Anda di halaman 1dari 23

PEDOMAN PELAYANAN HIV-AIDS

METRO HOSPITALS CIKUPA TAHUN 2019

1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................................................................ 2
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................................................... 4
1.1. LATAR BELAKANG ................................................................................................................. 4

1.2. TUJUAN PEDOMAN ................................................................................................................. 5

1.3. RUANG LINGKUP LAYANAN TES HIV .............................................................................. 5

1.4. CAKUPAN PENYELENGGARAAN PELAYANAN TES HIV ............................................ 7

1.5. LANDASAN HUKUM ................................................................................................................ 7

BAB II. STANDAR KETENAGAAN ....................................................................................................... 9

2.1. KUALIFIKASI SUMBER DAYA MANUSIA ......................................................................... 9

2.2. DISTRIBUSI KETENAGAAN .................................................................................................. 9

2.3. PENGATURAN JAGA............................................................................................................. 10

BAB III. STANDAR FASILITAS ........................................................................................................... 11

3.1. DENAH RUANG ...................................................................................................................... 11

3.2. STANDAR FASILITAS ........................................................................................................... 11

BAB IV. TATA LAKSANA PELAYANAN ........................................................................................... 13

4.1. Upaya Pencegahan .................................................................................................................... 13

4.2. Penemuan kasus baru ............................................................................................................... 14

4.3. Penemuan Infeksi Oportunistik dan Penentuan Stadium Klinis ......................................... 15

4.4. Profilaksis Kotrimoksasol ........................................................................................................ 16

4.5. Penanganan Ko-infeksi TB-HIV dan Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (Insoniazid Profilaksis
Treatment/IPT) ................................................................................................ 16

4.6. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) .......................................................... 17

4.7. Pengendalian dan Pengobatan IMS ........................................................................................ 18

4.8. Imunisasi pada orang dengan HIV ...................................................................................... 18

2
BAB V. LOGISTIK .................................................................................................................................. 19
5.1. Pengadaan sarana dan prasarana ........................................................................................... 19

5.2. Pemesanan sarana dan prasarana ........................................................................................... 19

5.3. Penerimaan sarana dan prasarana ......................................................................................... 19

5.4. Penyimpanan sarana dan prasarana ....................................................................................... 20

BAB VI. KESELAMATAN PASIEN ...................................................................................................... 21

BAB VII. KESELAMATAN KERJA...................................................................................................... 23

BAB VIII. PENGENDALIAN MUTU .................................................................................................... 24

BAB IX. PENUTUP .................................................................................................................................. 25

3
BAB I. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


HIV-AIDS merupakan salah satu penyakit menular yang terjadi karena adanya infeksi dari Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini menyerang sistem kekebalan tubuh dan melemahkan
kemampuan tubuh untuk melawan infeksi dan penyakit. Di Indonesia, sejak pertama kali
ditemukannya infeksi HIV pada tahun 1987 HIV tersebar di 368 dari 497 kabupaten dan kota di seluruh
provinsi. Pulau Bali adalah provinsi pertama tempat ditemukannya infeksi HIV-AIDS di Indonesia.
Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia dari bulan Januari hingga Maret 2017
dilaporkan sebanyak 10.376 orang yang terinfeksi HIV dengan jumlah kasus AIDs sebanyak 673 orang.
Persentase tertinggi HIV dilaporkan terbanyak pada kelompok usia 25-49 tahun (69,9%) diikuti dengan
kelompok usia 20-24 tahun sebanyak 17,6 % dan kelompok usia lebih dari 50 tahun dengan 6,7%. Rasio
HIV dan AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Di Tangerang sendiri tercatat sebanyak 166
orang penderita HIV-AIDS baru, 30 orang diantarannya adalah pendatang. Menurut laporan dari WHO
(World Health Organization), pada akhir 2014, ada sekitar 37juta orang yang hidup dengan HIV dan
1,2juta orang meninggal karena penyebab terkait AIDS. Namun, hanya 54% dari penderita yang
menyadari bahwa mereka mengidap HIV-AIDS. Gejala awal HIV-AIDS bisa tidak menimbulkan
permasalahan kesehatan apapun, sehingga orang-orang yang terinfeksi HIV-AIDS tidak mengerti
bahwa dirinya dapat menularkan. Orang-orang dengan perilaku hidup berisiko diharapkan dapat
menyadari bahwa dirinya memerlukan pemeriksaaan kesehatan untuk menentukan status HIVnya.
Penularan HIV-AIDS ini terjadi karena hubungan seksual yang tidak aman, penggunaan jarum suntik
secara bergantian, penularan dari ibu ke anak, serta transfusi darah. Kurangnya pengetahuan
mengenai cara penularan HIV-AIDS serta kurangnya kesadaran masyarakat akan bahayanya penyakit
ini menyebabkan angka HIV-AIDS terus meningkat setiap tahunnya. Perkembangan penyebaran HIV
dan AIDS di Tangerang sudah dalam tahap epidemi terkonsentrasi dan menunjukkan kasus yang terus
meningkat.

4
HIV-AIDS menimbulkan masalah yang kompleks baik bagi pasien maupun rumah sakit. Masalah yang
ditimbulkan ini memerlukan penyelesaiaannya dan kerjasama lintas sektoral. Upaya mengurangi
dampak dan masalah yang ditumbulkan oleh HIV-AIDS dapat dilakukan dengan pertama-tama mencegah
penularan penyakit. Rumah sakit diharapkan dapat secara optimal meningkatkan mutu pelayanan pada
setiap unit kerjanya dengan membuat suatu pedoman pelayanan. Diharapkan dengan pedoman
pelayanan dapat menjadi panduan bagi petugas kesehatan untuk melaksanakan pelayanan tes HIV di
Metro Hospitals Cikupa.

1.2. TUJUAN PEDOMAN

1.2.1. Tujuan Umum Pedoman ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam pelayanan Konseling dan Tes
HIV dalam rangka penegakkan diagnosis HIV-AIDS, untuk mencegah sedini mungkin terjadinya penularan
atau peningkatan kejadian infeksi HIV, dan mengurangi angka kejadian HIV-AIDS.

1.2.2. Tujuan Khusus

a. Sebagai pedoman penatalaksanaan pelayanan konseling dan testing HIV-AIDS

b. Menjaga mutu layanan melalui penyediaan sumberdaya dan manajemen yang sesuai.

c. Memberi perlindungan dan konfidensialitas dalam pelayanan konseling dan testing

d. Meningkatkan mutu pelayanan konseling serta pemeriksaan HIV-AIDS.

e. Menyediakan dan menyebarluaskan informasi mengenai HIV-AIDS serta pencegahannya.

f. Menciptakan suasana kondusif untuk mendukung upaya penanggulangan HIV-AIDS dengan


menitikberatkan pada pencegahan terjadinya infeksi secara berkelanjutan.

g. Memberi perlindungan dan konfidensialitas terhadap hasil pemeriksaan dan konseling HIV-AIDS.

h. Meningkatkan peran serta fasilitas kesehatan, petugas medis, dan para medik untuk mengurangi
angka penularan HIV-AIDS.

5
1.3. RUANG LINGKUP LAYANAN TES HIV Layanan Tes HIV di Metro Hospitals Cikupa meliputi:

1.3.1. Pencegahan Penularan HIV Upaya pencegahan meliputi beberapa aspek yaitu penyebaran
informasi dan promosi mengenai HIV, pencegahan dan pengendalian infeksi di RS dan profilaksis pasca
pajanan untuk kasus pemerkosaan dan kecelakaan kerja.

1.3.2. Penemuan Kasus Baru Layanan Tes HIV pada pasien di Rumah Sakit dimintakan secara rutin pada
semua pasien TB, semua ibu hamil, semua pasien IMS, semua pasien hepatitis B dan C, semua pasien
dengan gejala terkait HIV-AIDS (termasuk anak dengan malnutrisi), populasi kunci HIV, dan pasangan
ODHA.

1.3.3. Penegakan Diagnosis HIV Pemeriksaan dilakukan secara serial dengan menggunakan 3 jenis
reagen yang berbeda sesuai dengan pedoman nasional

1.3.4. Penemuan Infeksi Oportunistik dan Penentuan Stadium Klinis IO yang tersering dijumpai di
Indonesia adalah: TB, kandidiasis oral, diare, Pneumocystis Pneumonia (PCP), Pruritic Papular Eruption
(PPE)

1.3.5. Profilaksis Kotrimoksasol Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK) merupakan bagian penting
dari rencana pengobatan bagi ODHA

1.3.6. Penanganan Ko-infeksi TB-HIV dan Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (Insoniazid
Profilaksis Treatment/IPT) Melaksanakan kolaborasi program HIV dan TB dalam satu atap, dengan
melakukan kerjasama antara tim HIV, tim DOTS dan manajemen layanan

1.3.7. Perawatan Kronis yang Baik Mendukung ODHA untuk mendapat perawatan yang cocok untuk
perjalanan penyakitnya dan untuk dapat minum obat ARV seumur hidup.

1.3.8. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) Mencegah terjadinya kasus baru HIV pada bayi
dan terjadinya sifilis kongenital

1.3.9. Pengendalian dan Pengobatan IMS Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat IMS yang
sebenarnya bisa dicegah dan diobati, serta mencegah infeksi HIV

1.3.10. Imunisasi pada orang dengan HIV

6
1.4. CAKUPAN PENYELENGGARAAN PELAYANAN TES HIV

1.4.1. Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS)

1.4.1.1. Layanan KTS dilakukan berdasarkan kebutuhan klien pada saat klien mencari pertolongan medik
dan testing

1.4.1.2. Layanan ini termasuk konseling, dukungan, akses untuk terapi suportif, terapi infeksi
oportunistik

1.4.1.3. Prinsip Pelayanan:

 Sukarela dalam melaksanakan testing HIV


 Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas
 Mempertahankan hubungan relasi konselor-klien yang efektif
 Testing merupakan salah satu komponen dari KTS

1.4.2. Konseling dan Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kegiatan (KTIP) KTIP harus dimintakan
secara rutin sebagai bagian dari standar pelayanan bagi:

 semua pasien TB
 semua ibu hamil
 semua pasien IMS
 semua pasien hepatitis B dan C
 semua pasien dengan gejala terkait HIV-AIDS (termasuk anak dengan malnutrisi), populasi
kunci HIV
 pasangan ODHA.

7
1.5. LANDASAN HUKUM

1. Undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit

2. Undang-undang No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular

3. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1278/Menkes/SK/XII/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan


Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan HIV

4. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS

5. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 74 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes
HIV

6. Peraturan Menteri Kesehatan tentang Laboratorium HIV dan Infeksi Oportunistik No. 15 tahun 2015

7. Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia tentang Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing
HIV No.1507 tahun 2005

8. Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak No 51
tahun 2013

9. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No.12 Tahun 2010 tentang Penanggulangan
Human Immunodefficiency Virus (HIV) dan Acquired Immuno Defficiency Sindrome (AIDS)

10. Pedoman Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Penerapan Tes dan Konseling HIV
Terintegrasi di Sarana Kesehatan/ PITC tahun 2010

8
BAB II. STANDAR KETENAGAAN

2.1. KUALIFIKASI SUMBER DAYA MANUSIA

Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu komponen yang penting guna mendukung dan
memberikan layanan tes HIV yang berkesinambungan. Pengetahuan dan sikap SDM dalam hal ini adalah
petugas kesehatan mempengaruhi keefektifan penyediaan pelayanan HIV-AIDS. Pelayanan HIV-AIDS
membutuhkan tenaga kesehatan yang berdedikasi dan terlatih. Adapun petugas pelayanan HIV-AIDS
terdiri dari:

1. Kepala Klinik KTS

2. Konselor yang terlatih dan tersertifikasi

3. Dokter Spesialis

4. Dokter Umum

5. Perawat

6. Petugas Laboratorium

7. Apoteker atau asisten apoteker (AA)

8. Petugas Administrasi

9. Tenaga lain: Humas dan petugas Kamar Jenazah

2.2. DISTRIBUSI KETENAGAAN

Distribusi ketenagaan layanan tes HIV di Metro Hospitals Cikupa adalah sebagai berikut:

1. Kepala klinik KTS : 1 orang

2. Konselor : 2 orang

3. Dokter spesialis : 2orang

4. Dokter umum : 2 orang

5. Perawat : 1 orang

6. Bidan : 1 orang

7. Petugas laboratorium : 1 orang

8. Apoketer atau AA : 1 orang

9. Petugas Administrasi : 1 orang


10. Instalasi Bedah Sentral: 1 Orang

11. Humas : 1 Orang

12. Kamar Jenazah : 1 Orang

2.3. PENGATURAN JAGA

2.3.1. Pelayanan Klinik KTS Metro Hospitals Cikupa dilakukan setiap hari kerja dengan petugas sesuai
dengan jadwal.

2.3.2. Pelayanan atas inisiasi petugas dilakukan setiap hari oleh tenaga kesehatan yang sudah
mendapatkan pelatihan PITC.

2.3.3. Petugas laboratorium berada di Instalasi Laboratorium dapat dihubungi oleh petugas jaga di Klinik
KTS, apabila ada klien yang melakukan pemeriksaan HIV.

10
BAB III. STANDAR FASILITAS

3.1. DENAH RUANG

Denah ruang pelayanan KTS terlampir pada Pedoman Pelayanan HIV-AIDS ini.

3.2. STANDAR FASILITAS

3.2.1. Sarana

 Papan petunjuk.

Papan petunjuk dimaksudkan untuk memudahkan akses klien ke klinik KTS. Papan penunjuk juga
dipasang di depan ruang klinik KTS bertuliskan Pelayanan KTS atau Klinik KTS b

 Ruang Tunggu.

Ruang tunggu berada di depan ruang konseling. Di ruang tunggu tersedia:

 Materi KIE: poster, leaflet, brosur yang berisi tentang HIV-AIDS, IMS, KB, ANC, TB, hepatitis,
penyalahgunaan napza, perilaku sehat, nutrisi dan seks yang aman
 Informasi konseling dan testing
 Kotak saran
 Tempat sampah, tissue, air minum
 Televisi
 Komputer
 Meja dan kursi
 Kalender
 Jam pelayanan HIV-AIDS Jam pelayanan KTS HIV terintregasi dalam jam pelayanan kesehatan
lainnya dapat dilakukan setiap hari pada hari kerja yaitu Senin hingga Sabtu sesuai dengan jam
kerja.
 Ruang Konseling Ruang konseling disediakan senyaman mungkin dan terjaga kerahasiaannya.
Ruang konseling terpisah dari ruang tunggu dan ruang pengambilan sampel darah. Ruang
konseling terdapat dua pintu yaitu pintu masuk dan pintu keluar klien sehingga klien yang
selesai konseling dan klien berikutnya yang hendak konseling tidak saling bertemu. Ruang
Konseling dilengkapi:
a) Sebuah meja dan tiga kursi (tempat duduk bagi klien maupun konselor)
b) Buku catatan perjanjian klien dan catatan harian, formulir informed consent, catatan
medis klien, formulir pre dan pasca testing, buku rujukan, formulir rujukan, kalender
dan ATK
c) Kondom dan alat peraga penis, alat peraga reproduksi wanita
d) Buku resep gizi seimbang
e) Tisu
f) Air minum
g) Lemari arsip atau lemari dokumen yang dapat dikunci
h) Ruang Pengambilan Sampel Darah.
Ruang pengambilan darah untuk pemeriksaan penunjang dan tes HIV dilakukan di
departemen Laboratorium dengan tetap memegang konfidentialitas pasien dan sesuai
dengan pedoman tes HIV.

3.2.2. Prasarana

a. Aliran Listrik

b. Tempat cuci tangan

c. Sambungan Telepon untuk komunikasi dengan layanan lain yang terkait

d. Pembuangan Limbah Padat dan Limbah Cair

10
BAB IV. TATA LAKSANA PELAYANAN

Penyelenggaraan layanan Tes HIV adalah suatu layanan untuk mengetahui adanya infeksi HIV di tubuh
seseorang. Layanan ini dapat diselenggarakan di fasilitas pelayanan kesehatan. Layanan Tes HIV
didahului dengan dialog antara klien/pasien dan konselor/petugas kesehatan dengan tujuan
memberikan informasi tentang HIV dan AIDS dan meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan
berkaitan dengan tes HIV.

4.1. Upaya Pencegahan

4.1.1. Penyebaran informasi

 Penyebaran informasi dapat berupa leaflet, seminar awam, sosialisasi internal RS dan lain-lain
 Penyebaran informasi tidak menggunakan gambar atau foto yang menyebabkan ketakutan,
stigma dan diskriminasi
 Penyebaran informasi perlu menekankan manfaat tes HIV dan pengobatan ARV
 Penyebaran informasi perlu disesuaikan dengan budaya dan bahasa atau kebiasaan masyarakat
setempat

4.1.2. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)

a) Pada prinsipnya PPI pada HIV sama dengan kegiatan PPI pada umumnya

4.1.3. Tatalaksana Pasca Pajanan HIV

1. Setiap pajanan dicatat dan dilaporkan kepada yang berwenang yaitu atasan langsung dan
Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) atau Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
2. Memulai PPP sebaiknya secepatnya (<4 jam) dan tidak lebih dari 72 jam
3. Penilaian status infeksi sumber pajanan terhadap penyakit yang menular melalui darah yang
dapat dicegah, dilakukan dengan pemeriksaan Laboratorium.
Penyakit tersebut adalah: o HbsAg untuk Hepatitis B o Anti HCV untuk Hepatitis C o Anti HIV
untuk HIV
4. Penentuan terapi profilaksis pasca-pajanan (PPP) yang dibutuhkan berdasarkan telaah pajanan
untuk HIV
5. Setiap tatalaksana pajanan berisiko harus selalu dilakukan tindak lanjut.
Tindakan yang diperlukan meliputi:
o Evaluasi Laboratorium tes HIV pada 6 minggu, 3 bulan, dan 6 bulan setelahnya
o Follow-up dan dukungan, termasuk tindak lanjut klinis atas gejala infeksi HIV, Hepatitis B,
efek samping obat PPP, konseling berkelanjutan untuk kepatuhan terapi ARV, dsb.
4.2. Penemuan kasus baru

 Tes HIV adalah pemeriksaan laboratorium dengan tujuan untuk penemuan kasus.
 Tes HIV dimintakan secara rutin oleh semua tenaga kesehatan yang telah mengikuti pelatihan
KTIP
 Alur layanan Tes HIV pada lampiran 1.
 Tes HIV perlu informasi singkat dan sederhana tanpa membuat pasien menjadi takut tentang
manfaat dan tujuannya.
 Persetujuan untuk tes HIV dapat dilakukan secara lisan (verbal consent) sesuai dengan
Permenkes no.21 tahun 2013
 Jika pasien menolak, maka pasien diminta untuk menandatangani surat penolakan tes secara
tertulis.
 Konseling dibutuhkan untuk kasus sulit, misalnya:
a) Pasien yang selalu menolak tes HIV
b) Pasien HIV positif yang menolak membawa pasangan untuk dites
c) Pasien yang tidak mau dirujuk ke layanan ARV
 Hasil tes HIV disampaikan kepada pasien oleh dokter dan tenaga kesehatan yang meminta
 Hasil pemeriksaan harus dirahasiakan dan hanya dapat dibuka kepada:
1. yang bersangkutan;
2. tenaga kesehatan yang menangani;
3. keluarga terdekat dalam hal yang bersangkutan tidak cakap;
4. pasangan seksual
5. pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Harus mendapatkan tindak lanjut pengobatan dan perawatan lainnya seperti skrining TB,
skrining IMS, konseling pasca tes jika dibutuhkan dan pemberian ARV. Pasien dengan
pengobatan ARV dirujuk ke fasilitas kesehatan yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan
untuk pelayanan ARV sesuai dengan alur rujukan dan kerjasama RS.

4.3. Penegakan Diagnosis

 Pemeriksaan dilakukan secara serial dengan menggunakan 3 jenis reagen serologis yang
berbeda sesuai dengan pedoman nasional.
 Alur diagnosis HIV pada lampiran 2
 Tes virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur kurang dari 18 bulan. Alur
diagnosis HIV pada bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan pada lampiran 3.
 Penyimpanan reagen HIV dilakukan sesuai dengan instruksi yang tertera dilembar informasi dan
digunakan sebelum tanggal kedaluwarsa.
 Hasil testing diverifikasi oleh dokter spesialis patologi klinik
 Hasil diberikan kepada petugas kesehatan yang mengirim dalam amplop tertutup
 Jangan memberi tanda menyolok terhadap hasil positif atau negatif
 Interpretasi hasil tes dan keputusan tindak lanjut dilakukan oleh dokter yang meminta
pemeriksaan tes.
4.4. Penemuan Infeksi Oportunistik dan Penentuan Stadium Klinis

a) Pastikan pasien telah didiagnosis terinfeksi HIV dengan pemeriksaan Laboratorium


b) Lakukan pemeriksaan fisik secara telitidari kepala hingga kaki untuk menemukan adanya IO
termasuk TB dan tentukan stadium klinis.
c) Temukan penyakit lain yang memerlukan penanganan lebih lanjut.
d) Tuliskan stadium klinis di lembar Register

4.5. Profilaksis Kotrimoksasol

 Rekomendasi pemakaian pengobatan pencegahan kotrimoksasol sesuai dengan Peraturan


Menteri Kesehatan Republik Indonesian Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengobatan
Antiretroviral (Lampiran 4)
 Efek samping yang mungkin timbul antara lain ruam kulit (alergi) dari tingkat ringan sampai
berat. Bila timbul ruam kulit yang luas atau basah disertai gejala sistemik seperti deman,
secepatnya mencari pertolongan
 Profilaksis kotrimoksasol tetap diberikan walaupun pasien mendapatkan pengobatan untuk IO-
nya

4.6. Penanganan Ko-infeksi TB-HIV dan Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (Insoniazid Profilaksis
Treatment/IPT)

1. Skrining gejala dan tanda TB bagi ODHA yang berkunjung ke layanan pada setiap kunjungan
sesuai alur TB paru pada ODHA (lampiran 5)
2. Tes HIV dimintakan secara rutin kepada semua terduga dan pasien TB
3. Semua ODHA yang setelah dievaluasi dengan seksama tidak menderita TB aktif, dan ODHA yang
memiliki kontak erat dengan pasien TB harus diobati sebagai infeksi TB laten dengan Pemberian
PP INH
4. Kriteria Pemberian PP INH pada anak dengan HIV sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesian Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral
(Lampiran 6)
5. Isoniazid dosis 300 mg untuk PP INH diberikan setiap hari selama 6 bulan (total 180 dosis).
6. Vitamin B6 diberikan dengan dosis 25 mg perhari atau 50 mg selang sehari atau 2 hari sekali
untuk mengurangi efek samping INH
7. Pemantauan pengobatan PP INH dilakukan setiap kunjungan selama 6 bulan pengobatan.
8. Pemberian PP INH ulang dapat dilakukan setelah 3 tahun

4.7. Perawatan Kronis yang Baik

 Menjalin kemitraan dengan pasien


 Memperhatikan prioritas dan kekuatiran pasien
 Menggunakan pendekatan 5 M (Mengkaji, Menyarankan, Menyetujui, Membantu,
Merencanakan) dalam memberikan layanan kesehatan
 Membantu dan mendorong kemandirian pasien
 Mengelola tindak lanjut secara proaktif
 Menghubungkan pasien dengan sumber daya dan dukungan sebaya Menerapkan “Perawatan
Komprehensif Berkesinambungan”

4.8. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)

a) Pelaksanaan kegiatan PPIA diintegrasikan ke poliklinik spesialis kebidanan


b) Tes HIV dan sifilis diintegrasikan dalam pelayanan antenatal terpadu kepada semua ibu hamil
mulai dari kunjungan pertama sampai menjelang persalinan
c) Setiap ibu hamil HIV harus diberikan konseling mengenai : o Pilihan pemberian makanan bagi
bayi. o Persalinan aman serta KB pasca persalinan. o Pemberian profilaksis ARV dan
kotrimoksazol pada anak. o Asupan gizi. o Hubungan seksual selama kehamilan (termasuk
pengunaan kondom secara teratur dan benar).
d) Konseling menyusui diberikan secara khusus sejak perawatan antenatal pertama dengan
menyampaikan pilihan yang ada
e) Persalinan baik pervaginam atau melalui bedah sesarea dilakukan berdasarkan indikasi medis
ibu/bayinya dan menerapkan kewaspadaan standar untuk pencegahan infeksi
f) Semua bayi lahir dari ibu HIV harus diberi ARV Profilaksis (Zidovudin) sejak hari pertama (umur
12 jam) selama 6 minggu)
g) Pemberian kotrimoksasol profilaksis bagi bayi yang lahir dari ibu dengan HIV dimulai pada usia
enam minggu, dilanjutkan hingga diagnosis HIV dapat disingkirkan atau hingga usia 12 bulan;
h) Pemberian imunisasi tetap dilakukan mengikuti standar pemberian imunisasi pada anak,
termasuk vaksin hidup (BCG, Polio oral, campak), kecuali bila terdapat gejala klinis infeksi HIV
i) Pemeriksaan early infant diagnosis (EID) atau diagnosis HIV dini pada bayi dengan metoda PCR
perlu dilakukan untuk memastikan apakah bayi tertular atau tidak.

4.9. Pengendalian dan Pengobatan IMS

 Pemeriksaan IMS dilakukan secara terpadu dengan layanan kesehatan lainnya


 Klinisi melakukan tata laksana IMS melalui pendekatan sindrom dan pemeriksaan Laboratorium
 Seluruh pasien IMS diberikan pengobatan sesuai dengan pedoman termasuk pemberian
kondom sebagai paket pengobatan dan informasi pencegahan.
 Lakukan pemeriksaan dan pengobatan pasangan seksual pasien IMS
4.10. Imunisasi pada orang dengan HIV

4.10.1. Imunisasi pada ODHA dewasa

 Vaksin hidup baru aman diberikan bila CD4 sudah meningkat stabil di atas 200 sel/mm3
 Vaksin mati dapat digunakan pada CD4 berapa pun, namun bila diberikan pada CD4 rendah
sebaiknya vaksin diberikan lagi saat CD4 meningkat di atas 200 sel/mm3
 ODHA koinfeksi HBV, direkomendasikan juga untuk mendapatkan vaksin HAV.
 ODHA koinfeksi HCV, direkomendasikan untuk mendapatkan vaksin HBV dan HCV.
 Lampiran 7 menunjukkan vaksin yang direkomendasikan pada ODHA dewasa.

4.10.2. Imunisasi pada anak dengan HIV

a) Imunisasi tetap diberikan pada anak dengan HIV atau diduga terinfeksi HIV yang belum
menunjukkan gejala termasuk memberikan vaksin hidup sesuai dengan jadwal imunisasi
nasional.
b) Bila anak menunjukkan gejala klinis infeksi terkait HIV, vaksin hidup tidak boleh diberikan.
BAB V. LOGISTIK

5.1. Pengadaan sarana dan prasarana

5.1.1. Tingkat persediaan adalah jumlah persediaan minimum ditambah safety stock.

5.1.2. Tingkat persediaan minimum adalah jumlah yang diperlukan untuk memenuhi kegiatan
operasional normal sampai pengadaan berikutnya.

5.1.3. Safety stock adalah jumlah persediaan cadangan yang harus ada untuk bahan yang dibutuhkan
atau yang sering terlambat diterima dari pemasok.

5.1.4. Perkiraan jumlah kebutuhan diperoleh berdasarkan jumlah pemakaian atau pembelian dalam
periode 6-12 bulan yang lalu dan jumlah proyeksi pemeriksaan dalam periode 6-12 bulan untuk tahun
depan. Catat jumlah pemakaian bahan untuk 1 bulan.

5.1.5. Waktu untuk mendapat bahan adalah lamanya waktu yang dibutuhkan mulai dari pemesanan
sampai bahan diterima dari pemasok

5.2. Pemesanan sarana dan prasarana

5.2.1. Tulis kebutuhan pada buku order

5.2.2. Buat permintaan

5.2.2.1. Sarana dan prasarana baru menggunakan formulir Purchase Requisition (PR)

5.2.2.1.1. Minta persetujuan PR kepada kepala departemen, Kepala Divisi Pelayanan dan Penunjang
Medis dan Direktur Rumah Sakit.

5.2.2.1.2. Serahkan PR kepada Bagian Pembelian, copy PR merah disimpan di unit sebagai arsip

5.2.2.2. Sarana dan prasarana yang sudah pernah digunakan melalui sistem HOPE dengan cara SR

5.2.3. Bila ada kebutuhan CITO, setelah petugas menulis di buku order, langsung dibuatkan PR atau SR.

5.3. Penerimaan sarana dan prasarana

5.3.1. Pada saat Sarana dan prasarana datang, sesuaikan dengan buku order (jumlah, nomor catalog,
dan terutama tanggal kadaluwarsa).

5.3.2. Bila sesuai, paraf di buku order dan faktur.

5.3.3. Bila tidak sesuai kembalikan tanpa paraf di buku order dan faktur.

5.3.4. Bila jumlah tidak sesuai, tulis jumlah kekurangannya pada kolom tersendiri pada buku order
5.4. Penyimpanan sarana dan prasarana 5.4.1. Menggunakan kaidah first in-first out (FIFO) yaitu bahan
yang lebih dahulu masuk harus digunakan lebih dahulu 5.4.2. Sarana dan prasarana dengan masa
kadaluarsa pendek menggunakan kaidah first expiredfirst out (FEFO) yaitu bahan dengan masa
kadaluarsa pendek digunakan lebih dahulu 5.4.3. Suhu dan kelembaban tempat penyimpanan
disesuaikan dengan ketentuan untuk masingmasing.
BAB VI. KESELAMATAN PASIEN

Untuk memberikan Pelayanan yang memuaskan dan berprinsip kepada Keselamatan pasien, maka pihak
Manajemen sudah menentukan beberapa kebijakan, salah satunya mengenai Patient Safety Goal, yaitu:
A. Melakukan Identifikasi Pasien Secara Tepat Untuk mencapai tujuan ini maka digunakan Nama Pasien
dan Nomor MR, dan Tanggal Lahir dari Pasien

B. Meningkatkan Komunikasi yang Efektif Untuk mengurangi kesalahan dalam menerima instruksi dan
informasi maka perlu dipastikan kembali informasi dan instruksi yang diterima (Read Back).

C. Meningkatkan Keamanan Penggunaan Obat yang membutuhkan Perhatian Untuk mencegah


terjadinya kesalahan dalam persiapan dan pemberian obat konsentrat tinggi, maka tempat
penyimpanannya dan persiapannya dipisahkan di ruangan tersendiri.

D. Mengurangi Risiko Salah Lokasi, Salah Pasien, dan Salah Tindakan Operasi Untuk mencegah terjadinya
hal tersebut, maka diperlukaan adanya pengecekan kembali dari dokter dan tim yang akan
melaksanakan operasi, serta diperlukan juga check list untuk memverifikasi dokumen dan peralatan
yang diperlukan untuk operasi yang telah tersedia, dan memberikan penandaaan daerah yang akan
dilakukan operasi

E. Mengurangi Risiko Infeksi Semua petugas kesehatan harus menerapkan kewaspadaan standar sebagai
upaya pengendalian infeksi, tanpa memandang status HIV klien yang dihadapi. Para penyelenggara
layanan harus menyediakan dan mengupayakan lingkungan kerja yang memungkinkan penerapan
kewaspadaan standar untuk meminimalkan risiko terjadinya pajanan HIV okupasional. Prinsip
Kewaspadaan Umum dijabarkan dalam 5 kegiatan pokok yaitu:

 Cuci tangan menurut standar WHO


 Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD)
 Pengelolaan Alat Kesehatan Bekas Pakai (Dekontaminasi, Sterilisasi, Disinfeksi)
 Pengelolaan Jarum & Alat Tajam
 Penanganan Linen

F. Mengurangi Risiko Pasien Cedera karena Jatuh Untuk mencegah terjadinya Pasien Jatuh, maka
dilakukan pemantauan dan observasi secara ketat terhadap pada pasien yang berisiko Jatuh, salah
satunya dengan cara pemasangan sisi pengaman tempat tidur dan meberikan identitas berupa gelang
pada pasien yang berisiko jatuh.
BAB VII. KESELAMATAN KERJA

Keselamatan Kerja layanan test HIV merupakan bagian dari keselamatan kerja RS secara keseluruhan.
Petugas yang berkontak dengan spesimen mempunyai potensi terinfeksi kuman patogen. Potensi infeksi
juga dapat terjadi dari petugas ke petugas lain atau keluarganya dan masyarakat disekitarnya. Untuk
mengurangi bahaya yang terjadi diperlukan kebijakan yang ketat. Petugas harus memahami keamanan
RS, mempunyai sikap dan kemampuan untuk melakukan pengamanan sehubungan dengan
pekerjaannya sesuai SOP yang berlaku.
BAB VIII. PENGENDALIAN MUTU

Salah satu prinsip yang menggaris bawahi implementasi layanan Tes HIV adalah layanan berkualitas,
guna memastikan klien mendapatkan layanan tepat dan menarik orang untuk menggunakan layanan.
Perangkat untuk menilai mutu layanan termasuk mengevaluasi kinerja seluruh staf, penilaian mutu
konseling melalui kegiatan supervisi, melakukan pertemuan berkala dengan para konselor, kotak saran,
penilaian oleh pengguna jasa, mengukur seberapa jauh konselor mengikuti aturan protokol. Perangkat
jaminan mutu konseling:

1. Perangkat rekaman saat konseling dengan klien samaran atau klien sungguhan yang telah
memberikan persetujuan untuk direkam.

2. Formulir kepuasan pelanggan.

3. Penilaian internal atau eksternal Syarat minimal layanan KTS dapat menggunakan daftar sederhana
yang ditentukan Kementerian Kesehatan dan WHO.

Perangkat jaminan mutu testing:

1. Pemantapan mutu internal. Kegiatan ini meliputi tersedianya protap untuk seluruh kegiatan, format
pencatatan, sediaan kontrol sampel.

2. Pemantapan mutu eksternal dilakukan secara berjenjang dan berkala


BAB IX. PENUTUP

Pedoman Pelayanan Layanan Tes HIV Rumah Sakit Siloam Yogyakarta disusun sebagai sarana untuk
pengaturan dan pemantauan kinerja layanan tes HIV serta untuk menciptakan ruang lingkup kerja
layanan tes HIV yang efisien, efektif, aman dan memenuhi standar internasional. Diharapkan dengan
adanya Pedoman Pelayanan Layanan Tes HIV dapat digunakan sebaik- baiknya untuk pencapaian
pelayanan kesehatan yang berkualitas dan bertaraf internasional untuk Rumah Sakit Siloam Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai