Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqamat, yang secara bahasa berarti pangkat
atau derajat. Sementara menurut istilah ilmu tasawuf, Maqamat adalah kedudukan seorang
hamba di hadapan Allah, yang diperoleh dengan melalui cara beribadah, mujahadat dan
lain-lain, latihan spritual serta (berhubungan) yang tidak putus-putusnya dengan Allah swt.
atau maqamat juga berarti aktivitas dan usaha maksimal seorang sufi untuk meningkatkan
kualitas spiritual dan kedudukannya (maqam) di hadapan Allah swt. dengan amalan-amalan
tertentu sampai adanya petunjuk untuk mengubah amalan tertentu lainnya, yang diyakini
sebagai amalan yang lebih tinggi nilai spiritualnya di hadapan Allah swt Dalam rangka
meraih derajat kesempurnaan, seorang sufi dituntut untuk melampaui tahapan-tahapan
spiritual, memiliki suatu konsepsi tentang jalan (tharikat) menuju Allah swt, jalan ini
dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadhah) lalu secara bertahap menempuh
berbagai fase yang dalam tradisi tasawuf dikenal dengan maqam (tingkatan). Perjalanan
menuju Allah swt. merupakan metode pengenalan (makrifat) secara rasa (rohaniah) yang
benar terhadap Allah swt. Manusia tidak akan mengetahui penciptanya selama belum
melakukan perjalanan menuju Allah swt. Walaupun ia adalah orang yang beriman secara
aqliyah Sebab, ada perbedaan yang dalam antara iman secara Aqliyah atau logis-teoritis (al-
iman al-aqli an-nazhari) dan iman secara rasa (al-iman asy-syu’ri adz-dzauqi). Tingakatan
(maqam) adalah tingkatan seorang hamb di hadapan Allah tidak lain merupakan kualitas
kejiwaan yang bersifat tetap, inilah yang membedakan dengan keaadaan spiritual (hal) yang
bersifat sementara.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa apa yang di maksud tentang Taubat ?
2. Apa apa yang di maksud tentang Zuhud ?
3. Apa apa yang di maksud tentang Wira’i ?
4. Apa apa yang di maksud tentang Tawakal ?
5. Apa apa yang di maksud tentang Sabar ?
6. Apa apa yang di maksud tentang Ridha ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan apa yang yang di maksud dengan Taubat
2. Untuk menjelaskan apa yang yang di maksud dengan Zuhud
3. Untuk menjelaskan apa yang yang di maksud dengan Wira’i
4. Untuk menjelaskan apa yang yang di maksud dengan Tawakal
5. Untuk menjelaskan apa yang yang di maksud dengan Sabar
6. Untuk menjelaskan apa yang yang di maksud dengan Ridha

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Taubat
Istilah taubat berasal dari bahasa Arab yang berarti raja ‘anil-ma’siah “kembali dari perbuatan
maksiat”. Istilah ini telah diserap ke dalam bahasa Indonesia dan telah menjadi bahasa Indonesia
“taubat”. Pengertian taubat yang dimaksud adalah merujuk pada pengertian akar kata seperti yang
terdapat dalam kitab Maqayis al-Lugah dan pengertian yang diungkap oleh al-Ragíb al-Asfahany
dalam kitabnya Mu'jam Mufradat Lial-faz al-Qur'an. pada asalnya mengandung arti al-ruju’
“kembali”.Yang dimaksud kembali di sini adalah kembali kepada Allah dalam keadaan apapun
dan di mana pun berada. Misalnya dalam kalimat bermakna “telah kembali dari dosanya “
mencermati makna taubat di atas, dapat diambil suatu pemahaman bahwa makna asal taubat adalah
kembali. Yang dimaksud kembali adalah kembali kepada Allah dengan ketataatan dan ketundukan
dan meninggalkan perbuatan yang dilarang oleh Allah. Kata taubat dalam penjelasan di atas selalu
dikaitkan dengan kata dosa dan maksiat. Dengan demikian, taubat itu selalu dilakukan karena
orang tersebut sebelumnya telah meninggalkan Allah dan melanggar perintah-Nya dengan berbuat
maksiat dan dosa. Bila ia sadar dan menyesal atas perbuatan dosa dan maksiatnya dan kembali
kepada Allah dalam arti taat dan patuh, maka orang tersebut telah bertaubat.
Taubat merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap
hamba Allah yang telah melakukan maksiat dengan menempuh tiga syarat
yaitu :
a)Meninggalkan untuk melakukan hal-hal yang maksiat
b)Menyesali perbuatan yang telah dilakukan
c) Berniat sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan.
Dari segi waktu, taubat tidak hanya dilakukan bila telah melakukan dosa tetapi harus dilakukan
setiap hari dengan ucapan “istigfar” sampai 100 kali sebagai upaya untuk mensucikan diri guna
mendekatkan diri kepada Allah yang berimplikasi pada kebahagian di dunia dan di akhirat
kelak.Taubat adalah upaya menyucikan diri dan mendekatkan diri kepada Allah. Di samping itu,
taubat berimplikasi positif pada kehidupan seorang muslim pasca ia bertaubat. Hal ini akan
nampak dalam pergaulannya sehari-hari, di mana ia tidak lagi melakukan hal-hal yang dilarang

3
oleh Allah seperti mengghibah, memfitnah, atau menyakiti orang lain. Segala hal yang dilakukan
senantiasa menjadi rahmat bagi diri dan lingkungannya. Dengan demikian, sangat jelas prilaku
orang-orang yang telah memutuskan secara sadar untuk bertaubat kepada Allah dibandingkan
orang yang taubatnya masih sebatas ucapan. 1

1
Rakhmawati,”Urgensi Taubat Dalam Kehidupan Manusia”,Jurnal Madani Vol. 4 No. 1, Juni 2014, Hal. 128, Hal.
130, Hal. 133

4
B. Definisi Zuhud

Zuhud secara bahasa adalah zahada fīhi, zahada „anhu, zuhdan wa zahdan, yaitu berpaling
darinya dan meninggalkannya karena menganggap hina, atau menjauhinya karena dosa,
dikatakan barang itu zāhid maksudnya barang itu sedikit dan tidak bernilai.106 Zuhud
merupakan ungkapan berpalingnya seseorang dari keinginan terhadap sesuatu kepada sesuatu
yang lebih baik dari sebelumnya. Meninggalkan indahnya Dunia menuju kepada indahnya
Akhirat. Mengosongkan keinginan dalam hati dari segala sesuatu yang tidak bisa dicapai dengan
tangannya.
Menurutnya Ibn Taymiyyah, zuhud terhadap sesuatu adalah menghilangkan keinginan dan
kebencian, maka bukanlah zuhud jika masih memiliki keinginan terhadap sesuatu dan tidak
membenci terhadap sesuatu, maka jika seseorang menghilangkan hasrat dan keinginan terhadap
sesuatu maka itu adalah zuhud. Kemudian Ibn Taymiyyah kembali melanjutkan tentang hakikat
zuhud; ‫الل عىد بما انقهب وثقت اآلخرة اندار في يىفع ال ما ترك انمشروع انزهد‬
Zuhud yang disyariatkan adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat bagi
Akhirat, dan percaya dalam hati dengan segala segala sesuatu yang ada pada sisi Allah SWT.109
Maka tidak salah jika seorang zuhud adalah seorang yang fakir lagi miskin, tetapi terkadang
seorang ahli zuhud bisa dari orang kaya dan terpandang. Mengenai pembicaraan al-zuhd al-
mahmūd (zuhud terpuji) dan al-zuhd al-madzmūm (zuhud tercela), maka Nabi SAW. adalah ahli
zuhud diantara manusia lainnya, tapi Ia SAW. tidak menolak materi dan tidak memaksa agar
materi itu hilang, dia memakai pakaian yang mudah yang merupakan jenis-jenis pakaian baik
dari bahan pakaian yang terbuat dari kapas ataupun wol, dan Nabi SAW. menolak untuk
mengkhusus dalam pakaian tertentu terhadap dirinya, atau dengan alasan zuhud Nabi SAW.
memutuskan diri terhadap manusia lainnya. Sampai Nabi SAW. pernah berbicara dengan suara
yang tinggi kepada para sahabatnya.
bukan zuhud yang dimaksud, dan Islam berlepas diri atasnya. 111 Imam Al-Ghazali
menyebutkan hakikat dari zuhud, dimana zuhud adalah bentuk keseimbangan antara dunia dan
akhirat, antara syahwat dan pengendalian syahwat;
Yang selamat itu hanya satu kelompok, yaitu kelompok yang berjalan diatas petunjuk
Rasulullah SAW. dan sahabatnya, ia tidak meninggalkan dunia seluruhnya dan tidak
memadamakan syahwat seluruhnya, adapun dunia itu ia akan mengambilnya sesuai dengan
kadarnya, adapun berbagai syahwat maka ia akan menekan darinya syahwa yang akan

5
mengeluarkan dari ketaatan terhadap syariat, dia tidak mengikuti mengikuti syahwat, dan ia tidak
juga meninggalkan semua syahwat namun ia akan mengikutinya dengan adil, ia tidak
meninggalkan segala sesuatu dari Dunia, namun ia mengetahui tujuan dari diciptakannya dunia
ini, dan ia menjaga terhadap lingkup tujuanya, ia mengambil dari kekuatan-kekuatan yang ada
pada tubuhnya untuk beribadah dan dari tempat tinggalnya yang tidak terjaga dari penjaganya,
dari panas dan dingin, begitu juga dari pakaiannya.112 Untuk ayat-ayat zuhud tidak ada terma
khusus yang memuat kata zuhud, namun ada ayat-ayat yang dapat dikaitkan dengan amal zuhud.
Zuhud merupakan suatu sikap terpuji yang di sukai allah swt, diman seseorang lebih
mengutamakan cinta akhirat dan tidak terlalu mementingkan urusan dunia atau harta kekayaan.
Materi dan dunia ini hanya berifat sementara, hanya sarana atau alat untuk mencapai tujuan
hakiki,yaitu sebagai bekal kehidupan di akhirat kelak. Zuhd ini bentuk kecintaan kepada akhirat.
Zuhud terhadap dunia bukan berarti pula mengharamkan segala yang halal dan bukan pula
menyia- nyiakan harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah begitu yakin terhada apa yang
ada di tangan allah dari pada apa yang saat ini di miliki di tangan itu sendiri
a. Ciri-Ciri Zuhud

1. Mengbdi hanya kepada allah semata ,harta bukan tujuan tetapi sebagai sarana.

2. Lebih mengutmakan akhirat tujuannya hanya kepada allah semata

3. Kaya tetapi tidak merasa memiliki

b. Manfaat Bersikap Zuhud

1. Berkah dalam kehidupan yang sempurna

2. Mendapat pertolongan dari allah.

3. Di masukkan kesurga

4. Tidak mudah mengalami putus asa atas riski yang di terimanya

5. Memungkinkan dapat mengatasi kesulitan yang di hadapi

6. Melatih ketentraman batin dalam menjalani kehidupan di dunia ini.2

2
Farthi Majdi Al-Sayyid, Al-Zuhd: Li Al-Imam Abi ‘Abd Allah Al-Qurthubi, Maktabah Al-Shahabah, 1408H, Hal. 15

6
C. Definisi Wara’

Kata Wira’i berasal dari bahasa Arab wara’a, yari’u, wara’an, yang ketiga kata tersebut
memiliki makna yang sama yaitu berhati – hati. Di dalam dunia tasawuf, kata wara’ ditandai
dengan kehati-kehatian dan kewaspadaan yang tinggi. Banyak hadis Nabi Muhammad saw
menggunakan istilah wara’. Misalnya seperti contoh yang disebutkan di bawah ini:
Dari Abi Huraira berkata bahwa Rasulullah SAW. Berkata wahai Abu Hurairah, jadilah
seorang yang wara’, maka engkau akan menjadi hamba yang utama. Jadilah orang yang
menerima apa adanya (qana’ah), maka engkau akan menjadi manusia yang paling bersyukur.
Cintailah seseorang sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri, maka engkau menjadi
mukmin yang sebenarnya. Perbaguslah hubungan tetangga bagi orang yang bertetangga
kepadamu, maka engkau akan menjadi muslim yang sebenarnya. Sedikitlah tertawa, karena
banyak tertawa akan mematikan hati.
Menurut orang sufi, wara’ itu merupakan meninggalkan segala sesuatu yang persoalannya
tidak jelas baik itu menyangkut dalam hal makanan, pakaian, maupun persoalan. Secara
graduasi, di dalam tasawuf wara’ itu merupakan langkah yang kedua sesudah melakukan tobat.
Sudah jelas bahwa hal tersebut menunjukkan bahwa di samping merupakan pembinaan
mentalitas keislaman, wara’ juga sebagai tanggal awal untuk membersihkan hati yang selalu
terikat dengan keduniawian. Menurut para sufi, wara’ itu dibedakan menjadi dua macam yaitu:
(1) Wara’ lahiriah, yaitu tidak mempergunakan anggota tubuhnya untuk hal yang tidak
diridai Allah swt.
(2) Wara’ batin, yaitu tidak mengisi hatinya kecuali hanya Allah swt.
Berikut ini beberapa manfaat seseorang yang memiliki sifat Wara’:
1. Terhindar dari adzab Allah Swt., pikiran menjadi tenang dan hati menjadi tentram
2. Menahan diri dari hal yang dilarang
3. Tidak menggunakan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat
4. Mendatangkan cinta dari Allah Swt, karena Allah Swt mencintai orang-orang yang waraa’
5. Membuat doa dikabulkan, karena manusia jika mensucikan makanan, minuman dan
bersikap wara’ lalu mengangkat kedua tangannya untuk berdo’a, maka do’anya akan
segera dikabulkan
6. Mendapatkan keridhaan Allah Swt dan bertambahnya kebaikan

7
7. Terdapat perbedaan tingkatan manusia di dalam surge sesuai dengan perbedaan tingkatan
wara’ mereka
Salah satu contoh sikap yang menunjukkan sikap Wara’ dalam kehidupan sehari-hari seperti
Seseorang meninggalkan kebiasaan mendengarkan dan memainkan music secara berlebihan
hingga lalai akan kewajibannya sebagai muslim, karena dia tahu bahwa bermusik atau
mendengarkan musik itu ada yang mengatakan halal dan ada yang mengatakan haram. 3

3
Miswar,”Maqamat (Tahapan Yang Harus Ditempuh Dalam Proses Bertasawuf)”, ANSIRU PAI Vol. 1 No. 2, Juli-
Desember 2017, Hal. 6, Hal. 7

8
D. Definisi Tawakal

Kata tawakal dapat dijumpai dalam berbagai kamus dengan berbagai variasi. Dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia, tawakal berarti berserah (kepada kehendak Tuhan), dengan segenap
hati percaya kepada Tuhan terhadap penderitaan, percobaan danlain-lain. Sedangkan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, tawakal adalah pasrah diri kepada kehendak Allah dan percaya
sepenuh hati kepada Allah.

Ibnu Qayyim memberikan ketentuan-ketentuan aspek tawakal sebagai berikut : (1) Memiliki
keyakinan yang benar tentang kekuasaan dan kehendak Allah SWT. (2) Mengetahui hukum
sebab akibat akan urusan yang dikerjakan. (3) Memperkuat qalbu dengan tauhid. (4)
Menyadarkan qalbu kepada Allah dan merasa senang di sisinya. (5) Memiliki perasaan baik
kepada Allah. (6) Pasrah atau menyerahkan semua urusan kepada-Nya.

Secara literal tawakkul (tawakal) berarti memasrahkan, menyerah kepada-Nya dan


mencukupkan diri dengan-Nya. Dalam perspektif tasawuf, tawakkul berarti mempercayakan atau
menyerahkan segenap masalah kepada Allah sepenuhnya dan menyadarkan kepada-Nya
penanganan berbagai masalah yang dihadapi. Tawakkul merupakan refleksi dari tauhid yang
murni. Tawakkul merupakan salah satu kebenaran yang pokok dalam psikologi sufi. Tawakkul
akan menghasilkan ketentraman batin yang sempurna. Tawakkul yang benar adalah suatu sikap
rohaniah dari pada suatu perilaku lahiriah.

Al-Ghazali memandang bahwa tawakal terdiri atas tiga tingkatan: Pertama, menyerahkan
diri kepada Allah, seperti seseorang yang menyerahkan kekuasaan dalam satu urusan kepada
wakilnya, setelah ia meyakini kebenaran, kejujuran dan kesungguhan wakilnya dalam hal urusan
itu. Tingkatan ini masih memperlihatkan harapan dan keinginan yang muncul dari dalam dirinya,
meskipun segala urusan telah diwakilkannya kepada Allah. Kedua, menyerahkan diri kepada
Allah, seperti seorang anak kecil menyerahkan segala persoalanya kepada ibunya. Pada tingkatan
ini, harapan dalam keinginan masih terlihat, namun sudah jauh berkurang. Ketiga, menyerahkan
diri kepada Allah laksana mayat di tangan orang yang memandikanya. Pada tingkatan ini,
tawakal adalah kepasrahan total kepada Allah.4

4
Sodiman, “Menghadirkan Nilai-Nilai Spiritual Tasawuf Dalam Proses Mendidik”, Jurnal Al-Ta’dib Vol. 7 No. 2, Juli -
Desember 2014, Hal. 50

9
E. Definisi Sabar

Secara etimologi berasal dari bahasa arab, yaitu sabara yasbiru- sabran yang artinya menahan.
Kata lainya adalah alhabs yang artinya menahan atau memenjarakan. Artinya adalah menahan
hatinya dari keinginan atau nafsunya. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sabar
artinya tenang dan tahan menghadapi cobaan, yaitu apabila seseorang diberi cobaan oleh Allah
maka orang tersebut tidak mudah putus asa, patah hati ataupun marah, dan selalu tabah
menghadapi hidup. Selanjutnya, sabar artinya menahan diri dari berkeluh kesah dalam
menjalankan perintah Allah pada waktu menghadapi musibah.

Dalam perbincangan keseharian terdapat kata kerja “bersabar”, yang artinya bersikap tenang,
baik pikiran maupun perasaan. Misalnya untuk menunjukan ketenangan perasaan ketika
menghadapi musibah yang dialami seseorang. Dalam bahasa arab orang sabar disebut as sabir,
sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut dengan ‘penyabar’. Dalam bentuk masdar, kata sadar
adalah sabran sedang dalam bahasa Indonesia dengan disebut kesabaran, yaitu suasana hati
maupun pikiran dalam menghadapi cobaan.

Sabar menurut syari’at adalah menahan diri atas tiga perkara: Pertama, sabar dalam menaati
Allah, Kedua, sabar dari hal-hal yang Allah haramkan, dan Ketiga, sabar terhadap takdir Allah
yang tidak menyenangkan.

Menurut Yunahar Ilyas sabar berarti menahan segala sesuatu dari apa-apa yang dibenci Allah
atau tabah dalam menerima segala keputusanya dan berserah diri kepada-Nya. Segala sesuatu yang
dibenci Allah adalah berupa larangan-larangannya, dan hal itu tidak selamanya tidak disukai
manusia, bahkan pada umumnya disukai manusia, seperti tindakan bergunjing (gibah), zina, hasad
dan sebagainya. Segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah tersebut pada umumnya, malah
berupa kecenderungan insting manusia yang banyak disukai. Oleh karena itu, Islam menganjurkan
umatnya untuk menahan (bersabar) terhadap kecenderungan-kecenderungan tersebut.

Sabar dalam tradisi tasawuf adalah salah satu diantara maqom yang mesti ditempuh oleh para
sufi. Maqom adalah tingkatan dimana seseorang telah dianugerahi oleh Allah menuju tingkat yang
lebih tinggi lagi, dimana seseorang tersebut harus berusaha menjalankan perintah Allah dan sabar
dalam menjauhkan diri dari larangan-larangan-Nya, dan menerima segala sesuatu yang telah
ditentukan oleh Allah kepadanya.

10
Sedangkan sabar dalam ilmu tasawuf, sabar dapat diartikan sebagai dorongan seseorang untuk
memiliki kesabaran terhadap apa yang dialami, dilihat, didengar, diucapkan dan dirasakan dalam
ketentuan Allah sehingga tidak berdaya dalam segala sesuatu.

Pengertian dari sabar di atas tidak harus diartikan dengan aktivitas pasif atau ketabahan semata.
Dari pengertian diatas, sabar diartikan sebagai usaha aktif, tidak hanya aktif dalam menghindar
dari hal-hal yang tidak diperkenankan oleh Allah, melainkan juga aktif dalam menaati perintahnya,
dan aktif dalam mengendalikan perasaan atau keliaran hawa nafsunya.5

5
Anita Darmawan Putri & Lukmawati, “Makna Sabar Bagi Terapis (Studi Fenomenologis di Yayasan Bina Antis
Mandiri Palembang)”, Psikis-Jurnal Psikologi Islami Vol. 1 No. 1, Juni 2015, Hal. 50

11
F. Definisi Ridha

Secara etimologi kata ridha merupakan ism masdar dari kata radhiya-yardha

yang berarti puas, rela hati, menerima dengan lapang dada atau pasrah terhadap

sesuatu. Dengan kata lain yang dimaksud dengan ridha secara harfiah yaitu rela, suka, atau
senang. Al-ridha merupakan sebuah kata yang sudah menjadi bahasa
Indonesia yaitu ridha atau rela. Secara terminologi ridha berarti kerelaan yang

tinggi terhadap apapun yang diberikan oleh al-Haq baik sesuatu yang

menyenangkan atau tidak sebagai sebuah anugerah yang istimewa pada dirinya.

Selain itu ridha juga berarti tidak terguncangnya hati seseorang ketika

menghadapi musibah dan mampu menghadapi manifestasi takdir dengan hati yang

tenang, dengan kata lain yang dimaksud dengan ridha adalah ketenangan hati dan

ketentraman jiwa terhadap ketetapan dan takdir Allah SWT, serta kemampuan

menyikapinya, dengan tabah, termasuk terhadap derita, nestapa, dan kesulitan yang muncul dari-
Nya yang dirasakan oleh jiwa.
Orang yang ridha mampu melihat hikmah dan kebaikan dibalik cobaan yang

diberikan oleh Allah SWT dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuannya-Nya.

Terlebih lagi, ia mampu melihat keagungan, kebesaran, dan kemahasempurnaan

Dzat yang memberikan cobaan kepada-nya sehingga tidak mengeluh dan tidak

merasakan sakit atas cobaan tersebut. Mereka bahkan merasakan musibah dan ujian sebagai
suatu nikmat, lantaran jiwanya bertemu dengan yang di cintainya.
Harun Nasution sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata ,mengatakan bahwa

ridha berarti tidak berusaha, tidak menentang qadha dan qadar Tuhan. Menerima

qadha dan qadar dengan hati senang.Mengeluarkan perasaan benci dari hati

sehingga yang tinggal didalamnya hanya perasaan senang dan gembira.Merasa

senang menerima malapetaka sebagaimana senang menerima nikmat.Tidak

meminta surga dari Allah SWT dan tidak meminta dijauhkan dari neraka.Tidak

12
merasa pahit dan sakit ketika sesudah turunnya qadha dan qadar, bahkan perasaan cinta bergelora
di waktu turunnya bala (cobaan yang berat).
Ridha menghilangkan cela dan aib. Lantaran ridha telah lekat di hati dahulu,

maka kalau ada cela itu akan lupa di pikiran; kalau ada cacat, cacat tidak akan

teringat. Hal itu bukan lantaran karena kebodohan dan kegilaan, akan tetapi sudah

memang dasar ridha demikian adanya. Ridha tabiatnya pemaaf.Sebagai sebuah

contoh, cobalah perhatikan orang yang cinta kepada anaknya yang masih

kecil.Lantaran cintanya dia ridha anaknya kencing di atas pangkuannya, sedang

dia enak makan.Ridha menerima kekayaan dan kemiskinan, kekayaan dan

kepatahan perjalanan, maksud hasil dan hasil, umur panjang dan pendek, badan

sehat dan sakit.Semuanya tidak ada perbedaan, sebab dia larut dalam kegembiraan sampai lupa
segala-galanya. Jalan menuju ridha pada awalnya bersifat intensional (berdasarkan niat dan
keinginan individu yang bersangkutan). Tapi pada tahap selanjutnya ia merupakan

hadiah ilahiyah yang berada diatas kehendak dan ikhtiar manusia, karena ia

merupakan anugerah dari Allah SWT bagi orang yang dicintai-Nya. Oleh karena

itu, maka seseorang tidakakan dapat mencapai ridha kecuali hanya dengan

kedalaman iman, kesungguhan dalam beramal, dan keluasan kesadaran untuk

berbuat baik, yang dalam perjalanannya akan menjadi bagian dari sikap tawakkal, taslim dan
tafwidh.
Buah dari ridha itu sendiri adalah munculnya kesenangan dan ketenangan

menakjubkan yang berhembus dari keridhaan Allah SWT yang berpadu secara

langsung dengan besarnya cita-cita dan harapan yang dimiliki seorang

hamba.Semua ini bukan dzauq yang muncul disebabkan kedekatan dengan Allah

SWT, dan bukan pula kelezatan yang muncul disebabkan banyak ibadah dan

ketaatan. Bahkan ia juga bukan kenikmatan spiritual yang muncul setelah

kemenangan menaklukan dosa. Tetapi ini adalah kenikmatan spiritual yang

13
diwarnai oleh harapan dan harapan mendalam yang terpatri dengan keteguhan hati dan sikap
mawas diri. Ridha pada derajat kedua adalah ridha milik para ahli makrifat. Ridha
tingkat ini sering juga disebut dengan istilah “ridha ‘anillah”, yaitu: sikap

menerima qadha dan qadar dengan lapang dada, tanpa meninggalkan cela

sedikitpun bagi kemungkinan munculnya penyimpangan pada hati meski hanya

sekejap. Jika ridha derajat pertama dianggap sebagai gerak mendekat yang

dilakukan kaum awam menuju sifat ridha, maka ridha derajat kedua ini dianggap

sebagai aktivitas hati yang telah siap untuk ber-makrifat bersama Allah SWT.

Adapun ridha derajat yang ketiga adalah ridha-nya orang-orang suci (al

ashfiya). Siapa saja yang telah mencapai maqam ini, maka ia tidak akan marah

atau kesal demi dirinya sendiri. tetapi dia akan hidup dalan dzauq dan kelezatan

fana bersama Tuhannya serta kosong dari segala bentuk perasaan, pikiran, dan

keinginan dirinya sendiri. Ridha derajat pertama hukumnya adalah fardhu bagi setiap mukmin,

menunutun kearah tauhid sehingga ia menjadi prinsip di jalan pendekatan diri

kepada Allah SWT. Adapun ridha derajat yang kedua hukumnya adalah setara

dengan wajib.Karena ridha tingkat kedua ini terbentuk dari ridha tingkat pertama

yang dilakukan secara berkesinambungan dan sekaligus menjadi dasar bagi

tingkat terakhir dari kedekatan pada Allah SWT. Adapun ridha derajat yang ketiga

lebih dekat sebagai anugerah Allah SWT dibandingkan sebagai sesuatu yang

bersifat kasbiy (bisa diupayakan), sehingga hukumnya adalah sunah karena ia merupakan inti
dari kedekatan kepada Allah SWT.6

6
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Rajawali Pers, Vol. 10, 2011, Hal. 203

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Taubat adalah amalan seorang hamba untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan atau
dosa-dosa yang kemudian ia kembali kepada jalan yang lurus (yakni pada ajaran yang
diperintahkan oleh Allah dan senantiasa akan menjauhi segala larangannya) dengan penyesalan
telah hanyut dalam kesalahan, dan tidak akan mengulanginya lagi.
Zuhud merupakan suatu suatu sikap terpuji yang di sukai allah swt, di mana seseorang lebih
mengutamakan cinta akhirat dan tidak terlalu mementingkan urusan dunia atau harta kekayaan.
Materi di dunia ini dianggap hanya bersifat sementara ,hanya sebatas sarana atau alat untuk
mencapai tujuan hakiki,yaitu sebagai bekal kehidupan di akhirat kelak.
Secara lughawi wara’ artinya hati-hati sedangkan secara istilah wara’ adalah sikap menahan
diri agar hati ini tidak menyimpang sekejap apapun dari mengingat Allah. Para Sufi
mengemukakan bahwa Wara’ adalah seorang hamba tidak berbicara melainkan dalam hal-hal
yang benar, baik dalam keadaan Ridha maupun dalam keadaan marah. Bukti adanya Wara’
dalam diri seseorang adalah jika dalam diri orang tersebut telah ada sepuluh kewajiban.
Tasawuf adalah secara literasi memasrahkan, menyerah kepada-Nya dan mencukupkan diri
dengan-Nya. Dalam perspektif tasawuf, tawakkul berarti mempercayakan atau menyerahkan
segenap masalah kepada Allah sepenuhnya dan menyadarkan kepada-Nya penanganan berbagai
masalah yang dihadapi. Tawakkul merupakan refleksi dari tauhid yang murni.

Definisi sabar adalah Secara etimologi berasal dari bahasa arab, yaitu sabara yasbiru- sabran
yang artinya menahan. Kata lainya adalah alhabs yang artinya menahan atau memenjarakan.
Artinya adalah menahan hatinya dari keinginan atau nafsunya. Sedangkan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia sabar artinya tenang dan tahan menghadapi cobaan, yaitu apabila seseorang
diberi cobaan oleh Allah maka orang tersebut tidak mudah putus asa, patah hati ataupun marah,
dan selalu tabah menghadapi hidup. Selanjutnya, sabar artinya menahan diri dari berkeluh kesah
dalam menjalankan perintah Allah pada waktu menghadapi musibah.

15
Ridha adalah sikap menerima segal ketentuan allah swt, tenang dalam menghadapi cobaan
dengan senantiasa berusaha, dan tidak mudah putus asa. Brsikap ridha berarti menerima secara
sungguh- sungguh dari dalam hati atas pemberian allah melalui nalar pikiran yang positif bahwa
allah telah memberikan kenikmatan sesuai ukuran kebutuhan kita, jika seseorang memiliki
kehendak yang besar, tetapi tidak sesuai dengan kenyatan, akan menyebabkan setres. Untuk
menghadapi kenyataan ini, sikap terbaik adalah dengan rdha terhadap apapun yang telah menjadi
kehendak allah.

B. Saran
Kami harapkan semoga dengan hadirnya makalah yang kami susun ini dapat dijadikan acuan
agar lebih mengetahui dan memahami apa arti dari maqamat beserta macam-macamnya sehingga
akan lebih paham mengenai sikap-sikap baik yang disenangi oleh Allah SWT.
Kami sebagai penulis mohon maaf yang sebesar besarnya apabila terdapat kata-kata yang
kurang berkenan di hati para pembaca. Kritik dan saran kami harapkan dari para pembaca agar
kami dapat membuat makalah yang jauh lebih bijak lagi di hari berikutnya, sekian terima kasih.

16
DAFTAR PUSTAKA

Rakhmawati,”Urgensi Taubat Dalam Kehidupan Manusia”,Jurnal Madani Vol. 4 No. 1, Juni


2014, Hal. 128, Hal. 130, Hal. 133

Farthi Majdi Al-Sayyid, Al-Zuhd: Li Al-Imam Abi ‘Abd Allah Al-Qurthubi, Maktabah Al-
Shahabah, 1408H, Hal. 15

Miswar,”Maqamat (Tahapan Yang Harus Ditempuh Dalam Proses Bertasawuf)”, ANSIRU PAI
Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2017, Hal. 6, Hal. 7

Sodiman, “Menghadirkan Nilai-Nilai Spiritual Tasawuf Dalam Proses Mendidik”, Jurnal Al-
Ta’dib Vol. 7 No. 2, Juli - Desember 2014, Hal. 50

Anita Darmawan Putri & Lukmawati, “Makna Sabar Bagi Terapis (Studi Fenomenologis di
Yayasan Bina Antis Mandiri Palembang)”, Psikis-Jurnal Psikologi Islami Vol. 1 No. 1, Juni
2015, Hal. 50

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Rajawali Pers, Vol. 10, 2011, Hal. 203

17

Anda mungkin juga menyukai