Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

TENTANG HAK WARIS DALAM ISLAM

DISUSUN OLEH:

NAMA : RAMA DWI PRAMUJASAKA


KELAS : XII TBSM 3
NO : 10

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR


DINAS PENDIDIKAN
SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN NEGERI 1
TRENGGALEK
Jl.Brigjen Sutran No.3 Telp.(0355)793177,794993 Fax.793178
Website: www.smkn1trenggalek.sch.id/Email : esemkane1tl@yahoo.co.id
TRENGGALEK 66315
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua tahap itu
membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama ,dengan orang yang
dekat dengannya. Baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti lingkungan.
Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain
serta timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat dan masyarakat
lingkungannya.
Demikian jugadengan kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum
kepada diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya, selain itu, kematian tersebut
menimbulkan kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yang berhubungandengan
pengurusan jenazahnya. Dengan kematian timbul pula akibat hukum lain secara otomatis, yaitu
adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak para keluarganya (ahli waris) terhadap
seluruh harta peninggalannya.
Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang
menyangkut bagaiman acara penyelesaian harta peninggalan kepada keluarganya yang dikenal
dengan nama Hukum Waris. Dalam syari’at Islam ilmu tersebut dikenal dengan nama
IlmuMawaris, Fiqih Mawaris, atau Faraidh.
Dalam hukum waris tersebut ditentukanlah siapa-siapa yang menjadi ahli waris, siapa-
siapa yang berhak mendapatkan bagian harta warisan tersebut, berapa bagian mereka masing-
masing bagaimana ketentuan pembagiannya serta diatur pula berbagai hal yang berhubungan
dengan soal pembagian harta warisan.
Hukum waris islam adalah salah satu dari obyek yang dibahas dalam Hukum Perdata
Islam di Indonesia selain masalah munakahah dan muamalah. Masalah hukum waris islam ini
sangat penting sekali untuk difahami oleh umat muslim. Akan tetapi seperti yang telah banyak
kita ketahui, hukum waris islam di Indonesia sudah mulai ditinggalkan oleh umat muslim.
Karena hukum waris islam itu sendiri dianggap sulit untuk diterapkan dalam kehidupan
masyarakat. Semakin kompleknya hubungan kekerabatan atau kekeluargaan yang terdapat
dalam masyarakat menjadi salah satu faktor yang menjadi penyebab hukum waris islam mulai
ditinggalkan masyarakat, dan mayoritas umat muslim sekarang ini menggunakan hukum waris
yang umum digunakan dalam masyarakat bukan hukum waris islam yang telah di atur dalam
Al-Qur’an dan juga As-sunnah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Waris dan Hukum Waris
2. Bagaimana Hukum Waris Islam
3. Bagaimana Hukum Waris Adat
4. Bagaimana Hukum Waris Perdata
5. Apa Persamaan dan perbedaan antara sistem hukum Islam dengan Perdata
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Waris dan Hukum Waris.
2. Untuk Mengetahui Hukum Waris Islam.
3. Untuk Mengetahui Hukum Waris Adat.
4. Untuk Mengetahui Hukum Waris Perdata.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Waris dan Hukum Waris


Mawaris adalah ilmu yang membicrakan tentang cara-cara pembagian harta waris. Ilmu
mawaris disebut juga ilmu faraid. Harta waris ialah harta peninggalan orang mati. Di dalam
islam, harta waris disebut juga tirkah yang berarti peninggalan atau harta yang ditinggal mati
oleh pemiliknya. Di kalangan tertentu, harta waris disebut juga harta pusaka. Banyak terjadi
fitnah berkenaan dengan harta waris. Terkadang hubungan persaudaraan dapat terputus karena
terjadi persengketaan dalam pembagian harta tersebut. Islam hadir memberi petunjuk cara
pembagian harta waris. Diharapkan dengan petunjuk itu manusia akan terhindar dari pertikaian
sesame ahli waris.
Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata miras (‫)موارث‬, yang
merupakan mashdar (infinitif) dari kata : warasa –yarisu – irsan – mirasan. Maknanya menurut
bahasa adalah ; berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum
kepada kaum lain.
Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama ialah, berpindahnya hak
kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang
ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hakmilik yang legal
secara syar’i. Jadi yang dimaksudkan dengan mawaris dalam hukum Islam adalah pemindahan
hak milik dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli waris yang masih hidup sesuai
dengan ketentuan dalam al-Quran danal-Hadis.
Sedangkan istilah Fiqih Mawaris dimaksudkan ilmu fiqih yang mempelajari siapa-siapa
ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak menerima, serta bagian-
bagian tertentu yang diterimanya.
Sedangkan Wirjono Prodjodikoro mendefinisikan warisan sebagai berikut; soal apakah
dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang
pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Pengertian waris dari kata mirats, menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu dari
seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Sesuatu ini bersifat
umum, bisa berupa harta, ilmu, keluhuran atau kemuliaan. Sedangkan waris menurut Ash-
Shabuni, ialah berpindahnya hak milik dari mayit kepada ahli warisnya yang hidup, baik yang
ditinggalkan itu berupa harta, atau hak-hak syar’i ahli waris.
Adapun dalam hukum waris Islam adalah penggunaan hak manusia akan harta
peninggalan orang yang meninggal kepada ahli waris karena adanya sebab-sebab dan telah
terpenuhinya syarat rukunnya, tidak tergolong terhalang atau menjadi penghalang warits.
Menurut al-Raghib (dalam Ali Parman), dikatakan bahwa pewarisan adalah pengalihan
harta milik seseorang yang telah wafat kepada seseorang yang masih hidup tanpa terjadi akad
lebih dahulu.
Jadi esensi pewarisan dalam al-Quran adalah proses pelaksanaan hak-hak pewaris
kepada ahli warisnya dengan pembagian harta pusaka melalui tata cara yang telah ditetapkan
oleh nash. Kata kedua dalam Al-Qur’an yang menunjukan waris dan kewarisan adalah Al-
faraidh. Dalam bahasa Arab, al-Faraidh adalah bentuk jamak dari kata faridhah, yang diambil
dari kata fardh yang artinya ketentuan yang pasti. Sebagaimana disebutkan dalam al-Quran
Surat An-Nisa’ (4) ayat 11
Fiqih Mawaris juga disebut Ilmu Faraid, diambil dari lafazh faridhah, yang oleh ulama
faradhiyun semakna dengan lafazh mafrudhah, yakni bagian yang telah dipastikan kadarnya.
Jadi disebut dengan ilmu faraidh, karena dalam pembagian harta warisan telah ditentukan
siapa-siapa yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak, dan jumlah (kadarnya)
yang akan diterima oleh ahli waris telah ditentukan.
Hukum waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang
telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang
lebih berhak

B. Hukum Waris Islam


1. Definisi Hukum Waris Islam
Dalam beberapa literatur Hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk
menamakan Hukum Waris Islam, seperti fiqh mawaris, ilmu faraidh dan hukum kewarisan.
Perbedaan dalam penamaan ini trjadi karena perbedaan arah yang dijadikan titik utama dalam
pembahasan.
Pengertian Hukum Waris Menurut Islam adalah suatu disiplin ilmu yang membahas
tentang harta peninggalan, tentang bgaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak
menerima bagian harta warisan / peninggalan itu serta berapa masing-masing bagian harta
waris menurut hukum waris islam.
Prof. T.M. Hasby As-Shid dalam bukunya hukum islam yang berjudul fiqh
mawaris (Hukum Waris Islam) telah memberikan pemahaman tentang pengertian hukum waris
menurut islam ialah:
"Ilmu yang dengan dia dapat diketahui orang-orang yang menjadi ahli waris dalam
islam, orang yang tidak dapat mewarisi harta warisan menurut islam, kadar yang diterima
oleh masing-masing ahli waris dalam islam serta cara pengambilannya"
Hukum Waris Islam kadang-kadang disebut juga dengan istilah Al-Faraidh bentuk
jamak dari kata fardh, yg artinya kewajiban dan atau bagian tertentu. Apabila dihubungkan
dngan ilmu, menjadi ilmu faraidh, maksudnya ialah ilmu untuk mengetahui cara
membagi harta waris orang yang telah meninggal dunia kepada yang berhak menerimanya
menurut hukum islam. Di dalam ketentuan Hukum Waris Menurut Islam yang terdapat dalam
Al-quran lebih banyak yang ditentukan dibandingkan yang tidak ditentukan bagiannya.[4]

2. Dalil Al-Qur’an Dan Al-Hadist Tentang Waris


a. Dalil Al Qur’an
Di dalam Al-Quran ada beberapa ayat yang secara detail menyebutkan tentang
pembagian waris menurut hukum Islam, di antaranya adalah QS An Nisa ayat: 11, 12, 176.
1) Ayat waris untuk anak
ً‫اح َدة‬ َ ‫ّللاُ ِفي أ َ ْوالَ ِد ُك ْم ِللذَّك َِر ِمثْ ُل َح ِ هظ األُنث َ َيي ِْن َف ِإن كُنَّ ِن‬
ِ ‫ساء فَ ْوقَ اثْنَتَي ِْن فَلَ ُهنَّ ثُلُثَا َما تَ َركَ َو ِإن كَا َنتْ َو‬ ‫وصي ُك ُم ه‬
ِ ُ‫ي‬
ُ ‫فَلَهَا النهِص‬
‫ْف‬
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak
itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta”.
(QS. An-Nisa’ : 11)
2) Ayat waris untuk orang tua
‫ث فَ ِإن‬ ُ ُ‫ُس ِم َّما تَ َركَ إِن كَانَ لَهُ َولَ ٌد فَ ِإن لَّ ْم يَكُن لَّهُ َولَ ٌد َو َو ِرثَهُ أَبَ َواهُ فَأل ُ ِهم ِه الثُّل‬ ُ ‫سد‬ ِ ‫َوألَبَ َو ْي ِه ِل ُك ِ هل َو‬
ُّ ‫اح ٍد ِ هم ْن ُه َما ال‬
ُ ‫وصي بِهَا أ َ ْو َدي ٍْن آبَآ ُؤ ُك ْم َوأَبنا ُؤ ُك ْم الَ تَد ُْرونَ أَيُّ ُه ْم أَ ْق َر‬
ً ‫ب لَ ُك ْم نَ ْفعا‬ ِ ُ‫ُس ِمن بَ ْع ِد َو ِصيَّ ٍة ي‬ ُ ‫سد‬ ُّ ‫كَانَ لَهُ إِ ْخ َوةٌ فَأل ُ ِ هم ِه ال‬
‫ع ِليما َح ِكي ًما‬ َ َ‫ّللاَ كَان‬‫ّللاِ ِإنَّ ه‬ ‫فَ ِريضَةً ِ همنَ ه‬
“Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui
siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. An-Nisa’ : 11) [5]
3) Ayat waris buat suami dan istri
‫وصينَ بِهَا أَ ْو َدي ٍْن‬
ِ ُ‫الربُ ُع ِم َّما ت َ َركْنَ ِمن بَ ْع ِد َو ِصيَّ ٍة ي‬ ُّ ‫ْف َما ت َ َركَ أ َ ْز َوا ُج ُك ْم إِن َّل ْم يَكُن لَّ ُهنَّ َو َل ٌد فَ ِإن كَانَ لَ ُهنَّ َولَ ٌد فَلَ ُك ُم‬ ُ ‫َولَ ُك ْم نِص‬
‫صونَ بِهَا أَ ْو َدي ٍْن‬
ُ ‫الربُ ُع ِم َّما ت َ َر ْكت ُ ْم إِن لَّ ْم يَكُن لَّ ُك ْم َولَ ٌد فَ ِإن كَانَ لَ ُك ْم َولَ ٌد فَلَ ُهنَّ الث ُّ ُمنُ ِم َّما تَ َر ْكت ُم ِهمن بَ ْع ِد َو ِصيَّ ٍة ت ُو‬ ُّ َّ‫َولَ ُهن‬
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau
(dan) sesudah dibayar utangnya.Paraistri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau
(dan) sesudah dibayar utang-utangmu”. (QS. An-Nisa’ : 12)
4) Ayat waris Kalalah
Kalalah lainnya adalah seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan saudara
perempuan.
َ‫ف َما تَ َرك‬ُ ‫ص‬ ْ ِ‫ْس لَهُ َو َل ٌد َولَهُ أ ُ ْختٌ فَلَهَا ن‬ َ ‫ّللاُ يُ ْفتِي ُك ْم فِي ا ْل َكالَ َل ِة إِ ِن ا ْم ُر ٌؤ َهلَكَ لَي‬‫ست َ ْفت ُونَكَ قُ ِل ه‬ ْ َ‫ي‬
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak
dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari
harta yang ditinggalkannya”. (QS. An-Nisa’ : 176)
b. Dalil Shunah
Ada begitu banyak dalil sunnah nabi yang menunjukkan pensyariatan hukum waris
buat umat Islam. Di antaranya adalah hadits-hadits berikut ini:
.‫ألََ ْولَى َر ُج ٍل ذَكَر‬ ِ َ‫سو ُل هللاِ أ َ ْل ِحقُوا ال َف َرائِضَ بِأ َ ْه ِلهَا فَ َما َب ِق َي ف‬ ُ ‫اس َقا َل َقا َل َر‬ ٍ َّ‫عب‬َ ‫ع َِن اب ِْن‬
“Dari Ibnu Abbas radiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabdam”Bagikanlah
harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki
yang paling utama.” (HR Bukhari)
ْ ‫س ِل ُم الكا َ ِف َر َوالَ الكَا ِف ُر ال ُم‬
‫س ِل َم‬ ْ ‫ث ال ُم‬ُ ‫سو ُل هللاِ الَ َي ِر‬ ُ ‫سا َمةَ ب ِْن َز ْي ٍد قَا َل قَا َل َر‬ َ ُ ‫ع َْن أ‬
“Dari Usamah bin zaid radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda,”Seorang muslim tidak mendapat warisan dari orang kafir dan orang kafir tidak
mendapat warisan dari seorang muslim”.
Hambal dalam Al-Musnad meriwayatkan:
‫َاف فِي َو ِصيَّتِ ِه‬ َ ‫سنَةً فَ ِإذَا أ َ ْوصَى ح‬ َ َ‫س ْب ِعين‬ َ ‫الر ُج َل لَيَ ْع َم ُل بِعَ َم ِل أ َ ْه ِل ا ْل َخي ِْر‬
َّ َّ‫ إِن‬r ِ‫ّللا‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ع َْن أَبِي ه َُري َْرةَ قَا َل قَا َل َر‬
‫سنَةً فَيَ ْع ِد ُل فِي َو ِصيَّتِ ِه فَيُ ْختَ ُم لَهُ بِ َخي ِْر‬ َ َ‫س ْب ِعين‬ َ ‫الر ُج َل لَيَ ْع َم ُل بِعَ َم ِل أ َ ْه ِل الش ِ هَّر‬َّ َّ‫ار َوإِن‬ َ ‫ع َم ِل ِه فَيَ ْد ُخ ُل ال َّن‬ َ ‫فَيُ ْخت َ ُم لَهُ بِش ِ هَر‬
ٌ‫اب ُم ِهين‬ٌ َ‫عذ‬ َ ‫ّللاِ إِ َلى قَ ْو ِل ِه‬
َّ ‫شئْت ُ ْم تِ ْلكَ ُحدُو ُد‬ ِ ‫ع َم ِل ِه فَيَ ْد ُخ ُل ا ْلجَ نَّةَ قَا َل ث ُ َّم َيقُو ُل أَبُو ه َُري َْرةَ َوا ْق َر ُءوا إِ ْن‬ َ
“Dari Abu Hurairah Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya seorang beramal dengan
amalan kebaikan selama tujuh puluh tahun, kemudian dia berwasiat (di akhir hayatnya) dan
berbuat dzolim dalam wasiatnya maka amalnya ditutup dengan kejelekan maka diapun masuk
neraka, dan ada seorang yang melakukan amalan kejelekan selama tujuh puluh tahun kemudian
dia berwasiat dengan keadilan (diakhir hayatnya) maka amalannya ditutup dengan kebaikan
maka masuklah ke dalam jannah”.
Indahnya islam dalam menjaga hak-hak manusia:
‫ان‬ِ َ‫ّللاِ َهات‬َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ فَقَالَتْ َيا َر‬r ِ‫ّللا‬ َّ ‫سو ِل‬ ُ ‫س ْع ٍد إِلَى َر‬ َ ‫يع ِبا ْبنَت َ ْيهَا ِم ْن‬ ِ ‫الر ِب‬َّ ‫س ْع ِد ب ِْن‬ َ ُ‫ّللا َقا َل جَا َءتْ ا ْم َرأَة‬ ِ َّ ‫ع ْب ِد‬ َ ‫ع َْن جَا ِب ِر ب ِْن‬
‫َان إِ َّال‬ َ
ِ ‫ع َّم ُه َما أ َخذَ َمالَ ُه َما َفلَ ْم يَ َد ْع لَ ُه َما َم ًاال َو َال ت ُ ْن َكح‬ َ
َ َّ‫يع قُ ِت َل أبُو ُه َما َمعَكَ يَ ْو َم أ ُ ُح ٍد ش َِهيدًا َوإِن‬ َ ‫ا ْبنَتَا‬
ِ ‫الر ِب‬ َّ ‫س ْع ِد ب ِْن‬
‫س ْع ٍد الثُّلُثَي ِْن‬ َ َ
َ ‫ع ِهم ِه َما فقَا َل أع ِْط ا ْبنَت َ ْي‬ َ ‫ إِلَى‬r ِ‫ّللا‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ث َر‬ َ
َ َ‫ث فبَع‬ ِ ‫يرا‬ ُ َ َ
َ ‫ّللاُ فِي ذ ِلكَ فنَ َزلَتْ آيَة ا ْل ِم‬ َ
َّ ‫َولَ ُه َما َما ٌل قا َل يَ ْق ِضي‬
َ‫َوأَع ِْط أ ُ َّم ُه َما الثُّ ُمنَ َو َما بَ ِق َي ف ُه َو لَك‬
َ
“`Dari Jabir bin Abdillah t berkata: Istri Sa’d bin Rabi’t mendatangi Rasulullah r dengan
membawa kedua anak perempuan dari Sa’d t, dia berkata: “Wahai Rasulullah, kedua anak
perempuan ini adalah anak Sa’d bin Rabi’ yang terbunuh syahid ketika perang Uhud bersama
engkau, dan paman keduanya (saudara laki-laki Sa’d bin Rabi’-pent) mengambil harta
keduanya dan tidak meninggalkan untuk keduanya harta, dan keduanya tidak bisa dinikahkan
kecuali jika memiliki harta. (mendengar pengaduan ini) Rasulullah r bersabda: “Allah akan
memutuskan perkara ini.” Kemudian turunlah ayat-ayat tentang waris maka Rasulullah r
mengutus kepada paman kedua anak ini dan memerintahkan agar memberi kedua anak
perempuan Sa’d bin Rabi duapertiga, dan memberi ibunya seperdelapan dan apa yang tersisa
adalah untukmu”.
c. Manfaat Waris Islam
Keuntungan atau hikma hmenerapkan mawaris ini juga untuk manusia. Hikmah
melaksanakan mawaris antara lainsebagai berikut.[6]
1) Untuk menunjukkan ketaatan kita kepada kita wajib taat kepada semua perintah Allah,
termasuk dalam hal mawaris. Dengan menerapkan mawaris ini berarti kita taat kepada Karena
ketaatan itu, maka melaksanakan mawaris dinilai ibadah.
2) Untuk menegakkan keadilan. Dengan mcnerapkan mawaris, berarti kita menegakkankeadilan.
Adil di dalam Islam tidak sama dengan sama rata dan sama rasa. Banyak danscdikitnya bagian
ahli waris itu disesuaikan dengan tanggung jawabnya dalam halmenanggung natkah dan
kedckatan kekerabatannya terhadap si mayat.
3) Untuk tetap mengharmoniskan hubungan antar kerabat Jika semua ahli waris menyadari
aturanini, dengan pembagian warisan menggunakan hukum akan membuat hubungan mereka
akan tetap harmonis. Namun, jika tidak menggunakan hukum mawaris ini, kemungkinan akan
timbul monopoli. Akibatnya ,perpecahan di antara kerabat itu tidak dapat dihindari.
4) Untuk lebih menyejahterakan keluarga yang ditinggal. Dengan menggunakan hukum waris
Islam, pembagian anak lebih besar daripada keluarga yang lebih jauh. Inidimaksudkan agar
keturunan yang ditinggalkan itu tidak hidup dalam kesengsaraan.Dengan tidak menggunakan
hukum waris Islam, bisa terjadi anak sendiri tidak mendapatkan bagian harta pusaka,
sedangkan saudara yang lebih jauh malahmemperoleh banyak.
5) Untuk kemaslahatan masyarakat. Dengan menerapkan hukum waris Islam, masyarakatkita
akan tenang. Jika tidak dibagi menurut aturan ini, kemun kinan terjadi di masyrakatMisalnya,
anak atau saudara dekatnya mistinya memperoleh bagian ternyata tidak.Masyarakat akan
bergejolak lantaran bersimpati kepada akhli waris dekat yang mestinya mendapat bagian itu.
6) Mengangkat martabat dan hak kaum wanita sebagai ahli waris.
7) Menghindarkan terjadinya persengketaan dalam keluarga karena masalah pembagian harta
wariasan.
8) Menghindari timbulnya fitnah. Karena salah satu penyebab timbulnya fitnah adalah
pembagian harta warisan yang tidak benar.
9) Dapat mewujudkan keadilan dalam keluarga, yang kemudian berdampak positif bagi keadilan
dalam masyarakat.
10) Memperhatikan orang-orang yang terkena musibah karena ditinggalkan oleh anggota
keluarganya.
11) Menjunjung tinggi hukum Allah.

C. Hukum Waris Adat


1. Pengertian Hukum Waris Adat
Hukum waris adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan
asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta
warisan itu dialihkan oleh pemiliknya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum ini sesungguhnya
adalah hukum penerusan serta mengoperkan harta kekayaan dari sesuatu genarasi kepada
keturunannya. Di dalam Hukum adat sendiri tidak mengenal cara-cara pembagian dengan
penghitungan tetapi didasarkan atas pertimbangan, mengingat wujud benda dan kebutuhan
waris yang bersangkutan.[7]
Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan
serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang tidak berwujud dari angkatan
manusia kepada turunannya. Soerojo Wignjodipoero, mengatakan : Hukum adat waris meliputi
norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun immaterial
yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya. Jadi, Hukum waris
adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tentang cara penerusan dan peralihan harta
kekayaan yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari generasi ke generasi. Dengan
demikian, hukum waris itu mengandung tiga unsur, yaitu: adanya harta peninggalan atau harta
warisan, adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan adanya ahli waris atau waris
yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima bagiannya.
Jadi sebenarnya hukum waris adat tidak semata-mata hanya mengatur tentang warisan
dalam hubungannya dengan ahli waris tetapi lebih luas dari itu.[8] Hilman Hadikusuma
mengemukakan hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan
tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris, dan waris serta cara
bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada
waris.
Dalam hal ini terlihat adanya kaidah-kaidah yang mengatur proses penerusan harta,
baik material maupun non material dari suatu generasi kepada keturunannya. Selain itu
pandangan hukum adat pada kenyataannya sudah dapat terjadi pengalihan harta kekayaan
kepada waris sebelum pewaris wafat dalam bentuk penunjukan, penyerahan kekuasaan atau
penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris kepada waris.

2. Corak Hukum Waris Adat


Secara teoritis hukum waris adat di Indonesia sesungguhnya dikenal banyak ragam
sistem kekeluargaan di dalam masyarakat. Akan tetapi secara umum yang dikenal sangat
menonjol dalam peraturan hukum adat ada tiga corak yaitu: prinsip patrilineal, matrilineal, dan
bilateral atau parental.
Adapun penjelasannya sebagai berikut:
a. Patrilineal
Sistem ini pada dasarnya adalah sistem keturunan yang menarik garis ketururan dimana
kedudukan seorang pria lebih menonjol dan hanya menghubungkan dirinya kepada ayah atas
ayahnya dan seterusya atau keturunan nenek moyang laki-laki didalam pewarisan.
b. Matrilineal
Dalam corak ini keluarga menarik garis keturunan ke atas melalui ibu, ibu dari ibu, terus
ke atas sehingga dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya. Akibat hukum yang timbul
adalah semua keluarga adalah keluarga ibu, anak-anak adalah masuk keluarga ibu, serta
mewarisi dari keluarga ibu. Suami atau bapak tidak masuk dalam keluarga ibu atau tidak masuk
dalam keluarga istri.
Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem kekeluargaan yang ditarik dari pihak ibu ini,
kedudukan wanita lebih menonjol daripada pria di dalam pewarisan. Contoh dari masyarakat
hukum adat ini antara lain: masyarakat Minangkabau. Dalam susunan ini kedudukan anak
wanita sebagai ahli waris sehingga segala sesuatunya dikuasai oleh kelompok keibuan. Namun
bukan semata-mata para ahli waris wanita yang menguasai dan mengatur harta peninggalan,
melainkan didampingi juga oleh saudara-saudara ibu yang pria.
c. Parental
Corak ini pada dasarnya adalah sistem yang menarik garis keturunan dimana seseorang itu
menghubungkan dirinya baik ke garis ayah maupun ke garis ibu, sehingga dalam kekeluargaan.
Semacam ini pada hakekatnya tidak ada perbedaan antara pihak ibu dan pihak ayah di dalam
pewarisan

3. Sistem Pewarisan
Sistem pewarisan yang ada dalam masyarakat Indonesia menurut Djaren Saragih yaitu:
a. Sistem pewarisan di mana harta peninggalan dapat dibagi- bagikan,
b. Sistem pewarisan di mana harta peninggalan tidak dapat dibagi-bagikan.
Sistem yang pertama pada umumnya terdapat pada masyarakat yang bilateral seperti di
Pulau Jawa, sedangkan sistem yang kedua terdapat pada masyarakat unilateral. Sistem kedua
dapat dibedakan lagi dalam bentuk sistem pewarisan kolektif dan sistem pewarisan mayorat.
Dilihat dari orang yang mendapat warisan (kewarisan) di Indonesia terdapat tiga macam sistem,
yaitu sistem kewarisan mayorat, sistem kewarisan individual, sistem kewarisan
kolektif. Menurut pendapat Soerojo Wignjodipoero dijumpai tiga sistem pewarisan dalam
hukum adat di Indonesia, yaitu:
“(1) Sistem kewarisan individual, cirinya harta peninggalan dapat dibagi-bagi di antara
para ahli waris seperti dalam masyarakat bilateral di Jawa, (2) Sistem kewarisan kolektif,
cirinya harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang bersama-sama
merupakan semacam bidang hukum di mana harta tersebut, yang disebut harta pusaka, tidak
boleh dibagi-bagikan pemilikannya di antara para ahli waris dimaksud dan hanya boleh
dibagikan pemakainya saja kepada mereka itu (hanya mempunyai hak pakai saja) seperti dalam
masyarakat matrilineal di Minangkabau, (3) Sistem kewarisan mayorat, cirinya harta
peninggalan diwarisi keseluruhannya atau sebagian anak saja, seperti halnya di Bali di mana
terdapat hak mayorat anak laki-laki yang tertua dan di Tanah Semendo Sumatera Selatan
dimana terdapat hak mayorat anak perempuan yang tertua

4. Unsur-Unsur Warisan
Jika dilihat dari harta warisan, Dalam hal ini Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa
untuk mengetahui apakah harta dapat terbagi atau memang tidak terbagi, harta warisan itu perlu
dikelompokkan yaitu:
a. Harta Asal
Yaitu semua kekayaan yang dikuasai dan dimiliki pewaris, baik berupa harta peninggalan
ataupun harta bawaan yang dibawa masuk ke dalam perkawinan. Harta peninggalan dapat
dibedakan lagi dengan harta peninggalan yang tidak terbagi, peninggalan yang belum terbagi
dan peninggalan yang terbagi. Harta peninggalan ini pada daerah tertentu seperti di
Minangkabau di kenal pula dengan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi adalah harta
warisan yang diperoleh ahli waris dari lebih dua generasi di atas pewaris, sedangkan harta
pusaka rendah semua harta warisan yang diperoleh dari satu atau dua angkatan kerabat di atas
pewaris.
Harta bawaan dapat dibedakan antara harta bawaan suami dan harta bawaan istri. Dilihat
dari sudut perkawinan, baik harta peninggalan maupun harta bawaan kesemuanya merupakan
harta asal. Sebaliknya, dilihat dari sudut pewarisan, keduanya merupakan harta peninggalan.
Harta bawaan suami maupun harta bawaan istri akan kembali kepada pemilik asalnya yaitu
yang membawanya bila terjadi perceraian.
b. Harta Pencaharian
Yaitu harta yang didapat suami isteri secara bersama selama dalam ikatan perkawinan.
Tidak perlu dipermasalahkan apakah isteri ikut aktif bekerja atau tidak. Walaupun yang bekerja
hanya suami, sedangkan isteri hanya tinggal di rumah mengurus rumah tangga dan anak,
namun tetap menjadi hasil usaha suami isteri.
c. Harta Pemberian
Yaitu harta pemberian yang merupakan harta warisan yang bukan karena jerih payah
seseorang bekerja untuk mendapatkannya. Pemberian dapat dilakukan seseorang atau
sekelompok orang atau seseorang atau kepada suami-isteri. Untuk harta pemberian ini, bila
terjadi perceraian maka dapat dibawa kembali oleh masing-masing, sebagaimana peruntukan
yang dimaksud pemberinya.
d. Ahli waris
Yang menjadi ahli waris terpenting adalah anak kandung, sehingga anak kandung dapat
menutup ahli waris lainnya. Di dalam hukum adat juga dikenal istilah :
1) Anak angkat
Dalam hal status anak angkat, setiap daerah mempunyai perbedaan. Putusan Raad
Justitie tanggal 24 Mei 1940 mengatakan anak angkat berhak atas barang-barang gono gini
orang tua angkatnya. Sedangkan barang-barang pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak
mewarisinya, (Putusan M.A. tanggal 18 Maret 1959 Reg. No. 37 K/SIP/1959).
2) Anak tiri
Terhadap bapak dan ibu kandungnya anak tersebut merupakan ahli waris, namun anak
tersebut tidak menjadi ahli waris orang tua tirinya. Kadang-kadang begitu eratnya hubungan
antara anggota rumah tangga, sehingga anak tiri mendapat hak hibah dari bapak tirinya, bahkan
anak tiri berhak atas penghasilan dari bagian harta peninggalan bapak tirinya demikian
sebaliknya.
3) Anak luar nikah
Anak diluar nikah hanya dapat menjadi ahli waris ibunya.
4) Kedudukan janda
Didalam hukum adat kedudukan janda didalam masyarakat di Indonesia adalah tidak
sama sesuai dengan sifat dan system kekelurgaan. Sifat kekelurgaan Matrilineal : harta warisan
suaminya yang meninggal dunia kembali kekeluarga suaminya atau saudara kandungnya.
5) Kedudukan duda
Di Daerah Minangkabau dengan sifat kekeluargaan matrilineal suami pada hakekatnya
tidak masuk keluarga isteri, sehingga duda tidak berhak atas warisan isteri.

5. Proses Penerusan Harta Waris Adat


Proses pewarisan yang berlaku menurut hukum adat di dalam masyarakat Indonesia
hanya ada dua bentuk. Pertama, proses pewarisan yang dilakukan semasa pewaris masih hidup.
Kedua, proses pewarisan yang dilakukan setelah pewaris wafat.[10] Apabila proses pewarisan
dilakukan semasa pewaris masih hidup maka dapat dilakukan dengan cara penerusan,
pengalihan, berpesan, berwasiat, dan beramanat. Sebaliknya, apabila dilaksanakan setelah
pewaris wafat, berlaku cara penguasa yang dilakukan oleh anak tertentu, anggota keluarga atau
kepada kerabat, sedangkan dalam pembagian dapat berlaku pembagian ditangguhkan,
pembagian dilakukan berimbang, berbanding atau menurut hukum agama.
Mengenai hibah pada masyarakat parental adalah bagian dari proses pewarisan yang
dilakukan sebelum orang tua atau pewaris meninggal. Selanjutnya, hibah pada masyarakat
matrilineal pada dasarnya tidak dikenal. Dan hibah pada masyarakat patrilineal mempunyai arti
pemberian (sebagian kecil) harta kepada anak perempuan yang bukan bagian dari ahli waris.
Hibah ada dua macam, pertama, hibah biasa yaitu hibah yang diberikan pada waktu pewaris
masih hidup, kedua, hibah wasiat yaitu hibah yang dilaksanakan ketika pewaris telah
meninggal dunia.
Sedangkan terkait harta warisan setelah pewaris wafat karena alasan - alasan tertentu
ada yang dibagi-bagikan dan ada yang pembagiannya ditangguhkan. Adapun alasan-alasan
penangguhan itu antara lain :
a. Terbatasnya harta pusaka;
b. Tertentu jenis macamnya;
c. Para waris belum dewasa;
d. Belum adanya waris pengganti;
e. Diantara waris belum hadir;
f. Belum diketahui hutang piutang pewaris;
Pembagian harta waris dapat dilakukan dapat mengikuti hukum adat dan mengikuti hukum
waris Islam. Hilman Hadikusuma menyebutkan bahwa pada umumnya masyarakat Indonesia
menerapkan pembagian berimbang yaitu di antara semua waris mendapat bagian yang sama,
seperti dilakukan oleh masyarakat Jawa, dan banyak pula yang menerapkan hukum waris Islam
di mana setiap waris telah mendapatkan jumlah bagian yang telah ditentukan.

6. Pengaruh Ajaran Agama Islam Dalam Hukum Kewarisan Adat.


Perkembangan hukum adat terjadi, salah satunya disebabkan adanya hukum atau
peraturan-peraturan agama. Pada awal masuknya Islam ke Indonesia, nilai-nilai hukum agama
Islam dihadapkan dengan nilai-nilai hukum adat yang berlaku, yang dipelihara dan ditaati
sebagai sistem hukum yang mengatur masyarakat tersebut. Sebagai contoh, hukum kewarisan
sudah ada dalam hukum adat sebelum Islam memperkenalkannya. Sehingga pada akhirnya,
proses penerimaan hukum kewarisan Islam sebagai sistem hukum berjalan bersama dengan
sistem hukum kewarisan adat.
Di satu pihak hukum kewarisan Islam menggantikan posisi hukum kewarisan adat yang
tidak islamiyah dan di pihak lain hukum kewarisan adat yang tidak bertentangan dengan hukum
kewarisan Islam mengisi kekosongan hukum kewarisan sesuai budaya hukum yang berlaku d
lingkungan adat masyaraka. Dan lambat laun, hukum kewarisan adat dalam hal tertentu digeser
posisinya oleh hukum kewarisan Islam . dengan demikian, hukum kewarisan Islam menjadi
hukum kewarisan adat dan dalam lain hal yang tidak diatur oleh hukum kewarisan Islam atau
tidak bertentangan dengan hukum kewarisan Islam, maka hukum kewarisan adat itu tetap
berlaku.
Adapun persesuaian dan perbedaan antara hukum kewarisan Islam dengan hukum
kewarisan adat dalam pelaksanaannya di luar dan di dalam Pengadilan Agama dapat dilihat
dari tinjauan terhadap Kabupaten Donggala. Dalam kabupaten Donggala terdapat persesuaian
antara hukum kewarisan adat dan hukum kewarisan Islam dalam beberapa asas hukum
mengenai pewaris ahli waris, harta warisan, pengalihan harta, dan bagian masing-masing ahli
waris. Hal tersebut dapat diklasifikasi sebagai berikut.[11]
1. Kedudukan orang tua
Kedudukan orang tua, baik ayah maupun ibu dalam pelaksanaan hukum kewarisan Islam
dan hukum kewarisan adatdalam lingkungan adat masyarakat muslim yang mendiami
kabupaten Donggala disebut pewaris bila mereka (ayah dan ibu atau keduanya) meninggal
dunia, dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada kepada anaknya yang masih hidup.
Penentuan anak sebagai ahli waris didasari oleh hubungan kekerabatan.
2. Kedudukan Anak
Kedudukan anak baik laki-laki maupun perempuan di dalam pelaksanaan pmbaggian harta
warisan merupakan ahli waris kelompok utama. Sengketa yang terjadi disebabkan harta
warisan dikuasai oleh saudara dan keponakan atau putusan pengadilan negeri dan pengadilan
agama di kabupaten Donggala, menetapkan bahwa anak sebagai ahli waris dari orang tuanya.
3. Kedudukan harta asal
Mengenai kedudukan harta asal nila pewaris meninggal dunia tanpa anak, melainkan
meninggalkan ahli waris yang terdiri dari orang tua (ayah ibu) dan suami atau istri. Dalam hal
harta warisan menjadi sengketa, karena dikuasai oleh salah seorang atau beberapa orang ahli
waris atau dikuasai oleh orang yang tidak berhak mendapat harta warisan maka penyelesaian
kasus demikian dilakukan dengan cara hakim melihat silsilah pewaris, bukti-bukti surat yang
menguatkan barang sengketa, dan saksi-saksi dari penggugat dan tergugat. Putusan peradilan
negeri dan pengadilan agama kabupaten Donggala menetapkan bahwa harta asal atau harta
bawaan menjadi harta warisan bagi ahli waris dari orang yang meninggal dunia.
4. Kedudukan pengalihan harta melalui wasiat
Mengenai kedudukan pengalihan harta melalui wasiat pewaris kepada salah seorang atau
beberapa orang ahli waris yang tertentu. Dalam hal harta warisan menjadi sengketa, karena
dikuasai oleh salah seorang atau beberapa orang ahli waris, maka penyelesaian kasus demikian
dilakukan dengan cara hakim melihat silsilah pewaris, bukti-bukti surat wasiat mengenai
persetujuan ahli waris lainnya. Apabila terdapat ahli waris yang tidak menyetujuinya dan
menggugat ke pengadilan untuk mendapatkan harta warisannya, maka hakim membatalkan
wasiat dan menetapkan pembagian hak warisan kepada seluruh ahli waris. Putusan pembatalan
wasiat yang demikian, diuraikan bahwa wasiat yang dilakukan oleh seseorang kepada ahli
waris tertentu tanpa persetujuan ahli waris lainnya dibatalkan oleh hakim.
5. Kedudukan hak ahli waris
Dari data yang diteliti melalui pengadilan negeri dan pengadilan adama di kabupaten
Donggala ditemukan kedudukan hak ahli waris dalam pembagian harta warisan yang dilakukan
oleh ahli waris melalui musyawarah di antara merekam kemudian disahkan oleh hakim dalam
bentuk putusan Akta Perdamaian. Putusan yang demikian mempunyai persesuaian ganda,
yakni di satu pihak hak waris seorang laki-laki sama dengan hak warisan dua orang perempuan
dan di pihak lain hak warisan seorang laki-laki sama dengan hak warisan seorang perempuan.
Persesuaian di atas juga diiringi adanya perbedaan dalam beberapa asas hukum mengenai
penentuan harta warisan, pembagian harta warisan, kelompok keutamaan ahli waris,
pengalihan harta warisan, dan pembagian harta warisan. Perbedaan asas hukum tersebut dapat
dikemukakan sebagai berikut.[12]
1. Penentuan harta warisan
Dalam penentuan harta warisan dalam hukum kewarisan adat masyarakat Donggala
terdapat beberapa harta peninggalan yang tidak dibagikan kepada ahli waris. Harta peninggalan
itu disebut mbara-mbara nimana, misalnya kavari, geno, lola, dan alat-alat pesta adat lainnya.
Dapat juga berupa rumah. Harta warisan tersebut tidak dibagikan kepada ahli waris, tetapi
diwakafkan kepada yayasan yang mengurusi anak yatim.[13]
2. Pembagian harta warisan
Dalam pembagian harta warisan dalam hukum kewarisan adat masyarakat Donggala
terdapat beberapa harta peninggalan pewaris yang beralih kepada ahli waris lainnya dalam
bentuk pembagian hasil kebun dan pembagian pengolahan sawah secara bergilir kepada setiap
ahli waris.
3. Kedudukan kelompok keutamaan ahli waris
Dalam hukum kewarisan adat masyarakat Donggala belum ditemukan kasus mengenai
ayah atau ibu yang mendapat harta warisan bila pewaris meninggalkan anak, sedangkan dalam
hukum kewarisan Islam dalam kasus yang sama, anak menjadi ahli waris bersama dengan ibu
dan/atau ayah pewaris.
4. Penentuan hak warisan
Pelaksanaan hukum kewarisan Islam dalam hukum kewarisan adat masyarakat Donggala
mengenai porsi pembagian ½, ¼, 1/8, 1/3, 1/6, dan 2/3 harta warisan bagi setiap ahli waris
berdasarkan perioritas dekat dan jauhnya hubungan kekerabatan dengan pewaris, namun dalam
kasus penambahan hak waris (raad) dan pengurangan hak waris (awl) belum dikenal dalam
pelaksanaan hukum adat kewarisan masyarakat muslim kabupaten Donggala.

D. Hukum Waris Perdata


1. Pengertian Hukum Waris
Hukum waris ( erfrecht ) yaitu seperangkat norma atau aturan yang mengatur mengenai
berpindahnya atau beralihnya hak dan kewajiban ( harta kekayaan ) dari orang yang meninggal
dunia ( pewaris ) kepada orang yang masih hidup ( ahli waris) yang berhak menerimanya. Atau
dengan kata lain, hukum waris yaitu peraturan yang mengatur perpindahan harta kekayaan
orang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain.[14]
Menurut Mr. A. Pitlo, hukum waris yaitu suatu rangkaian ketentuan – ketentuan, di mana,
berhubung dengan meninggalnya seorang, akibat- akibatnya di dalam bidang kebendaan,
diatur, yaitu : akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada
ahli waris, baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak ketiga.
Hukum waris adalah aturan hukum yang mengatur tentang perpindahan hak kepemilikan
harta kekayaan, yaitu merupakan keseluruhan hak-hak dan kewajiban, dari orang yang
mewariskan kepada ahli warisnya dan menentukan siapa-siapa yang berhak menerimanya..
Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan. Ahli waris
adalah orang yang berhak mendapatkan harta warisan dari si pewari

2. Sistem Hukum kewarisan menurut KUH Perdata (BW).


Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada dua cara untuk mendapatkan
warisan, yaitu:
a. Sebagai ahli waris menurut Undang-undang.
b. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut Undang-undang atau “ab intestato” dan
cara yang kedua dinamakan mewarisi secara “testamentair”.[15]
Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban
dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain
hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang saja (Subekti,
1993: 95).
Bila orang yang meninggal dunia tidak membuat testamen, maka dalam Undang-undang
Hukum Perdata ditetapkan pembagian warisan sebagai berikut:[16]
a. Yang pertama berhak mendapat warisan yaitu suami atau isteri dan anak-anak, masing –
masing berhak mendapat bagian yang sama jumlahnya (pasal 852 BW).
b. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di dtas, maka yang kemudian berhak
mendapat warisan adalah orang tua dan saudara dari orang tua yang meninggal dunia,
dengan ketentuan bahwa orang tua masing-masing sekurang-kurangnya mendapat
seperempat dari warisan (pasal 854 BW).
c. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka warisan dibagi dua, separuh
untuk keluarga pihak ibu dan separuh lagi untuk pihak keluarga ayah dari yang meninggal
dunia, keluarga yang paling dekat berhak mendapat warisan. Jika anak-anak atau saudara-
saudara dari pewaris meninggal dunia sebelum pewaris, maka tempat mereka diganti oleh
keturunan yang sah (pasal 853 BW).
Di dalam KUH Perdata (BW) dikenal pula harta peninggalan yang tidak terurus yaitu jika
seorang meninggal dunia lalu mempunyai harta, tetapi tidak ada ahli warisnya, maka harta
warisan itu dianggap sebagai tidak terurus. Dalam hal yang demikian itu maka Balai Harta
peninggalan (Wesskamer) dengan tidak usah menuggu perintah dari Pengadilan wajib
mengurus harta itu namun harus memberitahukan kepada pihak Pengadilan. Dalam hal ada
perselisihan apakah suatu harta warisan dapat dianggap sebagai tidak terurus atau tidak.
Hal ini akan diputuskan oleh Pengadilan, Weeskamer itu diwajibkan membuat catatan
tentang keadaan harta tersebut dan jika dianggap perlu didahului dengan penyegelan barang-
barang, dan selanjutnya membereskan segala sangkutan sipewaris berupa hutang-hutang dan
lain-lain. Wesskamer harus membuat pertanggungjawaban, dan juga diwajibkan memanggil
para ahli waris yang mungkin ada dengan panggilan-panggilan umum, seperti melalui RRI,
surat-surat kabar dan lain-lain cara yang dianggapa tepat. Jika setelah lewat tiga tahun belum
juga ada seorang ahli waris yang tampil atau melaporkan diri, maka weeskamer akan
melakukan pertanggungjawaban tentang pengurusan harta peninggalan itu kepada negara, dan
selanjutnya harta tersebut akan menjadi milik negara.
Menurut ketentuan pasal 838 KUH Perdata, yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris
dan karenanya tidak berhak mewaris ialah:
a. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba
membunuh pewaris.
b. Mereka yang dengan putusan hakim Pengadilan dipersalahkan karena dengan fitnah telah
mengajukan pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan yang diancam dengan
hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.
c. Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut surat
wasiatnya.
d. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat pewaris.

3. Asas Hukum Waris Perdata


Dalam hukum waris berlaku asas, bahwa hanya hak dan kewajiban dalam lapangan
hukum harta benda saja yang dapat diwariskan. Atau hak dan kewajiban yang dapat dinilai
dengan uang. Jadi hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau kepribadian,
misalnya hak dan kewajiban sebagai suami atau ayah, tidak dapat diwariskan.[17]
Selain itu berlaku juga asas, bahwa apabila seorang meninggal dunia, maka seketika itu
pula segala hak dan kewajibannya beralih pada ahli warisnya. Asas ini dalam bahasa Perancis
disebut “ le mort saisit le vif “. Sedangkan pengoperan segala hak dan kewajiban dari si pewaris
oleh para ahli waris disebut “ saisine “.
Ada juga asas yang disebut dengan “ hereditatis petition “ yaitu hak dari ahli waris
untuk menuntut semua yang termasuk dalam harta peninggalan dari si pewaris terhadap orang
yang yang menguasai harta warisan tersebut untuk diserahkan padanya berdasarkan haknya
sebagai ahli waris. Asas ini diatur dalam pasal 834 BW.
Selain itu ada juga asas “ de naaste in het bloed, erft het goed “ yang artinya yang
berdarah dekat, warisan didapat. Dan untuk mengetahui kedekatan tersebut, harus dilakukan
perhitungan dan untuk ini dipakai ukuran perderajatan dengan rumus X-1. Semakin besar nilai
derajat, maka semakin jauh hubungan kekeluargaan dengan si pewaris. Begitu juga sebaliknya,
semakin kecil nilai derajat, maka semakin dekat hubungan darah dengan si pewaris. Misal :
ukuran derajat seorang anak kandung dengan si pewaris adalah 2-1=1 derajat.

4. Syarat Mendapatkan Warisan.


Adapun syarat-syarat untuk mendapatkan warisan adalah :
a. Harus ada orang yang meninggal.
b. Harus dilahirkan hidup atau dianggap sebagai subyek hukum pada hari kematian pewaris.
c. Ahli waris itu patut / pantas menerima warisan.
Ketentuan mengenai ahli waris yang tidak patut menerima warisan, sebagaimana diatur
dalam pasal 838, 839 dan 840 BW. Yang intinya adalah sebagai berikut :
a. Pasal 838 BW mengatur tentang yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan
karenanyapun dikesampingkan dari pewarisan, yaitu :
1) Orang yang dihukum karena membunuh/mencoba membunuh si pewaris.
2) Orang yang dihukum karena memfitnah si pewaris pada waktu masih hidup.
3) Orang yang dengan kekerasan atau secara paksa mencegah si pewaris membuat wasiat atau
memaksa untuk mencabut wasiatnya.
4) Orang yang telah menggelapkan dan merusak atau memalsukan surat wasiat.
b. Pasal 839 BW mengatur tentang ketentuan bahwa orang yang tidak patut menerima
warisan, harus mengembalikan semua hasil dan pendapatan yang telah dinikmatinya
semenjak warisan tersebut terbuka.
c. Pasal 840 BW mengatur tentang ketentuan bahwa anak-anak dari orang yang tidak patut
menerima warisan tetap berhak menerima warisan, tetapi orang tuanya ( yang tidak patut
menerima warisan tersebut ) tidak boleh menikmati hasil warisan tersebut.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana seandainya pewaris memberikan wasiat
kepada seseorang yang kemudian ternyata orang tersebut dinyatakan tidak patut menerima
warisan ? Bagaimana pula jika demikian halnya dengan suami/istri dan anak-anaknya ? Hal
ini diatur dalam , intinya adalah istri/suami dan keturunan dari orang yang mendapat
warisan berdasarkan wasiat dan kemudian dinyatakan tidak patut menerima warisan, tidak
berhak mendapat warisan tersebut. Maka warisan ini jatuh pada saudara-saudara pewaris
yang dekat ( golongan II ).[18]

E. Persamaan dan perbedaan antara sistem hukum Islam dengan sistem KUH Perdata
(BW).
Sistem hukum kewarisan menurut KUH Perdata tidak membedakan antara anak laki-laki
dan anak perempuan, antara suami dan isteri, mereka berhak semua mewaris, dan bagian anak
laki-laki sama dengan bagian anak perempuan, bagian seorang isteri atau suami sama dengan
bagian anak.
Apabila dihubungkan dengan sistem keturunan, maka KUH Perdata menganut system
keturunan Bilateral, dimana setiap orang itu menghubungkan dirinya dengan keturunan ayah
mapun ibunya, artinya ahli waris berhak mewaris dari ayah jika ayah meninggal dan berhak
mewaris dari ibu jika ibu meninggal, berarti ini ada persamaan dengan hukum Islam.[19]
Persamaanya apabila dihubungkan antara sitem hukum waris menurut Islam dengan sistem
kewarisan menurut KUH Perdata, baik menurut KUH Perdata maupun menurut hukum
kewarisan Islam sama-sama menganut system kewarisan individual, artinya sejak terbukanya
waris (meninggalnya pewaris) harta warisan dapat dibagi-bagi pemilikannya antara ahli waris.
Tiap ahli waris berhak menuntut bagian warisan yang menjadi haknya.
Jadi sistem kewarisan yang dianut oleh KUH Perdata adalah sistem kewarisan individul
bilateral (Subekti, 1953: 69), sedangkan perbedaannya adalah terletak pada saat pewaris
meninggal dunia, maka harta tersebut harus dikurangi dulu pengluaran-pengluaran antara lain
apakah harta tersebut sudah dikeluarkan zakatnya, kemudian dikurangi untuk membayar
hutang atau merawat jenazahnya dulu, setelah bersih, baru dibagi kepada ahli waris, sedangkan
menurut KUH Perdata tidak mengenal hal tersebut, perbedaan selanjutnya adalah terletak pada
besar dan kecilnya bagian yang diterima para ahli waris masing-masing, yang menurut
ketentuan KUH Perdata semua bagian ahli waris adalah sama, tidak membedakan apakah anak,
atau saudara, atau ibu dan lain-lain, semua sama rata, sedangkan menurut hukum Islam
dibedakan bagian antara ahli waris yang satu dengan yang ahli waris yang lain.[20]
Persamaan tersebut disebabkan karena pola dan kebutuhan masyarakat yang universal itu
adalah sama, sedangkan perbedaan-perbedaan itu disebabkan karena cara berfikir orang-orang
barat adalah abstrak, analistis dan sistematis, dan pandangan hidup mereka adalah
individulaistis dan materialistis, sedangkan hukum Islam dilatar belakangi oleh cara berfikir
yang logis, riil dan konkrit, dan pandangan hidup dalam hukum Islam didasarkan pada sistem
kekeluargaan dan bersifat rohani (magis).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Fiqih Mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang siapa-siapa ahli waris yang berhak
menerima warisan, siapa-siapa yang tidak berhak mnerima, serta bagian-bagian tertentu yang
diterimanya, dan bagaimana cara penghitungannya.
Al-Faraidh dalam bahasa Arab adalah bentuk plural dari kat tunggal Faradha, yang berakar
kata dari huruf-huruf fa, ra, dan dha. Dan tercatat 14 kali dalam Al-Quran, dalam berbagai
konteks kata. Karena itu, kata tersebut mengandung beberapa makna dasar, yakni suatu
ketentuan untuk maskawin, menurunkan Al-Quran, penjelasan, penghalalan, ketetapan yang
diwajibkan, ketetapan yang pasti, dan bahkan di lain ayat ia mengandung makna tidak tua.
Bahwa sisa harta warisan baik setelah ahli waris mendapatkan begiannya maupun karena
tidak ada ahli waris, tidak boleh diselesaikan dengan jalan Radd maupun diserahkan kepada
Dzawil Arham, tetapi harus diserahkan ke baitul Mal untuk kepentingan umat islam.
B. Saran
Mungkin inilah yang diwacanakan pada penulisan makalah ini meskipun penulisan ini jauh
dari sempurna minimal kita mengimplementasikan tulisan ini. Masih banyak kesalahan dari
penulisan makalah ini, karna kami manusia yang adalah tempat salah dan dosa: dalam hadits
“al insanu minal khotto’ wannisa’, dan kami juga butuh saran/ kritikan agar bisa menjadi
motivasi untuk masa depan yang lebih baik daripada masa sebelumnya. Kami juga
mengucapkan terima kasih atas dosen pembimbing mata kuliah Piqih yang telah memberi kami
tugas individu demi kebaikan diri kita sendiri dan untuk negara dan bangsa.
DAPTAR PUSTAKA

[1]
Musthafa. 2009. Fiqih islam. Bandung: Media Zhikir Solo.hlm. 37
[2]
Muhibin, muhammad, dkk. 2009. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Sinar Grafika
Offset.hlm.45
[3]
Hadikusuma, Hilman, Pengantar Hukum Adat, Bandung: Maju Mundur, 1992.hlm.69
[4]
Muhibin, muhammad, dkk. 2009. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Sinar Grafika
Offset.hlm.49
[5]
Musthafa. 2009. Fiqih islam. Bandung: Media Zhikir Solo.hlm. 37
[6]
Muhibin, muhammad, dkk. 2009. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Sinar Grafika
Offset.hlm.45
[7]
Hadikusuma, Hilman, Hukum Kekerabatan Adat, Jakarta: Fajar Agung , 1997.hlm.68
[8]
Saragih, Djaren, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1980.hlm.92
[9]
Muhibin, muhammad, dkk. 2009. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Sinar Grafika
Offset.hlm.73
[10]
Saragih, Djaren, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1980.hlm.102
[11]
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat , Jakarta: Universitas, 1966.hlm.293
[12]
Sudiyat, Iman, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty,1981.hlm.201
[13]
Wignyodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: CV. Haji Mas
Agung.hlm. 128
[14]
Afandi, Ali. 2004. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian menurut Kitab
Undang – Undang Hukum Perdata. Rineka Cipta : Jakarta.hlm.20
[15]
Afandi, Ali. 2004. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian menurut Kitab
Undang – Undang Hukum Perdata. Rineka Cipta : Jakarta.hlm.31
[16] Subekti. 1987. Pokok – Pokok Hukum Perdata. PT. Intermasa : Jakarta.hlm.63
[17]
Subekti, dan R. Tjitrosudibio. 1992. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata dengan
tambahan Undang – Undang Pokok Agraria dan Undang – Undang Perkawinan. :
Jakarta.hlm.128
[18] Amanat, Anisitus. 2001. Membagi Warisan Berdasarkan Pasal – Pasal Hukum Perdata
Bw ( Edisi Revisi ). Semarang.hlm.34
[19] Thalib, Sajuti. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara, 1981.hlm.
39
[20]
Ali, Mohammad Daud, 2004, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.28

Anda mungkin juga menyukai