DISUSUN OLEH:
3. Sistem Pewarisan
Sistem pewarisan yang ada dalam masyarakat Indonesia menurut Djaren Saragih yaitu:
a. Sistem pewarisan di mana harta peninggalan dapat dibagi- bagikan,
b. Sistem pewarisan di mana harta peninggalan tidak dapat dibagi-bagikan.
Sistem yang pertama pada umumnya terdapat pada masyarakat yang bilateral seperti di
Pulau Jawa, sedangkan sistem yang kedua terdapat pada masyarakat unilateral. Sistem kedua
dapat dibedakan lagi dalam bentuk sistem pewarisan kolektif dan sistem pewarisan mayorat.
Dilihat dari orang yang mendapat warisan (kewarisan) di Indonesia terdapat tiga macam sistem,
yaitu sistem kewarisan mayorat, sistem kewarisan individual, sistem kewarisan
kolektif. Menurut pendapat Soerojo Wignjodipoero dijumpai tiga sistem pewarisan dalam
hukum adat di Indonesia, yaitu:
“(1) Sistem kewarisan individual, cirinya harta peninggalan dapat dibagi-bagi di antara
para ahli waris seperti dalam masyarakat bilateral di Jawa, (2) Sistem kewarisan kolektif,
cirinya harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang bersama-sama
merupakan semacam bidang hukum di mana harta tersebut, yang disebut harta pusaka, tidak
boleh dibagi-bagikan pemilikannya di antara para ahli waris dimaksud dan hanya boleh
dibagikan pemakainya saja kepada mereka itu (hanya mempunyai hak pakai saja) seperti dalam
masyarakat matrilineal di Minangkabau, (3) Sistem kewarisan mayorat, cirinya harta
peninggalan diwarisi keseluruhannya atau sebagian anak saja, seperti halnya di Bali di mana
terdapat hak mayorat anak laki-laki yang tertua dan di Tanah Semendo Sumatera Selatan
dimana terdapat hak mayorat anak perempuan yang tertua
4. Unsur-Unsur Warisan
Jika dilihat dari harta warisan, Dalam hal ini Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa
untuk mengetahui apakah harta dapat terbagi atau memang tidak terbagi, harta warisan itu perlu
dikelompokkan yaitu:
a. Harta Asal
Yaitu semua kekayaan yang dikuasai dan dimiliki pewaris, baik berupa harta peninggalan
ataupun harta bawaan yang dibawa masuk ke dalam perkawinan. Harta peninggalan dapat
dibedakan lagi dengan harta peninggalan yang tidak terbagi, peninggalan yang belum terbagi
dan peninggalan yang terbagi. Harta peninggalan ini pada daerah tertentu seperti di
Minangkabau di kenal pula dengan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi adalah harta
warisan yang diperoleh ahli waris dari lebih dua generasi di atas pewaris, sedangkan harta
pusaka rendah semua harta warisan yang diperoleh dari satu atau dua angkatan kerabat di atas
pewaris.
Harta bawaan dapat dibedakan antara harta bawaan suami dan harta bawaan istri. Dilihat
dari sudut perkawinan, baik harta peninggalan maupun harta bawaan kesemuanya merupakan
harta asal. Sebaliknya, dilihat dari sudut pewarisan, keduanya merupakan harta peninggalan.
Harta bawaan suami maupun harta bawaan istri akan kembali kepada pemilik asalnya yaitu
yang membawanya bila terjadi perceraian.
b. Harta Pencaharian
Yaitu harta yang didapat suami isteri secara bersama selama dalam ikatan perkawinan.
Tidak perlu dipermasalahkan apakah isteri ikut aktif bekerja atau tidak. Walaupun yang bekerja
hanya suami, sedangkan isteri hanya tinggal di rumah mengurus rumah tangga dan anak,
namun tetap menjadi hasil usaha suami isteri.
c. Harta Pemberian
Yaitu harta pemberian yang merupakan harta warisan yang bukan karena jerih payah
seseorang bekerja untuk mendapatkannya. Pemberian dapat dilakukan seseorang atau
sekelompok orang atau seseorang atau kepada suami-isteri. Untuk harta pemberian ini, bila
terjadi perceraian maka dapat dibawa kembali oleh masing-masing, sebagaimana peruntukan
yang dimaksud pemberinya.
d. Ahli waris
Yang menjadi ahli waris terpenting adalah anak kandung, sehingga anak kandung dapat
menutup ahli waris lainnya. Di dalam hukum adat juga dikenal istilah :
1) Anak angkat
Dalam hal status anak angkat, setiap daerah mempunyai perbedaan. Putusan Raad
Justitie tanggal 24 Mei 1940 mengatakan anak angkat berhak atas barang-barang gono gini
orang tua angkatnya. Sedangkan barang-barang pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak
mewarisinya, (Putusan M.A. tanggal 18 Maret 1959 Reg. No. 37 K/SIP/1959).
2) Anak tiri
Terhadap bapak dan ibu kandungnya anak tersebut merupakan ahli waris, namun anak
tersebut tidak menjadi ahli waris orang tua tirinya. Kadang-kadang begitu eratnya hubungan
antara anggota rumah tangga, sehingga anak tiri mendapat hak hibah dari bapak tirinya, bahkan
anak tiri berhak atas penghasilan dari bagian harta peninggalan bapak tirinya demikian
sebaliknya.
3) Anak luar nikah
Anak diluar nikah hanya dapat menjadi ahli waris ibunya.
4) Kedudukan janda
Didalam hukum adat kedudukan janda didalam masyarakat di Indonesia adalah tidak
sama sesuai dengan sifat dan system kekelurgaan. Sifat kekelurgaan Matrilineal : harta warisan
suaminya yang meninggal dunia kembali kekeluarga suaminya atau saudara kandungnya.
5) Kedudukan duda
Di Daerah Minangkabau dengan sifat kekeluargaan matrilineal suami pada hakekatnya
tidak masuk keluarga isteri, sehingga duda tidak berhak atas warisan isteri.
E. Persamaan dan perbedaan antara sistem hukum Islam dengan sistem KUH Perdata
(BW).
Sistem hukum kewarisan menurut KUH Perdata tidak membedakan antara anak laki-laki
dan anak perempuan, antara suami dan isteri, mereka berhak semua mewaris, dan bagian anak
laki-laki sama dengan bagian anak perempuan, bagian seorang isteri atau suami sama dengan
bagian anak.
Apabila dihubungkan dengan sistem keturunan, maka KUH Perdata menganut system
keturunan Bilateral, dimana setiap orang itu menghubungkan dirinya dengan keturunan ayah
mapun ibunya, artinya ahli waris berhak mewaris dari ayah jika ayah meninggal dan berhak
mewaris dari ibu jika ibu meninggal, berarti ini ada persamaan dengan hukum Islam.[19]
Persamaanya apabila dihubungkan antara sitem hukum waris menurut Islam dengan sistem
kewarisan menurut KUH Perdata, baik menurut KUH Perdata maupun menurut hukum
kewarisan Islam sama-sama menganut system kewarisan individual, artinya sejak terbukanya
waris (meninggalnya pewaris) harta warisan dapat dibagi-bagi pemilikannya antara ahli waris.
Tiap ahli waris berhak menuntut bagian warisan yang menjadi haknya.
Jadi sistem kewarisan yang dianut oleh KUH Perdata adalah sistem kewarisan individul
bilateral (Subekti, 1953: 69), sedangkan perbedaannya adalah terletak pada saat pewaris
meninggal dunia, maka harta tersebut harus dikurangi dulu pengluaran-pengluaran antara lain
apakah harta tersebut sudah dikeluarkan zakatnya, kemudian dikurangi untuk membayar
hutang atau merawat jenazahnya dulu, setelah bersih, baru dibagi kepada ahli waris, sedangkan
menurut KUH Perdata tidak mengenal hal tersebut, perbedaan selanjutnya adalah terletak pada
besar dan kecilnya bagian yang diterima para ahli waris masing-masing, yang menurut
ketentuan KUH Perdata semua bagian ahli waris adalah sama, tidak membedakan apakah anak,
atau saudara, atau ibu dan lain-lain, semua sama rata, sedangkan menurut hukum Islam
dibedakan bagian antara ahli waris yang satu dengan yang ahli waris yang lain.[20]
Persamaan tersebut disebabkan karena pola dan kebutuhan masyarakat yang universal itu
adalah sama, sedangkan perbedaan-perbedaan itu disebabkan karena cara berfikir orang-orang
barat adalah abstrak, analistis dan sistematis, dan pandangan hidup mereka adalah
individulaistis dan materialistis, sedangkan hukum Islam dilatar belakangi oleh cara berfikir
yang logis, riil dan konkrit, dan pandangan hidup dalam hukum Islam didasarkan pada sistem
kekeluargaan dan bersifat rohani (magis).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fiqih Mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang siapa-siapa ahli waris yang berhak
menerima warisan, siapa-siapa yang tidak berhak mnerima, serta bagian-bagian tertentu yang
diterimanya, dan bagaimana cara penghitungannya.
Al-Faraidh dalam bahasa Arab adalah bentuk plural dari kat tunggal Faradha, yang berakar
kata dari huruf-huruf fa, ra, dan dha. Dan tercatat 14 kali dalam Al-Quran, dalam berbagai
konteks kata. Karena itu, kata tersebut mengandung beberapa makna dasar, yakni suatu
ketentuan untuk maskawin, menurunkan Al-Quran, penjelasan, penghalalan, ketetapan yang
diwajibkan, ketetapan yang pasti, dan bahkan di lain ayat ia mengandung makna tidak tua.
Bahwa sisa harta warisan baik setelah ahli waris mendapatkan begiannya maupun karena
tidak ada ahli waris, tidak boleh diselesaikan dengan jalan Radd maupun diserahkan kepada
Dzawil Arham, tetapi harus diserahkan ke baitul Mal untuk kepentingan umat islam.
B. Saran
Mungkin inilah yang diwacanakan pada penulisan makalah ini meskipun penulisan ini jauh
dari sempurna minimal kita mengimplementasikan tulisan ini. Masih banyak kesalahan dari
penulisan makalah ini, karna kami manusia yang adalah tempat salah dan dosa: dalam hadits
“al insanu minal khotto’ wannisa’, dan kami juga butuh saran/ kritikan agar bisa menjadi
motivasi untuk masa depan yang lebih baik daripada masa sebelumnya. Kami juga
mengucapkan terima kasih atas dosen pembimbing mata kuliah Piqih yang telah memberi kami
tugas individu demi kebaikan diri kita sendiri dan untuk negara dan bangsa.
DAPTAR PUSTAKA
[1]
Musthafa. 2009. Fiqih islam. Bandung: Media Zhikir Solo.hlm. 37
[2]
Muhibin, muhammad, dkk. 2009. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Sinar Grafika
Offset.hlm.45
[3]
Hadikusuma, Hilman, Pengantar Hukum Adat, Bandung: Maju Mundur, 1992.hlm.69
[4]
Muhibin, muhammad, dkk. 2009. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Sinar Grafika
Offset.hlm.49
[5]
Musthafa. 2009. Fiqih islam. Bandung: Media Zhikir Solo.hlm. 37
[6]
Muhibin, muhammad, dkk. 2009. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Sinar Grafika
Offset.hlm.45
[7]
Hadikusuma, Hilman, Hukum Kekerabatan Adat, Jakarta: Fajar Agung , 1997.hlm.68
[8]
Saragih, Djaren, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1980.hlm.92
[9]
Muhibin, muhammad, dkk. 2009. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Sinar Grafika
Offset.hlm.73
[10]
Saragih, Djaren, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1980.hlm.102
[11]
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat , Jakarta: Universitas, 1966.hlm.293
[12]
Sudiyat, Iman, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty,1981.hlm.201
[13]
Wignyodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: CV. Haji Mas
Agung.hlm. 128
[14]
Afandi, Ali. 2004. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian menurut Kitab
Undang – Undang Hukum Perdata. Rineka Cipta : Jakarta.hlm.20
[15]
Afandi, Ali. 2004. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian menurut Kitab
Undang – Undang Hukum Perdata. Rineka Cipta : Jakarta.hlm.31
[16] Subekti. 1987. Pokok – Pokok Hukum Perdata. PT. Intermasa : Jakarta.hlm.63
[17]
Subekti, dan R. Tjitrosudibio. 1992. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata dengan
tambahan Undang – Undang Pokok Agraria dan Undang – Undang Perkawinan. :
Jakarta.hlm.128
[18] Amanat, Anisitus. 2001. Membagi Warisan Berdasarkan Pasal – Pasal Hukum Perdata
Bw ( Edisi Revisi ). Semarang.hlm.34
[19] Thalib, Sajuti. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara, 1981.hlm.
39
[20]
Ali, Mohammad Daud, 2004, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.28