Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH KEPERAWATAN ANAKI

Manajemen Nyeri pada Anak Penderita Demam Berdarah Dengue


Diajukan sebagai syarat memenuhi tugas mata kuliah

Disusun Oleh :

Dosen Pengampu :
Praba Diyan Rachmawati, S.Kep., Ns., M.Kep

Disusun oleh :
Kelas A3 Kelompok 4

Dony Megapratama (131811133049)


Ayu Arihanakita Satriawati (131811133088)
Rofiqa Dwi Febriyanti (131811133141)
Fara Amalia Riadini (131811133144)
Irfani Zukhrufatul Maulida (131811133145)
Hana Tashya Agatha (131811133151)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas
karunia-Nya kami dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya dengan judul “
Pemeriksaan Penunjang pada Penyakit Gangguan Sistem Persepsi Sensori” .

Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna seperti yang


diharapkan keterbatasan kemampuan dan keilmuan yang kami miliki. Oleh karena
itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersufat
membangun, demi kebaikan makalah ini.

Semoga makalah ini, dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca pada umumnya. Terima Kasih.

Surabaya, 22 februari 2020

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ 2

DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................... 5

1.1 Latar Belakang ................................................................................... 5


1.2 Rumusan Permasalahan ..................................................................... 6
1.3 Tujuan................................................................................................. 6

BAB 2 PEMBAHASAN .................................................................................. 7

2.1 Patologi indra pendengaran/auditori ................................................. 7


2.1.1 Definisi Presbikusis ................................................................ 7
2.1.2 Etiologi Presbikusis ................................................................ 7
2.1.3 Manisfestasi Klinis Presbikusis .............................................. 8
2.1.4 Pemeriksaan penunjang Presbikusis ...................................... 9
2.2 Patologi indra pendengaran/auditori ................................................. 10
2.2.1 Definisi Neuritis Optik ........................................................ 10
2.2.2 Etiologi Neuritis Optik ........................................................ 10
2.2.3 Manisfestasi Klinis Neuritis Optik ........................................ 12
2.2.4 Pemeriksaan penunjang Neuritis Optik ................................. 13
2.3 Patologi indra peraba/taktil ................................................................ 14
2.3.1 Definisi SSSS ........................................................................ 14
2.3.2 Etiologi SSSS ......................................................................... 14
2.3.3 Manisfestasi Klinis SSSS ...................................................... 15
2.3.4 Pemeriksaan penunjang SSSS . .............................................. 15
2.4 Patologi pengecap/gustatori .............................................................. 16

3
2.4.1 Definisi RAS ......................................................................... 16
2.4.2 Etiologi RAS ......................................................................... 16
2.4.3 Manisfestasi Klinis RAS ........................................................ 16
2.4.4 Pemeriksaan Penunjang RAS ................................................. 17
2.5 Patologi indra penciuman/olfaktori .................................................. 18
2.5.1 Definisi Anosomia ................................................................ 18
2.5.2 Etiologi Anosomia ................................................................. 18
2.5.3 Manisfestasi Klinis Anosomia ............................................... 19
2.5.4 Pemeriksaan penunjang Anosomia ...................................... 20

BAB 3 PENUTUP ............................................................................................ 21

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 23

4
BAB 1
PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Organ persepsi sensori atau alat indera seperti hidung, mata, dan
telinga memiliki peranan penting sebagai penangkap stimulus atau
rangsangan dari luar. Organ tersebut dengan perangkat kelengkapannya akan
merubah stimulus dari luar menjadi informasi yang akan dibawa menuju otak
untuk diolah dan menghasilkan persepsi dan respon atau tanggapan terhadap
stimulus tersebut. Adanya gangguan atau penyakit pada organ persepsi
sensori tersebut akan mempengaruhi kinerja tubuh pada umumnya.

Interoreseptor ini berfungsi untuk mengenali perubahan-perubahan


yang terjadi di dalam tubuh. Sel-sel interoreseptor terdapat pada sel otot,
tendon, ligamentum, sendi, dinding pembuluh darah, dinding saluran
pencernaan, dan lain sebagainya. Sel-sel ini dapat mengenali berbagai
perubahan yang ada di dalam tubuh seperti terjadi rasa nyeri di dalam tubuh,
kadar oksigen menurun, kadar glukosa, tekanan darah menurun/naik dan lain
sebagainya.

Eksoreseptor adalah kebalikan dari interoreseptor, eksoreseptor


berfungsi untuk mengenali perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi di
luar tubuh. Yang termasuk eksoreseptor yaitu: (1) Indera penglihat (mata),
indera ini berfungsi untuk mengenali perubahan lingkungan seperti sinar,
warna dan lain sebagainya. (2) Indera pendengar (telinga), indera ini berfungsi
untuk mengenali perubahan lingkungan seperti suara. (3) Indera peraba
(kulit), indera ini berfungsi untuk mengenali perubahan lingkungan seperti
panas, dingin dan lain sebagainya. (4) Indera pengecap (lidah), indera ini
berfungsi untuk mengenal perubahan lingkungan seperti mengecap rasa
manis, pahit dan lain sebagainya, (5) Indera pembau (hidung), indera ini

5
berfungsi untuk mengenali perubahan lingkungan seperti mengenali/mencium
bau. Kelima indera ini biasa kita kenal dengan sebutan panca indera.

1. 2 Rumusan masalah
1. Bagaimana patologi indra pendengaran/auditori ?
2. Bagaimana patologi indra pengelihatan/visual?
3. Bagaimana patologi indra peraba/taktil?
4. Bagaimana patologi indra penciuman/olfaktori ?

1. 3 Tujuan
1. Untuk mengetahui patologi indra pendengaran/auditori ?
2. Untuk mengetahui patologi indra pengelihatan/visual?
3. Untuk mengetahui patologi indra peraba/taktil?
4. Untuk mengetahui patologi indra penciuman/olfaktori ?

6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Patologi Indra Pendengaran/ Audiotori


2.2. 1 Definisi Presbikus
Menurut Katz menyebutkan pengertian presbikusis adalah proses
normal penuaan yang menimbulkan gambaran gangguan
pendengaran sensorineural.Hal ini dapat diakibatkan karena
terjadinya proses degenerasi pada koklea yaitu di akson,sel
ganglion atau berkurangya sel-sel rambut. Pada audiogram
pasienpresbikusis tercatat penurunan kurva yang bilateral simetris
sehingga menghasilkan gambarannya seperti kurva melandai
(gradually sloping).Kurva tersebut menggambarkan adanya
penurunan frekuensi pendengaran dengan perbedaan ambang
dengar 6-10 dB.
2.2. 2 Etiologi/ Penyebab Presbikus
Penyebab gangguan pendengaran pada presbikusis umumnya
merupakan kombinasi dari beberapa hal sebagai berikut:
1. Degenerasi elastisitas gendang telinga
2. Degenerasi sel rambut koklea
3. Degenerasi fleksibilitas dari membran basilar
4. Berkurangnya neuron pada jalur pendengaran
5. Perubahan pada sistem pusat pendengaran dan batang otak
6. Degenerasi jangka pendek dan auditory memory
7. Menurunnya kecepatan proses pada pusat pendengaran di otak
(central auditory cortex)
8. Usia lanjut terjadi juga perubahan organ telinga misalnya
degenerasi otot-otot dan tulang-tulang pada telinga tengah.
2.2. 3 Manifestasi Klinis Presbikus

7
1. Gejala dan tanda presbikusis secara umum adalah :
a. Berkurangnya kemampuan mendengar
b. Berkurangnya kemampuan mengerti percakapan
c. Telinga menjadi sakit bila lawan bicaranya
memperkeras suara
d. Terganggunya fisik dan emosional
e. Hasil pemeriksaan pendengaran didapatkan penurunan
tajam (slooping) setelah frekuensi 2000 Hz
2. Gejala Klinis

Gejala klinis pada pasien presbikusis yaitu adanya


kesulitan untuk memahami percakapan. Perlahan
kemampuan tersebut semakin menurun terutama untuk
menentukan jenis suara dan arah datangnya suara.
Kehilangan sensitivitas bermula dari frekuensi yang
tinggi,sehingga terdapat kesulitan ketika mendengar pada
situasi bising. Keluhan pada pasien presbikusis kebanyakan
bukan tidak dapat mendengar tetapi tidak dapat memahami
percakapan.

Selain itu terdapat keluhan tambahan yaitu tinitus


(berdenging). Hal ini terjadi karena adanya peningkatan
sensitivitas dari saraf pendengaran. Setelah kehilangan
frekuensi yang tinggi,selanjutnya yaitu kehilangan
frekuensi rendah. Seiring berjalannya waktu kesulitan yang
terjadi mencakup keduanya yaitu tidak dapat mendengar
dan tidak dapat memahami percakapan.Kehilangan
pendengaran akan berpengaruh terhadap masalah sosial.
Masalah sosial yang akan terjadi
antaralaindepresi,kehilangan kepercayaan diri cemas,
paranoid dan frustasi.

8
2.2. 4 Pemeriksaan Penunjang Presbikus
1. Pemeriksaan audiometri nada murni

Nada murni adalah nada yang mempunyai satu frekuensi yang


dinyatakan dalam getaran per detik. Frekuensi merupakan nada
murni yang dihasilkan oleh suatu benda bersifat sederhana.
Ambang dengar ialah nada murni terlemah yang masih dapat
terdengar. Ambang dengar terbagi menjadi dua berdasarkan
sifat konduksi,yaitu konduksi udara (Air Conduction) dan
konduksi tulang (Bone Conduction). Pada audiogram jika hasil
Air Conduction (AC) dan Bone Conduction (DC) dihubungkan
maka dapat diketahui jenis ketulian dan derajat ketulian. Uji
nada murni dapat memberikan informasi mengenai tingkatan
gangguan pendengaran,konfigurasi audiogram dan tipe
gangguan yang bersifat konduktif, sensorineural dan campuran.
Tuli sensorineural yang terjadi pada presbikusis yang dapat
tergambar dalam audiogram diantaranya AC dan BC >25dB
serta AC dan BC berhimpit minimal 2 frekuensi yang
berdekatan.

Audiometri nada murni menunjukkan tuli saraf nada tinggi,


bilateral dan simetris. Penurunan yang tajam ( slooping ) pada
tahap awal setelah frekuensi 2000 Hz. Gambaran ini khas pada
presbikusis sensorik dan neural.Kedua jenis presbikusis ini
sering ditemukan. Garis ambang dengar pada audiogram jenis
metabolik dan mekanik lebih mendatar, kemudian pada tahap
berikutnya berangsur-angsur terjadi penurunan. Semua jenis
presbikusis tahap lanjut juga terjadi penurunan pada frekuensi
yang lebih rendah.

2. Audiometri tutur

9
Menunjukkan adanya gangguan diskriminasi wicara (speech
discrimination ) dan biasanya keadaan ini jelas terlihat pada
presbikusis jenis neural dan koklear.

Variasi nilai ambang audiogram antara telinga satu dengan


lainnya pada presbikusis ini dapat terjadi sekitar 5-10 dB.
Manusia sebenarnya sudahmempunyai strain DNA yang
menyandi terjadinya presbikusis. Sehingga dengan adanya
penyebab multifaktor risiko akan memperberat atau
mempercepat presbikusis terjadi lebih awal.
Pemeriksaan audiometri tutur pada kasus presbikusis sentral
didapatkan pemahaman bicara normal sampai tingkat
phonetically balanced words dan akan memburuk seiring
dengan terjadinya overstimulasi pada koklea ditandai dengan
adanya roll over.Penderita presbikusis sentral pada intensitas
tinggi menunjukkan penurunan dalam nilai ambang tutur
sebesar 20% atau lebih.

2.2 Patologi Indra Penglihatan/ Visual


2.2. 1 Definisi Neuritis Optik
Neuritis Optica adalah gangguan penglihatan karena peradangan pada
saraf optik yang menyebabkan penderita terganggu penglihatannya
seperti menurunnya kemampuan penglihatan dan sakit pada saat bola
mata digerakkan. (Hoorbakht, 2012).
2.2. 2 Etiologi/ Penyebab Neuritis Optik

Neuritis Optika adalah penyakit idiopatik, walaupun penyabab


penyakit ini tidak dapat terungkap dengan jelas penyebabnya, tetapi
penyakit ini dapat dikaitkan dengan penyakit –penyaakit dibawah ini :

1. Lesi demielinasi

10
Multiple Sclerosis (MS), Neuromyelitisoptica, Shilder’s disease,
Encephalitis periaxialisconcentrica (out of which MS is the most
common cause)

2. Penyakit Autoimun

Sarcoidosis, systemic lupus erythematosus (SLE), Sjögren’s


syndrome (SS), Behchet’s disease.

3. Infeksi / parainfeksi

Herpes zoster, lyme disease, syphilis, tuberculosis, dengue,


mumps, varicella zoster, toxoplasmosis, measles, leptospirosis,
chickungunya, west nile, adenovirus, brucellosis, coxsackievirus,
cat scratch disease, Hemolytic streptococcal infection,
meningococcal infection, typhoid fever, whipple’s disease

4. Inflamasi / PaskaVaksinasi

Sinusitis, vaccinations against tuberculosis, hepatitis B, rabies,


tetanus, meningitis, anthrax, measles, rubella & influenza.
(Hoorbakht, 2012)

Tetapi dari 4 penyebab jenis penyakit diatas, angka paling tinggi


disebabkan oleh Multiple Sclerosis dan Neuromyelitisoptica.

Multiple Sclerosis adalah suatu penyakit neuro degeneratif akibat


proses demielinisasi kronik pada sistem saraf pusat yang
disebabkan oleh peradangan autoimun. Gejala pada mata
merupakan gejala awal pada MS berupa penurunan visus yang
dapat sembuh sempurna, kemudian dapat kambuh dengan proses
yang semakin progresif dan dapat berakhir menjadi buta; gejala
lain pada mata berupa diplopia dan buta sebagian. (Hoorbakht,
2012)

11
Neuromyelitis Optica adalah penyakit demielinasi inflamasi akut
yang melibatkan saraf optik dan sumsum tulang belakang. Potret
klinis lain terkait saraf optika adalah penglihatan kabur, skotoma,
atrofi atau edema optic disc, deficit / hilang lapang pandang,
hilangnya penglihatan yang permanen (satu / dua mata).(Varian,
2011)

2.2. 3 Manifestasi Klinis Neurotis Optik


1) Gejala PenurunanTajampenglihatan
Kehilangan penglihatan sentral, dapat berupa kehilangan
penglihatan perifer daerah superior atau inferior. Perbaikan
maksimal dalam 2-3 minggu dan membutuhkan waktu sampai
6 bulan.
2) Pasien juga mengeluhkan nyeri ringan di sekitar bola mata atau
di belakang mata.
Nyeri pada bola mata saat digerakkan yang dapat terjadi
berminggu-minggu. Inflamasi nerve optikus memberikan
rangansan nervus trigeminal pada selubung nervus optik
sehingga menyebabkan nyeri orbital ini. Gangguan pada
penglihatan warna dan foto fobia juga terjadi pada pasien
dengan neuritis optik. Persepsi phosphenes (cahaya berkilat
dengan suara bising atau gerakan mata) serta penurunan depth
perception dapat juga terjadi.
3) Gangguan Lapang Pandang
Penderita Neuritis Optica data keinstansi kesehatan dengan
keluhan jarak dan luas pandang yang terbatas.

4) PenurunanSensitivitaskontrasdangangguanpenglihatanwarna
5) Abnormalitas pupil
6) Temuan fundus

12
Temuan fundus berupalesi di dekat papil nervus optik
menyebabkan papilitis dengan pelebaran pembuluh darah
minimal dan perdarahanp eripapil. Hal ini dapat terjadi karena
infeksi atau inflamasi dan dikaitkan dengan multiple sklerosis
sebagai bagian dari uveitis intermediate. Lesi posterior
(neuritis optikretrobulbar) tidakmenyebabkanpapilitis.
(Hidayat, 2018)
2.2. 4 Pemeriksaan Penunjang Neuritis Optika
1) Oftalmoskopi
Oftalmoskopi adalah alat yang menyerupai senter dengan lensa
kecil yang dapat memperlihatkan bagian dalam bola mata.Tes
dilakukan dokter untuk memeriksa bagian belakang dan dalam
mata (fundus), termasuk cakram optik, retina, dan pembuluh
darah. Oftalmoskopi atau funduskopi, dapat mendeteksi
banyak penyakit serius di tahap awal dengan tingkat akurasi
yang tinggi.(Hoorbakht, 2012)
2) Optical Coherence Tomography
Optical coherence tomography (OCT) adalah teknik non-
invasif untuk pencitraan jaringan cross-sectiona yang berfungsi
untuk mengukur ketebalan jaringan retina yang menipis di
mata yang terkena dengan Neuritis Optica. Ini biasanya
menggunakan cahaya dalam rentang spektral inframerah- dekat
yang memiliki kedalaman penetrasi beberapa ratus mikron
dalam jaringan. Cahaya hambur balik diukur dengan set
interferometrik untuk memberikan gambaran profil kedalaman
sampel di lokasi yang dipilih. Sinar OCT pemindaian
memungkinkan untuk memperoleh gambar cross-sectional dari
struktur jaringan. Metode teknis yang berbeda diperkenalkan
dan dibandingkan mengenai sifat-sifatnya seperti sensitivitas,
kecepatan gambar dan kedalaman penetrasi. Terlepas dari

13
realisasi teknis, resolusi aksial dan jangkauan pencitraan sistem
OCT ditentukan oleh sumber cahaya dan karakteristik detektor.
(Lutfi, Prasetiyono, Loebis, Suhartono, & Yogiantoro, 2010)
3) MRI
MRI dapat menunjukkan lesi Multiple Sclerosis. Pemeriksaan
MRI pada pasien ini menunjukkan adanya plakaktif di
thalamus kiri yang mengarah pada lesi Multiple Sclerosis dan
penebalan pada saraf optikus (Nerve II) yang mengarah pada
neuritis optik (retrobulbar) kanan dan kiri. (Hoorbakht, 2012)
2.3 Patologi Indra Peraba/ Taktil
2.3.1 Definisi SSSS (Staphylococcal scalded skin syndrome)
SSSS (Staphylococcal scalded skin syndrome) adalah infeksi kulit
serius yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus. Bakteri
ini menghasilkan racun eksfoliatif yang menyebabkan lapisan luar
kulit melepuh dan mengelupas, seperti terbakar. SSSS merupakan
penyakit yang jarang ditemui dan seringkali menyerang anak–anak
usia <6 tahun, terutama bayi.
Penyakit ini dapat menyebabkan kematian jika bakteri menyerang
lebih dalam ke tubuh Anda, memasuki aliran darah, persendian,
tulang, paru-paru, dan jantung.

2.3.2 Etiologi/ Penyebab


Penyebab SSSS adalah masuknya bakteri ke dalam tubuh melalui
celah di kulit. Racun yang dihasilkan bakteri merusak kemampuan
kulit untuk menyatu. Lapisan atas dari kulit kemudian terpisah dari
lapisan yang lebih dalam dan menyebabkan pengelupasan kulit
yang merupakan tanda khas dari SSSS.Bakteri ini dapat ditularkan
dari orang ke orang, karena bakteri stafilokokus sangat kuat dan
dapat hidup pada benda mati seperti pada sarung bantal atau handuk

14
serta bakteri ini tahan terhadap lingkungan yang kering, suhu
ekstrim, daerah yang tingkat kadar garam tinggi.

2.3.3 Manifestasi Klinis SSSS (Staphylococcal scalded skin syndrome)


Gejala-gejala awal yang dialami penderita SSSS antara lain adalah
demam, kelelahan, meriang, lemas, berkurangnya nafsu makan, dan
konjungtivis (mata merah), serta kulit kemerahan yang menyebar
keseluruh tubuh. Dalam 24 – 48 jam, lepuhan yang berisi cairan
akan terbentuk. Lepuhan ini mudah pecah, dan menyebabkan
daerah tersebut seperti terbakar.
Area yang terinfeksi ini akan terasa lunak dan nyeri, serta dapat
terjadi dehidrasi. Karakteristik ruam pada SSSS meliputi :
1. Munculnya lipatan kulit yang serupa dengan lipatan kertas,
diikuti dengan kemunculan lepuhan besar berisi cairan (bullae)
pada ketiak, selangkangan (pangkal paha), disekitar hidung dan
telinga.
2. Ruam menyebar ke bagian tubuh lain, termasuk lengan, kaki,
dan badan. Pada bayi baru lahir, lesi dapat ditemukan pada
daerah yang mengenakan popok, atau sekitar tali pusar.
3. Lapisan luar kulit (kulit ari) mulai mengelupas dalam lembaran,
meninggalkan area tersebut menjadi lembab, merah, lunak dan
nyeri.

2.3.4 Pemeriksaan Penunjang SSSS (Staphylococcal scalded skin


syndrome)
1. Pengecekan darah lengkap
mengetahui jumlah sel darah putih dan laju endap darah
2. Pemeriksaan kultur bakteri melalui sampel kulit, darah, urine,
atau tali pusat bayi yang baru lahir.

15
Pemeriksaan kultur sel dapat dilakukan untuk mengevaluasi
adanya bakteri. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dari sampel
darah, urine, jaringan hidung atau tenggorok, dan kulit.
3. Pengambilan sampel jaringan (biopsi) kulit yang terinfeksi.
Pada pemeriksaan ini, sampel jaringan kulit dalam jumlah kecil
dapat diambil dan diperiksa di bawah mikroskop. Setelahnya,
pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk
mengonfirmasi diagnosis.
2.4 Patologi Indra Pengecap/Gustatori
2.4.1 Definisi RAS (Recurrent Apthous Stomatitis)

RAS (Recurrent Apthous Stomatitis) merupakan salah satu penyakit


pada rongga mulut yang paling sering terjadi, dan termasuk dalam
kelompok penyakit inflamasi kronis pada mukosa mulut. Sering
ditandai oleh ulkus yang rekuren tanpa disertai gejala penyakit lain.

2.4.2 Etiologi/ Penyebab RAS (Recurrent Apthous Stomatitis)

Etiologi RAS (Recurrent Apthous Stomatitis) adalah belum dapat


diketahui secara spesifik, tetapi berhubungan dengan berbagai faktor
predisposisi seperti riwayat RAS (Recurrent Apthous Stomatitis)
dalam keluarga, trauma, siklus menstruasi, kehamilan, anemia, alergi
makanan, faktor imunologi, dan defisiensi haemetinik ( defisiensi
Fe, asamfolatdan vitamin B12).

2.4.3 Manifestasi Klinis RAS (Recurrent Apthous Stomatitis)

Manifestasiklinis RAS (Recurrent Apthous Stomatitis):

1. Adanya rasa terbakar


2. Parestesia dan hiperestesia
3. Ulser rekuren berbentuk bulat atau oval yang pinggir dikelilingi
eritematous dengan dasar warna lesi kuning- kelabu

16
2.4.4 Pemeriksaan Penunjang

PemeriksaanPenunjangpadapenderita RAS (Recurrent Apthous


Stomatitis)

1. Pemeriksaan Darah Lengkap


Pemeriksaan ini, dari pemeriksaan hemoglobin (HB) untuk
mengukur kadar protein yang berada dalam darah berfungsi
pengangkut oksigen.
Selanjutnya MCH (Mean Corpuscular Haemoglobin) sebgai
pengukuran indeks warna pada eritrosit dalam darah. Dan
biasanya penderita RAS (Recurrent Apthous Stomatitis) adanya
ESR atau kecepatan sedimentasi eritrosit yang dimiliki tinggi.

LED (Laju Endapan Darah) pemeriksaan ini ditunjukkan untuk


melihat kecepatan darah dalam membentuk endapan. Laju
endapan darah tersebut akan meninggi apabila dalam satu jam
mengalami cedera, peradangan, atau kehamilan. Seperti
contohnya yakni RAS (Recurrent Apthous Stomatitis). Laju
endapan darah ini, sangat berfungsi dalam mendeteksi adanya
peradangan bahkan perjalanan atau aktivitas suatu penyakit.

Pemeriksaan SGOT merupakan singkatan dari serum glutamic


oxaloacetic transaminase. SGOT ini suatu enzim yang tidak
hanya terdapat di hati, melainkan juga terdapat di otot jantung,
otak, ginjal, dan otot-otot rangka. Tujuan penderita RAS
(Recurrent Apthous Stomatitis) melakukan pemeriksaan ini,
disebabkan berdasarkan riwayat penyakit sebelumnya penderita,
sehingga penderita telah mengalami RAS (Recurrent
ApthousStomatitis) dilakukan hapusan (teknik yang menggunakan
cotton strip sterile atau menggunakan brush yang awalnya

17
banyak digunakan untuk pemeriksaan mikroorganisme terutama
pada jaringan mukosa.) untuk pemeriksaan bakteri.

Pemeriksaan SGPT merupakan singkatan dari serum glutamic


pyruvic transaminase atau sering disebut juga ALT (alanin
aminotransferase). Pada penderita RAS (Recurrent Apthous
Stomatitis) disarankan melakukan pemeriksaan SGPT disebabkan
RAS (Recurrent Apthous Stomatitis).
2. Pemeriksaan Sitologi
Merupakan pemeriksaan dari cairan tubuh manusia yang
kemudian diproses, yaitu dilakukan fiksasi dan pemberian pigmen
kemudian dilakukan pembacaan dengan mikroskop. Pemeriksaan
sitologi dilakukan dengan cara scarping atau dikikisnya
permukaan dari lesi tersebut.
3. Pemeriksaan Bakteriologi
Merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk mengidentifikasi
keberadaan bakteri pada suatu objek, sehingga dapat diketahui
karakteristik bakteri tersebut.
Pemeriksaan bakteriologi dilakukan dengan cara swab dibagian
lesi.

2.5 Patologi Indra Penciuman/ Olfaktori


2.5.1 Definisi Anosmia

Anosmia merupakan hilangnya kemampuan menghidu secara


keseluruhan. Hal ini dapat timbul akibat trauma didaerah frontal atau
oksipital. Selain itu, anosmia dapat juga terjadi setelah infeksi oleh
virus, tumor seperti osteoma, atau meningioma dan akibat proses
degenerasi pada orang tua (Endang, 2016).

2.5.2 Etiologi/ Penyebab Anosmia

18
1. Gangguan Obstruksi

Obstruksi atau hambatan pada indra penciuman merupakan


penyebab paling sering anosmia. Salah satu penyebab obstruksi
adalah peradangan, misalnya flu, rinitis (pilek), rinosinusitis.
Selain itu, adanya benjolan di lubang hidung, seperti polip hidung,
juga dapat menyebabkan terhambatnya penciuman.

2. Trauma Kepala
Cedera kepala akibat trauma juga merupakan salah satu penyebab
yang sering menyebabkan anosmia. Hal ini disebabkan karena
cedera kepala yang mengakibatkan kerusakan pada hidung maupun
sinus menjadi penghambat mekanis untuk dapat menghidu. Selain
itu, trauma kepala juga dapat menyebabkan kerusakan pada saraf
penghidu (nervus olfaktorius). Anosmia akibat trauma kepala
dapat bersifat sementara atau menetap yang bergantung pada jenis
kerusakan yang terjadi.
3. Penuaan dan Proses Neurodegeneratif
Proses penuaan merupakan kondisi yang normal dan terkait
dengan penurunan kemampuan untuk mencium bau-bauan. Hal ini
disebabkan karena hilangnya sejumlah sel pada saraf penghidu.
Selain itu, beberapa penyakit neurodegeneratif, seperti Alzheimer,
Parkinson, dan demensia Badan Lewy juga mengakibatkan
penurunan kemampuan menghirup.
4. Penyakit Bawaan Lahir
Sindrom Turner dan sindrom Kallman merupakan beberapa
kondisi kongenital atau bawaan lahir yang dapat menyebabkan
anosmia yang permanen.
5. Terapi Radiasi
Anosmia merupakan salah satu efek samping dari terapi radiasi
pada kanker wilayah kepala dan leher

19
2.5.3 Manifestasi Klinis Anosmia
1. Hilangnya kemampuan mencium bau
2. Perubahan suara, sakit kepala,
3. Mendengkur,
4. Muncul massa bertangkai hidung,
5. Gangguan penglihatan,
6. Wajah dan telinga yang cenderung membesar
2.5.4 Pemeriksaan Penunjang Anosmia
1. Rinoskopi Anterior, Posterior dan Nasoendoskopi

untuk menilai ada atau tidaknya sumbatan di hidung, seperti inflamasi,


polip, hipertrofi konka, septum deviasi, penebalan mukosa, dan massa
tumor akan mempengaruhi proses transport odoran ke area olfaktorius.

2. Pemeriksaan Tomografi Komputer

Pemeriksaan yang paling berguna untukmemperlihatkan adanya


massa, penebalan mukosa atau adanya sumbatan pada celah
olfaktorius.

3. Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Merupakan pemeriksaan yang lebih sensitif untuk kelainan pada
jaringan lunak. Pemeriksaan ini dilakukan bila ada kecurigaan adanya
tumor.

20
BAB 3
PENUTUP

Manusia tergantung dari beragam stimulus sensori untuk memberi makna


dan kesan pada kejadian yang telah terjadi pada lingkungan mereka.Beragam
stimulus tersebut merupakan dasar dalam pembentukan persepsi yang datang dari
banyak sumber melalui: Indera penglihatan (visual), Indera pendengaran (auditori),
Indera perabaan (taktil), Indera penciuman (olfaktori), dan Indera pengecap/rasa
(gustatori).

Apabila terdapat gangguan persepsi sensori maka orang terserbut telah


mengalami gangguan jiwa. Patologi indra pendengaran contohnya adalah presbikusis.
presbikusis adalah proses normal penuaan yang menimbulkan gambaran gangguan
pendengaran sensorineural. Pemeriksaan penunjangnya adalah pemeriksaan
audiometri nada murni dan audiometri tutur.

Patologi indra pengelihatan contohnya adalah neuritis optik. Neuritis optik


adalah menurunya kemampuan pengelihatan akibat peradangan saraf optik.
Pemeriksaan penunjangnya berupa oftalmoskopi, optical Corence Tomography, dan
MRI.

Patologi indra peraba contohnya adalah SSSS (Staphylococcal scalded skin


syndrome) adalah infeksi kulit serius yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus
aureus. Pemeriksaan penunjangnya adalah pemeriksaan kultur bakteri, dan biopsi.

Patologi indra pengecap contohnya RAS (Recurrent Apthous Stomatitis).


Pemeriksaan penunjangnya adalah pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan sitologi,
dan pemeriksaan bakteriologi.

21
Terakhir adalah patologi indra penciuman contohnya adalah anosmia.
Anosmia merupakan hilangnya kemampuan menghidu secara keseluruhan.
Pemeriksaan penunjangnya berupa Rinoskopi Anterior, Posterior dan Nasoendoskopi,
pemeriksaan tomografi komputer, dan MRI.

22
DAFTAR PUSTAKA

Bastiansyah, Eko. 2010. Panduan Lengkap Membaca Hasil Tes Kesehatan. Penebar
Plus: Jakarta

Cui, R. Z., Bruce, A. J., & Rogers III, R. S. (2016). Recurrent aphthous
stomatitis. Clinics in dermatology, 34(4), 475-481.

Dewi, A. G. P., Herawati, E., &Wahyuni, I. S. (2017). Penilaianfaktorpredisposisi


recurrent aphthous stomatitis denganmenggunakan Kessler psychological
distress scale, food recall, dan food frequency questionnaire Assessment of
predisposing factors for recurrent aphthous stomatitis using Kessler
psychological distress scale, food recall, and food frequency
questionnaire. JurnalKedokteran Gigi UniversitasPadjadjaran, 29(3).

Hidayat, M. (2018). Clinical Profile of Bilateral Optic Neuritis. Jurnal Kesehatan


Andalas, 7(Supplement 1), 29–33. Retrieved from http://jurnal.fk.unand.ac.id

Hoorbakht, H. (2012). Optic Neuritis, its Differential Diagnosis and Management.


The Open Ophthalmology Journal, 6(1), 65–72.
https://doi.org/10.2174/1874364101206010065

Lutfi, D., Prasetiyono, H., Loebis, R., Suhartono, G., & Yogiantoro, D. (2010).
Bilateral Optic Neuritis in Children Due to Multiple Sclerosis. 7(4), 171–174.

Varian, H. R. (2011). The Art of Neuromyelitis Optica Management. California


Management Review, 41(2), 93–100.

Kong C, Neoh H, Nath S. Targeting Staphylococcus aureus toxins: a potential form


of anti-virulence therapy. Toxins 2016; 8: 72.

Kurlenda J, Grinholc M. Alternative therapies in Staphylococcus aureus diseases.


Acta Biochim Pol 2012; 59: 171–184

23
ydin D, Alsbjorn B. Severe case of staphylococcal scalded skin syndrome in a 5 -
year-old child—case report. Clin Case Rep 2016; 4: 416–419.

24

Anda mungkin juga menyukai