Anda di halaman 1dari 11

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Sejarah jurnalis pada masa Romawi
Sebelum Allah SWT menurunkan banjir yang sangat hebat pada
kaum yang kafir, maka datanglah malaikat utusan Allah SWT kepada
Nabi Nuh agara ia memberitahukan cara membuat kapal sampai selesai.
Kapal itu cukup untuk dipergunakan sebagai alat evakuasi oleh Nabi
Nuh beserta sanak keluarganya yang sholeh dan segala macam hewan
masing-masing satu pasang. Tidak lama kemudian, seusainya Nuh
membuat kapal, hujan lebat pun turun berhari-hari tiada hentinya.
Demikian pula angina dan badai tiada pula ketinggalan, menghancurkan
segala apa yang ada di dunia, kecuali kapal Nuh ini. Dunia pun dengan
cepat menjadi lautan yang sangat luas. Saat itu Nuh dengan orang-orang
yang beriman serta hewan yang telah naik ke dalam kapal, dan berlayar
dengan selamat diatas gelombang lautan banjir yang sangat dahsyat itu.
Guna memenihi keperluan atau keinginan para penumpang
kapalnya itu Nuh mengutus seekor burung dara keluar kapal untuk
meneliti keadaan air dan kemungkinan adanya makanan. Setelah
beberapa lama burung itu terbang mengamati keadaan air, dan kian
kemari mencari makanan, tetapi sia-sia belaka. Burung dara itu hanya
melihat daun dan ranting pohon zaitun (olijf) yang tampak muncul ke
permukaan air. Ranting itu pun dipatuknya dan dibawa pulang ke kapal.
Atas datangnya kembali burung itu dengan membawa ranting zaitun
tadi, Nuh dapat mengambil kesimpulan bahwa air bah sudah mulai surut,
namun seluruh permukaan bumi masih tertutup air, sehingga burung
dara itu tidak menemukan tempat untuk istirahat. Demikianlah kabar
tersebut disampaikan kepada seluruh anggota penumpangnya.
Atas dasar fakta tersebut, para ahli sejarah menamakan Nabi Nuh
sebagai seorang pencari dan penyiar kabar (wartawan) yang pertama di
dunia dan sesungguhnya kantor berita yang pertama di dunia itu adalah
kapal Nuh. Produk pertama jurnalistik dalam bentuk newsheet yang
bersirkulasi di Roma, namakan Acta Diurna. Harian yang terbit pada
abad ke-5 SM, yang digantungkan di alun-alun kota,ini merekam segala
kejadian sosial dan politik.

2.2 Sejarah jurnalis pada masa penjajahan


Di Indonesia aktivitas jurnalistik dapat dilacak jauh ke belakang
sejak zaman penjajahan Belanda. Menurut guru saya di Indonesia
jurnalistik pers mulai dikenal pada abad 18. Tepatnya 1744, ketika
sebuah surat kabar bernama Bataviasche Nouvelles diterbitkan dengan
penguasaan orang-orang Belanda. Pada 1776, juga di Jakarta, terbit surat
kabar Vendu News yang mengutamakan diri pada berita pelelangan.
Menginjak abad 19, terbit berbagai surat kabar lainnya yang
kesemuanya masih dikelola oleh orang-orang Belanda untuk para
pembaca orang Belanda atau bangsa pribumi yang mengerti bahasa
Belanda pada umumnya merupakan kelompok kecil saja. Jurnalistik
koran-koran Belanda ini jelas membawakan suara pemerintahan kolonial
Belanda. Sedangkan surat kabar pertama sebagai bacaan untuk kaum
pribumi dimulai pada 1854 ketika majalah Bianglala diterbitkan, disusul
oleh Bromartani pada 1885, keduanya di Weltevreden, dan pada 1856
terbit Soerat Kabar Bahasa Melajoe di Surabaya (Effendy, 2003:104).
Sejarah jurnalistik pers pada abad 20 menurut guru besar
Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung itu, ditandai dengan
munculnya surat kabar pertama milik bangsa Indonesia. Namanya
Medan Prijaji, terbit di Bandung. Surat kabat ini diterbitkan dengan
modal dari bangsa Indonesia untuk bangsa Indonesia. Medan Prijaji
yang dimiliki dan dikelola oleh Tirto Hadisurjo, alias Raden Mas
Djokomono ini pada mulanya 1907, berbentuk mingguan. Baru tiga
tahun kemudian berubah menjadi harian. Tirto Hadisurjo inilah yang
dianggsp pelapor yang meletakkan dasar-dasar jurnalistik modern di
Indonesia baik dalam cara pemberitaan maupun dalam cara pemuatan
karangan dan iklan (Effendy, 2003: 104-105).
2.3 Sejarah jurnalistik pada masa orde lama
Pada awal kemerdekaan bisa dikatakan merupakan masa-masa
bulan madu wartawan dan struktur. Keduanya mempunyai tujuan yang
sama yaitu bagaimana mencegah intervensi asing ke Indonesia seperti
agresi Belanda I dan agresi Belanda II, serta mengobarkan semangat
mempertahankan kemerdekaan pada masyarakat. Tulisan wartawan
mendorong masyarakat, strukrur berjuang mempertahankan
kemerdekaan. Tulisan wartawan di media-media pribumi menjadi
counter isu atas propaganda Sekutu yang ingin menguasai lagi
Indonesia. Hal ini tentu berdampak pada wartawan serta institusi
tempatnya bekerja. Salah satu contohnya Idroes Nawawi, RA Hakky,
Kahman Thalib, BM Diah Herawati ditahan tentara Nica. Ketika
persoalan membendung intervensi asing yang akan masuk ke Indonesia
sudah tidak lagi menjadi isu utama, wartawan tetap aktif merespon
struktur terutama terkait dengan penyalahgunaan wewenang, sikap
otoriter struktur di semua level kehidupan sosial politik, serta perilaku
yang menyimpang dari norma dan tata kesusilaan.
Ketika ranah ini menjadi fokus yang direspon wartawan, maka relasi
yang harmonis antara wartawan dan struktur mulai retak. Struktur yang
mulai kuat menggunakan legitimasi dan wewenangnya untuk melakukan
represi terhadap wartawan dan media tempatnya bekerja. Pada masa
Orde Lama wartawan senior yang tulisannya serimgkali direspon
struktur adalah wartawan Indonesia Raya Mochtar Lubis. Kekritisannya
dalam menghadapi struktur kuasa di era Orde Lama menyebabkan ia
sering di penjara oleh penguasa. Kesanggupan Mochar Lubis untuk
dikenai tahanan rumah atau dipenjara demi prinsipnya pers
menyebabkan wartawan generasi dibawahnya menujuliki sebagai
penjelmaan jihad untuk kemerdekaan pers (Atmakusumah, 1992). Ia
menyebut Mochtar Lubis memberikan sumbangan bermakna bagi
pembangunan adab dan pembentukan sistem politik di Indonesia. Kajian
tentang hal ini bisa dilacak dari penelitian David T Hill (2010)
melakukan kajian terhadap wartawan senior Mochtar Lubis, mencoba
melihat sepak terjang Mochtar Lubis sebagai wartawan sekaligus
sebagai pimpinan redaksi Harian Indonesia Raya.
Mantan wartawan Indonesia Raya yang sampai saat ini masih aktif
menulis yaitu Atmakusumah Astraatmadja mengemukakan, Mochtar
Lubis memberikan ruang gerak yang luas kepada wartawan untuk
menuliskan fakta dan peristiwa di masyarakat. Wartawan dituntut untuk
selalu kritis apapun kondisinya,” Atmakusumah (wawancara, di Jakarta,
19 April 2016) Kekritisan wartawan dalam menyoroti kebijakan
pemerintah Orde Lama juga bisa dilihat dalam tulisan wartawan hasil
wawancara dengan Bung Tomo yang dimuat dalam surat kabar DAG
Bladvoor Zeuid Sumatera (1 Juni 1950) yang menyoroti industri yang
tidak efisien serta korupsi dengan judul “Het Kolonialism onder de eigen
mensen”. Salah satu kutipan tulisan wartawan “….de nationalastie der
bedrijven kan hij niet goodkeuren, sangezien industrie in
regeringshanden minder efficient werkt en de corruptie in de hand werkt,
waardoor geen winat ult deze bedrijven is te verwachten….” Pada masa
demokrasi terpimpin bisa dikatakan sebagai periode hitam bagi
wartawan dan pers di Indonesia. Wartawan dan pers tempatnya bekerja
dijadikan alat untuk mendukung ideologi penguasa, bisa dicermasi
dikeluarkannya regulasi yaitu Pedoman Penguasa Perang Tertinggi
untuk pers Indonesia tanggal 12 Oktober 1960 (Akhmad Zaini Akbar
1995). Bahkan surat kabar harus berafiliasi pada partai politik tertentu,
misalnya Duta Masyarakat (Nadathul Ulama), Abadi (Masyumi), Suluh
Indonesia (PNI) dan lainnya. Situasi sosial politik yang semakin
mempersempit gerak wartawan selaku agensi untuk merespon perilaku
struktur menyebabkan wartawan harus memiliki siasat atau taktik ketika
berhadapan dengan struktur. Contohlah, Rosihan Anwar ia merespon
perilaku struktur tidak ada hubungannya dengan kebijakan politiknya,
tetapi perilaku struktur yang dinilai kurang tepat.
Rosihan Anwar menulis di harian Pedoman tentang perilaku Presiden
Soekarno yang akan menikahi Hartini, kritikannya tidak dikehendaki
Soekarno sehingga harian Pedoman ditutup untuk selama-lamanya
(Priyambodo (ed), 2013). Kejatuhan Soekarno tidak bisa dikatakan
disebabkan tulisan wartawan karena respon wartawan sebagai agensi
terhadap struktur bukan untuk menggulingkan. Namun tulisan itu,
wartawan membuka cara berpikir masyarakat untuk melihat ada yang
kurang tepat dari struktur dalam membuat kebijakan untuk kepentingan
publik.
Para pejuang kemerdekaan Indonesia menggunakan pers sebagai alat
perjuangan. Pada era itu lahir juga Bintang Timur, Bintang Barat, dan
Java Bode. Pada masa pendudukan Jepang, koran-koran yang terbit
zaman Belanda dilarang. Walaupun begitu, terdapat juga lima koran
yang mendapat izin terbit, yakni Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar
Matahari, dan Suara Asia.
Sejarah lahirnya pers di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah
lahirnya idealisme perjuangan bangsa mencapai kemerdekaan. Di zaman
revolsi fisik, lebih terasa lagi betapa pentingnya peranan dan eksistensi
pers sebagai alat perjuangan. Pada 9 Februari 1946, insan pers Indonesia
memperoleh wadah dengan terbentuknya organisasi Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI). Kemudian, 8 Juni 1946, tokoh-tokoh pers
nasional mendirikan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) di Yogyakarta.
Sebenarnya, menurut catatan Tribuana Said (2009), SPS telah lahir jauh
sebelum 6 Juni 1946, tepatnya empat bulan sebelumnya bersamaan
dengan lahirnya PWI di Surakarta tanggal 9 Februari 1946. Karena
peristiwa itulah orang mengibaratkan kelahiran PWI dan SPS sebagai
“kembar siam”. Kemerdekaan Indonesia mendorong makin pesatnya
perkembangan pers di Indonesia. Pemerintah Indonesia mendirikan
Radio Republik Indonesia sebagai media penyiaran. Menjelang
penyelenggaraan Asian Games IV, Pemerintah Indonesia memasukkan
proyek televisi. Sejak tahun 1962, Televisi Republik Indonesia muncul
dengan teknologi layar hitam putih.
1 Oktober 1965, Panglima Daerah Militer Jakarta Raya, Jenderal Umar
Wirahadikusumah, mengizinkan dua harian ABRI untuk terbitan., yaitu
harian Berita Yudha pimpinan Kepala Pusat Penerangan AD
Ibnusubroto bersama wartawan asal harian Berita Indonesia dipimpin
S.H. Wibowo dan Angkatan Bersenjata yang dipimpin Kepala Pusat
Penerangan ABRI Sugandhi. Terbit juga harian Duta Masyarakat
pimpinan H. Mahbub Djunaidi dan Duta Revolusi (keduanya mdia NU),
Kompas pimpinan PK Ojong dan Jakob Oetama (didukung Partai
Katolik), dan Sinar Harapan pimpinan ICT Simorangkir, H.G.
Rorimpandey, dan lain-lain (didukung Parkindo). Para wartawan harian
Merdeka memperoleh izin menerbitkan surat kabar API dengan
berafilisi pada partai IPKI (tetapi akhir November 1965 Departemen
Penerangan mencabut izin terbitnya). Harian-harian baru antara lain
adalah Harian Kami pimpinan Nono Anwar Makarim . dan
Zulharmans, Karya Bakti pimpinan Syech Marhaban. Kantor Berita
Nasional Indonesia (KNI) yang baru juga mulai berkiprah. Merdeka
pimpinan B.M. Diah, Indonesia Observer pimpinan Herawati Diah,
Soetomo Satiman dan Tribuana Said dan Berita Indonesia pimpinan
Soemantoro diterbitkan kembali, ditambah koran-koran baru seperti
Suluh Marhaen pimpinan Manai Sophiaan, harian Berita Djajakarta,
Operasi pimpinan Bachtiar Djamily, mingguan Populer pimpinan T.
Yousli Syah yang kemudan menerbitkan harian Media Indonesia.
Di Surabaya,terbit lagi harian Surabaya Post pimpinan A. Azis, Djawa
Post pimpinan S. Tedjo, suara Rakyat Suprapto. Di ujung pandang
tercatat surat kabar Pedoman Rakyat pimpinan L.E Manuhua, di
Kedaulatan Rakyat pimpinan Samawi dan M. Wonohito. Pada 1966
terdaftar sebanyak 130 penerbitan pers yang tumbuh antara 1966 dan
1982. Pada 1966 terdaftar 130 penerbitan pers, tahun 1982 jumlah harian
menjadi 9, sedangkan yang mampu terbit sesuai ketentuan perizinan
hanya 51 harian. Menjelang akhir orde Baru, terdaftar sebanyak 71
harian.
2.4 Sejarah jurnalistik pada masa orde baru
Awal orde baru pers di Indonesia melahirkan model jurnalisme
pembangunan (development journalism) yang berdasarkan pancasila
atau dikenal juga sebagai jurnalisme pancasila atau pers pancasila.
jurnalis bertugas diantaranya menjaga stabilitas, kesatuan bangsa, dan
dukungan aktif dalam proses pembangunan.
Tugas itu merupakan tuntutan semua jurnalis yang ada di Indonesia .
pemerintah Indonesia, yang dikuasai oleh golkar dan ABRI ikut
memformat kebebasan pers, bahkan sensor isi media juga merupakan
dari kewenangan mereka. jurnalistik pada zaman ini yang mendukung
pada program pembangunan dan harus memegang prinsip bebas dan
pada bertanggung jawab.
Walaupun realitasnya kehidupan jurnalistik sangat bergantung pada
kehendak pemerintahan. Jika terdapat jurnalistik yang melenceng dari
kebijakan pemerintah, maka pemerintah mengambil tindakan yang
sangat keras dengan melakukan pembredelan seperti yang menimpa
harian Indonesia raya dan majalah tempo.
Jurnalistik sastrawi dan perkembangannya di Indonesia kendati di
Indonesia jurnalistik sastrawi baru popular decade 1990an, sebenarnya
sejak kelahirannya pada 1970an, majalah tempo sudah mempraktikkan
jurnalistik sastrawi. Teknik reportase, ramuan menulis, manajemen
hingga distribusi tempo yang khas itu merupakan hasil racikan sendiri.
Seperti dipaparkan goenawan Muhammad, tempo ketika berdiri
merupakan satu-satunya media yang menulis laporan dengan teknik
bercerita. Kemudian banyak media yang mengikutinya, seakan-akan
cara dan teknik penulisan berkisah itu merupakan pakem dan telah lama
ada. Padahal, tempo menemukannya sendiri dengan jatuh dan coba-
coba.
Dalam masa orde baru kegiatan jurnalistik juga tidak sebebas
sekarang, ada banyak larangan dan aturan yang harus dipatuhi.
Ditambah masa orde baru belum secanggih masa reformasi, alat
elektronik tidak secanggih sekarang yang membantu tersiarnya
jurnalistik. Di awal bulan juni 1994 menteri-menteri ekonomi
menemukan bahwa media massa adalah salah satu sector pertama, dari
sederetan industry yg sebelumnya tak terjangkau, yang membuka atas
penanaman modal asing sebagai bagian dari rasionalisasi ekonomi
secara umum.
Dengan sekitar 193 juta populasi di tahun 1994, Indonesia secara
potensial adalah pasar pembaca surat kabar terbesar di kawasan asia
tenggara. Indonesia adalah tempat dari surat kabar terbesar kedua di asia
tenggara.
Masa perpindahan jurnalis
Dengan terjadinya transisi pemerintahan setelah pemberontakan
tanggal 1 oktober 1965 dan perpindahan kekuasaan ke mayor jenderal
soeharto pada tanggal 11 maret 1966, pemerintah orde baru memangkas
retorika `revolusioner` demi seruan yang lebih moderat agar industry
pers menjaga keamanan nasional dari ancaman ancaman dari dalam dan
luar negeri untuk bertindak dengan kesadaran sebagai `pengawal
pancasila`, lima prinsip-prinsip ideology bangsa.
Demi mendorong upaya menjunjung tinggi ideology umum pancasila,
pemerintahan soeharto berusaha untuk menghilangkan organ-organ
partai atau surat kabar yang kritis, menjinakkan jurnalis penggaduh.
Sejak mengalami titik jatuh di awal periode 1970an, selama 2 dekade
berikut industry jurnalis di dunia Indonesia mengalami transformasi
yang dramatis. Penerbitan tampil cerdas dan lebih menarik, sebuah
keuntungan penuh yang diambil berkat kemajuan teknologi. 2
gelombang pemberedelan massal di periode tahun 1970an di awalnya
tumbuhnya pemberitan-pemberitaan yang bersimpati pada pihak yang
beroposisi secara social dan politis dengan pemerintah, diikuti dengan
masuknya modal kelas berat ke dalam industry ini sepanjang akhir
periode tahun 1980an mengubah pola-pola kepemilikan jurnalisme dan
memperluas keragaman publikasi berita.

2.5 Sejarah jurnalistik pada masa reformasi


Pada era pasca reformasi jurnalis pria masih mendominasi.
Sebanyak 86.7% jurnalis memiliki latar belakang pendidikan yang tidak
sesuai dengan profesinya dan memiliki minat yang tinggi terhadap dunia
jurnalis. Produktifitas di tentukan oleh perusahaan tempat jurnalis itu
bekerja, namun menurut data di dapat jurnalis bekerja rat-rata 10 jam.
Pada Tahun 1998 reformasi di gulirkan di Indonesia, pers nasional
bangkit dari keterpurukannya dan kebebasan pers dibuka ditandai
dengan berlakunya UU No.40 Tahun 1999. Berbagai kendala yang
membuat pers nasional “terpasung”, dilepaskan. SIUUP(surat izin usaha
penerbitan pers) yang berlaku di orde baru tidak diperlukan lagi, siapa
pun dan kapan pun dapat menerbitkan penerbitan pers tanpa persyaratan
yang rumit.
Pada tgl 16 September 1996. Seperti di ketahui, SCTV sebagai salah
satu stasiun televisi yang berkembang saat itu. Tayangan ini selalu
menghadirkan tokoh-tokoh kritis yang sering melakukan kritik terhadap
pemerintah. Selain itu sejumlah pejabat juga sering menelpon pengasuh
acara Liputan 6 SCTV yang pada tgl 17 mei 1998 manayangkan
wawancara Ira Koesno dengan Sarwono Kusumaatmadja, mantan
menteri lingkungan hidup.
Gerakan reformasi politik, ekonomi dan sosial ditandai dengan
runtuhnya kekuasan Orde Baru di bawah kepimpinan Presiden Soeharto
pada tgl 21 1998. Sejak saat itu pers Indonesia mengalami
perkembangan pesat khususnya dalama hal kebebasan pers. Media
massa memiliki kebebasan pers. Media massa memiliki kebebasan yang
luas, terutama dalam melakukan control dan koreksi terhadap jalannya
pemerintahaan (eksekutif). Sejalan dengan itu, penerbit pers tidak perlu
lagi memiliki izin (Surat Izin Usaha Penerbit Pers-SIUUP). Hal ini
sesuai dengan ketentuan dan jiwa dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun
1999 tentang pers. Pers nasional memiliki kebebasan meskipun
seringkali terasa bahwa surat kabar, tabloid dan majalah yang menyalah
gunakan kebebasan itu.
Setelah Era Reformasi kondisi wartawan sebagai sumber daya manusia
di bidang media massa masih terbatas kualitas dan kuantitasnya. Pers
Indonesia mengalami euforia merayakan kebebasaanya, setelah
sebelumnya di kekang oleh pemerintah. Ratusan media itu berlomba
untuk membuat berita yang bombastis untuk di suguhkan kepada
masyarakat. Masyarakat pun antusias menyambutnya, karena mereka
haus berita-berita yang berani menyerang pemerintah. Selama ini
mereka di berikan berita yang menyinggung kepada pemerintah, tanpa
ada sikap kritis. Setelah kebebasan di peroleh, pers bergerak sangat
cepat. Era 1998-2000 adalah saat pers Indonesia menikmati kebebasan
dengan sebebas-bebasnya.

Anda mungkin juga menyukai