Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi HIV adalah suatu spektrum penyakit yang menyerang sel-sel


kekebalan tubuh dari infeksi primer, dengan atau tanpa sindrom akut, stadium
asimtomatik, hingga stadium lanjut] yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency
Virus. 1
Penyakit infeksi HIV (human immunodeficiency virus) dan AIDS (acquired
immunodeficiency syndrome) saat ini merupakan masalah kesehatan terbesar di
dunia. Berdasarkan data yang diterbitkan oleh Joint United Nation Program on
HIV/AIDS (UNAIDS), data terbaru dari beberapa negara menunjukkan bahwa ada
penurunan angka kematian terkait penyakit AIDS. Angka tahunan kematian secara
global penyakit AIDS pada orang yang hidup dengan HIV (semua usia) telah
menurun dari 1,9 juta (1,4-2,3 juta) pada tahun 2004 hingga 940.000 ( 670.000-
1.300.000 ) pada tahun 2017. Sejak 2010, kematian terkait AIDS telah menurun
sebesar 34%. Secara global, pada tahun 2017 ada hampir 90.000 infeksi baru HIV
yang terjadi pada pria dibandingkan wanita.2
Di Indonesia, laporan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
(RI) menunjukkan bahwa secara kumulatif (data mulai tahun 1987 sampai bulan Juni
2011) jumlah kasus HIV adalah sebanyak 66.693 kasus dengan 26.483 diantaranya
mengalami AIDS dan jumlah kematian sebanyak 5.056 orang. 3
Hasil-hasil penelitian dalam bidang infeksi HIV memberi harapan dalam
bidang pencegahan dan terapi. Berbagai upaya pencegahan yang sudah dikenal
seperti perilaku sehat, penggunaan kondom, serta pencegahan pemakaian jarum
suntik bersama tetap merupakan upaya yang penting, namun pemberian obat anti
retroviral (ARV) tenyata mampu menurunkan risiko penularan secara nyata.
Berdasarkan hasiI—hasiI penelitian ini, WHO menetapkan pencapaian pada tahun
2015 yaitu menurunkan infeksi baru HIV pada Iaki-Iaki dan perempuan muda sebesar
50%, menurunkan infeksi baru HIV pada bayi dan anak sebesar 90%, dan
menurunkan angka kematian terkait HIV sebesar 50%. Bahkan para pakar pada
bidang penyakit ini optimis dalam waktu yang tidak terIaIu lama, infeksi HIV yang
semula amat menakutkan akan dapat dikendalikan. Sudah tentu optimisme ini
diharapkan juga akan mewarnai upaya penanganan HIV di Indonesia.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus golongan RNA
yang spesifik menyerang sistem imun/kekebalan tubuh manusia. Penurunan
sistem kekebalan tubuh pada orang yang terinfeksi HIV memudahkan berbagai
infeksi, sehingga dapat menyebabkan timbulnya AIDS.5
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sekumpulan
gejala/tanda klinis pada pengidap HIV akibat infeksi tumpangan (oportunistik)
karena penurunan sistem imun. Penderita HIV mudah terinfeksi berbagai
penyakit karena imunitas tubuh yang sangat lemah, sehingga tubuh gagal
melawan kuman yang biasanya tidak menimbulkan penyakit.5

2.2 Epidemiologi
Diseluruh dunia pada tahun 2013 terdapat 35 juta orang dengan HIV yang
meliputi 16 juta perempuan dan 3.2 juta anak berusia < 15 tahun. Jumlah infeksi
baru HIV pada tahun 2013 sebesar 2.1 juta yang terdiri dari 1.9 juta dewasa dan
240.000 anak berusia < 15 tahun. Jumlah kematian akibat AIDS sebanyak 1.5
juta yang terdiri dari 1.3 juta dewasa dan 190.000 anak usia < 15 tahun. Di
Indonesia HIV sudah menyebar di 386 kabupaten/kota di seluruh provinsi di
Indonesia.6
Dari bulan Oktober sampai dengan Desember jumlah kasus HIV yang
dilaporkan sebanyak 13.139 orang. b. Persentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan
pada kelompok umur 25-49 tahun (69,6%), diikuti kelompok umur 20-24 tahun
(15,6%), dan kelompok umur 2: 50 tahun (8,3%). c. Rasio HIV antara laki-laki
dan perempuan adalah 2:1. Dari bulan Oktober sampai dengan Desember 2018
jumlah AIDS dilaporkan sebanyak 884 orang. b. Persentase AIDS tertinggi pada
kelompok umur 30-39 tahun (52,0%), diikuti kelompok umur 40-49 tahun
(41,7%) dan kelompok umur 50-59 tahun (19,2%).Jurrilah kasus HIV yarig
dilaporkan dari tahun 2005 sarripai dengan tahun 2018 rnenqalarni kenaikan tiap
tahunnya.Jurnlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sarnpai dengan
Desember 2018 sebanyak 327.282 (51., 1% dari estirnasi ODHA (Orang dengan
HIV/AIDS) tahun 2016 sebanyak 640.443).7
Kasus HIV/AIDS di Sulawesi Tengah dengan letak geografis yang sangat
strategis mempunyai potensi untuk terjadinya penularan kasus. Melalui hasil
survey surveilans (Sero Survey) ditahun 2002 pertama kalinya ditemukan kasus
HIV-AIDS di Kota Palu, sebanyak 3 kasus HIV dan 1 Kasus AIDS. Kasus
HIVAIDS di Sulawesi Tengah dari tahun ketahun terus mengalami peningkatan.
Tercatat jumlah kumulatif kasus HIV sampai dengan Desember 2018 sebanyak
1442 orang, jumlah kumulatif kasus AIDS sebanyak 761 orang dan yang
meninggal dunia sebanyak 326 orang.8

2.3 Etiologi
Etiologi HIV-AIDS adalah human Immunodefisiensi virus (HIV) yang
merupakan virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam family retroviridae,
subfamily lentiviridae, genus lentiviridae. Berdasarkan strukturnya HIV termasuk
family retrovirus yang merupakan kelompok virus RNA yang mempunyai berat
molekul 0,7 kb (kilobase). Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2.
Masing-masing grup mempunyai berbagai subtype. Diantara kedua grup tersebut,
yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia
adalah grup HIV-1.4
Faktor yang utama adalah dari penularan HIV melalui: Agen yakni dilihat dari
seberapa banyak Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau virus itu di dalam
tubuh. Host yakni dilihat dari individu tersebut seperti umur, jenis kelamin, dan
perilaku seksualnya. Environment yakni dilihat dari faktor lingkungan yang
mempengaruhinya seperti faktor social, ekonomi, budaya dan agama. Setelah
seseorang terinfeksi HIV, virus HIV akan bergabung dengan DNA, sehingga
orang akan terinfeksi HIV seumur hidup akan tetap terinfeksi, cara penularan
virus ditinjau dari perilaku, dapat melalui: hubungan seksual secara vaginal, anal,
dan oral dengan penderita HIV tanpa perlindungan. Selama berhubungan bisa
terjadi lesi mikro pada vagina, dubur, dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV
masuk ke aliran darah pasangan seksual. Ibu pada bayinya bisa terjadi pada saat
kehamilana (in utero), selama persalinan kontak antara kulit bayi dengan darah,
pemberian ASI ibu positif HIV pada bayinya. Transfuse darah dan produk darah
yang tercemar HIV-AIDS sangan cepat menularkan HIV karena virus langsung
masuk ke pembuluh darah dan menyebar keseluruh tubuh. Jarum suntik yang
digunakan di fasilitas kesehatan maupun digunakan oleh para pengguna narkoba
secara bergantian berpotensi menularkan HIV. Pemakaian alat yang tidak steril
seperti speculum yang menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang
terinfeksi HIV, alat tajam dan runcing seperti pisau, silet, alat tato dan memotong
rambut bisa menularkan HIV sebab alat tersebut mungkin dipakai tanpa
disterilkan.9

2.4 Patogenesis
Human Immunodeficiency Virus termasuk dalam golongan retrovirus dengan
subgrup lentivirus, yang dapat menyebabkan infeksi secara “lambat” dengan
masa inkubasi yang panjang. Virus tersebut akan menginfeksi dan membunuh
limfosit T-helper (CD4), dan menyebabkan host kehilangan imunitas seluler dan
memiliki probabilitas yang besar untuk terjadinya infeksi oportunistik. Sel-sel
lain, seperti makrofag dan monosit, yang memiliki protein CD4 pada
permukaannya juga dapat terinfeksi oleh HIV. Replikasi virus HIV yang terjadi
secara cepat berkaitan dengan mutasi yang berkontribusi dalam ketidakmampuan
antibodi tubuh untuk menetralisasi virus dalam satu waktu secara bersamaan. Hal
ini diduga disebabkan oleh replikasi virus yang persisten dan kelelahan respon
sel limfosit T sitotoksik.10
Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai
afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi
mengoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi
tersebut menyebabkan gangguan respons imun yang progresif. Kejadian infeksi
HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut Simian Immunodeficiency
Virus (SIV). SIV dapat menginfeksi Iimfosit CD4+ dan monosit pada mukosa
vagina. Virus dibawa oleh antigen-presenting cells ke kelenjar getah bening
regional. Pada model ini, virus dideteksi pada kelenjar getah bening maka dalam
5 hari setelah inokulasi. Sel individual di kelenjar getah bening yang
mengekspresikan SIV dapat dideteksi dengan hibridisasi in situ dalam 7 sampai
14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7-21 hari setelah infeksi.
Puncak. 4
Jumlah sel yang mengekspresikan virus di jaringan Iimfoid kemudian
menurun secara cepat dan dihubungkan sementara dengan pembentukan respons
imun spesifik. Koinsiden dengan menghilangnya viremia adalah peningkatan sel
Iimfosit CD8. Walaupun demikian tidak dapat dikatakan bahwa respons sel
Iimfosit CD8+ menyebabkan kontrol optimal terhadap replikasi HIV. Replikasi
HIV berada pada keadaan ‘steady—state' beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi
ini bertahan relatif stabil selama beberapa tahun, namun Iamanya sangat
bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut, dengan
demikan juga perjalanan kekebalan tubuh pejamu, adalah heterogeneitas
kapasitas replikatif virus dan heterogenitas intrinsik pejamu. Antibodi muncul di
sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun secara umum dapat
dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun sampai ke level
‘steady- state’. Walaupun antibodi ini umumnya memiliki aktifitas netralisasi
yang kuat melawan infeksi virus, namun ternyata tidak dapat mematikan virus.
Virus dapat menghindar dari netralisasi oleh antibody dengan melakukan
adaptasi pada amplopnya, termasuk kemampuannya mengubah situs
glikosilasinya, akibatnya konfigurasi 3 dimensinya berubah sehingga netralisasi
yang diperantarai antibodi tidak dapat terjadi. 4

2.5 Penjalaran Penyakit


Dalam tubuh penderita, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk
tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS
sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksiHIV
menunjukkan gejala AIDS,dan kemunidan meninggal.perjalanan
penyakittersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, Selumlah sesuai
dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. 4
Infeksi HIV tidak akan Iangsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu.
Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu
setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi
akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini
umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang
yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada
pula yang perjalanannya Iambat (non-progressor). Seiring dengan makin
memburuknya kekebalan tubuh, penderita mulai menampakkan gejala-gejala
akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa
Iemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksijamur,
herpes, dan lain—lain. 4
Infeksi HIV pada manusia merupakan suatu kontinuitas yang secara kasar
dapat dibagi menjadi empat fase, yaitu infeksi HIV primer, infeksi asimtomatik,
infeksi simtomatik dengan ekslusi AIDS, dan AIDS. Fase primer, terjadi selama
1 sampai 4 minggu setelah transmisi. Sindroma tersebut terdiri dari beberapa
gejala seperti demam, berkeringat, letargi, malaise, mialgia, arthralgia, sakit
kepala, photopobia, diare, sariawan, limfadenopati, dan lesi mukopapular pada
ekstremitas. Gejala-gejala tersebut timbul secara mendadak dan hilang dalam
waktu 3 sampai 14 hari. Antibodi terhadap HIV muncul setelah hari ke-10
sampai ke-14 infeksi, dan kebanyakan akan mengalami serokonversi setelah
infeksi minggu ke 3 sampai 4.10
Fase kedua, seropositif asimtomatik, merupakan fase yang paling lama terjadi
dibandingkan dengan 4 fase lainnya, dan paling bervariasi antar masing-masing
individu. Tanpa pengobatan, fase ini biasanya terjadi sekitar 4 sampai 8 tahun.
Onset dari fase ketiga infeksi HIV ini menunjukkan bukti fisik pertama dari
disfungsi sistem imun. Infeksi jamur yang terlokalisir di ibu jari, jari-jari, dan
mulut sering kali muncul. Gejala konstusional seperti keringat malam, penurunan
berat badan, dan diare sering terjadi. Tanpa pengobatan, durasi dari fase ini
berkisar antara 1 sampai 3 tahun. Pada wanita, sering timbul keputihan akibat
jamur dan infeksi trikomonas. Oral hairy leukoplakia merupakan gejala yang
paling sering terlewatkan pada infeksi HIV dan sering ditemukan pada lidah.
Fase AIDS diartikan sebagai supresi imun yang signifikan. Gejala pulmoner,
gastrointestinal, neurologik, dan sistemik merupakan gejala yang biasa terjadi.10
HIV dapat menyebar melalui kontak seksual, pajanan parenteral ke dalam
darah, dan transmisi maternal. Transmisi melalui kontak seksual dapat secara
oral, vaginal, dan anal, sedangkan transmisi melalui darah, dapat melalui
transfusi darah, kecelakaan jarum suntik, serta pemakaian jarum suntik secara
bergantian, untuk transmisi maternal dapat terjadi melalui plasenta, saat proses
kelahiran, atau melalui ASI.10

2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
Riwayat penyakit pada pasien HIV dilihat dari faktor resiko bagi
infeksi HIV : berhubungan seks laki-laki atau perempuan, pengguna
napza suntik, laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki,
pernah berhubungan seks tanpa pelindungan dengan penjaja seks
komersial, pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual
(IMS), pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah,
suntikan, tato, tindik dengan menggunakan alat non steril.11
Seseorang dengan infeksi HIV datang ke rumah sakit dengan berbagai
macam keluhan baik akibat virus HIVnya ataupun karena infeksi
oportunistik, keluhan dapat berupa : Pembesaran kelenjar getah bening,
penurunan berat badan yang tidak bisa dijelaskan, infeksi saluran napas
yang berulang, kelainan kulit, keluhan di rongga mulut dan saluran
pencernaan atas, infeksi jamur dikuku, diare kronik yang lebih dari satu
bulan, demam berkepanjangan, gejala infeksi TB paru dan ekstra paru,
infeksi berat, infeksi menular seksual.3
Adapun anamnesis yang bisa ditanyakan :
- Kemungkinan sumber Infeksi HIV
- Gejala dan keluhan pasien saat ini, termasuk untuk mencari adanya
Infeksi oportunistik, antara lain demam, batuk, sakit kepala, diare
- Riwayat penyakit sebelumnya, diagnosis dan pengobatan yang
diterima termasuk Infeksi oportunistik
- Riwayat penyakit dan pengobatan tuberkulosis [TB] termasuk
kemungkinan kontak dengan TB sebelumnya
- Riwayat kemungkinan infeksi menular seksual [IMS}
- Riwayat dan kemungkinan adanya kehamilan
- Riwayat penggunaan terapi anti retroviral [Anti Retrovirai Therapy
[ART]] termasuk riwayat regimen untuk PMTCT [Prevention of
Mother to Child Transmission] sebelumnya
- Riwayat pengobatan dan penggunaan kontrasepsi oral pada perempuan
- Kebiasaan sehari-hari dan riwayat perilaku seksual
- Kebiasaan merokok
- Riwayat alergi
- Riwayat vaksinasi
- Riwayat penggunaan NAPZA suntik. 3

2.6.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik
Keadaan umum - Kehilangan berat badan sedang sampai nyata yang
tidak dapat dijelaskan penyebabnya, HIV wasting
- Kehilangan BB yang cepat patut diduga adanya IO
aktif, terutama bila disertai demam
- Kehilangan BB secara bertahap (tidak disebabkan
oleh malnutrisi atau penyakit lain) patut diduga
karena infeksi HIV
- Kehilangan BB secara perlahan, demam dan anemia
sering menyertai infeksi MAC
- Jejas suntikan dan infeksi jaringan lunak sering
terjadi pada penasun
- Kehilangan berat-badan >10% dari berat badan dasar
Penyakit lain selain - Malaria, TB, sifilis, gastroenteritis, pnemonia
bakterial, penyakit radang panggul, hepatitis viral
HIV
- Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur
oral >37,5OC) yang lebih dari satu bulan
- Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari
satu bulan
- Batuk lebih dari satu bulan
Kulit - Lihat tanda-tanda masalah kulit terkait HIV atau
lainnya, yang meliputi: kulit kering, PPE terutama di
kaki, dermatitis seboroik pada muka dan kepala
- Lihat tanda-tanda herpes simpleks, dan herpes
zoster, atau jaringan parut bekas herpes zoster di
masa lalu.
- Dermatitis seboroik
Kelenjar getah bening - Mulai dari KGB di leher
- Persisten generalized lymphadenopathy (PGL), khas
berupa pembengkakan multipel dan bilateral, lunak,
tidak nyeri, kgb servikal yang mudah digerakkan.
Hal yang sama mungkin di daerah ketiak dan
selangkangan
- KGB pada TB khas biasanya unilateral, nyeri, keras,
pembengkakan KGB disertai gejala umum lain
seperti demam, kerinat malam, dan kehilangan BB
Mulut - Lihat tanda bercak putih di rongga mulut (kandidosis
oral), serabut putih di bagian samping lidah (OHL)
dan pecah di sudut mulut (keilitis angularis)
Dada - Masalah yang tersering adalah PCP dan TB
- Gejala dan tandanya: batuk, sesak nafas, batuk darah,
berat badan menurun, demam, edem atau konsolidasi
paru
Abdomen - Lihat adanya hepatosplenomegali, teraba masa, atau
nyeri lokal.
- Ikterik menandakan kemungkinan hepatitis viral
- Nyeri menelan biasa disebabkan oleh karena
kandidosis esofageal.
Anogenital - Lihat adanya herpes simpleks atau lesi genital
lainnya, duh vagina atau uretra (penis)
- Lakukan Pap smear bila memungkinkan.
Pemeriksaan - Perhatikan visus dan lihat tanda neuropati (bilateral,
periferal, atau mononeropati terbatas
Neurologi
- Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan
tidak jelas penyebabnya)
- Kejang demam
- Menurunnya fungsi kognitif
- Nila adanya kelemahan neurologis.

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis HIV ditegakkan dengan kombinasi antara gejala klinis dan
pemeriksaan Iaboratorium. Diagnosis Iaboratorium HIV dapat dengan
cara deteksi Iangsung virus HIV atau bagian-bagian dari virus HIV
misalnya dengan pemeriksaan antigen p24, PCR HIV-RNA atau kultur
virus; atau dengan cara tidak Iangsung yaitu adalah dengan deteksi respon
imun terhadap infeksi HIV atau konsekuensi klinis dari infeksi HIV.
Pemeriksaan tidak Iangsung Iebih sering dipergunakan karena Iebih
mudah dan murah daripada pemeriksaan Iangsung, tetapi mempunyai
kerugian terutama karena respon imun memerlukan jangka waktu tertentu
sejak mulai infeksi HIV hingga timbul reaksi tubuh. Pada waktu yang
sering disebut masa jendela atau ‘window period'ini tubuh telah terinfeksi
tetapi pemeriksaan antibodi memberikan hasil negatif. Masa jendela dapat
berlangsung hingga 6 bulan, tetapi sebagian besar berlangsung kurang
dari 3 bulan.3
1. Pemeriksaan Antigen P24
Salah satu cara pemeriksaan Iangsung terhadap virus HIV untuk
mendiagnosis HIV adalah pemeriksaan antigen p24 yang ditemukan
pada serum, plasma,’ dan cairan serebrospinal. Kadarnya meningkat
saat awal infeksi dan beberapa saat sebelum penderita memasuki
stadium AIDS. Oleh karena itu pemeriksaan ini dapat digunakan
sebagai alat monitoring terapi ARV. Sensitivitas pemeriksaan ini
mencapai 99% dan spesifitasnya Iebih tinggi hingga 99.9%. Pada
penderita yang baru terinfeksi, antigen p24 dapat positif hingga 45 hari
setelah infeksi, sehingga pemeriksaan antigen p24 hanya dianjurkan
sebagai pemeriksaan tanbahan pada penderita risiko tinggi tertular HIV
dengan hasil pemeriksaan serologis negatif, dan tidak dianjutkan
sebagai pemeriksaan awal yang berdiri sendiri. Pemeriksaan antigen
p24juga dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis HiV pada bayi
yang lahir dari ibu HIV positif. Sensitifitas-nya bervariasi sesuai umur
dan stabil pada bayi berumur Iebih dari 1 bulan.
2. HIV-RNA
Jumlah HIV-RNA atau sering disebut juga ‘viral load’adalah
pemeriksaan yang menggunakan teknologi PCR untuk
mengetahuijumlah HiV dalam darah. Pemeriksaan ini merupakan
pemeriksaan yang penting untuk mengetahui dinamika HIV dalam
tubuh.Pemeriksaan HIV-RNA sangat berguna untuk mendiganosis
HIV pada pada keadaan pemeriksaan serologis belum bisa
memberikan hasil (misalnya windowperiod atau bayi yang lahir dari
ibu HIV positif) atau pemeriksaan serologis memberikan hasil
indeterminate. HlV-RNA dapat positif pada 11 hari setelah terinifeksi
HIV sehingga menurunkan masa jendela pada skrining donor darah.
Selain untuk diagnostik HIV-RNA juga merupakan alat paling penting
dalam monitoring pengobatan ARV saat ini. Hasil negatif semu dapat
ditemukan karena penggunaan plasma heparin, variasi genomik HIV,
kegagalan primer I probe atau jumlah virus yang kurang dari batas
minimal deteksi alat pemeriksaan. Sedangkan hasil positif semu
dapatjuga terjadi terutama akibat kontaminasi bahan pemeriksaan. Hal
positif semu ini dapat clicegah dengan mengsyaratkan PCR positif bila
ditemukan 2 atau Iebih produk gen.
3. Pemeriksaan Antibodi
Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibody terhadap HIV secara
umum diklasifikasikan sebagai pemeriksaan penapisan (skrining} dan
pemeriksaan konfirmasi. Metode yang paling banyak digunakan untuk
pemeriksaan penapisan adalah Enzyme linked immunosorbent assay
(ELISA), karena metode ini dianggap merupakan metode yang paling
cocok digunakan untuk penapisan spesimen dalam jumlah besar seperti
pada donor darah. Metode ELISA mengalami perkembangan dengan
menggunakan antigen yang dilabel sebagai konjugat sehingga hasil
pemeriksaan sangat sensitif dan dapat mengurangi masa jendela.
Untuk Iebih mempersingkat masa jendela, pada ELISA generasi 4
dibuat pemeriksaan yang dapat mendeteksi baik antibody dan antigen
HI\/.
Selain ELISA, metode Iain untuk pemeriksaan serologi lain yang dapat
digunakan adalah pemeriksaan sederhana yang tidak membutuhkan
alat seperti aglutinasi, imunofiltrasi (flow through tests),
imunokromatografi (lateral flow tests) dan uji celup (dipstick). Hasil
yang positif pada metode ini diindikasikan dengan timbulnya bintik
atau garis yang berwarna atau ditemukan pola aglutinasi.
Pemeriksaan—pemeriksaan ini dapat dikerjakan kurang dari 20 menit,
sehingga Seringkali disebut uji cepat dan sederhana (simple/rapid,
S/R). Pemeriksaan dengan metode yang sederhana ini sangat sesuai
digunakan pada pelayanan pemeriksaan dan konseling serta pada
Iaboratorium dengan fasilitas yang terbatas denganjumlah spesirnen
perhari yang tidak terlalu banyak.
WHO dan UNAIDS merekomendasikan penggunaan kombinasi
ELISA dan atau uji cepat untuk pemeriksaan antibodi terhadap HIV
dibandingkan kombinasi ELISA dan Western Blot (WB). Hasil
pengujian beberapa uji cepat dibandingkan ELISA dan WB,
menemukan bahwa banyak uji cepat sudah memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang baik.3
4. Penilaian Imunologi
Jumlah CD4 adalah cara yang terpercaya dalam menilai status
imuunitas seorang ODHA. Pemeriksaan CD4 melengkapi pemeriksaan
klinis yang mana dapat memandu dalam menentukan kapan pasien
memerlukan pengobatan profilaksis terhadap IO dan terapi ARV
sebelum penyakitnya berlanjut menjadi lebih parah. Meskipun tes CD4
dianjurkan namun bila tidak tersedia tidak boleh menjadi penghalang
atau menunda pemberian terapi ARV. CD4 juga digunakan sebagai
pemantau respon terapi ARV.11
5. Jumlah limfosit total (TLC)
Bila tidak tersedia tes CD4, jumlah limfosit total (TLC) dapat
digunakan sebagai penanda fungsi imunitas. Dalam program terapi
ARV TLC hanya berlaku pada satu keadaan klinis saja (pasien dengan
stadium klinis 2 manakala sarana tes CD4 tidak tersedia). Keputusan
klinis akan lebih mudah yaitu bahwa terapi ARV dianjurkan pada
semua ODHA dengan stadium klinis 3 dan 4, dan tidak di anjurkan
untuk pasien yang asimtomatik (stadium 1). TLC tidak bermanfaat dan
tidak dianjurkan untuk menilai respon terapi ARV atau sebagai dasar
menentukan kegagalan terapi ARV. 11
Gambar Alur pemeriksaan laboratorium infeksi HIV dewasa.

2.6.4 Stadium Klinis


Menentukan Stadium Klinis HIV
1. Stadium 1 (Asimptomatik)
 Tidak ada penurunan berat badan
 Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata
Persisten
2. Stadium 2 ( Sakit ringan)
 Penurunan BB 5-10%
 ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
 Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
 Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
 Ulkus mulut berulang
 Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
 Dermatitis seboroik
 Infeksi jamur kuku
3. Stadium 3 (Sakit Sedang)
 Penurunan berat badan > 10%
 Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1
bulan
 Kandidosis oral atau vaginal
 Oral hairy leukoplakia
 TB Paru dalam 1 tahun terakhir
 Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
 TB limfadenopati
 Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
 Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni
kronis (<50.000/ml)
4. Stadium 4 (Sakit berat / AIDS)
 Sindroma wasting HIV
 Pneumonia pnemosistis, Pnemoni bakterial yang berat berulang
 Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
 Kandidosis esophageal
 TB Extraparu
 Sarkoma Kaposi. 11
2.7 Penatalaksanaan
Secara umum, penatalaksanaan HIV/AIDS yaitu a) Pengobatan antiretroviral
(ARV), b) Pengobatan terhadap infeksi oportunistik seperti jamur, tuberkulosis,
hepatitis, toksoplasma, sarkoma kaposi, Iimfoma, kanker serviks, dan c)
Pengobatan suportif yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang Iebih baik
dan pengobatan pendukung Iain seperti dukungan psikososial dan dukungan
agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan.3
Sebelum memulai terapi, pasien harus diperiksa jumlah CD4 terlebih dahulu,
untuk memberikan dosis yang tepat pada pengobatan ARV. Pengobatan ARV
pada pasien HIV diberikan ketika perhitungan CD4 telah mencapai nilai kurang
dari 350. Hitung sel CD4, kadar RNA HIV serum juga digunakan untuk
memantau resiko perkembangan penyakit dan menentukan waktu yang tepat
untuk memulai modifikasi regimen obat. Tujuan terapi ARV ini adalah
penekanan secara maksimum dan berkelanjutan jumlah virus, pemulihan, atau
pemeliharaan (atau keduanya) fungsi imunologik, perbaikan kualitas hidup, dan
pengurangan morbiditas dan mortalitas HIV. 10
Keputusan untuk memulai terapi ARV pada ODHA dewasa dan remaja
didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis. Namun pada keadaan
tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandu keputusan memulai terapi
ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral load) tidak dianjurkan sebagai
pemandu keputusan memulai terapi. Proses memulai terapi ARV meliputi
penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan pemahaman
tentang tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence, toksisitas).
Jangkauan pada dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga atau sebaya
merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan ketika membuat
keputusan untuk memulai terapi ARV.11
Tabel. Saat memulai terapi pada ODHA dewasa
Stadium Bila tidak tersedia
Bila tersedia pemeriksaan CD4
Klinis pemeriksaan CD4
Terapi ARV tidak
1
diberikan
Terapi antiretroviral dimulai bila
CD4 <200 Bila jumlah total limfosit
2
<1200
Jumlah CD4 200 – 350/mm3,
pertimbangkan terapi sebelum
CD4 <200/mm3
Pada kehamilan atau TB:
3 Terapi ARV dimulai
- Mulai terapi ARV pada semua ibu
tanpa
hamil dengan CD4 ,350
memandang jumlah
- Mulai terapi ARV pada semua ODHA
limfosit
dengan CD4 <350 dengan TB paru
total
atau infeksi bakterial berat

4 Terapi ARV dimulai tanpa


memandang jumlah CD4
Keterangan:
a. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi.
Contoh, TB paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan
kondisi lain yang menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV
(misal, diare kronis, demam berkepanjangan).
b. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus
dimulai belum dapat ditentukan.
c. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila
pemeriksaan CD4 tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang
berkaitan dengan HIV (Stadium II atau III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan
pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4, ODHA
asimtomatik (Stadium I ) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada
petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumberdaya terbatas.

Manfaat pemberian ARV, yaitu:


1. Menurunkan angka kematian.
2. Menurunkan risiko perawatan di Rumah Sakit.
3. Menekan viral load.
4. Memulihkan kekebalan.
5. Menurunkan risiko penularan (treatment as prevention).3
Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse
transcriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NsRTI), non—
nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI), dan inhibitor protease (PI).
Obat ARV direkomendasikan pada semua pasien yang memiliki HIV +, telah
menunjukkan gejala yang termasuk dalam kriteria diagnosis AIDS, atau
menunjukkan gejala yang sangat berat, tanpa melihat jumlah Iimfosit CD4+.
Obat ini juga direkomendasikan pada pasien dengan Iimfosit CD4 kurang dari
350 sel/ mm3. Pasien asimptomatik dengan Iimfosit CD4+ 200-350 sel/mm3
dapat ditawarkan untuk memulai terapi. Pada pasien asimptomatik dengan
Iimfosit CD4+ Iebih dari 350 sel/mm3 dan viral load Iebih dari 100.000 kopi/ml
terapi ARV dapat dimulai, namun dapat pula ditunda. Terapi ARV tidak
dianjurkan dimulai pada pasien dengan Iimfosit CD4+ Iebih dari 350
sel/mm3dan viral load kurang dari 100.000 kopi/ml.3
Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi
dari 3 obat ARV. Kombinasi obat antiretroviral lini pertama yang umumnya
digunakan di Indonesia adalah kombinasi zidovudin (ZDV)/Iamivudin (3TC),
nevirapin (NVP), stavudin (d4T), dan Efavirenz (EFV). Penggunaan d4T
(stavudin) dlm waktu tidak terlalu lama karena efek samping jangka panjang
yaitu Iipodisatropi dan efek metabolik. Pada pengobatan ARV ini 2 digunakan
Tenofovir, Lopi/Ritonavir. Efek samping tenofovir yaitu gangguan fungsi ginjal,
osteoporosis, sedangkan efek samping PI adalah gangguan metabolik.3
Tabel . Obat ARV yang beredar di Indonesia
Nama obat Sediaan Dosis
Tablet, kandungan : Zidovudin 300
Duviral 2x1
mg, lamivudine 150 mg
>60 kg : 2 x 40 mg
Stavudin (d4T) Kapsul: 30 mg, 40 mg
<60 kg : 2 x 30 mg
Lamivudin(3TC) Tablet 150 mg ; Larutan oral 10 2 x 150 mg
mg/ml <50 kg : 2 mg/kg,
2x/hari
1 x 200 mg selama 14
Nevirapin (NVP) Tablet 200 mg hari, dilanjutkan 2 x
200 mg
2 x 300 mg, atau 2 x
Zidovudin/Retrovir(
Kapsul 100 mg 250 mg (dosis
ZDV/AZT)
alternatif)
>60 kg : 2 x 200 mg
Didanosin(ddl) Tablet kunyah 100 mg
<60 kg : 2 x 125 mg
Efavirenz
Kapsul 200 mg 1 x 600 mg, malam
(EFV,EFZ)
Nelfinavir (NFV) Tablet 250 mg 2 x 1250 mg
BAB III
KESIMPULAN

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai


kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh
akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk
famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.
Penularan HIV/AIDS terjadi melalui 3 jalur transmisi yakni melalui cairan
tubuh yang mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik
homoseksual maupun heteroseksual, transmisi langsung keperedaran darah melalui
jarum suntik pada pengguna narkotika dan transfusi komponen darah dan dari ibu
yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok risiko
tinggi terhadap HIV/AIDS misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersil dan
pelanggannya, serta narapidana.
Penatalaksanaan ODHA terdiri atas beberapa jenis, yaitu: a) pengobatan untuk
menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV), b) pengobatan untuk
mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS,
seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasma, sarkoma kaposi, Iimfoma, kanker
serviks, c) pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang Iebih
baik dan pengobatan pendukung Iain seperti dukungan psikososial dan dukungan
agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Secara umum
obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni nucleoside reverse
transcriptase inhibitors (NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors
(NNRTI), dan protease inhibitors (PI).
DAFTAR PUSTAKA

1. Idrus, A. dkk. 2015. Penatalaksanaan Dibidang Ilmu Penyakit Dalam : Panduan


Praktik Klinis. Interna Publishing. Jakarta
2. UNAIDS. 2018. Global Report: Stage of the epedemic. Geneva : Joint United
Nations Progamme on HIV/AIDS; 2018
3. Ismail, S. 2018. Faktor Resiko Infeksi HIV pada Usia Muda Di Klinik Voluntary
Counseling Testing (VCT) Yogyakarta. Tesis. Fakultas Kedokteran UGM.
Jogyakarta.
4. Siti, S., dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: HIV/AIDS di Indonesia.
Edisi VI. Interna Publishing. Indonesia
5. Kemenkes. 2014. Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis
dari Ibu Ke Anak Bagi Tenaga Kesehatan. Kementerian Kesehatan RI.Jakarta.
6. Riry, F., Armen, A. 2018. Human Immunodeficiency Virus – Acquired
Immunodeficiency Syndrome dengan Sarkoma Kaposi. Jurnal Kesehatan
Andalas Vol 7(3). Fakultas Kedokteran. Universitas Andalas. Padang
7. Direktur Jendral P2P. 2019. Laporan Perkembangan HIV AIDS dan Infeksi
Menular Seksual (IMS) Triwulan IV tahun 2018. Kementerian Kesehatan RI
Direktur Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Jakarta
8. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengan. 2018. Profil Kesehatan Provinsi
Sulawesi Tengah Tahun 2018. Palu
9. Fufa
10. Gita Dewi
11. Tjandra, Y, dkk. 2007.

Anda mungkin juga menyukai