Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

SLE (SYSTEMIC LUPUS ERITEMATOSUS)

OLEH :

KARINA CITRA MANDITHA

019.02.0943

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MATARAM

2019
LAPORAN PENDAHULUAN
SLE (SYSTEMIC LUPUS ERITEMATOSUS)

A. DEFINISI
SLE (Sistemic Lupus Erythematosus) adalah suatu penyakit auto imun yang
kronik dan menyerang berbagai system dalam tubuh. Tanda dan gejala penyakit ini
dapat bermacam-macam, dapat bersifat sementara, dan sulit untuk didiagnosis. Karena
itu angka yang pasti tentang jumlah orang yang terserang oleh penyakit ini sulit untuk
diperoleh. (Price A. Sylvia, 2006)
SLE (Sistemic Lupus Erythematosus) merupakan penyakit radang atau inflamasi
multisystem yang disebabkan oleh banyak faktor dan dikarakterisasi oleh adanya
gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi
autoantibodi yang berlebihan. (Albar, 2003)
SLE atau LES (Lupus Eritematos Sistemik) adalah penyakit autoimun yang
melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis bervariasi dari yang ringan sampai
berat. Pada keadaan awal, sering sekali sukar dikenal sebagai LES, karena
manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan. (Mansjoer Arif, 2001)
Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa SLE (Systemic Lupus
Eritematosus) adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang berbagai system tubuh
yang menyebabkan kelainan pada kulit menahun yang ditandai dengan peradangan dan
pembetukan jaringan parut. SLE (Systemic Lupus Eritematosus) merupakan penyakit
sistem daya tahan, atau penyakit auto imun, dimana tubuh membentuk antibodi yang
salah arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah,
leukosit, atau trombosit.

B. ETIOLOGI

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan


peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan
penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya
matahari, luka bakar termal).
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi
dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. Sistem imun tubuh kehilangan
kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri.
Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus.
Antibodi ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan
penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakkan multiorgan.
Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan
tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem
pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan
menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan
tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun.
Mekanisme maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum sepenuhnya
dimengerti tetapi diduga melibatkan faktor lingkungan dan keturunan. Beberapa faktor
lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus:
Faktor Resiko terjadinya SLE
1. Faktor Genetik
a. Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering daripada pria
dewasa
b. Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun
c. Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering dalam keluarga
yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut
2. Faktor Resiko Hormon
Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi
resiko ini. Sehingga penyakit ini lebih banyak terjadi pada wanita yang walaupun
juga bisa diderita oleh pria.
3. Sinar UV
Sinar UV mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif,
sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan
sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun
secara sistemik melalui peredaran pebuluh darah.
4. Imunitas
Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T.
5. Obat
Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum
dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus
Erythematosus atau DILE).
Jenis obat yang dapat menyebabkan Lupus Obat adalah :
Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid
Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat : dilantin, penisilamin, dan
kuinidin
Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenis antibiotic dan
griseofurvin
6. Infeksi
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit
ini kambuh setelah infeksi.
7. Stres
Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecendrungan akan penyakit ini.

C. KLASIFIKASI
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus,
systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
1. Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang
meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit
kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan
kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian
tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
2. Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan
oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya
gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi
autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap
dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid
dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime
pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
3. Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator
lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi
lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat
untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh
tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk
menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).

D. PATOFISIOLOGI DAN PATHWAY

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan


peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan
penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya
matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid,
isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan
seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE - akibat senyawa kimia atau
obat-obatan.
Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut: adanya satu atau
beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik
akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel TCD 4+, mengakibatkan
hilangnya toleransi sel T terhadap sel-antigen.
Sebagai akibatnya munculah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi
serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel
memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk
didalamnya ialah hormone seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.
Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama
terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histondan non
histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat
protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribbonukleoprotein
(RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan
merupakan komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini secara bersama-sama
disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA
membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa
penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens
kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati,
dan penurun.
Uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan
terbentuknya deposit kompleks imun di luar system fagosit mononuklear. Kompleks
imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi
komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang
menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang
menyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan
seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya. Bagian yang
penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam
keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resiste
PATHWAY Lingkungan (cahaya matahari, Obat-obatan (hidralazin, prokainamid,
Genetik luka bakar internal) isoniazid, klorpromazin)

Sistem regulasi kekebalan tubuh terganggu

Mengaktivasi sel T dan sel B

Fungsi sel T – Supressor abnormal

Peningkatan produksi autoantibodi

Penumpukan Kompleks Imun Kerusakan Jaringan

Muskuloskeletal Integumen Cardiac Respirasi Vaskuler Hemato Saraf Pasien tidak familiar
n dengan proses
Pembengkakan Adanya lesi Perikarditis Pleuritis Inflamasi Kegagalan Gangguan
sendi akut pada kulit pada sumsum tulang spektrum pada
arteriole Pasien tidak
(ruam Penumpukan membentuksel saraf meluas
Penumpukan mengikuti
berbentuk cairan pada terminalis darah merah
 Artlargia kupu-kupu)
cairan efusi
pleura
perintah
 Arthritis pada Proses
pangkal hidung neurologis
(sinovitis) perikardium Lesi papuler, Tubuh Pasien tidak
dan pipi Efusi pleura terganggu
 Nyeri tekan Eritematous mengalami mengetahui
dan rasa nyeri dan purpura kekurangan sel
Penebalan penyakitnya
ketika Merasa Ekspansi diujung kaki, darah merah Depresi
perikardium
bergerak malu dada tidak tumit, dan siku
dengan adekuat Kurang
kondisinya Kontraksi Anemia Anemia Pengetahuan
Nyeri Akut Kerusakan
jantung
Pola Napas Integritas Kulit
Gangguan Citra Tidak Efektif Keletihan
Tubuh Penurunan
Curah Jantung
E. TANDA DAN GEJALA

Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa
lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan (Hahn,
2005).
Tanda atau gejala lainnya dari SLE telah dinyatakan oleh “American College of
Rheumatology” yaitu 11 kriteria untuk klasifikasi SLE. Kesebelas kriteria tersebut
antara lain:
1. Ruam malar
2. Ruam discoid
3. Fotosensitivitas (sensitivitas pada cahaya)
4. Ulserasi (semacam luka) di mulut atau nasofaring
5. Artritis
6. Serositis (radang membran serosa), yaitu pleuritis (radang pleura) atau perikarditis
(radang perikardium)
7. Kelainan ginjal, yaitu proteinuria (adanya protein pada urin) persisten >0.5 gr/hari
8. Kelainan neurologik, yaitu kejang-kejang
9. Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik atau leucopenia
10. Kelainan imunologik, yaitu ditemukan adanya sel LE positif atau anti DNA positif
11. Adanya antibodi antinuklear.
Selain itu, gejala atau tanda lainnya yang sering ditemukan antara lain:
 Otot dan kerangka tubuh
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan
menderita artritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian pada jari
tangan, tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan pada tulang
panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri di daerah tersebut. Gejala
lainnya adalah atralgia, dan mialgia umumnya timbul mendahului gejala yang lain.
Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut,
pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku, dan pergelangan kaki
 Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan pangkal
hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari.
Ruam yang lebih tersebar bisa timbul di bagian tubuh lain yang terpapar oleh sinar
matahari.
 Ginjal
Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di dalam
sel-sel ginjal, tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal
yang menetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu
menjalani dialisa atau pencangkokkan ginjal.
 Sistem saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Yang paling sering
ditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan bisa terjadi
pada bagian manapun dari otak, korda spinalis maupun sistem saraf. Kejang,
psikosa, sindroma otak organik dan sakit kepala merupakan beberapa kelainan
sistem saraf yang bisa terjadi.
 Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk
bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan
emboli paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang
melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti.
Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun.
 Jantung
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis,
endokarditis maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat
dari keadaan tersebut.
 Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura
(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan tersebut
sering timbul nyeri dada dan sesak nafas.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk mengetahui pasien SLE dapat dilakukan pemeriksaan penunjang dan diagnostic
berikut:
1. Pemeriksaan anti-nuclear antibodi (ANA)
Pemeriksaan untuk menentukan apakah auto antibodi terhadap inti sel sering
muncul di dalam darah.
2. Pemeriksaan anti ds DNA (Anti double stranded DNA)
Untuk menentukan apakah pasien memiliki antibodi terhadap materi genetik di
dalamsel.
3. Pemeriksaan anti-Sm antibody
Untuk menentukan apakah ada antibodi terhadap Sm (protein yang ditemukan
dalam sel proin inti)
4. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan immune complexes (kekebalan ) di
dalam darah.
5. Pemeriksaan untuk menguji tingkat total dari serum complement (kelompok protein
yang dapat terjadi pada reaksi kekebalan)
6. Pemeriksaan sel LE (LE cell prep)
7. Pemeriksaan darah untuk mencari keberadaan jenis sel tertentu yang dipengaruhi
membesarnya antibodi terhadap lapisan inti sel lain. Pemeriksaan ini jarang
digunakan jika dibandingkan dengan pemeriksaa ANA, karena pemeriksaan ANA
lebih peka untuk mendeteksi penyakit lupus dibandingkan dengan LE cell prep.
8. Pemeriksaan darah lengkap, leukosit, thrombosit
9. Urine Rutin
10. Antibodi Antiphospholipid
11. Biopsy KulitBiopsy Ginjal

G. PENATALAKSANAAN
Untuk penatalaksanaan, pasien SLE dibagi menjadi:
1. Kelompok Ringan
Gejala : Panas, artritis, perikarditis ringan, efusi pleura/perikard ringan, kelelahan,
dan sakit kepala
Penatalaksanaan untuk SLE derajat ringan :

a. Penyakit yang ringan (ruam, sakit kepala, demam, artritis, pleuritis, perikarditis)
hanya memerlukan sedikit pengobatan.
b. Untuk mengatasi artritis dan pleurisi diberikan obat anti peradangan non-steroid
c. Untuk mengatasi ruam kulit digunakan krim kortikosteroid.
d. Untuk gejala kulit dan artritis kadang digunakan obat anti malaria
(hydroxycloroquine)
e. Bila gagal, dapat ditambah prednison 2,5-5 mg/hari.
f. Dosis dapat diberikan secara bertahap tiap 1-2 minggu sesuai kebutuhan
g. Jika penderita sangat sensitif terhadap sinar matahari, sebaiknya pada saat
bepergian menggunakan tabir surya, pakaian panjang ataupun kacamata
2. Kelompok Berat
Gejala : Efusi pleura perikard masif, penyakit ginjal, anemia hemolitik,
trombositopenia, lupus serebral, vaskulitis akut, miokarditis, pneumonitis lupus, dan
perdarahan paru.
Penatalaksanaan untuk SLE derajat berat :
a. Penyakit yang berat atau membahayakan jiwa penderitanya (anemia hemolitik,
penyakit jantung atau paru yang meluas, penyakit ginjal, penyakit sistem saraf
pusat) perlu ditangani oleh ahlinya
b. Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama dengan dosis sesuai
kelainan organ sasaran yang terkena.
c. Untuk mengendalikan berbagai manifestasi dari penyakit yang berat bisa
diberikan obat penekan sistem kekebalan
d. Beberapa ahli memberikan obat sitotoksik (obat yang menghambat pertumbuhan
sel) pada penderita yang tidak memberikan respon yang baik terhadap
kortikosteroid atau yang tergantung kepada kortikosteroid dosis tinggi.
3. Penatalaksanaan Umum :
a. Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam infeksi,
gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional. Upaya
mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan aktivitas
yang berlebih, dan mampu mengubah gaya hidup
b. Hindari Merokok
c. Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi
d. Hindari stres dan trauma fisik
e. Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia
f. Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai 15.00
g. Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon
estrogen
4. Penatalaksaann Diet
Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar pasien
memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan adalah yang
mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah garam. Pasien disarankan
berhati-hati dengan suplemen makanan dan obat tradisional.

H. KOMPLIKASI
1. Vaskulitis : kondisi peradangan pembuluh darah yang ditandai dengan kematian
jaringan, jaringan parut, dan proliferasi dari dinding pembuluh darah, yang dapat
mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah.
2. Perikarditis : suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada
perikardium (kantung berlapis ganda yang mengelilingi jantung).
3. Myocarditis : peradangan pada otot jantung atau miokardium.
4. Anemia Hemolitik : kurangnya kadar hemoglobin akibat kerusakan pada eritrosit
yang lebih cepat daripada kemampuan sumsum tulang untuk menggantinya kembali.
5. Intra Vaskuler Trombosis
6. Hypertensi
7. Kerusakan Ginjal Permanen
8. Gangguan Pertumbuhan

I. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Identitas klien
Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik di fokuskan
pada gejala sekarang dan gejala yang pernah di alami. Seperti keluhan mudah lelah,
lemah, nyeri, kaku, demam / panas, anoreksia efek gejala tersebut terhadap gaya
hidup serta citra diri pasien
2. Pengkajian Fisik
a. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematouspada kulit kepala, muka atau leher.
b. Kardiovaskuler
Friction rup perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura, lesi
eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukan gangguan
vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor
lengan bawah atau sisi lateral tangan.
c. Sistem muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
d. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri tas ruam yang berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung dan pipi.
e. Sistem pernapasan
Pleuritis atau efusipleura.
f. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritomatous
dan parpura di ujuna jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosit.
g. Sistem renal
Edema dan hematuria.
h. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea atau
manifestasi SPP lainnya.

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktifitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi, ballier kulit,
penumpukan, kompleks imun.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan
otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
5. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta
fisiologis yang di akibatkan penyakit kronik.

K. RENCANA KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan : Perbaikan dalam tingkat kenyamanan.
Intervensi :
 Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres
panas/dingin, masase, perubahan posisi, istirahat, kasur busa, bantal
penyangga, bidai, teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian).
 Berikan preparat anti inflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.
 Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap
penatalaksanaan nyeri.
 Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat
kronik penyakitnya.
 Jelaskan patofisiologi nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa
nyeri sering membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti
manfaatnya.
 Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien
untuk memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
 Lakukan penilaian terhadap perubahan subyek pada rasa nyeri.
2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktifitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
Tujuan : Mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-
hari yang diperlukan untuk mengubah.
Intervensi :
 Berikan penjelasan tentang keletihan.
- Hubungkan antara aktivitas penyakit dan keletihan.
- Jelaskan tindakan untuk memberi kenyamanan sementara melaksanakannya.
- Jelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik, artikuler dan
emosional.
- Jelaskan cara menggunakan teknik-teknik untuk menghemat tenaga.
- Kelaianan faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan kelelahan.
 Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas / istirhat yang tepat.
 Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.
 Rujuk dan dorong program kondisioning.
 Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan suplemen.
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi, ballier kulit,
penumpukan, kompleks imun.
Tujuan : Pemeliharaan integritas kulit.
Intervensi :
 Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan makserasi.
 Hilangkan kelembaban dari kulit.
 Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya cedera akibat penggunaan
kompres hangat yang terlalu panas.
 Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.
 Kolaborasi pemberian NSAID dan kostikosteroid.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan
otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
Tujuan : Mendapat dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.
Intervensi :
 Dorong verbalisasi yang berkenan dengan keterbatasan dalam mobilitas.
 Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi ukupasi / fisioterapi.
 Tekankan kisaran gerak pada sendi yang sakit.
 Tingkatkan pemakaian alat bantu.
 Jelaskan pemakaian alas kaki yang aman.
 Gunakan postur / pengaturan posisi yang tepat.
 Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.
 Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan.
 Beri waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas.
 Beri kesempatan istirahat setelah melakukan aktivitas.
 Kuatkan kembali prinsip perlindungan sendi.
5. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta
fisiologis yang di akibatkan penyakit kronik.
Tujuan : Mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan perubahan fisik serta
psikologi yang ditimbulkan penyakit.
Intervensi :
 Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendaligejala penyakit dan
penanganannya.
 Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut.
 Bantu menilai situasi sekarang dan mengenali masalahnya.
 Bantu mengenali mekanismenya koping pada masa lalu.
 Bantu mengenali mekanisme koping yang efektif.
DAFTAR PUSTAKA

Lewis, Sharon Mantik. 2000. Medical Surgical Nursing 5th Edition 2nd Volume. United States
of America : Mosby, Inc.

Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1. Jakarta : Media
Aesculapius FKUI.
Nursing Interventions Classification (NIC) : Fifth Edition. Missouri : Mosby Elsevier.
Nursing Outcomes Classification (NOC) : Fourth Edition.Missouri : Mosby Elsevier.

Price, Anderson, Sylvia. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Alih
bahasa brahm. Jakarta : EGC.

Reeves, Charlere J. 2001.Keperawatan Medikal Bedah. Salemba Medika Edisi 8. Volume 3.


Jakarta : EGC.

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa Agung
Waluyo. Jakarta : EGC.

Wiley, John dan Sons Ltd. 2009. NANDA International : 2009-2011. United Kingdom :
Markono Print Media.

Anda mungkin juga menyukai