Anda di halaman 1dari 21

IwanTaufiq/Logika Aristo/2/27/2020 1

BAB I
PENDAHULUAN
===============

A. Latar Belakang
Dalam khazanah peradaban Islam persolan bahasa dan logika muncul ketika terjadi
perdebatan tentang kata dan makna antara Abu sa’id al-Syirafi (893-950 M) dengan Abu Bisyr
Matta (870-940 M). Menurut Al-Syirafi yang ahli bahasa, kata muncul lebih dahulu daripada
makna, dan setiap bahasa lebih merupakan cerminan dari budaya masyarakat masing-masing.
Sebaliknya, menurut Abu Bisyr Matta, makna ada lebih dahulu dibanding kata, begitu pula
logika muncul lebih dahulu daripada bahasa. Makna dan logika inilah yang menentukan kata
dan bahasa, bukan sebaliknya.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dapat berinteraksi secara aktif dan melakukan
transformasi dengan sesamanya yang tidak lain karena ia memiliki akal untuk berfikir. Al-
Qur’an yang merupakan sumber autentik dan absolut, yang tidak diragukan lagi kebenaranya
sangat menghargai peranan akal ini. Bahkan, pertanyaan yang berupa seruan “untuk selalu
berfikir” bagi seseorang sangat banyak sekali dijumpai dalam berbagai ayat, di antaranya : Al-
Baqarah: 44, 76, Ali Imran: 65, Al-An’am: 32, Al-A’raf: 169, Hud: 51, Yusuf: 109, Al-
Anbiya’: 67, Al-Mukminun: 80, Al-Qashash: 60, Shaffat: 138 (Lihat. Fathurrahman, pada sub
kalimat “afalaa ta’qilun”).
Akal merupakan suatu sarana super canggih, dikaruniai Tuhan kepada manusia, tidak
kepada makhluk lainnya.Dengan akal manusia dapat mengetahui sesuatu yang belum
diketahuinya.Atau memahami lebih mendalam lagi sesuatu yang telah diketahuinya, baik
tentang dirinya maupun hakikat alam dan rahasia yang terkandung di dalamnya.Manusia
karena akalnya menjadi makhluk unik yang senantiasa terdorong untuk berfikir sepanjang
hayatnya sesuai dengan kemampuan befikir yang dimilikinya.Ketika manusia itu masih diberi
kehidupan, dan hidup dalam keadaan normal, selama itu pula aktivitas berfikir tidak akan
terlepas darinya. Manusia termasuk anda selalu berambisi untuk mencari kebenaran dengan
jalan berpikir.Pada saat itulah ilmu logika berperan penting dalam mencari suatu kebenaran.
Rene Descartes, seorang tokoh rasionalisme berkata: “Aku berfikir, karena itu aku ada”.
Bahkan dalam teori pensyariatan hukun Islam, teori logika — yang jelas menggunakan
nalar—, sama sekali tak dapat “melepaskan diri” dari apa yang kita sebut sebagai logika tadi.
Begitu pula ahlu al-ra’yu (logika/mantiq) dan ahlu al-qiyas (analogi) memandang syariat itu
sebagai pengertian yang masuk akal dan dipandangnya sebagai asal yang universal yang
diisyaratkan oleh Al-Qur’an al-Karim. (Lihat tarikh at-Tasyri’, hlm. 366)
Contoh di atas sengaja penulis paparakan, sekali lagi, tak lain hanyalah untuk
menekankan bahwa signifikansi akal teramat krusial sebagai langkah untuk memperoleh
IwanTaufiq/Logika Aristo/2/27/2020 2

kredibilitas dan akuntabilitas dalam memecahkan dan membuat kesimpulan pada setiap
persoalan kehidupan.
Akan tetapi, hasil pemikiran manusia, meskipun dengan menggunakan akal tidak selalu
benar. Hasil pemikirannya, kadang-kadang salah meskipun ia telah bersungguh-sungguh
berupaya mencari yang benar. Kesalahan itu bisa saja terjadi tanpa unsur kesengajaan. Jika hal
itu memang terjadi, maka ia telah mendapat pengetahuan yang salah meskipun ia yakin akan
kebenarannya.
Oleh karena itu, supaya manusia aman dari kekeliruan berfikir dan selamat dari mendapat
kesimpulan yang salah, maka disusunlah kaidah-kaidah berfikir atau metodologi berfikir
ilmiah yang kita kenal ilmu logika atau manthiq oleh sang guru dunia, Aristoteles. Bahkan,
Syeh Abdurrahman al-Akkhdari dalam Al-Mandhumah Sullam al-Munawraq mengatakan
bahwa peran ilmu mantiq atau logika seperti halnya “nahwi li allisan” (grammar dalam
pegucapan).
Logika tradisonal Aristoteles lah yang kemudian mendalangi lahirnya segala ilmu logika
yang sekarang. Betapa banyak peradaban yang menjadi konsekuensinya berkembangnya teori
ini. Itu lah salah satu alasan penulisan makalah ini yang lebih memilih logika Aristoteles.
Maka setidaknya, itulah yang menjadi latar belakang penulisan makalah ini, meskipun di
dalamnya hanya menyinggung sebagaian kecil dari ilmu logika itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
Dari sekian pembahasan yang akan penulis sajikan, ini lah beberapa rumusan masalah yang
merekonstruksi pembuatan makalah ini.
a. Bagaimana riwayat hidup Aristoteles ?
b. Bagaimana kondisi sosial di masa itu yang kemudian membuahkan pemikiran seluarbiasa
ini ?
c. Apa saja pengaruh yang diakibatkan oleh perjalanan logika dalam titian zaman dan
peradaban dunia ?
d. Apa itu Logika ?
e. Apa saja yang menjadi pusat dan objek kajian logika ?
f. Seberapa penting logika itu ada ?
g. Bagaimana bentuk dan konstruksi logika Aristoteles dulu ?
h. Apa saja yang akan logika ini tetapkan sebagai tata kerjanya ?

C. Sistematika Penulisan
Dari kesuluruhan makalah yang akan anda abaca ini terdiri dari empat bab yang disusul
dengan sub-bab pembahasan lebih lanjut, kecuali pada bab ketiga. Adapun penyusunan bab
pada makalah ini ialah seperti berikut : Bab I Pendahuluan, dengan sub-bab diantaranya a).
Latar Belakang, b). Rumusan Masalah, c). Sistematika Penulisan, d). Tujuan Penulisan.
Kemudian pada Bab II Pembahasan, dengan sub-bab a). Riwayat Hidup, b). Kondisi Sosial, c)
IwanTaufiq/Logika Aristo/2/27/2020 3

Perjalanan Logika, d) Pengertian, Objek, dan Posisi Logika, e) Konstruksi Logika, f). Tata
Kerja. Lalu disusul dengan Bab III Analisis Penulis, dengan tanpa sub-bab. Karena sudah
tertuang dalam paragraph-paragraf yang saling berkaitan satu sama lain tanpa harus
dipisahkan dan diklasifikasikan tanpa sub-bab seperti bab-bab yang lain. Dan diakhiri dengan
Bab IV Penutup, dengan sub-bab a). Kesimpulan, dan b). Saran.
Metode yang dipergunakan oleh penulis dalam penyusunan makalah ini ialah dengan
metode pengambilan referensi dari buku-buku yang berkaitan dengan garis besaran
pembahasan makalah ini yang bersifat book dan e-book.

D. Tujuan Penulisan
Adapun beberapa tujuan yang telah penulis canangkan untuk dicapai pembaca setelah
membaca makalah ini, antara lain :
a. Untuk lebih mengenal sosok Ristoteles
b. Menganalisa kondisi sosial yang melatarbelakangi pemikiran Aristoteles
c. Mengamati perjalanan dan pengaruh logika Aristoteles terhadap perkembangan dan
peradaban dunia
d. Untuk memperdalam kajian tentang pengertian, objek, dan posisi logika Aristoteles
e. Mengetahui bentuk konstruksi logika hasil karya Aristoteles
f. Menganalisa tata kerja logika Aristoteles yang telah diterapkan oleh beberapa logisi
setelahnya.
IwanTaufiq/Logika Aristo/2/27/2020 4

BAB II
PEMBAHASAN
==============

Logika Aristoteles mempunyai pengaruh sangat besar dalam sejarah intelektual umat
manusia. Buku-buku pegangan tentang logika --tradisional-- sebagian besar diisi dengan logika
ini, dan tidak ada satupun jenis pengetahuan yang tidak bersentuhan logika yang ditemukan
Aristoteles ini, sehingga Immanuel Kant (1724-1804 M) pernah menyatakan bahwa selama 20
abad lebih, logika Aristoteles tidak tergoyahkan dan ia tetap menjadi tonggak dan pondasi
pengetahuan ilmiah manusia.
Tulisan ini membahas pengertian logika, objek pembahasan dan model konstruksinya,
ditambah uraian tentang riwayat hidup Aristoteles sendiri, kondisi sosial yang melingkupi,
sejarah perkembangan logikanya, kemudian ditutup dengan tanggapan tentangnya.

A. Riwayat Hidup.
Aristoteles lahir di Stageria semenanjung Kalkidike, Trasia, Yunani Utara (Balkan), tahun
384 SM. Ayahnya bernama Machaon, seorang dokter istana pada raja Macedonia, Amyntas II.
Semasa kecil ia diasuh ayahnya sendiri dan mendapat pelajaran tentang teknik bedah, sehingga
Aristoteles mempunyai perhatian yang sangat besar pada ilmu alam, terutama biologi.1
Perhatiannya pada ilmu-ilmu empiris, yakni ilmu biologi, tidak berubah meski ia telah menjadi
seorang filosof, apalagi pada masa kekuasaan Aleksander Agung (w. 336-323 SM), karena raja
yang pernah jadi muridnya ini memberikan bantuan yang besar dengan memerintahkan para
pemburu, penangkap unggas, dan nelayan di daerah kekuasaannya untuk melaporkan hal-hal
yang menarik dalam sudut ilmiah kepada Aristoteles. Menurut Harold,2 Aristoteles mempelajari
tidak kurang dari 500 jenis binatang dan mengklasifikasikan dalam sistem yang rapi. Sistem
klasifikasi yang dipraktekkan ini sangat berpengaruh pada pemikiran biologi berikutnya dan tidak
tertandingi sampai zaman renaisans.
Setelah ayahnya meninggal, pada usia 18 tahun, Aristoteles pergi ke Athena untuk belajar
di Akademia, Plato (427- 347 SM). Selama 20 tahun ia belajar dan bergaul dengan Plato.
Menurut Hatta,3 disini Aristoteles banyak membaca buku, mengumpulkan dan menyusun

1 Muhamamd Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta, UI Press, 1986), 115. Kecenderungan Aristoteles

pada ilmu-ilmu empiris ini perlu dicatat karena ini rupanya memberikan pengaruh pada model
filsafatnya sehingga berbeda dengan Plato, gurunya, yang idealis. Menurut Aristoteles, pengalaman
bukan pengetahuan bayangan, bukan gambaran dari idea seperti yang diajarkan Plato. Pengetahuan
adalah keadaan riil itu sendiri, meski diakui bahwa pengetahuan tersebut merupakan makna atau
pengertian dari yang riil, karena makna atau pengertian tersebut sama sekali tidak lepas dari kondisi riil.
2 Harold H. Titus, Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. HM. Rasjidi, (Jakarta, Bulan Bintang, 1984), 256;

Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogya, Kanisius, 1999), 156. Di perkirakan binatang dan benda-benda
yang menarik dalam bidang biologi dan zoologi ini dipajang dalam sebuah rungan semacam musium.
3 M. Hatta, Alam Pikiran Yunani, 115.
IwanTaufiq/Logika Aristo/2/27/2020 5
bibliotik yang kemudian dianggap sebagai bibliotik pertama di Athena. Plato sangat menghargai
usaha muridnya ini sehingga menamakan rumahnya dengan “rumah pembaca”.
Disamping belajar filsafat pada Plato, Aristoteles juga belajar pengetahuan lain di luar
Akademia. Antara lain, belajar matematika dan astronomi pada Eudoxos dan Kalippos, serta

retorika pada Isokrates dan Demosthenes. Dengan modal pengetahuan yang cukup komplet dan
utuh tersebut ditambah kecerdasan yang luar bisa, maka selama di Akademia ini Aristoteles
mampu menulis beberapa karya di samping mengajar anggota-anggota Akademia yang lebih
muda, tentang mata kuliah logika dan retorika.4
Setelah Plato meninggal, Aristoteles bersama Xenokrates pergi meninggalkan Athena
menuju Assos.5 Disini Aristoteles mengajar dan menikah dengan Pythias, kemenakan Hermeias,
penguasa wilayah tersebut yang juga murid Plato. Namun, tidak lama kemudian ia terpaksa harus
menyelamatkan diri karena Assos diserbu tentara Persia. Setelah beberapa lama ditempat
pelarian, sekitar tahun 342 SM, Aristoteles di undang Philippos, anak Amyntas II, raja
Macedonia, untuk mengajar Alexandros (Aleksander Agung). Selama 7 tahun Aristoteles
mengajar calon raja besar ini, dan setelah Alexandros dilantik sebagai raja, ia menulis buku untuk
raja agung ini, yakni “Perihal Monarki” dan “Tentang Pendirian Perantauan”.6
Aristoteles kemudian kembali ke Athena setelah itu, tetapi tidak menetap di Akademia
yang saat itu telah dipimpin oleh Xenokrates, karena merasa pemikirannya telah berbeda jauh
dari ajaran Akademia. Dengan bantuan dari Macedonia, ia lalu mendirikan sekolah sendiri yang
dinamakan Lykeion, karena tempatnya yang dekat dengan halaman yang digunakan untuk
persembahan dewa Apollo Lykeios. Disini, berbeda dengan Sokrates (469-399 SM) dan Plato
yang mengajar dengan cara dialok, Aristoteles mengajar dengan cara kuliah, ceramah sambil
berjalan mondar-mandir, sehingga pemikirannya sering dinamai dengan paripatetik (jalan-jalan).
Ia memberi dua macam kuliah. Pertama, kuliah yang diberikan pagi hari, bersifat ilmiah dan
filosofis, khusus untuk orang yang benar-benar ingin menunutut ilmu. Kedua, kuliah malam hari,
untuk masyarakat umum, tidak hanya menyangkut filsafat tetapi juga retorika.7
Selama 12 tahun Aristoteles mengajar di Lykeion, sampai kematian Aleksander Agung,
tahun 323 SM, yang mengakibatkan gerakan anti Macedonia, gerakan untuk melepaskan Athena
dari kekuasaan Macedonia. Ia dituduh menyebarkan faham “atheis”, menghina dewa-dewa,
sehingga memaksanya melarikan diri ke Khalkis, tempat asal ibunya, setelah menyerahkan
kepemimpinan Lykeion ke tangan muridnya, Theophrastos. Ia melarikan diri dengan alasan agar

4 Ibid, 116. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, 154.


5 Menurut Bertens, Aristoteles meninggalkan Akademia karena berselisih dengan Speusippos,
pengganti Plato, tentang filsafat, yakni karena Speusippos menyetarakan filsafat dengan matematika.
Lihat Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, 154. Sementara itu, Xenokrates pergi karena kecewa bahwa ia
ternyata tidak menjadi pemimpin Akademia sepeninggalan Plato, padahal ia murid senior dan merasa
lebih cerdas dan pintar daripada Speusippos. Lihat Hatta, Alam Pikiran Yunani, 116.
6 Ibid, 117; Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, 155.
7 Hatta, Alam Pikiran Yunani, 118. Menurut Bertens, disinilah Aristoteles menekuni minatnya

tentang ilmu biologi, zoologi dan ilmu-ilmu empiris lainnya, disamping filsafat, dengan dukungan raja
Aleksander Agung. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, 156.
IwanTaufiq/Logika Aristo/2/27/2020 6
rakyat Athena tidak berdosa dua kali terhadap filsafat (alusi terhadap nasib Sokrates).8 Namun,
setahun kemudian ia jatuh sakit dan meninggal di tempat pelarian pada usia 63 tahun.

Aristoteles meninggalkan banyak tulisan, meliputi logika, filsafat alam, psikologi, biologi,
metafisika, etika, politik dan ekonomi, serta retorika dan poetika. Karya-karyanya tentang logika,
antara lain, Categoriae (kategori-kategori), De Interpretatione (tentang penafsiran), Analyica
priora (analitika yang lebih dahulu), Analytica posteriora (analitika yang kemudian), Topica dan
De sophisticis elenchis (tentang cara berargumentasi kaum sofis).9

B. Kondisi Sosial.
Aristoteles hidup dalam lingkungan masyarakat Yunani yang kondusif untuk berfikir
kritis dan logis. Dari sisi sosial politik, masyarakat Yunani saat itu hidup dalam lingkungan polis,
suatu negara kota atau kesatuan beberapa desa dimana semua masyarakat ambil bagian dalam
pengambilan keputusan, sehingga mereka tidak diperintah oleh raja atau penguasa yang
mempunyai kekuasaan mutlak.10 Polis ini merupakan pusat segala keaktifan dalam bidang
ekonomi, sosial, politik dan religius. Menurut Bertens,11 setidaknya ada tiga ciri tentang negara
kota atau polis ini. Pertama, otonomi, mempunyai hukum sendiri, sehingga masyarakat suatu
polis hidup sesuai dengan hukum yang disepakati bersama dan tidak diperintah secara sewenang-
wenang. Kedua, swasembada, mandiri dalam bidang ekonomi sehingga tidak tergantung pada
negara lain. Ketiga, merdeka dalam bidang politik. Lembaga-lembaga yang terpenting dalam
bidang ini adalah sidang umum (ekklesia), dewan harian (bule) dan badan-badan pengadilan
(dikasteria). Dalam sidang umum, semua warga negara berhak mengambil bagian, sehingga
mereka bisa disebut demokrasi. Pada abad ke-5 dan ke-4 SM, Athena mencapai puncak dalam
bentuk pemerintahan ini.
Dengan kenyataan bahwa kekuasaan negara tidak dipegang oleh satu orang dan semua
harus tunduk pada hukum yang disepakati, maka urusan negara menjadi urusan umum. Segala
peristiwa yang menyangkut interes umum dibicarakan dan didiskusikan bersama. Kondisi ini
menyebabkan masyarakat Yunani menjadi terbuka dan segala informasi dapat disebarkan dengan
cepat, sehingga segala pendapat akan segera menemui kritiknya. Suasana seperti ini, tidak
disangkal, sangat kondusif bagi perkembangan suatu sikap ilmiah.

8 Bertens, Ibid; Hatta, Alam Pikiran Yunani, 119. Lihat pula, Frans Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika,
(Yogya, Kanisius, 1998), 27; Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, 1, (Yogya, Kanisius, 1996), 45.
Kondisi kematian Sokrates dan alasan pelarian Aristoteles ini terulang kembali pada masa-masa
berikutnya, yakni diri al-Hamadani (1098-1131 M) penggagas “cinta iblis” dan Suhrawardi (1154-1192 M)
penggagas epistimologi illuminatif (isyraqi) dalam filsafat Islam. Keduanya dihukum mati karena
gagasan-gagasannya di anggap sebagai bid`ah.
9 Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, 160-3. Lihat juga Frederick Copleston, A History of Philosophy, I,

(London, Search Press, 1946), 273-5. Analitika adalah nama yang dipakai Aristoteles untuk logika.
10 Polis ini timbul sebagai suatu bentuk kemasyarakatan baru pada abad 8 atau 7 SM, dan cepat

berkembang sehingga tidak lama di negeri Yunani sudah terdapat ratusan negara kota semacam ini.
Wilayah polis ini tidak besar. Menurut Plato, suatu polis yang ideal tidak lebih dari 5000 orang, tidak
termasuk anak-anak dan wanita. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, 25.
11 Ibid, 26.
IwanTaufiq/Logika Aristo/2/27/2020 7
Dari sisi pemikiran, masyarakat Yunani menempatkan logos (bahasa dan pemikiran
logis) dalam kedudukan yang sangat istimewa.12 Ini merupakan konsekuensi logis dari susunan
polis yang terbuka. Dalam susunan polis sebagaimana telah dijelaskan bahwa bahasa menjadi
sesuatu yang penting, karena keputusan-keputusan dalam sidang umum dan sidang pengadilan
diambil atas dasar diskusi. Dalam diskusi dan debat, yang penting adalah bagaimana
menyakinkan khalayak ramai dengan kemahiran bahasa dan argumentasi yang cerdik. Inilah
yang --menurut

Bertens-- kemudian melahirkan ilmu retorika dan mengilhami Aristoteles untuk menciptakan
suatu logika sistematis, dimana disana diselidiki peraturan-peraturan yang berlaku untuk
membuat argumentasi dan syarat-syarat bagi pengetahuan ilmiah pada umumnya.13
Di samping itu, harus pula diperhatikan bahwa watak budaya Yunani sendiri memang
berfikir kritis dan logis. Menurut al-Jabiri,14 apa yang dimaksud dengan akal (berfikir) dalam
tradisi Yunani lebih merupakan pemikiran yang berkaitan dengan upaya mencari sebab dari
segala sesuatu, bersifat filosofis, berbeda dengan watak tradisi Arab, misalnya, yang mengartikan
akal (berfikir) sebagai sebuah tindakan atau penjelasan bagaimana seseorang harus berbuat
(bayani).15 Pernyataan ini, setidaknya bisa dibuktikan ketika para pemikir Yunani
mempertanyakan kebenaran mitos-mitos yang ada di sekitar mereka. Sebagaimana yang terjadi
pada peradaban lain, peradaban Yunani juga dimulai dari mitos-mitos. Namun, khusus dalam
peradaban Yunani, di sana ada usaha untuk menyusun mitos secara sistematis. Artinya, disini
tampak sifat rasional dan kritis bangsa Yunani, karena dengan mencari suatu keseluruhan yang
sistematis, berarti ada keinginan untuk mengerti hubungan mitos yang satu dengan lainnya dan
menyingkirkan mitos yang tidak dapat dicocokkan dengan mitos lain. Salah satu hasil dari usaha
ini adalah Theogonia, kumpulan mitos dari Hesiodos (750 SM) dan kumpulan mitos karangan
Pherekydes dari Syros (550 SM).16
Di samping itu, menurut Bakker,17 pemikiran Yunani memang bersifat sintetis, kontinu,
dan analogis, sehingga ia selalu mendorong kreatifitas dan penemuan baru. Karena itu, ketika
ilmu ukur dan ilmu hitung dari Mesir dan Babilonia masuk Yunani, misalnya, ia tidak lagi

12 Logos berarti ucapan, pembicaraan, pikiran dan akalbudi. Yang dimaksud disini adalah

penalaran yang tepat atau pembicaraan yang lurus dengan argumen yang benar. Lihat, Lorens Bagus,
Kamus Filsafat, 543.
13 Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, 27.
14 Al-Jabiri, Takwin al-Aql al-Arabi, (Beirut, Markaz al-Saqafah al-Arabi, 1991), 29-30.
15 Dalam perbandingan antara pola pikir Yunani yang logis-filosofis dengan Arab yang bayani ini,

ada diskusi yang terkenal yang terjadi antara Abu Said al-Syirafi (893-979 M) yang mewakili pemikiran
Arab dengan Abu Bisyr Matta (870-940 M) yang mewakili pemikiran Yunani. Lebih jelas tentang ini lihat
Oliver Leman, Pengantar Filsafat Islam, terj. Amin Abdullah, (Jakarta, Rajawali, 1989), 12-13.
16 Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, 19. Lihat pula Hatta, Alam Pikiran Yunani, 2-3.
17 Bakker, Sejarah Filsafat dalam Islam, (Yogya, Kanisius, 1986), 9. Disini Bakker membanding corak

pemikiran Arab dengan Yunani, dengan menyatakan bahwa pemikiran Arab bersifat dualistis, diskontinu
dan dialogis, sementara corak utama dari cara berfikir Yunani adalah sintetis, kontinu dan analogis.
Dalam tradisi Arab dibedakan secara tegas dan tanpa kenal perantara antara Tuhan dan makhluk, dunia
dan akherat, Arab dan non Arab, dan seterusnya, sementara dalam tradisi Yunani justru berusaha
merangkum perbedaan dan pertentangan tersebut dengan memberi ‘perantara’. Misalnya, antara ada dan
tiada terdapat yang mungkin, antara punya dan tidak punya terdapat steresis (privatio) dan
kesempurnaan sesuatu bisa dipartisipir oleh adanya yang kurang sempurna secara analogis. Begitu
seterunya, sehingga pola pikir Yunani memang lebih logis dan filosofis dibanding Arab.
IwanTaufiq/Logika Aristo/2/27/2020 8
dipraktekkan sebagai ilmu praktis belaka melainkan telah berubah sebagai pengetahuan yang
benar-benar ilmiah. Di tangan orang-orang Yunani ini, ilmu pasti, ilmu ukur, dan astronomi dari
kebudayaan Timur dipelajari, dipraktekkan dan dikembangkan demi ilmu pengetahuan itu
sendiri, bukan untuk mencari keuntungan (disterestedly),18 sehingga ia berubah dan menjelma
sebagai ilmu yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya.

C. Perjalanan Logika Aristoteles

Meski logika ditemukan dan dinisbatkan pada Aristoteles, tetapi Aristoteles sendiri
sebenarnya tidak pernah menyebutkan istilah “logika”.19 Istilah “logika” justru digunakan oleh
orang lain, pertama kali oleh Cicero, (106-43 SM) tetapi dalam arti seni berdebat, kemudian oleh
Alexander dari Aphrodisius (w. 200 M) dalam arti yang sesungguhnya sebagaimana makna yang
ada sekarang. Aristoteles sendiri menggunakan istilah “analitika” untuk penyelidikan
argumentasi yang bertitik tolak dari putusan yang benar, dan dengan istilah “dialektika” untuk
penyelidikan argumentasi yang bertitik tolak dari hipotesis atau putusan yang belum pasti
kebenarannya.20 Analitika dan dialektika ini merupakan cabang dari ilmu yang sekarang disebut
dengan “logika”, dan sentral analitika Aristoteles adalah “silogisme”.21
Sepeninggalan Aristoteles, pemikiran-pemikirannya yang kemudian dikenal dengan
istilah paripatetik, dipelajari dan dikembangkan, antara lain, di kota Antioch, Haraan, Edessa
dan Qinnesrin (wilayah Syiria utara), di Nisibis dan Ras`aina (wilayah dataran tinggi Iraq) 22 dan
di Iskandariyah, Mesir, yang dikenal dengan mazhab Iskandariyah, suatu mazhab yang
mengajarkan logika dan filsafat Aristoteles, disamping Plato (427-347 SM).23 Mazhab paripatetik
ini bersaing dengan mazhab logika Magarian-Stoa yang --karena lebih dekat pada dialektika

18 Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, 20-21.


19 Ibid, 167. Hal ini bukan berarti pada masa sebelum Aristoteles belum ada logika. Logika justru
berakar pada pembuktian-pembuktian geometri kaum Pyithagorian, dialektika Zeno dan Elia dan
dialektika Plato. Hanya saja harus diakui bahwa Aristoteleslah yang berhasil merumuskan dan
memberikan uraiannya secara sistematis. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 520.
20 Menurut Aristoteles, dialektika ditemukan oleh Zeno (336-265 SM), suatu perihal argumentasi

yang didasarkan atas hipotesis atau pengandaian. Zeno memakai aturan dialektika ini untuk membangun
argumentasinya. Caranya, ia mengemukakan suatu hipotesis, yakni salah satu anggapan yang dianut
oleh para pelawan Parminedes, kemudian menunjukkan bahwa dari hipotesis tersebut harus ditarik
kesimpulan-kesimpulan yang mustahil. Ternyata hipotesis semula tersebut tidak benar, dan itu berarti
bahwa kebalikannya yang harus dianggap benar. Dengan metode ini Zeno membuktikan bahwa adanya
ruang kosong, pluralitas dan gerak adalah sama-sama mustahil. Lihat Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, 62.
21 Harus dikatakan disini bahwa meski logika Aristoteles dan filsafat Yunani sangat berpengaruh

dalam sejarah intelektual manusia, tetapi ia bukan satu-satunya logika yang pernah lahir di dunia.
Bersamaan dengan lahirnya logika di Yunani, lahir pula logika di India yang disebut dengan logika Nyaya.
Silogisme Nyaya yang berkembang bersama dengan agama Hindu ini tidak hanya menuntut tiga
proposisi tetapi lima. Aliran ini menyibukan diri dengan analisis bahasa dan klasifikasi kekeliruan-
kekeliruan. Bersamaan dengan itu, juga lahir logika di Cina yang dasar-dasarnya diberikan oleh Mo Tzu
(468-376 SM), seorang reformis Confucu. Uraian lebih lengkap tentang ini, lihat Paul Edwards (edit), The
Encyclopedia of Philosophy, IV, (New York, The MacMillan Company, 1967), 520-525. Lihat pula Lorens
Bagus, Kamus Filsafat, 520.
22 Philip K. Hitti, History of The Arabs, (New York, Macmillan Press, 1986), 241-2.
23 Muhsin Mahdi, Al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam, dalam jurnal al-Hikmah, edisi 4, (Bandung,

Februari, 1992), 63-64. Menurut Muhsin, visi utama mazhab ini adalah menyelaraskan antara filsafat dan
agama. Lawannya, disamping logika Megarian-Stoa dan Epicurean, adalah mazhab Athenian (Helenistik)
yang mengajarkan filsafat neo-platinik.
IwanTaufiq/Logika Aristo/2/27/2020 9
Zeno (336-265 SM) dari Elia-- menaruh minat pada pengembangan sesuatu yang mirip dengan
kalkulus proposisional. Dengan berkosentrasi pada hubungan-hubungan yang bertipe “jika ...
maka”, “atau ... atau”, para pengikut mazhab Megarian-Stoa menggarap bentuk-bentuk penalaran
yang sahih untuk hubungan-hubungan ini.24 Selain itu, mazhab paripatetik juga bersaing dengan
logika epicurean, suatu bentuk logika yang menganggap bahwa semua koneksi logis berawal
secara empiris, yang berarti berdasarkan induksi dan analogi.

Persaingan di antara aliran atau mazhab logika ini terus berlanjut sampai abad-abad
berikutnya. Banyak tulisan yang mendukung atau menyerang mazhab lain selama kurun ini,
seperti tulisan Galen (129-199 M), Alexander (w. 200 M) dari Aphrodisius, dan Porphyry (232-
301 M). Di pihak Aristotelian, tokoh yang terkenal adalah Botheus (480-524 M) yang tidak
jarang menyerang mazhab Stoa. Spekulasinya tentang cara eksistensi spesies dan genus sangat
berpengaruh pada diskusi-diskusi tentang universalia (konsep-konsep universal) abad
pertengahan.25
Dari mazhab Iskandariyah, Athenian, kajian-kajian filsafat Yunani di Syiria dan Iraq,
pada abad ke-7, logika Aristoteles masuk dalam dunia Islam, lewat proses penterjemahan. Dalam
Islam sendiri, logika Aristoteles pertama kali diperkenalkan dan dipakai oleh al-Kindi (806-875
M), kemudian Ibn Rawandi (lahir 825 M), al-Razi (865-925 M), dan puncaknya pada Al-Farabi
(870-950 M) dan Ibn Sina (980-1037 M). Di tangan Ibn Sina ini logika Aristoteles telah
bercampur dengan neo-platonis dan kosmologi Plotinus, tetapi ia berhasil menentukan tempat
bagi logika. Menurut Ibn Sina,26 logika berurusan dengan faham-faham abstrak, yang merupakan
pengertian kedua dari tanda-tanda alamiah yang dianggap sebagai pengertian pertama. Gagasan
Ibn Sina ini kemudian menjadi bahan diskusi yang hangat pada masa-masa sesudahnya. Setelah
itu, logika Aristoteles dan filsafat Yunani pada umumnya mengalami kemunduran dan tidak lagi
berkembang secara baik dalam pemikiran Islam karena serangan al-Ghazali (1058-1111 M) dan
dianggap tidak bisa mengatasi segala persoalan oleh Suhrawardi (1154-1192 M), meski ia dibela
oleh Ibn Rusyd (1126-1198 M).27

24 Logika Megarian-Stoa adalah sintesa antara pemikiran Megarian dan Stoics. Logika Megarian

sendiri dibangun oleh Euclides (430-360 SM) dari Megara, sementara logika Stoa dirintis oleh Zeno (336-
265 SM) dari Elia. Lihat Paul Edwards (edit), The Encyclopedia of Philosophy, IV, 518-19.
25 Ibid, 519; Paul Edwards (edit), The Encyclopedia of Philosophy, IV, 520. Porphyry adalah murid

Plotinus (204-270 M) yang setia dan yang mengumpulkan buku-buku karya Plotinus. Plotinus sendiri
adalah orang Mesir yang kemudian menetap dan meninggal di Roma. Lihat Bernard Delfgaaw, Sejarah
Ringkas Filsafat Barat, terj. Sumargono, (Yogya, Tiara Wacana, 1992), 45.
26 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 522.
27 Uraian lebih luas tentang ini, lihat Paul Edwards, The Encyclopedia of Philosophy, IV, 525-27. Ada

beberapa kontribusi yang berikan tokoh muslim. Antara lain, (1) dari al-Farabi tentang silogisme induksi
dan doktrin kesatuan masa depan, (2) dari Ibn Sina tentang proposisi kondisional dan proposisi temporal,
(3) dari Ibn Ruysd tentang rekonstruksi silogisme modal Aristoteles.
Tentang kritik Suhrawardi pada logika Aristoteles, setidaknya ada tiga prinsip yang menjadi
kekurangan logika Aristoteles; (1) bahwa ada kebenaran-kebenaran yang tidak bisa dicapai oleh rasio
atau didekati lewat logika, (2) ada eksistensi diluar pikiran yang bisa dicapai nalar tetapi tidak bisa
dijelaskan logika, seperti soal warna, (3) prinsip logika atau silogisme yang menyatakan bahwa atribut
sesuatu harus didefinisikan oleh atribut yang lain akan menggiring pada proses tanpa akhir, ad infinitum,
yang itu berarti tidak akan ada absurditas yang bisa diketahui. Jelasnya, logika atau silogisme tidak bisa
menyingkap seluruh kebenaran dan realitas yang mendasari semesta. Lebih lengkap tentang kritik
IwanTaufiq/Logika Aristo/2/27/2020 10
Di dunia Barat sendiri, pada abad-abad berikutnya setelah periode Arab-Islam, logika
Aristoteles juga mengalami nasib sama, tidak diakui dan diserang oleh, misalnya, Peter Ramus
(1515-1572 M) dan Francis Bacon (1561-1626 M) dengan menyatakan bahwa logika Aristoteles
tidak bisa menjadi alat untuk penemuan ilmiah.28 Juga oleh Leibniz (1596-1650 M) yang --meski

tetap menghormati Aristoteles-- menyatakan bahwa tidak semua argumen dapat dimasukkan
dalam logika silogisme Aristoteles. Menurutnya, seni penemuan (arts combinatoria) lebih
fundamental daripada logika, dan bahasa universal (characteristica universal), dengan tata
bahasa dan aturan prosedurnya yang dibangun secara filosofis akan lebih bisa membuat
seseorang bergerak bebas keseluruhan di bidang pengetahuan.29
Logika Aristoteles akhirnya benar-benar “selesai” setelah ditemukan logika yang lebih
canggih, logika modern, yang dasar-dasarnya di tetapkan oleh CS. Peirce (1839-1914 M) dan G.
Frege (1848-1925 M) yang dikenal dengan istilah kalkulus proposional, karena memang
merupakan kalkulus proposisi-proposisi, di mana huruf-huruf p, q, r dan seterusnya digunakan
untuk mewakili proposisi-proposisi. Konektif-konektif fungsional kebenaran dilambangkan
dengan berbagai cara, dan dengan definisi-definisi serta tabel kebenaran, diturunkanlah rumusan-
rumusan atau dalil-dalil dengan memperlihatkan langkah-langkah yang sah yang mungkin
diambil dalam memanipulasi proposisi-proposisi dengan konektif-konektif.30

D. Pengertian, Objek dan Posisi Logika.


Secara bahasa, logika yang disebut logic (Inggris), logica (Latin) dan logike atau logikos
(Yunani) adalah ucapan atau akal budi yang berfungsi baik, teratur dan dapat dimengerti.31
Menurut istilah, minimal ada dua pengertian yang bisa diberikan. Pertama, logika adalah
teori mengenai syarat-syarat penalaran yang sah. Istilah ini pertama kali digunakan oleh
Alexander (w. 200 M) dari Aphrodisius. Penalaran bertolak dari satu atau lebih pernyataan yang
disebut premis ke suatu pernyataan selanjutnya yang disebut kesimpulan. Jika kesimpulan berasal

Syhrawardi ini, lihat Mehdi Aminrazavi, Pendekatan Rasional Suhrawardi Tehadap Problem Ilmu Pengetahuan,
dalam jurnal Al-Hikmah, (Bandung, edisi 7, Desember 1992), 71-72.
28 Ramus berusaha melawan logika Aristoteles dengan membuat logika sendiri, sehingga dengan

logika Ramus. Lihat Paul Edwards (edit), The Encyclopedia of Philosophy, IV, 535. Tentang Bacon, menurut
Bernard Delfgaauw, ia sesungguhnya tidak menambah apapun pada perkembangan ilmu pengetahuan,
karena Bacon sendiri tidak mengetahui apa yang telah dicapai oleh masanya. Pengaruhnya yang pokok
terletak pada kegiatannya yang sering mengecam dan memberi garis besar pada pedoman-pedoman
yang kemudian berpengaruh besar pada filsafat Inggris dikemudian hari. Lihat Bernard, Sejarah Ringkas
Filsafat Barat, 108. Tetapi menurut Verhaak, Bacon bisa disebut sebagai perintis empiris dan positivisme.
Uraian lebih lengkap tentang pokok-pokok pikiran Bacon sendiri, lihat C. Verhaak, Filsafat Ilmu
Pengetahuan, (Jakarta, Gramedia, 1997), 137-145.
29 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 521.
30 Ibid, 525. Namun, menurut Edwards, spirit logika modern telah diberikan oleh Leibniz. Lihat

Paul Edwards, The Encyclopedia of Philosophy, IV, 537. Tentang Peirce, menurut Louis Kattsoff, ia termasuk
juga sebagai salah satu peletak dasar pragmatisme. Peirce menyatakan, “Untuk memastikan makna apa
yang terkandung dalam pikiran, seseorang harus memperhatikan konsekuensi-konsekuensi praktis yang
bakal timbul dari kebenaran konsepsi tersebut”. Lihat Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. S. Sumargono,
(Yogya, Tiara Wacana, 1992), 130.
Uraian CS. Pierce tentang bagaimana seseorang harus menjelaskan gagasannya, lihat tulisannya,
“Bagaimana Menjelaskan Gagasan Kita” dalam Qadir (peny), Ilmu Pengetahuan dan Metodenya, (Jakarta,
Yayasan Obor, 1995), 95-105.
31 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 519.
IwanTaufiq/Logika Aristo/2/27/2020 11
dari premis-premis secara niscaya, pasti, proses ini disebut deduksi, penalaran deduksi atau
logika deduksi. Jika kesimpulan berasal dari premis-premis dengan derajat kemungkinan, maka
proses ini di sebut induksi, penalaran induktif atau logika induktif. Kedua, logika adalah studi
tentang aturan-aturan mengenai penalaran yang tepat, serta bentuk dan pola pikiran yang masuk
akal atau sah. Logika adalah studi dan penerapan aturan-aturan penarikan kesimpulan pada
argumen atau pada sistem pikiran.32
Objek dan lingkup kerja logika, karena itu, adalah hal-hal yang berkaitan dengan
pemikiran. Pemikiran disini tidak dipandang sebagai suatu sifat atau aktifitas subjek dalam
pengertian psikologis, sebaliknya dilihat dari sudut hubungan-hubungan yang ada di antara ide-

ide itu sendiri yang dapat dipertalikan dalam pengertian yang sama dengan banyak individu.
Karena itu, logika bukan bagian dari psikologis. Dalam logika, isi-isi pikiran dipelajari dalam
dirinya sendiri, menurut struktur internalnya, menurut bentuk-bentuknya (seperti konsep,
keputusan dan kesimpulan) dan menurut hubungannya yang niscaya dan timbal balik (khusus
hukum-hukum logika). Jelasnya, objek logika adalah menjawab persoalan bagaimana manusia
bisa berfikir sebagaimana mestinya.33
Meski demikian, logika bukan bagian dari filsafat. Dalam klasifikasi ilmu pengetahuan
yang dibuat Aristoteles, ada tiga golongan ilmu pengetahuan: pengetahuan praktis, produktif dan
teoritis. Pengetahuan praktis meliputi etika dan politik; Ilmu pengetahuan produktif menyangkut
pengetahuan yang sanggup menghasilkan suatu karya (teknik dan kesenian); sementara
pengetahuan teoritis mencakup tiga bidang: fisika, matematika dan metafisika. Disini tidak ada
tempat bagi logika. Menurut Aristoteles,34 logika tidak termasuk ilmu pengetahuan sendiri tetapi
mendahuluinya sebagai persiapan untuk berfikir dengan cara ilmiah. Jelasnya, logika adalah
suatu alat (organon) agar seseorang bisa mem-praktekkan ilmu pengetahuan.

E. Konstruksi Logika Aristoteles.


Logika Aristoteles dibangun diatas konsepsi intelektual yang direkam dari kondisi empiris
atau benda-benda eksternal yang ditangkap indera. Menurut Aristoteles, gagasan-gagasan atau
konsepsi yang ada dalam pikiran tidak diambil dari alam ide sebagaimana disampaikan Plato,
melainkan direkam dari alam nyata, kenyataan empiris yang ditangkap indera. Gagasan atau
konsepsi dari alam riil yang direkam indera kemudian diolah dan disusun secara sistematis
menurut aturan logis untuk mengungkap gagasan dan kebenaran lain yang lebih tinggi daripada
apa yang dicapai indera. Jika dalam pikiran seseorang telah terbentuk konsep-konsep kebenaran,
maka dengan silogisme atau aturan logis, akan ditemukan kebenaran atau gagasan lain yang tidak

32 Ibid, 520. Lihat pula Poespoprodjo, Logika Ilmu Menalar, (Bandung, Remaja Karya, 1989), 4.
33 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 528. Lihat juga Poedjawijatna, Logika Filsafat Berfikir, (Jakarta,
Aneka Cipta, 1992), 14.
34 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 529; Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, 168. Pendapat ini tetap

dipakai kaum Aristotelian sampai abad-abad pertengahan. Al-Farabi, misalnya, seorang tokoh
Aristotelian dari kalangan muslim, memisahkan logika dan bahasa dari keilmuan-keilmuan yang lain
dalam klasifikasi yang dibuatnya. Al-Farabi membagi ilmu-ilmu dalam lima bagian: bahasa, logika,
metafisika, fisika, dan matematika. Lihat Osman Bakar, Hierarki Ilmu, (Bandung, Mizan, 1997), 145 dan
seterusnya.
IwanTaufiq/Logika Aristo/2/27/2020 12
dikenal sebelumnya. Prinsip kerja dari gagasan ini adalah (1) adanya benda-benda alam yang
bisa ditangkap oleh indera, (2) terjadinya gambaran atau persepsi dalam pikiran, (3)
pengungkapan atas gambaran yang ada dalam pikiran tersebut lewat bahasa atau kata.35
Tentang penentuan apa yang ada dan yang ditangkap pikiran lewat indera, Aristoteles
membagi dalam 10 bagian yang disebut kategori, yakni (1) substansi, (2) kuwantitas atau jumlah,
(3) kuwalitas atau sifat, (4) relasi atau hubungan, (5) tempat (6) waktu, (7) sikap atau status, (8)
keadaan, (9) kerja atau aktif, (10) menderita atau pasif. Di atas kategori yang sepuluh ini
seseorang menyusun pengertian atau logika.

Dengan konsep ini, Aristoteles berarti membangun paradigma pemikiran yang berasal
dari “bawah”, empiris.36 Dari data empiris yang diakui kebenarannya disusun konsepsi intelektual
dan suatu kebenaran, dan dari kebenaran serta konsepsi intelektual ini --dengan aturan silogisme-
- diturunkan atau ditemukan kebenaran dan konsepsi baru yang lebih tinggi atau belum
ditemukan sebelumnya. Begitu seterusnya sehingga dari data-data empiris ini seseorang bisa naik
dan menemukan ide tertinggi. Konsekuensinya, dalam persoalan hubungan antara alam riil dan
ide, maka alam ide adalah “bayangan” alam riil. Apa yang ada (being) dan yang aktual bukan
yang di dalam otak, di dalam ide atau pikiran, tetapi dalam benda-benda konkrit. Di luar itu
semua tidak ada apapun, melainkan hanya sebutan belaka, bukan benda sesungguhnya, meski
yang dimaksud adalah benda ghaib.
Dalam pandangan Aristoteles, alam idea (essensi) adalah sesuatu yang “menjadi” bukan
sesuatu yang “ada”, Ia ada secara immanen dalam benda-benda konkrit yang bentuknya (form)
kemudian ditangkap oleh intelengia atau pikiran. Artinya, realitas yang sesungguhnya adalah
benda-benda konkrit yang dapat ditangkap indera tersebut, sedang apa yang ada dalam akal
pikiran, termasuk pengetahuan, semata hanya representasi akal terhadap benda-benda konkrit
yang ditangkap indera, sehingga apa yang disebut dengan “idea” atau essensi menjadi “tidak
pasti” karena juga dipengaruhi oleh kekuatan akal yang merepresentasikan, berbeda dengan
benda-benda konkrit itu sendiri.37
Paradigma pemikiran Aristoteles ini berseberangan dengan paradigma pemikiran gurunya,
Plato, yang terbangun dari “atas”. Menurut Plato,38 sumber ilmu pengetahuan adalah akal atau
rasio karena dialah yang merupakan wujud yang sesungguhnya (being), bukan kenyataan empiris,
meski tidak mengingkari pentingnya pengalaman dan kondisi empiris. Namun, pengalaman atau
data-data empiris hanya dipandang sebagai sejenis perangsang pikiran, sehingga benar tidaknya
dipengaruhi bukan oleh kenyataan atau objektif benda melainkan oleh ide atau pikiran.

35 Al-Jabiri. Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut, al-Markaz al-Saqafi al-Arabi, 1991), 421.
36 Dalam sejarah filsafat, Aristoteles memang dikenal sebagai salah seorang tokoh empirisme,
sementara Plato, gurunya dikenal sebagai rasionali. Plato lebih kerasan dengan matematika dan
dialektika, sedang Aristoteles berkonsentrasi pada ilmu-ilmu induktif. Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat,
198.
37 Copleston, A History of Philosophy, I, 377. Harun Hawijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, I, (Yogya,

Kanisius, 1997), 48.


38 Copleston, A History of Philosophy, I, 372; Louis Kasstoff, Pengantar Filsafat, terj. S. Sumargono,

(Yogya, Tiara Wacana, 1996), 139.


IwanTaufiq/Logika Aristo/2/27/2020 13
Pengetahuan pada dasarnya adalah pengenalan kembali ide-ide yang pernah diperoleh
manusia sebelum mereka dilahirkan. Menurut Plato,39 sebelum kelahirannya di dunia, manusia
telah mengalami pre-eksistensi di dunia ide, dan di sana mereka menerima bekal konsep tentang
kebenaran dan kenyataan. Konsekuensinya, dalam kaitan antara alam indera dan ide, alam indera
atau dunia bukanlah kenyataan yang sesungguhnya melainkan hanya bayangan dari alam ide.
Dari alam ide yang merupakan wujud hakiki (being) kemudian “turun” dalam bentuk alam
indera.

F. Tata Kerja Logika.

Logika Aristoteles, sebagaimana disinggung, berpusat dan berpuncak pada apa yang
disebut dengan silogisme. Silogisme adalah argumentasi yang terdiri atas tiga proposisi. Setiap
proposisi dapat dibedakan atas dua unsur: (1) tentang apa sesuatu dikatakan yang disebut
“subjek”, (2) apa yang dikatakan yang disebut “predikat”. Argumentasi silogisme menurunkan
proposisi ketiga dari dua proposisi yang sudah diketahui. Kunci memahami silogisme adalah term
yang dipakai dalam putusan pertama maupun kedua.40
Silogisme sendiri terdiri atas dua bentuk: silogisme analitika yang dalam epistemologi
Islam dikenal dengan istilah (burhani atau demonstratif) dan silogisme dialektika atau jadali.
Silogisme analitika (demonstratif) adalah silogisme yang tersusun atas premis-premis yang benar,
primer dan memang diperlukan. Premis yang benar adalah premis yang memberi keyakinan,
menyakinkan. Al-Farabi, seorang tokoh terkemuka logika Aristotelian dari kalangan muslim,41
membagi materi premis-premis silogisme ini dalam empat bentuk; (1) pengetahuan primer, (2)
pengetahuan indera (mahsusat), (3) opini-opini yang umumnya diterima (masyhurat), (4) opini-
opini yang diterima (maqbulat). Keempat macam premis ini tidak sama tingkat kepercayaannya,
ada yang mencapai tingkat menyakinkan, mendekati keyakinan dan percaya begitu saja, sehingga
memunculkan hierarki tingkat hasil silogisme. Suatu premis bisa dianggap menyakinkan bila
memenuhi tiga syarat; (1) kepercayaan bahwa sesuatu (premis) itu berada atau tidak dalam
kondisi spesifik, (2) kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang lain
selain darinya, (3) kepercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak mungkin sebaliknya. Premis
dianggap mendekati keyakinan jika hanya mengacu kepada dua kriteria pertama, sedang yang
dipercaya belaka mempersyaratkan kriteria pertama diantara tiga kriteria yang diberikan.42
Proposisi pengetahuan primer menduduki peringkat pertama dan teratas dalam hierarki
materi silogisme, karena ia dinilai memenuhi tiga kriteria premis yang menyakinkan; yaitu bahwa
selain secara at in self benar adanya, ia juga telah teruji secara rasional. Proposisi yang umumnya

Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat, 38-9; Copleston, A History of Philosophy, I, 372
39

Bertens, Sejarah Fislafat Yunani, 169.


40
41 Osman Bakar, Hierarki Ilmu, 106. Pembagian al-Farabi tentang premis-premis ini, khususnya

tiga bagian yang terakhir, hampir sama dengan apa yang disampaikan Immanuel Kant (1724-1804)
dengan istilah “postulat”. Menurut Kant, postulat adalah praandaian-praandaian dasar yang sifatnya
tidak dapat dibuktikan tapi mutlak di perlukan dan praktis. Dalam hal ini ada tiga postulat dalam
pemikiran Kant; eksistensi Tuhan, immortalitas (keabadian jiwa) dan kehendak bebas. Lihat, Lorens
Bagus, Kamus Filsafat, 87.
42 Osman Bakar, Hierarki Ilmu, 106; Hatta, Alam Pikiran Yunani, 124.
IwanTaufiq/Logika Aristo/2/27/2020 14
diterima (masyhurat) menduduki peringkat kedua, tingkat mendekati keyakinan, tidak sampai
derajat menyakinkan, karena ia dianggap hanya mempunyai dua sifat pertama dalam tiga kriteria
yang dipersyaratkan. Proposisi yang umumnya diterima tidak mempunyai sifat ketiga, tidak teruji
secara rasional. Artinya, opini yang umum diterima tidak pernah dikaji kembali apakah ia
memang demikian, tidak dikaji kemungkinan-kemungkinan sebaliknya. Pertimbangan pertama
dalam menerima opini yang umumnya diterima bukan atas dasar kebenarannya, melainkan
bahwa ia telah disepakati (konsensus atau ijma’) secara umum, sehingga dalam hal ini, opini-
opini yang bertentangan satu sama lain boleh jadi diterima sekaligus, seperti dalam kasus fiqh.43

Silogisme analitika atau demonstratif yang disebut juga sebagai silogisme kategoris
menggunakan pengetahuan primer ini sebagai premis-premisnya. Selain itu, juga bisa dari jenis-
jenis pengetahuan indera dengan syarat bahwa objek-objek pengetahuan indera tersebut harus
senantiasa sama (konstans) saat diamati, dimanapun dan kapanpun, dan tidak ada silogisme yang
menyimpulkan sebaliknya.44
Silogisme dialektik atau disbeut juga silogisme hipotesis adalah bentuk silogisme yang
tersusun atas premis-premis yang hanya bertaraf mendekati keyakinan, tidak sampai derajat
menyakinkan seperti dalam silogisme analitika. Materi premis silogisme dialektik berupa opini-
opini yang secara umum diterima (masyhurat), yang ini biasanya diakui atas dasar keimanan atau
kesaksian orang lain, tanpa diuji secara rasional. Karena itu, nilai pengetahuan yang dihasilkan
dari silogisme dialektika tidak bisa menyamai pengetahuan yang dihasilkan dari metode
silogisme analitika. Ia berada di bawah pengetahuan analitika.45
Meski demikian, pengetahuan hasil metode dialektik tersebut masih lebih unggul
dibanding pengetahuan hasil retorik dan puitik, sebab dalam metode retorik, salah satu premis
utamanya telah dibuang sehingga keputusan yang dihasilkan tidak menyakinkan, untuk tidak
mengatakan tidak bisa diterima oleh aturan berfikir rasional. Pembuangan premis utama retorik
ini dikarenakan tujuan penting retorik bukan untuk mencapai keyakinan rasional tetapi semata
untuk menyakinkan pendengar agar mereka mempercayai apa yang disampaikan dengan
membuat jiwanya puas dan sependapat dengan argumen-argumen tersebut.
Di samping itu, premis yang digunakan dalam metode retorik biasanya hanya berputar
pada opini-opini yang diterima (maqbulat), salah satu dari --meminjam istilah Kant-- postulat
yang menduduki peringkat paling rendah di antara empat postulat yang diberikan al-Farabi.
Seperti yang terjadi pada premis pada opini yang umumnya diterima (masyhurat), opini maqbulat
hanya menduduki peringkat “dipercaya saja” karena ia tidak diakui secara umum, bahkan hanya

43 Osman Bakar, ibid,


44 Ibid.
45 Uraian lebih lengkap tentang tata aturan silogisme, pembagiannya dan contoh-contoh masing-

masing, lihat, Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 1000-1006; Poedjawijatno, Logika Filsafat Berfikir, 78-82;
Poespoprodjo, Logika Ilmu Menalar, (Bandung, Remaja Karya, 1989), 153-164.
Sejalan dengan pernyataan diatas, Ibn Rusyd yang juga memberikan tiga metode penggalian
ilmu; demonstratif (silogisme kategorik), dialektik (silogisme hipotesis) dan retorik, menyatakan bahwa
hasil pengatahuan demontratif untuk konsumsi kalangan elite, pengetahuan dialektik untuk kalangan
tengah, sedang retorik untuk masyarakat awam. Lihat Ibn Rusyd, Kaitan Filsafat dengan Syariat, (Jakarta,
Pustaka Firdaus, 1996), 56-67.
IwanTaufiq/Logika Aristo/2/27/2020 15
diterima oleh individu atau sekelompok kecil orang, tanpa ada penyelidikan lebih lanjut apakah
yang diterima tersebut memang demikian adanya atau justru malah sebaliknya. 46

BAB III
ANALISIS PENULIS

Satu hal yang sangat patut dikatakan luar biasa tentang apa yang telah menjadi mega
karya guru bangsa dunia, Aristoteles. Betapa tidak, logika Aristoteles ini kemudian menjadi
kiblat dari semua konsep-konsep yang ada dulu-sekarang ini –meski banyak yang membuat
antithesis untuk logika tersebut setelah 20 abad lebih lamanya logika terlahir-- mempengaruhi
setiap sudut peradaban dunia. Tidak pernah disangkal juga bahkan pesatnya peradaban islam di
masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah adalah akibat dari percikan-percikan dari logika tersebut.
Penulis pada akhirnya harus terbungkam takjub, karena memang penulis tidak pernah berangan-
angan sebelumnya bahwa di abad sekuno tersebut sudah ada yang pernah memikirkan hal ini.
Yang bahkan hingga masa kekinian masih abadi dalam sejarah peradaban dunia. Manusia yang
memang tercipta dengan karunia akal yang sangat super genius ini ternyata ada.
Persinggunan antara teori logika tradisional --disebut tradisional karena pada abad ke 21
sudah hadir logika modern yang lebih canggih— ini dengan teori logika yang dihasilkan oleh
para filosof dan pemikir logika sesudahnya sangat mempengaruhi perkembangan teori logika
tradisional tersebut. Meski tidak bisa dipungkiri bahwa kualitas filosof dan para pemikir logika
tersebut masih jauh tertinggal di bawah kualitas sang penemu teori logika tersebut. Seperti
contohnya Ibn Taimiyah –dari timur—dengan Francis Bacon –dari barat—yang mengkritisi teori
ini. Dan pada akhirnya, perkembangan ini sudah sangat ‘mandek’ diterpa zaman. Dan ini yang
kemudian bisa menjadi tolok ukur kita bahwa sesempurna apapun teori yang bisa dilahirkan oleh
akal, tetap saja tidak pernah bisa mengiringi semua pemikiran manusia di tiap-tiap zaman yang
berbeda. Inilah mahakarya Tuhan yang sangat tidak bisa tertandingi, akal pikiran. Dimana bahkan
beberapa ‘sekte’ dari kalangan faham-faham rasionalisme menomorsatukan akal daripada yang
lainnya. Sebuah alasan yang logis, tentang sebuah tindakan yang dihasilkan dari pendewaan akal
rasional pikiran.
Salah satu tokoh logika aristotelean di kalangan muslim, Al Farabi, kemudian hadir
dengan sejumlah karyanya yang memodifikasi total tentang rekonstruksi logika tradisional
Aristoteles ini. Yah meskipun jenjang waktu antara Aristoteles dan Al Farabi tersebut terlampu

46 Osman Bakar, Hierarkhi Ilmu, 108.


IwanTaufiq/Logika Aristo/2/27/2020 16
jauh, yakni sekitar 1000-an tahun, namun Al Farabi lah satu-satunya yang bisa menjawab
tentang kemusykilan-kemusykilan dari logika tradisional tersebut. 47
Pada kenyataanya, secanggih apapun logika modern kekinian terkonstruksi oleh bapak
logika modern, Francis Bacon, tersebut, sangat tidak bisa terlepas dari pengaruh logika
tradisional Aristoteles. Tetap menjadi sebuah hierarki satu-kesatuan yang sistematis dari teori-
teori logika yang ada. Sebagaimana hubungan antara mitos dan logos. Yang sangat tidak pernah
bisa mencap mitos-mitos tersebut sebuah keburukan. Karena memang buih-buih logos terlahir
dari rahim mitos itu sendiri. Begitupun teori logika modern saat ini, tidak akan pernah bisa

merajai pemikiran hingga kini tanpa peran teori logika sebelumnya. Namun ini yang kemudian
membuat Aristoteles menjadi salah satu tokoh istimewa, karena tanpa ada yang mendahuluinya.48

47 Aburisman, Al Farabi dan Logika Aristoteles, 21.


48 Prof. Dr. Will Durrant, “The Story Of Philosofy”
IwanTaufiq/Logika Aristo/2/27/2020 17

BAB IV
PENUTUP
==========
A. Kesimpulan
Dalam akhir makalah ini ada beberapa hal yang patut disampaikan. Pertama, dari sisi
sejarah, kelahiran logika Aristoteles --termasuk juga logika Yunani yang lain -- tidak lepas
dari pengaruh kondisi sosial politik Yunani saat itu yang terbuka, dimana segala persoalan
didiskusikan bersama secara bebas, sehingga dituntut adanya kecakapan berfikir dan
berargumentasi dalam rangka mempengaruhi orang lain. Kedua, dalam konteks yang lebih
luas, logika Aristoteles dan filsafat Yunani pada umumnya bukan satu-satunya sistem berfikir
yang ada di dunia, meski diakui sebagai aturan berfikir yang paling berpengaruh. Masih ada
sistem berfikir lain yang juga besar dan cukup berpengaruh, yaitu logika Nyaya di India dan
logika Mo Tse di Cina.
Ketiga, perjalanan logika Aristoteles, sesungguhnya, hanya sampai pada abad-abad
pertengahan. Setelah mengalami kemunduran dalam pemikiran filsafat Islam, karena diserang
al-Ghazali dan dikritik Suhrawardi, logika Aristoteles juga dikritik dan tidak diakui di Barat,
dan mereka menelorkan sistem berfikir sendiri yang lebih bagus, logika modern, yang
kemudian mengantarkan Barat kepada kemajuan. Artinya, dalam kaitannya dengan usaha
kebangkitan Islam saat ini, para sarjana muslim kiranya tidak bisa begitu saja kembali pada
filsafat Islam abad pertengahan yang Aristotelian; jika terpaksa mengambil, yang bisa
dilakukan hanya dari sisi spirit dan semangatnya belaka. Juga tidak harus mengadopsi logika
dan epistemologi Barat secara membabi buta, karena ia ternyata juga mengandung kelemahan,
yakni menimbulkan kegersangan ruhani karena sifatnya yang positivistik. Perlu dipikirkan
logika dan epistemologi baru, epistemologi alternatif yang lebih bisa mengerti dan mengatasi
persoalan dunia modern dan masyarakat muslim, sebagaimana yang pernah dilakukan Barat
dahulu setelah melihat kekurangan logika Aristoteles.
Keempat, sumber berfikir logika Aristoteles adalah apa yang disebut 10 kategori, yang
terdiri atas 1 substansi dan 9 aksidensi. Konsep tentang substansi ini diambil dari Plato,
gurunya. Dari 10 kategori ini logika Aristoteles kemudian menyusun abstraksi-abstraksi lewat
aturan yang disebut dengan silogisme. Dengan demikian, pengetahuan, dalam pandangan
IwanTaufiq/Logika Aristo/2/27/2020 18
logika Aristoteles adalah abstraksi-abstraksi pikiran dari hasil tangkapannya tentang
substansi dan kategori-kategori.
Kelima, dari sisi filsafat, doktrin Aristoteles tentang immanensi essensi, yakni bahwa
essensi bersemayam dalam benda-benda dimana benda-benda konkrit itulah yang dianggap
sebagai realitas sesungguhnya, memberikan kontribusi yang penting bagi perkembangan
filsafat alam. Paling tidak, ini merupakan antitesis atau koreksi atas doktrin Plato tentang
transendensi essensi, meski konsepsi Plato tentang essensi itu sendiri akhirnya juga diambil
oleh Aristoteles yang dimasukkan dalam 10 kategorinya, yakni substansi.

Keenam, meski logika Aristoteles pernah mengantarkan filsafat Islam pada masa
keemasan, juga pernah sangat berpengaruh dalam sejarah intelektual manusia sampai abad
pertengahan, tetapi ia juga mengandung kelemahan, yang itu membuat kita harus berfikir
ulang jika berkeinginan untuk menggunakan logika ini dalam proyek kebangkitan islam.
1. Prinsip silogisme Aristoteles yang lebih mengutamakan sesuatu yang rasional dan
kebenaran yang empiris, secara tidak langsung, berarti telah menyederhanakan dan bahkan
membatasi keberagaman serta keluasan realitas. Kenyataannya, realitas tidak hanya pada
apa yang konkrit, yang tertangkap indera, tetapi ada juga realitas yang diluar itu, seperti
jiwa dan konsep mental. Artinya, disini ada kebenaran-kebenaran lain yang tidak bisa
didekati dengan silogisme, seperti dikatakan Suhrawardi.
2. Silogisme tidak bisa menjelaskan atau menyimpulkan eksistensi empiris diluar pikiran
seperti soal warna. Artinya, tidak semua keadaan atau argumentasi bisa diungkap lewat
silogisme sebagaimana kritik yang di sampaikan Leibniz.
3. Prinsip logika Aristoteles yang menyatakan bahwa atribut sesuatu harus didefinisikan oleh
atribut yang lain akan menggiring pada proses tanpa akhir, ad infinitum. Itu berarti tidak
akan ada absurditas yang bisa di ketahui. Logika Aristoteles sesungguhnya tidak
memberikan apa-apa, tidak menghasilkan pengetahuan baru.
4. Sejalan dengan no. 3, dengan prinsip bahwa kesimpulan yang khusus harus dideduksikan
dari pernyataan yang umum, maka apa yang disebut kesimpulan sebenarnya telah
tercantum secara implisit pada pernyataan umum yang disebut premis mayor; jika belum
ada, maka sia-sialah usaha silogisme tersebut karena sesuatu yang tidak ada tidak akan
melahirkan sesuatu yang baru. Ini termasuk kritik pada logika Aristoteles yang di
sampaikan John Stuart Mill (1806-1873 M) dan Bacon [.]
5. Silogisme ternyata telah cenderung mengiring penganutnya pada cara berfikir hitam putih,
benar salah, sebagaimana yang terjadi dalam model pikiran teologi atau ilmu kalam yang
memang banyak menggunakan logika ini. Akibatnya, pemikiran teologi menjadi sangat
keras dan mudah menimbulkan konflek, karena tidak mengenal kebenaran pada fihak lain.
Kebenaran hanya ada fihaknya sendiri.

B. Saran
IwanTaufiq/Logika Aristo/2/27/2020 19
Beberapa saran dan sedikit uraian yang mungkin butuh digarisbawahi dan perhitungkan
matang-matang yang akan penulis tawarkan untuk pembaca setelah membaca makalah ini,
antara lain telah terangkai sebagaimana berikut :
a. Teori logika Aristoteles yang merupakan hasil megakarya lintas zaman ini saat ini sudah
tidak lagi diterapkan. Karena persinggungan dengan para logisi setelahnya yang kemudian
menawarkan konsep dan rekonstruksi logika tradisional ini menjadi logika modern. Jadi,
jika ditemukan perbedaan dalam logika konteks kekinian, maka bisa diambil kesimpulan
bahwa logika tersebut berarti sudah mengalami hierarki dengan konsep hadil logisi setelah

Aristoteles. Meskipun pada dasar-dasar penalaran dan konsep rasionalitasnya rata-rata


sama.
b. Beberapa aliran yang sangat membenci Aristoteles ini sudah mempublikasikan buku-buku
atau literatur yang sangat memojokkan dan menjelek-jelekkan teori logika tradisional ini.
Jadi, untuk mengambil perbandingan dengan buku-buku logika yang lain, pembaca harus
lah lebih peka tentang subtansi bentuk olahan kondisi sosial yang ditawarkan oleh penulis
buku tersebut. Buku-buku dalam literatur penyusunan makalah ini sudah dirasa masih
berada dalam garis kebenarannya. Karena setelah pengamatan penulis, para pengarang
buku yang menjadi literatur penyusunan makalah ini sejauh ini belum ada yang tercekoki
oleh doktrin ‘pembunuhan’ ilmiah tersebut.
c. Khusus di kalangan islam, beberapa tokoh seperti Ibn Taimiyah dan Al Ghozali sedikitnya
sudah sangat mengkritisi alur filsafat Yunani. Jadi butuh analisa yang lebih tajam untuk
mengkomparasikan dengan karya-karya beliau-beliau.
-----------------
IwanTaufiq/Logika Aristo/2/27/2020 20

DAFTAR PUSTAKA

Aminrazavi, Mehdi, “Pendekatan Rasional Suhrawardi Terhadap Problem Ilmu Pengetahuan”,


dalam jurnal Al-Hikmah, Bandung, edisi 7, Desember 1992
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia, 1996.
Bakar, Osman, Hierarki Ilmu, Bandung, Mizan, 1997.
Bakker, Sejarah Filsafat dalam Islam, Yogya, Kanisius, 1986
Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogya, Kanisius, 1999.
Copleston, Frederick, A History of Philosophy, I, London, Search Press, 1946
Dardiri, Humaniora, Filsafat dan Logika, Jakarta, Rajawali, 1985.
Delfgaaw, Bernard, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, terj. Sumargono, Yogya, Tiara Wacana,
1992
Edwards, Paul (edit), The Encyclopedia of Philosophy, IV, New York, The MacMillan Company,
1967
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat, 1, Yogya, Kanisius, 1996
Hatta, Muhamamd, Alam Pikiran Yunani, Jakarta, UI Press, 1986
Hitti, Philip K, History of The Arabs, New York, Macmillan Press, 1986
Ibn Rusyd, Kaitan Filsafat dengan Syariat, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1996
Jabiri, Takwin al-Aql al-Arabi, Beirut, Markaz al-Saqafah al-Arabi, 1991
-------, Bunyah al-Aql al-Arabi, Beirut, al-Markaz al-Saqafi al-Arabi, 1991.
Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. S. Sumargono, (Yogya, Tiara Wacana, 1992.
Khudori Soleh, Ach, Pergumulan Pemikiran Yunani dan Arab Islam, makalah seminar kuliah
Sejarah Peradaban Barat, tanggal 08 Nopember 1999, pada Pps. IAIN Sunan Kalijaga,
Yogya.
Leman, Oliver, Pengantar Filsafat Islam, terj. Amin Abdullah, (Jakarta, Rajawali, 1989
Mahdi, Muhsin, “Al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam”, dalam jurnal al-Hikmah, edisi 4,
Bandung, Februari, 1992
Pierce, “Bagaimana Menjelaskan Gagasan Kita” dalam Qadir (peny), Ilmu Pengetahuan dan
Metodenya, Jakarta, Yayasan Obor, 1995
IwanTaufiq/Logika Aristo/2/27/2020 21
Poedjawijatna, Logika Filsafat Berfikir, Jakarta, Aneka Cipta, 1992
Poespoprodjo, Logika Ilmu Menalar, Bandung, Remaja Karya, 1989
Suseno, Frans Magnis, 13 Tokoh Etika, Yogya, Kanisius, 1998
Titus, Harold H, Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. HM. Rasjidi, Jakarta, Bulan Bintang, 1984
Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Gramedia, 1997
http://documents.mx/perjalananlogikaaristo.com

-----////-----

Anda mungkin juga menyukai