Anda di halaman 1dari 28

ASUHAN KEPERAWATAN PALIATIF

PADA PASIEN GAGAL JANTUNG

Disusun oleh:

1. Muhammad Apip F. (7.C/1411020109)


2. Dyana Ratih A. R. (7.C/1611020123)
3. Widia Mei Linanggita P. (7.C/1611020140)
4. Hardini Nur R. (7.C/1611020148)
5. Multri Karani (7.C/1611020152)
6. Syahrir Arif H. (7.C/1611020158)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN S1


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perawatan paliatif adalah setiap bentuk perawatan medis atau
perawatan yang berkonsentrasi pada pengurangan keparahan gejala
penyakit, daripada berusaha untuk menghentikan, menunda, atau
sebaliknya perkembangan dari penyakit itu sendiri atau memberikan
menyembuhkan. Tujuannya adalah untuk mencegah dan mengurangi
penderitaan dan meningkatkan kualitas hidup orang yang menghadapi
penyakit yang serius dan kompleks.
Gagal jantung adalah keadaan di mana jantung tidak mampu
memompa darah untuk mencukupi kebutuhan jaringan dan melakukan
metabolisme dengan kata lain, diperlukan peningkatan tekanan yang
abnormal pada jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan
(Harrison & Saputra, 2013). Pada kondisi gagal jantung kongestif adanya
peningkatan tekanan vaskular pulmonal akibat gagal jantung kiri
menyebabkan overload tekanan serta gagal jantung kanan (Aaronson &
Ward, 2010).
Gagal jantung merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas di seluruh dunia (Goodman & Gilman, 2011). Risiko terjadinya
gagal jantung semakin meningkat sepanjang waktu. Menurut data WHO
(2013), 17,3 juta orang meninggal akibat gangguan kardiovaskular pada
tahun 2008 dan lebih dari 23 juta orang akan meninggal setiap tahun
dengan gangguan kadiovaskular. Lebih dari 80% kematian akibat
gangguan kardiovaskular terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah
dan menengah (Yancy, 2013).
Penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan masalah
kesehatan masyarakat dan merupakan penyebab kematian tertinggi di
Indonesia (Depkes RI, 2009), maka perlu dilakukan pengendalian penyakit
jantung dan pembuluh darah secara berkesinambungan. Gagal jantung
merupakan kondisi akhir dari penyakit jantung dan pembuluh darah kronis
seperti hipertensi, diabetes mellitus, aritmia, infark miokard dan lain-lain.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN UMUM
Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa
darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan
terhadap nutrien dan oksigen. Mekanisme yang mendasar tentang gagal
jantung termasuk kerusakan sifat kontraktil dari jantung, yang mengarah
pada curah jantung kurang dari normal. Kondisi umum yang mendasari
termasuk aterosklerosis, hipertensi atrial, dan penyakit inflamasi atau
degeneratif otot jantung. Sejumlah faktor sistemik dapat menunjang
perkembangan dan keparahan dari gagal jantung. Peningkatan laju
metabolic (misalnya: demam, koma, tiroktoksikosis), hipoksia dan anemia
membutuhkan suatu peningkatan curah jantung untuk memenuhi
kebutuhan oksigen (Udjianti, 2010).
Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan
fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk
kebutuhan metabolisme jaringan dan kemampuannya hanya ada kalau
disertai peninggian volume diastolik secara abnormal (Mansjoer dan
Triyanti, 2007).
Gagal jantung adalah syndrom klinik dengan abnormalitas dari
struktur atau fungsi jantung sehingga mengakibatkan ketidakmampuan
jantung untuk memompa darah ke jaringan dalam memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh (Darmojo, 2004).
B. ETIOLOGI
Menurut Wajan Juni Udjianti (2010), etiologi gagal jantung
dikelompokkan berdasarkan faktor etiologi eksterna maupun interna,
yaitu:
1. Faktor eksterna
Meliputi hipertensi renal, hipertiroid, dan anemia kronik.
2. Faktor interna
a. Disfungsi katup:
Ventricular Septum Defect (VSD), Atria Septum Defect (ASD),
stenosis mitral, dan insufisiensi mitral.
b. Distritmia:
Atrial fibrilasi, ventrikel fibrilasi, dan heart block.
c. Kerusakan miokard:
Kardiomiopati, miokrditis, dan infark miokard.
d. Infeksi:
Endokarditis bacterial sub akut.
C. PATOFISIOLOGI
Jika terjadi gagal jantung, tubuh mengalami beberapa adaptasi baik
pada jantung dan secara sistemik. Jika stroke, volume kedua ventrikel
berkurang oleh karena penekanan kontraktilitas atau afterload yang sangat
meningkat, maka volume dan tekanan pada akhir diastolik dalam kedua
ruang jantung akan meningkat. Ini akan meningkatkan panjang serabut
miokardium akhir diastolik, menimbulkan waktu sistolik menjadi singkat.
Jika kondisi ini berlangsung lama, terjadi dilatasi ventrikel. Cardiac output
pada saat istirahat masih bisa baik, tapi peningkatan tekanan diastolik yang
berlangsung lama/kronik akan dijalarkan ke kedua atrium dan sirkulasi
pulmoner dan sirkulasi sitemik. Akhirnya tekanan kapiler akan meningkat
yang akan menyebabkan transudasi cairan dan timbul edema paru atau
edema sistemik. Penurunan cardiac output, terutama jika berkaitan dengan
penurunan tekanan arterial atau penurunan perfusi ginjal, akan
mengaktivasi beberapa sistem saraf dan humoral. Peningkatan aktivitas
sistem saraf simpatis akan memacu kontraksi miokardium, frekuensi
denyut jantung dan vena; perubahan yang terakhir ini akan meningkatkan
volume darah sentral yang selanjutnya meningkatkan preload. Meskipun
adaptasi-adaptasi ini dirancang untuk meningkatkan cardiac output,
adaptasi itu sendiri dapat mengganggu tubuh. Oleh karena itu, takikardi
dan peningkatan kontraktilitas miokardium dapat memacu terjadinya
iskemia pada pasien-pasien dengan penyakit arteri koroner sebelumnya
dan peningkatan preload dapat memperburuk kongesti pulmoner.
Aktivasi sistem saraf simpatis juga akan meningkatkan resistensi
perifer; adaptasi ini dirancang untuk mempertahankan perfusi ke organ–
organ vital, tetapi jika aktivasi ini sangat meningkatmalah akan
menurunkan aliran ke ginjal dan jaringan. Resitensi vaskuler perifer dapat
juga merupakan determinan utama afterload ventrikel, sehingga aktivitas
simpatis berlebihan dapat meningkatkan fungsi jantung itu sendiri. Salah
satu efek penting penurunan cardiac output adalah penurunan aliran darah
ginjal dan penurunan kecepatan filtrasi glomerolus, yang akan
menimbulkan retensi sodium dan cairan. Sitem rennin-angiotensin-
aldosteron juga akan teraktivasi, menimbulkan peningkatan resitensi
vaskuler perifer selanjutnta dan penigkatan afterload ventrikel kiri
sebagaimana retensi sodium dan cairan. Gagal jantung berhubungan
dengan peningkatan kadar arginin vasopresin dalam sirkulasi yang
meningkat, yang juga bersifat vasokontriktor dan penghambat ekskresi
cairan. Pada gagal jantung terjadi peningkatan peptida natriuretik atrial
akibat peningkatan tekanan atrium, yang menunjukan bahwa disini terjadi
resistensi terhadap efek natriuretik dan vasodilator.
D. PATHWAY

E. KLASIFIKASI GAGAL JANTUNG


New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi
fungsional dalam 4 kelas meliputi :
1. Kelas I : Bila pasien dapat melakukan aktifitas berat tanpa keluhan
2. Kelas II : Bila pasien tidak dapat melakukan aktifitas lebih berat
atau aktivitas sehari - hari
3. Kelas III : Bila pasien tidak dapat melakukan aktifitas sehari-hari
tanpa keluhan
4. Kelas IV : Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktifitas
apapun dan harus tirah baring (Mansjoer dan Triyanti, 2007)
F. MANIFESTASI KLINIK
1. Peningkatan volume intravaskular (gambaran dominan).
2. Kongesti jaringan.
3. Peningkatan desakan vena pulmonal (edema pulmonal) ditandai oleh
batuk dan sesak nafas.
4. Peningkatan desakan vena sistemik seperti yang terlihat pada edema
perifer umum dan penambahan berat badan.
5. Penurunan curah jantung dengan disertai pening, kekacauan mental,
keletihan, intoleransi jantung terhadap latihan, ekstremitas dingin dan
oliguria (Jayanthi Niken,2010).
G. KOMPLIKASI
1. Kematian
2. Edema pulmoner akut
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Dongoes (2000) pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosa CHF yaitu:
1. Elektro kardiogram (EKG)
Hipertropi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia,
disritmia, takikardi, fibrilasi atrial.
2. Skan jantung
Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan gerakan dinding.
3. Sonogram (ekocardiogram, ekokardiogram dopple)
Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam
fungsi/struktur katup, atau area penurunan kontraktili tas ventrikular.
4. Kateterisasi jantung
Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan
gagal jantung kanan dan gagal jantung kiri dan stenosis katup atau
insufisiensi.
5. Rongent dada
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan mencerminkan
dilatasi atau hipertropi bilik, atau perubahan dalam pembuluh darah
abnormal.
6. Enzim hepar
Meningkat dalam gagal/kongesti hepar.
7. Elektrolit
Mungkin berubah karena perpindahan cairan/penurunan fungsi ginjal,
terapi diuretik.
8. Oksimetri nadi
Saturasi Oksigen mungkin rendah terutama jika gagal jantung
kongestif akut menjadi kronis.
9. Analisa gas darah (AGD)
Gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkaliosis respiratori ringan (dini)
atau hipoksemia dengan peningkatan PCO2 (akhir).
10. Blood ureum nitrogen (BUN) dan kreatinin
Peningkatan BUN menunjukkan penurunan fungsi ginjal. Kenaikan
baik BUN dan kreatinin merupakan indikasi gagal ginjal.
11. Pemeriksaan tiroid
Peningkatan aktifitas tiroid menunjukkan hiperaktifitas tiroid sebagai
pre pencetus gagal jantung.
I. PENATALAKSANAAN MEDIK
1. Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan
konsumsi O2 melalui pembatsan aktifitas atau dengan istirahat
2. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung
a. Mengatasi keadaan yang reversible termasuk miksedema dan
aritmia
b. Digitalisasi
3. Koreksi sebab-sebab yang dapat diperbaiki, penyebab-penyebab
utama yang dapat diperbaiki adalah lesi katup jantung, iskemia
miokard, aritmia, depresi miokardium diinduksi alcohol, pirau
intrakardial dan keadaan output tinggi.
4. Diet dan aktivitas, pasien-pasien sebaiknya membatasi garam (2 gram
natrium atau 5 gram garam). Pada gagal jantung berat dengan
pembatasan aktifitas, tetapi bila pasien stabil dianjurkan peningkatan
aktifitas secara teratur.
5. Terapi beta bloker
6. Transplantasi jantung
7. Kardiomioplasti
J. TAHAPAN PERAWATAN PASIEN GAGAL JANTUNG
1. Fase manajemen penyakit kronis (NYHA I-III)
Tujuan perawatan termasuk pemantauan aktif, terapi yang efektif
untuk memperpanjang kelangsungan hidup, kontrol gejala Pendidikan
pasien dan pengasuh, dan didukung manajemen diri pasien, diberi
penjelasan yang jelas tentang kondisi mereka termasuk nama, etiologi,
pengobatan, dan prognosisnya. Pemantauan reguler dan peninjauan
yang tepat sesuai dengan pedoman nasional dan protokol lokal.
2. Fase perawatan suportif dan paliatif (NYHA I-III)
Penerimaan ke rumah sakit dapat menandai fase ini. Seorang
profesional kunci diidentifikasi di masyarakat untuk
mengkoordinasikan perawatan dan bekerjasama dengan spesialis
gagal jantung, perawatan paliatif, dan layanan lainnya. Tujuan
perawatan bergeser untuk mempertahankan kontrol gejala dan
terhadap kebutuhan pasien. Kesempatan untuk mendiskusikan
prognosis dan kemungkinan penyakit yang diderita secara lebih rinci
disediakan oleh para profesional. Termasuk rekomendasi untuk
menyelesaikan rencana perawatan lanjutan layanan di luar jam kerja
didokumentasikan dalam rencana perawatan.
3. Fase perawatan terminal
Indikator klinis termasuk, meskipun pengobatan maksimal, gangguan
ginjal, hipotensi, edema persisten, kelelahan, anoreksia. Pengobatan
gagal jantung untuk kontrol gejala dilanjutkan dan status resusitasi
diklarifikasi, didokumentasikan, dan dikomunikasikan kepada semua
penyedia perawatan. Jalur perawatan terpadu untuk orang yang
sekarat dapat diperkenalkan untuk menyusun perencanaan perawatan.
Peningkatan dukungan praktis dan emosional untuk pengasuh
disediakan, terus mendukung berkabung, penyediaan dan akses ke
tingkat yang sama, perawatan generalis dan spesialis untuk pasien di
semua pengaturan perawatan sesuai dengan kebutuhan mereka
(Jaarsma, 2009).
K. PERAWATAN PALIATIF GAGAL JANTUNG
1. Home Based Exercise Training (HBET)
Selama periode akut pasien dengan gagal jantung disarankan
untuk bed rest yang bertujuan untuk memperbaiki status
hemodinamik. Setelah fase akut terlewati, pasien berada pada fase
recovery. Pada fase ini, bed rest menjadi suatu saran yang
kontroversial karena dapat memicu menurunnya level toleransi
aktivitas dan memperberat gejala gagal jantung seperti sesak disertai
batuk. Semua otot perlu dilatih untuk mempertahankan kekuatannya
termasuk dalam hal ini adalah otot jantung (Suharsono, 2013). Pasien
gagal jantung biasanya berpikiran bahwa melakukan aktivitas
termasuk latihan fisik akan menyebabkan pasien dengan gagal jantung
sesak dan timbul kelelahan, sehingga mereka lebih memilih untuk bed
rest pada fase pemulihan. Oleh karena itu, pasien perlu untuk
diajarkan melakukan aktivitas secara bertahap dengan tujuan toleransi
aktivitas dapat meningkat pula.
Kondisi yang menyebabkan ketidakmampuan melakukan
aktivitas sehari-hari akan mengganggu rutinitas pasien. Akibatnya,
pasien kehilangan kemampuan fungsional. Pada pasien gagal jantung,
kapasitas fungsional sangat berkaitan erat dengan kualitas hidup
pasien. Kapasitas fungsional dapat ditingkatkan, salah satunya dengan
melakukan latihan fisik. Latihan ini meliputi: tipe, intensitas, durasi,
dan frekuensi tertentu sesuai dengan kondisi pasien(Suharsono, 2013).
Aktivitas dilakukan dengan melihat respon sepeti peningkatan nadi,
sesak napas dan kelelahan. Aktivitas akan melatih kekuatan otot
jantung sehingga gejala gagal jantung semakin minimal. Aktivitas ini
akan dapat dilakukan secara informal dan lebih efektif apabila
dirancang dalam program latihan fisik yang terstruktur (Nicholson,
2007). Aktivitas latihan fisik pada pasien dengan gagal jantung
bertujuan untuk mengoptimalkan kapasitas fisik tubuh, memberi
penyuluhan kepada pasien dan keluarga dalam mencegah perburukan
dan membantu pasien untuk dapat kembali beraktivitas fisik seperti
sebelum mengalami gangguan jantung (Arovah, 2010).
Home-based exercise training (HBET) dapat menjadi salah
satu pilihan latihan fisik dan alternatif solusi rendahnya partisipasi
pasien mengikuti latihan fisik. Pasien yang stabil dan dirawat dengan
baik dapat memulai program home based exercise training setelah
mengikuti tes latihan dasar dengan bimbingan dan instruksi. Tindak
lanjut yang sering dilakukan dapat membantu menilai manfaat
program latihan di rumah, menentukan masalah yang tidak terduga,
dan akan memungkinkan pasien untuk maju ke tingkat pengerahan
yang lebih tinggi jika tingkat kerja yang lebih rendah dapat ditoleransi
dengan baik (Piepolli, 2011). Menurut Suharsono (2013), intervensi
yang dilakukan berupa home based exercise training berupa jalan kaki
selama 30 menit, 3 kali dalam seminggu selama 4 minggu dengan
intensitas 40-60% heart rate reserve, dan peningkatan kapasitas
fungsional dilakukan dengan Six Minute Walk Test (6MWT).
2. Terapi penyekat beta sebagai Anti-Remodelling pada gagal jantung
Gagal jantung merupakan sindrom kompleks yang ditunjukkan
dengan gejala seperti sesak napas saat beraktivitas dan membaik saat
beristirahat, tanda retensi cairan berupa kongesti pulmoner, edema
ekstremitas, serta abnormalitas struktur dan fungsi jantung. Keadaan
tersebut berhubungan dengan penurunan fungsi pompa jantung.
Penurunan fungsi pompa jantung dapat terjadi akibat infark miokard,
hipertensi kronis, dan kardiomiopati. Dalam hal ini, jantung
mengalami remodelling sel melalui berbagai mekanisme biokimiawi
yang kompleks dan akhirnya menurunkan fungsi jantung. Metroprolol
merupakan salah satu jenis beta blocker yang berfungsi meningkatkan
fungsi jantung dengan menghambat remodelling pada jantung.
Metoprolol secara signifikan meningkatkan fungsi ventrikel dosis
tinggi 200 mg (n=48) sebagai terapi anti remodeling, terbukti dengan
penurunan LVESV 14 mL/m2 dan peningkatan EF sebanyak 6%
(Amin, 2015).
Berdasarkan pedoman tatalaksana gagal jantung oleh Siswanto
dkk (2015) bahwa penyekat β harus diberikan pada semua pasien
gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%.
Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,
mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung,
dan meningkatkan kelangsungan hidup. Indikasi pemberian penyekat
β yaitu:
a. Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%
b. Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
c. ACEI/ARB dan antagonis aldosteron jika indikasi sudah diberikan
d. Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak
ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan
berat).
Sedangkan kontraindikasi pemberian penyekat β yaitu:
a. Asma
b. Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit
(tanpa pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi <
50x/menit)
Cara pemberian penyekat β pada gagal jantung yaitu:
a. Inisiasi pemberian penyekat β.
b. Penyekat β dapat dimulai sebelum pulang dari rumah sakit pada
pasien dekompensasi secara hati-hati.
c. Naikan dosis secara titrasi.
d. Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu.
Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan gagal jantung,
hipotensi simtomatik atau bradikardi (nadi < 50 x/menit)
e. Jika tidak ada masalah diatas, gandakan dosis penyekat β sampai
dosis target atau dosis maksimal yang dapat di toleransi
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian
penyekat β adalah:
a. Hipotensi simtomatik
b. Perburukan gagal jantung
c. Bradikardia
3. Pengaruh latihan nafas dalam terhadap sensitivitas barofleks arteri
Penyakit gagal jantung dapat mengakibatkan berbagai
kerusakan yang berdampak pada kualitas hidup klien. Salah satu
kerusakan yang terjadi adalah kerusakan pada baroreflek arteri.
Baroreflek arteri merupakan mekanisme dasar yang terlibat dalam
pengaturan tekanan darah. Hasil penerapan evidance based nursing,
latihan nafas dalam dapat memberikan pengaruh terhadap sensitivitas
barorefleks. Hasil setelah diberikan intervensi selama seminggu
terdapat peningkatan tekanan darah sistolik dari 80 mmHg menjadi
100 mmHg, nilai denyut nadi mengalami penurunan dari 88 kali/menit
menjadi 80 kali/menit dan pada frekuensi pernafasan terjadi
penurunan dari 24 kali/menit menjadi 18 kali/menit.
Sensitivitas baroreflek dapat ditingkatkan secara signifikan
dengan bernafas lambat. Halini menunjukkan adanya hubungan
peningkatan aktivitas vagal dan penurunan simpatis yang dapat
menurunkan denyut nadidan tekanan darah. Penurunan tekanan darah
dan reflek kemoresptor juga dapat teramatiselama menghirup nafas
secara lambat dandalam. Metode latihan relaksasi nafas dalam adalah
dalam sistem saraf manusia terdapat sistem saraf pusat dan sistem
saraf otonom. Fungsi sistem saraf pusat adalah mengendalikangerakan
yang dikehendaki, misalnya gerakantangan, kaki, leher, dan jari-jari.
Sistem saraf otonom berfungsi mengendalikan gerakan yang otomatis
misalnya fungsi digestif dan kardiovaskuler. Sistem saraf otonom
terdiridari dua sistem yang kerjanya salingberlawanan yaitu saraf
simpatis dan saraf parasimpatis. Saraf simpatis bekerja meningkatkan
rangsangan atau memacu organ-organ tubuh meningkatkan denyut
jantung danpernapasan serta menimbulkan penyempitan pembuluh
darah perifer dan pembesaranpembuluh pusat. Saraf parasimpatis
bekerja menstimulasi naiknya semua fungsi yangditurunkan oleh saraf
simpatis. Pada waktu orang mengalami ketegangan dan kecemasan
yang bekerja adalah sistem saraf simpatis sehingga denyut jantung,
tekanan darah, jumlah pernafasan, aliran darah keotot sering
meningkat (Balady, 2007).
L. PERAN PERAWAT DALAM PENATALAKSAAN PALIATIF
1. Praktik klinik
Perawat memanfaatkan pengalamannya dalam mengkaji dan
mengevaluasi keluhan serta nyeri. Perawat dan anggota tim berbagai
keilmuan mengembangkan dan mengimplementasikan rencana
perawatan secara menyeluruh. Perawat mengidentifikasikan
pendekatan baru untuk mengatasi nyeri yang dikembangkan
berdasarkan standar perawatan di rumah sakit untuk melaksanakan
tindakan. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan keperawatan, maka
keluhan sindroma nyeri yang kompleks dapat perawat praktekkan
dengan melakukan pengukuran tingkat kenyamanan disertai dengan
memanfaatkan inovasi, etik dan berdasarkan keilmuannya.
2. Pendidik
Perawatan memfasilitasi filosofi yang kompleks, etik dan diskusi
tentang penatalaksanaan keperawatan di klinik, mengkaji pasien dan
keluarganya serta semua anggota tim menerima hasil yang positif.
Perawat memperlihatkan dasar keilmuan atau pendidikannya yang
meliputi mengatasi nyeri neuropatik, berperan mengatasi konflik
profesi, mencegah dukacita, dan resiko kehilangan. Perawat pendidik
dengan tim lainnya seperti komite dan ahli farmasi, berdasarkan
pedoman dari tim perawatan paliatif maka memberikan perawatan
yang berbeda dan khusus dalam menggunakan obat-obatan intravena
untuk mengatasi nyeri neuropatik yang tidak mudah diatasi.
3. Peneliti
Perawat menghasilkan ilmu pengetahuan baru melalui pertanyaan-
pertanyaan penelitian dan memulai pendekatan baru yang ditunjukkan
pada pertanyaan-pertanyaan penelitian. Perawat dapat meneliti dan
terintegrasi pada penelitian perawatan paliatif.
4. Kolaborasi
Perawat sebagai penasihat anggota atau staf dalam mengkaji bio-
psiko-sosial-spiritual dan penatalaksanaannya. Perawat membangun
dan mempertahankan hubungan kolaborasi dan mengidentifikasi
sumber dan kesempatan bekerja dengan tim perawatan paliatif,
perawat memfasilitasi dalam mengembangkan dan
mengimplementasikan anggota dalam pelayanan, kolaborasi perawat
atau dokter dan komite penasihat. Perawat memperlihatkan nilai-nilai
kolaborasi dengan pasien dan keluarganya dengan tim antar disiplin
ilmu, dan tim kesehatan lainnya dalam memfasilitasi kemungkinan
hasil terbaik.
5. Penasihat
Perawat berkolaborasi dan berdiskusi dengan dokter, tim perawatan
paliatif dan komite untuk menentukan tindakan yang sesuai dalam
pertemuan atau rapat tentang kebutuhan kebutuhan pasien dan
keluarganya. Dalam memahami peran perawat dalam proses
penatalaksanaan perawatan paliatif sangat penting untuk mengetahui
proses asuhan keperawatan dalam perawatan paliatif.
M. ASUHAN KEPERAWATAN
Tn. S berumur 70 tahun dirawat di Rumah Sakit Margono Soekarjo
dengan diagnosa medis Gagal Jantung dan sudah dirawat di RS selama 1
minggu. Pasien belum pernah di rawat di RS. Dari hasil pengkajian pasien
mengatakan sesak nafas, kepala sering pusing, jantung berdebar, nyeri
dada sebelah kiri, nafsu makan menurun. Pemeriksaan fisik didapatkan
hasil TD: 140/100mmHG, N: 150x/m, RR: 28x/m, S: 36,5 oC. GCS
E4M6V5. Pasien tampak lemah dan gelisah, berkeringat banyak,
menggunakan otot bantu nafas dengan infuse RL 20 tpm dan terapi O 2
binasal kanul 5 liter.
1. PENGKAJIAN
a. Biodata
1) Identitas pasien
a) Nama : Tn. S
b) Umur : 70 tahun
c) Jenis kelamin : Laki-laki
d) Agama : Islam
e) Suku/Bangsa : Bugis/Indonesia
f) Kawin/Belum : Kawin
g) Pendidikan : SMK
h) Pekerjaan : Buruh
i) Alamat : Berkoh
2) Identitas penanggung jawab
a) Nama : Ny. T
b) Umur : 65 tahun
c) Jenis kelamin : Perempuan
d) Agama : Islam
e) Suku/Bangsa : Bugis/Indonesia
f) Kawin/Belum : Kawin
g) Pendidikan : SLTA
h) Pekerjaan : Wiraswasta
i) Hubungan : Istri
b. Keluhan utama
Sesak nafas
c. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke RS pada tanggal 17 November 2019 dengan
keluhan sesak nafas, kepala sering pusing, jantung berdebar, nyeri
dada sebelah kiri, nafsu makan menurun. Pemeriksaan fisik
didapatkan hasil TD: 140/100mmHG, N: 150x/m, RR: 28x/m, S:
36,5oC. GCS E4M6V5. Klien tampak lemah dan gelisah,
berkeringat banyak, menggunakan otot bantu nafas dengan infuse
RL 20 tpm dan terapi O2 binasal kanul 5 liter.
d. Riwayat kesehatan masa lalu
Pasien pernah dirawat di ICU RSMS dengan keluhan yang sama
pada 2012. Pasien mengatakan 2 minggu lalu mempunyai bengkak
pada kedua kaki. Dan selalu memeriksakan penyakitnya ke faskes.
Pasien punya riwayat asam urat dan pernah merokok namun
sekarang sudah berhenti.
e. Riwayat kesehatan Keluarga
Pasien mengatakan dari orang tua tidak ada yang menderita
penyakit yang sama atau turunan.
f. Riwayat psikososial
1) Bahasa yang digunakan
Pasien menggunakan Bahasa Indonesia dan Jawa
2) Persepsi pasien tentang penyakitnya
Pasien mengatakan cemas dengan penyakitnya karena tidak
kunjung sembuh dan semakin parah
3) Konsep diri
a) Body image
Pasien menerima kondisinya saat ini dan bersyukur kepada
Tuhan karena telah diberi umur panjang.
b) Ideal diri
Pasien berkeinginan agar anak-anaknya menjadi orang yang
sukses dan memiliki pekerjaan yang mapan.
c) Harga diri
Pasien merasa dihargai dan dihormati oleh keluarganya.
d) Peran diri
Pasien berperan sebagai seorang bapak
e) Personal identity
Pasien adalah seorang Laki-laki sekaligus Bapak yang
memiliki 4 orang anak
4) Keadaan emosi
Keadaan emosi pasien labil, pasien kadang merasa cemas karena
kondisinya.
5) Perhatian terhadap orang lain / lawan bicara
Pasien merespon lawan bicaranya
6) Hubungan dengan keluarga
Hubungan pasien dengan keluarga sangat baik, pasien selalu
menceritakan setiap kejadian kepada keluarganya
7) Hubungan dengan saudara
Hubungan pasien dengan saudara baik-baik saja
8) Kegemaran / hobby
Pasien memiliki hobi membaca koran
g. Pola kebiasaan sehari-hari
1) Nutrisi
a) Kebiasaan
 Pola makan : Nasi, lauk, sayur-sayuran
 Frekuensi makan : 3 x sehari
 Nafsu makan : Baik
 Makanan pantang : tinggi garam
 Minum dalam sehari : 8 gelas/hari
b) Selama di rumah sakit
 Pola makan : makanan tambahan mengandung K
 Frekuensi makan : 3 x sehari
 Makanan pantang : tinggi garam
 Minum dalam sehari : 5-6 gelas/hari
2) Eliminasi
a) Buang air kecil
 Kebiasaan
o Frekuensi : 5-6 x/hari
o Warna : Kuning
o Bau : Pesing
 Perubahan selama di Rumah sakit
o Frekuensi 4-5 kali/hari, BAK sering dimalam hari
o Karasteristik warna urine klien gelap bau khas

b) Buang air besar


 Kebiasaan
o Frekuensi : 1 x/sehari
o Warna : Kuning
o Konsistensi : Keras
 Perubahan selama di RS
o Frekuensi : 1 x dalam 3 hari
o Konsistensi : Lembek.
3) Olah raga dan aktivitas
a) Klien tidak suka olah raga
b) Klien tidak mampu melakukan aktifitas dan merasa nyeri pada
bagian dada
Aktivitas 0 1 2 3 4
Makan 
Toileting 
Berpakaian 
Mobilisasi 
ditempat tidur
Berpindah 
Ambulasi 
Keterangan
0 : mandiri
1 : dibantu sebagian
2 : dibantu orang lain
3 : dibantu orang lain dan alat
4 : ketergantungan total
4) Istirahat dan tidur
a) Kebiasaan :
 Tidur malam jam 21.00 bangun jam 05.00
 Tidur siang jam 14.00 bangun jam 15.00
 Klien tidak mudah terbangun.
b) Perubahan selama di rumah sakit :
 Tidur malam kadang-kadang jam 23.00 bangun jam 05.00
 Klien sulit tidur karena cemas dan takut
5) Personal hygiene
a) Kebiasaan :
 Mandi 2 x sehari.
 Menyikat gigi 2 x sehari
 Mencuci rambut 2 x seminggu memakai shampoo
b) Selama di rumah sakit
 Mandi 2 kali sehari diseka ditempat tidur, ganti baju di
bantu keluarga/perawat
h. Pemeriksaan fisik
1) BB : 60kg, TB : 175cm
2) Kesadaran : Composmentis
3) Tanda-tanda vital
TD: 140/100 mmHg, N: 105 x/menit, S: 37oC, RR: 28 x/menit
4) Kepala
Meshochepal, tidak ada lesi/edema, rambut beruban
5) Kulit
Warna kulit pucat, konjungtifa an anemis, punggung kuku pucat,
CRT<2 detik.
6) Mata
Konjungtifa an anemis, ikterik, bentuk simetris
7) Hidung
Simetris, tidak ada polip, tidak ada cuping hidung
8) Telinga
Sejajar, tidak ada serumen
9) Rongga mulut
Mulut tampak kotor, tidak ada karies, bibir tidak sianosis
10) Leher
Tidak ada pembesaran kelenjar thyroid dan JVP
11) Thoraks dan paru
Inspeksi:
a) Bentuk dada normal chest/simetris kiri dan kanan
b) Menggunakan otot bantu pernafasan
c) Tidak ada lesi
Perkusi:
Terdengar suara sonor
Palpasi:
a) Tidak teraba adanya massa atau benjolan
b) Tidak ada edema paru
Auskultasi:
a) Terdengar ronkhi
b) RR 28x/m
12) Jantung
Inspeksi:
Ictus cordis pada ics ke 2-4
Auskultasi:
S1 dan S2 irreguler
Perkusi:
Bunyi redup
Palpasi:
Ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran
13) Abdomen
Inspeksi:
Tidak ada lesi, tidak ada edema, dan datar
Auskultasi:
Bising usus 16x/m
Perkusi:
Bunyi tympani : Pada kwadran kiri atas, bawah, sisi kanan atas
bunyi pekak.
Palpasi:
a) Tidak teraba adanya massa/benjolan
b) Hati dan lympa tidak teraba
c) Tidak ada nyeri tekan pada abdomen
14) Ekstremitas
a) Ekstrimitas atas
Tangan kanan terpasang infuse RL 20 tpm
b) Ekstremitas bawah
Terpasang DC nomor 16
i. Harapan klien/ keluarga sehubungan dengan penyakit
Keluarga dan klien berharap bahwa klien akan mendapatkan
pelayanan yang baik dan akan segera sembuh
2. ANALISA DATA

No. Data Fokus Problem Etiologi

1. DS: pasien mengatakan Ketidakefektifan Hiperventilasi


sesak nafas dan batuk pola nafas
berdahak sudah 1
mingguan

DO: pasien tampak sesak


nafas, gelisah, lemah,
menggunakan otot bantu
nafas, suara nafas ronkhi.

TTV: TD 140/100
mmHG, N 150x/m, RR
28x/m, S 36,5oC.
2. DS: pasien mengatakan Penurunan Perubahan
jantung berdebar, kepala curah jantung irama jantung
pusing
DO: pasien tampak
gelisah dan lemah,
gambaran EKG
didapatkan irama ireguler,
HR 150x/m
TTV: TD 140/100
mmHG, N 150x/m, RR
28x/m, S 36,5oC.

3. DS: pasien mengatakan Nyeri kronis Gangguan


nyeri dada sebelah kiri iskemik
menjalar ke punggung (P:
dirasakan tiba-tiba, Q:
seperti disayat, R: nyeri
pada dada kiri menjalar
ke belakang punggung, S:
skala 5, T: timbul tiba-
tiba)

DO: pasien tampak


menahan nyeri, gelisah,
lemah, dan berkeringat
banyak.

TTV: TD 140/100
mmHG, N 150x/m, RR
28x/m, S 36,5oC.

3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Ketidakefektifan pola nafas b.d hiperventilasi
b. Penurunan curah jantung b.d perubahan irama jantung
c. Nyeri kronis b.d gangguan iskemik
4. INTERVENSI

Dx NOC NIC

1. Setelah dilakukan tindakan Manajemen jalan nafas


keperawatan 2x24 jam 1. Buka jalan nafas
diharapkan ketidakefektifan 2. Posisikan pasien untuk
pola nafas berkurang dengan memaksimalkan ventilasi
kriteria hasil: 3. Lakukan auskultasi suara
Status pernafasan nafas
1. Frekuensi pernafasan (5) 4. Posisikan pasien untuk
2. Irama pernafasan (5) meringankan sesak nafas
3. Kepatenan jalan nafas (5) Monitor pernafasan
4. Saturasi oksigen (5) 1. Monitor kecepatan, irama,
Status pernafasan kedalaman, dan kesulitan
(pertukaran gas) bernafas.
1. Dispnea saat istirahat (5) 2. Monitor suara nafas
2. Tekanan parsial O2 di tambahan seperti
arteri PaO2 (5) ngorok/mengik.
3. Tekanan parsial CO2 di 3. Monitor pola nafas.
darah arteri PaO2 (5) 4. Monitor saturasi oksigen
4. Saturasi oksigen (5) Monitor TTV
1. Monitor TTV
2. Auskultasi tekanan darah di
kedua nadi dan bandingkan
3. Monitor keberadaan dan
kualitas nadi
4. Monitor irama dan tekanan
jantung.
2. Setelah dilakukan tindakan Manajemen asam basa
keperawatan 2x24 jam 1. Pertahankan kepatenan
diharapkan penurunan curah jalan nafas.
jantung berkurang dengan 2. Posisikan klien untuk
kriteria hasil: mendapatkan ventilasi yang
Tanda-tanda vital adekuat.
1. Suhu tubuh (5) 3. Monitor kecenderungan pH
2. Denyut jantung apikal (5) arteri, PaCO2, HCO3, dalam
3. Tekanan darah sistolik (5) rangka mempetimbangkan
4. Tekanan darah diastolik jenis ketidakseimbangan
(5) yang terjadi.
5. Irama jantung apikal (5) Perawatan jantung
Keefektifan pompa jantung 1. Instruksikan pasien tentang
1. Tekanan darah sistolik (5) pentingnya untuk segera
2. Tekanan darah diastolik melaporkan jika merasakan
(5) nyeri dada
3. Suara jantung abnormal 2. Monitor EKG
(5) 3. Monitor TTV
4. Intoleransi aktivitas (5) 4. Monitor status pernafasan
terkait kondisi gagal
jantung.
5. Monitor sesak nafas,
kelelahan
3. Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri
keperawatan 2x24 jam 1. Lakukan pengkajian nyeri
diharapkan nyeri kronis dengan komprehensif
kriteria hasil: 2. Observasi petunjuk
Kontrol nyeri nonverbal mengenai
1. Mengenali kapan nyeri ketidaknyamanan
terjadi (5) 3. Gali bersama pasien faktor-
2. Melaporkan faktor faktor yang dapat
penyebab (5) menurunkan/memperberat
3. Melaporkan perubahan nyeri
terhadap gejala nyeri pada 4. Lakukan teknik
profesional kesehatan (5) nonfarmakologis
Tingkat nyeri Sentuhan terapeutik
1. Nyeri dilaporkan (5) 1. Ciptakan lingkungan yang
2. Panjangnya episode nyeri nyaman
(5) 2. Tentukan kesediaan untuk
3. Mengerang/menangis (5) merasakan intervensi
Status kenyamanan 3. Tempatkan pasien pada
1. Kesejahteraan fisik (5) posisi yang nyaman
2. Kesejahteraan psikologis
(5)
3. Dukungan social dan
keluarga (5)
4. Hubungan sosial (5)
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan
fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk
kebutuhan metabolisme jaringan dan0 kmampuannya hanya ada kalau
disrtai peninggian volume diastolk secara abnormal.
Penyebab gagal jantung ada dua yaitu faktor ekternal dan internal.
Terdapat tiga aspek penting dalam menaggulangi gagal jantung yaitu
pengobatan terhadap penyakit yang mendasari dan pengobatan faktor
pencetus.
Ada banyak sekali mafestasi klinik diantaranya Peningkatan
volume intravaskular (gambaran dominan) kongesti jaringan peningkatan,
desakan vena pulmonal (edema pulmonal) ditandai oleh batuk dan sesak
nafas,. peningkatan desakan vena sistemik seperti yang terlihat pada
edema perifer umum dan penambahan berat badan.
B. SARAN
Setelah membaca makalah ini diharapkan mahasiswa dapat
mengaplikasikan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Gagal Jantung
dengan tepat sehingga dapat mencegah terjadinya kegawatdaruratan dan
komplikasi yang tidak diinginkan

DAFTAR PUSTAKA

Ardini, Desta N. 2007. Perbedaaan Etiologi Gagal jantung Kongestif pada


Usia Lanjut dengan Usia Dewasa Di Rumah Sakit Dr. Kariadi Januari -
Desember 2006. Semarang: UNDIP
Arovah, N. I. (2010). Program Latihan Fisik Rehabilitatif pada Penderita
Gagal Jantung. Medikora (Jurnal Ilmiah Kesehatan Olahraga), Vol. 6,
No. 1, 11-22.
Balady, G. (2007). Core Components of cardiac rehabilitation/secondary
prevetion programs. Corculation AHA, 115.
Jayanti, N. 2010. Gagal Jantung Kongestif. Dimuat dalam
http://rentalhikari.wordpress.com/2010/03/22/lp-gagal-jantung-
kongestif/ (diakses pada 6 Februari 2012)
Johnson, M.,et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta:
Media Aesculapius
Mc Closkey, C.J., Iet all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC)
Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Nicholson, C. (2007). Heart Failure, A Clinical Nursing Handbook. John
Willey & Sons.
Piepolli, M. F. (2011). Exercise training in heart failure: from theory to
practice. A consensus document of the Heart Failure Association and
the European Association for Cardiovascular Prevention and
Rehabilitation. European Journal of Heart Failure, Volume 13, Issue 4,
347-357.
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006.
Jakarta: Prima Medika
Suharsono, T. d. (2013). Dampak Home Based Exercise Training terhadap
Kapasitas. Jurnal Keperawatan, Volume 1, No. 1, 12-18.
Udjianti, Wajan J. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba
medika

Anda mungkin juga menyukai