 20 bukan hanya berbicara mengenai tatanan moral
From this time forward the alternative of trust either in Yahweh or in war chariots
(‘horses and chariots’) had become central concern of the religion of Yahweh. For the
prophets, too, all trust in chariots is plainly a symptom of lack of faith.160
Ayat 1-9 bukan hanya sekedar strategi untuk memilih dan mengatur tentara Israel, namun
juga menunjukkan sebuah konsep dimana peperangan tidak bergantung pada jumlah
tentara, namun pada Allah yang memberikan kemenangan. Hal ini dinyatakan secara
eksplisit dalam Ulangan 20:1-4 lewat seruan “jangan takut”. Dalam bagian ini kata takut
dilihat sebagai sebuah indikasi kurangnya iman pada Allah. Von Rad menambahkan
bahwa keprihatinan utama kitab Ulangan tentang rasa takut dan kecil hati sebagai
pasukan.161 Oleh karena itu, untuk membangkitkan kepercayaan Israel, pada ayat 2 Allah
memerintahkan salah seorang imam maju di hadapan umat untuk menyampaikan Firman
Kehadiran imam dalam peperangan ini memiliki persamaan dengan konsep dalam
dunia kuno. Dalam penelitiannya mengenai literatur perang Mari yang muncul abad 17
To insure that a king, general, or army were operating in accordance with the will of the
gods, Mesopotamian rulers employed diviners and prophets who would interpret the will
160
Gerhard Von Rad, Deuteronomy: A Commentary (Philadelphia, Pennsylvania: The
Westminster, 1966), 131.
161
Von Rad, Deuteronomy, 132.
of the gods. A wide range of methods were used to accomplish this. Few kings dared go
to war without the explicit approval of the gods.162
Dalam hal ini, baik Israel maupun bangsa-bangsa kuno lainnya meyakini bahwa
keberhasilan perang ditentukan oleh sabda Allah, sehingga sedikit raja yang berani untuk
Selain itu, kehadiran imam dalam konteks perang merupakan bagian dari cara
Timur Dekat Kuno bahwa pembimbingan Allah serta persetujuan Allah dalam
peperangan menentukan hasil dari peperangan tersebut. Maka, beberapa kali frasa “sebab
TUHAN, Allahmu,” (Ulangan 20:1, 4 ITB) menjadi penekanan utama dalam bagian ini.
Hal ini menunjukkan bahwa hukum perang umat Israel dalam Ulangan 20 bukan sekedar
masalah strategi militer namun lebih pada masalah iman dan spiritualitas umat pilihan
Allah.
moralitas dan spiritualitas umat Israel namun juga untuk mempersiapkan Israel memasuki
tanah Perjanjian. Sebagai umat pilihan Allah yang harus hidup dalam standar moral dan
maksud mempersiapkan dan menjaga bangsa Israel. Hal ini didukung dengan penyataan
eksplisit Allah melalui Musa dalam ayat 18, “supaya mereka jangan mengajar kamu
berbuat sesuai dengan segala kekejian, yang dilakukan mereka bagi allah mereka,
sehingga kamu berbuat dosa kepada TUHAN, Allahmu.” (Ulangan 20:18 ITB).
162
William J. Hamblin, Warfare in the Ancient Near East (London: Routledge, 2006), 186.
Dalam bagian ini, Tigay menjelaskan upaya “genosida”163 yang dilakukan Israel
adalah cara Allah untuk memproteksi Israel dari pengaruh kebudayaan kafir. Ia
bukan disebabkan masalah etnik namun cara hidup, sehingga apabila kehidupan Israel
justru mengikuti cara hidup bangsa kafir maka Allah tidak segan untuk melakukan cara
yang sama pada Israel.164 Di sisi yang lain, Craigie juga menyatakan bahwa upaya yang
dilakukan Israel bukanlah sebuah tindakan amoral, namun merujuk pada pemahaman
bahwa Israel adalah instrumen penghakiman Allah bagi orang-orang Kanaan.165 Hal ini
menggenapi firman Allah pada Abraham dalam Kejadian 15:16, dimana kedatangan
Israel ke tanah Kanaan menunggu kegenapan kejahatan orang-orang Kanaan dan waktu
penghakiman yang Allah tetapkan bagi orang-orang Kanaan. Oleh karena itu, bisa
dikatakan bahwa Ulangan 20 memahami perang bukan sebagai bagian dari kebrutalan
namun justru perang harus dilihat sebagai bagian dari perintah Allah untuk melindungi
Kitab Yosua
Pembahasan mengenai perang di dalam Alkitab tidak dapat dilepascan dari kisah-
kisah perang yang luar biasa yang tercatat di dalam kitab Yosua, seperti kisah runtuhnya
163
Lih. Kamus Besar Bahasa Indonesia, s.v. “genosida”. Kata ini dimaknai sebagai pembunuhan
besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras.
164
Jeffrey H. Tigay, Deuteronomy (Philadelphia, Pennsylvania: The Jewish Publication Society,
1996), 189.
165
Peter C. Craigie, The Book of Deuteronomy (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1976), 276.
tembok Yerikho, kekalahan Israel atas Ai, hingga kemenangan Israel merebut tanah
dibingkai dalam perspektif kesetiaan Allah dan ketidaktaatan Israel. Dalam hal ini,
penulis akan mengambil beberapa bagian sebagai bingkai pemahaman perang di dalam
Kitab Yosua sendiri dipahami sebagai kelanjutan dari karya keselamatan yang
The greatest act of salvation history in the Old Testament was not the exodus
alone. The exodus was just half of a great redemptive complex. God had not
promised his people only that he would redeem them from bondage but also that
he would give them the land he promised to the fathers as their inheritance (Kejadian
12:2–3; 15:18–21).166
Sebagai kelanjutan dari karya keselamatan Allah dalam sejarah umat-Nya, kitab Yosua
dan Hakim-Hakim menjadi bagian yang menceritakan bagaimana Allah membawa Israel
merebut tanah Kanaan dan bagaimana Israel mempertahankan tanah Perjanjian tersebut
Kitab Yosua secara umum masih diperdebatkan kapan dan siapa yang menulis
kitab ini. Menurut Talmud kitab Yosua sebagian besar ditulis oleh Yosua sendiri,
terkecuali mengenai bagian kematian Yosua.167 Berlawanan dengan ini, menurut Martin
Noth, kitab Yosua memiliki kedekatan lebih banyak kepada kitab Ulangan, Hakim-
Hakim dan Raja-Raja, sehingga kemungkinan kitab ini merupakan satu bagian dari
166
Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 120.
167
Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 122.
sejarah Deuteronomis168 yang kemungkinan ditulis oleh sejarawan Deuteronomik sekitar
masa pembuangan atau abad ke-7 SM.169 Rowlett juga menekankan hal yang sama,
Although it purports to relate 'historical' events which (allegedly) took place sometime
between 1400 and 1200 BCE, most scholars agree that the Book of Joshua forms part of
the Deuteronomistic History (henceforth called the DH),170
Meskipun argumen kelompok kritik sumber ini nampak meyakinkan, namun melalui
penggalian arkeologi yang ada, ditemukan adanya peristiwa penghancuran yang terjadi di
beberapa daerah seperti di Beitin (Betel), Tel el-Duweir (Lakhis), Tel el-Hesi (Eglon?),
Tel Beit Mirsim (Ansyan?), dan Tel el-Qedah (Hazor) yang melalui hasil penggalian
perkiraan adanya pertempuran dahsyat sekitar abad ke-13 sM.171 Hal ini sesuai dengan
data yang ada dalam kitab Yosua. Di sisi lain, adanya pandangan mengenai penyerbuan
dua kali, dalam abad 15 dan 13 sM, oleh bangsa Israel sebagaimana yang dicetuskan
dalam teori Rowley melalui penelitian surat-surat Amarna nampaknya juga tidak terlalu
didukung dengan argumen yang kuat, sebab secara sepihak Rowley mencoba
Keberatan ini muncul karena menyatakan adanya dua kali penyerbuan dan keberangkatan
168
Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 124.
169
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 286. Bdk. Werner H. Schmidt, Old
Testament Introduction (New York: Crossroad, 1984), 136-140. Schmidt menyatakan bahwa penanggalan
dari masa pembuangan kemungkinan besar lebih mendekati di abad ke 6 dan 5 SM atau sekitar tahun 560
SM.
170
Lori L. Rowlett, Joshua and the Rhetoric of Violence: A New Historicist Analysis (Sheffield,
South Yorkshire: Sheffield Academic, 1996), 11.
171
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 285.
172
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 286-87.
yang mungkin dilakukan bangsa Israel dari Mesir. Hal ini bertentangan dengan kesaksian
Alkitab yang hanya mencatat satu peristiwa keluaran di tahun 1446 sM. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa kemungkinan besar kitab Yosua ditulis sekitar akhir abad 15
sM, sebagai penanggalan awal penyerbuan Kanaan dan bukan abad ke 13 sM.
Dengan menetapkan bahwa kepenulisan kitab Yosua terjadi tidak jauh dari
peristiwa yang tertulis, maka sangat memungkinkan bahwa kebudayaan dan konsep
berpikir yang ada dalam kitab ini juga mencerminkan pandangan kehidupan dunia
There is, moreover, no part of the textual tradition that is more permeated with violence
than the conquest traditions of Joshua. While the land is promised in the ancestral
traditions of Genesis, that same land in the implementation of the promise is taken by
means of brutal military attack that is characteristic of any military operation and is
perhaps especially characteristic of the ancient practices of the Near East.173
Selain itu, Kitab Yosua merupakan satu-satunya kitab dalam Perjanjian Lama
yang mencatat kisah penaklukan tanah Perjanjian secara utuh dari upaya awal Israel
masuk tanah Kanaan (Yosua 1-6), penaklukan sebagian besar tanah Kanaan dan
pembagian tanah (Yosua 11-19), hingga gambaran awal kehidupan Israel di Kanaan dan
pembaharuan perjanjian (Yosua 20-24). Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa ada sebuah
perubahan paradigma dari Israel sebagai budak menjadi Israel sebagai penakluk, dari
kondisi sosial politik yang sangat penting dalam mempengaruhi afirmasi teologis yang
terbentuk berkaitan dengan pemahaman umat Israel dalam relasi dengan Allah
173
Walter Brueggemann, An Introduction of the Old Testament: The Canon and Christian
Imagination (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox, 2003), 116-17.
Perjanjian.174 Afirmasi teologis yang dimaksud berkaitan dengan pemahaman akan
identitas Israel sebagai umat pilihan dimana janji Allah untuk membawa Israel masuk
pada tanah perjanjian segera dipenuhi melalui peperangan yang tak terhindarkan
Yosua dalam memahami konsep teologi mengenai perang yang dipandang sebagai isu
yang cukup problematik di dalam Alkitab. Oleh karena itu, Penulis memilih untuk
mempelajari Yosua 5:13-6:27 dengan pertimbangan bahwa ini merupakan teks awal yang
mencatat perang Israel ketika merebut kota Yerikho, kota terluar Kanaan. Selain itu,
kehadiran Panglima Balatentara TUHAN juga menjadi sebuah bagian penting dalam
Perang dalam Yosua 5:13-6:27 terbagi dalam dua bagian besar 5:13-15
merupakan bagian persiapan perang sebelum masuk tanah Yerikho, sedangkan 6:1-27
memuat kisah perang penaklukan Yerikho. Yosua 5:13-14 diawali dengan kehadiran
Panglima Balatentara TUHAN. Daniel Hawk menyatakan bahwa kehadiran Divine being
sebelum perang merupakan elemen yang wajar dalam literatur perang dari beberapa
budaya Timur Dekat Kuno.175 Dalam catatan perang dinasti awal Mesopotamia, Raja
seorang peramal untuk menghadirkan sang dewa dan memohon sabda dari dewa tersebut.
174
Brueggemann, An Introduction of the Old Testament, 119.
175
L. Daniel Hawk, Joshua (Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 2000), 83.
Dalam catatan ini dikatakan Eanatum, sang peramal, dalam prosesi ini tertidur dan dewa
perang Ningirsu akan mendekati kepalanya dan membisikkan kata-kata kepada Eanatum
tentang apa yang akan terjadi dalam peperangan raja Umma.176 Meskipun kehadiran
Divine Being tidak tampak secara fisik, namun melalui perantaraan peramal, para raja
dihadirkan melalui kereta perang yang membawa simbol dewa atau raja dengan sebuah
upacara khusus sebagai bukti hadirnya kepemimpinan ilahi.177 Tidak mengherankan jika
Albrektson menyatakan bahwa “Their sphere of activity extended into other areas of life,
warfare, is therefore not unique, but is part of the 'common heritage of ancient Near
Eastern religions'.178
Meskipun kehadiran Divine Being dalam perang, baik secara simbolik atau
melalui perantara, adalah hal yang wajar di dalam budaya Timur Dekat Kuno, akan tetapi
kehadiran sosok Panglima Balatentara TUHAN secara teofani baru dituliskan secara
eksplisit dalam bagian ini. Jika dihubungkan dengan kondisi Yosua dan bangsa Israel
pasca kematian Musa sebagai pemimpin, kehadiran Panglima Balatentara TUHAN bukan
sekedar menunjukkan bahwa Allah yang memimpin perang Israel, namun juga
176
Hamblin, Warfare in the Ancient Near East, 52-53.
177
Hamblin, Warfare in the Ancient Near East, 136.
178
Rowlett, Joshua and the Rhetoric of Violence, 50.
mengesahkan kepemimpinan Yosua atas seluruh umat Israel.179 Kalimat "Tanggalkanlah
kasutmu dari kakimu, sebab tempat engkau berdiri itu kudus, " dalam Yosua 5:15
mengingatkan kita akan perkataan Allah terhadap Musa ketika Musa melihat semak
terbakar dalam Keluaran 3. Seperti halnya kehadiran Allah melalui semak yang terbakar
mengesahkan panggilan Allah atas Musa dan menguatkan hati Musa untuk menerima
tugas Ilahi memimpin Israel keluar dari tanah Mesir, demikian pula dalam bagian ini
Allah ingin menguatkan hati Yosua dan memberikan bukti penyertaan-Nya sebagaimana
tentara Israel dapat dilihat menjadi bagian dari tentara surgawi.180 Kehadiran Divine
Being dalam peperangan Israel menunjukkan adanya kesadaran bahwa peperangan antara
Israel dan Kanaan adalah sebuah pertempuran kosmik antara Allah dan dewa-dewa
Kanaan. Selain itu, perintah Allah untuk melepaskan kasut Yosua menunjuk pada simbol
martabat, kekuatan, dan kepemilikan dari Allah atas seluruh tanah Kanaan.181
Pada bagian kedua, Yosua 6:1-27 menunjukkan bagaimana Allah menuntun dan
Bible Background Commentary, Yerikho merupakan salah satu dari beberapa kota tua
179
Hawk, Joshua, 83.
180
Gordon Mitchel, Together in the Land: A Reading of the Book of Joshua (Sheffield, South
Yorkshire: Sheffield Academic, 1993), 49.
181
Mitchel, A Reading of the Book of Joshua, 49.
yang dibangun sebelum tahun 1550 sM dan mengalami kehancuran antara tahun 1550 -
ditemukan dalam penggalian yang dilakukan oleh Kenyon pada tahun 1950.182 Catatan
arkeologi ini menguatkan kesaksian Alkitab mengenai penanggalan masa hidup Yosua
Penyerbuaan Israel dalam Yosua 6:1-27 dibagi menjadi beberapa bagian. Yosua
6:1-7 berbicara mengenai persiapan dari prosesi. Dalam Yosua 6:2-5 Allah secara unik
Yerikho tanpa bersuara sedikitpun selama enam hari berturut-turut, baru pada hari ke
tujuh mereka mengelilingi tembok itu selama tujuh kali dan bersorak dengan nyaring.
Dalam bagian ini nampak secara eksplisit adanya urutan dimana Allah sebagai panglima
perang, yang disimbolkan dengan kehadiran tabut Perjanjian yang berada di depan Israel,
keseluruhan episode ini merupakan bentuk penyembahan secara terbuka yang disertai
dengan ritual yang rumit dan diakhiri dengan penampakan Allah.183 Hal serupa juga
dinyatakan oleh Hawk, ia melihat bahwa prosesi yang dilakukan oleh Israel merupakan
sebuah korespondensi antara konteks ritual dan militer yang mengekspresikan karakter
182
John H. Walton, Victor H. Matthews, dan Mark W. Chavalas, The IVP Bible Background
Commentary: Old Testament (Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 2000), 217.
183
Mitchel, A Reading of the Book of Joshua, 51.
184
Hawk, Joshua, 93.
Kisah ini memiliki kemiripan dengan epik Ugarit dari Keret dimana tentara Keret
tiba di kota Udm dan di perintahkan oleh dewa El untuk mereka tinggal diam selama
enam hari tanpa menembakkan senjata apapun dan dewa El menjanjikan pada hari yang
ke tujuh maka orang dari kota Udm akan mengirimkan seseorang untuk menyampaikan
upeti agar pasukan Keret keluar meninggalkan kota Udm.185 Dan ada kemungkinan orang
Yerikho cukup mengenal kisah ini, sehingga dapat dikatakan bahwa Yosua 6:1-27 adalah
subversi kisah epik Ugarit. Ia membandingkan perintah Allah dengan perintah dewa El
sebagai dewa tertinggi Mesopotamia kuno, dengan menyatakan perbedaan bahwa Allah
tidak sekedar membuat warga kota Yerikho memberikan upeti, tetapi bahkan
Israel dari tanah Mesir. Jika dalam Keluaran 14-15 perang digambarkan menggunakan
kekuatan alam sebagai senjata yang menghancurkan tentara Mesir, dalam Yosua 6
Israel. Hal ini berhubungan dengan kondisi Israel yang mengalami perubahan dari masa
Musa hingga Yosua. Salah satu perubahan yang mencolok adalah adanya pembentukkan
tentara perang Israel yang mulai muncul dan tercatat dalam Keluaran 17:9. Sejak perang
melawan Amalek, Israel mulai membentuk kekuatan militer untuk melindungi Israel dan
mempersiapkan Israel menjadi sebuah bangsa. Lebih lanjut, jika dikaitkan dengan seruan
Musa dalam Keluaran 17:15-16, maka Musa memahami kekuatan militer Israel bukan
sebagai bagian yang terpisah dari kekuatan Allah, justru sebaliknya dikatakan oleh Musa
185
Walton, Matthews, dan Chavalas, The IVP Bible Background Commentary, 217.
“Allah turun berperang”. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan militer Israel adalah
bagian dari kekuatan Allah, dimana Allah dilihat sebagai pemimpin perang yang
sesungguhnya. Dalam pemahaman ini, maka kekuatan militer Israel berkewajiban untuk
mentaati perintah Allah sebagai pemimpin dan komandan tertinggi mereka. Oleh karena
itu, pada masa Yosua, peperangan merebut Yerikho tidak lagi hanya dilakukan oleh
Allah, namun juga meminta partisipasi Israel sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah
sebagai pemimpin perang Israel. Mitchell menyatakan bahwa “Obedience, and not
military ability,is all that is important.”186 Dalam konsep ketaatan inilah Yosua 6:17
Bagian ini cukup menarik sebab secara eksplisit kata ( ֶָרֵ֛חherem) yang berarti
“dikhususkan bagi TUHAN untuk dimusnahkan” pada Yosua 6:17 memiliki beberapa
pemaknaan. Dalam bagian lain di Alkitab, kata ini digunakan dalam pemahaman sebagai
berikut:
1. Sebagai sebuah hadiah atau persembahan bagi Allah (Bilangan 18:14; Yehezkiel
2. Sebagai sebuah keputusan hukum. Bentuk Hophal kata ini muncul dalam
Sedangkan dalam Imamat 27:29, kata ini merujuk kepada seseorang yang dikutuk,
dan dalam Ezra 10:8, kata ini juga bisa berarti sebuah bentuk pengasingan
186
Mitchel, A Reading of the Book of Joshua, 51.
3. Sebagai tindakan perang dan penghancuran. Digunakan dalam seluruh kitab
Ulangan hingga 2 Raja-Raja, juga dalam Bilangan 21:2, 3; Yesaya 11:15; 34:2,5;
37:11; 43:28; Yeremia 25:9; 50:21, 26; 51:3; Mikha 4:13; Zakharia 14:11;
Maleakhi 3:24; Daniel 11:44; 1 Tawarikh 2:7; 4:41; 2 Tawarikh 20:23; 32:14.187
Dalam bagian ini, kata herem dapat dilihat dalam nuansa pertama sebagai sesuatu yang
diberikan pada Allah sebagai persembahan sulung. Hal ini berhubungan dengan konsep
herem sebagai bagian dari ibadah. Sedangkan dalam nuansa kedua dan ketiga, tanah
Kanaan ditetapkan Allah untuk dihancurkan demi memisahkan Israel dari segala
pengaruh Kanaan, sebab tanah Kanaan harus menjadi tanah yang Kudus di mana umat
Allah yang Kudus akan diam bersama-sama dengan Allah di sana. Karena itu, unsur
ketidak-kudusan seharusnya dibuang atau diasingkan dari tanah itu melalui pemusnahan
total bagi seluruh makhluk yang hidup di dalamnya.188 Dalam bagian ini, maka
penghancuran total yang dilakukan dilihat sebagai sebuah tuntutan kesetiaan dan ketaatan
Israel pada Allah untuk menjaga kekudusan. Hal serupa didukung dengan penafsiran
Rachel M. Billings yang menyatakan bahwa panggilan untuk melakukan penaklukan total
atas tanah Israel harusnya dilihat sebagai satu bagian dari kesetiaan Israel dan pemenuhan
janji Allah.189
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa perang di dalam kitab Yosua
memiliki kesamaan dengan beberapa budaya Timur Dekat Kuno yang melihat perang
187
Mitchel, A Reading of the Book of Joshua, 55.
188
Hawk, Joshua, 98-103.
189
Rachel M. Billings, Israel Served the Lord: The Book of Joshua as Paradoxical Portrait of
Faithful Israel (Notre Dame, Indiana: University of Notre Dame Press, 2013), 14.
sebagai sesuatu yang tidak terpisah dari penyembahan kepada Allah. Kehadiran Allah di
dalam perang untuk memimpin umat-Nya menunjukkan intervensi langsung Allah bagi
kemenangan Israel. Kehadiran Allah sebagai pemimpin perang Israel juga menuntut
adanya sebuah kesetiaan dan juga ketaatan dari Israel kepada Allah, sehingga perang
dalam kitab Yosua berbeda dengan peristiwa peperangan kosmik dalam Keluaran 14-15,
sebab dalam bagian ini partisipasi Israel dalam perang menjadi satu bagian penting dalam
bukti kesetiaan dan ketaatan Israel kepada Allah sang pemimpin perang.
Aspek lain yang kembali muncul dalam bagian ini adalah aspek perang sebagai
bagian dari bentuk penghukuman Allah bagi orang Kanaan. Dalam hal ini, Israel sebagai
umat Perjanjian berperan sebagai instrumen penghakiman Allah bagi Kanaan, sehingga
pemusnahan total Kanaan bukan hanya untuk menjaga Israel agar tidak tercemari oleh
pengaruh dan gaya hidup bangsa Kanaan namun juga sebagai sebuah bentuk keputusan
Kitab Hakim-Hakim
Selain kitab Yosua yang mengisahkan mengenai perang dalam masa awal bangsa
Israel masuk ke tanah Kanaan, kitab Hakim-hakim juga memuat beberapa bentuk
peperangan dalam konteks yang berbeda dan lebih berkembang. Dalam bagian ini, perlu
dibandingkan kitab Yosua. Dalam Yosua, peperangan yang terjadi adalah sebuah bentuk
Hakim-Hakim 1, dimana Israel gagal menghalau penduduk asli sesuai perintah Allah.
menjadi musuh dan jerat bagi Israel (Hakim-Hakim 2:3). Dalam kondisi seperti ini, Gunn
untuk menjajah Israel dan kemudian Israel akan berteriak minta tolong, dan Allah
tersebut dan membawa umat Israel menikmati “damai”. Inilah pola reward and
Pola “reward and punishment” memang ada dalam kitab Yosua, khususnya pada
cerita Akhan dan kekalahan dari Ai, namun dalam kitab Hakim-Hakim tema ini justru
menjadi bingkai utama dalam melihat konsep perang. Di sisi lain, kondisi Israel sebagai
bangsa yang tinggal dan diam di tanah Kanaan, jelas memberikan paradigma yang
berbeda dengan di masa Yosua. Dengan demikian perbedaan kondisi ini juga
Hakim-Hakim.
Pergerakan ini semakin nyata jika kita melihat karakteristik dari kondisi Israel di
masa Hakim-Hakim. Dalam periode ini, setiap daerah memiliki otonomi dan kekuasaan
yang independen, hal ini juga terjadi di antara kota-kota Kanaan masa itu. Tidak ada satu
agama atau pusat politik yang menyatukan dan saling berafiliasi di antara suku-suku yang
ada, sehingga kebebasan setiap suku untuk mengatur dirinya menjadi karakteristik dari
190
David M. Gunn, Judges (Oxford: Blackwell, 2005), 17-18.
masa ini.191 Hal ini menunjukkan kondisi politik dan bentuk pemerintahan cukup berbeda
dibanding pada masa Yosua dan Musa. Selain itu, tiap daerah yang ditempati oleh setiap
wilayah melalui perang dilakukan secara lokal, berbeda jika dibandingkan dengan Yosua
atau kitab-kitab Musa yang menunjukkan bahwa perang yang terjadi adalah antara
Dari sekian banyak kisah perang yang terjadi dalam kitab Hakim-Hakim, penulis
memilih untuk lebih banyak menyoroti kisah peperangan bangsa Israel melawan Yabin,
Raja Kanaan, dan Sisera panglima perangnya dalam Hakim-Hakim 4-5. Dalam Hakim-
Hakim 4:1-2 dikatakan “Setelah Ehud mati, orang Israel melakukan pula apa yang jahat
di mata TUHAN. Lalu TUHAN menyerahkan mereka ke dalam tangan Yabin, raja
Kanaan, yang memerintah di Hazor. Panglima tentaranya ialah Sisera yang diam di
Haroset-Hagoyim” (Hakim-Hakim 4:1-2 ITB). Jika kita melihat dari segi kesejarahan
yang tercatat, nampaknya kisah ini merupakan peristiwa-peristiwa awal yang terjadi di
masa Israel tinggal di Kanaan. Mengutip George F. Moore dan Lawrence Stegar, Brettler
memperkirakan bahwa kisah Debora ini terjadi lebih dari 100 tahun setelah masa Yosua
atau sekitar akhir abad 13 sM hingga awal abad 12 sM, dengan argumentasi bahwa teks
nyanyian Debora merupakan bagian teks yang paling kuno dari keseluruhan teks Hakim-
Hakim, sehingga tidak dapat dihindarkan bahwa kemungkinan besar teks ini sudah ada
191
Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 137.
192
Marc Zvi Brettler, The Book of Judges (London, England: Routledge, 2002), 62-63.
Selain menjadi salah satu kisah awal peperangan pasca Israel mendiami Kanaan,
Hakim-Hakim 4-5 juga memiliki keunikan tersendiri dalam bentuk sastranya. Hakim-
Hakim 4-5 tidak hanya berbentuk narasi, namun juga memiliki bagian puisi di dalamnya.
Sebab itu, Brettler menyatakan bahwa “Judges 4 and 5 are complex in a different way –
Hakim-Hakim 4-5 juga memberikan penekanan yang berbeda dalam hal gender.
Webb menyatakan,
The initial focus up on a woman is quite surprising in view of the complete absence of
women from the Othniel and Ehud episodes. The fact that she holds a position of
authority and takes the initiative in relation to the prospective male hero is the first
intimation of a thematic development that will give this particular episode its unique
character.194
Kehadiran sosok Debora menjadi kejutan tersendiri dalam dominasi laki-laki dalam teks
Hakim-Hakim. Hal ini menunjukkan adanya perkembangan tema yang unik yang hendak
ditampilkan dalam karakter Debora. Selain itu, Gunn melihat adanya kemiripan antara
kisah Debora dan Barak dengan kisah Israel melewati laut Teberau, terutama dalam
kemiripan pujian yang terdapat dalam Hakim-Hakim 5 dan Keluaran 15, keduanya
menekankan tema Allah sebagai pahlawan Perang yang menyelamatkan Israel. 195
193
Brettler, The Book of Judges, 22.
194
Barry G. Webb, Book of the Judges (Sheffield, South Yorkshire: Sheffield Academic, 1987),
134.
195
David M. Gunn, Judges, 55.
Eksposisi Hakim-Hakim 4-5
Hakim-hakim 4-5 dimulai dengan bagian formula yang sama dengan sebelum
(Hakim-Hakim 3:7, 12) dan sesudahnya (Hakim-Hakim 6:1, 13:1, dst.). Dikatakan dalam
Hakim-Hakim 4:1 bahwa “orang Israel melakukan pula apa yang jahat di mata TUHAN.”
Kejahatan Israel mendapatkan hukuman dari Allah dengan kehadiran Yabin dan Sisera.
Dan dalam Hakim-hakim 4:2-3 penulis menggambarkan kekuatan raja Yabin dan Sisera
Nama raja Yabin dari Hazor muncul dalam tiga kitab yang berbeda, yaitu dalam
Yosua, Hakim-Hakim, dan Mazmur. Dalam Yosua 11, dicatat bahwa raja Yabin adalah
Kanaan untuk melawan Israel, namun pada masa Yosua koalisi kerajaan-kerajaan di utara
Kanaan berhasil dihancurkan dan raja Yabin dibunuh oleh Yosua ketika Israel merebut
kota Hazor. Dalam Hakim-Hakim, raja Yabin dari Hazor diperkirakan adalah keturunan
raja Yabin dalam kitab Yosua, sebab nama Yabin adalah nama dinasti sehingga
kesamaan nama dalam kitab Yosua dan Hakim-Hakim tidak memberikan indikasi bahwa
teks tersebut merujuk pada satu orang yang sama.196 Selain kesamaan nama, raja Yabin
196
Arnold G. Fruchtenbaum, Judges and Ruth (San Antonio, Texas: Ariel Ministries, 2007), 61.
197
Lih. Arthur E. Cundall dan Leon Morris, Judges and Ruth (Downers Grove, Illinois:
InterVarsity,1968), 82. Cundall menyatakan bahwa kemungkinan Sisera adalah seorang raja yang lebih
rendah dibandingkan Yabin yang di dalam koalisi kerajaan-kerajaan Kanaan dia terpilih sebagai pemimpin
militer Kanaan. Bdk. Walton, Matthews, dan Chavalas, The IVP Bible Background Commentary, 250. Hal
ini dikuatkan dengan penelitian Walton dimana jumlah kereta tempur berbahan besi yang berjumlah 900
buah merupakan sesuatu yang hampir mustahil terjadi pada masa tersebut. Bdk. Nigel Stillman dan Nigel
Tallis, Armies of the Ancient Near East 3,000 BC to 539 BC (Cambridge, England: Wargames Research
Group, 1984), 35. Menurut data dari Nigel Stillman dan Nigel Tallis, satu kerajaan kota di Kanaan secara
Yang menarik, Hakim-Hakim 4 justru mengangkat sosok seorang wanita bernama
Debora di dalam sebuah kondisi yang genting seperti ini. Dalam Hak. 4:4, fokus
mengenai kekuasaan Yabin dan kekuatan militer Sisera serta merta diganti pada satu
sosok wanita bernama Debora. Meskipun dalam budaya Israel dan Timur Dekat Kuno
peran wanita sangatlah minim dalam masyarakat akan tetapi penulis secara sengaja justru
mencatat nama Debora dengan menekankan lebih kepada peranan Debora sebagai
hakim.198
Niditch melihat bahwa pribadi Debora dalam kisah ini bukan hanya dilihat
sebagai nabiah dan hakim, namun juga sebagai seorang kesatria perempuan.199
Permintaan Barak agar Debora hadir dalam peperangan bukan disebabkan oleh ketakutan
Barak, namun oleh karisma Debora sebagai nabiah pilihan Allah dan kesatria perang bagi
umum hanya memiliki 10 hingga 50 kereta tempur dengan jumlah pasukan maksimal 2000 orang. Lih.
Susan Niditch, Judges (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox, 2008), 62. Hal kedua yang
mendukung teori koalisi ini adalah penggunaan kata ( ִֽמ י ָֹ֗ו ַחHaggoyim) dalam Hak. 4:2 yang memiliki arti
literal “of the nations”. Bdk. Walton, Matthews, dan Chavalas, The IVP Bible Background Commentary,
250. Kata haroset-haggoyim kemungkinan besar merujuk kepada beberapa kerajaan kota di daerah Galilea
hingga Fililstin menurut penelusuran surat El Amarna. Dengan demikian, sangat memungkinkan jika 900
kereta tempur diperoleh berdasarkan gabungan atau koalisi dari beberapa kerajaan di daerah Kanaan. Dan
dengan kekuatan militer yang sangat besar inilah Raja Yabin, Sisera, dan beberapa koalisinya mencoba
untuk menguasai Israel.
198
Tammi J. Schneider, Judges (Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 2000), 63-66.
199
Niditch, Judges, 65. Gambaran pahlawan perang wanita dalam literatur Timur Dekat Kuno
sering kali merujuk kepada figur dewi-dewi. Lih. Ensiklopedia Alkitab Masa Kini: A-L, s.v. “Asytoret”.
Dalam tradisi Kanaan figur Asytoret diyakini bukan hanya sebagai dewi kesuburan dan asmara, namun
juga sebagai dewi perang. Kemungkinan gambaran yang sama juga dikenakan dalam pemahaman terhadap
Debora.
200
Niditch, Judges, 65.
Dalam hal ini, kehadiran figur yang diperkenan Allah sangat penting dalam peperangan. I
ni mengingatkan pada kehadiran Musa dalam peperangan yang dipimpin Yosua ketika
melawan Amalek dalam Keluaran 17. Schneider menyatakan “Deborah’s job is unique in
that she was one of only two people to whom people went for judgement, the other was
Moses when the Israelites were in the desert.”201 Allah menggunakan orang-orang yang
tidak terduga, termasuk para wanita, untuk menunjukkan bahwa Allah sendiri yang
Setelah pasukan Sisera dipukul kalah oleh Barak dan Debora, Sisera
meninggalkan pasukannya. Dalam pelarian itu, Sisera memilih untuk bersembunyi dalam
kemah Yael. Hal ini dilakukan sebab kemungkinan perkemahan ini dekat dengan kota
Hazor, tujuan akhir Sisera untuk berlindung, dan juga sebab sangat sedikit kemungkinan
tentara Israel akan mencoba menggeledah kemah seorang wanita untuk mencari pria
asing sebab ini bertentangan dengan etika setempat.202 Tetapi perhitungan Sisera justru
berbalik 180 derajat, sebab “Yael, isteri Heber, mengambil patok kemah, diambilnya pula
palu, mendekatinya diam-diam, lalu dilantaknyalah patok itu masuk ke dalam pelipisnya
sampai tembus ke tanah sebab ia telah tidur nyenyak karena lelahnya maka matilah orang
itu” (Hakim-Hakim 4:21 ITB). Seorang panglima perang yang gagah berani dan penindas
Israel justru dipermalukan lewat kekalahan dan kematian di tangan wanita (Debora dan
Yael).203 Tidak berlebihan jika Niditch berkomentar bahwa “So Israel, lacking chariotry
and relying on a war plan of tricksterism, gains the upper hand, and with God’s help turns
201
Schneider, Judges, 68.
202
Cundall dan Morris, Judges and Ruth, 88.
203
Cundall dan Morris, Judges and Ruth, 89.
out to be stronger than the enemy.”204 Dalam kisah ini kemenangan perang juga tidak
dilihat dari kekuatan militer, namun justru didasarkan pada pertolongan Allah yang
perang dalam Keluaran 15. Dalam Hakim-Hakim 5 dicatat bentuk nyanyian kuno yang
menggemakan kembali tema Allah sebagai satria perang dalam Keluaran 15.
dalam Keluaran 15 dan Hakim-Hakim 5. Jika di dalam Keluaran 15 Allah secara khusus
digambarkan menggunakan air, angin, dan lautan untuk meluluh lantakan pasukan Mesir,
dalam bagian ini pahlawan-pahlawan Israel menjadi bagian penting bagi instrumen Allah
bagian yang cukup penting dalam kolaborasi antara intervensi Allah dan inisiatif
pribadi-pribadi yang tidak diduga. Debora ditampilkan mencolok bukan hanya sebagai
nabi, namun juga sebagai ibu (Hakim-Hakim 5:7). Predikat ini sengaja dicantumkan
untuk membandingkan Debora dengan ibu dari Sisera.206 Debora dilukiskan sebagai
seseorang yang bangkit dan maju berperang, bukan sebagai seorang ibu yang menanti
204
Niditch, Judges, 67.
205
Niditch, Judges, 76. Hal ini nampak dalam beberapa bagian di Hak. 5:2,6,7,8,12,13,14,15, dst.
206
Schneider, Judges, 89.
anak laki-lakinya pulang berperang.207 Selain itu, penggunaan kata perintah aktif juga
lebih sering dikenakan pada Debora, sebaliknya, Barak digambarkan lebih banyak
menerima perintah baik dari Allah maupun Debora. Hal ini menunjukkan bagaimana
peranan utama justru dipegang oleh Debora, seorang wanita, daripada Barak.208
Dalam Hakim-Hakim 5:6, penulis juga mengangkat nama Samgar dan Yael
Kehadiran pribadi-pribadi tak terduga ini disandingkan dengan tindakan Allah yang
Maha Kuasa melalui alam ciptaan-Nya. Dalam Hak. 5:4-5 dikatakan “TUHAN, ketika
Engkau bergerak dari Seir, ketika Engkau melangkah maju dari daerah Edom,
bergoncanglah bumi, tirislah juga langit, juga awan tiris airnya; gunung-gunung yakni
Sinai bergoyang di hadapan TUHAN, di hadapan TUHAN, Allah Israel.” Ini kembali
menggambarkan Allah sebagai dewa petir yang juga terdapat dalam gambaran-gambaran
Timur Dekat Kuno mengenai Marduk ataupun dewa-dewa dari beberapa bangsa lain.210
Hal yang sama juga dijabarkan Hakim-Hakim 5:20-21, yaitu bagaimana Allah
berperang melalui bintang-bintang dan sungai. Dikatakan bahwa “Dari langit berperang
menghanyutkan musuh, Kison, sungai yang terkenal dari dahulu kala itu. Majulah sekuat
tenaga, hai jiwaku!” (Hakim-Hakim 5:20-21). Nama sungai Kison sengaja dicatat bukan
untuk merujuk pada letak geografis namun pada sejarah penciptaan, dimana Allah yang
207
Bdk. Antara Hak. 5:12-15 dengan Hak. 5:28-30.
208
Schneider, Judges, 90. Bdk. Niditch, Judges, 78. Niditch menambahkan bahwa “Debora is the
savior in the difficult times.... These are marginal times in which a woman can lead the men.”.
209
Schneider, Judges, 88.
210
Niditch, Judges, 78-79.
mencipta juga adalah Allah yang berperang bagi Israel. Jadi perang dalam bagian ini juga
yang tidak terduga dalam perang kosmik di Keluaran 15 dan Hakim-Hakim 5, Hakim-
Hakim 5:8a memuat konsep perjanjian serta berkat dan kutuk seperti yang terdapat dalam
Yosua 24:19-20 sebagai alasan perang terjadi. Peperangan dalam Hakim-Hakim 4-5 tidak
hanya bernuansa politik namun juga teologis, dimana perang terjadi akibat ketidaksetiaan
Israel terhadap perjanjian dengan Allah. Perang yang demikian memiliki dua buah aspek,
yaitu aspek pembebasan dan aspek hukuman.212 Aspek pembebasan berkaitan dengan
hukuman berkaitan dengan dosa Israel sebagai alasan munculnya serangan dari Raja
4-5 memiliki nuansa kosmik dimana peperangan bukan hanya memakai instrumen
manusia (human) namun juga unsur-unsur alam (metahuman). Selain itu, ada juga unsur-
unsur yang tidak terduga, seperti kepemimpinan seorang wanita dan bantuan dari pihak-
pihak non-Israel, menjadi bagian yang unik yang ditampilkan oleh Hakim-Hakim 4-5
sebagai sebuah presentasi kekuasaan dan cara Allah yang unik untuk menyelamatkan
211
Niditch, Judges, 80.
212
Cundall dan Morris, Judges and Ruth, 95.
Ulangan, perang dalam Hakim-Hakim 4-5 memuat unsur lain selain pembebasan, yaitu
unsur hukuman (judgement) yang ditujukan bukan bagi bangsa lain namun justru bagi
Israel. Dalam bagian ini ketidaksetiaan Israel terhadap perjanjian menjadi alasan
munculnya perang dalam Hakim-Hakim 4-5 sebagai hukuman Allah bagi Israel.213
Masuknya Israel ke tanah Kanaan tidak serta merta menjadikan Israel memiliki
kesadaran sebagai satu bangsa. Schmidt menjelaskan bahwa pada masa Hakim-Hakim,
setelah pembagian tanah Kanaan, tiap suku nampaknya saling tidak terhubung dan
membangun kehidupannya secara lokal, mereka saling melayani hanya dalam kaitan
dengan ibadah dan persembahan di bukit-bukit pengorbanan.214 Dalam kondisi ini, tidak
mengherankan jika perang yang dilakukan oleh para Hakim seringkali bersifat lokal dan
bertujuan untuk menyelamatkan penduduk lokal atau kelompok suku tertentu. Kondisi
yang terjadi di masa Hakim-Hakim berubah cukup drastis karena beberapa pengaruh
sosio-politik. Lasor mencatat bahwa pada masa setelah Hakim-Hakim, Israel yang saat
bangkitnya kerajaan Filistin dengan persenjataan dan teknologi perang yang terbuat dari
besi.215 Selain bangkitnya Filistin, tekanan politik, baik lewat perang maupun kemajuan
kekuatan militer penduduk sekitar Kanaan, pada sekitar tahun 1000 sM, memimpin pada
213
Lih. Yos. 7. Unsur ini sebenarnya sudah muncul dalam kisah kekalahan Israel melawan Ai,
dimana ketidaktaatan Akhan terhadap perintah Allah menjadi penyebab kekalahan Israel.
214
Werner H. Schmidt, Old Testament Introduction (New York: Crossroad, 1990), 16-19.
215
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 333.
berdirinya kerajaan dan bentuk pemerintahan yang lebih baku.216 Perubahan yang terjadi
pemikiran dan pemahaman mengenai perang. Dalam bagian ini, penulis merasa perlu
Kitab 1 Samuel
Kitab Samuel adalah salah satu kitab penting yang mencatat perubahan bentuk
Brueggemann menyebut perubahan yang terjadi pada masa Samuel sebagai bentuk
perubahan sosial yang radikal dan drastis dalam pembentukan kembali suatu kekuatan
sosial.217 Dengan memahami bahwa kitab Samuel ditulis pada masa hidup Samuel maka
tak bisa dipungkiri bahwa kitab Samuel juga memuat kondisi perubahan dari masa pre-
216
Schmidt, Old Testament Introduction, 20.
217
Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville, Kentucky: The Westminster John
Knox, 1990), 1.
218
Lih. Tony W. Cartledge, 1 and 2 Samuel (Macon, Georgia: Symth and Helwys, 2001), 4.
Perdebatan kepenulisan kitab Samuel cukup rumit. Beberapa tradisi kuno mencoba mendukung
kepenulisan dari Samuel sebagai penulis utama kitab ini, sedangkan beberapa informasi seperti kematian
Samuel nampaknya ditambahkan selanjutnya oleh nabi Natan dan Gad. Bdk. Longman dan Dillard,
Introduction to the Old Testament, 153, 156-157. Berbeda dengan pandangan tradisional, beberapa
pandangan yang mendukung pendekatan kritik sumber menyatakan “Since Samuel is part of the
Deuteronomic History, most scholars view the final stages of its composition as the work of editors-authors
during the period of the exile”. Hal ini berhubungan dengan ada indikasi terhadap beberapa unsur teologis,
seperti unsur anti-monarkial dan pesimisme pasca pembuangan, yang nampak pada literatur-literatur
pembuangan. Meskipun demikian, pandangan ini juga memiliki kelemahan sebab, menurut Longman,
asumsi anti-monarki sebenarnya juga dapat merujuk kepada kondisi transisi pra-monarki. Lih. Cartledge, 1
and 2 Samuel, 5. Oleh karena itu, penulis lebih setuju dengan pandangan Cartledge yang menyatakan
bahwa sumber-sumber kepenulisan kitab Samuel nampaknya sudah terbentuk sejak zaman Samuel baik
secara tertulis maupun oral. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa kepenulisan kitab Samuel sangat
1 Samuel juga memberikan keterangan mengenai bagaimana peranan Allah dalam
membentuk monarki Israel dan bahkan melindungi Israel. Salah satu bentuk kekuasaan
Allah dan tindakan nyata Allah nampak pada 1 Samuel 4-6 yang seringkali dikenal
sebagai narasi Tabut Perjanjian.219 Kisah ini merupakan salah satu bagian penting dalam
awal masa pemerintahan Samuel sebagai hakim atas Israel. Kisah ini juga merupakan
salah satu bagian yang menarik dari sekian banyak kisah perang Israel sebab perang ini
justru dilakukan dan dikerjakan oleh Allah secara pribadi melalui Tabut Perjanjian yang
direbut oleh bangsa Filistin dari tangan Israel. Brueggemann menyatakan bahwa bagian
ini sangat penting dipahami sebab kisah ini merupakan penggambaran dari tindakan
Allah yang tak terlihat dan penuh kuasa, dimana hanya Tabut Perjanjian saja yang
menjadi satu-satunya karakter yang bertindak dalam kisah peperangan ini. Oleh
secara teologis bersifat “primitip”.220 Cartledge juga menyatakan bahwa 1 Samuel 4-6
merupakan salah satu bagian kisah yang penting sebagai demonstrasi kemahakuasaan
mungkin dimulai sejak masa hidup Samuel, sekitar tahun 1050 sM, kemudian dilanjutkan melalui
peredaksian hingga dalam bentuknya yang sekarang.
219
Bdk. Brueggemann, First and Second Samuel, 28-48; Robert P. Gordon, 1 and 2 Samuel
(Sheffield, South Yorkshire: Sheffield Academic, 1993), 33-37; Cartledge, 1 and 2 Samuel, 69-70.
220
Brueggemann, First and Second Samuel, 28-29. Theologically “primitive” of Yahweh acts
merupakan sebuah pemahaman teologis kuno dimana Allah secara langsung bertindak melalui caranya
yang ajaib tanpa perantara agen atau pihak kedua untuk melakukan tindakan hukuman ataupun
pembebasan. Hal ini sebagaimana dipahami dalam konsep agama kuno bahwa para ilah atau dewa dapat
bertindak melalui alam atau kekuatan supranatural lainnya, seperti Baal dengan kekuatan petir, Ra dengan
kekuatan matahari, dan osiris dengan kekuatan air.
221
Cartledge, 1 and 2 Samuel, 69.
Eksposisi 1 Samuel 4-6.
1 Samuel 4-6 dibuka dengan berita kekalahan Israel dalam perang melawan
Filistin. Sekalipun hasil dari peperangan ini dicatat dengan jelas, namun penulis kisah ini
tidak memberikan indikasi mengenai penyebab terjadinya perang antara Filistin dan
Filistin terbentuk pasca invasi militer Mesir sekitar tahun 1200 sM, dimana sebagian
penduduk Kreta, Yunani, dan Anatolia yang bermarkas di Siprus menyingkir menuju
daerah selatan Palestina dan membentuk sebuah komunitas baru.222 Dengan menguasai
lima kota besar di sebelah selatan Palestina, Filistin pada masa itu merupakan salah satu
Sejarah permusuhan yang panjang antara Israel dan Filistin sudah di mulai pada
masa Yosua dan Hakim-Hakim.223 Letak geografis Israel yang strategis menjadikannya
salah satu jalur perdagangan yang cukup ramai dilalui jika ingin menuju Mesir dari
Mesopotamia, demikian pula sebaliknya.224 Peperangan yang kerap terjadi antara Israel,
Filistin, dan bangsa-bangsa sekitarnya, tidak terlepas dari kepentingan politik untuk
menguasai jalur perdagangan ini. Ditambah lagi janji Allah yang menyatakan bahwa
“Aku akan menentukan batas daerahmu dari Laut Teberau sampai Laut Filistin dan dari
padang gurun sampai sungai Efrat, sebab Aku akan menyerahkan penduduk negeri itu ke
dalam tanganmu, sehingga engkau menghalau mereka dari depanmu” (Keluaran 23:31).
222
Walton, Matthews, dan Chavalas, The IVP Bible Background Commentary, 285.
223
Brueggemann, First and Second Samuel, 29.
224
Philip J. King dan Lawrence E. Stager, Kehidupan orang Israel Alkitabiah, terj. Robert Setio
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 255.
Penulis tidak memberi alasan atau penyebab perang dalam 1 Samuel 4-6 karena ia
ingin memfokuskan pada Tabut Allah dalam peristiwa ini.225 Hal ini dibuktikan dari
kehadiran Tabut Allah memenuhi keseluruhan pasal 4 hingga 6 dari kitab 1 Samuel.
Dalam 1 Samuel 4:1b-3 dikisahkan bagaimana Israel kalah dalam peperangan melawan
Filistin. Kekalahan ini membangkitkan pemikiran para tua-tua bangsa Israel untuk
Di sini tampak sebuah kesadaran bahwa kekalahan bangsa Israel atas Filistin
disebabkan oleh ketidakhadiran Allah dan bukan karena kekuatan militer Filistin. Dalam
pemahaman Israel kuno, kehadiran Allah seringkali dihubungkan dengan kehadiran tabut
and embodiment of divine power, which will surely turn the battle in their favor.”226
Korelasi antara tabut Perjanjian dan kehadiran Allah nampaknya juga dipahami
bangsa-bangsa non-Israel. Hal ini dibuktikan dengan penyataan dalam 1 Samuel 4:6b-7a,
“Ketika diketahui mereka, bahwa tabut TUHAN telah sampai ke perkemahan itu,
ketakutanlah orang Filistin, sebab kata mereka: ‘Allah mereka telah datang ke
In the divine warrior motif the deity is fighting the battles and defeating the deities of the
enemy. In Assyria Nergal is the king of battle, and Ishtar is viewed as a war goddess. The
Canaanite Baal and the Babylonian Marduk are divine warriors.... In most situation
prayers would be made and omens asked to assure the god’s presence. Standards or
statues of the deity were ussually carried to symbolize their presence.227
225
Hans Wilhelm Hertzberg, 1 and 2 Samuel (Philadelphia, Pennsylvania: The Westminster Press,
1964), 47.
226
Brueggemann, First and Second Samuel, 30.
227
Walton, Matthews, dan Chavalas, The IVP Bible Background Commentary: Old Testament,
286.
Sekalipun tabut Perjanjian hadir di tengah Israel dan membawa kegentaran bagi
bangsa Filistin (ayat 7), ironisnya penulis justru mengisahkan bahwa kekalahan Israel
jauh besar saat Tabut Perjanjian hadir di tengah mereka (ayat10). Kekalahan ini
memunculkan sebuah permasalahan teologis tersendiri bagi umat Israel, sebab dalam
pemahaman Israel masa itu, kehadiran Allah menjadi jaminan dari kemenangan. Akan
tetapi, dalam bagian ini kehadiran Allah melalui tabut Perjanjian tidak merubah hasil
perang, sehingga kekalahan dalam perang tidak dapat selamanya dipahami sebagai
korelasi dari ketidak-hadiran Allah. Dalam hal ini kemenangan atau kekalahan dalam
Penulis menggambarkan kondisi ini berbeda dengan kisah perang yang terjadi
serta pimpinan-Nya lewat representasi tabut Perjanjian di depan umat Israel. Keluarnya
Israel dari tanah Mesir, pertempuran melawan Amalek, juga runtuhnya tembok Yerikho
menjadi bukti nyata kehadiran Allah dalam representasi tabut Perjanjian. Sedangkan
dalam bagian ini, kehadiran Tabut Perjanjian bukan hanya tidak mengubah kondisi
apapun namun justru memberikan kekalahan yang lebih besar bagi pihak Israel.
Ekspresi kekalahan ini diwakili secara unik oleh perkataan dari seorang wanita
yang tak bernama, istri Pinehas, dimana ia memberikan nama anaknya Ikabod yang
berarti "Telah lenyap kemuliaan dari Israel". Hal ini terkait dengan peristiwa
dirampasnya Tabut Perjanjian bagi Israel juga berarti hilangnya kemuliaan Allah di
228
Brueggemann, First and Second Samuel, 32.
tengah-tengah Israel. Israel memahami Tabut Perjanjian bukan hanya melambangkan
Melalui kisah ini, Allah ingin mengajarkan bahwa keberadaan-Nya tidak terikat
oleh sesuatu yang bersifat jasmani. Allah adalah pribadi yang independen, yang dapat
berkehendak dan bertindak terlepas dari semua ikatan pemahaman manusia. “Israel must
recognize that the Lord is present even when the place of his self-revelation has
vanished.230” Poin ini menjadi sebuah perkembangan dari pemahaman Alkitab mengenai
kemenangan perang atas Israel sebagai kemenangan perang Dagon atas Yahweh.
Brueggemann menambahkan bahwa “placing the ark next to Dagon shows a dramatic
unik justru membalikkan gambaran ini dengan menjelaskan bagaimana Allah sendiri
yang berperang melawan Dagon dan bangsa Filistin secara luar biasa. Dalam 1 Samuel 5
ada 3 bagian dimana secara eksplisit penulis menggambarkan cara Allah memerangi
bangsa Filistin. Pertama dalam 1 Samuel 5:3 dikatakan “Ketika orang-orang Asdod
bangun pagi-pagi pada keesokan harinya, tampaklah Dagon terjatuh dengan mukanya ke
tanah di hadapan tabut TUHAN; lalu mereka mengambil Dagon dan mengembalikannya
ke tempatnya” (1Samuel 5:3 ITB). Bagian ini ingin membalikkan konsep Allah Yahweh
229
Hertzberg, 1 and 2 Samuel, 50.
230
Hertzberg, 1 and 2 Samuel, 51.
231
Brueggemann, First and Second Samuel, 35.
sebagai Allah yang ditaklukkan oleh Dagon. Hertzberg menyatakan “The statue of Dagon
is found the next morning lying on its face, in the attitude of a slave before his master, a
Keith Bodner menghubungkan bagian ini dengan perintah Allah dalam Keluaran
20:3, “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku” sebagai sebuah tanda bahwa
hancurnya patung Dagon adalah bukti tidak adanya Allah lain yang sanggup
disandingkan bersama dengan Yahweh.233 Kondisi patung Dagon yang kepala dan
Gambaran serupa juga ditemukan dalam teks Ugarit, dimana dewi Anat membawa kepala
dan tangan yang terpenggal dari musuh-musuhnya sebagai bukti kekuasaan Anat dalam
perang.234 Hal ini seperti membalikkan kebanggaan Filistin terhadap kemenangan perang
Dalam 1Samuel 5:6, Allah bukan hanya berhadapan dengan Dagon, namun secara
khusus Allah Yahweh menyatakan kuasanya atas orang Filistin melalui tulah yang
mengingatkan pada peristiwa tulah di Mesir. Frasa “tangan TUHAN” dalam bagian ini
setara dengan frasa “tangan Allah” dalam Keluaran 8:19 ketika Allah memberikan tulah
atas Mesir. Selain itu, frasa “tangan TUHAN” juga menyatakan ironi dimana Allah
Yahweh yang tabut-Nya direbut dari Israel adalah Allah yang berkuasa memberikan
232
Hertzberg, 1 and 2 Samuel, 54.
233
Keith Bodner, 1 Samuel (Sheffield, South Yorkshire: The Sheffield Phoenix, 2009), 52.
234
Walton, Matthews, dan Chavalas, The IVP Bible Background Commentary, 287.
hukuman bagi Filistin, sedangkan dari Dagon yang sebelumnya diagungkan dalam
kemenangan perang adalah allah yang tak mampu menolong Filistin; allah yang “tanpa
tangan”.235 Tiga kali kekalahan Dagon di Asdod, Gath, dan Ekron menunjukkan bahwa
Allah Yahweh adalah pemenang sesungguhnya.236 Hal ini juda dibuktikan melalui
pengembalian Tabut Perjanjian dalam 1Samuel 6:2 sebagai pengakuan Filistin akan
Lebih lanjut, penulis menjelaskan bahwa kekalahan yang dialami oleh bangsa
Filistin sesungguhnya jauh lebih besar dibandingkan kekalahan yang dialami oleh Israel.
Dalam 1Samuel 6:4-5 penulis menyatakan bahwa kekalahan Filistin bukan hanya
dirasakan oleh orang-orang Filistin namun juga oleh alam.238 Hal ini juga
mengungkapkan kembali pola keluarnya Israel dari tanah Mesir dimana saat itu Mesir
juga mengalami kekalahan secara holistik, baik dialami oleh orang Mesir maupun alam di
Mesir.
Pola keluaran ini semakin dikuatkan dengan pernyataan dalam 1Samuel 6:6 yang
Filistin untuk jangan mengeraskan hati lagi menunjukkan sebuah sebuah penghormatan
dan ketaatan yang seharusnya diberikan oleh orang Filistin kepada Allah Perjanjian.
Penyataan hormat yang diberikan secara langsung oleh orang-orang Filistin pada Allah
235
Brueggemann, First and Second Samuel, 38.
236
Hertzberg, 1 and 2 Samuel, 55.
237
Hertzberg, 1 and 2 Samuel, 57.
238
Hertzberg, 1 and 2 Samuel, 58.
Yahweh menjadi sebuah ironi terhadap sikap umat Israel sebagai umat Perjanjian justru
Selain pola Keluaran, Brueggemann secara khusus juga melihat bahwa perang
dalam 1Samuel 4-6 juga menunjukkan pola baru yang muncul dalam perkembangan
pemahaman perang, yaitu pola pembuangan. Keluarnya Tabut Perjanjian dari Filistin
dengan menggunakan kereta yang ditarik oleh sepasang lembu dan membawa banyak
persembahan dari bangsa Filistin bukan hanya menunjukkan sebuah bentuk penyambutan
pembuangan dimana tabut Perjanjian selama 7 bulan ada dalam masa pembuangan di
tanah Filistin dan kini pulang dengan kemenangan Ilahi.240 Hal ini menunjukkan bahwa
Allah sesungguhnya tidak pernah diam. Kekalahan Israel merupakan bagian dari
kehendak Allah untuk mendidik umat Israel serta menentang pola berpikir bangsa
Filistin. Selain itu, bagian ini juga menjadi gambaran tentang apa yang akan terjadi atas
Israel dalam ketidaktaatan mereka dan pengharapan bagi Israel karena Allah tidak akan
1Samuel 4-6 berhubungan erat dengan independensi Allah. Bahwasannya Allah adalah
pribadi yang tidak terikat oleh ruang, waktu, atau benda apapun. Ia adalah pribadi yang
berkehendak dan aktif; Ia bukan Allah yang diam atau tidak memiliki kuasa (“tidak
239
Bodner, 1 Samuel, 57.
240
Brueggemann, First and Second Samuel, 42-43.
menunjukkan bagaimana peperangan yang sesungguhnya dilakukan oleh Allah secara
pribadi. Inisiatif dan strategi perang bukanlah diambil oleh manusia (1Samuel 4:2-3),
namun oleh Allah sebagai pemimpin perang dan pemenang yang sejati.
Kitab 1 Raja-Raja
Allah dibangun dan kekuasaan Israel semakin meluas hingga ke Mesir. Meskipun masa
kejayaan Salomo begitu indah, namun benih perpecahan muncul pada akhir masa
pemerintahannya dan berujung pada terpecahnya kerajaan menjadi dua, yaitu Israel Utara
dan Selatan. Perpecahan Israel sebagai ujung perubahan kondisi politik dari masa
kejayaan Salomo hingga pemberontakan Yerobeam inilah yang dilukiskan dalam kitab
Raja-Raja.
Menurut Schmidt, kondisi yang tak akur antara Israel bagian Utara dan Selatan
memang sudah lama ada, namun hal ini dapat diredam pada masa pemerintahan Daud
dan masa kejayaan Salomo.241 Pergolakan ini muncul di masa akhir pemerintahan
Salomo, di mana beberapa suku Utara tidak dapat menerima kebijakan Salomo yang
membuat mereka bekerja keras membangun kubu-kubu pertahanan. Hal ini diperburuk
oleh kecerobohan dan ambisi Rehabeam yang membuat mereka memberontak di bawah
241
Schmidt, Old Testament Introduction, 21-22.
242
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 366-67.
Ada beberapa pandangan mengenai proses pembentukan dan waktu kepenulisan
kitab 1 dan 2 Raja-Raja. Menurut pandangan Yahudi dikatakan bahwa kitab Raja-Raja
Talmud (Baba’ Bathra 15a) melaporkan bahwa Yeremia mulai aktif menulis kitab Raja-
Raja dan Ratapan dalam masa kehancuran Yerusalem.243 Masa kepenulisan ini juga
diperkuat oleh analisa Nelson bahwa kemungkinan besar kitab ini ditulis di pembuangan,
pada masa pemerintahan Nabonidus (555-539 B.C).244 Menurut Longman, kitab ini
mengalami redaksi ganda, pertama pada masa Yosia dan kemudian pada masa
pembuangan.245 Melihat beberapa argumen di atas, dapat dikatakan bahwa kitab Raja-
Raja ditulis paling lambat di masa pembuangan di Babilonia, walaupun para ahli tidak
maupun Selatan, untuk menyampaikan makna teologis tertentu. Menurut Laffey, salah
satu tema kuat yang hendak disampaikan dari kitab 1Raja-Raja adalah bahwa kesetiaan
atau ketidaksetiaan kepada Yahweh membawa konsekuensi bagi naik turunnya kondisi
Kerajaan Israel,246 yang juga berhubungan dengan konsep perang dalam kitab ini.
243
Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 168.
244
Richard Nelson, First and Second Kings (Louisville, Kentucky: John Knox, 1987), 4.
245
Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 172-173.
246
Alice L. Laffey, First and Second Kings (Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 1944),
8.
Salah satu bagian yang memberikan petunjuk kuat mengenai konsep perang di
dalam kitab 1Raja-Raja adalah kisah kekalahan Ahab dalam pasal 22 22:1-40 sebagai
“the highly complex narrative and enriched variety of prophetic genres about the holy
war.”247 Keunikan perang dalam narasi ini adalah perlawanan Mikha terhadap nabi-nabi
palsu Ahab tentang apa yang akan terjadi dalam peperangan melawan Aram. Peranan
Mikha sebagai nabi yang menyampaikan suara dan perintah Allah dalam perang menjadi
salah satu aspek penting untuk memahami konsep perang di dalam Alkitab.248 Oleh
karena beberapa alasan kesejarahan dan teologis inilah maka penulis memilih teks ini
untuk menunjukkan pergerakan konsep yang terjadi mengenai perang di dalam Alkitab.
1Raja-Raja 22:1-40 adalah bagian dari kisah kehidupan Ahab sebagai raja Yehuda
(1Raja-Raja 20-22), yang secara khusus mencatat mengenai kematian Ahab. Kisah
Tampak bahwa perang sebagai penggenapan nubuat menjadi fokus pada dari teks ini.
247
Nelson, First and Second King, 145.
248
Robert Alter, Ancient Israel: The Former Prophets: Joshua, Judges, Samuel, and Kings (New
York: W. W. Norton, 2014), 578.
249
Jerome T. Walsh, 1 Kings (Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 1996), 342. Poin
Ramalan penghakiman menjadi bagian interupsi dari bentuk kiastik teks 1 Raj. 22. Walsh menempatkan
bagian ini sebagai penekanan utama dari teks 1 Raj. 22, sedangkan bagian C dilihat sebagai penggenapan
dari poin interupsi.
Dalam bagian awal dari teks ini dikatakan bagaimana kondisi saat itu antara Israel
dan Aram sesungguhnya dalam kondisi yang aman dan damai (1Raja-Raja. 22:1).
Kondisi ini berhubungan dengan perjanjian yang dibentuk oleh Ahab dan raja Aram
dalam 1Raja-Raja 20:34. Akan tetapi, setelah masa tiga tahun itu, Ahab justru berupaya
untuk mengingkari perjanjian tersebut dan mengambil alih Ramoth-Gilead dari tangan
Aram. Simon J. DeVries melihat motif Ahab untuk merebut tanah tersebut sebagai
masalah politik murni sebab, secara geografis, Ramoth-Gilead adalah benteng pertahanan
terbesar di sebelah timur laut.250 Dengan menguasai Ramoth-Gilead, Ahab akan dapat
menguntungkan bagi Yosafat, raja Yehuda, untuk mempersatukan kekuatan militer Israel
dan Yehuda, serta menumbuhkan kerjasama dengan Israel sebagai kerajaan yang lebih
kuat di masa itu dibandingkan Yehuda.251 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
baik Israel maupun Yehuda sama-sama bermotif politik dalam perang ini.
Berawal dari rencana peperangan inisiatif Ahab, kisah ini tiba-tiba beralih
menjadi sebuah narasi tentang nubuat hukuman bagi Ahab. Perubahan ini diawali dengan
sebuah permintaan dari raja Yosafat sebelum menyerang ke Aram, “Baiklah tanyakan
mendatangkan 400 nabi-nabi Asherah sebab 400 nabi Baalnya telah dibunuh oleh Elia
(1Raja-Raja 18).252 Hal ini bertentangan dengan permintaan Yosafat yang meminta
250
Simon J. DeVries, 1 Kings (Waco, Texas: Word Books, 1985), 266.
251
Walter Brueggemann, 1 and 2 Kings (Macon, Georgia: Smyth and Helwys, 2000), 267.
252
Walsh, 1 Kings, 345.
petunjuk dari YHWH. Oleh sebab itu, dalam bagian selanjutnya Yosafat
mempertanyakan kepada Ahab adakah nabi YHWH di Israel, dan dipanggillah Mikha
Di antara desakan Yosafat untuk memanggil Mikha dan kehadiran nabi Mikha di
hadapan raja Ahab dan Yosafat, disisipkan sebuah cerita mengenai Zedekia, salah
seorang nabi Ahab yang “membuat tanduk-tanduk besi, lalu berkata: ‘Beginilah firman
TUHAN: Dengan ini engkau akan menanduk Aram sampai engkau menghabiskan
mereka’” (1Raja-Raja 22:11). Tindakan simbolik Zedekia merupakan salah satu tradisi
profetik Israel kuno untuk menjamin bahwa ramalan mereka adalah inspirasi Ilahi.253
Keberanian Zedekia memberi simbolisasi profetik ini merupakan bagian upaya nabi-nabi
nubuatan dari para nabi Ahab yang ia wakili, dan membandingkannya dengan kehadiran
dari Mikha sebagai perwakilan nabi TUHAN. Frasa "Demi TUHAN yang hidup” (1Raja-
Raja 22:14) memberi penekanan bahwa, secara otentik, Mikha hanya menyampaikan apa
yang TUHAN katakan padanya,254 dan, dengan demikian, membedakan Mikha dari nabi-
nabi Ahab yang lain, termasuk Zedekia. Sekalipun nubuatan Mikha pada ayat 15 tampak
mendukung nubuatan dari para nabi Ahab, ayat 15-16 justru menunjukkan ironi Ahab
yang sesungguhnya mengerti bahwa nubuat para nabinya adalah nubuat palsu.255 Oleh
253
Walsh, 1 Kings, 347.
254
Marvin A. Sweeney, 1 and 2 Kings (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox, 2007),
260.
255
Terence E. Fretheim, First and Second Kings (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox,
1999), 124.
sebab itu, ketika Mikha kemudian menyampaikan apa yang sesungguhnya Allah
kehendaki, ia jelas bertentangan dengan posisi Ahab dan para nabinya. Hal ini tampak
dari pernyataan Ahab tentang nubuatan Mikha, “Bukankah telah kukatakan kepadamu:
Tidak pernah ia menubuatkan yang baik tentang aku, melainkan hanya malapetaka?”
(1Raja-Raja 22:18).
Ironi lain tersaji pada kisah kematian Ahab. Dalam 1Raja-Raja 22:30 terlihat
bahwa, meski Ahab tidak menyukai nubuat Mikha tentang kematiannya, namun ia sendiri
memandang nubuat itu dengan serius. Jadilah Ahab secara khusus menyamar agar ia
tidak menjadi target pasukan musuh. Ironi ini dipertegas oleh kematian Ahab yang
disebabkan oleh panah nyasar yang ditembakkan sembarangan oleh pasukan Aram.
Tragedi Ahab masih berlanjut setelah kematiannya. Pada ayat 38 dikatakan bahwa
darah Ahab dijilati oleh anjing, sedangkan perempuan-perempuan sundal mandi di sana.
melihat bahwa kisah pertempuran ini sebagai perang intensi antara Ahab dan Allah.257
Walsh melihat bagian ini bukan sebagai catatan tragedi kematian seorang Raja Israel,
256
Sweeney, 1 and 2 Kings, 260-61.
257
Brueggemann, 1 and 2 Kings, 275-76.
258
Walsh, 1 Kings, 359.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peperangan dalam 1 Raja-Raja 22:1-
40 adalah peperangan Allah melawan Ahab, dan bukan peperangan Israel melawan
Aram. Di sini kita dapat melihat bahwa peperangan Allah bukan hanya ditujukan untuk
melawan bangsa-bangsa di luar Israel, namun juga berperang melawan umat-Nya sendiri.
Kitab Ester
pada masa Zedekia, dan berakhirnya kerajaan Yehuda di tangan Yoyakhin menjadi akhir
kejayaan Israel dalam kancah politik Timur Dekat Kuno. Pembuangan ke Babel
menandai hukuman berat atas ketidaksetiaan Israel kepada Allah Yahweh. Meski
demikian, perjanjian Allah dengan umat manusia tidak berakhir. Kitab Ester menjadi
Kitab Ester secara umum mengambil konteks sejarah abad kelima sebelum
Masehi di Babilonia pada masa pemerintahan Raja Ahasyweros (486–465 sM).259 Kitab
ini mendapat tempat yang spesial, dalam kanon Yahudi sedemikian sehingga
Maimonides menyatakan bahwa “when all the rest of the Old Testament Canon would
pass away in the days of the coming of the Messiah, Esther and the Pentateuch would
still remain.”260
259
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 451.
260
Archibald Henry Sayce, Introduction to the Books of Ezra, Nehemia, and Esther (London,
England: The Religious Tract Society, 1889), 100.
Menurut tradisi, kemungkinan besar buku ini ditulis pada masa yang sama dengan
waktu terjadinya peristiwa yang diceritakannya. Hal ini dikuatkan oleh catatan sejarah
dan muatan teologis yang dekat dengan kondisi pada masa pembuangan. Lasor mencatat
bahwa, meskipun beberapa pandangan mencoba menolak historisitas dari kisah Ester,
tidak bisa disangkali bahwa catatan mengenai kondisi kerajaan Persia yang termuat
Selain akurasi data yang digambarkan dalam kitab Ester, kitab ini juga memuat
asal usul dari salah satu festival penting dalam keagamaan Yahudi, yaitu festival Purim.
Timothy K. Beal menyatakan bahwa tanpa memahami kitab Ester, maka makna festival
Purim terasa aneh dan dibuat-buat.262 Jika ditilik lebih jauh, festival Purim memiliki
makna teologis yang mendalam sebagai perayaan atas perlindungan Allah terhadap
gerakan anti Yahudi yang dimulai oleh Haman. Dalam kisah inilah, Israel berperang
melenyapkan mereka (pasal 8-9). Oleh alasan ini, penting bagi kita untuk melihat konsep
perang dalam kedua pasal ini sebagai bagian dari catatan peperangan dalam Alkitab.
kitab Ester terdapat pada pasal 8-9. Pasal-pasal ini juga merupakan titik balik kejahatan
261
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 452-53.
262
Tod Linafelt dan Timothy K. Beal, Ruth and Esther (Collegeville, Minnesota: The Liturgical
Press, 1999), ix-x.
Haman terhadap bangsa Yahudi. Secara garis besar kitab Ester memiliki struktur cerita
sebagai berikut:263
Dalam struktur ini, nampak jelas bahwa perikop Ester 8 dan 9 berhubungan erat dengan
Ester 1-4 yang merupakan bagian awal permasalahan. Dalam hal ini, Ester 8-9 adalah
Masalah utama yang dalam kitab Ester adalah ancaman genosida oleh Haman,
salah seorang pejabat tinggi kerajaan Persia. Ester 3:6 menyatakan “tetapi ia menganggap
dirinya terlalu hina untuk membunuh hanya Mordekhai saja, karena orang telah
memunahkan semua orang Yahudi, yakni bangsa Mordekhai itu, di seluruh kerajaan
Ahasyweros” (Ester 3:6). Masalah ini awalnya dipicu oleh problem personal antara
Haman dan Mordekhai, yang kemudian menguak dendam bersejarah antara Amalek dan
Israel. Marvin Breneman melihat penolakan Mordekhai untuk memberi hormat pada
Haman sebagai bentuk ketaatan terhadap Taurat, sedangkan kebencian Haman berakar
263
bdk. Agus Santoso, Tafsir Kitab Ester: Akan Ada Pertolongan dan Kelepasan (Bandung: Bina
Media Informasi, 2011), 17.
kepada pencarian kekuasaan.264 Keinginan Haman untuk mendapatkan penghormatan
tertinggi bukan hanya berujung pada dendamnya terhadap Mordekhai, namun juga pada
seluruh bangsa Yahudi. Dalam bagian selanjutnya, pada pasal 3 dikisahkan bagaimana
Haman dan sekutunya membuat surat perintah untuk memusnahkan seluruh umat Yahudi
raja (Ester 6:1-13). Kejatuhan Haman sebelumnya sudah diperingatkan oleh istrinya
Zeresh (Ester 6:13) dan mencapai klimaks pada pasal 7, di mana Haman kemudian
dihukum oleh raja dan disulakan di tiang yang ia siapkan untuk Mordekhai (Ester 7:9).
Meski demikian, karena kematian Haman tidak menghentikan surat perintah untuk
menghapuskan bangsa Yahudi dari seluruh daerah Persia, maka pasal 8-9 menghadirkan
Mordekhai atas seluruh harta Haman serta tambahan frasa “musuh orang Yahudi” bukan
hanya menandai kemenangan Mordekhai atas Haman, namun juga kemenangan umat
Yahudi atas Amalek.265 Dalam bagian ini, kekuasaan tidak lagi berada ditangan Haman
namun berpindah pada Mordekhai. Dan sebagai penguasa baru, Ester dan Mordekhai
sadar bahwa surat perintah yang dikeluarkan Haman bersifat mengikat, oleh sebab itu
264
Mervin Breneman, Ezra, Nehemia, and Esther (Nashville, Tennessee: Broadman and Holman,
1993), 328.
265
Santoso, Tafsir Kitab Ester, 123.
Ester dan Haman juga memberikan perintah baru yang untuk melawan surat perintah
Haman.
Surat perintah Mordekhai memiliki nuansa yang mirip dengan surat perintah
Haman (Ester 8:11-12). Dalam surat perintah ini, Mordekhai mengijinkan bangsa Yahudi
menyerang mereka. Perbedaannya, jika surat Haman lebih bersifat menyerang, surat
Hak untuk mempertahankan diri adalah sesuatu yang signifikan yang tidak hanya
berkaitan dengan respon atas surat Haman namun lebih mengakar pada konsep keadilan
retributif dalam tradisi Hikmat Yahudi.266 Keadilan retributif yang dimaksud di sini
adalah sebuah bentuk keadilan dimana bangsa Yahudi diperbolehkan untuk melakukan
upaya yang sama dengan bangsa-bangsa yang hendak menyerang mereka sebagai bentuk
pertahanan diri. Karena itu, syarat pada perintah Mordekhai membatasi respon pada
mereka yang hendak menyerang atau merampas harta umat Yahudi (Ester 8:11).
dendam, melainkan dalam isu keunggulan politik. 267 Keunggulan politik umat Yahudi
atas Haman dan sekutunya nampak bukan hanya pada pengangkatan Mordekhai, namun
juga pada respon bangsa-bangsa lain yang memutuskan untuk menjadi Yahudi dan
pembesar-pembesar kota yang berbalik mendukung Mordekhai dan bangsa Yahudi (Est
er 9:3). Keunggulan politik Mordekhai bukan sekedar membawa dampak teologis namun
266
Carey A. Moore, Esther (New York: Doubleday, 1971), 81.
267
Linafelt dan Beal, Ruth and Esther, 111.
juga misiologis, dimana banyak orang yang bukan umat Allah kini berubah menjadi umat
Allah.
Menurut Dr. Agus Santoso, semua ini terjadi karena ketakutan Mordekhai telah
menimpa mereka. Kata pakhad pada pasal 8:17 , berarti suatu ketakutan yang timbul
akibat kekuatan dari pihak lain, yakni dari Mordekhai.268 Kata yang sama juga digunakan
dalam 2Tawarikh 20:29 untuk menegaskan deklarasi misiologis pada konsep perang.
dimana perang bukan saja menjadi bagian dari deklarasi kekuatan Allah namun juga
menjadi bagian misiologis untuk memperkenalkan kekuatan Allah pada bangsa lain yang
Ester, seorang wanita yang pada masa itu dianggap lemah justru menyelamatkan
umat Yahudi dari pemusnahan. Hal ini mengingatkan pada cara kerja Allah yang unik
melalui Debora dan Yael. Allah sengaja memilih orang-orang yang lemah untuk
menunjukkan bahwa kemenangan diperoleh karena kuat kuasa Allah dan bukan karena
manusia.
Selain itu, yang menarik adalah bahwa orang Yahudi tidak mengambil sedikitpun
rampasan perang yang mereka harusnya dapat dari bangsa-bangsa yang telah dikalahkan.
Mordekhai dan Ester dengan taat menumpas tanpa mengambil jarahan untuk menekankan
bahwa perang ini tidak mengusung ekonomis.269 Hal ini secara sengaja dicantumkan
untuk menyatakan kontras antara Saul dan Mordekhai. Dalam 1Samuel 15, Saul secara
sengaja membiarkan Agag, raja Amalek, hidup dan mengambil seluruh rampasannya
268
Santoso, Tafsir Kitab Ester, 135.
269
Santoso, Tafsir Kitab Ester, 138.
Motif non-ekonomis dan defensif mendapat penekanan tersendiri dari bagian ini.
Berbeda dengan agresi dalam penguasaan Kanaan dan kisah perang Ahab, perang dalam
kitab Ester menghubungkan dendam pribadi dan dendam sejarah antara Israel dan
Amalek, dan menggenapi perintah Tuhan untuk menghabisi orang Amalek yang gagal
dipenuhi oleh Saul. Dari keterangan ini, tidak berlebihan jika Eugene F. Roop melihat
perang dalam kitab Ester sebagai perang kudus Allah melawan Amalek.270
Kitab Nabi-Nabi
Selain kitab Ester, ada beberapa kitab yang ditulis dalam konteks pembuangan,
yakni kitab nabi-nabi besar (Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, dan Daniel), dan nabi-nabi
kecil (seperti Hagai, Zakharia, dan Maleakhi) yang ditulis pada konteks sesudah
pembuangan.271 Para nabi memegang peranan penting dalam perjalanan umat Allah. Kata
“nabi” berasal dari kata נָבִיאyang berarti “memanggil” atau “seseorang yang
nabi adalah seseorang yang dipilih secara khusus, memiliki relasi yang dekat dengan
Tuhan dan dapat mendengar atau melihat apa yang Tuhan kehendaki untuk kemudian di
sampaikan kepada orang atau bangsa tertentu sebagai sebuah peringatan atau petunjuk
270
Eugene F. Roop, Ruth, Jonah, Esther (Scottdale, Pennsylvania: Herald Press, 2002), 246.
271
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2, 190-91.
272
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2, 183.
273
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2, 184.
kehidupan untuk apa yang akan terjadi saat ini maupun yang akan datang.274 Tugas
istimewa para nabi membawa dua lensa utama dalam menilik peristiwa, yaitu lensa masa
Kitab Yesaya
Kitab Yesaya seringkali menjadi rujukan bagi beberapa bagian penting dalam
Perjanjian Baru.275 Meskipun otoritas Yesaya tidak diragukan oleh para nabi setelah
menjadi salah satu problem yang cukup besar diperbincangkan beberapa kalangan.
Perbedaan pandangan mengenai siapa penulis kitab Yesaya berdampak pada penanggalan
274
Dictionary of Biblical Imagery, s.v. “Prophet, Prophetess”.
275
Bdk. Steve Moyise, Maarten J.J. Menken, Isaiah in the New Testament (New York: T. and T.
Clark International, 2005), 1. Moyise menyatakan bahwa “It is surely no coincidence that the books most
frequently quoted in the Dead Sea Scrolls, namely Psalms, Isaiah and Deuteronomy, are also the books
most frequently quoted in the New Testament.”
276
Lih. J. Alec Motyer, The Prophecy of Isaiah (Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 1993), 25-
26. J. Alec Motyer memilih untuk mempertahankan kepenulisan tunggal dari Yesaya dengan argumen
bahwa “the prevailing spirit of scholarship was disposed to fragmentation rather than to holism.”
Kecenderungan para penafsir modern untuk melihat fragmentasi dari kitab Yesaya telah membuat para
penafsir mengalami bias dalam kepenulisan Yesaya. Hal ini didukung dengan argumen bahwa pembagian
kepenulisan kitab Yesaya menjadi tiga bagian tidak memiliki bukti eksternal yang kuat untuk merujuk
kepada kepenulisan di luar Yesaya, selain itu kepenulisan Yesaya 56-66 dapat dilihat sebagai bagian dari
kepenulisan masa pra-pembuangan dengan memperhitungkan penekanan pada isu penyelewengan agama.
Bdk. Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 303. Di sisi yang lain, penelitian Döderlein
(1789) dan Eichhorn (1783) pada akhir abad 18 yang mencoba membagi kitab Yesaya menjadi dua bagian,
dimana Yesaya 1-39 ditulis oleh Yesaya bin Amos sedangkan Yesaya 40-66 seringkali dilihat sebagai
Deutero-Yesaya yang ditulis kemudian hari oleh penulis lain. Argumentasi ini didasarkan oleh penekanan
teologi yang berbeda, latar belakang atau konteks kesejarahan, serta bahasa dan gaya kepenulisan yang
dinilai cukup berbeda dari dua bagian di kitab Yesaya ini. Bdk. John N. Oswalt, Isaiah (Grand Rapids,
Michigan: Zondervan, 2003), 34. Beberapa ahli tafsir modern, seperti Herman Gunkel dan J. Wellhausen,
juga mengakui bahwa ada kemungkinan kitab Yesaya terdiri dari tiga, bahkan lima bagian yang berbeda.
Mencoba menengahi perbedaan pandangan ini, Von Rad, Allis, dan beberapa penafsir lain mencoba
melihat bahwa adanya kemungkinan Allah juga menggunakan penulis-penulis lain selain Yesaya untuk
menyatakan kehendaknya, sehingga keseluruhan maupun tidaknya Yesaya menulis kitab ini seharusnya
tidak dijadikan ujian ortodoksinya. Lih. Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2, 263-65.
Gordon D. Fee dan Douglas Stuart menyatakan bahwa peran nabi di dalam
Perjanjian Lama berhubungan erat dengan kondisi politik dan sosial kerajaan Israel.
perkembangan pesan teologis277 dari tema hukuman atas Yehuda menjadi janji
Jika Yesaya hanya ditulis oleh satu orang, yaitu Yesaya anak Amos pada abad ke-
8 sM, maka Allah yang hadir sebagai pahlawan perang dalam Yesaya 42:10-43:7 dilihat
sebagai bagian dari nubuat tentang pembuangan dan pembebasan Israel.279 Dengan ini,
Allah mendidik Israel untuk bertobat dari kesalahan mereka. Oswalt menyatakan “The
only way of hope for these people is through the fires of judgement... it is the way of
hope and not the way of destruction, as they feared.”280 Jadi, nubuat tentang pembuangan
Yehuda dan Israel mengalami perubahan besar pada tahun 745-680 sM . Pada
masa ini, kerajaan Asyur tengah berjaya dan bahkan menguasai Siria Utara dan beberapa
hingga bagian-bagian kerajaan Israel dan Yehuda. Dalam kondisi ini, beberapa kerajaan
kecil bergabung untuk menentang dominasi Asyur dalam perang Siro-Efraim, termasuk
277
Gordon D. Fee dan Douglas Stuart, How to Read the Bible for All Its Worth, ed. ke-2 (Grand
Rapids, Michigan: Zondervan, 1993), 186-87.
278
Schmidt, Old Testament Introduction, 212-19.
279
Oswalt, Isaiah, 481.
280
Oswalt, Isaiah, 480.
281
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2, 256-57.
di dalamnya adalah kerajaan Israel. Upaya pemberontakan ini berakhir dengan kekalahan
dan kehancuran dari beberapa kerajaan, termasuk Israel. Kekalahan Israel membawa
King Ahaz of Judah had already started cooperating with the Neo-Assyrians, but the most
dramatic changes came after the collapse of Israel. Wealth began to accumulate in Judah,
especially in Jerusalem, where the kingdom’s diplomatic and economic policies were
determined. Jerusalem became the administrative and religious capital of a powerful
kingdom.282
Kerjasama antara Raja Ahaz dengan Kerajaan Asyur pada masa ini membawa dampak
positif bagi kehidupan Yehuda. Kemajuan ini juga disusul dengan pertumbahan
penduduk dan membangkitkan kondisi Yehuda sebagai salah satu kekuatan politik.283
Oleh sebab itu pada awal hingga pertengahan masa pelayanan Yesaya, khususnya
Perubahan ini bukan hanya membawa dampak sosial-politik, namun juga dampak
arus hilir mudik dan pertemuan dengan kebudayaan lain bertambah. Grabbe
pada politeisme.284 Hal ini diperkuat oleh kesaksian Yesaya, “Orang-orang yang percaya
kepada patung pahatan akan berpaling ke belakang dan mendapat malu, yaitu orang-
282
Eric H. Cline, A History of Ancient Israel: From the Patriarchs Through the Romans
(Washington, DC: The George Washington University Press, 2006), 51.
283
Bdk. Cline, A History of Ancient Israel, 50. Pertumbuhan penduduk ini terjadi akibat adanya
perpindahan penduduk yang mengungsi dari kerajaan Utara menuju Yehuda. Lih. Lester L. Grabbe,
Ancient Israel: What Do We Know and How Do We Know It (London: T. and T. Clark, 2007), 169. Bukti
perkembangan sosial-politik Yehuda nampak dalam penggalian arkeologi kota Yerusalem yang
menunjukkan bahwa bangunan dalam kota Yerusalem dipenuhi dengan pusat perdagangan dan pertokoan.
284
Grabbe, Ancient Israel, 159-61.
orang yang berkata kepada patung tuangan: "Kamulah allah kami!" (Yesaya 42:17). Jadi,
sekalipun kerajaan Yehuda mengalami peningkatan sosial, politik, dan ekonomi di bawah
kekaisaran Asyur, namun terjadi penurunan dalam kesetiaan iman pada YHWH dan
meningkatnya politeisme.
Memahami peningkatan kondisi sosial, politik dan ekonomi ini, nubuat tentang
hadirnya sang Pahlawan Perang yang akan membawa hukuman dan penebusan menjadi
sesuatu yang nampak “asing” bagi umat Yehuda masa itu. Kesadaran ini juga dinyatakan
oleh sang nabi dalam Yesaya 42:25 : “Maka Ia telah menumpahkan kepadanya
kepanasan amarah-Nya dan peperangan yang hebat, yang menghanguskan dia dari
sekeliling, tetapi ia tidak menginsafinya, dan yang membakar dia, tetapi ia tidak
Sekalipun hukuman dari Tuhan dihadirkan, Yehuda tetap tidak akan memahami dan
berubah.285 Tidak mengherankan jika Ivan D. Friesen melihat sikap umat Allah ini
sebagai gambaran tragedi manusia yang tidak belajar dari masa lalu.286
285
John D. W. Watts, Isaiah 34-66 (Waco, Texas: Word Books, 1987), 132.
286
Ivan D. Friesen, Isaiah (Scottdale, Pennsylvania: Herald Press, 2009), 252.
B4. Yesaya 42:21-25 Jalan penghukuman yang harus dilalui Israel
C. Yesaya 43:1-7 Janji keselamatan akan digenapi bagi Umat Perjanjian
yang TUHAN ciptakan.
Dalam bagian ini terlihat gambaran Allah sebagai pahlawan perang secara unik dikaitkan
dengan dua tema yang nampak berkontradiksi, yaitu penghukuman dan janji keselamatan.
Pertemuan dua tema besar antara Allah sebagai sang penghancur dan sang penolong
dalam bagian ini tidak berarti terjadi konflik dalam atribut maupun tindakan Allah,
namun harus dilihat sebagai bentuk keadilan dan kasih setia Allah yang murka atas
Melalui struktur dan latar belakang situasi yang ada, Yesaya 42:10-43:7
Allah sang pahlawan perang. Yesaya 42:10-12 diawali dengan sebuah ajakan
“Nyanyikanlah nyanyian baru bagi TUHAN dan pujilah Dia dari ujung bumi!”
(Yesaya 42:10a). Ajakan ini adalah bagian respon pujian akan janji Allah dalam bagian
sebelumnya. Dalam bagian ini penekanan akan Allah yang mencipta dan menguasai
semesta mendapat penekanan tersendiri. Frasa “ujung bumi”, undangan pada laut, pulau-
pulau, dan seluruh isinya untuk menyembah adalah sebuah bentuk pengakuan akan Allah
yang mencipta dan menguasai semesta. Pengakuan akan Allah semesta ini menjadi
He is the God of the world, and what he is going to do for Judah from has joyous
implications for the whole world. If he can deliver Judah from all its captivities, then
there is no one whose distress and difficulty is beyond his care and his delivering
power.288
287
Motyer, The Prophecy of Isaiah, 324.
288
Oswalt, Isaiah, 479.
Pengharapan akan kemahakuasaan Allah yang akan sanggup melepaskan Yehuda dari
pembuangan menjadi bagian penting dari nubuatan ini.Gambaran Allah sebagai pemilik
semesta mengkerucut menjadi Allah sebagai pahlawan perang. Dalam Yesaya 42:13
bagian ini adalah gambaran Allah sebagai pahlawan perang membawa dua sisi yang
melakukan tindakan yang destruktif dalam ayat 15 sebagai penghukuman atas kebebalan
Yehuda dan penyembahan berhala yang mereka lakukan (Yesaya 39, 41).
Gambaran Allah sebagai pahlawan perang ini berbeda dengan gambaran Allah
yang berperang dalam kisah Keluaran. Sekalipun Motyer mengakui adanya pola
Keluaran dalam bagian ini, namun penggambaran Allah yang mengarahkan pedang pada
atas kesalahan umat-Nya (Yesaya 42:22-25). Dalam hal ini, perang sebagai hukuman
Allah tidak hanya berlaku kepada bangsa lain, namun juga berlaku pada umat perjanjian-
Nya. Hukuman Allah bukan hanya dirasakan secara fisik, namun juga secara spiritual.
dalam ayat 14 dan 22 memberikan nuansa yang sama dengan lagu-lagu ratapan atau
289
Motyer, The Prophecy of Isaiah, 323.
Hukuman ini bukan tanpa tujuan. Penggunaan kata ַאח ִ ֲִ֖ריׁשdalam ayat 14 memiliki
makna lain, yaitu “menyusun rencana,”291 dan berhubungan erat dengan karya Allah
dalam bagian-bagian selanjutnya. Rencana ini tidak berhenti pada penghukuman yang
akan datang, namun juga pada pembebasan atau penebusan. Motyer melihat bahwa
bagian ini bertujuan untuk menggambarkan tindakan penebusan Allah baik secara
menyatakan bahwa sosok Allah sebagai pahlawan perang merupakan bagian dari janji
kedatangan Allah untuk membela umatnya. Sekalipun dalam waktu tertentu sang
namun inilah yang mengontraskan Allah dari ilah-ilah lain.293 Karena itulah kehadiran
Allah sebagai penghancur dan penyelamat tidak dipisahkan dalam bagian ini, namun
justru menjadi sebuah kesatuan utuh dalam upaya Allah menyatakan diriNya dalam relasi
Perjanjian.
290
John D. W. Watts, Isaiah 34-66, 131. Bandingkan dengan Mazmur 22:1-2 “Untuk pemimpin
biduan. Menurut lagu: Rusa di kala fajar. Mazmur Daud. Allahku, Allahku, mengapa Engkau
meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku. Allahku, aku berseru-
seru pada waktu siang, tetapi Engkau tidak menjawab, dan pada waktu malam.” Seruan yang sama juga
diserukan Yesus dalam Mat. 27:46 yang sering dipahami sebagai ekspresi keterpisahan secara spiritual
dengan Allah Bapa yang merupakan bagian dari hukuman dosa yang harus diterima Yesus.
291
Penggunaan kata ini dalam bentuk Hiphil imperfect dapat diartikan menjadi diam, berdiam diri
atau juga merencanakan, menyusun (to contrive).
292
Motyer, The Prophecy of Isaiah, 326.
293
Oswalt, Isaiah, 479.
Eksposisi Yesaya 42:10-43:7 (Versi Deutero-Yesaya)
ditulis setelah masa hidup Yesaya, maka teks ini menggambarkan kondisi pada masa
pembuangan Babel pada tahun 530 sM.294 Jadi, bagian ini justru memberikan penekanan
pada pengharapan dalam Allah saat menjalani pembuangan.295 Tidak ada lagi penekanan
pada nubuatan hukuman, karena hukuman itu sudah dan sedang dijalani. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa janji keselamatan menjadi tema pengajaran yang
Yehuda sebagai salah satu provinsi Asyur, namun kemunduran Asyur juga menyeret
Yehuda pada kondisi krisis. Cline menyebutkan bahwa,setelah kematian Yosia pada
tahun 609 sM, kekalahan Asyur dalam perang melawan Kerajaan Babel membuat Babel
menjadi kekuatan utama di daerah Timur Tengah.296 Kekalahan ini juga membawa
dampak penaklukan Yehuda oleh Babel beberapa tahun kemudian yang mengakibatkan
Babel.
Kehancuran Yehuda membawa dampak psikologis dan tekanan tertentu bagi umat
Allah dalam sikap mereka terhadap kehidupan. Bernard Reich berpendapat bahwa
pembuangan tidak hanya membuat rasa kehilangan dan depresi, namun juga menguatkan
294
John Goldingay dan David Payne, Isaiah 40-55, jilid 1 (New York: T. and T. Clark, 2006), 26-
27. Bdk. John L. McKenzie, Second Isaiah (New York: Doubleday, 1968), xxiv. Yesaya 40-55 mulai
disusun ketika kejatuhan Yerusalem hingga pemerintahan Nebukadnezar di Babilonia pada tahun 587 sM.
295
McKenzie, Second Isaiah, 44.
296
Cline, A History of Ancient Israel, 55.
ikatan identitas keyahudian serta sentralitas Yerusalem.297 Dalam kondisi yang tengah
terpuruk, serta adanya upaya mempertahankan eksistensi dan identitas bangsa, janji
Dalam Yesaya 42:10-43:7, suara pengharapan dibawa melalui kehadiran Allah sebagai
pahlawan perang. Cyril dari Aleksandria melihat bahwa nyanyian baru dalam Yesaya
42:10-25 ini menjadi sebuah pengingat akan tindakan Allah sebagai pahlawan perang
yang membebaskan Israel dari Mesir.298 Tindakan pembebasan Allah dari Mesir di masa
peperangan dari Allah Yahweh.299 Motif perang dalam bagian ini lebih merujuk pada
penghukuman Allah telah mereka terima dan sedang mereka jalani. Oleh sebab itu,
kegairahan serta tema perang yang diangkat oleh Yesaya 42:10-25. Dan juga menyadari
adanya konteks sejarah di masa pembuangan serta keunikan genre kitab nabi menjadi
sebuah pertimbangan utama untuk memasukan bagian ini dalam penelitian mengenai
297
Bernard Reich, A Brief History of Israel. Ed. ke-2 (Washington, DC: George Washington
University Press, 2008), 6.
298
Robert Louis Wilken, Isaiah (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 2007), 300.
299
Claus Westermann, Isaiah 40-66 (Philadelphia, Pennsylvania: The Westminster Press, 1969),
104.
baru ALLAH atas seluruh ciptaan.300 Pemerintahan baru inilah yang akan mengeliminasi
pemerintahan Babel atas Israel. Dalam konteks pengharapan akan hadirnya pemerintahan
dahsyat dan penuh kuasa sebagai dasar dari kehidupan dan pengharapan Israel dalam
dunia.301 Pengharapan ini seringkali dikaitkan dengan kehidupan politik dan sosial Israel
untuk menegakkan kembali kerajaan Daud (Amsal 9:11-12). Namun Hanson melihat
bahwa ekspresi sastra dan konteks pembuangan lebih merujuk pada nuansa spiritual
dibanding politik.302 Hal ini terlihat dari nubuat mesianik tentang hamba Allahyang
menegakkan Taurat dalam bagian sebelumnya dengan penekanan pada Yesaya 42:17.
Konsep perang secara spiritual juga berhubungan dengan isi nyanyian tentang Allah sang
kosmik (Yesaya 42:14-16).303 Sebab itu, konsep perang dalam bagian ini lebih dilihat
kekuatan jahat. Dalam narasi penciptaan dari Mesopotamia kuno, kekacauan seringkali
digambarkan sebagai ekspresi kehadiran Tiamat sang dewa air.304 Hal ini dapat dilihat
300
Walter Brueggemann, Isaiah 40-55 (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox, 1998), 45-
46.
301
Brueggemann, Isaiah 40-55, 46.
302
Paul Hanson, Isaiah 40-66 (Louisville, Kentucky: John Knox, 1995), 48.
303
Joseph Blenkinsopp, Isaiah 40-5 (New York: Doubleday, 2002), 214-215.
304
Longman, Panorama Kejadian, 93.
juga pada bentuk subversif dari konsep penciptaan dalam Kejadian 1:2, di mana Allah
sang pencipta hadir mengatasi kekacauan dan melayang-layang di atas permukaan air.
Hal ini menunjukkan bahwa Allah sang pencipta semesta adalah Allah yang juga hadir
sebagai pahlawan perang. Konsep penaklukan atas kekacauan dan ketidakberaturan ini
hukuman yang sedang dijalani. Dalam masa pembuangan ini, kondisi secara politik dan
sosial justru tidak terlalu diperhatikan oleh penulis Yesaya. Penulis justru secara khusus
mengangkat gambaran hamba yang buta dan tuli untuk menunjukkan problem spiritual
Israel sebagai hamba Allah yang seharusnya menjadi penerima suara Allah dan saksi dari
keajaiban Allah, namun justru ada dalam kondisi terbuang, terhilang dan terpenjara.305
Sekalipun hukuman Israel bersifat sosial dan politik, namun penulis Yesaya memahami
bahwa permasalahan ini berakar pada problem spiritual. Sebab itu, problem spiritual
Kehadiran Allah sebagai pahlawan perang bukan hanya menyadarkan akan titik
awal permasalahan yang dihadapi, namun juga membawa kepada janji akan solusi
spiritual. Dalam Yesaya 43:1-7 janji ini dinyatakan secara tegas lewatfrasa “Tetapi
sekarang,...” sebagai penekanan atas perubahan kondisi atau kontras yang akan hadir.
Wastermann bahkan menjelaskan bahwa frasa ini merupakan bentuk deklarasi langsung
atas keselamatan yang sudah dimulai pada masa ini dan akan digenapi dalam
305
Hanson, Isaiah 40-66, 54.
kepenuhannya di masa akan datang.306 Jadi ini bukan sekedar janji, namun sebuah
realisasi bertahap yang terus digarap Allah hingga pada kesempurnaannya nanti.
Deklarasi karya keselamatan Allah bukan hanya merujuk pada hal yang akan
datang, namun juga pada kisah keluaran dari Mesir (Yesaya 43:3). Hal ini memberikan
nuansa bahwa penebusan yang Allah lakukan bukanlah hal yang asing bagi Allah dalam
perjanjianNya dengan Israel. Westermann melihat bahwa rujukan pada peristiwa keluaran
adalah sebuah cara penulis untuk menunjukkan relasi intrinsik antara Yahweh dan Israel
dalam relasi perjanjian yang khusus.307 Dalam relasi perjanjian inilah kehadiran Allah
sebagai pahlawan perang dapat melindungi Israel. Sebaliknya, diamnya sang Pahlawan
perang dalam ayat 14 menunjukkan rusaknya relasi personal yang ada antara Yahweh dan
Israel. Dengan demikian maka dapat dilihat bahwa kaitan antara pasal 42:10-25 dengan
Keterkaitan antara pasal 42:10-25 dengan pasal 43:1-7 bukan hanya terdapat pada
pribadi Allah sebagai pahlawan perang namun juga hadir dalam solusi yang Allah
berikan. Yesaya 43:4a menyatakan kontras dengan Yesaya 42:18, di mana Israel
dipanggil dengan sebutan tuli dan buta. Dalam bagian ini, ketidaklayakan Israel
diperhadapkan secara unik dengan cara pandang Allah dalam kasih-Nya yang besar pada
Israel. Gambaran ini merupakan prinsip mendasar dari konsep pilihan dan keselamatan di
dalam Alkitab.308 Pemilihan Allah atas Israel jelas bukan disebabkan oleh kualitas atau
306
Westermann, Isaiah 40-66, 115.
307
Westermann, Isaiah 40-66, 117.
308
McKenzie, Second Isaiah, 50. Bdk. Westermann, Isaiah 40-66, 118. Westermann memberikan
penegasan dengan melihat frasa “berharga dimata-Ku” sebagai sebuah bentuk pemilihan Allah yang
otoritatif dalam kasih karunia-Nya bagi Israel.
perbuatan Israel. Frasa “tuli” dan “buta” menggambarkan banyak ketidakmampuan dan
keputusasaan dalam pembuangan. Oleh sebab itu, Hanson melihat bahwa keterkaitan
antara kedahsyatan Allah sebagai pahlawan perang dan kasih Allah yang besar kepada
umat yang tidak layak merupakan bentuk pemulihan spiritual yang tepat bagi umat yang
Selain itu, hancurnya kerajaan Israel dan Yahudi juga membentuk konsep
perjanjian yang lebih bersifat universal.310 Yesaya 42:10-12 dan Yesaya 43:1-7
menyatakan Allah sebagai penguasa semesta yang berkuasa atas alam dan atas kerajaan-
kerajaan dan membuktikan bangkitnya pemerintahan baru yang bersifat lebih universal.
Oleh sebab itu, batasan politik tidak dapat lagi dijadikan acuan atas keselamatan dan
penegakan kekuasaan yang Allah janjikan. Sebaliknya, perang dalam Yesaya 42:10-43:7
Kitab Zakharia
Perjalanan kehidupan Israel ternyata tidak hanya pada masa pembuangan. Pada
Pada tahun pertama zaman Koresh, raja negeri Persia, TUHAN menggerakkan hati
Koresh, raja Persia itu untuk menggenapkan firman yang diucapkan oleh Yeremia,...
Maka berkemaslah kepala-kepala kaum keluarga orang Yehuda dan orang Benyamin,
serta para imam dan orang-orang Lewi, yakni setiap orang yang hatinya digerakkan Allah
untuk berangkat pulang dan mendirikan rumah TUHAN yang ada di Yerusalem.
(Ezra 1:1-5)
309
Hanson, Isaiah 40-66, 63-65.
310
Blenkinsopp, Isaiah 40-55, 116-17.
Hal ini menunjukkan bahwa kisah hidup umat Allah bergerak dari masa pembuangan
menuju masa paska pembuangan di zaman Ezra dan dilanjutkan pada masa Nehemia.
Menurut catatan sejarah, peristiwa ini terjadi akhir abad kelima sebelum Masehi.311 Jika
demikian maka bisa dikatakan bahwa peristiwa ini terjadi dalam jeda satu generasi
perubahan yang terjadi akibat peraturan dari Raja Koresy membuat beberapa perubahan
Perubahan yang terjadi dalam masa ini antara lain adalah masalah penandaan diri.
Grabbe dalam penelitiannya mengenai teks-teks kuno di luar Alkitab yang ditulis sekitar
abad 4 sM hingga abad 1 M menemukan bahwa hampir tidak ada rujukan atas nama
Israel ataupun Yehuda, meskipun demikian beberapa teks ditemukan menggunakan kata
Yahudi untuk menandai orang-orang yang tersisa ini. Sedangkan secara khusus
penggunaan nama Israel pada tulisan para nabi masa paska pembuangan seperti Ezra,
Nehemia, Zakharia, dan yang lain memberi pemaknaan baru atas nama Israel yang lebih
merujuk pada orang-orang Yehuda yang bertahan dalam masa pembuangan dan kembali
ke Yerusalem.312 Dengan melihat kenyataan ini, maka nampak ada upaya dari umat Allah
yang tersisa ini untuk menandai diri mereka terlepas dari pengakuan bangsa-bangsa lain.
Penggunaan nama Israel juga bukan hanya memberikan sinyal akan upaya
penandaan diri, namun juga membentuk identitas baru dalam kaitannya dengan
311
Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 202.
312
Lester L. Grabbe, “Israel’s Historical Reality After the Exile”, dalam The Crisis of Israelite
Religion: Transformation of Religious Tradition in Exilic and Post-Exilic Times, ed. Marjo.C. A. Korpel
dan Bob Becking (Leiden: Brill, 1999), 12-13.
Perjanjian Allah. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan kata Israel dalam narasi kitab 1
Makabe yang menekankan identitas kaum yang tersisa ini sebagai umat perjanjian
Allah.313 Pembentukan identitas sebagai umat perjanjian adalah sesuatu yang penting
dalam kondisi sosial bangsa Israel. Kehancuran kerajaan Daud dan pengalaman
pembuangan Babel membuat Israel beralih identitas dari “milik Allah” menjadi
The ruination of the temple in Jerusalem, that functioned as the central sanctuary for the
Yahwistic religion, and the collapse of the Davidic dynasty, that functioned as a symbol
of divine presence and protection, should be seen as a fundamental breach in the
Yahwistic symbol system.315
Kehancuran yang terjadi bukan hanya mengubah identitas nasional namun juga identitas
keagamaan. Oleh sebab itulah, penegasan akan identitas baru sebagai umat Israel menjadi
pengharapan tertentu dalam benak Israel. Pengharapan ini dimunculkan dalam ungkapan
menyatakan bahwa refleksi pemikiran masa paska pembuangan lebih bersifat visioner
dimana keputusasaan yang muncul karena kondisi yang jahat saat ini akan berganti
313
Grabbe, “Israel’s Historical Reality After the Exile”, 13.
314
Yehezkiel 19:12 menggunakan kata “tercabut” untuk menggambarkan identitas Israel yang
baru. Dan dalam Yeremia 42-44 digunakan frasa “orang asing” untuk menggambarkan kondisi Israel di
pembuangan.
315
Bob Becking, “Continuity and Discontinuity after the Exile: Some Introductory Remarks”,
dalam The Crisis of Israelite Religion: Transformation of Religious Tradition in Exilic and Post-Exilic
Times, ed. Marjo. C. A. Korpel dan Bob Becking (Leiden: Brill, 1999), 4.
dengan pengudusan dan penegakan kembali kerajaan Allah.316 Salah satu bagian yang
mencerminkan pemahaman ini terdapat dalam Zakharia 14, dimana teks mengenai perang
Kitab Zakharia menurut Jerome disebut sebagai the most obscure book of the
Hebrew Bible.317 Hal ini berhubungan dengan kepenulisan kitab Zakharia yang dipahami
memiliki keperbedaan periode antara kepenulisan Zakharia 1-8 dengan Zakharia 9-14.
Untuk kepenulisan Zakharia 1-8 Longman dan Dillard melihat bahwa kitab ini
mengambil latar belakang kesejarahan pada masa Zakharia dan Hagai hidup, yaitu pada
masa kembalinya Israel ke tanah Kanaan, sekitar tahun kedua pemerintahan raja Darius
(520-519 sM), untuk membangun kembali bait Allah yang telah hancur.318 Sedangkan
Tidaklah mungkin menentukan secara pasti apakah ada satu, dua, tiga atau lebih banyak
pengarang yang menulis Zakharia 9-14, namun berdasarkan bahasanya, maupun teologi
dan latar belakang sejarahnya, secara umum disetujui bahwa pengarang pasal-pasal ini
bukanlah Nabi Zakharia.319
Beberapa penafsir seperti Bernard Stade, Rubikam, dan Robert Pfeiffer memperkirakan
bahwa Zakharia 9-14 ditulis pada abad 3 sM hingga akhir abad 1 sM, hal ini didasarkan
pada adanya unsur apokaliptik pada bagian kedua dari kitab Zakharia ini.320
316
Ralph L. Smith, Micah – Malachi (Waco, Texas: Word, 1984), 285.
317
Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 484.
318
Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 486.
319
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2, 441.
320
Merril F. Unger, Zechariah: Prophet of Messiah’s Glory (Grand Rapids, Michigan: Zondervan,
1979), 12-13.
Perbedaan waktu kepenulisan memunculkan penekanan yang berbeda dari dua
bagian ini. Penekanan pada Zakharia 1-8 banyak berhubungan dengan masalah
pembentukan kembali bait Allah dan komunitas yang kembali dari pembuangan Babel,
sedangkan Zakharia 9-14 justru dilihat lebih banyak menekankan pada penglihatan dan
nubuatan.321 Smith menambahkan bahwa ada perubahan yang tiba-tiba dari Zakharia 1-8
ke Zakharia 9-14 dimana penekanan mengenai perang menjadi salah satu tema utama di
pembuangan dan adanya tema perang yang coba diangkat dalam bagian ini menjadi
alasan untuk memilih Zakharia 14 menjadi bagian penelitian untuk memahami konsep
Eksposisi Zakharia 14
Pesan dari kitab Zakharia secara khusus ditujukan kepada umat Allah yang tersisa
di Yerusalem atau yang sering disebut “remnant”.323 Kelompok ini secara khusus
membangun kohesi antar anggotanya dengan membangun sistem sosial dan keagamaan
tersendiri. Hal ini nampak dari penggunaan bahasa keagamaan dan tema perang serta
pengharapan mesianik yang muncul dalam literatur sezaman. Menguatkan argumen ini,
Smith mencatat bahwa “The language mainly cultic from the Royal-Zion festival
321
Bdk. Ralph L. Smith, Micah – Malachi, 242. Di sisi lain, Lazor melihat bahwa bagian Zakharia
9 nampaknyamencoba kembali kepada gagasan tentang Allah yang berperang. Lasor, Hubbard, dan Bush,
Pengantar Perjanjian Lama 2, 449.Sedangkan Unger melihat bahwa bagian Zakharia 9-14 lebih mencoba
menekankan mengenai janji Mesianik dan penegakan kembali Kerajaan Allah di dunia. Merrill F. Unger,
Zechariah, 151.
322
Smith, Micah - Malach, 242-249.
323
Edgar W. Conrad, Zechariah (Sheffield, South Yorkshire: Sheffield Academic, 1999), 192.
reflecting the battle of Yahweh with his enemies, the theophany, victory and the
() ָלכַד, “dilenyapkan, dipotong” ()כ ַָרת, atau “pembuangan, dibuang” ( )ּגֹולָהmemberikan
kaitan erat antara Zakharia 14 dengan pemahaman perang dalam bagian Alkitab yang
lain.
eskatologis.325 Hal ini ditandai dengan seruan “lihatlah! Akan datang hari (yang
hari Tuhan dalam Yoe1:15 dan 2:1 yang merujuk kepada kehancuran atau malapetaka
besar.326 Kehancuran ini terjadi bukan dari sisi bangsa-bangsa di luar Israel, namun justru
diperangi, dihancurkan, dan dirampas oleh bangsa-bangsa lain. Hal ini menurut Boda
merujuk kepada peristiwa yang telah lalu tentang Yerusalem dan Babilonia, dengan
pembuangan dan orang-orang “sisa” (remnant) yang akan tetap tinggal di Yerusalem.327
Bagian ini menurut Unger memberikan ringkasan penjelasan akan kondisi latar
324
Smith, Micah - Malach, 285.
325
Penggunaan kata eskatologis dalam bagian ini memiliki makna “berkaitan dengan hari, masa,
atau peristiwa yang akan datang.” dan tidak selalu berhubungan dengan konsep akhir zaman.
326
Mark J. Boda, Haggai, Zechariah (Grand Rapids, Michigan: Zondervan 2004), 522.
327
Boda, Haggai, Zechariah, 523.
kesejarahan yang terjadi di masa lalu hingga masa kini dari pembaca kitab Zakharia
14.328
penulis bagian ini hendak memberikan penekanan psikologis akan kedekatan berita yang
hendak disampaikan dengan kehidupan nyata dari pembaca kitab ini. Kondisi yang terjadi
dalam Zakharia 14:1-2 bergerak menuju pengharapan pada Zakharia 14:3. Dalam ayat 3
muncul jaminan akan tindakan Allah di masa yang akan datang tentang bagaimana Allah
hadir dan maju berperang untuk melawan bangsa-bangsa yang memerangi umat-Nya.
“kaki-Nya akan berjejak” (Zakharia 14:4) yang menunjukkan kehadiran yang nyata dari
Allah bagi umatNya.329 Conrad menggambarkan kehadiran Allah dalam bagian ini
dengan merujuk pada epic Yunani tentang Colossus of Rhodes, pantung Dewa Matahari
yang berdiri di depan kota Rhodes sebagai pelindung kota Rhodes.330 Demikian juga
Allah akan berdiri di depan kota Yerusalem dan menjadikan Yerusalem sebagai kota
perubahan waktu, musim, dan kondisi geologis (Zakharia 14:6-11). Smith mengkaitkan
bagian ini dengan janji Allah dengan Nuh (Kejadian 8:22) janji ini berhubungan dengan
jaminan akan regulasi natural dari kemanusiaan. Regulasi ini dibutuhkan untuk memberi
328
Unger, Zechariah, 239.
329
Unger, Zechariah, 246.
330
Conrad, Zechariah, 192.
jaminan dari kehancuran besar dan kematian yang disebabkan oleh dosa manusia. Dan
saat hari Tuhan tiba, regulasi itu tidak dibutuhkan lagi sebab kutuk dosa sudah
dilenyapkan dan diganti dengan hari-hari terang (Wahyu 21:22-25).331 Hal ini merujuk
pada bentuk pemerintahan Allah yang baru yang akan ditegakkan atas seluruh ciptaan
(Zakharia 14:9).
Gambaran Allah yang berperang kembali muncul pada ayat 12-15. Dalam bagian
ini, kata “tulah” ( ) ַמּגפָהyang digunakan mengingatkan pembaca kepada peristiwa dalam
Keluaran 7-12 tentang bagaimana Allah berperang bagi Israel melalui hukumannya
kepada Mesir untuk membawa pembebasan bagi umat Israel. Dalam pola yang sama,
Allah menggunakan tulah ini untuk membuat tiap bangsa yang menyerang Yerusalem
akan saling berperang dan menghancurkan.332 Sekali lagi, dalam bagian ini perang
hukuman Allah dalam bagian ini, nampaknya bukan hanya bersifat politik atau
nasionalisme namun lebih bersifat hukuman kosmik. Hal ini berkaitan dengan ayat 15
dimana binatang-binatang juga mengalami tulah yang sama yang harus diderita oleh
331
Smith, Micah - Malach, 288. Gambaran hari-hari terang merupakan gambaran eskatologis
mengenai kehadiran kerajaan Allah yang baru dimana Allah memerintah dalam kemuliaanNya. Tidak ada
lagi pergantian siang dan malam, ataupun musim menuai dan menabur, sebab pada hari Tuhan segalanya
telah menjadi sempurna.
332
Smith, Micah - Malach, 291. Sedangkan untuk ayat 14, frasa “Yehuda akan berperang
melawan Yerusalem” dalam bahasa aslinya dapat diartikan dalam dua makna against atau in. Beberapa
penafsir seperti Smith melihat ayat ini lebih cocok ditafsirkan bahwa Yehuda akan berperang di Yerusalem
melawan bangsa-bangsa lain. Bdk. Boda, Haggai, Zechariah, 528. Pemahaman yang sama juga dimengerti
oleh Boda, dimana Yehuda akan berperang mendukung Yerusalem melawan bangsa-bangsa lain.
bahwa peperangan dalam bagian ini bukan hanya berhubungan dengan hukuman bagi
Kemenangan Allah dan penghukuman atas dunia membawa peralihan pada tema
misi. Dalam bagian ini, kemenangan Allah dalam perang mengundang semua bangsa-
bangsa untuk datang dan sujud menyembah Allah di Yerusalem (Zakharia 14:16).
Bangsa-bangsa ini bukan hanya sekedar datang, mereka juga mengambil bagian dalam
umat Allah, menjadi umat Allah. Penulis Zakharia menggunakan kalimat “merayakan
hari raya Pondok Daun” (Zakharia 14:16) untuk menunjukkan bagaimana kehadiran
bangsa-bangsa lain bukan hanya untuk menyerahkan upeti namun juga untuk masuk
dalam penyembahan kepada Allah yang benar. Smith melihat bagian terakhir dari pasal
14 ini sebagai gambaran dunia setelah Armageddon dimana Allah kemudian akan
kuda, yang merupakan simbol kehadiran Pahlawan perang. Gambaran ini juga muncul
dalam literatur apokaliptik, seperti dalam Wahyu 19, yang merujuk pada konsep Allah
sebagai Pahlawan perang. Kepulangan Pahlawan perang ini menunjukkan sebuah bentuk
pemerintahan yang baru. Smith mengkaitkan bentuk pemerintahan yang baru ini dengan
ayat 21 yang menunjukkan bagaimana pemerintahan Allah kini tidak lagi berbasis kepada
333
Smith, Micah - Maleach, 292.
334
Smith, Micah - Maleach, 293.
“Maka segala kuali di Yerusalem dan di Yehuda akan menjadi kudus bagi TUHAN
semesta alam; semua orang yang mempersembahkan korban akan datang mengambilnya
bukan hanya menegakkan pemerintahan Allah atas semesta, namun juga membawa
semesta untuk menerima dan menikmati berkat Allah.335 Hal ini akan menggenapi Janji
Allah kepada Abraham dan keturunannya untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa.
Dengan demikian, gambaran Allah sebagai Pahlawan perang dalam bagian ini justru
Kitab Sastra
Kitab Mazmur
sejarah namun perbedaan konsep perang dari genre-genre yang berbeda untuk melihat
keragaman teologi yang berkembang. Dengan memahami bahwa keragaman genre tulisan
dalam Alkitab juga memberikan penekanan makna teologis tertentu, maka bagian ini
penulis akan mencoba menelusuri juga konsep perang dalam genre sastra. Kitab-kitab
sastra dalam Perjanjian Lama seringkali dipahami berisi kitab Ayub, Mazmur, Amsal
Pengkotbah, dan Kidung Agung. Salah satu yang terbesar dari kelima kitab ini adalah
kitab Mazmur. Longmann menyatakan bahwa Mazmur adalah “the heart of the Old
Testament”.336 Hal ini tidak berlebihan sebab di dalam kitab Mazmur termuat bukan
335
Conrad, Zechariah, 197.
336
Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 237.
hanya doa-doa dan pujian-pujian yang indah, namun juga konsep teologis yang
mendalam mengenai Allah, ciptaan, dan segala tindakan Allah dalam dunia ini. Oleh
karena itulah, penulis merasa penting untuk mengikutsertakan kitab Mazmur sebagai
Secara umum kitab Mazmur dipahami memiliki beberapa jenis nyanyian, yaitu
Nyanyian pujian, Keluhan Umat, Keluhan Pribadi, Nyanyian Syukur, Mazmur Kerajaan,
dan Mazmur Hikmat.337 Osborne menambahkan dengan beberapa Mazmur perayaan dan
Mazmur yang bersifat mengutuk.338 Setiap Mazmur ini memiliki ciri khas dan penekanan
yang berbeda-beda. Salah satu ciri khas kuat dari Mazmur yang menekankan kepada
perang juga muncul dalam beberapa bentuk mazmur pujian maupun mazmur ratapan,
berhubungan dengan kemenangan atas perang maupun penindasan yang di alami akibat
musuh-musuh.
Mazmur maka penulis hendak memilih salah satu bagian saja yang terdapat dalam
Mazmur 46. Mazmur 46 ini merupakan salah satu mazmur yang populer dan sudah
dikenal oleh jemaat Kristen cukup lama. Gillingham menyatakan bahwa “Psalm 46 was
popular, especially in its form in the Scottish Metrical Psalter, produced by John Knox
shortly after the founding of the Church of Scotland in 1560.”340 Selain itu, Weiser juga
337
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2, 44-58.
338
Grant R. Osborne, Hermeneutika Spiral (Surabaya: Momentum, 2012), 274-75.
339
Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2, 56-57.
340
Susan Gillingham, Psalms Through the Centuries, jilid 1 (Oxford: Blackwell, 2008), 156.
menyatakan bahwa Mazmur 46 merupakan inspirasi Luther sehingga ia menciptakan lagu
‘A safe stronghold our God is still’.341 Selain terkenal dan memberikan inspirasi bagi
tokoh besar gereja, Mazmur 46 merupakan mazmur yang unik dan rumit. John Eaton
melihat Mazmur ini sebagai refleksi dari drama sakramental dari festival musim gugur,
dimana kekuatan jahat atau kekacauan bertemu dengan kehadiran Allah sebagai bagian
dari pengalaman eskatologis yang melahirkan pujian dan ucapan keyakinan.342 Dalam
bagian ini, secara unik penulis menyusun Mazmur ini dalam tiga lapis yang berbeda dan
di dalam setiap lapis ini gambaran penaklukan dan peperangan muncul di masing-masing
tema dengan cara yang unik dan penggunaan bahasa metaforikal yang menarik.
Eksposisi Mazmur 46
Arthur Weiser mengusulkan pembagian umum yang melihat mazmur ini dalam 3 bagian
besar.
Pembagian ini mengikuti “sela” yang biasa muncul dalam puisi Ibrani untuk memberikan
tanda berakhirnya satu bait. Struktur ini memberikan penekanan pada bait ketiga sebagai
341
Arthur Weiser, The Psalms (Philadelphia, Pennsylvania: The Westminster Press, 1962), 366.
342
John Eaton, The Psalms (London: T. and T. Clark International, 2003), 190.
343
Arthur Weiser, The Psalms (Philadelphia, Pennsylvania: The Westminster Press, 1962), 367-
73.
pesan utama dari Mazmur 46. Sedangkan, Samuel Terrein melihat bahwa bait satu dan
dua dari puisi ini merupakan bagian yang bersifat khiastik sehingga Terrin membagi
Dalam bagian ini, Terrin melihat bahwa penekanan Mazmur ini terletak pada tema kota
Mazmur 46 diawali dengan keterangan “Dari bani Korah. Dengan lagu: Alamot.”
(Mazmur 46:1 ITB). Keterangan ini memberikan indikasi latar kesejarahan. Abraham Ibn
Ezra menyatakan bahwa lagu ini diciptakan oleh anak-anak Korah yang hidup sejaman
dengan raja Hizkia hingga masa Sanherib. Puisi ini berbicara mengenai kondisi
Yerusalem dalam masa-masa perang.345 Pada masa Hizkia, kerajaan Yehuda dikepung
oleh beberapa kerajaan besar seperti Asyur dan Mesir. Meskipun demikian, Yehuda
memiliki kubu-kubu pertahanan yang kuat mengelilingi kota Yerusalem. Kubu-kubu ini
344
Samuel Terrien, The Psalms: Strophic Structure and Theological Commentary (Grand Rapids,
Michigan: Eerdmans, 2003), 373-74.
345
Abraham Ibn Ezra, Commentary On The Second Book of Psalms: Chapter 42-72, terj. H.
Norman Strickman (Boston, Massachusetts: Academic Studies, 2009), 28.
dibangun abad 9-8 sM dan mengalami perkembangan hingga masa Hizkia.346 Gambaran
kota dan geologis penulis inilah yang nampaknya digunakan untuk menyampaikan berita
Pengakuan ini menyatakan bahwa Allah adalah tempat perlindungan dan kekuatan (ayat
2a). Penggunaan kata ַמ ְחסֶּהyang memiliki makna “aman/kuat, tempat yang tidak dapat
diakses” merujuk kepada metafora suaka atau tempat perlindungan.347 Metafora ini
mengarah pada kondisi geografis Zion yang dikelilingi barisan perbukitan dan gunung
dengan dialiri oleh beberapa aliran sungai membuat Zion menjadi tempat yang cukup
subur dan juga tepat sebagai benteng pertahanan. Kraus menambahkan bahwa kondisi
bertahktanya Allah yang Maha Tinggi yang dari sana kegembiraan dan berkat
mengalir.348
Selain itu, frasa “penolong dalam kesesakan sangat terbukti” (Mazmur 46:1b)
memberikan indikasi akan adanya pengalaman di masa lalu yang menjadi alasan dari
pengakuan keyakinan Israel pada Yahweh. Peter C. Craigie mengkaitkan frasa ini dengan
kondisi kekacauan yang digambarkan melalui gejolak alam (ayat 3-4) sebagai gambaran
dari bahasa perang Allah yang juga muncul dalam Kejadian 1:1-2 dan Keluaran 15 ketika
Allah menciptakan langit bumi dan mengatasi kekuatan Primodial water sebagai
346
Mario Liverani, Israel’s History and the History of Israel (London: Equinox, 2003), 136.
347
Hans Joachim Kraus, Psalms 1-59 (Minneapolis: Fortress, 1993), 461.
348
Kraus, Psalms 1-59, 462.
lambang kekacauan, juga ketika Allah membebaskan dan membawa Israel keluar dari
Mesir.349 Pengalaman ini menghadirkan dua gambaran Allah di masa lalu, yaitu Allah
Gambaran Allah sebagai pencipta dan pahlawan perang ini dipertajam dengan
gambaran ketiga mengenai Allah sebagai Raja. Konsep Allah sebagai Raja diwakili oleh
frasa “Kota Allah, kediaman Yang Mahatinggi” (Mazmur 46:5). Richard J. Clifford
bagaimana El juga memerintah sebagai raja di atas bukit dengan dialiri oleh dua sungai
besar.350 Perbandingan ini memberikan pemahaman bahwa Allah Yahweh adalah Raja
bagi Israel. Ia memerintah dari Zion, kota suci Allah, pusat dari dunia.
Kehadiran pemerintahan Allah bukan tanpa cobaan dan masalah. Dalam ayat ke-7
kerajaan goncang” (Mazmur 46:7) dikaitkan dengan kekacauan alam yang ada dalam
bagian sebelumnya (ayat 3-4) untuk menunjukkan perlawanan atas pemerintahan Allah
bukan hanya bersifat kekacauan alam namun juga perlawanan dari bangsa-bangsa.351
Perlawanan ini ditanggapi dengan serius oleh Allah. Penulis mazmur ini menggunakan
bukan hanya menunjukkan kehadiran Allah namun juga tindakan aktif Allah dalam
349
Peter C. Craigie, Psalms 1-50 (Waco, Texas: Word Books, 1983), 344.
350
Richard J. Clifford, Psalms 1-72 (Nashville, Tennessee: Abingdon, 2002), 228.
351
Craigie, Psalms 1-50, 345.
352
John Goldingay, Psalms, jilid 2 (Grand Rapids, Michigan: Baker Academic, 2007), 70.
Sebaoth menggemakan kembali nada peperangan kuno dimana Allah dari tabut
Perjanjian itu hadir dan bertarung dalam pertempuran bagi Israel.353 Hal ini menunjukkan
bahwa kondisi dalam Mazmur 46:1-8 bukan sekedar masalah perlindungan dari bahaya,
namun gambaran dari kondisi perang Allah melawan segala hal yang hendak
Gambaran pertempuran Allah bagi Israel ini ditutup dengan kemenangan yang
Allah capai dan kehadiran kerajaan damai dari Allah (ayat 9-11). Kemenangan ini diraih
melalui penaklukan total yang Allah kerjakan terhadap musuh-musuh Israel. Penaklukan
ini menjadi tanda hadirnya kedamaian yang kekal. Clifford menyatakan bahwa
kereta-kereta perang dengan api!” (Mazmur 46:9) merujuk kepada kedamaian yang Allah
peroleh melalui jalan perang.354 Konsep ini berhubungan dengan kondisi politik antar
negara yang terjadi dalam dunia kuno dimana kedamaian yang dihasilkan atas dasar
kerelaan untuk bekerjasama dan tidak saling menyerang hampir tidak ditemukan. Jika
merujuk kepada dokumen-dokumen perjanjian masa itu, seperti yang umum dibaca
dalam dokumen Hittite, maka kondisi damai tetap hadir berdasarkan penaklukan dari
kemenangan inilah maka hanya Allah Yahweh saja yang layak menerima hormat dan
Dari penjelasan di atas maka dapat dilihat bagaimana konsep perang digunakan
353
Weiser, The Psalms, 372.
354
Clifford, Psalms 1-72, 229.
perlindungan Allah. Mazmur ini menggemakan lagi pemahaman akan Allah sebagai
pahlawan perang Israel yang hadir dalam sejarah kehidupan Israel. Mulai dari
membebaskan Israel dari Mesir, membawa Israel melalui padang gurun, hingga menjaga
Israel di tanah Perjanjian menjadi bukti nyata dan alasan kuat dari kepercayaan Iman
Israel. Selain itu, yang unik dari mazmur ini adalah bagaimana perang dipahami sebagai
jalan mencapai pendamaian. Karena itu perang Allah adalah sesuatu yang sifatnya tidak
terhindarkan dan hanya melaluinya kerajaan Allah yang damai itu dihadirkan.
Perjanjian Lama, namun juga terdapat dalam beberapa bagian di Perjanjian Baru. Kisah-
kisah perang Gog Magog, Harmageddon, serta konsep mengenai peperangan rohani
menjadi bagian dari pemahaman perang dalam Perjanjian Baru. Dengan memahami
bahwa konsep perang juga terdapat dalam Perjanjian Baru, maka penulis juga
memasukkan beberapa bagian dalam teks Perjanjian Baru untuk diteliti lebih lanjut.
Teks-teks seperti Matius 24:3-14, Efesus 6:10-20, Wahyu 16 dan Wahyu 20 menjadi
teks-teks yang dipilih penulis untuk memahami konsep perang dalam Perjanjian Baru.
Kitab Injil
Injil Matius
Perjanjian Baru merupakan kumpulan kitab yang memiliki beberapa genre tulisan
yang berbeda-beda, salah satu jenis tulisan dalam Perjanjian Baru adalah Injil. Gordon
Fee menjelaskan bahwa Injil merupakan salah satu jenis sastra yang unik, dimana Injil
merupakan gabungan dari biografi, narasi, dan khotbah yang mencoba menyatakan
kebenaran sejarah serta pemahaman teologis tertentu yang hendak disampaikan penulis
Injil tersebut.355 Dalam hal ini, pemahaman akan konteks kehidupan Yesus serta konteks
kehidupan penulis menjadi sesuatu yang penting untuk dipahami agar dapat menafsirkan
Matius 24:3-14 sebagai salah satu dari tiga Injil sinoptik yang memuat konsep perang.
Guthrie menyatakan, “berdasarkan kutipan yang terdapat dalam tulisan bapa-bapa gereja
mula-mula, Injil Matius terbukti lebih banyak dipakai dibandingkan semua Injil lain. 356
Beberapa Bapa Gereja seperti Papias, Eusebius, Origen meyakini bahwa Injil ini
ditulis oleh Matius dengan dialek Ibrani Aram dan gaya penulisan Ibrani yang kental.357
Akan tetapi, argumen ini kurang kuat untuk dapat menggugurkan kepenulisan Matius
355
Fee dan Stuart, How to Read the Bible for All Its Worth, 124-27. Bdk. Donald Guthrie,
Pengantar Perjanjian Baru, jilid 1 (Surabaya: Momentum, 2008), 3. Guthrie menjelaskan bahwa ada
kemungkinan Injil juga merupakan jenis tulisan aretologi, yaitu kisah perbuatan ajaib yang dilakukan oleh
para ilah atau pahlawan. Adapun usulan lebih lanjut juga coba diberikan oleh Goulder, Guilding, dan
Carington yang menyamakan Injil dengan bentuk leksionari Yahudi dalam pembacaan di ibadah Kristen
mula-mula. Dari beberapa pandangan ini, penulis lebih setuju untuk melihat Injil sebagai sebuah catatan
biografi yang memiliki muatan teologis tertentu. Dengan alasan bahwa penekanan akan kehidupan,
pengajaran, serta karya keselamatan yang Yesus kerjakan jauh lebih kuat dibandingkan kisah-kisah
keajaiban yang Yesus perbuat.
356
Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru, jilid 1, 13.
357
Leon Morris, The Gospel According to Matthew (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1992),
12.
yang diterima secara luas dalam tradisi.358 Sebab frasa “” bukan
menunjukkan bahwa kitab ini merupakan kitab pseudonymous namun lebih kepada
menambahkan keterangan dari kitab anonymous.359 Oleh karena itu, penulis lebih setuju
dengan pandangan tradisional yang menyatakan bahwa Injil Matius ditulis oleh rasul
Dengan menerima kepenulisan Matius, dapat diperkirakan bahwa Injil ini ditulis
sekitar tahun 80-100 M berdasar dugaan bahwa kepenulisan Injil Markus sekitar tahun
55-70 M.360 Jika menerima pandangan ini, artinya Injil Matius ditulis pada masa setelah
kehancuran tembok Yerusalem. Dalam kurun waktu ini, baik orang Kristen maupun
orang Yahudi di Yerusalem menyebar luas ke beberapa daerah di kerajaan Roma, dan
mempengaruhi. Dengan latar belakang ini, Keener menyatakan bahwa Injil Matius
diberikan sebagai sebuah buku pegangan mengenai pengajaran dan kehidupan Yesus
kepada orang Kristen Yahudi di beberapa gereja yang Matius kenal, juga sebagai sebuah
berita yang relevan bagi misi penginjilan kepada orang non-Yahudi, serta menjawab
358
Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru. jilid 1, 35-37. Argumentasi yang lain atas keberatan
kepenulisan rasul Matius didasarkan pada pandangan bahwa pengutipan Injil Matius terhadap Injil Markus
dirasa beberapa pihak mengurangi otoritas kerasulan Matius.
359
D. A. Carson dan Douglas J. Moo, An Introduction to the New Testament. ed. ke-2 (Grand
Rapids, Michigan: Zondervan, 2005), 141.
360
Carson dan Moo, An Introduction to the New Testament, 152.
361
Craig S. Keener, A Commentary on the Gospel of Matthew (Grand Rapids, Michigan:
Eerdmans, 1999), 45-51.
Eksposisi Matius 24:3-14
Matius 24:3-14 merupakan bagian dari pengajaran Yesus yang terakhir sebelum
Yesus ditangkap dan disalibkan. Stanley Hauerwas melihat bagian ini sebagai bagian
apokaliptis pada akhir zaman,362 sedangkan Morris melihat bahwa perang ini berkaitan
penghakiman, dan perang adalah sesuatu yang menarik untuk dibahas lebih mendalam.
Matius 24:3-14 dimulai dengan pertanyaan akan tanda kedatangan Yesus dan
tanda dari akhir zaman (ayat 3). Pertanyaan pertama mengenai kapan hal itu terjadi
merujuk kepada perkataan Yesus sebelumnya dalam Matius 23:36, di mana Yesus
menubuatkan penghakiman bagi ahli Taurat dan orang Farisi pada generasi tersebut.
Bagian ini dikaitkan dengan penekanan para murid terhadap perihal waktu dan peristiwa
kehancuran Bait Suci yang kemungkinan besar merujuk pada konsep mengenai
kedatangan hari Tuhan.364 Komunitas Qumran meyakini bahwa kedatangan Mesias akan
terjadi dua kali, yang pertama ia akan datang seperti nabi Harun dan yang kedua seperti
raja Daud.365 Kedatangan Mesias ini yang kemudian menandai akhir dari penantian akan
pembebasan Israel dan pembalasan Allah pada musuh-musuh Israel. Pengharapan ini
362
Stanley Hauerwas, Matthew (Grand Rapids, Michigan: Brazos, 2006), 201.
363
Morris, The Gospel According to Matthew, 594.
364
Grant R. Osborne, Matthew, ed. Clinton E. Arnold. (Grand Rapids, Michigan: Zondervan
2010), 868-69.
365
Donald A. Hagner, The New Testament: A Historical and Theological Introduction (Grand
Rapids, Michigan: Baker Academic, 2012), 36.
berakar dari janji melalui nabi Yoel tentang kedatangan hari Tuhan (Yoel 1:15, Yoel
3:14-21).
kedatangan Yesus dan kehancuran yang terjadi menunjukkan harapan akan kehadiran
Mesias yang menaklukkan musuh umat Allah dan membawa pemerintahan yang baru.366
Pengharapan ini lebih dipahami secara politis oleh murid-murid pada masa itu, sehingga
Menanggapi pertanyaan para murid mengenai akhir zaman dan kedatangan Yesus
yang kedua, Yesus menjawab pertanyaan ini dengan dua tanda, yaitu penyesatan dan
penderitaan. Untuk memperjelas bagian ini, Osborne membagi struktur ayat 4-14 menjadi
366
Osborne, Matthew, 869.
367
Osborne, Matthew, 873.
Dari bagian ini, kita dapat melihat bagaimana perang yang terjadi dipahami sebagai awal
Tanda-tanda kehadiran hari Tuhan sering dilihat sebagai bagian dari tema teks-
teks apokaliptik yang berkembang dari abad ke-2 sM hingga abad 2 M. Hagner
menjelaskan bahwa
The essence of the apocalyptic perspective is its temporal dualism of two ages: the
present age and the age to come. This is accompanied by a metaphysical or cosmological
dualism of light and darkness, God and Satan (or evil), engaged in a cosmic struggle.
According to the apocalyptic perspective, this age will end, and the new age will begin
only by the direct action of God.368
Konsep ini jika dikaitkan dengan nubuatan perang pada teks Matius 24, maka dapat
ditafsirkan dalam dua bentuk waktu yaitu masa kini dan masa akan datang.
Perang dalam pemahaman masa kini, menurut Osborne dan Keneer dipahami oleh
pembaca Matius sebagai pemberontakan Yehuda atas Roma yang terjadi sekitar tahun
66-70 M.369 Hal ini menjadi tanda bagi jemaat mula-mula bahwa kedatangan Yesus kali
kedua sudah sangat dekat dan sudah dimulai. Sedangkan Ulrich Luz lebih melihat bahwa
dimensi apokaliptik Yahudi yang cenderung dapat melihat dalam rentang waktu yang
tidak terperkirakan, membuat perang dalam bagian ini tidak menunjuk pada satu perang
saja, namun juga dapat mengarah pada rentang waktu yang lebih jauh (kemungkinan
perang Phyrgia 53 M, Asia 61 M, Lembah Likus 61 M, atau Yahudi tahun 66-73 M).370
368
Hagner, The New Testament, 39.
369
Osborne, Matthew,874. Bdk. Keener, A Commentary on the Gospel of Matthew, 569.
370
Ulrich Luz, Matthew 21-28, ed. Helmut Koester. terj. James E. Crouch (Minneapolis,
Mississippi: Fortress, 2005), 192-93.
Sekalipun waktu perang tidak bisa ditentukan secara pasti, namun bagian ini
memberikan peringatan akan bahaya dan penderitaan yang akan datang. Menambahkan
hal ini, Keneer melihat nubuatan Yesus mengenai perang, juga kelaparan dan gempa,
sebagai gema tradisi Yahudi mengenai akhir zaman dan kemahakuasaan Allah yang
melampaui sejarah.371
Berita mengenai perang jelas menjadi bagian yang cukup penting baik bagi
murid-murid Yesus maupun pembaca awal kitab Matius. Bagi murid Yesus yang
mengharapkan kehadiran Yesus sebagai Mesias yang menaklukan, berita perang menjadi
bersama Yesus dalam pemerintahan ini (Matius 20:21). Sedangkan bagi pembaca awal
kitab Matius, berita mengenai perang menjadi pertanda bahwa apa yang Yesus sampaikan
telah menjadi kenyataan dan bahwa hari Tuhan akan membawa jemaat keluar dari
penderitaan akibat penganiayaan dari pihak Yahudi maupun Romawi. Berita perang yang
dikaitkan dengan ayat 13 juga berarti bahwa sekalipun kondisi akan semakin sulit dan
membahayakan, namun Tuhan tetap memegang kendali atas segala yang terjadi,372
sehingga usaha untuk bertahan dalam iman kepada Yesus menjadi tidak sia-sia.
Sekalipun para penafsir melihat nubuatan ini sebagai perang dalam pengertian
fisik, namun perang dalam Matius 24:3-14 hanyalah sebuah tanda awal akan dimulainya
akhir zaman dan kedatangan hari Tuhan. Baik Yesus maupun penulis Matius, tidak
371
Keener, A Commentary on the Gospel of Matthew, 568. Nubuatan mengenai peristiwa-
peristiwa ajaib dan supranatural juga terdapat dalam teks-teks Arrian, Hesiod, dan tradisi keagamaan Roma
tentang hadirnya binatang aneh, kelaparan, gempa bumi dan bermacam hal lainnya.
372
Morris, The Gospel According to Matthew, 598.
memberikan sebuah aturan jelas apakah orang Kristen harus ikut serta dalam perang atau
tidak. Yang Yesus tekankan hanya bahwa perang ini harus terjadi untuk menggenapi
kedatangan hari Tuhan (Matius 24:6). Frasa “harus” inilah yang menjadi bukti Allah
memegang kendali atas sejarah kehidupan manusia hingga pada akhirnya,373 sehingga
terjadinya perang tetap ada dalam rencana dan jalan Allah untuk kebaikan manusia dan
Surat Paulus
Mayoritas Perjanjian Baru berisi surat; kurang lebih ada 21 surat dari Roma
hingga Yudas. Genre ini pada umumnya tidak berbeda dengan bentuk surat pada masa
kini. Namun, yang terpenting dalam menafsir dan membaca surat-surat Perjanjian Baru
adalah menyadari bahwa surat-surat itu merupakan occasional documents.374 Dalam hal
ini, penekanan terhadap konteks pembaca masa itu sangat penting untuk mengetahui tema
utama dan permasalahan penting yang hendak disasar oleh surat tersebut. Dengan
memahami ini, setiap surat memiliki keunikan tersendiri karena ditujukan untuk
Surat Efesus
Salah satu dari sedemikian banyak surat dalam Perjanjian Baru yang hendak
dibahas oleh penulis dalam bagian ini adalah surat kepada jemaat di Efesus. Meski secara
373
Osborne, Matthew, 874.
374
Fee dan Stuart, How to Read the Bible for All Its Worth, 52.
umum diterima sebagai tulisan Paulus, baik dalam kalangan orthodoks hingga Marcion,,
dirasa memiliki perbedaan gaya bahasa dengan tulisan Paulus pada umumnya.375 Guthrie
mengatakan, “Bagi banyak orang, Surat Efesus adalah surat Paulus yang paling
mengharukan, tetapi bagi sebagian lain, surat ini tidak lebih dari karya seorang yang
Ernest Best melihat bahwa surat Efesus ditulis oleh Paulus atau minimal
seseorang yang memahami benar tradisi pengajaran Paulus, sebab keterkaitan surat
Efesus dan Kolose yang begitu dekat membuat sangat sulit untuk menolak bahwa kedua
surat ini ditulis oleh dua orang yang berbeda.377 Serupa dengan Best, Talbert378 dan
Hoehner379 juga menyatakan bahwa sangat sulit untuk menyangkali kepenulisan Paulus
Kepenulisan Paulus dalam surat Efesus sangat penting untuk melihat tujuannya.
Secara umum dipahami bahwa surat Efesus merupakan surat edaran yang ditulis oleh
Paulus untuk jemaat-jemaat di Asia Kecil sebelum tahun 95 M, dan bukan hanya untuk
jemaat Efesus saja.380 Dengan memahami bahwa surat Efesus merupakan surat edaran,
tema surat ini bersifat lebih umum dibandingkan surat-surat Paulus lainnya. Karena
375
Carson dan Moo, Introduction to the New Testament, 480.
376
Donald Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru, jilid 2 (Surabaya: Momentum, 2009), 87.
377
Ernest Best, Ephesians, ed. C. E. B. Cranfield. (Edinburg: T. and T. Clark, 1998), 36.
378
Charles H. Talbert, Ephesians and Colossians, ed. Mikeal Parsons dan Charles Talbert (Grand
Rapids, Michigan: Baker Academic, 2007), 11.
379
Harold W. Hoehner, Ephesians (Grand Rapids, Michigan: Baker Academic, 2002), 60-61.
380
Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru. jilid 2, 89, 124.
sifatnya yang umum, surat Efesus menjadi salah satu surat penting dalam gereja mula-
mulayang tidak hanya menjadi sapaan pastoral, namun juga menjadi pegangan doktrinal.
Senada dengan ini, Kitchen menyatakan bahwa sebagai surat edaran, surat Efesus
menunjukkan adanya fenomena sejarah dari katolisitas paling sederhana yang ditulis oleh
Paulus bagi jemaat Kristen mula-mula.381 Katolisitas paling awal ini dapat dilihat melalui
kesamaan pemahaman doktrinal yang dimuat dalam surat Efesus dengan beberapa bagian
lain dari surat-surat Paulus, terutama kesamaan surat Efesus dan Galatia. Dalam
pemahaman katolisitas awal inilah, konsep peperangan rohani menjadi salah satu pokok
keseluruhan surat ini, dan dianggap penting oleh jemaat-jemaat yang di beberapa daerah
di Asia kecil yang secara langsung berhadapan dengan kuasa-kuasa kegelapan.382 Tema
ini berhubungan erat dengan konsep Divine Warrior dalam beberapa bagian Perjanjian
Lama yang kini diadaptasi untuk menekankan komunitas orang percaya sebagai
kosmik.383
381
Canon M. Kitchen, Ephesians (London: Routledge, 1994), 10.
382
Talbert, Ephesians and Colossians, 158.
383
Hoehner, Ephesians, 818.
Eksposisi Efesus 6:10-20
Secara struktur retoris, bagian ini memiliki kemiripan dengan sejumlah sastra
Mediterania kuno tentang persiapan menghadapi konflik yang berbahaya.384 Retorika ini
biasanya diucapkan atau dituliskan oleh seorang komandan kepada batalion atau tentara
bawahannya untuk mempersiapkan diri dengan sungguh dan waspada untuk menghadapi
pertempuran yang akan terjadi. Sikap serupa juga dijumpai dalam paham Stoik Roma
dalam melihat kehidupan sebagai pertempuran terus menerus antara keinginan dan
rasio.385 Dalam hal ini, peperangan tidak hanya dilihat dari segi militer atau politik,
namun menjadi bagian reflektif kesadaran diri manusia akan adanya tarik menarik antara
kekuatan baik dan jahat, rasio dan keinginan, kehidupan dengan kematian.
Dalam pemahaman inilah, Paulus juga melihat bahwa kehidupan umat percaya
juga ada dalam peperangan yaitu peperangan rohani. Peperangan yang dihadapi orang
percaya bukan sekedar peristiwa sesekali, namun sebuah intense struggle yang
digambarkan sebagai pertandingan gulat (πάλη) dimana musuh hadir begitu dekat dan
selalu berusaha menyerang dan menjatuhkan.386 Dalam kondisi peperangan yang terus
menerus inilah orang percaya diminta untuk dapat bertahan dan tetap berdiri teguh dalam
iman pada Kristus. Dalam bagian ini, peperangan yang dilakukan tidak bersifat
384
Talbert, Ephesians and Colossians, 159.
385
Talbert, Ephesians and Colossians, 160.
386
Frank Thielman, Ephesians, ed. Robert Yarbrough dan Robert Stein (Grand Rapids, Michigan:
Baker Academic, 2010), 420.
Yesus sudah menang atas kuasa Iblis dan dosa, sehingga orang Kristen tidak dipanggil
Bertahan tentu bukanlah hal yang mudah terutama sebab musuh yang dihadapi
bukanlah musuh secara darah dan daging, namun musuh-musuh spiritual. Pemahaman
Yahudi kuno berspekulasi bahwa asal usul kejahatan dapat dilihat dalam tiga aspek:
eksistensial (kejahatan hadir dari keberadaan oknum iblis sebagai sumber kejahatan),
kesejarahan (kejahatan diturunkan dalam sejarah melalui kesalahan Adam dan Hawa),
dan metafisika (Kejahatan atau setan bekerja dan bergulat dalam hati setiap orang untuk
menggunakan pemahaman Yahudi kuno untuk merujuk kata “musuh-musuh” ini secara
(κοσμοκράτορας τοῦ σκότους) ini, melawan roh-roh jahat (τὰ πνευματικὰ τῆς πονηρίας)
merujuk kepada realitas yang eksistensial. Sedangkan jika kita merujuk pada kata
“mengenakan/kenakan” dan kata “intense struggle” maka peperangan ini dapat dimaknai
juga secara metafisika, dimana eksistensi dari musuh-musuh ini hadir dalam hati setiap
387
Thielman, Ephesians, 419.
388
Talbert, Ephesians and Colossians, 163-164.
389
Bdk. Thielman, Ephesians , 418. Frasa “mengenakan” yang digunakan dalam bagian ini
memiliki kesamaan dengan Ef. 4: 22-24 yang menunjuk pada kualitas etis yang harus dimiliki. Sehingga
permasalahan yang terjadi tidak serta merta dari luar diri, namun justru hadir di dalam diri.
Dengan menyadari kenyataan dari peperangan yang terjadi, maka Paulus
memberikan sebuah strategi untuk umat percaya dapat tetap bertahan dalam iman pada
Kristus. Dalam bagian ini, penulis melihat bahwa strategi yang Paulus berikan dibagi
menjadi dua bagian besar. Bagian pertama berbicara mengenai berdiri teguh dan
mengenakan perlengkapan rohani (ayat 14-17) sebagai senjata rohani, dan pada bagian
yang kedua, ia berbicara tentang berjaga-jaga dalam doa (ayat 18-20) agar umat percaya
menghadapi perang. Pada bagian ini ada lima peralatan rohani yang harus digunakan
1. Berikatpinggangkan kebenaran
Kata ikat pinggang disini menggunakan kata “girded their waist with truth
dari baju tentara Romawi dan Yahudi masa itu, dimana ikat pinggang biasanya digunakan
untuk melindungi dan juga membawa sebagai tempat untuk menggantungkan pedang.391
2. Berbaju-zirahkan keadilan
390
Peter T. O’Brien, The Letter of Ephesians (Leicester: Apollos, 1999), 472.
391
Thielman, Ephesians, 424.
Baju zirah adalah sebuah lempengan besi baja yang menutupi dada untuk melindungi dari
serangan dan panah musuh.392 Gambaran ini dikaitkan dengan kata kebenaran atau
keadilan (δικαιοσύνη). Hal ini mengingatkan pada Yesaya 59:17 yang menyatakan
kehadiran Allah sebagai pahlawan perang yang berbaju-zirahkan kebenaran dan ketopong
keselamatan. Hal ini menunjukkan kesediaan Allah untuk melakukan serangan aktif,
sedangkan dalam bagian ini Allah mengijinkan umatNya untuk mengenakan baju perang-
Selain baju zirah, tentara Romawi juga sering menggunakan caliga, semacam sepatu
semacam ini biasanya dilengkapi dengan lempengan logam di bagian depan yang dapat
digunakan bertahan maupun untuk melakukan serangan. Keunikan logam ini dikaitkan
dengan pemberitaan Injil damai sejahtera yang sekaligus adalah kekuatan Allah (Roma
1:16). Kekuatan Injil inilah yang dapat menghadirkan damai sejahtera antara Allah dan
manusia berdosa, karena melalui Injil manusia menerima keselamatan dari Allah dan
4. Perisai iman
Peralatan keempat yang Paulus sebutkan adalah perisai iman. Perisai merupakan
peralatan khusus yang berfungsi untuk melindungi diri dari serangan musuh, baik untuk
392
O’Brien, The Letter of Ephesians, 474.
393
Thielman, Ephesians, 425.
394
O’Brien, The Letter of Ephesians, 475.
395
Best, Ephesians, 600.
serangan jarak dekat maupun jarak jauh. Dalam bagian ini perisai iman dibutuhkan untuk
memadamkan panah api dari si jahat (ayat 16). Ini berarti iman merupakan bagian yang
penting dan mendasar dalam pemahaman dan keyakinan bahwa Kristus akan melindungi
dari setiap pencobaan Iblis, dan membuat umat percaya dapat tetap berdiri teguh dalam
Dia.396
Bagian yang terakhir dari perlengkapan rohani adalah ketopong keselamatan dan pedang
Roh. Best melihat kaitan bagian ini dengan nuansa eskatologis tentang pengharapan yang
pasti bagi orang percaya dalam Yesaya 59:17.397 Sedangkan pedang Roh digambarkan
sebagai μάχαιραν, yakni sejenis pisau yang biasa digunakan untuk memotong buah
namun cukup besar untuk digunakan dalam pertarungan jarak dekat.398 Gambaran pisau
dengan dua kegunaan ini memiliki kemiripan dengan gambaran Ibrani 4:12 tentang
firman Allahyang berguna untuk melawan kekuatan jahat dan membawa keselamatan
Bagian pertama ini dikaitkan dengan bagian kedua tentang masalah berdoa dan
berjaga-jaga. Menurut O’Brien, doa bagi Paulus adalah “foundational for the deployment
of all the other weapons”.399 Dengan memahami bahwa peperangan ini bukan melawan
musuh jasmaniah yang terlihat dan mudah dilawan, namun melawan musuh spiritual
yang begitu gigih untuk menyerang dan menjatuhkan, maka mengenakan perlengkapan
396
Thielman, Ephesians, 427.
397
Best, Ephesians, 602.
398
Thielman, Ephesians, 428.
399
O’Brien, The Letter of Ephesians, 484.
rohani tidaklah cukup tanpa terus bergantung pada kuasa Allah melalui doa. Frasa
“berdoa” dan “berjaga-jaga” juga menggemakan kembali perkataan Yesus kepada tiga
muridNya dalam Matius 26:40-41 untuk berjaga-jaga terhadap pencobaan dari si jahat.
Frasa awal, “dalam segala doa dan permohonan” (Efesus 6:18) merujuk pada
keadaan hidup yang berdoa. Kondisi hidup yang berdoa ini bukan sekedar melibatkan
sikap tubuh namun arah dari Roh dan keseluruhan kehidupan internal kita. Oleh sebab
itu, Paulus menggunakan kata “dalam Roh (ἐν πνεύματι)” dan “dengan sungguh-sungguh
(προσκαρτερήσει)” sebagai bentuk devosi internal dari kehidupan doa.400 Devosi internal
inilah yang memberikan kekuatan bagi orang percaya untuk dapat menggunakan
kekuatan Allah dan seluruh persenjataan rohani untuk melawan kekuatan si Jahat.
lahan peperangan yang intens antara iman pada Kristus dengan kuasa kegelapan.
Peperangan dalam bagian ini dipahami sebagai peperangan secara spiritual, baik dalam
aspek eksistensial maupun metafisika. Oleh sebab itu, Paulus menyarankan kepada umat
percaya untuk mengenakan perlengkapan rohani dan terus berjaga-jaga dalam doa dan
bergantung penuh kepada Allah dalam setiap kehidupan yang berdoa, karena inilah cara
yang paling baik untuk dapat bertahan dari gempuran si jahat dan tetap berdiri teguh
400
Thielman, Ephesians, 434.
Kitab Apokaliptik
Kitab Wahyu
adalah kitab Wahyu. Menurut Fee dan Stuart, genre apokaliptik mulai muncul dan
berkembang sekitar tahun 200 sM hingga 200 M di kalangan Yahudi dan Kristen401 untuk
menyampaikan konsep teologis serta kritik sosial dengan bahasa simbolis yang dipahami
ini sebagai
menjembatani antara dunia saat ini dan akan datang, serta dunia yang jasmani dan realitas
401
Fee dan Stuart, How to Read the Bible for All Its Worth, 256.
402
Brian K. Blount, Revelation (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox, 2009), 14.
403
Osborne, Hermeneutika Spiral, 328.
Kitab Wahyu ditulis pada masa pemerintahan kaisar Domitian, kurang lebih
sekitar tahun 90-95 M.404 Domitian memperlakukan orang Yahudi dan Kristen secara
kejam, serta memaksa rakyat untuk menyembah dia sebagai Tuhan.405 Dalam kondisi
seperti inilah sastra apokaliptik muncul sebagai suara pengharapan yang memberikan
Mengingat bahwa kitab Wahyu juga merupakan kitab yang paling akhir ditulis
dari seluruh kitab Perjanjian Baru,, dapat disimpulkan bahwa kitab ini adalah pembawa
Dalam kitab Wahyu terdapat dua teks peperangan yang cukup terkenal dalam
Alkitab, yaitu perang Harmagedon (Wahyu 16) dan perang Gog-Magog (Wahyu 20).
Sebagai kitab yang sarat gambaran-gambaran peperangan, penulis mencoba memilih dua
1. Teks perang Harmagedon merupakan sebuah persiapan akan puncak dari perang
2. Perang Harmagedon merupakan titik awal dari peperangan kosmik di dalam kitab
Wahyu yang ditandai dengan dikumpulkannya seluruh pasukan si Ular Tua dan
404
Carson dan Moo, An Introduction to the New Testament, 712
405
Blount, Revelation, 8-9.
406
Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru. jilid 3 (Surabaya: Momentum, 2004), 271-272.
407
Grant R. Osborne, Revelation (Grand Rapids, Michigan: Baker Academic, 2002), 589. Hal
yang sama juga dinyatakan oleh Blount mengenai perang Harmagedon sebagai “Envisioning the Final
Battle”. Blount, Revelation, 302-303.
408
Blount, Revelation, 308.
3. Teks Perang Gog-Magog merupakan puncak dari eskalasi perang di dalam Kitab
Wahyu dimana keseluruhan bangsa yang melawan Allah bersatu padu untuk
4. Perang Gog Magog juga merupakan bagian akhir dari hancurnya kuasa Iblis serta
penghakiman yang Allah atas seluruh ciptaan. Teks ini juga merupakan titik
peralihan untuk menyambut kemuliaan Kristus dalam langit dan Bumi yang
baru.410
Eksposisi Wahyu 16
Allah dalam Wahyu 15. Wahyu 15:1 menyatakan “Dan aku melihat suatu tanda lain di
langit, besar dan ajaib: tujuh malaikat dengan tujuh malapetaka terakhir, karena dengan
itu berakhirlah murka Allah.” Penglihatan ini merujuk pada apa yang terjadi dalam
Wahyu 16. Tujuh malaikat dengan tujuh cawan malapetaka menjadi penggenapan bagi
murka Allah yang tertumpah atas dosa manusia. Dalam Wahyu 16 malaikat turun dan
menumpahkan cawan malapetaka pada tujuh tempat yang berbeda. Sehingga, Wahyu 16
409
Osborne, Revelation, 712.
410
Blount, Revelation, 359.
411
Mitchell G. Reddish, Revelation, ed. Mark K. McElroy (Georgia, Atlanta: Smyth and Helwys,
2001), 303.
6. Cawan kelima atas takhta binatang Wahyu 16:10-11
7. Cawan keenam atas sungai Efrat - Persiapan perang Wahyu 16:12-16
8. Cawan ketujuh ditumpahkan ke angkasa - Perang Wahyu 16:17-21
Dalam struktur ini, Wilfrid J. Harrington melihat bahwa malapetaka yang pertama hingga
keempat berhubungan erat dengan alam ciptaan, tulah kelima berhubungan dengan
kerajaan dunia, sedangkan tulah keenam dan ketujuh berbicara mengenai perang
eskatologis antara Allah dan kekuatan kosmik yang jahat.412 Dan letak perang
masa itu, sungai Efrat menandai batas timur dimana tanah Perjanjian diberikan pada
Abraham dan keturunannya, serta juga menjadi pembatas antara daerah kekuasaan Roma
dan daerah kekuasaan Persia yang menguasai dari sungai Indus hingga Efrat.413 Dua
kerajaan ini merupakan lambang kekuatan dari dua daerah besar di barat dan timur. Jika
dihubungkan dengan ayat 16 , hal ini menunjukkan bahwa dua lambang kekuasaan
kerajaan-kerajaan dunia bersatu untuk melawan Allah. Kehadiran tiga roh-roh jahat yang
mengirimkan tiga roh najis pada bagian ini merujuk pada nubuat Yehezkiel 38-39,
Zakharia 14, dan 1 Henokh 56, 90 yang menubuatkan bahwa pada hari-hari akhir semua
musuh Israel akan bersekutu untuk melawan Israel namun Allah akan berintervensi dan
menyelamatkan umat-Nya.414 Hal ini jelas merujuk pada perang akhir yang bersifat
412
Wilfrid J. Harrington, Revelation, ed. Daniel J. Harrington (Collegeville, Minnesota: The
Liturgical, 1993), 164-69.
413
Robert H. Mounce, The Book of Revelation, ed. Ned B. Stonehouse, F. F. Bruce, dan Gordon
D. Fee (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1977), 298.
414
Ben Witherington III, Revelation (Cambridge, England: Cambridge University Press, 2003),
210.
eskatologis antara kekuatan si jahat yang bermanifestasi melalui kerajaan-kerajaan dunia
Harmagedon berasal dari kata Αρμαγεδών yang oleh beberapa penafsir diartikan sebagai
Har-Magedo atau gunung Megiddo.415 Megiddo merupakan kota kuno yang terletak 70
kaki di atas permukaan air laut di sebelah utara Palestina di antara lembah Yasril atau
Esdraelon.416 Daerah ini kemungkinan besar merupakan lokasi dari beberapa perang kuno
yang signifikan, antara lain perang Thutmose III melawan koalisi kerajaan-kerajaan
Kanaan pada tahun 1468 sM. Perang antara Debora dan Barak melawan koalisi Kanaan
Harmagedon juga dapat dipahami secara simbolik merujuk pada Gunung Zion atau kota
Yerusalem sebagai lambang dari kehadiran kerajaan Allah yang akan menaklukan semua
415
Mounce, The Book of Revelation, 301. Bdk. Jurgen Roloff, Revelation, terj. John E. Alsup dan
James S. Currie (Minneapolis, Minnesota: Fortress, 1993), 191.
416
Osborne, Revelation, 594.
417
Witherington III, Revelation, 211.
418
Osborne, Revelation, 595.
Peperangan di Harmagedon ini berkaitan dengan pemberitaan mengenai cawan
ketujuh. Lohmeyer menyatakan bahwa cawan keenam bukanlah benar-benar tulah tapi
sebuah persiapan untuk yang berikutnya.419 Hal ini memberikan kaitan antara
berkumpulnya para raja dari timur dan barat (ayat 16) dengan kehancuran dahsyat yang
terjadi (ayat 18-21). Penggunaan gambaran akan terjadinya kilat, gempa, dan runtuhnya
perang ilahi secara kosmik. Aune membandingkan bagian ini dengan catatan dalam
Sibylline Oracles 3.689-92 yang menyatakan bahwa Allah akan menghakimi semua
manusia dengan perang dan pedang, dengan api dan hujan yang amat deras dan berbagai
macam fenomena alam yang mengerikan sebagai bentuk penghukuman dan murka
Allah.420 Selain itu, rujukan pada turunnya hujan es yang dahsyat menggemakan kembali
peristiwa di Mesir dimana Allah berperang bagi Israel melalui tulah-tulah untuk
membawa Israel bebas dari perbudakan.421 Hal ini menunjukkan adanya dua sisi utama
dari perang yang kembali digemakan dalam bagian ini, yakni penghakiman dan
pembebasan. Yang berbeda, perang sebagai penghakiman dan pembebasan dalam bagian
419
Osborne, Revelation, 596.
420
David E. Aune, Revelation 6-16, ed. Ralph P. Martin. (Nashville, Tennessee: Thomas Nelson,
1998), 900.
421
Osborne, Revelation, 600.
Eksposisi Wahyu 20
Wahyu 20 merupakan catatan paling akhir yang terdapat dalam Alkitab mengenai
perang. Bagian ini menjadi pembuka bagi hadirnya langit dan bumi yang baru,
Yerusalem yang baru. Secara struktur, teks Wahyu 20 dapat disusun dalam empat
bagian;422
Dalam struktur seperti ini, perang Gog-Magog hadir sebagai pembuka bagi rentetan
penghakiman terakhir yang Allah akan berikan bagi Iblis, tentara-tentara Iblis, dan orang-
orang mati.
Kisah perang Gog-Magog diawali dengan ditangkapnya si Iblis (ayat 1-3) dan
hadirnya Kerajaan Seribu Tahun (ayat 4-6). Dalam Wahyu 20:2-3 dikatakan bahwa Iblis
akan dibelenggu dan dimasukkan ke dalam jurang ditutup dengan meterai. Bagian ini
dimaknai oleh Mounce bukan sebagai hukuman, namun sebuah pencegahan atas kuasa
bagian ini juga membuktikan bahwa Allah berkuasan untuk mengontrol segala kekuatan
422
David E. Aune, Revelation 17-22, ed. Ralph P. Martin (Nashville, Tennessee: Thomas Nelson,
1998), 1079-1081.
423
Mounce, The Book of Revelation, 353.
jahat.424 Upaya untuk membatasi dan mengontrol ini dilakukan dengan tujuan untuk
Selain dalam kitab Wahyu, ide tentang Kerajaan Seribu Tahun hanya ditemukan
dalam dua kitab apokaliptik Yahudi, yaitu 4 Ezra dan kitab Apokaliptik Barukh.425
Meskipun ketiganya ini memiliki kesamaan ide mengenai Kerajaan yang akan bertahan
dalam waktu lama dan peperangan dengan kekuatan jahat, namun catatan mengenai
kebangkitan yang pertama hanya dijumpai dalam kitab Wahyu. Selain itu, kehadiran
sosok Raja penyelamat yang dipenuhi dalam pemikiran apokaliptik Wahyu, namun
nampaknya hal ini tidak bersumber pada tradisi pengharapan Mesianik Yahudi dalam
teks intertestamental, akan tetapi pada Yehezkiel 37-48.426 Munculnya nama Gog-Magog
dalam Wahyu 20:8 mengingatkan pada pembalasan murka Allah dan janji restorasi Israel
(Yehezkiel 39:21-29).
Kehadiran kondisi damai selama seribu tahun ini mengalami perubahan ketika
Allah sengaja melepaskan si Ular Tua untuk menyesatkan bangsa-bangsa dari empat
penjuru, yaitu Gog dan Magog. Kata “Gog” dalam bagian ini mengingatkan pada nama
dari raja Mesekh dan Tubal (Yehezkiel 38:2-3), sedangkan kata “Magog” kemungkinan
besar adalah nama dari leluhur orang Mesekh dan Tubal (1Tawarikh 1:5) yang
merupakan simbol dari bangsa-bangsa asing yang memerangi Allah dan umat-Nya.427
424
Osborne, Revelation, 699.
425
Roloff, Revelation, 224. Kedua kitab ini mencatat bahwa Mesias akan datang dan mendirikan
sebuah Kerajaan yang akan bertahan dalam waktu yang lama, namun tidak kekal. Ia akan berperang dan
mengalahkan dua monster jahat, memerintah, mati bersama dengan seluruh manusia, lalu memulai kembali
segala perhitungan waktu.
426
Roloff, Revelation, 224-225.
427
Aune, Revelation 17-22, 1094.
Merujuk pada makna simbolik ini, maka dapat diartikan bahwa pada masa itu Iblis
mencari orang-orang yang tidak percaya dan mengumpulkan mereka untuk melawan dan
mencobai orang-orang percaya. Hal ini merujuk pada kondisi penderitaan yang dialami
pembaca mula-mula kitab Wahyu di bawah pemerintahan kaisar Domitian, namun juga
dapat bersifat nubuatan akan penderitaan lain yang terjadi di masa selanjutnya.
Kehadiran bangsa-bangsa dari empat penjuru untuk memusuhi umat Allah dan
strategi penaklukan dalam perang-perang kuno. Gambaran ini merupakan kiasan dari
nubuatan Yesus dalam Lukas 21:20 tentang datangnya penghancuran besar. Jika dalam
Lukas 21:20 Yesus menubuatkan kehancuran Yerusalem yang terjadi pada tahun 70 M,
akan tetapi dalam Wahyu 20 kehancuran besar ini merujuk pada penghakiman terakhir
kepada kekuatan Iblis dan kerajaan-kerajaan dunia yang melawan Allah dan umat-Nya.
Menambahkan bagian ini, Osborne menyatakan bahwa penggunaan frasa “siang dan
malam” memiliki arti kekal.428 Selain itu, kehadiran Allah sebagai Hakim dan Raja
Dengan melihat runtutan kisah ini, maka dapat disimpulkan bahwa perang yang
terjadi dalam Wahyu 20 memiliki aspek spiritual dan kosmik. Aspek spiritual dari perang
Gog-Magog hadir melalui kehadiran figur Iblis yang berusaha menyesatkan bangsa-
bangsa untuk melawan Allah. Sedangkan aspek kosmik dari perang Gog-Magog hadir
428
Osborne , Revelation, 716.
BAB IV
Berdasarkan hasil dari bab tiga, pemahaman perang dalam Perjanjian Lama dan
Baru mengalami pergerakan pemahaman. Dalam pergerakan ini ada beberapa aspek dari
pemahaman perang yang tetap bertahan (continue) dan juga berganti (discontinue).
Pergerakan pemahaman tentang perang dalam beberapa teks yang diambil oleh penulis
antara lain;
1. Perang dalam Alkitab, terkhusus dalam rentan masa abad 14 sM hingga abad 5
sM masih banyak bersifat fisik, sekalipun unsur spiritual juga muncul dalam 1
Samuel 4-6 begitu juga unsur kosmik dalam Keluaran 15 dan Hakim-Hakim 4-5,
2. Penekanan perang secara spiritual dan eskatologis mulai nampak jelas dalam kitab
Yesaya hingga wahyu dipenuhi dengan pemahaman perang secara spiritual dan
eskatologis.
3. Hal lain yang menarik adalah setiap kali Israel berperan aktif-inisiatif dan dengan
tujuan politik maka Israel selalu mengalami kekalahan dalam perang (1Samuel 4-
6 dan 1 Raja-Raja 22:1-40), tetapi jika perang dimulai dari Allah dan Israel
inisiatif Allah dan bukan inisiatif kita. Dengan demikian, orang Kristen jika
bukti yang solid bahwa Allah yang berinisiatif dalam perang dan bukan manusia.
4. Dalam Perjanjian Baru, perang lebih banyak secara eskatologis dan spiritual.
Hanya satu bagian perang dalam Perjanjian Baru yang mana umat Allah dipanggil
untuk aktif berperang dalamnya, yaitu perang secara spiritual dalam Efesus 6:10-
20. Selain itu, Allah secara independen berperang dengan bala tentaraNya dan
Kontinuitas Perang
Dari hasil analisa bab tiga, penulis menemukan bahwa tema perang dalam Alkitab
tidak terlepas dari pemahaman Israel sebagai umat Perjanjian Allah. Dalam pemahamann
Perjanjian ini, tema perang berkaitan erat dengan pembebasan dan penghukuman Allah.
Dalam Keluaran hingga Yosua, Allah menggunakan perang bukan hanya untuk
membawa Israel keluar dari tanah Mesir menuju Kanaan namun juga memberikan
penghukuman bagi bangsa-bangsa yang melawan Israel. Hal ini berkaitan dengan
perjanjian Allah dengan Abraham, “Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati
engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau,” (Keluaran 12:3). Oleh
sebab itu, peperangan Israel tidak terlepas dari tema pembebasan dan penghukuman.
Pola pembebasan dan penghukuman juga menjadi pola yang selaras dengan
berkat dan kutuk. Dalam akhir Ulangan 11:26-29, pemahaman berkat dan kutuk dikaitkan
dengan kesetiaan Israel pada perjanjian dengan Allah. Sehingga dalam kitab Hakim-
hakim kita dapat melihat bagaimana ketidaksetiaan Israel pada Allah menghadirkan
perang sebagai hukuman, dan pertobatan Israel juga menghadirkan perang sebagai
pembebasan. Tema perang sebagai penghukuman dan pembebasan dari Allah juga terus
berlanjut dalam kitab-kitab sejarah hingga nabi-nabi. Dalam 1Raja-Raja 22:1-40 Allah
menggunakan perang sebagai hukuman bagi Ahab, sedangkan dalam Ester Allah
dimana perang disatu sisi menjadi hukuman bagi ketidaksetiaan Israel, namun juga disisi
lain perang menjadi pengharapan akan pembebasan Israel dari pembuangan. Pemahaman
perang sebagai pembebasan bukan sekedar terjadi secara fisik, namun juga secara
dunia. Lebih lanjut, dalam kitab Wahyu tema perang sebagai penghukuman dan
cara Allah untuk menjatuhkan hukuman, memusnahkan kuasa jahat, dan menghadirkan
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa pemahaman perang dalam Alkitab
secara berlanjut memperlihatkan tema penghukuman dan pembebasan. Bagi umat Allah
yang beriman pada Allah dan taat pada perjanjian Allah, perang akan menjadi sebuah
bentuk pembebasan, baik secara politik maupun secara spiritual. Sedangkan bagi orang
tidak percaya, perang menjadi bagian dari cara Allah menghukum mereka dan
menyatakan kerajaan dan kuasa-Nya. Selain itu, dalam tema penghakiman dan
penghukuman inilah pemahaman mengenai Iman, ibadah, dan Kerajaan Allah saling
429
Sekalipun pemahaman mengenai tema kerajaan Allah yang dikaitkan dengan perang lebih
sering muncul dalam literatur masa pembuangan, namun konsep bahwa kerajaan Israel adalah kerajaan
milik Allah sudah muncul bersama dengan kesadaran bahwa Israel adalah umat pilihan Allah.
Diskontinuitas Perang
Perjanjian Baru menuju Perjanjian Lama, namun juga menunjukkan beberapa aspek yang
tidak berlanjut. Aspek yang pertama adalah Aspek perebutan wilayah dan
mempertahankan wilayah. Tema perebutan wilayah dalam perang hanya muncul dalam
situasi dimana Israel mau masuk menuju tanah Kanaan, sedangkan setelah masuk ke
tanah Kanaan aspek perebutan wilayah tidak nampak lagi. Lebih banyak tema
mempertahankan wilayah muncul setelah Israel masuk ke tanah Kanaan, terutama dalam
kitab Hakim-hakim. Hal ini berhubungan dengan kondisi sosial dan politik Israel, dimana
terjadi perubahan status dari bangsa yang baru bebas menuju bangsa yang menetap.
Perubahan status ini mempengaruhi perubahan aspek perang dari tema perebutan wilayah
Aspek kedua yang tidak berlanjut adalah aspek politik. Dalam peperangan Israel,
aspek politik lebih banyak muncul dalam masa kerajaan dimana relasi Israel dan bangsa-
bangsa lain memungkinkan muncul perang-perang dengan alasan politik, seperti yang
dilakukan oleh Ahab dalam 1Raja-Raja 22. Sekalipun demikian, kehancuran kerajaan
Israel pada masa pembuangan dan munculnya perubahan dari umat Allah secara nasional
menuju umat Allah secara spiritual, menjadikan tema politik berhentim dari relasi dengan
politik, namun Alkitab dengan pasti menunjukkan bagaimana Mesias hadir untuk
menyelesaikan konflik spiritual dan menghadirkan kerajaan Allah secara spiritual, bukan
politik. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa aspek politik dalam perang mengalami
ketidakberlanjutan (discontinuity).
Aspek ketiga adalah aspek fisik. Dalam Perjanjian Lama, khususnya dalam masa
Musa hingga masa kerajaan, peperangan terjadi secara fisik. Peperangan Israel melawan
Moab, Filistin, Amalek, dan bangsa-bangsa Kanaan terjadi dengan pertumpahan darah.
Meskipun dalam peperangan fisik beberapa bangsa memahami adanya unsur spiritual,
yaitu peperangan antara Allah Israel melawan ilah bangsa lain, namun unsur spiritual ini
tidak menjadi bagian yang dominan. Akan tetapi, peperangan Israel secara fisik mulai
berganti di masa pembuangan, dimana Israel tidak lagi memiliki raja dan pasukan.
Allah yang universal dan spiritual membuat pemahaman perang juga berganti dari perang
antara Israel dan bangsa-bangsa lain secara fisik, menuju perang Allah yang sifatnya
spiritual. Hal ini nampak dalam nubuatan nabi-nabi masa pasca pembuangan, seperti
Yesaya dan Zakharia yang melihat bahwa dalam peperangan eskatologis, Allah tidak
jahat. Oleh karena itu, peperangan ini tidak bisa dikatakan sebagai perang fisik, namun
Selain itu, pemahaman mengenai umat Allah juga mengalami perubahan di masa
bersifat spiritual. Dimana umat Allah atau kaum remnant tidak lagi sekedar dilihat
berdasarkan asal usul bangsa, namun lebih dilihat berdasar kesetiaan pada Allah. Hal ini
makin jelas dengan dalam Perjanjian Baru, terutama melalui pelayanan Paulus. Dimana
umat Allah, keturunan Abraham bukan lagi berbicara masalah genetik, namun lebih pada
masalah spiritual. Oleh karena itu, Paulus mengatakan mereka yang hidup dari iman,
mereka itulah anak-anak Abraham (Galatia 3:7). Dengan berubahnya pemahaman umat
Allah secara nasionalis menuju spiritual, maka pemahaman mengenai perang fisik juga
berhenti. Sebab tidak ada satupun bangsa yang dapat membenarkan perang dengan
landasan bahwa mereka umat pilihan Allah, sebab umat pilihan bukan masalah politik
atau nasionalisme tertentu, namun masalah iman dan relasi spiritual dengan Allah yang
hidup. Dengan demikian, landasan untuk berperang secara fisik dalam Alkitab
Dengan melihat adanya sisi-sisi yang berlanjut dan adanya bagian-bagian yang
tidak berlanjut dalam perang. Ditambah dengan adanya data-data mengenai perang yang
didapat dari penelusuran dalam bab tiga. Maka perlu adanyan sebuah sintesa Biblikal-
Teologis mengenai perang dalam Alkitab. Dalam bagian ini, penulis akan
membandingkan hasil yang diperoleh dengan pemahaman dari dua tokoh yang terlebih
dahulu membahas mengenai perang, yaitu Susan Niditch dan Tramper Longman.
Secara umum, perang dalam Alkitab dapat dibagi menjadi dua kelompok besar,
yaitu perang secara fisik atau spiritual. Perang secara fisik dalam Alkitab terjadi lebih
banyak dalam relasi antara Israel dengan bangsa-bangsa lain, sebagai contoh perang
antara Israel dan Mesir (Keluaran 15), Israel dan Yerikho (Yosua 5:13-6:27), Israel dan
Kanaan (Hakim-Hakim 4-5), dan lain sebagainya. Sedangkan, perang spiritual lebih
banyak muncul dalam Perjanjian Baru, dimana perang spiritual berkaitan erat dengan
kekuatan dewa-dewa, penguasa-penguasa di udara, dan musuh-musuh supranatural. Dari
dua bentuk perang yang terjadi dalam Alkitab, muncul beberapa pemahaman mengenai
Kehidupan Israel kuno tidak pernah lepas dari kehidupan ibadah. Longman dan
Reid menyatakan bahwa “In ancient Israel, all of life was religious, all of life was related
to God.”430 Hal ini juga termasuk permasalahan mengenai perang. Dalam pemahaman
Israel kuno, perang dipahami sebagai bagian dari ibadah. Hal ini ditunjukkan melalui
penggunaan kata herem dalam beberapa teks perang, salah satunya dalam Ulangan 20:17.
Penggunaan kata herem dalam Alkitab menunjukkan dua makna, yaitu makna
dikhususkan atau ditentukan untuk dihancurkan. Dalam Imamat 27:28 kata herem
digunakan dalam konteks persembahan nazar memiliki makna dikhususkan. Hal ini
seperti yang terjadi dalam kisah Hana yang mempersembahkan Samuel atau kisah
Simson yang dikhususkan bagi Allah. Penggunaan kata herem ini berbeda dengan
pemahaman dalam Ulangan 20, dimana dalam konteks perang, kata herem digunakan
dalam makna ditentukan untuk dihancurkan, hal ini merujuk pada Ulangan 7:26.
Pemahaman ini nampaknya sejalan dengan konsep Timur Dekat Kuno yang tercatat
So I went by night and fought against it from the break of dawn until noon, taking it and
slaying all, seven thousand men, boys, women, girls, and maid-servants for I had devoted
them to destruction for (the god) Ashtar-Chemosh, (ANET, 321, trans. W.F. Albright).431
430
Tremper Longman III dan Daniel G. Reid, God is a Warrior (Grand Rapids, Michigan:
Zondervan, 1995), 32.
431
Susan Niditch, War in Hebrew Bible: A Study in the Ethic of Violence (Oxford: Oxford
University Press, 1993), 31.
Pemahaman herem yang merujuk kepada tindakan penghancuran ini nampaknya
pemahaman Israel dengan kebudayaan Timur Dekat Kuno dimana penghancuran yang
dilakukan oleh Israel bukan semata-mata untuk kehancuran namun lebih dilihat sebagai
Tindakan pengabdian merupakan bagian dari ibadah kepada Allah. Hal ini juga
ditemukan oleh Longman dalam penelitiannya mengenai perang dalam Ul. 7, 23, Yos. 5,
dan 1 Sam 13 yang menunjukkan bagaimana Israel harus melakukan beberapa hal dalam
Many of the acts that preceded a war in the Hebrew Bible indicate the religious nature of
the conflict. Sacrifice, circumcision, vows, oracular inquiries, ritual cleanness-each of
these elements announced Israel’s understanding that God was present with them in
battle.433
Tindakan pengorbanan, penyunatan, hingga ritual pembersihan adalah bagian dari ibadah
Israel yang secara umum juga dilakukan di luar konteks perang. Tindakan ibadah ini
dilakukan dalam perang sebagai bagian dari pemahaman Israel akan kesadaran kehadiran
Allah dalam pertempuran. Kehadiran Allah yang Kudus, yang kepadanya Israel diundang
untuk menjadi bagian dari tentara Allah yang Kudus, menjadikan Israel wajib juga
menguduskan diri mereka dalam ibadah-ibadah sebelum mereka maju dalam perang.
Perang sebagai tindakan ibadah juga dilihat oleh Niditch dalam penelitiannya
mengenai teks-teks perang dalam kitab-kitab Ulangan dan Yosua. Berbeda dengan
432
Niditch, War in Hebrew Bible, 32.
433
Longman dan Reid, God is a Warrior, 37.
Longman, Niditch lebih menekankan pemahaman herem sebagai bentuk ibadah
The ban-as-sacrifice is the ideology behind many of the brief comments on the conquest
of cities in Joshua 8 and 10. Humans but not animals or inanimate booty are always
devoted under the ban in this context for they are the most valuable offerings.434
Dalam pemahaman ini, kehancuran total dari bangsa Kanaan dilihat sebagai bentuk
penebusan dosa dalam Keluaran 30:10. Hal ini dikuatkan dengan fakta bahwa objek yang
ditentukan untuk dihancurkan (herem) adalah objek yang berdosa dimana mereka pantas
dan layak membayar hasil dari tindakan mereka, yaitu kematian. Hal ini selaras dengan
penyataan Paulus dalam Roma 6:23a “Sebab upah dosa ialah maut”. Niditch juga
menambahkan bahwa kematian dan perang sebagai bentuk pengorbanan merupakan salah
satu cara memuaskan murka Allah atas dosa.435 Hal ini bukan hanya terjadi bagi umat
non-Israel, namun juga terjadi bagi umat Israel yang melakukan dosa, seperti dalam kisah
pada konsep herem nampak dalam Perjanjian Baru melalui kematian Kristus di kayu salib
hamba yang menderita harus dihina, menderita, dan mati untuk menanggung dosa
manusia. Hal ini sejalan dengan penyataan Rasul Yohanes, “Dan Ia adalah pendamaian
untuk segala dosa kita, dan bukan untuk dosa kita saja, tetapi juga untuk dosa seluruh
dunia.” (1Yohanes 2:2) Dalam bagian ini, kematian Kristus di kayu salib untuk
434
Niditch, War in Hebrew Bible, 37.
435
Niditch, War in Hebrew Bible, 40.
menanggung dosa manusia menggenapkan konsep herem sebagai pemuasan murka Allah
atas dosa.
indikasi adanya nuansa perang dalam bagian ini. Selain itu, penggunaan kata “rampasan”
menunjukkan bahwa kematian Hamba yang menderita dalam Yesaya 53 bukanlah bentuk
kekalahan namun justru adalah kemenangan. Oleh sebab itu, kematian Kristus di kayu
salib juga merujuk kepada kemenangan total atas dosa. Paulus dalam 1Korintus 15:54c
menyatakan “Maut telah ditelan dalam kemenangan.” Hal menggambarkan kematian dan
kebangkitan Kristus sebagai kemenangan atas kuasa dosa. Dengan demikian, tidak
berlebihan jika dalam konsep penebusan dosa yang Kristus lakukan, umat Kristiani abad
Perang bukan hanya dipahami oleh bangsa Israel sebagai bagian dari ibadah pada
Allah, namun juga sebagai sebuah pembebasan. Dalam sejarah kehidupan Israel, Allah
berulang kali menggunakan perang untuk membawa Israel terbebas dari ancaman musuh.
Dimulai dengan perang Allah melawan Mesir hingga pada perang melawan Filistin,
Amalek, dan bangsa-bangsa di sekitar Kanaan. Konsep perang sebagai jalan Pembebasan
tidak terlalu nampak dalam pembahasan Niditch, sebab penekanan utama dari
pembahasan Niditch lebih pada keadilan Allah dan penghukuman Allah. Sedangkan
dalam Longman, perang sebagai jalan pembebasan dibahas secara singkat dalam
pemahaman Allah sebagai pahlawan perang yang berperang bagi umatNya yang setia.
Pemahaman perang sebagai jalan pembebasan digambarkan secara jelas dalam
kisah keluarnya Israel dari Mesir (Keluaran 14-15). Peristiwa Keluaran menjadi pola
Peristiwa Allah yang menyelamatkan umat yang tak berpengharapan dari perbudakan
tirani menjadi berita yang tertanam kuat dalam hati Israel.436 Keyakinan Israel atas Allah
yang membebaskan juga terus muncul dalam masa-masa sulit Israel, terkhusus dalam
berita pengharapan dan nubuatan masa pembuangan. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika gambaran Mesias sebagai pahlawan yang membawa pembebasan bagi
umat-Nya sangat kental dalam literatur masa pembuangan, seperti pada Yesaya 42:10-
43:7, bahkan hingga abad pertama Masehi (1 Henokh 52, Barukh 4-5, Mazmur Salomo
17-18).
pembuangan hingga abad pertama masehi dalam pemikiran umat Yahudi berakar kuat
pada figur Daud dan Allah sebagai Pahlawan Perang.437 Gambaran ini muncul berkaitan
436
Niditch, War in Hebrew Bible, 143.
437
Loren T. Stuckenbruck, “Messianic Ideas in the Apocalyptic and Related Literature of Early
Judaism”, dalam The Messiah in the Old and New Testaments, ed. Stanley E. Porter (Grand Rapids,
Michigan: Eerdmans, 2007), 112.
Selain itu, S. Talmon menyatakan bahwa penekanan antara pengalaman historis
dan utopianisme mistis juga mewarnai pemahaman dari konsep Mesias dalam masa
pembuangan dan pasca pembuangan.438 Dalam pemahaman inilah nuansa spiritual dalam
Perjanjian Baru. Tema-tema seperti hari Tuhan, Kerajaan Allah, dosa, dan penebusan
dalam Perjanjian Baru banyak mengandung nuansa spiritual, seperti yang terdapat dalam
Matius 24;3-14, Efesus 6:10-20, Wahyu 16, 20. Dalam nuansa spiritual dan eskatologis,
pembebasan dikaitkan dengan dosa. Paulus dalam Roma 6:15-23 menjelaskan kuatnya
ikatan dosa dengan gambaran perbudakan, dimana orang berdosa diikat dan diperbudak
oleh dosa. Dalam perbudakan dosa inilah, Allah menghadirkan Kristus sebagai
sebagai tipologi dari Keluaran yang baru dimana umat Allah dibebaskan dari ikatan
perbudakan dosa melalui kematian dan kebangkitan Kristus.439 Peristiwa kematian dan
kebangkitan Kristus menjadi gambaran peperangan dengan Iblis, dimana kekuatan Iblis
dikalahkan dan sengat maut dipatahkan (1Korintus 15:55-57). Oleh sebab itu, perang
438
Shemaryahu Talmon, “The Concept of Messiah and Messianism in Early Judaism”, dalam The
Messiah: Developments in Earliest Judaism and Christianity, ed. James H. Charlesworth (Minneapolis,
Minnesota; Fortress, 1992), 85.
439
Longman dan Reid, God is a Warrior, 161-162.
Perang sebagai Bentuk Penghukuman
Perang bukan hanya membebaskan, namun juga dapat digunakan oleh Allah
sebagai bentuk penghukuman. Niditch mengatakan bahwa perang bukan menjadi alat
penghukuman yang adil terhadap keberdosaan manusia.440 Kisah perang Kanaan menjadi
salah satu contoh bagaimana Allah menghukum bangsa Kanaan atas dosa mereka melalui
umat-Nya Israel. Lebih lanjut, hukuman yang diberikan Allah bukan hanya kepada
orang-orang di luar Israel, namun juga bagi kaum Israel. Kisah tentang kekalahan Israel
terhadap Ai (Yosua 7), kekalahan Israel dengan Filistin, (1Samuel 4-6), bahkan hingga
kisah pembuangan ke Babel menjadi cara Allah menghukum Israel melalui perang.
sebagai Pahlawan Israel, namun dalam pembuangan, Allah adalah musuh Israel yang
dengan Allah, Israel dituntut untuk setia dan taat. Tindakan kesetiaan dan ketaatan pada
Allah adalah bentuk pengabdian Israel pada Allah, sebaliknya pelanggaran Israel
terhadap Perjanjian menjadikan Israel sebagai sasaran hukuman Allah.442 Pemahaman ini
digambarkan melalui dua makna dari kata herem, yaitu dipisahkan untuk Allah atau
440
Niditch, War in the Hebrew Bible, 57.
441
Longman dan Reid, God is a Warrior, 52.
442
Niditch, War in the Hebrew Bible, 59.
Pemahaman perang sebagai bentuk hukuman atas dosa manusia juga terus
berkembang hingga masa pembuangan. Dalam masa ini, pembuangan dilihat sebagai
hukuman terberat bagi Israel, sebab Israel bukan hanya mengalami perang dan kalah,
namun juga terbuang dari tanah Perjanjian. Keterbuangan Israel dari tanah Perjanjian
menjadi hukuman terberat. Terbuang atau terpisah dari Allah dilihat setara dengan
kematian. Dalam Mazmur 46 gambaran Allah sebagai kota benteng yang teguh dimana
“ditinggalkan”, “miskin”, atau “ditolak” menjadi gambaran dari kematian dan hukuman.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika di kayu salib Yesus meneriakkan “"Eli, Eli,
lama sabakhtani?” (Matius 27:46) sebagai gambaran dari hukuman terberat yang harus
Dalam keadilan Allah inilah perang digunakan untuk memisahkan antara yang kudus dan
tidak kudus, yang layak untuk diselamatkan dan yang dikhususkan untuk dihancurkan.443
Sedangkan Longman lebih banyak mengkaitkan tema ini dengan konsep Perjanjian.
Dimana tindakan Allah dalam dan melalui perang dilihat sebagai bagian ekspresi dari
kondisi Perjanjian.444
Sedangkan, secara pribadi, penulis melihat bahwa konsep perang sebagai bentuk
hukuman dari Allah justru mengalami pergerakan dimana pada masa-masa pembuangan
hukuman Allah tidak dipahami lewat perang namun melalui keterpisahan dengan Allah.
443
Longman dan Reid, God is a Warrior, 77.
444
Longman dan Reid, God is a Warrior, 48.
Gambaran keterpisahan dengan Allah sebagai hukuman Allah semakin dikuatkan dalam
Perjanjian Baru, terutama melalui seruan Kristus di kayu salib. Gambaran perang kembali
menjadi bentuk penghukuman Allah bagi yang berdosa baru muncul lagi dalam kitab
Wahyu sebagai gambaran penghukuman terakhir (Wahyu 16, 20). Hal ini menunjukkan
bahwa sekalipun konsep perang sebagai bentuk hukuman Allah sempat tertutupi dengan
sebagai bentuk penghukuman terakhir yang sifatnya universal dan spiritual. Selain itu,
nampaknya tidak lagi berlaku dalam Perjanjian Baru, sebab dalam perang eskatologis,
penulis setuju dengan konsep non-participation yang diajukan oleh Niditch dengan
penghukuman Allah.445 Oleh sebab itu, teori just war tidak dapat menggunakan status
atau penghukuman dari Allah, berkaitan erat dengan permasalahan iman. Niditch juga
melihat hal yang sama, dimana perang dapat hadir dalam konteks hukuman Allah
maupun perihal bertahan dalam iman.446 Dalam Ulangan 20 penggunaan frasa “jangan
445
Niditch, War in the Hebrew Bible, 143.
446
Niditch, War in the Hebrew Bible, 64.
takut, sebab Tuhan Allah-mu...” menunjuk pada iman kepercayaan pada Allah. Selain itu,
dalam kisah Yosua, ketika Yosua dan Israel harus kehilangan Musa, Allah datang dan
menguatkan iman Yosua melalui kehadiran Allah sebagai panglima perang Israel.
Bahkan yang menarik, dalam kisah ini, ketaatan dan iman percaya pada Allah jauh lebih
Kepercayaan kepada Allah bukan hanya ditunjukkan dalam hal jumlah tentara
atau teknologi perang yang dimiliki, namun juga berhubungan dengan relasi pribadi.
dirinya dihadapan Allah di dalam peperangan. Hal ini nampak jelas dalam contoh
kehidupan Saul dan Daud. Dalam 1Samuel 13, Saul secara sengaja melanggar kekudusan
Allah melalui mengorbankan korban bakaran sebelum berperang. Dalam bagian ini
nampak Saul memposisikan Allah sebagai ilah yang akan memenuhi perintah dan
permintaan Saul jika Saul memberikan korban bakaran. Sebaliknya, Daud mengerti benar
bahwa Allah adalah Raja yang sesungguhnya, sehingga dalam perang Daud selalu
mengutamakan Allah. Hal ini nampak dalam 1Samuel 17:45, dimana Daud berseru pada
Goliat, "Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku
mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel yang
kautantang itu.” (1Samuel 17:45) Dalam bagian ini Daud sadar bahwa kehadirannya
dalam perang bukan sebagai yang utama, namun Allah yang utama. Oleh karena itu, ia
Kesadaran akan posisi Israel dalam relasi dengan Tuhan akan mempengaruhi cara
Israel melihat dan menjalani perang. 1Samuel 4-6 menunjukkan secara jelas bagaimana
Allah bukan seperti ilah lain yang dapat dipergunakan sebagai jimat untuk memperoleh
kemenangan. Umat perlu hadir dalam kekudusan dan ketaatan akan suara Allah dan
kehendak-Nya. Pemahaman mengenai posisi kita dalam relasi dengan Allah juga
menunjukkan seberapa dalam iman kita pada Allah. Pengenalan akan Allah yang penuh
kuasa bukan hanya menghadirkan rasa hormat namun juga keyakinan akan pertolongan
bumi berubah, sekalipun gunung-gunung goncang di dalam laut, (Mazmur 46:2) Bangsa-
bangsa ribut, kerajaan-kerajaan goncang, dan bumipun hancur. (Mazmur 46:6) Namun
Pemazmur tetap dapat berkata bahwa ia tidak takut, sebab Allah adalah kota benteng
yang teguh.
Dalam bagian ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa perang dalam pemikiran
Alkitab bukan sekedar masalah sosial politik namun juga masalah iman. Dalam bagian
ini diperlihatkan bahwa kehadiran Allah sebagai pahlawan perang justru lebih untuk
menyelesaikan permasalahan spiritual. Selain itu, jika merujuk pada kitab-kitab pasca
pembuangan maka pemahaman akan janji keselamatan bagi umat lebih mengarah pada
pemulihan relasi spiritual. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika dalam Perjanjian
Baru kehadiran Kristus sebagai Mesias bertujuan bukan sebagai restorasi politik, namun
kerajaan politik, namun Ia hadir untuk menyelamatkan yang terhilang (Matius 18:11).
Kristus mengembalikan relasi manusia dengan Allah yang terputus karena dosa, melalui
Perang sebagai bagian dari misi Allah, frasa ini nampaknya mengundang banyak
perdebatan. Bagaimana Allah yang adalah kasih menggunakan kekerasan sebagai upaya
untuk membuat manusia percaya padaNya? Bagaimana Allah yang Kudus dan maha
Kuasa adalah juga Allah yang digambarkan penuh dengan darah? Oleh sebab itu, baik
Longman maupun Niditch tidak menunjukkan adanya pemahaman misi dalam perang.
Sekalipun demikian, mengutip pernyataan Walter C. Kaiser, bahwa rencana agung Allah
pemahaman Timur Dekat Kuno tentang kemenangan perang, konsep tentang Allah/dewa,
serta hasil penafsiran yang muncul dalam bab tiga, membuat penulis melihat bahwa tema
Pemahaman perang sebagai bagian dari misi Allah berhubungan erat dengan
konsep perang dalam pemikiran Timur Dekat Kuno. Dalam mitos Timur Dekat Kuno,
perang dilihat sebagai konflik spiritual dan kosmik antara Allah dan kekuatan jahat,
dimana pemenang dari perang ini akan menjadi raja dan kepada segala hormat dan pujian
diberikan.448 Dalam hal ini, tidak jarang bahwa kemenangan sebuah bangsa dalam perang
terhadap bangsa lain juga membawa pertobatan bagi pribadi-pribadi tertentu dari bangsa
yang ditaklukkan. Hal ini nampak pada Keluaran 12:48 dimana frasa “seorang asing telah
menetap padamu” kemungkinan besar berkaitan dengan orang-orang non-Israel yang ikut
447
Walter C. Kaiser, Mission in the Old Testament (Grand Rapids, Michigan: Baker Books, 2000),
13.
448
Longman dan Reid, God is a Warrior, 83-85.
keluar dari Mesir. Pada bagian ini juga dikatakan bahwa orang asing ini juga ingin
merayakan Paskah dan oleh karenanya mereka harus disunat agar mereka masuk menjadi
satu dengan umat Perjanjian. Dari kesaksian Alkitab, hal ini jelas bukan sekedar merujuk
masalah politik namun lebih kepada pengakuan spiritual akan keilahian Allah Israel.
Selain itu, dalam peperangan Timur Dekat Kuno, pihak yang kalah biasanya akan
dibunuh atau dijadikan budak oleh pihak yang menang.449 Hal ini juga nampak dalam
kemenangan Musa melawan Midian, dimana budak tawanan merupakan bagian dari
barang rampasan perang (Bilangan 31:11). Kehadiran konsep budak masa itu, bukan
sekedar menuruti perintah tuan, namun tidak jarang juga budak-budak ini akan mengikuti
kepercayaan dari sang tuan. Tradisi ini nampak jelas dalam kisah pembuangan Babel,
tawanan untuk menyembah patung yang ia dirikan (Daniel 3). Pemaksaan kepercayaan
ini adalah bagian yang wajar dalam budaya Timur Dekat Kuno dimana perubahan
kepercayaan bisa menjadi bagian dari klausul damai antara pihak yang menang
bagaimana Yesus telah menang dalam peperangan melawan Iblis dan ia mengambil kita
serta memerdekakan kita dari hamba dosa menjadi hamba Allah (Roma 6:17-18). Selain
itu, penggunaan frasa “ditangkap” (κατελήμφθην) dalam Filipi 3:12 juga memiliki makna
dimenangkan atau direbut dengan keras. Hal ini merujuk pada kemenangan Kristus di
atas kayu Salib dalam Filipi 2:5-11, serta sebagai penggambaran dari kesaksian
449
Niditch, War in the Hebrew Bible, 67.
450
Niditch, War in the Hebrew Bible, 67.
pertobatan Paulus dalam Filipi 3:7-11. Oleh sebab itu, Paulus melihat bahwa konsep
perang dan hamba merupakan bagian yang dapat digunakan untuk menggambarkan misi
Allah.
Pemahaman perang sebagai bagian dari misi Allah juga dapat dilihat dari kisah
1Samuel 4-6 dan Ester 8-9. Dalam bagian ini misi Allah melalui perang dapat dilihat
lewat pengakuan dan penghormatan yang diberikan bangsa Filistin kepada Tabut Allah.
Sekalipun bangsa Filistin tidak menjadi bagian dari umat Allah, namun dalam kisah ini
Filistin sebagai bangsa asing justru memberikan penghormatan dan pengakuan kepada
Allah Israel sebagai Allah yang sejati, pemenang perang yang sesungguhnya, hal ini
nampak dari pemberian Filistin ketika mereka mengembalikan tabut TUHAN. Selain itu,
penggunaan frasa “tabut TUHAN” pada 1Samuel 6:2 menunjukkan adanya perubahan
pemahaman bangsa Filistin tentang siapa Allah Israel. Perubahan ini nampak jika
dibandingkan dengan 1Samuel 4:7 dimana orang Filistin menggunakan kata elohim untuk
nuansa Allah sebagai Allah Perjanjian. Perubahan ini menunjukkan bahwa adanya
pengenalan yang lebih mendalam tentang siapa Allah Israel dalam kehidupan bangsa
Filistin.
Dalam kitab Ester, misi Allah dapat dilihat melalui ketakutan yang dihadirkan
oleh Mordekhai dan orang Yahudi, sehingga dikatakan banyak pembesar, wakil-wakil
pemerintah, bupati, dan orang-orang berpengaruh saat itu memilih untuk mendukung
orang Yahudi. Ketakutan yang dialami oleh orang-orang non-Yahudi menjadi gambaran
dari hadirnya kuasa Allah. Pemahaman mengenai kuasa Allah yang membawa ketakutan
juga sering digunakan oleh penulis Mazmur. Hal yang menarik dinyatakan dalam
Mazmur 2:11-12 dimana rasa takut atau gemetar terhadap kuasa Allah justru dikaitkan
dengan perintah untuk beribadah. Rasa takut yang sama juga nampak dalam seruan
Gideon ketika berhadapan muka dengan Malaikat TUHAN (Hakim-Hakim 6:22). Rasa
takut ini muncul atas kesadaran betapa dahsyatnya Allah. Kesadaran akan kuasa Allah
juga merupakan bagian dari cara Allah memperkenalkan diriNya pada umat-Nya, seperti
yang dialami oleh Petrus ketika bertemu Yesus di danau Galilea (Lukas 5:8).
Dalam bagian ini, kehadiran misi Allah dalam perang juga mengalami pergerakan
dari kehadiran yang bersifat politik, melalui tradisi perbudakan, hingga menuju pada
kehadiran misi Allah secara spiritual melalui pemahaman dan pengenalan tentang kuasa
Sebagai bangsa, pemahaman mengenai perang tidak dapat lepas dari konstruksi
politik dan sosial yang ada. Pergerakan pemahaman perang Israel dari Mesir menuju
Kanaan juga mengalami sebuah perkembangan pemahaman dari perang untuk merebut
wilayah menuju perang sebagai upaya mempertahankan wilayah. Pemahaman perang ini
berhubungan dengan pergerakan sosial-politik yang terjadi dalam kehidupan Israel, dari
bangsa yang dibebaskan menuju kerajaan yang menetap (stable). Selain itu, munculnya
identitas sebagai bangsa pilihan serta kenangan akan keagungan kerajaan Daud
Sekalipun demikian, tema Kerajaan Allah justru lebih banyak muncul di masa
pembuangan, seperti dalam kitab Yesaya dan Zakharia. Tema ini berhubungan dengan
beberapa konsep antara lain tentang hari Tuhan dan pengharapan Mesianik.
Dalam kaitan dengan konsep hari Tuhan, penyataan Kerajaan Allah hadir sebagai
pengharapan akan pembebasan dari perbudakan dan kemenangan dalam perang. Hal ini
dan pembuangan ke Babel menandai era kerajaan. Kondisi Israel yang tanpa raja dan
tentara perang membangkitkan ingatan Israel akan sejarah keluarnya Israel dari Mesir,
dimana muncul pengharapan akan hadirnya seorang pahlawan yang akan membebaskan
Israel dan menegakkan kembali kerajaan Daud.451 Hal ini diyakini akan terjadi pada hari
Tuhan, hari dimana Tuhan melawat umatNya dan membawa pembebasan bagi umat
PerjanjianNya.
Dalam Yesaya 13:9a dikatakan “Sungguh, hari TUHAN datang dengan kebengisan,
dengan gemas dan dengan murka yang menyala-nyala” Bagian ini selaras dengan
Hari itu ialah hari Tuhan ALLAH semesta alam, hari pembalasan untuk melakukan
pembalasan kepada para lawan-Nya. Pedang akan makan sampai kenyang, dan akan puas
minum darah mereka. Sebab Tuhan ALLAH semesta alam mengadakan korban
penyembelihan di tanah utara, dekat sungai Efrat. (Yeremia 46:10)
Gambaran kehancuran dan perang yang hadir pada hari TUHAN juga muncul pada
bagian Yesaya 42:10-43:7 dan Zakharia 14 dimana kehancuran dan pembalasan yang
Tuhan kerjakan pada hari TUHAN bukan hanya melalui perang, namun juga melalui
451
Longman dan Reid, God is a Warrior, 61-62.
malapetaka dan bencana alam. Hal ini menunjukkan bahwa konsep hari TUHAN bersifat
eskatologis dan merujuk pada sebuah konflik yang terjadi secara kosmik.
Perang yang terjadi di hari TUHAN merupakan peperangan besar, dimana Allah
hadir dengan penghukuman dan pembebasan. Berkaitan dengan ini Von Rad menyatakan
bahwa “Day of Yahweh encompasses a pure event of war.”452 Perang yang terjadi pada
hari TUHAN merupakan bentuk tradisi awal dari perng kudus Allah dalam pemikiran
Israel kuno. Dalam peperangan ini, Israel tidak mengambil peran apapun dan hanya Allah
yang berperang untuk Israel. Longman menyatakan hal yang sama, dimana peperangan
yang terjadi dalam kaitannya dengan hari TUHAN menonjolkan peran dari pahlawan
perang Ilahi dalam nuansa kosmik.453 Kehadiran dari figur pahlawan perang Ilahi serta
ingatan akan kebesaran kerajaan Israel masa Daud membentuk pengharapan mesianik
yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai (Yesaya 9:6). Niditch menyatakan bahwa
pengharapan Mesias yang seperti ini merujuk kepada gambaran Daud sebagai raja dan
panglima perang.454 Gambaran Daud yang dikaitkan dengan figur Mesias, secara politik
yang telah hancur. Pengharapan akan pembebasan dan berdirinya kembali kerajaan Israel
dinyatakan oleh Yesaya, Daniel dan beberapa nabi lain. Dalam Yesaya 44 dikatakan
452
Gerhard Von Rad, ”The Origin of the Concept of then Day of Yahweh,” Journal Semitic
Studies 4 (1959): 97-108.
453
Longman dan Reid, God is a Warrior, 70.
454
Niditch, War in the Hebrew Bible, 133.
ia didiami! dan tentang kota-kota Yehuda: Baiklah ia dibangun, Aku mau mendirikan
kembali reruntuhannya! (Yesaya 44:26)
Jelas bahwa ada janji Allah tentang berdirinya kembali kerajaan Israel yang telah hancur.
Bahkan Daniel menggambarkan bahwa kerajaan yang dibangun oleh Allah pada hari
Tetapi pada zaman raja-raja, Allah semesta langit akan mendirikan suatu kerajaan yang
tidak akan binasa sampai selama-lamanya, dan kekuasaan tidak akan beralih lagi kepada
bangsa lain: kerajaan itu akan meremukkan segala kerajaan dan menghabisinya, tetapi
kerajaan itu sendiri akan tetap untuk selama-lamanya, (Daniel 2:44)
Hal ini menunjukkan adanya pengharapan tentang hadirnya kerajaan Allah yang
Dalam perjanjian Baru, pengharapan Mesianik ini dipenuhi melalui figur Kristus.
Dalam Matius 1:1 ditekankan bahwa Yesus adalah keturunan Daud. Hal ini berkaitan
dengan pemahaman Mesias sebagai keturunan Daud (Yeremia 33:17), yang juga
dinyatakan kembali dalam Lukas 1:68-70 lewat nubuatan Zakharia. Kehadiran Yesus
sebagai Mesias anak Daud juga menggenapi janji Allah pada Daud dalam 2Samuel 7:9-
16, dimana melalui keturunan Daud kerajaan Israel akan kokoh untuk selama-lamanya.
Dalam hal ini, kehadiran Yesus sebagai Mesias anak Daud memiliki tujuan untuk
meneguhkan kembali kerajaan Israel, namun pemahaman kerajaan Israel dalam hal ini
bukanlah secara politik namun lebih secara spiritual. Oleh sebab itu, Yesus menyatakan
bahwa Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini (Yohanes 18:36a). Mengutip Longman, “Berita
Injil adalah berita kemenangan Allah atas kekuatan jahat yang memerintah dunia.”455
455
Longman dan Reid, God is a Warrior, 98.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa perlawanan yang dihadapi pemerintahan Yesus
bukanlah perlawanan dari kekuatan politik, namun lebih kepada kekuatan jahat yang
bersifat supranatural yang memerintah dunia. Oleh karena itu, tidaklah salah jika Paulus
mengatakan bahwa karena “perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi
penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara.” (Efesus 6:12) Sebab
pemerintahan Yesus bukan bersifat politik, namun lebih bersifat spiritual dan peperangan
pemahaman perang secara eskatologis. Perang antara kerajaan Allah melawan kerajaan si
jahat yang digambarkan dalam kitab Wahyu sebagai peperangan terakhir. Dalam bagian
ini, kehadiran figur-figur seperti Anak Domba yang disembelih atau Pengendara kuda
putih menjadi simbol dari Kristus sebagai pahlawan perang Ilahi. Kehadiran figur
pahlawan perang Ilahi dalam kitab Wahyu menunjuk pada penghakiman terakhir bagi
musuh-musuh Israel dan kuasa jahat yang mencoba melawan kerajaan Allah.
Menambahkan hal ini, Longman melihat bahwa kehadiran pahlawan perang Ilahi juga
menunjukkan kemahakuasaan dan otoritas kerajaan yang Ilahi.456 Oleh karena itu,
meskipun kuasa binatang dalam kitab Wahyu mampu untuk menundukkan kerajaan-
kerajaan dunia untuk melawan kerajaan Allah, namun kitab Wahyu tetap menunjukkan
bahwa otoritas kerajaan Allah selalu lebih tinggi dan lebih berkuasa.
456
Longman dan Reid, God is a Warrior, 186.
Perseteruan antara otoritas kerajaan Allah dengan kerajaan Iblis adalah realitas
yang tidak dapat dihindari. Justru melalui perseteruan inilah kuasa Allah ditunjukkan dan
kerajaan Allah menjadi nyata pada akhirnya. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika
Longman mengatakan salah satu fungsi perang adalah untuk menyatakan kekuasaan dan
Yohanes, bahwa perang eskatologi harus terjadi mendahului kehadiran kerajaan Allah,
Yerusalem yang baru. Oleh sebab itu, dalam Wahyu 20 Allah sengaja melepaskan Iblis
peperangan terakhir (Wahyu 20:7-8). Dan setelah perang terakhir inilah kerajaan Allah
yang damai itu dihadirkan (Wahyu 21). Kehadiran kerajaan damai yang dinyatakan
setelah peperangan besar juga menjadi pola dalam Mazmur 46 dimana dalam
(Mazmur 46:10). Kehadiran kerajaan damai ini menggenapi pengharapan Israel tentang
gambaran pemerintahan Allah (Yesaya 2:3-4), dimana setiap suku bangsa akan datang
bersujud dihadapan Allah, menyembah dan belajar padaNya. Gambaran ini dipenuhi
dalam Wahyu 21:1-4, bahwa setelah masa perang besar maka kerajaan Allah akan hadir
sebagai kerajaan Damai dimana setiap suku bangsa akan menjadi bagian dari umat Allah
dan saat itu tidak ada lagi perang ataupun air mata, tidak ada perkabungan dan ratapan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa realita perang merupakan bagian yang tidak
457
Longman dan Reid, God is a Warrior, 181.
perlu untuk kembali diingat bahwa perang dalam kitab Wahyu lebih bersifat spiritual dan
Keenam hal ini menunjukkan kontinuitas dari pemahaman perang yang bersifat fisik
menuju perang secara spiritual dan eskatologis. Dengan adanya enam makna perang ini,
menurut penulis, hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi pemahaman etika Kristen
mengenai perang.
BAB V
PENUTUP
bagian-bagian dari pemahaman perang yang terus berlanjut dari Perjanjian Lama menuju
Perjanjian Baru, namun juga ada bagian yang terputus atau ditambahkan. Pergerakan ini
menunjukkan adanya proses perubahan pemahaman perang di dalam Alkitab. Proses ini
mencakup beberapa aspek yang terus berlanjut, seperti aspek spiritual dalam perang.
Sedangkan untuk aspek-aspek yang bersifat fisik dan berhubungan dengan persoalan
kondisi sosial-politik pada masa kehancuran kerajaan Israel dan juga hadirnya perubahan
penekanan dari umat Allah secara nasionalis menuju pemahaman umat Allah yang
universal. Perubahan ini mempengaruhi penekanan bentuk perang dalam Alkitab dari
perang fisik menuju perang spiritual. Perubahan pemahaman umat Allah yang bersifat
nasional menuju universal memberikan makna penting bagaimana Alkitab secara etis
tidak menyetujui perang dengan landasan politik. Kehadiran konsep umat Allah yang
universal juga membatasi adanya sebuah chauvinisme nasional yang sempit, dimana
perang tidak dapat dilandaskan pada klaim bahwa suatu bangsa tertentu adalah umat
Allah yang berhak untuk melenyapkan bangsa lain, selayaknya yang dilakukan Israel
pada Kanaan. Hal ini juga memberikan jawaban apologetis bahwa peristiwa Israel
melawan Kanaan bukanlah sebuah standar etis umat Kristen untuk melegalkan perang,
namun sebuah peristiwa khusus yang sesuai dengan masa dan kondisi tertentu yang Allah
Selain itu, perubahan menuju konsep umat Allah yang universal juga mengakhiri
pemahaman akan ekskulivitas Yudaisme. Hal ini bukan hanya membuka ruang
keselamatan bagi seluruh manusia, namun juga meruntuhkan segala tembok pemisah
yang dibangun oleh perbedaan gender, politik, sosial, budaya, suku, bangsa, dan bahasa.
“Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang
telah merubuhkan tembok pemisah (Efesus 2:14). Sebab dalam satu Roh kita semua, baik
orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis
menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh. (1Korintus 12:13).”
Dalam keperbedaan inilah justru tubuh Kristus dipersatukan, di dalam dan melalui umat
Untuk alasan apakah perang dapat dikatakan benar atau salah? Untuk menjawab dua
pertanyaan ini, penulis yakin bahwa pendekatan yang dihadirkan dalam studi ini tidak
dapat memberikan jawaban yang cukup memuaskan. Meskipun demikian, jika harus
merujuk pada hasil studi biblikal yang ada dalam skripsi ini maka penulis melihat bahwa
umat Kristiani tetap ada dalam kondisi perang dan tetap diperbolehkan berperang,
terutama perang-perang yang bersifat spiritual. Hal ini berhubungan dengan adanya
Ke-enam hal ini menjadi sintesis atas pemahaman tentang perang dalam Alkitab.
Perang sebagai bagian dari ibadah dalam hal ini memiliki perbedaan pemahaman
dengan konsep jihad dalam konteks muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan
bahwa
Jihad adalah mengerahkan segala upaya demi mencapai kebenaran yang diinginkan.
Hakikat jihad adalah upaya yang sungguh-sungguh untuk mencapai hal-hal yang diridhai
oleh Allah seperti iman dan amal saleh, sekaligus untuk menolak hal-hal yang dibenci-
Nya seperti kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan.458
Untuk menggapai iman dan amal saleh inilah umat diharuskan berjihad melalui
hal ini, Prof. Ahmed Tayyeb menjelaskan bahwa jihad adalah, “Perang di jalan Allah
baik itu ikut secara langsung di barisan militer, bantuan materi, pendapat dan strategi,
keyakinan dan tanah air.”459 Dalam bagian ini, konsep perang dalam pemahaman jihad
458
Ahmed Tayyeb, Pengertian Jihad dalam Islam-1, http://www.waag-azhar.org/id/Makalat1.
aspx?id=312#sthash.UK0I11CN.dpuf (diakses 25 September 2015).
459
Ahmed Tayyeb, Pengertian Jihad dalam Islam-1, http://www.waag-azhar.org/id/Makalat1.
aspx?id=312#sthash.UK0I11CN.dpuf (diakses 25 September 2015).
muslim nampaknya menggabungkan pemahaman antara agama dan politik dimana
perang dibolehkan dengan tujuan keyakinan ataupun membela tanah air. Sedangkan
dalam pemahaman Alkitab, konsep perang lebih ditekankan pada bentuk pengurbanan
dan pendamaian yang merujuk pada pemenuhannya dalam Kristus. Dalam pemahaman
ini perang bukan semata merujuk pada konflik secara fisik, namun lebih secara spiritual.
Oleh sebab itu, dalam Perjanjian Baru penekanan terhadap musuh spiritual mendominasi
konsep perang dalam Alkitab dan bukan pemahaman politik atau fisik.
Selain itu, berkaitan dengan konteks Perjanjian, perang juga memiliki nuansa
pembebasan dan penghukuman. Pemahaman ini dilihat dari sudut pandang Allah sebagai
aktor utama yang mengijinkan dan bertindak dalam perang. Kisah-kisah seperti peristiwa
keluarnya Israel dari Mesir, perang dalam kitab Hakim-hakim, hingga peristiwa
pembuangan menjadi tanda bahwa Allah sebagai aktor utama dalam perang. Kehadiran
Allah sebagai aktor utama dalam perang menunjukkan bahwa peperangan dalam Alkitab
tidak dimulai dari intensi manusia, namun dari Allah. Hampir sama dengan pemahaman
jihad bahwa perang di jalan Allah adalah berperang bersama Allah atau untuk Allah,
Meskipun demikian, di sisi lain kita juga melihat bagaimana Allah melalui Kristus hadir
sebagai hakim bagi dunia. Oleh sebab itu, perang sebagai bagian penghukuman dan
pembebasan bukanlah bagian dari tanggungjawab manusia namun secara pribadi menjadi
Pemahaman perang sebagai tanggungjawab dan hak Allah juga nampak dalam
konsep perang sebagai bagian dari misi Allah dan penyataan kehadiran Kerajaan Allah.
Meski demikian, bukan berarti manusia tidak memiliki andil dalam peperangan di dunia
ini. Konsep perang sebagai masalah iman, menunjukkan bagaimana Allah juga
memanggil umatnya untuk masuk dalam peperangan spiritual dan untuk terus menjaga
iman mereka pada Kristus. Dalam hal ini gereja perlu memahami bahwa kehidupan iman
Kristen bukanlah kehidupan tanpa perang, kita tetap ada dalam lahan peperangan, namun
peperangan kita bukan bersifat fisik tapi spiritual. Oleh sebab itu, pembinaan iman dan
kehidupan spiritual umat Allah perlu terus diasah dan ditumbuhkan untuk menghadapi
Alkitab, namun juga menjadi filter resistan terhadap unsur-unsur politik dan fisik.
Pendekatan ini juga berhasil menunjukkan pengaruh antara konteks dari teks terhadap
ditampilkan oleh pendekatan ini bukan hanya aktual sesuai masanya, namun juga realistis
dan teologis. Dengan memahami bahwa teks perang berkaitan dengan konteks zamannya,
maka dalam penafsiran terhadap teks perang dalam Perjanjian Lama perlu sekali umat
melegalkan perang juga perlu dianalisa kembali dalam bentuk penafsiran yang lebih
dalam Alkitab, dan konteks masa kini. Sehingga dapat meminimalkan upaya politisasi
dari perang fisik menuju spiritual, namun juga dapat memberikan penjelasan mengenai
perang secara fisik dalam Perjanjian Lama. Dengan menggunakan menggali konteks
Keterkaitan perang dengan pemahaman spiritual dan sosial yang ada jelas sudah
bergerak jauh dalam tatanan moral modern. Standar moral modern tentu adalah hasil dari
pembelajaran dan perubahan kondisi sosial, teologis, dan moral. Dan jelas bahwa standar
Perjanjian Lama perlu dengan “legowo” mengakui bahwa adanya ketidakadilan dalam
menilai perang Perjanjian Lama yang terikat dengan konteks teologis dan sejarah masa
itu. Jika standar modern memaksakan diri untuk menilai teks Perjanjian Lama dengan
tatanan sistem nilai modern, maka tanpa sadar kita telah mencoba melepaskan keterkaitan
konteks teologis dan sejarah dari teks. Memperkuat argumen ini, Mark Woods
mengatakan bahwa perang tidak beroperasi dan terjadi dalam isolasi, perang
dapat terjadinya perang.460 Sistem ini dapat berupa konsep teologis, tatanan moral, dan
kondisi kesejarahan yang dapat menjelaskan mengapa perang terjadi dan untuk alasan
apa perang diterima. Oleh sebab itu, terjadinya perang dalam Perjanjian Lama tidak bisa
460
Mark Woods, “The Nature of War and Peace”, dalam Rethinking the Just War Tradition,
ed.Michael W. Brough, John W. Lango, dan Harry van der Linden (New York: State University of New York,
2007), 19-20.
menjadi legitimasi etis akan adanya perang dalam masa ini, namun juga standar moral
modern juga harus merendahkan hati dan adil untuk menerima kenyataan adanya perang
dalam Perjanjian Lama sebagai bagian dari sistem kehidupan masa itu.
Saran-Saran
acak yang tak berurut. Kebenaran yang ter-fragmen inilah yang sesungguhnya penulis
yakini dipaparkan dalam studi ini. Sekalipun penelusuran akan realita perang mencakupi
beberapa masa dari sejarah kehidupan umat Allah dalam Alkitab, namun penulis sadar
pendekatan ini hanyalah satu dari sekian banyak pendekatan yang ada, sedangkan
eksposisi yang diberikan juga masih jauh dari kata lengkap untuk menggambarkan realita
Dengan kesadaran ini, sesungguhnya masih banyak hal yang mungkin masih bisa
ditemukan dalam studi-studi yang lebih lanjut dan mendalam mengenai perang. Sebagai
usul saran bagi studi yang lebih luas mungkin dapat mulai untuk menggali (1) kaitan
antara misi Allah dan perang dalam sejarah manusia, (2) kekerasan dan ibadah dalam
alkitab, (3) pembentukan etika perang melalui ke enam makna perang dalam Alkitab, (4)
analisa konsep umat Allah universal dalam pemahaman teori perang adil. Usulan ini
hanya segelintir kecil dari banyaknya kemungkinan akan studi yang berkelanjutan dari
Ashby, Godfrey W. Go Out and Meet God: A Commentary on the Book of Exodus. Grand
Rapids, Michigan: Eerdmans, 1997.
Assmann, Jan. Of God and Gods: Egypt, Israel, and the Rise of Monotheism. Wisconsin,
London: University of Wisconsin Press, 2008.
Aune, David E. Revelation 6-16. Diedit oleh Ralph P. Martin. Nashville, Tennessee:
Thomas Nelson, 1998.
———. Revelation 17-22. Diedit oleh Ralph P. Martin. Nashville, Tennessee: Thomas
Nelson, 1998.
Bainton, Roland H. Christian Attitudes toward War and Peace: A Historical Survey and
Critical Re-evaluation. Nashville, Tennessee: Abingdon, 1990.
Baker, David L. Two Testaments, One Bible. Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 1991.
Bakker, F. L. Sejarah Kerajaan Allah. Jilid 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990.
Bandstra, Barry L. Reading the Old Testament: Introduction to the Hebrew Bible.
Belmont, California: Wadsworth, 2009.
Barr, James. Old and New in Interpretation: A Study of the Two Testaments. London:
SCM, 1966.
Barton, John. The Old Testament: Canon, Literature, and Theology. Hampshire, England:
Ashgate, 2007.
Becking, Bob. “Continuity and Discontinuity after the Exile: Some Introductory
Remarks”. Dalam The Crisis of Israelite Religion: Transformation of Religious
Tradition in Exilic and Post-Exilic Times. Diedit oleh Bob Becking dan Marjo C.
A. Korpel, 1-8. Leiden: Brill, 1999.
Bethancourt, Phillip Ross. “Christ the Warrior King: A Biblical, Historical, and
Theological Analysis of the Divine Warrior Theme in Christology”. Ph.D. diss.,
The Southern Baptist Theological Seminary, 2011.
Billings, Rachel M. Israel Served the Lord: The Book of Joshua as Paradoxical Portrait
of Faithful Israel. Notre Dame, Indiana: University of Notre Dame Press, 2013.
Boyd, Gregory A. God at War: The Bible and Spiritual Conflict. Downers Grove:
InterVarsity, 1997.
Breneman, Mervin. Ezra, Nehemia, and Esther. Nashville, Tennessee: Broadman and
Holman, 1993.
Brueggemann, Walter. First and Second Samuel. Louisville, Kentucky: John Knox, 1990.
———. An Introduction of the Old Testament: The Canon and Christian Imagination.
Louisville, Kentucky: Westminster John Knox, 2003.
Carson, D. A. dan Douglas J. Moo. An Introduction to the New Testament. Ed. ke-2..
Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2005.
Cartledge, Tony W. 1 and 2 Samuel. Macon, Georgia: Smyth and Helwys, 2001.
———. Biblical Theology of the Old and New Testaments. Minneapolis, Minnesota:
Fortress, 1992.
Christensen, Duane L. Prophecy and War in Ancient Israel. Berkeley, California:
BIBAL, 1975.
Cline, Eric H. A History of Ancient Israel: From the Patriarchs through the Romans.
Washington, District of Colombia: The George Washington University Press,
2006.
Craigie, Peter C. The Book of Deuteronomy. Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1976.
———. The Problem of War in the Old Testament. Grand Rapids, Michigan: Eerdmans,
1978.
Crenshaw, James L. Gerhard Von Rad. Waco, Texas: Word Books, 1978.
Cundall, Arthur E. dan Leon Morris. Judges and Ruth. Downers Grove, Illinois:
InterVarsity, 1968.
Curtin, Deane. “Berdamai dengan Bumi: Pertanian Pribumi dan Revolusi Hijau”. Dalam
Etika Terapan 1: Sebuah Pendekatan Multikultural. Diedit oleh Larry May, 289-
300. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001.
Edwards, Mark. Catholicity and Heresy in the Early Church. Hampshire, England:
Ashgate, 2009.
Eichrodt, Walter. Theology of the Old Testament. Jilid 1. London: SCM, 1961.
Ezra, Abraham Ibn. Commentary on the Second Book of Psalms: Chapter 42-72.
Diterjemahkan oleh H. Norman Strickman. Boston, Massachusetts: Academic
Studies, 2009.
Fee, Gordon D. dan Douglas Stuart. How to Read the Bible for All Its Worth. Ed. ke-2..
Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1993.
Fretheim, Terence E. Exodus. Louisville, Kentucky: John Knox, 1991.
———. First and Second Kings. Louisville, Kentucky: Westminster John Knox, 1999.
Fruchtenbaum, Arnold G. Judges and Ruth. San Antonio, Texas: Ariel Ministries, 2007.
García, Juan Carlos Moreno. “War in Old Kingdom Egypt.” Dalam Studies on War in the
Ancient Near East. Diedit oleh Jordi Vidal, 5-42. Munster: Ugarit-Verlag, 2010.
Gillingham, Susan. Psalms Through the Centuries. Jilid 1. Oxford: Blackwell, 2008.
Goldingay, John dan David Payne. Isaiah 40-55, Jilid 1. New York: T. and T. Clark,
2006.
Goldingay, John. Psalms 42-89. Grand Rapids, Michigan: Baker Academic, 2007.
Goppelt, Leonhard. Typos: The Typological Interpretation of the Old Testament in the
New. Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1982.
Gordon, Cyrus H. dan Gary A. Rendsburg. The Bible and the Ancient Near East. New
York: W. W. Norton and Company, 1997.
Grabbe, Lester L. “Israel’s Historical Reality After the Exile”. Dalam The Crisis of
Israelite Religion: Transformation of Religious Tradition in Exilic and Post-Exilic
Times. Diedit oleh Bob Becking dan Marjo C. A. Korpel, 9-32. Leiden: Brill,
1999.
———. Ancient Israel: What Do We Know and How Do We Know It. London: T. and T.
Clark, 2007.
Gundry, Stanley N. “Introduction”. Dalam Show Them No Mercy. Diedit oleh Stanley N.
Gundry, 7-8. Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2003.
Hamblin, William J. Warfare in the Ancient Near East. London: Routledge, 2006.
Harris, R. Laird, Gleason L. Archer Jr., dan Bruce K. Waltke. Theological Wordbook of
the Old Testament. Chicago, Illinois: Moody, 2003.
Hess, Richard S. “War in the Hebrew Bible: An Overview”. Dalam War in the Bible and
Terrorism in the Twenty-First Century. Diedit oleh Richard S. Hess dan Elmer A.
Martens, 19-32. Warsaw, Indiana: Eisenbrauns, 2008.
Hoerth, Alfred dan John McRay. Bible Archeology. Grand Rapids, Michigan: Baker
Books, 2005.
Holbert, John C. “The Problem of War in the Old Testament.” Perkins Journal 33 no 2
(1980): 46-47.
Hubbard, David A. “Hope in the Old Testament.” Tyndale Bulletin 34 (1983): 33-59.
Hunt, Emily J. Christianity in the Second Century: The Case of Tatian. London:
Routledge, 2003.
Kaiser, Walter C. Mission in the Old Testament. Grand Rapids, Michigan: Baker Books,
2000.
Kant, Immanuel. “Perpetual Peace: A Philosophical Sketch”. Dalam Political Writings.
Diedit oleh Hans Reiss, 93-130. Cambridge: Cambridge University Press, 1991.
Käsemann, Ernst. “The Spirit and the Letter”. Dalam Perspectives on Paul. Diedit oleh
Ernst Kasemann, 138-66. London: SCM, 1971.
Laffey, Alice L. First and Second Kings. Collegeville, Minnesota: Liturgical Press, 1944.
Lasor, W. S., D. A. Hubbard, dan F. W. Bush. Pengantar Perjanjian Lama 1: Taurat dan
Sejarah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
———. Pengantar Perjanjian Lama 2: Sastra dan Nubuat. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2007.
Linafelt, Tod dan Timothy K. Beal. Ruth and Esther. Collegeville, Minnesota: Liturgical
Press, 1999.
Liverani, Mario. Israel’s History and the History of Israel. London: Equinox, 2003.
Livingston, G. Herbert. The Pentateuch in its Cultural Environment. Ed. ke-2. Grand
Rapids, Michigan: Baker Book House, 1987.
Longman III, Tremper dan Daniel G. Reid. God is a Warrior. Grand Rapids, Michigan:
Zondervan, 1995.
Longman III, Tremper dan Raymond B. Dillard. An Introduction to the Old Testament.
Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2006.
Longman III, Tremper. “The Case for Spiritual Continuity”. Dalam Show Them No
Mercy. Diedit oleh Stanley N. Gundry, 159-90. Grand Rapids, Michigan:
Zondervan, 2003.
Luz, Ulrich. Matthew 21-2: A Commentary. Diedit oleh Helmut Koester. Diterjemahkan
oleh James E. Crouch. Minneapolis, Minnesota: Fortress, 2005.
McCarthy, John J. dan Alan S. Prince. Faithfulness and Identity in Prosodic Morphology.
Massachusetts: Graduate Linguistic Student Association University of
Massachusetts, 1995. Diakses 8 Maret 2015. https://rucore.libraries.rutgers.edu/
rutgers-lib/41852/PDF/ 1/
McDermott, John J. Reading the Pentateuch. New York: Paulist Press, 2002.
McKenzie, Steven L. How to Read the Bible. Oxford: Oxford University Press, 2005.
Merrill, Eugene H. “The Case for Radical Discontinuity”. Dalam Show Them No Mercy.
Diedit oleh Stanley N. Gundry, 11-46. Grand Rapids, Michigan: Zondervan,
2003.
Miller, Patrick D. The Divine Warrior in Early Israel. Atlanta, Georgia: Society of
Biblical Literature, 2006.
Mintz, Steven. “The Global Effect of World War I”, The Gilder Lehrman Institute of
American History. Diakses 20 Januari 2015. http://www.gilderlehrman.org/
history-by-era/world-war-i/resources/global-effect-world-war-i.
Mitchel, Gordon. Together in the Land: A Reading of the Book of Joshua. Sheffield:
Sheffield Academic, 1993.
Moltmann, Jürgen. Theology of Hope: On the Ground and the Implications of a Christian
Eschatology. Minneapolis, Minnesota: Fortress, 1993.
Motyer, J. Alec. The Prophecy of Isaiah. Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 1993.
Mounce, Robert H. The Book of Revelation. Diedit oleh Ned B. Stonehouse, F. F. Bruce,
dan Gordon D. Fee. Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1977.
Moyise, Steve dan Maarten J.J. Menken. Isaiah in the New Testament. New York: T. and
T. Clark International, 2005.
Nelson, Richard. First and Second Kings. Louisville, Kentucky: John Knox, 1987.
———. War in Hebrew Bible: A Study in the Ethic of Violence. Oxford, New York:
Oxford University Press, 1993.
O’Keefe, John J. dan R.R. Reno. Sanctified Vision: An Introduction to Early Christian
Interpretation of the Bible. Baltimore, Maryland: Johns Hopkins University Press,
2005.
———. Matthew. Diedit oleh Clinton E. Arnold. Grand Rapids, Michigan: Zondervan
2010.
Reddish, Mitchell G. Revelation. Diedit oleh Mark K. McElroy. Atlanta, Georgia: Smyth
and Helwys, 2001.
Reich, Bernard. A Brief History of Israel. Ed. ke-2. Washington, District of Colombia:
George Washington University Press, 2008.
Roloff, Jurgen. Revelation. Diterjemahkan oleh John E. Alsup dan James S. Currie.
Minneapolis, Minnesota: Fortress, 1993.
Roop, Eugene F. Ruth, Jonah, Esther. Scottdale, Pennsylvania: Herald Press, 2002.
Rowlett, Lori L. Joshua and the Rhetoric of Violence: A New Historicist Analysis.
Sheffield: Sheffield Academic, 1996.
Santoso, Agus. Tafsir Kitab Ester: Akan Ada Pertolongan dan Kelepasan. Bandung: Bina
Media Informasi, 2011.
Sayce, Archibald Henry. Introduction to the Books of Ezra, Nehemia, and Esther.
London: The Religious Tract Society, 1889.
Stillman, Nigel dan Nigel Tallis. Armies of the Ancient Near East 3.000 BC to 539 BC.
Cambridge: Wargames Research Group, 1984.
Strong, James. Greek Dictionary of New Testament, Albany, Oregon: AGES, 1997.
Talbert, Charles H. Ephesians and Colossians. Diedit oleh Mikeal Parsons and Charles
Talbert. Grand Rapids, Michigan: Baker Academic, 2007.
Talmon, S. “The Concept of Messiah and Messianism in Early Judaism”. Dalam The
Messiah: Developments in Earliest Judaism and Christianity. Diedit oleh James
H. Charlesworth, 79-115. Minneapolis, Minnesota; Fortress, 1992.
Thielman, Frank. Ephesians. Diedit oleh Robert Yarbrough dan Robert Stein. Grand
Rapids, Michigan: Baker Academic, 2010.
Tolstoy, Leo. War and Peace. Diterjemahkan oleh Richard Pevear dan Larissa
Volokhonsky. London: Vintage Classics, 2009.
Vanhoozer, Kevin. J., Gen. Ed. Dictionary of Theological Interpretation. Grand Rapids,
Michigan: Baker Academic, 2005.
Von Rad, Gerhard. ”The Origin of the Concept of then Day of Yahweh.” Journal Semitic
Studies 4 (1959): 97-108.
———. Old Testament Theology. Jilid II. New York: Harper and Row, 1965.
Walton, John H., Victor H. Matthews, dan Mark W. Chavalas. The IVP Bible
Background Commentary: Old Testament. Downers Grove, Illinois: InterVarsity,
2000.
Watts, John D. W. Isaiah 34-66. Waco, Texas: Word Books, 1987.
Weiss, Johannes. Jesus’ Proclamation of the Kingdom of God. California: Scholars Press,
1985.
Westcott, B. F. The Epistle to the Hebrew: The Greek Text with Notes and Essays.
Eugene, Oregon: Wipf and Stock, 1889.
Wolf, Herbert. An Introduction to the Old Testament Pentateuch. Chicago: Moody, 1991.
Zimmerli, Walther. “The Interpretation of Old Testament: The Promise and Fulfillment.”
Interpretation 15, no. 3 (1961): 310-38.