Anda di halaman 1dari 3

Berbicara mengenai kebiasaan makan orang indonesia, satu hal yang mungkin kita sepakati

bersama, kita merasa belum makan (kenyang) jika belum makan nasi. Entah makanan apapun itu
yang telah masuk dalam perut kita selama satu hari penuh, jika itu bukan nasi, maka kita belum
makan. Kita mengakui bersama, sebagian besar dari kita mungkin masih merasa lapar jika tidak
makan nasi. Aneh tapi memang itu terjadi di sekitar kita.
Sebagai seorang mahasiswa Pertanian di Malang, hampir empat tahun saya melihat fenomena
ini terjadi oleh teman-teman saya sendiri. Porsi sekali makan dengan nasi menggunung namun
dengan sedikit tambahan lauk pauk. Uang jajan sih sebenarnya ada, tapi dihemat untuk keperluan
lain. Fantastik! Ini tidak terjadi oleh satu atau dua orang saja. Mayoritas teman (cowok terutama)
punya pola makan seperti ini. Melihat keseharian di kelas maupun di beberapa kegiatan kampus,
sudah dapat terlihat berbagai gejala penyakit yang timbul akibat pola makan tidak sehat ini, seperti
sering mengantuk, izin ke toilet keseringan, dan yang paling konyol nyamuk banyak menyerang
mereka yang memiliki kebiasaan makan seperti ini. Bisa dibayangkan calon sarjana Pertanian yang
sudah tahu akan bahaya ketergantungan terhadap satu komoditi (beras) adalah pemicu kerentanan
pangan ini masih saja tetap memelihara kebisaannya itu. Kita tahu, kebiasaan makan dengan porsi
nasi berlebihan meningkatkan resiko serangan diabetes tak terkecuali bagi mereka yang masih di
usia produktif. Ya, mungkin ini hanya terjadi di kalangan mahasiswa tertentu karena kebetulan
kegiatan di Fakultas saya memang menuntut energi ekstra, terlebih lagi jika ada kegiatan praktikum
ke lahan.
Satu petunjuk ini coba kita simpan terlebih dahulu, dan coba kita perhatikan teman-teman
mahasiswa lainnya dengan gaya hidup yang lebih memperhatikan pola makannya. Mereka yang
benar-benar menjaga pola makannya dengan sistem gizi seimbang, terkadang hingga didukung
dengan kegiatan latihan fisik adalah orang-orang yang cenderung memiliki tingkat ekonomi
menengah ke atas. Ya, mereka berasal dari keluarga yang mapan secara ekonomi. Mereka melek
akan pentingnya menjaga kesehatan melalui diet ketat. Mereka selalu terdepan dalam informasi
kesehatan dan kecantikan. Makanan mereka pun bervariasi dan tidak mengutamakan nasi sebagai
keharusan dalam setiap menu makan. Adapun kebiasaan kalangan ini adalah memotret hampir
setiap menu makannya dan mengunggahnya ke media jejaring sosial. Kebiasaan ini juga sudah
mulai merambah kalangan mahasiswa yang dijelaskan di awal, tentunya dengan frekuensi unggahan
foto makanan yang lebih sedikit dibanding mahasiswa kaum kedua (yang memperhatikan
kesehatan). Memang terdengar lucu, tapi ini adalah salah satu petunjuk.
Kita melihat pola hidup sehat, mulai dari pola makan hingga aktifitas menyehatkan lainnya
sudah menjadi trend gaya hidup di kalangan mahasiswa. Hal yang sama juga terlihat di kalangan
masyarakat umum lainnya. Namun yang patut kita sayangkan adalah trend ini belum mampu
menyentuh mereka dengan tingkat ekonomi menengah kebawah. Kebiasaan bukan menjadi alasan
mendasar mengapa kebanyakan orang Indonesia cenderung mengkonsumsi nasi dalam porsi
berlebihan. Walaupun kita juga mengakui kebutuhan porsi masing-masing individu berbeda, namun
tentunya kita paham betul apakah porsi sekali makan itu berlebihan atau tidak dengan
membandingkan porsi nasi dengan porsi menu pelengkapnya, seperti sayur dan lauk pauk lainnya.
Pengetahuan dan kesadaran akan pola hidup sehat memang juga menentukan perilaku masyarakat
dalam mengkonsumsi makanan secara bijak. Masyarakat desa pelosok pun paham akan hal ini
meskipun kita memang sulit untuk menemukan alasan kesehatan dibalik pola makan mereka,
namun mereka setidaknya membuktikan bahwa mereka tidak begitu tergantung pada nasi. Mereka
dapat saja mengkonsumsi jagung, nasi jagung, gaplek (olahan ubi), ataupun dengan umbi-umbian
lainnya.
Menelisik realita di perkotaan yang notabene adalah daerah urban dengan segala keterbatasan
akses terhadap variasi sumber pangan karbohidrat membuat gap yang nyata antara mereka kalangan
ekonomi menengah-atas yang mampu memperoleh berbagai variasi pangan sehat dengan mereka
kalangan menengah-bawah yang memiliki keterbatasan memperoleh variasi makanan sehat.
Masyarakat menengah-bawah di daerah urban tidak memiliki pilihan lain selain harus
mengkonsumsi nasi melebihi porsi normal demi mengenyangkan perut dan melanjutkan hidup. Lain
halnya dengan keadaan di pedesaan yang masih memiliki banyak lahan untuk ditanami berbagai
macam sumber pangan. Walaupun terkadang ekonomi masih membatasi masyarakat desa, namun
mereka masih memiliki pilihan sumber pangan lainnya selain nasi. Peran lingkungan tentu juga
mengambil andil dalam permasalahan tingkat konsumsi nasi rata-rata orang Indonesia.
Dari penjabaran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ada dua hal yang mendasari mengapa
orang Indonesia cenderung mengkonsumsi nasi berlebihan selain karena ekonomi, namun juga
karena lingkungan mereka yang tidak memberi pilihan murah lain untuk mengkonsumsi sumber
pangan selain nasi. Kesadaran akan hidup sehat dan kebiasaan untuk menjaga pola makan tentunya
akan tumbuh seiring dengan meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Kita tidak dapat
mengubah kebiasaan makan nasi berlebihan jika kita tidak mampu mengubah lingkungan sekitar
untuk memberikan akses yang murah atas sumber pangan sehat selain nasi. Sebagai contoh di
Malang, setiap malam selalu berjejal penjaja nasi goreng di setiap sudut kota, kecuali di daerah
Batu karena memang akan sulit membawa gerobak nasi goreng naik turun jalanan yang berbukit.
Setiap malam, masyarakat malang menengah-bawah (termasuk mahasiswa yang kehabisan uang
bulanan) diberikan pilihan sulit ini, secara sadar atau tidak dipaksa untuk memilih nasi goreng
dengan menu utamanya, nasi, ya nasi dengan sedikit bumbu penyedap masakan dan beberapa
potong ayam yang dipotong setipis kertas. Tentu dengan tambahan beberapa potong sayur sawi
yang terkadang dimasukkan seakar-akarnya. Pilihan alterntatif lainnya adalah lalapan ayam goreng,
dengan menu utamanya, nasi, ya nasi karena porsi nasinya yang menggunung sedangkan ayamnya
entah mengapa sangat kecil, mungkin akibat penyusutan signifikan setelah digoreng garing.
Melihat fenomena ini saya secara pribadi sangat mendukung kegiatan-kegiatan sosial di
tingkat masyarakat urban seperti Indonesia Berkebun, komunitas Peduli Anak Jalanan, ataupun
komunitas-komunitas sejenis yang secara langsung maupun tidak langsung ikut mendukung
perubahan lingkungan masyarakat. Menjadikan lingkungan setempat sedikit demi sedikit
memberikan kemudahan terhadap akses pada sumber pangan yang bervariasi yang tentunya murah,
menyehatkan, dan dapat diperoleh saat dibutuhkan. Gerakan-gerakan sosial semacam ini tidak
hanya memberikan perubahan terhadap akses masyrakat akan sumber pangan selain nasi, melainkan
di dalam setiap kegiatannya juga terkandung unsur penyadaran akan gaya hidup sehat. Pemerintah
pun perlu turut ambil bagian dalam hal ini dengan tidak hanya beriklan akan sumber pangan
alternatif selain nasi, melainkan ikut mempromotori kegiatan berorientasi penyediaan variasi
sumber pangan yang konkret dan berdampak pada berubahnya pola makan masyarakat yang tadinya
tidak menyehatkan menjadi lebih baik lagi. Kita perlu memikirkan dampak dari setiap tindakan kita
yang paling tidak memberikan kebermanfaatan bagi sesama, karena selama saya aktif menjadi
mahasiswa, hal terbesar yang sangat mempengaruhi lingkungan sekitar termasuk orang-orang
didalamnya adalah “dampak” yang ditimbulkan dari kegiatan itu. Bukannya pencapaian dari tujuan
kegiatan yang memberi pengaruh signifikan, melainkan dampaknya.
Kita perlu melakukan lebih banyak lagi kegiatan sosial sejenis untuk mampu benar-benar
merubah lingkungan sekitar untuk mampu memberikan kemudahan akses sumber pangan yang
variatif dan menyehatkan disamping pemerintah juga dutuntut untuk terus meningkatkan
kesejahteraan masyarakatnya. Banyak hal yang dapat dilakukan mahasiswa untuk fenomena ini,
semisal teman-teman Psikologi membuat kegiatan sosial berupa pemanfaatan trend masyarakat
sekarang yang hampir selalu mengunggah foto menu makanannya via Instagram menjadi semacam
kampanye hidup sehat; teman-teman dari Teknologi Pengolahan Pangan tentunya dapat mencari
sumber pangan karbohidrat selain nasi yang mirip cita rasanya, kandungan gizi, serta harga yang
sama atau lebih murah dari beras. Yang kita butuhkan adalah keguyuban untuk merubah
lingkungan. Itulah mengapa aksi sosial menurut saya sebagai solusi yang efektif dan efisien selain
kebijakan pemerintah, karena kita adalah bangsa yang tersohor akan kesatuannya.

Anda mungkin juga menyukai